Anda di halaman 1dari 2

Kau Seperti Cokelat

Dikejauhan itu, ku melihat seorang berjalan pasti, langkah kaki mengalun sedemikian rupa,
50 meter jarak dari tempatku berdiri dengan perempuan itu. Aku terpaku, tak percaya pada
pandanganku, perempuan itu melihat kearahku, dia tahu aku, dia tersenyum padaku. Dia berlari-lari
kecil untuk menggapaiku. Dia mencoba memendekkan jarak yang dulunya memuai, melebar,
memanjang, memisahkanku dan dia. Sementara aku masih terpaku ditempat ku berdiri seketika itu.

Aku tak mengerti, waktu begitu cepat berlalu, tiba-tiba saja dia telah berdiri didepanku.
Kulihat tangannya bergerak malu-malu, kaku, dia menyalamiku dan menyelami tiap jengkal dalam
hatiku. Ku sambut tangannya, ku genggam kuat-kuat. Ada gelora yang membangkitkan segenap
perisitiwa yang semula mengendap diam dan hanya bangkit ketika satu kata sakral menghampirinya,
kata yang tediri dari lima aksara sederhana, “rindu” demikianlah kata itu.

Tahu-tahu rindu yang bergumpal-gumpal itu sekarang luruh seperti dedaunan kering yang
berjatuhan dari ranting pohonnya ketanah. Dia tergagap, mulutnya ingin berucap, begitupun dengan
mulutku. Terlalu banyak kata yang telah bercokol dalam hatiku dan aku ingin mengucapkannya.
Secara spontan semua kata itu mendesak ingin keluar, kata itu saling beradu, memenuhi
tenggorokanku. Cuma tersisa sedikit nafas untukku berkata “telah lama aku merindukanmu, Mudia”.

Kau tersenyum seketika itu tapi kulihat dimatamu ada aliran air yang ingin keluar, tapi kau
menahannya, mencoba tegar didepanku, seperti selalu. Jika saja aku tak berada dikeramaian saat itu
pasti aku akan mendekapmu, menyatukan setiap denyut gemuruh rindu.

Lalu semua kekakuan yang semula seakan memayungi kita mulai luruh ketika kau berkata
“maafkan aku Jal, aku mungkin tak layak untukmu”. Lalu, perlahan airmata yang kau tahan, mulai
turun centi demi centi di pipimu. Dan sekarang kau sesenggukan, rasanya begitu mirisnya kata yang
telah kau keluarkan dan aku hanya bisa berdiri mematung 10 centimeter dihadapanmu.

Ku genggam erat tanganmu, ku tak ingin melepas tanganmu, ku tak ingin melepasmu, aku
sayang kamu. Tapi harus dengan apa ku katakan? Takdir telah berkata sedemikian rupa dan mungkin
kau bukan tercipta untukku.

Tiba-tiba kau coba lepas genggamanku, lalu kau masukkan tanganmu ke dalam tas demi
mengeluarkan buku itu. Kau menyodorkan buku itu kearahku, sempat ku tepis dan aku berkata
seadanya “aku tak berharap kau mengembalikannya, buku itu kutulis untukmu, hanya untukkmu”.

“Aku ingin kau terus bisa membacanya, buku itu adalah penghubung jarak yang
memasungku disini. Agar aku dapat menemuimu meski hanya dalam ingatanmu”, tambahku lagi.

“bukan aku tak mau menerima ini Jal, tapi kau harus mengerti aku tak ingin dia melihat
buku ini, lalu dia merobeknya. Aku akan sakit hati jika melihat itu semua nantinya”, jawabmu. Aku
tahu siapa Dia yang sengaja kau selipkan dalam perkataanmu, dia yang semula tak kau inginkan, lalu
kau harus hidup dengannya sementara ku tahu kau masih mencintaiku.

“aku mengerti Mudia, aku akan menyimpan buku ini seperti ku menyimpan setiap ingatan
tentangmu, tentang cerita kita dulu”.
Kau menghapus airmata yang mengalir di pipimu sambil berkata “ terimakasih, atas cintamu
padaku dan maafkan aku”. Dan kau berpaling dariku, hilang dari pandanganku.

Malamnya kubuka buku itu, buku yang pernah kuberikan untukmu. Aku menyaksikan
sederet aksara berpadu menjadi kata dan kata yang semula mungil itu lalu bertumbuh pelan menjadi
kalimat sederhana, “kau seperti cokelat!” begitu tulismu dihalaman pertama bukuku.

Sampai saat ini, saat aku membuka lagi buku itu untuk puluhan kalinya, masih jelas terbaca
kalimat itu. Tapi, aku tak dapat menyimpulkan apa-apa, “atas dasar apa kau mendeskripsikanku
seperti cokelat?”, Itulah pertanyaan yang ingin ku tanyakan padamu. Tapi, aku tak pernah bisa
menemuimu lagi untuk menanyakan itu, aku tak ingin menemuimu lagi setelah kau mengembalikan
buku itu padaku. Aku tak ingin mengusik ketenangan rumah tanggamu.

Anda mungkin juga menyukai