Anda di halaman 1dari 3

Naluri Pensil

Teruntuk engkau wahai tangan-tangan manusia, dengarkanlah jeritan hatiku. Bacalah


kalimat-kalimat yang ku gores dan ku sambungkan pada lembaran kertas putih yang kau
anggap suci karena warnanya. Di dalam kertas yang selalu ku isi dengan kata-kataku, kau
masih menganggapnya suci dan membandingkan dengan diriku yang kau anggap menodai
kesucian kertas itu. Kau ibaratkan aku sebagai penjahat dengan kekuatan hitam yang ku punya.
Padahal itu hanya warnaku, tak selamanya hitam itu menyeramkan dan tak selamanya putih itu
suci. Aku tak seburuk yang terlihat oleh matamu. Disini, di duniaku ini. Jika kau mampu
meneliti setiap bentuk sifatku, pola pikirmu ku rasa akan berubah. Dan inilah saatnya, di sinilah
ceritaku akan dimulai.

Perkenalkan aku pensil. Kau tau bentukku, kau tau wujudku, dan jelas kau tau fungsiku.
Namun, sayangnya kalian hanya tau tanpa memiliki rasa peduli. Merasakan kegunaanku tapi
tak pernah menghargaiku. Ketahuilah, ketika tanganmu mempertemukanku dengan rautan
tajam itu, aku merasakan kepedihan yang luar biasa. Aku merasakan ketidak pedulianmu itu
muncul secara nyata. Tapi,untuk bisa bermanfaat bagimu, aku menjalani semuanya dengan
senang hati.

“Huu...huuu...huu.. Aku takut padamu, tolong jangan dekati aku. Tolonglah, aku mohon
padamu rautan.” Pintaku pada rautan yang semakin mendekkat padaku. Aku hanya bisa
menangis dan memohon padanya. Karena manusia tak mendengar tangisku.

“Hahaha.... Lihatlah, bukan aku yang menginginkannya, bukan aku juga yang menggerakkan
tubuhku ini. Tangan manusia itulah yang menyuruhku untuk mendekatimu.” Rautan berucap
dengan wajah yang ceria seolah tertawa diatas penderitaanku. Rasanya berbanding terbalik
denganku yang tengah merasakan kesedihan. Ku lihat wajah manusia itu seperti tak bersalah,
karena memang dia tak tau perasaanku.

Saat detik demi detik aku masuk dalam siksaan itu, aku hanya bisa pasrah. Ku niatkan hatiku
untuk membuat setiap manusia yang memilikiku bahagia. Aku juga ingin hadirku bisa
bermanfaat untuk kehidupanmu.
“Sruttt...sruttt...” Suara serutan begitu jelas terdengar oleh telinga manusia.

“Awww....sakittttt.” Sedangkan jeritanku tak mampu membuka telinga manusia. Aku merasa
ini tak adil bagiku.
Ternyata rasa sakit yang rautan tajam itu berikan padaku seketika hilang, karena ku lihat
ada tawa bahagia dari manusia yang melihatku siap untuk digoreskan pada lembar buku
mereka.

Siksaanku tak cukup berakhir di sana. Saat aku beradu dengan kertas rasanya juga sangat
perih. Ditambah lagi dengan perlahan tapi pasti tinggi yang ku miliki semakin memendek
seiring dengan kegiatanmu yang setiap harinya tak pernah terlepas dariku.
“Hai kertas bantulah aku, rasanya sakit sekali beradu denganmu.” Rintihku pada kertas.
“Hahahahaaaa..” Lagi-lagi sebuah tawa jahat terlontar padaku. Rautan dan kertas sama-sama
tak peduli akan penderitaanku.

Untung saja, rasa perih yang ku lalui benar-benar hilang setiap melihat senyuman dari
wajah-wajah manusia. Bukan hanya karena sebuah senyuman, tapi juga karena karya-karya
yang kamu ciptakan bersamaku. Andai aku dapat berkata padamu.

“Lihatlah aku ingin dihargai, aku ingin kau sayangi. Sadarilah bahwa aku yang selalu
menemani hari-harimu. Tanpa kau sadari, akulah sahabat setiamu. Aku rela melakukan apa
yang kau mau.”

Aku selalu berkata seperti itu padamu, tapi telingamu tak sehebat yang ku kira. Dua
telingamu itu tak dapat mendengar ungkapanku, bahkan satu telingamu pun tak ada yang bisa
mendengar bisikkanku.

Mungkin, jika kita dapat bertegur sapa dan saling bercerita, kau akan dengan mudah
menghargai keberadaanku. Memang aku kecil, tapi manfaatku besar bagimu. Bahkan saat kau
lupa membawaku kau meminjam pensil yang lain. Aku memang selalu berubah menjadi pensil
kecil yang pendek, itu semua karena kau yang melakukannya. Hingga tiba saatnya aku
menghilang dan musnah. Kau mencari pengganti sosokku. Sungguh sakitnya hatiku jika kau
mampu mendengar, melihat dan merasakan jeritan naluriku.

Cobalah kau pikir, betapa baiknya aku saat kau bertindak curang dalam sebuah ujian. Aku
bungkam, tak membocorkan caramu yang salah pada siapapun. Bahkan aku menurutimu untuk
menulis kata-kata hasil contekanmu itu. Sebagai sahabat yang baik, rasanya aku ingin sekali
menegur perilakumu. Menasehatimu untuk bisa percaya pada dirimu sendiri. Aku selalu ingin
menjadi sahabat yang mampu kau sayangi.

Walaupun mimpiku untuk kau hargai takkan pernah terwujud. Aku bahagia telah melalui
hari-hariku bersamamu. Dan memang sampai kapanpun kita tak akan bisa menjadi sahabat
sejati. Kecuali, jika kau telah membaca ini dan memahaminya. Dan memang yang ku harapkan
dari semua ini adalah kesadaranmu untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi, manusia yang
mau peduli pada hal kecil sekalipun.

“ Selamat tinggal sahabat, carilah yang baru setelah aku menghilang karena telah habis di telan
waktu dan tugasku selasai untuk mengabdi padamu. Tapi, aku mohon jangan lupakan aku.
Jangan lupakan kenangan yang telah kita ukir bersama. Pesanku untukmu hargailah makhluk
mati seperti aku, maka setelah itu aku yakin kau akan menghargai makhluk hidup dengan
sangat bijaksana.”

Inilah aku dan inilah naluri sebuah pensil untuk setiap insan manusia. Hanya bisa terurai
tanpa suara.
BIODATA
Nama lengkap : Khoerun Nisa
Alamat : Dusun Jagabaya II,RT 02,RW 01,Desa Jagabaya,Kec.Panawangan,
Kab.Ciamis.
No Hp/WA : 08156281790
Scan kartu pelajar :

Alamat surel : nisakhoerun433@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai