Anda di halaman 1dari 3

Harapan Terakhir

Pengirim: Dari Seseorang yang Kamu Namakan Kontak “🤍nw🤍”

Halo, Mantan berinisial “AZ.”

Surat ini akan menyadarkan bahwa saya terhadapmu telah berbeda, karena di surat ini tidak
lagi menyebut diri saya dengan “aku.”

Langsung saja.

Saya rasa ... tidak perlu bertanya bagaimana kabarmu, semoga kabarmu baik.

Ini sebenarnya sudah tidak penting lagi saya membicarakan kisah kita yang telah berakhir,
tapi saya perlu ber-terima kasih padamu.

Terima kasih banyak, untuk bahagia yang pernah kamu beri. Dan terima kasih, untuk kamu
yang memastikan saya masih bersedia mempertahankan kamu atau tidak, di saat kamu ingin
melepaskan saya. Saat itu, saya berkata padamu: "Aku masih mau di sini, lanjut."

Ya, saya ingin melanjutkan hubungan kita sampai tamat, karena sempat berpikir bahwa
"Cukup sampai di kamu. Kamu laki-laki terakhir yang aku pilih. Tidak ada lagi aku berpikir
mencari penggantimu."

Namun, kamu justru tetap melepaskan saya. Di matamu ... saya tidak seberharga itu, ya? Tak
saya sangka, kamu menganggap saya hanya sebongkah kerikil batu yang bisa kau lempar
kapan pun kamu mau. Saat perjalanan kisah kita yang nyaris berakhir melepaskan, tapi bagi
saya, ini masih sekelas teri, masih bisa diperbaiki oleh kita yang menginginkan asmaraloka
ini berhasil kita lalui. Oleh karenanya, saya mau melanjutkan kisah kita, tetapi kamu justru
lebih memilih melepaskan saya. Itu adalah detik di mana kamu memilih berhenti, bahkan
saya tidak ada merengek padamu agar tetap di sini. Jika kamu berpikir mengapa saya tidak
merengek, jawabannya ... saya harus bisa menerima pilihan orang lain yang tak lagi sepadan
dengan pilihan saya. Bagi saya ..., cinta itu keberanian, berani terluka, tidak menyerah
bagaimanapun keadaannya, layaknya dua sejoli yang memilih setia dan memiliki tujuan yang
sama, sepasang insan inilah yang akan melawan pilu, demi senyum manis terukir kembali di
bibir.

Namun, apa daya? Jika perasaanmu pada saya, telah berbeda, hatimu tidak ada lagi
menginginkan saya. Ini sebabnya, di saat kamu memilih berhenti memilih saya dan
melepaskan saya, saya pun harus mulai menganggap cinta ini juga harus berhenti, semua luka
yang saya lawan juga harus hilang. Tidak ada lagi sajak yang menorehkan kisah kita lagi,
tidak ada tumpahan resah tentangmu lagi, dan tidak pernah ada pernyataan betapa hebatnya
kita mampu mempertahankan ikatan kita sampai takdir menyatukan kesetiaan kita. Tentang
kita yang telah kamu lepas, maka menyatakan semua yang sempat kita mulai harus berhenti.

Di situlah, mengapa saya memilih pergi dari kehidupanmu, lenyap tanpa jejak. Kamu
memilih berhenti dan melepaskan, kini giliran saya memilih hilang dari hidupmu.

Jatuh cinta padamu adalah hal paling ceroboh, begitu cepat saya menaruh hati padamu, begitu
cepat saya luluh pada ucapan manismu yang kini berakhir hanya rayuan semata. Meski pada
awalnya saya berkali-kali terkesan menolak pengakuannya perasaan romantismu, nyatanya
saat hati ini mulai membuka untukmu, begitu hati ini luluh karena tekadmu yang
menginginkan saya. Hingga kisah kita berjalan, saya menyadari pertanda darimu yang seolah
menginginkan pergi melepas.

Kepergianmu ... membuat saya sangat selektif memilih pada siapa hati ini pantas berlabuh.

Saya akui. Perihal perasaan, hati saya memang lembek, tapi perihal pemikiran, saya realistis.

Setiap orang yang tindakannya mampu menyakiti orang lain, pasti memiliki alasan mengapa
melakukannya. Satu-satunya cara bahagia bagi mereka tersakiti adalah harus bisa
menerima pilihan orang lain yang tak lagi sepadan dengan pilihan diri sendiri.

Antara saya dan kamu, siapa yang menyakiti? Dari kacamata saya, kamulah yang menyakiti
saya, karena kamu memilih berhenti memilih saya, membicarakan masa depan kita yang
ternyata hanya rencana yang tidak pernah dicapai. Namun, mungkin ... dari kacamata kamu,
sayalah yang menyakiti kamu, karena saya gagal membuatmu merasa di sini rumahmu.

Usai sudah kisah kita, akhirnya saya menemukan kepastian yang sungguh dari kisah kita.

Tentu, jika kamu mampu memahaminya. Kamu mengerti mengapa saya demikian. Sempat
menganggapmu laki-laki terakhir yang harus dipertahankan, nyatanya kamulah yang
mengakhiri. Ingin sekali memakimu, tetapi tidak ada gunanya lagi. Oleh karenanya, saya
memaafkanmu.
Untuk orang yang memilih melepaskan saya. Perhatikan, sebuah kalimat "Masih bisa
bersama, meski tak lagi dengan perasaan yang sama" itu tidak pernah ada dalam kamus hidup
saya. Maaf, tidak bisa menjadi teman biasa. Sebaiknya, kita saling asing.

“Mari, kita asing kembali.”

Berharap asing kembali dan tidak pernah dipertemukan lagi, ini adalah harapan terakhir saya
terhadapmu yang telah melepaskan saya. Jadi, ijinkan harapan terakhir ini menjadi nyata.
Terima kasih. Saya pamit. Selamat tinggal.

Anda mungkin juga menyukai