Anda di halaman 1dari 9

Bersiap Kecewa Bersedih Tanpa Kata-kata Kompas.

com - 17/07/2011, 04:43 WIB PUTU


WIJAYA Aku menunggu setengah jam sampai toko bunga itu buka. Tapi satu jam kemudian aku
belum berhasil memilih. Tak ada yang mantap. Penjaga toko itu sampai bosan menyapa dan
memujikan dagangannya. Ketika hampir aku putuskan untuk mencari ke tempat lain, suara
seorang perempuan menyapa. ”Mencari bunga untuk apa Pak?” Aku menoleh dan menemukan
seorang gadis cantik usianya di bawah 25 tahun. Atau mungkin kurang dari itu. ”Bunga untuk
ulang tahun.” ”Yang harganya sekitar berapa Pak?” ”Harga tak jadi soal.” ”Bagaimana kalau
ini?” Ia memberi isyarat supaya aku mengikuti. ”Itu?” Ia menunjuk ke sebuah rangkain bunga
tulip dan mawar berwarna pastel. Bunga yang sudah beberapa kali aku lewati dan sama sekali tak
menarik perhatianku. ”Itu saya sendiri yang merangkainya.” Mendadak bunga yang semula tak
aku lihat sebelah mata itu berubah. Tolol kalau aku tidak menyambarnya. Langsung aku
mengangguk. ”Ya, ini yang aku cari.' Dia mengangguk senang. ”Mau diantar atau dibawa
sendiri?” ”Bawa sendiri saja. Tapi berapa duit?” Ia kelihatan bimbang. ”Berapa duit.” ”Maaf
sebenarnya ini tak dijual. Tapi kalau Bapak mau nanti saya bikinkan lagi.” ”Tidak, aku mau ini.”
”Bagaimana kalau itu?” Ia menunjuk ke bunga lain. ”Tidak. Ini!” ”Tapi itu tak dijual.”
”Kenapa?” ”Karena dibuat bukan untuk dijual.” Aku ketawa. ”Sudah, katakan saja berapa duit?
Satu juta?” kataku bercanda. ”Dua.” ”Dua apa?” ”Dua juta.” Aku melongo. Mana mungkin ada
bunga berharga dua juta. Dan bunga itu jadi semakin indah. Aku mulai penasaran. ”Jadi, benar-
benar tidak dijual?” ”Tidak.” Aku padangi dia. Dan dia tersenyum seperti menang. Lalu
menunjuk lagi bunga yang lain. ”Bagaimana kalau itu?” Aku sama sekali tak menoleh. Aku
keluarkan dompetku, lalu memeriksa isinya. Kukeluarkan semua. Hanya 900 ratus ribu. Jauh dari
harga. Tapi aku taruh di atas meja berikut uang receh logam. Dia tercengang. ”Bapak mau beli?”
”Ya. Tapi aku hanya punya 900 ribu. Itu juga berarti aku harus jalan kaki pulang. Aku tidak
mengerti bunga. Tapi aku menghargai perasaanmu yang merangkainya. Aku merasakan
kelembutannya, tapi juga ketegasan dan kegairahan dalam karyamu itu. Aku mau beli bunga
kamu yang tak dijual ini.” Dia berpikir. Setelah itu menyerah. ”Ya, sudah, Bapak ambil saja.
Bapak perlu duit berapa untuk pulang?” Aku terpesona tak percaya. ”Bapak perlu berapa duit
untuk ongkos pulang?” ”Duapuluh ribu cukup.” ”Rumah Bapak di mana?” ”Cirendeu.”
”Cirendeu kan jauh?” ”Memang, tapi dilewati angkot.” ”Bapak mau naik angkot bawa bunga
yang aku rangkai?” ”Habis, naik apa lagi?” ”Tapi angkot?” ”Apa salahnya. Bunga yang sebagus
itu tidak akan berubah meskipun naik gerobak.” ”Bukan begitu.” ”O, kamu tersinggung bunga
kamu dibawa angkot? Kalau begitu aku jalan kaki saja.” ”Bapak mau jalan kaki bawa bunga?”
”Ya, hitung-hitung olahraga.” Dia menatap tajam. ”Bapak bisa ditabrak motor. Bapak ambil saja
uang Bapak 150 untuk ongkos taksi.” Aku tercengang. ”Kurang?” "Tidak. Itu bukan hanya
cukup untuk naik Blue Bird, tapi juga cukup untuk makan double BB di BK PIM.” Dia
tersenyum. Cantik sekali. ”Silakan. Bapak perlu kartu ucapan selamat di bunga?” ”Tidak.” Dia
berpikir. ”Jadi, bukan untuk diberikan kepada seseorang? Bunga ini saya rangkai untuk diberikan
pada seseorang.” ”Memang. Untuk diberikan pada seseorang.” ”Yang dicintai mestinya.” ”Ya.
Jelas!” ”Sebaiknya, Bapak tambahkan ucapannya. Bunga ini saya rangkai untuk diantar dengan
ucapan. Diambil dari puisi siapa begitu yang terkenal. Misalnya Kahlil Gibran.” Aku terpesona
lalu mengangguk. ”Setuju. Tapi tolong dicarikan puisinya dan sekaligus dituliskan.” Ia cepat ke
belakang mejanya mengambil kartu. ”Sebaiknya Bapak saja yang menulis.” ”Tidak. Kamu.” Ia
tersenyum lagi mungkin merasa lucu. Lalu menyodorkan sebuah buku kumpulan sajak. Aku
menolak. ”Kamu saja yang memilih.” ”Tapi, saya tidak tahu yang mana untuk siapa dulu.”
”Pokoknya yang bagus. Yang positip.” ”Cinta, persahabatan, atau sayang?” ”Semuanya.” Ia
tertawa. Lalu menulis. Tampaknya ia sudah hapal di luar kepala isi buku itu. Ketika ia
menunjukkan tulisannya, aku terhenyak. Itu bukan sajak Gibran, tapi kalimat yang ditarik dari
sajak Di Beranda Itu Angin Tak Berembus Lagi karya Goenawan Mohamad: ”Bersiap kecewa,
bersedih tanpa kata-kata." Aku terharu. Pantas Nelson Mandela mengaku mendapat inspirasi
untuk bertahan selama 26 tahun di penjara Robben karena puisi. ”Bagus?” Aku tiba-tiba tak
sanggup menahan haru. Air mataku menetes dengan sangat memalukan. Cepat-cepat kuhapus.
”Saya juga sering menangis membacanya, Pak.” ”Ya?” ”Ya. Tapi sebaiknya Bapak tandatangani
sekarang, nanti lupa.” Aku menggeleng. Aku kembalikan kartu itu kepadanya. ”Kamu saja yang
tanda tangan.” ”Kenapa saya?” ”Kan kamu yang tadi menulis.” ”Tapi itu untuk Bapak.” ”Ya
memang.” Ia bingung. ”Kamu tidak mau menandatangani apa yang sudah kamu tulis?” ”Tapi,
saya menulis itu untuk Bapak.” ”Makanya!” Ia kembali bingung. ”Kamu tak mau mengucapkan
selamat ulang tahun buat aku?” Dia bengong. ”Aku memang tak pantas diberi ucapan selamat.”
”Jadi, bunga ini untuk Bapak?” ”Ya.” ”Bapak membelinya untuk Bapak sendiri?” ”Ya. Apa
salahnya?” ”Bapak yang ulang tahun?” ”Ya.” Dia menatapku tak percaya. ”Kenapa?” ”Mestinya
mereka yang yang mengirimkan bunga untuk Bapak.” ”Mereka siapa?” ”Ya, keluarga Bapak.
Teman-teman Bapak. Anak Bapak, istri Bapak, atau pacar Bapak...” ”Mereka terlalu sibuk.”
”Mengucapkan selamat tidak pernah mengganggu kesibukan.” ”Tapi itu kenyataannya. Jadi aku
beli bunga untuk diriku sendiri dan ucapkan selamat untuk diriku sendiri karena kau juga tidak
mau!” Aku ambil uangku dan letakkan lebih dekat ke jangkauannya. Lalu aku ambil bunga itu.
”Terima kasih. Baru sekali ini aku ketemu bunga yang harganya 900 ribu.” Aku tersenyum untuk
meyakinkan dia bahwa aku tak marah. Percakapan kami tadi terlalu indah. Bunga itu hanya
bonusnya. Aku sudah mendapat hadiah ulang tahun yang lain dari yang lain. Tapi sebelum aku
keluar pintu toko, dia menyusul. ”Ini uang Bapak,” katanya memasukkan uang ke kantung
bajuku sambil meraih bunga dari tanganku, ”Bapak simpan saja.” ”Kenapa? Kan sudah aku
beli?” Aku raih bunga itu lagi, tapi dia mengelak. ”Tidak perlu dibeli. Ini hadiah dariku untuk
Bapak. Dan aku mau ngantar Bapak pulang. Tunjukkan saja jalannya. Itu mobilku.” Dia
menunjuk ke sebuah Ferrari merah yang seperti nyengir di depan toko. ”Aku pemilik toko ini.”
Aku terkejut. Sejak itulah hidupku berubah. Jakarta, 30 Juni 2011

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Bersiap Kecewa Bersedih Tanpa Kata-
kata", https://nasional.kompas.com/read/2011/07/17/04435688/Bersiap-Kecewa-Bersedih-
Tanpa-Katakata.
Bertepuk Sebelah Tangan
Cerpen Nh. Dini

Suara sunyi malam mulai datang suara angin mengalun berhembus, lampu seperti semakin temaram
walau sebenarnya tidak meredup. Hanya saja Nina sudah merasa sangat terkantuk, kelopak matanya
ingin mengatup, dan matanya tak kuasa menahan beban kelelahannya. Terkadang kantuk itu menguat
membuatnya hanyut sebentar namun tidak lama ia tersadar dan meneruskan kegiatannya. Sudah tiga
jam dia mengerjakan tugas rumahnya, tugas Fisika. Mata pelajaran paling tajam dari pada matematika,
dengan rumus-rumus rumit berselang-seling. Ditambah dengan guru pengajarnya yang galak dan tegas
pada setiap murid yang tidak mengerjakan tugasnya, ia akan memberikan hukuman seperti dikeluarkan
selama pelajaran atau mengerjakan soal di papan tulis sampai bisa dan dilarang melihat rumus.
Pelajaran SMA paling menyeramkan pikirnya dalam hati, Nina lalu membalikkan referensi buku yang ia
pinjam dari perpustakaan tadi siang. Sebenarnya ia jarang meminjam buku disana hanya saja ada
sebuah alasan. Seseorang yang ia suka, Hafid terlihat olehnya memasuki perpustakaan saat ia dan Putri
baru saja membeli jajanan di kantin. Terpikir olehnya bahwa ia ingin menyapa walau hanya sebentar
mungkin bisa mengobati hatinya yang rindu melihat wajahnya, ia mengajak putri memasuki
perpustakaan dan menulis daftar hadir pengunjung. Putri berjalan mendahuluinya sedangkan ia mencari
dimana Hafid berada, ia menyusuri jajaran buku, tangannya menyentuh deretan buku tapi matanya
berkeliaran mencari Hafid. Nina bahkan melupakan sahabatnya yang sedang sibuk duduk di bangku
memilih-milih buku untuk dibacanya.
Akhirnya terlihat olehnya seseorang, ia hapal betul postur tubuhnya, tercium olehnya buku-buku usang
yang sudah berwarna kuning dimakan waktu. Dilihat olehnya Hafid sedang berbungkuk mencari buku-
buku dalam sebuah kardus-kardus yang tersusun, sepertinya buku-buku dalam kardus itu sudah akan
dibuang karena sudah uzur. Terdengar olehnya suara kardus yang tersetuh lengan Hafid dan suara buku
yang disimpannya kembali kedalam.
“Sedang apa kak?” Nina yang tepat di belakangnya siap memperlihatkan senyum termanisnya.
“Oh.. Nina, ini lagi nyari buku. Kata Bapak perpus buku yang kakak cari ada disini. Di tumpukan buku
usang.” Hafid berdiri dan memegang buku di tangannya, buku itu terlihat usang dengan robekkan dan
coretan tak berarti di covernya.
“Sedang cari buku?” Hafid bertanya membuat Nina terkejut harus menjawab apa.
“e..e.. ia lagi nyari novel Kak,”
“suka novel ya? Pernah baca karya NH.Dini?”
Nina menggeleng.
“Coba baca deh, novelnya sederhana tapi menurut Kakak berkesan” Nina mengangguk, lalu Hafid pergi
setelah sebelumnya meminta izin pada Nina.
Walau hanya sekejap pertemuan tadi siang dengan Hafid, ia sudah sangat senang. Entah perasaan apa
itu? ia sedang jatuh cinta. Cinta yang entah keberapa kalinya ia sekarang sedang menjomblo, namun kali
ini berbeda Nina menutup diri dan memendamnya. Tidak ada yang tahu bahwa ia mencintai seorang
ketua OSIS, bukan karena ia malu. Namun ia hanya ingin membuat Hafid terkesan dan akhirnya jatuh
cinta padanya. Cintanya kali ini berbeda, sungguh hanya ia yang tahu. Namun cinta ini memiliki
kesamaan dengan cinta sebelumnya, ia tidak bisa tidur kerena memikirkannya, ia selalu melamun
memikirkannya dan bahkan akhir-akhir ini ia menjadi rajin akibat motif cintanya kepada Hafid, itu
pengaruh jatuh cinta yang bagus. Terang saja Nina merasa sangat bergairah saat belajar akhir-akhir ini,
ia merasa malu jika ia mendapatkan nilai jelek. Hatinya selalu mengira-ngira bagaimana kalau Hafid tau
bahwa dirinya payah dalam hal prestasi di kelas, saat itulah timbul semangat dalam dirinya.
Hafid adalah seorang laki-laki yang sopan dan terlihat cerdas apalagi saat ia berbicara, tidak salah dia
terpilih menjadi ketua OSIS. Ia seorang lelaki yang mudah bergaul dan tidak pilih-pilih dalam berteman.
Perawakannya tinggi dan kurus, dengan senyum yang selalu mewarnai wajahnya.
Jam dinding tua di ruangan tengah berbunyi dua belas kali, namun matanya kini sudah bisa beradaptasi
dengan suasana ditambah secangkir moccacino yang ia buat sendiri. Namun ia sadar ia harus tidur. Nina
mampu terjaga setelah dalam hatinya teringat Hafid, ‘mungkin ia juga sedang belajar’ pikirnya. Tugas
Fisika itu sudah hampir selesai, ia sibuk menghapus, menulis, mengotret dengan banyak sisa-sisa
kotoran penghapus yang sudah menyebar di buku catatannya. Ia menulis jawaban terakhirnya,
merapihkan peralatan tulis dan buku catatannya lalu memasukannya ke tas. Nina mengambil cangkir
Moccacino-nya dan meneguk minuman Mocca terakhirnya, ia beranjak menuju kamar mandi dan
menggosok giginya. Lalu pergi ke tempat tidur mengistirahatkan diri sambil mengucap doa.
Pagi terasa lain hari ini, entah apa yang akan terjadi. Sesuatu seperti mengganggu hatinya namun
apakah itu? ia bertanya-tanya dalam hati. Nina berusaha menghilangkan perasaan itu dan cepat
menyibukkan dirinya dengan berangkat ke sekolah. Pagi itu cerah, matahari bahkan menerangi bumi
sangat awal, kehangatannya menemani angin pagi yang masih berhembus. Nina berjalan menyusuri
jalan gang, baru saja ia turun dari angkot hijau. Biasanya ia melewati gang untuk sampai ke sekolah
walau ada jalan lain yaitu jalan raya utama, kau tahu juga alasannya karena Hafid. Ia selalu melewati
gang ini. Beberapa kali Nina beruntung bisa berjalan bersama atau bahkan hanya saling sapa, ada
kepuasan tersendiri dalam hatinya. Namun pagi ini berbeda, Hafid tidak tampak melewati gang.
Sesampainya di kelas ia duduk di depan, sahabat dan sekaligus teman sebangkunya sudah terlihat
dengan beberapa alat tulis dan catatan di mejanya. Suasana kelas sudah tampak gaduh, Nina baru sadar
karena hari ini ada tugas Fisika. Biasanya ia juga sama dengan teman-teman yang lain, mondar-mandir
sebelum jam masuk mencari teman yang sudah menyelesaikan tugas lalu menyontek jawaban teman
yang baik dan malang. Namun kali ini ia tidak melakukannya, ia sudah berusaha keras sampai tengah
malam untuk mengerjakannya.
“Tugas Fisikanya sudah selesai?” Putri bertanya dengan wajah sayu seperti kelelahan.
“Sudah, aku berusaha keras tadi malam” Nina menunjukkan senyum bangganya.
“Aku sudah berusaha mengerjakan, tapi tidak ketemu hasilnya” Putri menghapus catatan yang ditulisnya
mungkin jawabannya belum tepat. Nina termenung tidak biasanya Putri kali ini kesulitan mengerjakan
tugas pikirnya.
“Sini aku bantu” Nina mendekatkan diri ke arah putri duduk, agar bisa menjangkau catatan dan alat-alat
tulis. Sampai bel masuk berbunyi, suasana menjadi sunyi. Murid-murid terlihat rapi dan sikap taat yang
dibuat-buat karena terihat dari jendela Ibu Mira pengajar Fisika berjalan menuju kelas.
Dentam bel berbunyi, menyuarakan sebuah nada bel yang khas tanda waktu istirahat para murid. Siswa-
siswi disibukkan dengan kesibukkan masing-masing, makan, mengobrol, membaca, mengerjakan tugas
dan lain-lain. Nina dan putri berjalan menuju kantin, mereka berencana membeli beberapa gorengan Bu
Entin yang juga istri penjaga sekolah. Itulah kebiasaan mereka selalu bersama-sama kemanapun, seperti
tidak pernah terpisahkan. Sejak kelas satu mereka selalu bersama, bahkan sampai sekarang mereka
kelas dua selalu saja duduk sebangku. Nina sudah menganggap Putri seperti saudaranya sendiri, dimana
ada Nina pasti disana ada Putri, jika tidak mungkin mereka sedang bertengkar itulah yang dikatakan
teman-teman mereka. Putri lebih dari sahabat baginya, selalu menemani disaat suka dan duka, bersedia
mendengarkan cerita-ceritanya tentang keluarga ataupun tentang pacar-pacarnya. Putri adalah
perempuan yang menarik menurut Nina, ia tertutup dalam mesalah cinta ia bahkan tidak percaya
dengan pengakuan Putri bahwa ia belum memiliki pacar sampai sekarang. Wajahnya cukup cantik
dengan tubuh mungil, rambut panjangnya terlihat sering di ikatnya katanya agar tidak menganggu saat
sedang belajar. Putri orangnya susah untuk ditebak, ia pendiam tapi bersikap tegas dalam mengambil
keputusan, Putri juga terlihat sering membela dirinya dan membantunya dalam mengerjakan tugas yang
dianggapnya sulit.
Mereka duduk di depan Perpustakaan sambil memakan jajanan gorengan, Nina dan Putri saling
berpandangan dan mengobrol kadang tiba-tiba mereka tertawa bersama mengingat pelajaran fisika
tadi, ada kejadian menarik. Bu Mira tiba-tiba mengatakan akan mengadakan ulangan, tadi. Sontak siswa-
siswi protes dan tidak setuju dengan keputusan Guru Fisika itu. Namun bukan Bu Mira namanya kalau
tidak menuai kontroversinya dalam hal mengajar yang terbilang ekstrem, Ibu bilang ‘Ibu sudah pernah
berkata pada kalian, untuk belajar bukan karena hanya ada perkerjaan rumah saja, tapi setiap hari
karena saya akan selalu mengadakan ulangan secara mendadak’. Dengan terpaksa siswa-siswi yang
terlihat pasrah mengeluarkan kertas selembar yang di perintahkan Bu berparas cantik namun terlihat
sangar jika marah, sementara Bu Mira sudah menulis soal-soalnya di papan tulis. Tiba-tiba terdengar
suara ketuk pintu, ternyata seorang guru piket yang menyampaikan ada rapat di ruangan guru, semua
guru harus hadir saat itu juga. Bu Mira berhenti menulis soal di papan tulis, ia lansung mengambil alih
pembicaraan dan berkata bahwa ulangan diundur disaat siswa-siswi sudah berteriak riuh karena lega
untuk sementara mereka selamat. Bu Mira lalu pergi membawa tas dan peralatannya yang menandakan
bahwa rapat akan menghabiskan semua jam pelajarannya di kelas 8C.
Di tengah obrolan yang masih mengarah pada pelajaran Fisika, Hafid dan seorang temannya melintas di
hadapan Nina. Hafid dan temannya melihat dan menyapa ke arah Nina, Nina langsung semangat
menyapa Ketua OSIS pujaannya. Sementara Putri terlihat malu-malu saat Hafid lewat, ia menunjukkan
sikap tidak seperti biasa. Nina bertanya-tanya melihat sikap sahabatnya itu, ‘apa mungkin Putri juga
menyimpan rasa pada Hafid?’ namun pikiran itu ditangkisnya, sahabatnya itu terlalu pemalu untuk suka
pada seseorang pikirnya. Nina juga yakin Putri mengerti bahwa ia menyukai Hafid walau Nina tidak
pernah menceritakan perasaannya itu. Baginya mungkin perilakunya pada Hafid mungkin cukup untuk
membuat Putri paham kalau ia menyimpan rasa padanya.
Bel tanda masuk berbunyi, Nina dan Putri berjalan menuju kelas mereka. Kelas sudah penuh sesak,
teman-teman mereka riuh bercampur ribut seperti kebiasaan istirahat. Tiba-tiba Ketua kelas Nina berdiri
di depan kelas, ia meninggikan suaranya bersiap mengeluarkan teriakannya untuk menghentikan
kebisingan kelas.
“Mohon perhatiannya..” Kata Johar dengan nada bijaksana yang sepertinya ia buat sebulat mungkin.
Seisi kelas langsung menghentikan kesibukkan mereka, suasana kelas menjadi hening. Mereka sudah
siap menerima informasi yang akan disampaikan Sang ketua kelas.
“Hari ini, kalian di bubarkan. Karena ada kepentingan rapat para guru, tapi kalian harus tertib dan jangan
ribut” Johar lalu melangkah maju menuju tasnya, sepertinya ia akan segera pulang. Teman-teman yang
lain juga begitu, mereka senang karena dipulangkan lebih awal. Sebagian siswa sudah meninggalkan
kelas sementara yang lain masih dalam kesibukkannya, mereka biasa berdiam dulu dalam kelas
merapihkan pakaian seragam mereka atau berdadan terlebih dahulu sebelum pulang. Nina mengambil
cermin dari tasnya, ia memperhatikan wajahnya barang kali ada kotoran menempel pada wajahnya.
Sementara Putri hanya berdiam diri memperhatikan Nina dan menunggunya selesai sebelum akhirnya
mereka pulang menuju gerbang sekolah.
Putri menggeser kursinya lebih dekat dengan posisi Nina yang masih asyik bercermin.
“Nin aku mau cerita, boleh?”
“Boleh” Nina mengangguk, lalu memberikan senyum ke arah putri.
“Tapi ini rahasia” Putri melirik-lirikan matanya ke arah teman-temannya yang masih cukup banyak
dalam kelas namun tampak tidak terlalu memperhatikan mereka berdua. Nina lalu mengangguk
meyakinkan sahabatnya agar mempercayainya menyimpan rahasia apapun padanya. Nina menduga-
duga, kira-kira rahasia apakah yang akan Putri ceritakan padanya, baru kali ini Putri bermain rahasia-
rahasiaan biasanya ia yang selalu seperti itu.
“ini tentang Hafid” jantung Nina terasa berhenti saat mendengar nama itu terucap dari mulut
sahabatnya yang kalem itu. Nina menghentikan kegiatannya bercermin, kini ia tertarik dengan ucapan
Putri.
“Dia nembak aku tadi malam” Nina terlihat kaget mendengarnya, terucap di bibirnya kekagetan itu
seakan tidak percaya perkataan sahabatnya. Putri kini terlihat menunduk mungkin malu
memperlihatkan wajahnya yang merah pada Nina. Ekspresi Nina jadi tidak karuan, ia berusaha mengatur
napasnya, hatinya seperti sakit tertekan entah oleh apa. Ada beban di hatinya yang begitu perih terasa.
Apa yang terucap dari mulut Putri sulit untuk ia cerna dalam pikirannya. ‘Hafid nembak Putri’ hatinya
terasa amat perih mendalam, matanya mulai berkaca-kaca tapi ia berusaha agar Putri tidak
memperhatikannya. Ia tahu Putri ingin mengabarkan kabar gembira ini padanya, Nina sudah pernah
mendesaknya agar ia mempunyai pacar. Dan kini ada seseorang yang mengatakan cinta padanya,
seharusnya sebagai sahabat ia harus ikut senang merasakan kebahagian sahabatnya. Walaupun orang
yang dicintainya yang menembak sahabatnya, walau kenyataan ini memang perih ia harus siapa
menerimanya. Ia mencoba menabahkan hatinya terlihat Putri masih menyembunyikan wajahnya
menunduk lalu tersenyum-senyum tanda bahagia di hatinya.
“Lalu bagaimana jawaban kamu?” Nina akhirnya bisa berucap walau ada sesuatu yang berat meganjal
dadanya.
“Aku ingin minta pendapatmu” Putri lalu memegang bahu Nina, Nina terlihat agak gemetar walau ia
dengan susah payah berusaha tabah.
“Me.. menurutku ia baik, Ketua OSIS lagi, terima saja Put,” Nada bicara Nina mulai gemetar ia menahan
air mata yang mulai berembun menyelimuti matanya, napasnya terasa mulai tidak beraturan, mengapa
begitu sakit pikirnya.
“Baiklah, aku akan bilang malam ini jawabannya” Putri tersenyum terlihat sangat bahagia, baru kali ini
Nina melihatnya begitu sangat bahagia, ia sadar bahwa sahabatnya itu sedang jatuh cinta.
“Put, aku duluan ya, soalnya ada perlu disuruh jemput adik” Nina beranjak dan mengambil tas
selendangnya dengan tangan yang masih gemetar, rasa sakit di hatinya tidak dapat terbendung lagi.
Matanya sudah berkaca-kaca dan seperti tidak dapat terbendung lagi oleh kelopak matanya, mana
mungkin di tengah kebahagian sahabatnya ia berkata jujur tentang hatinya. Rasanya juga percuma
untuk mengatakan itu, buktinya Hafid sebenaranya mencintai sahabatnya, Putri. Wajah Putri masi
berseri-seri karena senang, ia mengangguk mengizinkan Nina untuk pulang duluan.
“Aku akan cerita besok ya Nin” Putri berteriak saat Nina akan segera melewati pintu, ia menoleh
sebentar dan memberikan anggukan kepada sahabatnya itu.
Nina bingung harus kemana ia pergi, tidak mungkin baginya menangis sepanjang perjalanan pulang
menggunakan angkot. Ia berjalan menuju toilet menggantung tas selendangnya dan mengambil sapu
tangannya, ia menghapus air matanya walau terasa sia-sia, air mata yang sempat tertahan tadi mengalir
deras, rasa perih itu makin nyata. Ia rasa lututnya lemas, beban di dadanya semakin berat saja, sebegitu
besarnyakah rasa cintanya pada Hafid sehingga seperti ini rasanya. Nina sadar bahwa cintanya telah
bertepuk sebelah tangan. Ia berusaha menghibur dirinya sendiri, bahwa dirinya patut senang karena
kebahagian sahabatanya. Ia juga harus yakin bahwa Putri adalah yang terbaik bagi Hafid, ia cantik, baik
dan pintar sementara dirinya terkenal di kelas sebagai anak yang sering mengganti-ganti pacarnya
terlebih selama ini Nina belum menunjukkan prestasinya di kelas. Sedangkan Putri adalah seorang siswi
pandai yang tidak pernah absen masuk lima besar di kelas. Nina menyadari kesalahan-kesalahannya ia
terlalu banyak berbuat sewenang-wenang pada adik kelas, dan merasa paling senior. Ia merasa
beruntung memiliki sahabat seperti Putri yang bisa membatasi pergaulannya walau terkadang ia sering
mengabaikannya untuk berkumpul dengan anak-anak yang terkenal kerena kecantikannya dan exisnya
di sekolah. ‘Putri adalah seorang yang terbaik untuk Hafid, seharusnya aku bahagia’ pikirnya. Ia
menghapus air matanya yang mengering dengan tisu basah dari tasnya. Hatinya sudah membaik
sekarang. Rasa perih itu mulai berkurang, hatinya mulai bisa menerima. Ia membasahi kedua matanya
yang terlihat bengkak karena menangis, lalu mengusapnya dengan saputangan, ia lalu keluar dari toilet.
Sebelumnya ia melihat-lihat barang kali ada orang yang akan melihatnya bila ia keluar. Tapi ternyata
seisi sekolah sudah sepi, yang terdengar hanya suara kepala sekolah yang sedang memimpin rapat di
ruang guru, Nina keluar dengan mata yang terlihat merah dan bengkak.
Ia berjalan menyusuri kelas di lorong menuju Perpustakaan, ia teringat lagi oleh Hafid lalu ia buang
pikiran itu jauh-jauh. Ia masuk ke Perpustakaan untuk mengembalikan buku referensi Fisika yang ia
pinjam kemarin saat ada Hafid, dan tentunnya sebelum kejadian ini.
Ia mengisi daftar pengunjung, Bapa penjaga Perpus yang rambutnya sudah dipenuhi uban itu
memandangnya aneh karena Nina terlihat berantakan dengan mata seperti kemasukan air, bengkak.
Untung Bapa Perpus tidak bertanya apa-apa, Nina lalu duduk di bangku Perpus. Ia memutuskan
mengistirahatkan dirinya sebentar sebelum pulang. Teringat olehnya bahwa Putri akan bercerita tentang
Hafid saat ia menjawab cintanya besok, ia harus siap dan melupakan Hafid. Ia juga sadar bahwa ia harus
mengubah sifatnya mulai sekarang, ia bertekat untuk fokus belajar untuk membahagiakan kedua orang
tuanya. Ia sadar bahwa selama ini banyak membuat orang tuanya sedih karena ia sering membuat ulah
di sekolah, bertengkar dengan adik kelas ataupun karena nilainya yang kurang dari ketuntasan beberapa
mata pelajaran. Di meja tempat ia duduk terlihat sebuah buku novel yang tergeletak tak jauh dari
jangkauannya, ia lalu mengambilnya, di cover novel tersebut tertulis, ‘Padang ilalang di belakang rumah
karya NH.Dini’.
2008 di Pinggir Selokan
Cerpen Dewi Lestari

Pagi menjelang siang tadi, anak laki-laki saya, Keenan, tiba-tiba menarik tangan saya dan
menggiring saya menuju sendal capit yang terparkir di teras depan. Saya sudah hafal aktivitas
yang dia maksud, sekaligus rute perjalanan yang menanti kami. Inilah acara jalan kaki yang
kerap ia tagih, yakni satu kali putaran ke jalan belakang dimana tidak ada rumah di sana, hanya
tanah kosong berilalang tinggi. Jalan itu menurun dan curam, berbatu-batu besar dan banyak
dahan berduri di pinggir kiri-kanan.

Terakhir kami berjalan ke sana, kaki Keenan sempat luka karena tersobek duri, tapi entah
mengapa ia selalu memilih jalur yang sama. Sejak sebelum kami berjalan kaki, saya sudah
mengamati pagi pertama tahun 2008 ini. Langit yang berawan, angin yang bertiup kencang, dan
meski matahari bersinar cukup terang dan terlihat angkasa biru di balik timbunan awan, saya tak
bisa mengatakan bahwa ini pagi yang cerah. Masih terasa jejak mendung peninggalan hujan
semalam. Kendati demikian, pagi ini pun tak bisa disebut pagi yang mendung. Sambil berjalan,
saya merenungi kesan-kesan saya mengenai pergantian tahun kali ini. Ada keinginan kuat untuk
menuliskan sesuatu, semacam refleksi dan sejenisnya. Tapi saya tak tahu harus memulai dari
mana, harus menulis apa.

Yang ada hanyalah keinginan menulis, tapi tanpa konten. Sejujurnya, alam pagi hari ini cukup
mewakili apa yang saya rasakan. Saya melewati pergantian tahun ini dengan 'bu-abu'. Tak
melulu berspiritkan optimisme dan positivitas, tak juga melulu pesimistis dan negativitas.
Semuanya hadir bersamaan dengan kadar yang kurang lebih seimbang, sehingga rasa yang
tertinggal di batin saya adalah... netral dan datar. Berbeda dengan kebiasaan saya, terutama di
usia 20-an, yang selalu rajin bahkan mensakralkan kebiasaan menulis resolusi, evaluasi,
pengharapan dan impian, kali ini saya tak berbekalkan apaapa. Tak ada resolusi, tak ingin
mengevaluasi. Harapan dan impian, yang biasanya kita bawa layaknya tongkat estafet dalam
pacuan panjang bernama hidup ini, kali ini bahkan absen dari tangan saya. Cengkeraman jemari
saya rasanya tak cukup kuat untuk itu. Bukannya kedua hal itu tak ada, tapi malas rasanya
menggenggam. Yang ada hanyalah langkah demi langkah kaki di jalanan berbatu, bertemankan
suara gesekan ilalang dan terik matahari yang kian menggigit tengkuk.

Keenan pun menolak digenggam. Dengan semangat, ia berjalan dengan gagah berani tanpa mau
saya gandeng. Ia sibuk mengumpulkan batu-batu yang pada akhir perjalanan kami akan
dicemplungkannya satu demi satu ke selokan. Dengan kedua tangan penuh bongkah batu, ia
berjalan sedikit di depan saya. Tepat di turunan curam, tiba-tiba ia tergelincir dan jatuh
menengadah. Seketika ia menangis, kaget bukan main. Semua batu di genggamannya lepas.
Cepatcepat saya meraih dan memeluknya. Saya melihat sekeliling, betapa banyak batu besar
yang bisa saja menjadi landasan kepalanya saat jatuh tadi. Saya pun menyadari perjalanan kecil
ini bisa jadi perjalanan yang berbahaya. Sambil terisak, Keenan mengucap sendiri, "Tidak apa-
apa... Keenan tidak apa-apa." Dan entah mengapa, respons saya padanya adalah, "Ya, tidak apa-
apa. Keenan sekali-sekali harus tahu rasanya jatuh." Lalu kami berdua meneruskan perjalanan.
Tak sampai tiga langkah, ia sudah minta turun lagi dari gendongan saya.
Kembali berjalan sendiri, memunguti batu-batu baru, yang pada akhir perjalanan kami
dicemplungkannya satu demi satu ke selokan. Saya menunggui Keenan berupacara di pinggir
selokan sambil merenungi perjalanan kami pada pagi hari pertama tahun 2008 ini. Akhirnya saya
mendapatkan sebuah 'pesan'. Terlepas dari kepercayaan kita pada sosok Tuhan personal maupun
impersonal, semua dari kita setidaknya pernah merasakan hadirnya sebuah kekuatan, energi
agung, atau apapun itu, yang tak luput menemani setiap langkah perjalanan hidup kita. Saat kita
asyik berjalan, mengumpulkan segala sesuatu yang kita ingin raih, kita tak terlalu menghiraukan
kehadiran 'sesuatu' itu. Namun saat kita tergelincir dan terenyak luar biasa, segala sesuatu yang
kita cengkeram pun lepas.

 Tangan kita kembali kosong. 'Sesuatu' itu akhirnya punya kesempatan untuk muncul dan
menyeruak, meraih tangan kita yang sedari tadi sibuk menggenggam. Lama atau sekejap kita
didekap, selama perjalanan ini belum usai, tak urung kita akan kembali melangkah.
Mengumpulkan kembali pengalaman demi pengalaman yang kita perlukan. Sambil berjongkok
di pinggir selokan, saya merenungi 'batu-batu' yang selama ini saya genggam. Besar-kecil, jelek-
bagus, semua itu saya kumpulkan karena itulah yang saya perlukan. Jika hidup adalah siklus
berputar dalam satu pusaran, cukup relevan jika saya menganalogikannya dengan trayek yang
saya tempuh hampir setiap hari bersama Keenan itu. Jalanan berselimut batu, yang meski begitu
sering saya jalani, tak pernah saya tahu batu mana yang akan saya genggam berikutnya, dan batu
mana yang akan saya lepas sesudah ini.

Tak pernah juga saya tahu, kapan saya akan tergelincir dan terpaksa melepaskan semua yang
selama ini erat digenggam. Sekalipun tahun baru ini saya songsong tanpa resolusi dan evaluasi,
ada satu keyakinan yang mengiringi langkah saya pulang ke rumah pagi ini. Jika batu dalam
genggaman tangan saya lepas, berarti sudah saatnyalah ia lepas. Jika perjalanan ini belum usai,
maka kaki ini meski lelah dan penat akan kembali terus melangkah. Jika saya tergelincir nanti,
maka sesuatu akan menyeruak muncul dari kekosongan, meraih tangan saya yang hampa dan
kembali membawa saya bangkit berdiri.

Saya tak ingin memberinya nama. Saya tak ingin menjeratnya dalam sebuah identitas. Yang saya
tahu, saya bersisian dengannya. Seperti partikel dengan gelombang. Seperti alam material dan
imaterial. Sedikit batu atau banyak batu, melangkah cepat atau lambat, tergelincir atau
terjerembap, ia berjalan seiring dengan napas dan denyut saya. Ia membutuhkan saya sama
halnya dengan saya membutuhkannya. Dan hanya dalam keheningan, kami berdua hilang. Dalam
keheningan, kami bersatu dalam ketiadaan. Mendadak, adanya resolusi atau tidak, bukan lagi
satu hal signifikan. Mendadak, hari ini menjadi hari yang sama berharganya sekaligus sama
biasanya dengan hari-hari lain.

Anda mungkin juga menyukai