Anda di halaman 1dari 5

saat Pak Pos tiba pagi-pagi di depan pintu. Ia dari sepuluh senti.

Aku pegal membacanya, mengantarkan bingkisan besar. Sebuah lukisan tapi juga merasakan sensasi luar biasa. Kamu berjudul 'Prosa Perjalanan'. Di sudutnya, ada memuja-muja lukisanku menyebutnya mirip kartu kecil bertuliskan: goresan Vassily Kandinsky. Ada tahun-tahun yang mengubah diri menjadi tangga "Selamat ulangtahun, Adik Manis/Panjang usia, "Kamu sungguh berbakat, Adik Manis!" tulismu. Setiap kali kita melangkah, setiap kali ia tengadah bahagia, pintar, dan bijaksana/Kado ini hanya Dan, dadaku serasa pecah. Sajak Raka'at, Kurnia Effendi, 2001bayang-bayang/Bandung, Juli 1988." Lantas, Chapter 2: ada tanda tanganmu, ada stempel KKN-Unpad Chapter 1: Lukisan Cinta Kita 1988 di baliknya. Sepanjang Braga Aku bahagia benar menerimanya. Antara Ketika aku menginjak bangku kuliah, percaya dan ragu, inilah kenyataan itu. Kamu, Aku tidak tahu apakah harus menyesal atau kutemukan hubungan kita dalam bentuknya pelukis muda yang diperhitungkan di negeri ini, tidak. Tapi nyatanya, dibutuhkan waktu yang paling manis. Tiba-tiba saja aku merasa melukis khusus di tengah kesibukan KKN, sepuluh tahun dan seratus buah lukisan untuk bahwa tidak ada gunanya pacaran. Buat apa? hanya untuk menandai ulangtahunku. Ini kado akhirnya membuat aku sadar. Aku memiliki seorang kakak yang sangat baik, istimewa menurutku, tapi anggapan itu "Anda suka?" Pengunjung di sebelahku yang memperhatikanku sedemikian rupa. Yang kukubur rapat-rapat di batin. mengawasiku. surat-suratnya menenteramkan. Yang "Ia kakak yang baik," berulang-ulang aku harus "Aku? Ah... ya!" Suaraku baur, ada keraguan mengirimi aku doa seperti sarapan pagi. meyakinkan Dhani. dan keterkejutan. Kupikir, terlalu lama aku "Jangan sakit, ya! Jangan bikin Mas khawatir. Berkali-kali, ia tampak demikian ingin terpaku. Salam sayang dari jauh." Kamu selalu mendengar aku bercerita banyak tentangmu. "Lukisan ini memang bagus!" Nadanya mengakhiri surat dari Bandung dengan kalimat Ia cemburu. Aku sahabatnya, yang tidak menyerupai gumaman. yang kurang lebih sama. lebih baik dan cantik dibanding dia, Aku mengangguk tercekat. Lantas kurasakan Aku merasa tidak harus membayangkanmu mendapatkan kado khusus dari seorang pelukis langit dalam lukisan membagi tempias hujan, terus-menerus. Berkali-kali aku disergap rasa ternama. Aku pikir, aku bukan pengidap mengiris dingin. Gigil menyergap. malu bercampur ragu. Berkali-kali aku megalomania. Maka selalu saja kuendapkan "Pakailah jaket!" Kudengar suaramu dari masa merasakan sensasi setiap usai membaca sensasi dalam-dalam. Aku berjanji untuk tidak lalu. suratmu. Ini tidak adil. Aku telah meletakkan membagi pengalaman batinku pada Dhani, "Aku nggak dingin kok!" Tapi kukenakan juga bayanganmu dengan hati-hati pada pojok hati juga pada siapa pun. jaket biru milikmu. Kamu membantu terdalam. Seolah-olah engkau demikian dekat Aku punya alasan untuk tidak sekadar memasangkan topi. dan istimewa. Padahal bisa saja surat demikian memancing cemburu Dhani. Di SMA kami, Dan kemudian, di bawah gerimis yang berbeda dengan kenyataannya. Kamu pelukis mendapatkan tanda tangan seorang artis menusuk, kita susuri Jalan Braga. terkenal, aku hanya seorang gadis kecil yang penyanyi saja, bangganya bukan main. Aku Ya, seperti juga mungkin harapanmu, bagiku, kebetulan menyukai lukisan mungkin salah hanya malu membayangkannya. Malu pada diri peristiwa itu perjalanan mimpi. Ratusan satu dari sekian penggemarmu. Apalagi sendiri. Bayangkan, aku tidak mengenal kamu, almanak berguguran, dan sepanjang musim menurut Dhani, seniman pada umumnya selain melalui; foto dan berlembar-lembar aku hanya bisa menyebut namamu dengan romantis Dhani selalu mimpi memiliki pacar surat. Waktu itu, seperti juga Dhani, aku sejumlah ragu. seorang seniman. mengagumi beberapa lukisanmu yang kutemui "Kamu mengenalnya?" Dhani, sahabatku di Karenanya, pada liburan kuliah, aku tidak bisa pada sebuah pameran di Jakarta. Lantas, SMA sempat menatapku tak percaya ketika aku menahan diri untuk tidak terbang ke Bandung. sepulang ke Makassar setelah liburan sekolah sedikit bisa bercerita tentangmu. Sebagai Dan di sinilah kita, di bawah ruas hujan yang itu, kukirim surat ke alamatmu. Disertai lukisan pengagum berat karya-karyamu, ini 'kejutan tajam mengilat, di sepanjang Braga. sederhana. Aku merasa sedikit bisa melukis besar' bagi dia. "Entah kenapa, Braga senantiasa menjadi dan kini menyatakan niat besar untuk belajar Dan aku mengangguk, ragu. Bukankah kamu obsesiku. Setiap menyusuri Braga, aku selalu banyak padamu. selalu menyebutku 'Adik Manis'? merasakan suatu ekstasi, menemukan Tak dinyana, engkau membalas dengan surat "Ia... ia kakak yang baik!" dorongan kuat untuk terus melukis," katamu. panjang. Benar-benar panjang, ada mungkin Sangat baik, kupikir. Aku tidak bisa melupakan Barangkali Braga memang punya magis buat semeter. Meskipun lebar kertasnya tak lebih

kita. Kamu dan aku betah menghabiskan Lukisan berikutnya berjudul 'Kayu Bengkoang'. Barangkali juga karena jarak kita jauh. Atau, hampir seluruh siang dan malam di Braga. Sebuah tenda kakilima yang menyajikan karena aku tidak pernah berani memberikan Menikmati sekoteng, mendengarkan Braga seafood di pesisir Losari, Makassar. Ada dinding tempat bagi pikiran yang ingin mencoba Stone, mencermati sejumlah kerajinan tangan, toko yang menjulang di kiri-kanannya. Mejamenganggapmu lebih dari seorang kakak. mencuri baca di toko buku, menongkrongi meja diletakkan memanjang. Pada salah satu Nyatanya, tidak semua cerita cinta itu mulus. kakilima, dan terus menyusur ke ujung: bangku belakang kita pernah mengobrol Ada yang rumit, menurutku. "Kami hampir Gedung Konferensi Asia-Afrika.... berdua, mengais-ngais kenangan yang tersisa bertunangan, tapi akhirnya memilih berpisah. Lalu balik lagi, dan berhenti. Karena gerimis dari Braga. Empat tahun akhirnya seperti sia-sia," tuturku menjelma hujan lebat. Kabut mengental Jauh di belakang hari, saat usiaku nyaris di puncak nyeri. Saat itu kita di 'Kayu menutup sebagian langit Bandung. Lampuduapuluh, Arie teman kuliahku sering Bengkoang', dan kamu menemukan airmata lampu berpendar lesi. Ini malam terakhir, dan menyangsikan, "Belum pernah pacaran?" dalam suaraku. aku harus pulang ke Makassar pagi-pagi esok. Matanya meledek. "Tidak ada yang sia-sia. Setiap persoalan Saat itulah, kamu merangkulku untuk membagi Aku harus bilang apa? Kenyataanya, aku menyembunyikan hikmah," tatapanmu teduh. hangat, dan sebagai tanda perpisahan... memang belum bisa mengidentifikasi seperti "Hanya, kalau boleh Mas tahu, kenapa memilih mencium pipiku di depan toko souvenir yang apa sebetulnya mencintai itu. Sampai suatu berpisah?" telah tutup.... ketika seorang laki-laki jangkung tiba-tiba Naif jika kini aku masih memirip-miripkan Kala itu, dan kini, kurasakan hawa panas berdiri di depan pintu ruang tamu. Ia teman kalian. Karena, ternyata dia yang kukenal menjalari wajahku. Selama sembilanbelas kakakku. Ia juga menyapaku dengan kalimat, demikian cupat dan posesif. Mungkin aku tahun usiaku, itulah kali pertama aku "Halo, Adik Manis!" Dan kurasakan, hawa Braga mencintainya sungguh-sungguh. Tapi tidak merasakan dicium oleh seorang lelaki. Batinku menguar di seputarku. sanggup menjadi bara yang memanaskan ribut. Sementara seluruh ubin yang kuinjak Ia mirip kamu. Setidaknya, kamu dalam tungku kecemasan agar terus menyala. Aku telah menjelma menjadi gurun salju. Peristiwa bayangan idealku. Kalian pun sepantar, tujuh merasa dunia terlalu luas jika hanya dilewatkan itu sepuluh tahun lalu. Tapi tidak pernah lamur. tahun di atas usiaku. Begitu banyak persamaan berdua. Ia abadi dalam kanvas. Lukisan Sepanjang yang kujumpai. Sampai akhirnya aku "Mestinya ada suatu titik temu yang bisa Braga inilah yang menjadi tema pameran memutuskan: aku tidak selamanya harus dicari!" tukasmu. tunggalmu kali ini. Lukisan yang menjadi ledekan Arie. Ya, mestinya.... menggambarkan suasana Braga di bawah Saat itulah kamu mengabariku cerita yang Aku menggigit bibir. Bertepatan dengan itu, guyuran hujan lebat, ketika seluruh cahaya berbeda dari biasanya. "Barangkali aku tengah seseorang menyenggol lenganku, melontarkan menjadi pias, dan sunyi demikian meraja. jatuh cinta sekarang," tulismu. "Kami sudah aku keluar dari pusaran lukisan. Dalam Lukisan yang mengabadikan peristiwa itu: bertemu duapuluhdelapan kali, tapi baru tiga sekejap, 'Kayu Bengkoang' lepas dari seorang lelaki merunduk mencium.... kali berbicara. Cinta platonis?" bayangan. Ketika menoleh kembali, lukisan itu Kutahan ceritaku sendiri tentang sosok telah diam. Kerongkonganku perih. Lalu Chapter 3: jangkung itu. Aku bilang, "Aku senang kurasakan, suhu udara meningkat dalam ruang adik manis! mendengarnya. Mas harus berusaha terus, pamer seiring dengan kian bekunya seluruh nggak boleh nyerah." sendi-sendi tulangku. Pengunjung masuk tanpa Aku membuang pandang dengan batin Hampir satu tahun berikutnya, aku putus. gelagapan, mencari-cari lelaki yang tadi ikut mendapatkan sebuah undangan warna sepia mengagumi lukisan adikaryamu itu. Ia telah yang dikirim dari Bandung, berlatar lukisan. menghilang. Susah payah, aku beringsut, Aku terpana justru bukan karena undangan itu Chapter 4: menjauhi gambar yang nyaris menyulapku dirancang demikian artistik, tapi oleh sebuah Kidung Ungu menjadi arca.... keajaiban cinta. Aku pikir, ternyata demikian "Mengapa masih juga sendiri?" Pada langkah sederhana prosesnya. Jatuh cinta, dan "Aku capek...," kesahku perih. Puluhan lukisan berikutnya, suaramu dari masa lampau kembali kemudian menikah. Tapi aku tidak merasakan berikutnya adalah potongan-potongan episode mengiang. kehilangan. Mungkin karena sosok jangkung yang demikian akrab dengan catatan harianku. Kutelan ludah ketika kurasakan sebuah yang membungkus bayanganmu itu sangat Juga ketika aku harus patah hati untuk kedua pusaran besar kembali menyeretku ke tengah. rajin meronce mimpi dalam tidurku. kali. Dan kamu mengabadikannya dalam

lukisan di bawah judul 'Kidung Ungu'. sendiku serasa makin ngilu. "Apa?" Ia terlonjak. Hanya sekejap. Setelah itu, "Aku capek, Mas!" "Kamu berhak untuk protes!" Kamu mencari pupil matanya yang kebiruan berpendar "Tidak boleh seperti itu! Aku percaya kamu mataku. jenaka. "Sudah nggak cinta hingga maskawin kuat. Kamu harus yakin bahwa begitu banyak Dan ketika kudengar suara Baby, gadis kecil saya mau ditawarkan?" orang yang mengasihimu," tanganmu terulur yang dulu pernah kamu kirimkan potretnya Aku memandangnya takjub. Ia ternyata ingat. menyentuh pipiku. saat masih bayi. Suaranya yang runcing dan Padahal, sepanjang lima tahun, Braga tidak "Aku kehilangan lagi...." riang membelah perhatian, memanggilpernah bergeming dari salah satu ruang di "Tapi tidak semua. Ada yang bahkan manggil ayahnya. Aku menyalaminya, sebelum galeri kami. Diperbincangkan pun tidak. Seolah kehilangan semuanya!" akhirnya kuputuskan untuk segera melarikan aku dan Feliciano sepakat bahwa lukisan itu Aku mencari matamu. Dan kamu mengangguk diri dari tempat itu. sudah bercerita banyak lebih dari apa yang tulus. Lalu, tiba-tiba saja aku ingin menangis di Aku tahu, saat ini kita tidak boleh terlibat lebih bisa kami bahasakan. Ia simbol pertautan hati dadamu.... jauh. Cinta boleh datang dan pergi tanpa harus kami. Aku terus menyeret langkah. Kurasakan saling melukai. Hati manusia mungkin seperti Tapi, bukankah Feliciano selalu antusias seluruh dinding bergoyang. Lampu-lampu jagat raya, yang mampu membagi dirinya mempersoalkan sejumlah dolar atau rupiah benderang. Seluruh wajah dalam lukisan dalam sejumlah dimensi musim. Aku tahu, untuk sebuah lukisan? Siapa tahu selama ini ia seketika menjadi hidup. Aku berlari dari satu kamu bukan tidak sedang mencintai hanya sungkan padaku. peristiwa ke peristiwa berikutnya. Menikmati perempuan yang melahirkan Baby. "Pamerkan saja yang lain. Kamu tahu, Andrew tawa, canda, dan airmata. Sampai akhirnya Kalau ada hal yang patut kusesali saat ini, berani menawar sangat tinggi untuk Affandi seluruh warna-warni mengalami konvergensi, satu-satunya adalah: mengapa hanya untuk dan Arie Smith yang kita beli di Balindo tempo membentuk episode yang utuh. Aku menumbuhkan sebuah kesadaran tentang hari.... " mendengar suara-suara masa lalu kian nyaring cinta, mesti diperlukan waktu sepuluh tahun "Aku...," kerongkonganku panas. "Aku hanya memanggil. Aku terseret lagi ke tengah dan seratus buah lukisan? bermaksud menandai lima tahun pernikahan pusaran, terengah, dan akhirnya tersesat pada kita. Bukan untuk dijual...." Apapun yang Chapter 5: lukisan keseratus. Pada lukisan terakhir itu, terjadi, lukisan itu tidak akan pernah kujual! Sketsa Cinta Di Braga kutemukan garis wajahku yang utuh. Di Sesaat ia terkesima. Tapi jenak berikutnya ia bawahnya terdapat coretan: seluruhnya memelukku sembari bergumam. "Bagaimana Semula, pikiranku sangat sederhana. Seratus kudedikasikan padamu. Adakah yang melebihi jika ada yang menawar?" Jemarinya menyusup lukisan Sepanjang Braga yang dipamerkan di kekuatan dan dorongan untuk berkarya, kecuali lembut ke rambutku. "Tapi, terserah kamu. Galeri Soemardja itu aku minta dipindahkan ke cinta? Lukisan itu milikmu. Meskipun, buat aku, galeri keluargaku. Atas nama cinta, tidak ada Kurasakan tubuhku bergetar hebat. lukisan itu sungguh berarti...." yang sulit untuk seorang Feliciano yang Gigil tak menyiasakan sedikit pun ruang yang Aku menggigit bibir, terasa pahit. Sementara di ditakdirkan menjadi kaya sejak dalam buaian. bisa menyodori hangat. Tapi, leherku luar, hujan menenggelamkan subuh. Melalui "Jika itu yang membuatmu bahagia," bisiknya melelehkan peluh. Dan, tiba-tiba aku gorden yang tersingkap, aku menyaksikan dalam bahasa Indonesia yang sempurna. mengendus aroma Braga yang kental. Aku rimbun air menempel dan meluruh di kaca Masalah kita selesai? Ternyata tidak. Padahal, merasakan suatu ekstasi ketika jendela. Aku menyurukkan kepala lebih dalam. peristiwa itu lima tahun silam. Feliciano bahkan membayangkan kembali rengkuhanmu di Balik memeluknya erat. Di sudut mata, mungkin lupa bahwa seratus lukisan itu sepanjang jalan, merasakan ciumanmu.... kurasakan ada sebutir embun tersesat. dulunya adalah sebuah maskawin. Ia bukan "Terima kasih karena kamu mau datang...," Chapter 6: kolektor yang baik meski ia berburu lukisan pemilik seratus lukisan itu kamu tiba-tiba Kenangan Di Sudut Galeri hingga ke seluruh penjuru angin dan telah berdiri di hadapanku. mengoleksi sedikitnya satu dari lukisan para "Aku...," seluruh jemariku basah dalam maestro. Ia lebih tepat disebut investor Semula, pikiranku sangat sederhana. Seratus genggaman. adrenalinnya terpacu setiap kali mendengar lukisan Sepanjang Braga yang dipamerkan di "Mas mohon maaf karena menggelar pameran kabar tentang lelang lukisan. Kecuali... ya, Galeri Soemardja itu aku minta dipindahkan ke ini tanpa seizinmu...." kecuali menyangkut percakapan subuh itu. galeri keluargaku. Lalu, engkau akan Aku menggeleng-geleng. "Aku...," "... aku ingin memamerkannya, Honey!" kehilangan bentangan episode Braga. Risalah kusembunyikan mataku yang merebak. Sendi-

kita berakhir. Seperti buku yang terkatup rapat. Dan kusambut dengan sukacita. Engkau kemudian akan menggoreskan lukisan Tapi itu dulu. Entah dari mana datangnya, tibabaru bersama Chiara, dan aku menjemput tiba aku menyadari ada hari dimana engkau impian hari esok bersama Feliciano. menghilang dari komunitas pelukis. Mungkin Ternyata tidak sesederhana itu. Karena sejak sejak Sudjana Kerton memamerkan 'Di dalam peristiwa itu, hujan kenangan justru menderas Oplet' di Galeri Cemara, Agustus 2001 di salah satu sudut galeri. Tempat itu hanya pameran pertama yang kukunjungi setelah berjarak lima meter di seberang pandangan. menikah dengan Feliciano. Atau bahkan Feliciano membangunnya maksudku sebelum itu. merenovasi dan memperluas galeri hanya Yang jelas, beribu hari setelah kesadaran itu, sebulan setelah kami menikah. Dan ia menata aku tidak bisa menahan diri. Meski bersama Sepanjang Braga pada ruangan terdekat dari Feliciano, aku melakukan kembara diam-diam kamar tidur kami ruang yang terletak pada mengais jejakmu. Nyaris tidak ada sudut kiri belakang dari keseluruhan ruang undangan pameran yang terabaikan. Dari pamer dengan sebidang dinding menghadap Bentara Budaya ketika Nyoman Erawan kamar yang sepenuhnya terbuat dari kaca. menggelar 'Pralaya' hingga Musium Bank "Aku ingin seratus lukisan itu bisa kamu Indonesia ketika CP Bienalle 2005 'Urban nikmati kapan saja kamu mau," tuturnya. Dan Culture' yang menghebohkan itu digelar. aku mendengar gemuruh di dadaku. Barangkali saja wajahmu menyembul di antara Ya, kenangan itu selamanya menderas. rupa seniman, atau di antara pengunjung. Feliciano sesungguh cinta mengembalikan Tapi sia-sia. Jejakmu tak berbekas! Sampai jejak langkah kita ke dalam genangan hari perih mataku. Sampai perih jiwaku. lampau. Setiap kali menghikmati Braga, tanpa Apakah engkau sembunyi dalam basah luka? mampu kucegah, jiwaku mengapung, atau Hingga engkau tak lagi kuasa sekadar hanyut, bersijingkat, dan melompat-lompat. menghirup aroma cat.... Menarikan luka.... apakah aku terluka? "Aku hanya ingin memberi tahu bahwa Entahlah. Hanya, aku selalu merasa ada getar Sepanjang Braga sudah menjadi milikku. batin yang selalu gagal kuurai. Siapa Seluruhnya, Mas! Feliciano membelinya sesungguhnya kamu bagi jiwaku? Dan siapa untukku, sebagai maskawin, atau kami tidak Feliciano bagi hidupku? Apa begitu sulit pernah menikah!" membenamkan kenangan kita ke sarang waktu Itu rahasia yang kuungkap lebih dari lima menganggap Sepanjang Braga tidak lebih tahun silam di hari terakhir pameranmu. Aku seperti lukisan-lukisan lain? Bukankah hari ini tahu, petugas galeri itu hanya bercerita: dan esok adalah milik Feliciano? Tidakkah hari seorang warga asing memborong Sepanjang kemarin cukup bagi kita berdua? Tidak ada Braga di hari pertama pameran. yang salah dan keliru dalam diri lelaki Filipina- Tapi aku... aku tidak pernah bermaksud Perancis yang kupilih sebagai pendamping memberangus jiwamu! Sedikit pun aku tidak hidupku itu. Ia mencintaiku sepenuh jiwa. pernah berharap bahwa engkau akan berhenti Bukankah itu lebih dari cukup? melukis setelah peristiwa itu. Bukankah kita "Besok malam ada pembukaan pameran di pernah sepakat untuk tidak saling melukai? Galeri Maxima. Ikut?" Bukankah.... Lihatlah, mata birunya senantiasa memancar "Honey, sepertinya, pameranmu bisa hangat. Feliciano tahu persis kalau aku begitu terselenggara. Caesar Palace Bandung kosong mencintai lukisan. pada hari yang kamu rencanakan." "Pameran siapa?" "Really?" Aku terlonjak. "Bambang Prasadhi." Feliciano mengangguk. Aku memeluknya

senang. Di belakang punggungnya, mataku berkabut. Chapter 7: Kayu Bengkoang Semula, pikiranku sangat sederhana. Seratus lukisan Sepanjang Braga yang dipamerkan di Galeri Soemardja itu aku minta dipindahkan ke galeri keluargaku. Dan karena kini ia milikku, aku bebas memamerkannya kapan saja dan di mana saja sesuka yang aku mau. Mungkin aku keliru memilih tempat. Mengapa harus di Bandung? Mengapa pula harus di jalan Braga? Seolah aku sengaja membaringkan kenangan di ranjang keabadian. "Lukisan ini sangat bagus," seseorang yang kukenal sebagai salah satu manager Caesar Palace bergumam di sebelahku. "Anda... suka?" Lukisan yang hendak digantung itu nyaris terlepas dari tanganku. Lukisan yang menggambarkan suasana Braga di bawah guyuran hujan lebat, ketika seluruh cahaya menjadi pias, dan sunyi demikian meraja. Lukisan yang mengabadikan peristiwa itu: seorang lelaki merunduk mencium.... Jiwaku seketika gemetar. "Harganya berapa ya, Bu?" Ia bertanya serius. "Ngnng ...," suaraku gelagapan. "Tidak dijual!" Ia terperangah, setengah bingung. Sementara aku tiba-tiba merasa diserang migrain. Apakah nanti setiap pengunjung bertanya demikian? Tidak ada price-list di katalog.... Dengan gugup, aku menyapu aula sekali pandang. Di sudut, Feliciano masih mengawasi penataan lukisan sembari berbincang dengan kurator kami. Masih tersisa banyak waktu sebelum pameran dibuka. Tiba-tiba aku ingin lari.... "Aku lapar, mau cari camilan," dan Feliciano mengangguk tersenyum. Dan, di sinilah aku memelihara gelisah. Di Braga Permai. Di salah satu pojok kafe. Hanya ditemani segelas orange juice dan sepotong tiramisu. Alangkah sepi. Serupa kesepian yang menghantu Braga di ujung malam. Ketika kita

memuaskan pertemuan terakhir berabad silam, dan keloneng becak yang melintas tinggal sayup-sayup. Di luar kafe, sore makin menyusut. Menyadari gerimis turun lagi, aku merapatkan scarf. Tapi udara yang dingin mengendapkan gigil di batin. Aku meremas tisyu, menghalau gelisah. Entah kenapa, bagiku, rinai hujan selalu menghantar rahasia pengembaraan. Tiba-tiba saja kudengar langkahmu dari masa lalu. Mengetuk-ngetuk trotoar sepanjang Braga, dari ujung ke ujung. Tanpa jemu. Seolah tak akan ada lagi malam di Braga sesudah itu. "Jangan pulang dulu. Tinggallah di Bandung sehari lagi...," suaramu yang bergetar mengiris sunyi. "Aku janji, aku akan datang lagi...." Apakah kini engkau juga akan datang? Kuusap mataku. "Sepertinya ibu menunggu seseorang?!" "Aku...," jiwaku terkesiap. Di depanku, pelayan kafe berdiri takzim. "Ada yang mencariku?" Semangatku memijar. "Belum...." Kutarik napas. Mataku kini tak sekadar hangat, tapi perih. "Ia mungkin tidak jadi datang...." "Mungkin sebentar lagi," ia berusaha menghibur. "Minumnya mau ditambah?" "Ng... tidak. Terima kasih," aku berkemas. Apakah kenangan itu kini tak bernama? Sementara seluruh episode Braga episode cinta yang tak pernah sampai tengah utuh mengisahkan diri di Caesar Palace. Jika engkau pemilik sejati Braga, akankah engkau datang? Bukankah aku telah memanggilmu? Melalui pengumuman di suratkabar. Melalui wawancara di televisi. Mustahil kamu tidak mendengarnya. Kecuali jika kini kamu buta dan tuli. Chapter 8: Braga Adalah Cinta

Semula, pikiranku sangat sederhana. Seratus lukisan Sepanjang Braga yang dipamerkan di Galeri Soemardja itu aku minta dipindahkan ke galeri keluargaku. Dan karena kini ia milikku, aku bebas memperlakukannya sesuka yang aku mau. Termasuk melelangnya! Tapi, apakah harus setergesa ini? Meski engkau tak datang, aku belum seputus asa yang kau bayangkan. Aku masih menyimpan harapan. Tapi, lukisan itu.... Ya, Allah! Apa yang terjadi?! Setengah tak percaya, kupandangi Sepanjang Braga satu demi satu. Semua telah diberi tanda bulatan merah sold. Tanpa kecuali. Duniaku seketika runtuh. Siapa yang memborongnya? Apakah engkau balas dendam? Seperti kesetanan, aku terbang mencari Feliciano. "Braga...," bahuku beguncang hebat. Perasaanku terburai. "Kenapa aku nggak diberitahu?" Apapun yang terjadi, lukisan itu tidak akan pernah kujual! Tangisku jebol. Feliciano meloncat dari tempat tidur. Direngkuhnya tubuh ringkihku. "Aku terpaksa melakukannya...." Aku mencari matanya. "Siapa pembelinya?" Bibirku bergetar. Diusapnya rambutku. "Aku!" "Apa?" Rasanya aku ingin teriak sekencangkencangnya. "Sejak pembukaan pameran, banyak sekali peminatnya. Aku sampai lelah...," diacaknya rambutku. "Aku tidak ingin kehilangan lukisan itu. Jadi kuberi bulatan merah saja semuanya...." Mulutku ternganga. Dari jendela hotel, aku menyaksikan hujan kembali menderas mengguyur Bandung. SELESAI

Anda mungkin juga menyukai