Anda di halaman 1dari 72

Tiga Surat Cinta untuk Bunga

Cerpen Heru Kurniawan

1.
Selama sebulan ini, sejak kisah cinta kita putus, aku sudah menulis surat cinta untukmu
sebanyak tiga buah. Isinya sama, tentang cinta yang sia-sia. Namun, surat-surat ini tak akan
kuberikan padamu. Cukup kutulis saja tentang perasaanku. Selanjutnya surat-surat ini akan
kubuang. Aku hanya berharap suatu saat ada orang yang menemukan kemudian ia membaca
dan membuangnya kembali. Sampai berkali-kali. Sampai surat-suratku tak terbaca dan
menyatu dengan bumi. Kalau ini terjadi, bagiku sudah cukup aku bermimpi kita bisa bersatu
kembali.

Saat aku tulis surat yang pertama, aku niati bahwa aku akan melakukan sandiwara untuk
diriku. Maka aku memutusmu. Aku katakan padamu; Aku sudah tidak mencintaimu lagi,
Bunga. Kau telah layu setelah setiap malam percintaan kita selalu diakhiri dengan basah
rambut. Aku sudah cukup menikmatimu. Kau sudah cukup basah. Aku ingin yang kering
seperti saat pertama kau kubuat menangis, meratapi kejadian yang tak pernah kau alami.

Surat yang pertama selanjutnya kutaruh di bangku reot, tempat di mana pertama kali kau
menatapku dengan penuh kebencian. Aku ingat, saat itu airmatamu jatuh menimpa bangku
reot itu. Bangku tua yang tersudut di taman alun-alun kota. Saat kutaruh surat Ini aku
membayangkan orang yang menemukan suratku adalah anak-anak yang tengah mengisi hari
sorenya dengan ibunya. Saat anak itu menemukan surat ini ia pasti akan bergembira,
mengharap apa yang terisi di dalam amplop putih itu adalah uang. Anak itu akan berteriak,
"Aku menemukan uang".

Ibunya akan merebut sambil berbohong, "Kau masih tidak boleh membuka amplop itu.
Amplop ini isinya surat, bukan uang"
Dengan cemberut anak itu menyerahkan apa yang baru ditemukannya.
"Isinya surat apa, Bu?" anak itu bertanya setelah ibunya selesai membuka dan membaca
suratku ini.
"Cinta"

"Apa itu cinta, Bu?"


"Kau belum boleh tahu, Nak."
"Kalau begitu apakah boleh aku minta kertas-kertas yang isinya cinta itu, Bu!"
"Untuk apa?"
"Membuat pesawat kertas untuk mainan."
"Bagus itu, biar Ibu yang membuatkan."
Jadilah tulisan-tulisan cintaku menghias sayap, tubuh, dan kepala pesawat kertas mainan itu.
Pesawat kertaS itu di lempar ke sana-ke sini, terbang kian-kemari, sampai akhirnya
terdampar di ranting pohon beringin.

"Sudah mari kita pulang, Nak. Memang pantas nasib pesawat kertas itu di sana. Biar hancur
oleh hujan."
Aku terhenyak mengembangkan lamunanku. Betapa sia-sia aku menulis surat cinta untukmu,
Bunga. Ternyata perasaan cintaku tak bisa menaklukan orang lain. Padahal jelas, dalam surat
yang pertama aku juga menulis alasanku untuk meninggalkanmu; Aku tak kuasa percintaan
kita dilanjutkan. Kita ditakdirkan saudara, Bunga. Ayahmu ayahku juga. Lelaki bejat yang
setelah menitipkan bibitnya kemudian pergi menghilang. Aku kaget saat mendapati foto
ayahmu yang tak sengaja kau simpan di buku harianmu. Lelaki dalam foto itu sama dengan
lelaki dalam foto keluargaku. Tapi entah di mana dia sekarang. Setelah aku menginjak bangku
SD lelaki itu menghilang. Beruntung kau belum pernah berkunjung ke rumahku yang terpencil.
Aku berharap, Bunga, semoga kau sampai saat ini belum mengetahui rahasia ini. Seandainya
kau tahu, pasti kau tidak akan memaafkan dirimu sendiri. Sama seperti diriku saat ini, ingin
sekali membunuh lelaki itu. Dan bila melihat diriku di cermin, rasanya aku ingin juga
membunuh diriku sendiri.

2.
Bunga, pada suratku yang kedua, aku kisahkan hidupku setelah kita berpisah. Hidupku terasa
telah mati. Aku selalu membayangkan di dunia yang kedua kita tak juga bisa untuk bersatu
kembali. Padahal kita telah berjanji, bila di dunia kita tak bersatu, kita berkeyakinan di alam
baka bisa terus bertemu. Bunga, kau akan hidup di surga, sedangkan aku di neraka. Ini
karena kau tak mengerti dengan apa yang telah aku lakukan padamu. Kau tak berdosa
dengan persetubuhan kita. Kau melakukannya dengan rela, sedangkan aku memaksa. Kau
atas nama cinta, sedangkan aku atas nama birahi membara. Tapi, kau harus tahu, birahi dan
cinta bagi lelaki hampir tak ada bedanya.

Setelah surat yang kedua ini kumasukan dalam amplop putih dan kutulis buat Bunga, sama
seperti surat pertama. Tapi, pada suratku yang kedua aku sengaja memesang foto kita,
sedangkan yang pertama tidak. Aku letakan surat itu di bawah pohon randu yang tinggi,
rindang, dan menjulang. Ini tempat kenangan kita. Di tempat ini aku pertama merayumu,
memujamu, sampai timbul hasratku untuk memperkosamu. Dan hampir saja terjadi,
untunglah, ulah anak kecil yang suka iseng mengintip itu mengagetkan hasratku. Tapi, di
tempat ini aku nyata merasakan dan menyaksikan keindahan tubuhmu. Aku tak akan
melupakan itu, Bunga. Ternyata keindahan tubuh perempuan yang dicintai itu 1000 kali
indahnya dari tubuh perempuan yang kadang kusaksikan dalam film porno. Pantas saja,
berawal dari nonton film porno, anak-anak remaja akhirnya memperkosa pacarnya. Padahal
mereka baru anak-anak SMA. Apalagi aku padamu, Bunga. Bisa kau bayangkan betapa
bernafsunya aku pada tubuhmu yang seksi menarik itu.

Setelah aku letakan surat ini di bawah pohon randu, aku membayangkan anak kecil yang
pernah menggagalkan niatku untuk memperkosamu akan menemukan surat ini.
"Ada surat, Kak," anak kecil itu berteriak pada kakaknya.
"Sini, biar aku yang membuka, kamu masih kecil tidak boleh membaca surat."
"Memangnya itu surat apa, Kak?"
"Ini pasti surat cinta."
"Surat cinta itu apa, Kak."
Lelaki berusia belasan tahun itu tak membalas pertanyaan adiknya. Ia membaca dengan
cermat surat itu.
"Isinya apa, Kak?"

"Kau belum boleh mengerti."


"Tapi, itu foto siapa, Kak?"
"Kakak tidak tahu, apa kau mengenal orang ini."
Anak kecil itu mengerutkan keningnya.
"Apakah kau mengenalnya?"
"Aku pernah melihatnya di bawah pohon ini, Kak. Tapi, aku tidak tahu mereka itu siapa."
"Itu namanya kamu tidak mengenal, Bloon."
Anak kecil itu nyengir dihina kakaknya.
"Ayo kita lanjutkan perjalanan mencari kambing-kambing kita."
"Tapi, Kak. Boleh aku menjadikan surat ini sebagai perahu kertas."
Diberikannya surat itu pada adiknya. Kemudian anak kecil itu secepat kilat melipat-lipat kertas
itu menjadi perahu. Dilabuhkannya perahu kertas itu beserta foto sepasang kekasih itu pada
sungai yang deras mengalir.

"Hore …, perahunya melaju cepat," anak kecil itu berteriak girang tentunya.
Tapi, tidak berapa lama kemudian perahu kertas itu hanyut dan tenggelam terbawa arus.
"Kak, perahunya hanyut tenggelam. Kenapa, ya?"
Pertanyaan anak kecil itu seakan-akan nyata dan mengagetkan lamunanku. Ah, Bunga,
betapa nasib percintaan kita ditakdirkan hancur. Terus apa yang masih kutunggu darimu,
Bunga. Aku tahu kalau kita sudah tidak bisa bersatu, tapi kenapa aku masih berharap
keajaiban. Terkadang masih ada hasratku untuk menolak kenyataan. Saat itu anganku akan
menghadirkanmu yang tiba-tiba datang dan mengatakan padaku, "Apa yang terjadi pada kita
bukan takdir, Raka. Kita memang saudara, tapi cinta tak menghendaki persaudaraan kita.
Haruskah kita menanggung salah dari lelaki yang telah jadi ayah kita! Tidak, Raka. Cinta kita
lebih berharga dari bapak kita. Lebih mulia dari norma dan agama. Kau tahu itu, Raka … "

Tidak!!! Aku berteriak keras memecahkan malam yang mulai menjaring bumi. Aku tidak bisa,
Bunga. Aku hanya akan memberimu doa, semoga kau tidak akan tahu dengan rahasia ini. Aku
lebih baik dibenci olehmu daripada kau tahu rahasia kita yang pilu dan menjijikan.
Dalam tidur malam ini aku dihantui oleh pesawat dan perahu kertas yang nasib naas.
Terdampar dan hanyut yang berujung pada kehancuran yang diakibatkan oleh ulah anak kecil.
Ini memupus impianku tentang suratku yang kuharap akan dibaca banyak orang. Aku
berharap pada suratku yang ketiga bayanganku bisa indah, surat terakhirku paling tidak akan
berharga bagi orang yang menemukannya.

3.
Pada suratku yang ketiga ini, aku menuliskan keputusanku yang bulat; Aku akan pergi jauh,
Bunga. Aku sudah tidak sanggup lagi dihantui oleh perasaan terluka seperti ini. Selamat jalan,
Bunga.
Kau ingat tempat pertama kali kita bertemu, Bunga, sebuah halte yang saat langit mengurai
airnya lewat hujan, kau dan aku sama sedang menunggu Bus Kota. Tapi dasar negeri kita
amburadul, demo berkali-kali terjadi. Dan hari ini giliran para supir protes dengan kenaikan
BBM yang ingin diikuti kenaikan tarif. Ah, celaka kita akibatnya, tersudut di halte dengan di
kepung hujan yang amat deras. Hujan pertama yang menakhiri musim kemarau.

"Maaf, di rambut Nona ada kotorannya, boleh kuambil," kataku.


Kau diam menyilahkan, dan aku mengambil kotoran itu. Sejak saat itu kita terlibat
pembicaraan yang sengit dan jadi kita sering buat janjian di halte ini. Sampai kita sepakat
untuk menjalin percintaan.
Bunga, suratku yang terakhir untukmu akan aku letakan di kursi halte yang telah menjadi
saksi perjumpaan kita. Aku membayangkan kalau suratku yang terakhir ini akan ditemukan
seorang pemulung. Oleh pemulung itu suratku akan disimpan karena sepanjang hidupnya ia
baru menemukan kertas yang indah dengan tulisan yang indah. Ah, aku akan senang. Betapa
ternyata ada yang terselamatkan dari miliku yang paling berharga. Surat cinta untukmu,
Bunga.
"Kenapa kau tidak membuka surat itu, Pemulung? Bisa saja isinya uang kan," kawan si anak
pemulung mempotes.

"Tidak. Aku yakin surat ini isinya soal cinta. Dan kata guruku, cinta itu berharga, lebih
berharga dari dunia, maka aku harus menjaganya."
"Siapa gurumu itu pemulung?"
"Guruku sangat cantik, ia Ibu guru yang tengah gagal soal cinta."
"Harusnya kamu tak usah peduli kata-katanya."
"Tapi itu benar, karena aku juga sekarang tengah mengenal cinta"
"Dasar edan."

Bunga, aku tak bisa membayangkan percakapan si pemulung itu. Aku takut kalau Ibu gurunya
yang cantik adalah kamu. Bukankah kau pernah bercerita padaku bahwa cita-cita tertinggimu
adalah menjadi guru untuk para anak-anak terlantar.

4.
Pada suatu pagi sebuah surat kuterima dari tukang pos. Itu surat darimu, Bunga. Dalam
suratmu yang singkat kau menulis, "Kenapa kau memperlakukanku seperti ini. Aku
membencimu sepenuh hati?"
Terimakasih, Bunga. Aku sungguh bahagia dengan suratmu. Semoga kau selamanya tidak
akan tahu dengan rahasia ini. Hari ini aku akan bunuh diri.
Selamat jalan, Bunga …***
Nana Sarea
Cerpen Dina Oktaviani

Ketika lalat-lalat kerotot menghampiri pondoknya suatu pagi hari, Tuan Sarea telah berada di
perbatasan antara kampungnya dan kampung Arah Barat, jauh dari ladang-ladangnya.
Bersama Layantara ia menyusuri pohon-pohon kering terakhir yang menjadi bagian
kampungnya yang berada di Tengah Pulau Besar.

Layantara seorang pemuda dari seorang kakek buyut yang merupakan perantau dari Timoor.
Tubuhnya kecil dan kuat. Usianya sembilan belas tahun, dan baru sekali itu ia mengikuti
perjalanan ke kampung-kampung suku lain untuk melakukan barter. Ia merasa tersanjung
sekaligus waswas tanpa alasan menyadari dirinya melakukan perjalanan hanya bersama
seorang lelaki, sebab menurut kebiasaan perjalanan jenis ini dilakukan oleh sekelompok lelaki
yang berjumlah sebelas orang.

Sebagai pelatihan, dan ini merupakan kebiasaan, Layantara dilarang mengenakan pakaian
tebal atau makan garam sepanjang perjalanan. Tuan Sarea sendiri dapat seenaknya
mengenakan dan melepas rompi bulu di setiap bagian dari petualangannya.

Tuan Sarea berusia 45 tahun. Berdasarkan silsilah yang dikisahkan secara lisan dan turun-
temurun, ia salah seorang keturunan paling asli dari penemu Pulau Besar. Setidaknya sampai
seorang peneliti berani membuktikan bahwa silsilah penemu Pulau Besar telah ditutup sejak
pembantaian dan pembakaran hutan beberapa ribu tahun yang lalu oleh penjajah. Tuan Sarea
adalah seorang keturunan asli penemu Pulau Besar. Wataknya terkenal keras. Tak kenal
ampun bagi pelanggar.

Tuan Sarea menyuruh Layantara menghafalkan setiap jenis burung, jenis siul dan ke arah
mana terbangnya sepanjang perjalanan. Dan pemuda kecil itu mengikuti semua perintah
dengan cermat dan tulus. Layantara tidak mempertanyakan perihal berbagai kebiasaan yang
dilanggar mengenai perjalanan ini. Di antara banyak kebiasaan itu, melakukan perjalanan
bukan setelah panen adalah yang paling mengherankan. Dan jika pun ia mempertanyakan hal
itu, ia tidak akan menyimpan jawaban yang buruk.

Dalam pemahaman Layantara, hal ini amat wajar bila mengingat dirinya merupakan calon
menantu Tuan Sarea. Setidak-tidaknya, hanya nama Layantara yang disebut-sebut seluruh
penghuni Kampung Tengah jika mereka membicarakan putri semata wayang Tuan Sarea,
Nana Sarea, tiga bulan terakhir.

Perihal jodoh-jodohan oleh para penghuni Kampung Tengah tersebut, Tuan Sarea
menampakkan sikap paling dingin, cenderung sinis, seperti sikap semua ayah Suku Tengah
terhadap calon menantu yang bekerja sebagai peladang di hutan-hutan yang dikelola
Perusahaan Canggih. Namun tepat dan selama seminggu sebelum memulai perjalanan, yakni
dua minggu yang lalu, Tuan Sarea bersikap lebih lunak terhadap para pemuda Kampung
Tengah termasuk kepada Layantara, sampai akhirnya, tanpa merasa perlu memberi
penjelasan panjang karena terlalu menyadari otoritasnya, Tuan Sarea membuat Layantara
ikut melakukan perjalanan ke kampung-kampung lain untuk barter.

Hari itu Layantara tampak amat gembira, sehingga ketika melewati pancuran tempat Nana
Sarea mencuci rambut dalam perjalanannya bersama rekan-rekannya dari salah satu hutan
Perusahaan Canggih ke pondoknya, ia tak bisa menahan diri untuk tidak menyikut lengan
rekan-rekannya sambil memejamkan-pejamkan mata seperti sedang menahan rasa sakit.

Malamnya, malam sebelum berangkat, kakak sepupu Nana Sarea, Anggau Sarea, mendatangi
pondok Layantara dan berbincang-bincang dengan ayah Layantara dalam bahasa tua Suku
Tengah. Layantara, yang lebih banyak dididik dalam bahasa Timoor dan memahami bahasa
Tengah dari pergaulan di luar, tidak dapat sepenuhnya mengerti percakapan itu. Tapi
Layantara mendengar Anggau Sarea bersiul menirukan suara salah satu jenis burung di akhir
percakapan sebelum kemudian berlari tergesa-gesa meninggalkan pondok dan Layantara
mengerti maksudnya. Maka, keesokan harinya, sebelum matahari terbit, berangkatlah
Layantara mengikuti Tuan Sarea yang menjemputnya mengunjungi kampung-kampung suku
lain.

Di tengah perjalanan, yang dalam pikiran Layantara sekaligus merupakan perjalanan untuk
saling mengenal antarcalon anggota keluarga itu, dengan nuansa bangga Tuan Sarea
menceritakan kisah sungai Sarea yang ditemukan pada zaman penjajahan. Tanpa menyebut
nama bangsa, Tuan Sarea mengisahkan orang-orang putih yang pertama-tama datang ke
Pulau Besar. Orang-orang putih itu sering minta diantar oleh pribumi ke pedalaman-
pedalaman dan mencari lubang-lubang emas. Anak-anak sungai yang belum dinamai, pada
zaman itu dinamai oleh orang-orang putih. Nama yang biasa digunakan adalah nama pribumi
yang mengantar orang-orang putih tersebut. Nenek moyang Sarea waktu itu merupakan
pemberani yang berwibawa, sehingga orang-orang putih tidak berani meminta pertolongannya
tanpa menawarkan kekuasaan dalam sistem pemerintahan jajahannya.

Untuk memimpin suku yang terdiri atas kampung-kampung, nenek moyang Sarea telah
menyelamatkan orang-orang putih dari buaya sepanjang lima belas meter di sebuah sungai
yang amat besar yang belum dinamai dalam sebuah perjalanan menemukan tambang emas
terbesar. Setelah peristiwa heroik itu, sungai tak bernama itu dinobatkan sebagai sungai
Sarea. Sementara gigi-gigi sang buaya disimpan keluarga Sarea dan boleh ditukar hanya
dengan nyawa.

Layantara memasang telinga dengan gaya amat hati-hati dan tegas --khawatir melewatkan
satu jenis siul burung dan kisah-- sambil terus berjalan ke Arah Barat. Dalam sikapnya itu,
terdapat pula nuansa bangga yang misterius. Nuansa bangga yang terpancar dari seseorang
yang sedang merasa menjadi calon menantu seorang suku besar.

Tuan Sarea dan Layantara tiba di sebuah kampung suku lain di Arah Barat. Dari tas besar
misterius yang diseret Tuan Sarea sepanjang perjalanan, Tuan Sarea mengeluarkan
seperangkat gigi-gigi besar yang tajam dan menyerahkannya kepada Kepala Kampung. Dari
sang Kepala Kampung, Tuan Sarea harus meminta gantinya, namun ia menyerahkan
kekuasaan itu kepada Layantara. Dengan pertimbangan yang paling intuitif, Layantara
meminta parang dan tikar rotan halus yang menjadi hasil karya paling sohor dari kampung
Arah Barat. Mulanya Tuan Sarea tampak terkejut dengan pilihan Layantara, tapi kemudian
tersenyum mendengar alasannya yang polos.

Keluar dari kampung tersebut, di sebuah rimba yang telah dilewati dalam perjalanan
sebelumnya, Tuan Sarea mengajak Layantara berhenti dan berbicara, "Aku tidak bisa kembali
ke kampungku. Aku telah muak dengan keadaannya dan orang-orangnya, dengan alamnya
yang tak lagi subur. Sebagai keturunan Sarea yang jantan, tugaskulah menemukan ladang-
ladang baru.

Namun jangan engkau hiraukan keluhanku. Engkau masih muda, punya pekerjaan pula, dan
sedang jatuh cinta. Tak ada tugas yang berat bagi seorang perantau selain mendapatkan
permata dari tanah barunya."

Setelah diam beberapa saat, Tuan Sarea mengajukan sebuah pertanyaan. "Hai pemuda
keturunan Timoor yang pemberani, engkau telah menjadi penghuni Pulau Besar dan
menikmati pohon-pohonnya, dan engkau yang telah memilih parang dan tikar rotan sebagai
ganti dari gigi-gigi buayaku, apakah engkau akan terus mengembara bersamaku mencari
ladang-ladang baru dan hidup mandiri atau kembali ke tanah di mana engkau dilahirkan dan
menikmati kembali pohon-pohonnya?"

Layantara terdiam. Baginya, pertanyaan itu tidak bisa dijawab kecuali dengan mengabaikan
rasa malu. Sebab jika ia memutuskan ikut mengembara, ia tahu betul itu berarti
meninggalkan kekasihnya, Nana Sarea, menderita tanpa cinta dan perlindungannya. Dan jika
ia memilih mendapatkan Nana Sarea, ia merasa dirinya amat pengecut di hadapan keturunan
Sarea.

Akhirnya ia memilih kembali ke Kampung Tengah untuk menikahi Nana Sarea berdasarkan
cara-cara agama Kahrangan yang dianut Suku Tengah. Tuan Sarea tersenyum dan menjabat
tangan Layantara dan mengingatkan Layantara pada petunjuk burung-burung yang sejak awal
ia minta untuk dipelajari dan hafalkan.

Sementara Layantara berjalan menuju Kampung Tengah, Tuan Sarea berbelok kembali ke
Arah Barat dan menemui sepuluh orang lelaki keturunan Sarea. Sebelas orang itu kemudian
berjalan terus ke dalam Arah Barat dan bertemu tenda-tenda kelompok-kelompok yang
masing-masing terdiri dari sebelas lelaki suku asli Tengah Pulau Besar.

Sesampai Layantara di kampungnya, yang ia temukan hanya pondok-pondok yang terbakar,


lalat-lalat kerotot yang lapar, dan matahari siang berwarna semerah senja yang menelan
cintanya sampai hangus.

Di hari pertama, Layantara menggelar tikar rotan halus dan menangis bisu di atasnya.
Sementara itu, rombongan perempuan yang naik trailer rampokan dari Perusahaan Canggih
tiba di pedalaman Arah Barat. Di antara rombongan yang baru datang itu, tampak seorang
perempuan muda dengan kecantikan yang sulit direlatifkan, yang berkulit cokelat dengan
mata sipit dan hidung mungil yang menantang. Para pemuda bersorak dengan suara yang
dicekat, "Nana Sarea! Tak mungkin jadi istri peladang Canggih!"

Begitulah, di pagi hari kedua, Layantara menggorok sendiri lehernya dengan parang --konon
karena musim telah berganti sehingga burung-burung berubah arah dan bunga-bunga tumbuh
tidak pada tempatnya. ***

Mata Yang Melihat Cahaya


Cerpen Ganda Pekasih

Santer terdengar di kampung Salimin akan dibangun salah satu masjid terbesar di di dunia.
Salimin mendengar dari tetangga tetangganya yang bergunjing tentang masjid itu bahwa
masjid itu nanti kubahnya saja akan berlapis emas,lampu lampunya terbuat dari kristal,pilar
pilarnya dilapisi marmer terbaik dari negeri negeri Eropa. Arsitekturnya modern berkiblat
Timur Tengah ….

Salimin ragu, apa betul di kampungnya akan berdiri masjid sebesar itu,karena hampir setiap
subuh saja dia tidak mendengar ada orang adzan di kampungnya.Dia tahu orang orang di
kampungnya orang yang taat ibadah,mereka juga menjalankan lima waktu.

Tapi saat salat subuh justru musala yang didatanginya sering terkunci rapat, gelap, tak ada
suara yang menggemakanadzandanseruanseruan kebesaran-Nya. Kalaupun suatu hari ada
yang salat berjamaah, hanya beberapa gelintir orang saja yang hadir, itu pun mereka yang
sudah tua tua yang sebentar lagi menemui ajalnya.

Padahal yang pernah didengar Salimin dari seorang musafir yang datang memberi tausiah di
musala kampung mereka beberapa waktu lalu, bahwa sempurnanya salat lima waktu seorang
hamba itu bisa dilihat dari salat subuhnya,dilakukan secara berjamaah dan dilaksanakan di
masjid. Jika salat subuhnya belang belang, kadang salat kadang tidak, dipastikan waktu waktu
salat lainnya pastilah akan mudah tergantikan urusan remeh temeh dunia.
Rasa penasaran Salimin membuatnya mampir ke musala sore hari sehabisberjualan
bersamaistrinya,disuruhnya istrinya pulang lebih dulu. Di halaman musala orang orang tengah
ramai membicarakan bahwa rumah rumah mereka yang setengah permanen akan diberi ganti
untung melebihi harga pasaran. Bahkan beberapa rumah yang dinilai letaknya strategis walau
terbuat dari gedhek akan dibayar beberapa kali lipat.

Terdengar tawa tawa gembira mereka yang ingin secepatnya membeli tanah di tempat lain
untuk membuat usaha dan sebagainya. Kehadiran Salimin tak ada yang menggubris. Bahwa
yang didengar Salimin kemudian ternyata rumahnya tak masuk dalam wilayah yang
dibebaskan. Ituberarti Salimin nanti akan bertetangga dengan masjid terbesar di dunia itu.

Rumah Allah yang sangat megah dan indah, bangga dan haru dirasakan Salimin bahwa dia
akan salat di masjid itu dan mengikuti pengajian bersama jamaah lainnya. Ya,siapa yang
peduli dengan Salimin yang bertongkat lagi miskin.Yang kerjanya hanya berjualan rujak
bersama istrinya yang kurus dan penyakitan, yang lebih sering memikul kembali pulang
jualannya hingga membusuk di rumah karena tak ada yang membeli.

Selesai salat, depan musala yang dilewati Salimin terasa makin sepi, Salimin berjalan pulang
hati hati mengayun tongkatnya. Rumah Salimin setengah batako setengah gedhek bambu,
atapnya terbuat dari seng, jika siang hari terasa panas sekali. Jika hujan akan terdengar suara
bising memekakkan telinga, tapi lingkungan tempat tinggal Salimin tak pernah terkena banjir.
Entah esok atau lusa.

Seperti perumahan di belakang mini market tempatnya berjualan,jika banjir besar datang,air
bisa naik setinggi pinggang orang dewasa. Padahal sebelumnya perumahan itu tak pernah
digenangan air kalau musim hujan tiba. Salimin tiba di rumahnya, bahan bahan rujak
tumbuknya baru saja diantarkan beberapa tetangganya, pisang batu, jambu kelutuk bahkan
cabe rawit.

Semua bahan rujak tumbuk itu didapatnya gratis,tetangga tetangganya berbaik hati memberi
tanpa diminta karena di kebun kebun mereka semua itu tumbuh subur, Salimin hanya tinggal
membeli garam dan gula merah saja di pasar. Anak anak Salimin tidak bersekolah, mereka
kurus dan kurang gizi. Tapi mereka anak anak yang normal dan lincah.

Salimin tak mempunyai biaya untuk memasukkan mereka ke sekolah, untuk makan saja
mereka kekurangan. Kebutuhan pokok yang harganya terus naik tak sebanding dengan
penghasilan Salimin. Sering Salimin mendengar perut anaknya berbunyi tanda lapar saat dia
terbangun untuk bertahajud, sementara Salimin sendiripun juga merasakan hal yang
sama,hanya karena Salimin rajin puasa senin kamis,lapar itu menjadi ringan baginya, tapi
tidak dengan anak anaknya …. ***

Tak diduga salimin,pembangunan masjid itu demikian cepat, Salimin kerepotan berjalan di
tempat yang biasa dilewatinya walau dituntun sang istri, pikulan rujaknya makin hari makin
berat pula dirasakannya. Rumah rumah sederhana tetangganya, beberapa batang pohon
jambu kelutuk, pisang batu, semua mulai diratakan dengan bolduzer. Hari itu mereka
langsung berkemas.

“Kang Imin,kami akan pindah hari ini juga, maafkan kalau ada salah salah kata ya, Kang.”
Mpok Sodah kawan dekat istrinya yang setiap hari mampir ke rumah membeli rujak
tumbuknya memeluk Salimin. “Aku juga mohon maaf,Mpok.Aku banyak merepotkan.” “Aku
akan sering sering melihat anak anak dan istrimu nanti.”

“Trimakasih Mpok ….” Lalu beberapa tetangga Salimin berkerumun,mereka menitipkan tanah
kelahiran mereka, beberapa yang lainnya berjanji akan datang untuk ziarah dan mengikuti
pengajian jika masjid telah selesai dibangun. Beberapa kuburan leluhur mereka sengaja
dibiarkan tertanam di bawah tanah yang diratakan, mereka tak mau membawa serta tulang
belulang itu karena di atasnya toh akan berdiri masjid yang megah, bukan tempat tempat
maksiat. Salimin meneruskan perjalanan memikul jualannya, orang orang lalu tak peduli,
sibuk dengan urusan mereka masing masing. ***

Tersirat di hati Salimin seandainya rumahnya juga terkena pembangunan masjid itu, mungkin
dia tak lagi berjualan rujak, dia akan membuka warung kecil kecilan saja, diam di rumah,
tinggal menunggu orang menitipkan jualan mereka dan mengambil keuntungan
sekadarnya.Tapi kemudian bayangan masjid besar itu memenuhi penglihatannya yang gelap.
Masjid yang sangat megah dan indah …. Berkubah berkilauan menantang matahari ….
Bertetangga dengan masjid itu tentu menjadi orang yang sangat beruntung pikir Salimin.

Dia tak akan pernah ketinggalan shalat subuh berjamaah, dimana saat orang orang lelap
tertidur, atau saat orang orang terbangun sekejap karena diganggu panggilan adzan dia sudah
ada di masjid menegakkan agama Allah.Dialah orang yang sangat beruntung itu ….

Dia akan bisa memenuhi panggilan agung itu setiap waktu fardhu lainnya serta sunnat
sunnatnya, tak ada lagi mushala yang terkunci rapat dan gelap tak bersuara kecuali serangga.
Setiap langkah kakinya dari rumah ke masjid dihitung pahalanya, tubuhnya di akherat kelak
akan bercahaya, semua doanya diijabah ….

Membayangkan semua itu,Salimin merasa Masjid itu adalah anugrah terindah Allah baginya,
ia merasa begitu disayang Allah, Allah masih memberinya kesempatan melihat perubahan
yang tak pernah dibayangkan oleh semua orang di kampungnya, bahwa salah satu masjid
terbesar di dunia sebentar lagi akan berdiri dan menjadi tetangganya, yang kubahnya saja
katanya dilapisi emas murni 24 karat, lampu lampunya terbuat dari kristal yang berkilauan
cahaya. Pilar pilarnya tinggi menjulang dilapisi marmer terbaik dari negeri negeri yang tak
pernah dibayangkan Salimin kemegahannya. ***

Masjid itu kini sudah selesai dibangun, kubahnya tinggi menjulang menantang matahari,
kuning berkilau megah karena terbuat dari emas murni, bukan sampah emas atau sepuhan
belaka. Terdengar orang orang ramai berdatangan dari segala penjuru untuk salat, mengikuti
pengajian atau sekadar melihat lihat saja. Salimin ikut menikmati kemeriahan itu dengan
bangga, tercium wangi yang tak pernah dirasakannya saat berpapasan dengan para jemaah
yang datang dari segala penjuru kota.

Hari ini Salimin menanti adzan subuh pertama berkumandang di masjid itu,sebelumnya dia
sudah menjalankan salat tahajud sambil mendengarkan bunyi perut anak anaknya yang lapar
seperti hari hari kemarin. Salimin pelan pelan membangunkan istrinya, mengecup kening anak
anaknya yang lelap dibuai mimpi, tapi dia tak ingin membangunkan anak anaknya untuk ikut
salat karena itu akan menyiksa mereka. Mereka lebih baik tidur daripada menahan lapar di
pagi buta.

Salimin dan istrinya mulai meninggalkan rumahnya menuju Masjid yang sinar lampu lampu di
seantero halamannya terasa hangat di kulitnya mengalahkan udara subuh yang berhembus
lembut. Embun di selasar selasar dan pintu gerbangnya yang luas dengan bunga bunga yang
tumbuh di antara rerumputan terasa dingin, tetes tetes embunnya membasahi ujung jari kaki
mereka.

Di dalam Masjid yang megah itu, seusai adzan shubuh,Salimin salat dan menitikkan air mata
bangga akan kebesaran-Nya, hingga dia bertanya dalam hati,siapa yang membangun masjid
ini,dan kalau ada yang memilikinya, siapa dan seperti apa rupa wajahnya.Bahwa dia kini
tengah salat berjamaah di masjid yang membuatnya lelah berjalan dari rumahnya, pantaslah
kalaum asjid ini salah satu yang terbesar di dunia.
Kemudian doanya kepada Allah agar dia bisa dapat melihat keindahan Masjid di dekat
rumahnya ini yang selalu jadi bahan perbincangan di mana mana,terutama kubahnya yang
berlapis emas itu, tapi sayangnya dia tak memiliki mata itu ….

Salimin sudah lama sangat ingin melihat keindahan Masjid di dekat rumahnya
saatmulaipertamadibangun dulu, tidak cuma hanya bisa mencium dingin lantainya saja saat
sujud atau merasakan angin yang berputar di antara pilar pilar raksasa berlapis granit yang
lampu lampu kristalnya berkilauan cahaya saat dia shalat kini.Telah jadi Ketentuan baginya
memiliki mata yang tak bisa melihat,dan itu sangat disesalinya kini, Tapi kemudian dia cepat
beristigfar berkali kali mohon ampun.

Yang dirasakannya bahwa Allah hari ini sangat dekat dengannya, lebih dekat dari jantung
dengan detak dalam dadanya. Allah tak beranjak mendengar untaian doa, dzikir dan
tasbihnya hingga terbit pajar. Bening air matanya berjatuhan dari kedua bola matanya. Usai
salat, Salimin dituntun istrinya keluar dari Masjid. Salimin mengetuk ngetukkan tongkat
penunjuk jalannya ke lantai Masjid dengan hati hati karena takut ujung tongkatnya yang
tajam akan melukai lantai marmer yang dilaluinya.

Tiba di selasar yang panjang ratusan meter sebelum mengambil jalan menuju
rumahnya,Salimin dan istrinya dikejutkan dengan kehadiran anak anak mereka yang
menjemput, tak pernah terdengar suara mereka segembira pagi ini. Mereka lalu berebut
menanyakan adakah kue kue atau nasi dalam kotak untuk mereka seperti yang biasa di bawa
Salimin sehabis menghadiri acara sukuran.

Salimin hanya bisa mengelus kepala anak anaknya sebelum senyum mereka redup, dan tiba
tiba dia seperti bisa melihat senyum dan bola bola mata bening di wajah wajah mereka
bersama terbit fajar tanda kebesaran-Nya. Bola bola mata itu sangat bercahaya. Tapi Masjid
memang tak menyediakan makanan, dia hanya tempat zikir dan berdoa.

Salimin segera mengajak anak anaknya pulang,fajar mengiringi langkah langkah kaki kurus
mereka sebelum kemudian langi tberubah mendung. Dengan rasa malu kubah kubah emas
yang berkilauan segera menyembunyikan cahayanya hingga jauh ke balik awan. ***

Bawah Rembulan
Cerpen F. Moses

AWALNYA aku takut. Lama-lama jadi terbiasa. Hidup bersama orang-orang masa lalu di kota
ini. Tanpa siang. Semua waktu adalah malam. Kadang hadir sebuah rembulan di langit.
Membuatku senantiasa merasa sunyi walaupun sebenarnya aku suka sekali melihat rembulan.
Malam rembulan.

Seorang penduduk, salah satu dari orang-orang masa lalu, pernah berkata padaku, kalau
sebenarnya mereka letih untuk kembali bekerja ketika siang hari. Karena itulah mereka
berkeputusan membakar siang. Membakar matahari.

Memang sudah lama aku mendengar kala waktu —yang katanya tanpa siang di kota ini. Siang
sudah tak ada lagi. Siang telah menjadi malam. Kadang mereka juga kerap berpetuah pada
pendatang yang kebingungan kerena menetap di kota yang selalu malam. Dalam ingatan,
selintas petuah mereka terdengar: kau tak perlu ragu, jika hendak menetap di kota ini. Kata
itulah yang masih terngiang sampai saat ini. Jangan pernah ragu.

Ya. Selalu terngiang. Lantas, aku kembali berpikir, kenapa cemas? Cemas bagian sisi manusia.
Kerap menghancurkan.

Tentang cemas, bagi orang-orang masa lalu hanyalah milik orang tak punya rasa syukur.
Makanya, dahulu orang-orang masa lalu sepakat membakar matahari yang baginya membuat
letih dan cemas. Terkadang sakit. Entah sakit yang bagaimana. Karena terbit sampai
tenggelam matahari hanya menjadikannya bekerja. Alasan cengeng. Tapi sekarang mereka
senang, petanda separuh hari telah mereka bakar. Semata, supaya tidak bekerja. Kalaupun
bekerja, paling hanya untuk tidur. Tindakan aneh. Tidak masuk akal, tapi begitulah kedaannya.
Begitulah seterusnya.

Di hari yang selalu malam ini, terkadang aku melihat anak-anak kecil tampak riang
bergembira tanpa beban. Betis ceking tanpa alas kaki, sambil bertelanjang dada, berlarian
mengitari lapangan. Kembali lagi, dalam ingatanku, konon hal tersebut bagi mereka adalah
ritual. Petanda bentuk penghormatan terhadap leluhur orang-orang masa lalu. Setiap hari
mereka lakukan itu, sambil mengitari api unggun, mulai anak-anak sampai orang tua.
Berkeliling. Begitulah seterusnya.

Sekali lagi, setiap hari malam rembulan. Dalam tatapan aku selalu melihat anak-anak
berlarian. Saling kejar-kejaran. Dan remaja berpasang-pasangan, para orang tua asyik duduk
tenang di setiap balkon depan rumahnya. Mereka menikmati malam. Malam bersahaja. Malam
tak pernah mati.

Dalam sepanjang malam seperti ini, aku menikmati. Malam rembulan. Aku ingin mengerti
semua ini. Aku tidak tahu, mengapa sedemikian berani mereka membakar siang. Aku makin
hanyut oleh rasa ingin tahu. Menggelisahkan.

***

Sungguh unik kehidupan di kota ini. Semua orang mampu menikmati kehidupan seperti ini.
Barangkali inilah suatu kehidupan yang tak pernah ada di muka bumi ini. Kota tanpa siang.
Selalu malam. Tanpa matahari.

Seperti tadi aku bilang, sekali lagi, semua orang mampu menikmati kehidupan seperti ini.
Kecuali, perempuan itu. Sering aku memperhatikannya menyendiri. Sebenarnya hal itu
kuperhatikan sejak pertama kali di kota ini. Aku tidak tahu namanya. Kerap aku
memperhatikan, setiap gelagatnya jauh seperti perempuan umumnya yang selalu mampu
menikmati malam. Tapi, sepertinya ia justru ternikmati sebagai suatu kesunyian. Bermain
sunyi. Barangkali.

Suatu ketika, aku memandangnya dari kejauhan. Ia jauh dari keramaian umumnya. Dengan
langkah amat perlahan aku mendekatinya. Aku mendengar isak tangis perempuan itu. Sekali
lagi, kembali aku tak tahu. Entah kenapa ia menangis. Aku pun ragu untuk lebih mendekat.
Hanya bertanya dalam hati. Menduga-duga.

Dugaan salah. Di malam rembulan ini, yang tanpa siang, masih ada perempuan menangis.
Menangis setiap saat. Sepengetahuanku, sejak kota ini menjadi malam tanpa siang, sungguh
penuh suka cita. Tanpa duka. Terlebih oleh perempuan tengah menangisi kota ini. Kotanya
sendiri. Sekali lagi, aku makin hanyut oleh rasa ingin tahu--selain keingintahuanku tentang
mengapa sedemikian berani orang-orang di kota ini membakar siang. Membakar matahari.
Suasana aku nikmati menjadi begitu sunyi. Sunyi di balik derai tawa semua orang. Sunyi
karena perempuan menangis. Menjadikan bukit-bukit tidak lagi tawarkan keindahan dari
bayang-bayang selimut malam. Apalagi pagi, ketika embun membayang-bayangi bukit di
tampak kejauhan. Laut juga tidak membawa debur ombak lagi. Apalagi ombak saling balap.
Yang tersisa hanya gelap. Bermahkota bulan. Malam rembulan.

Kini aku benar-benar mendekati perempuan itu. Di belakangnya. Rupanya ia tahu. Tanpa
kusadari, ia menangis sambil berkata-kata. Kata bersama isaknya yang terbata-bata.
Sekarang aku benar-benar mendengarnya. Suatu hal paling aku inginkan.

Seketika itu pula kudengar ia berkata. Sambil terisak-isak. Menjadikannya terdengar terputus-
putus.

"Inikah kotaku? Kota hancur. Mati. Orang-orang serakah. Matahari sudah mereka hancurkan.
Matahari sudah tak milik kota ini lagi. Hancur. Langit tak punya salah. Langit kehilangan
mataharinya. Kota ini tak bercahaya lagi. Semua mata pada gelap! Barangkali pikirannya pun
demikian."

Aku tak mengerti. Ucapnya bercampur isak begitu menampakkan emosi batinnya terasa
olehku. Terputus-putus. Sebisa mungkin aku merasakannya. Aku diam. Aku biarkan sampai ia
berkata-kata kembali. Cukup lama aku menunggu. Kembali terlihat olehku, ia tampak sibuk
memainkan jemarinya. Mengelus-elus putih kuku kerasnya. Memijat tangan lembutnya sendiri.
Rasanya seperti menghitung-hitung irama kegelisahannya. Gundah. Rasanya banyak pula
ingin dikatakannya. Kata kesal. Barangkali sesal.

Aku pun memulainya. Setidaknya ia kembali untuk berkata-kata lagi. Aku mendengar kata-
katanya kembali. Tidak jelas. Sekuat tenaga, aku berusaha menangkap maksudnya. Sekuat
tenaga, aku ingin mengerti kegelisahan mendaging dari miliknya. Rasanya. Ucap kesal dan
sesal terdengar banyak. Sulit aku mengungkapkannya. Ungkapan mengalir dan seterusnya.
Begitulah.

***

Aku kembali ke rumah. Melintasi jalan-jalan sepi. Lengang: Sembari masih teringat
perempuan itu. Oh, kehidupan malam. Malam rembulan. Kau membuat aku selalu bertanya-
tanya. Entah kehidupan macam apa ini. Mengapa sedemikian nekat orang-orang kota ini
membakar siang. Membakar matahari.

Dalam pikiran, barangkali khayalan dalam angan, terlintas: Aku dan kekasihku masih
berjauhan. Jarak jauh. Jarak terpisah oleh lautan. Bahkan pulau. Aku di sini, seperti aku
bilang tadi, di pulau pada kota tak tanpa matahari. Siang mati. Sudahlah, aku hanya bayang.
Seperti bayang dari wujud cahaya rembulan. Berpendar. Dari bulan tersiram matahari di pulau
sana. Aku tak tahu. Di sini masih dan akan terus tanpa matahari. Malam selamanya. Sudahlah,
sepertinya jadi makin mengigau sepanjang perjalanan ini. Gelap. Lengang. Selalu dan masih
di bawah rembulan.

***

Seperti tak tersadar. Entah kemana aku melangkahkan kaki ini. Terus berjalan. Di bawah
rembulan mengitari kota ini. Seperti kukatakan tadi, kehidupan orang-orang di sini seperti
lebih bercahaya. Entah cahaya bagaimana. Bahkan cahaya apa. Dari pancaran mata orang-
orang di sini tak menampakkan sebuah beban. Beban kosong. Kelamaan terkesan tak
berpengharapan.

Seketika, kembali aku jumpai perempuan itu. Di pertigaan jalan itu. Seperti ada sesuatu
ditunggunya. Tampak berpenampilan berbeda dari sebelumnya. Tampak anggun. Di bawah
sinar rembulan, tampak cahaya menyepuh seluruh tubuhnya. Tak seperti aku lihat
sebelumnya. Meskipun demikian, auranya masih menggelisahkan. Ia masih menangis. Entah
ke berapa kalinya. Entah karena apa lagi.

Kembali perlahan, aku mendekatinya. Amat perlahan. Entah kegelisahan apalagi darinya.
Yang kutahu, sejak pertama memang cukup banyak seolah ia gelisahkan. Aku sudah
mendekat. Ia tampak menangis. Seperti kala waktu aku menjumpainya.

Kali ini aku ingin berkata padanya, tapi tak dapat. Kecuali dalam hati: Entah kegelisahan
apalagi kau punya. Padahal ingin banyak berkata-kata padanya. Ingin tahu, kesal maupun
sesalnya.

Cukup lama aku menunggunya. Penasaran. Mungkin aku harus memulainya. Semata,
memancingnya bicara.

Inilah kesekian kalinya kulihat kau menangis lagi. Entah duka apa kau punya.

"Malam tak ada lagi. Sungguh jahanam. Aku kehilangan segalanya dari orang-orang serakah
yang telah membakar matahari."

Aku masih tak mengerti maksud bicaranya. Aku hanya melihat ia menangis kembali. Terisak-
isak. Entah kepada siapa pula ia tujukan kata-kata itu. Entah apa yang mengganggunya.

Tiba-tiba ia kembali berkata.

"Aku merindukan lelakiku dan matahariku. Semua di sini pada puas. Kepuasan mematikan
kehidupan siang. Orang-orang di sini hanya ingin enaknya saja. Selalu menikmati malam.
Menghalalkan haram. Mengharamkan halal. Lelakiku terbunuh karena memertahankan siang.
Sekarang hanya malam. Malam di kota penuh kejahatan. Aku merindukan terang."

Dengan langkah amat perlahan aku meninggalkannya. Tampak olehku dari kejauhan, ia masih
berbicara seorang diri. Sambil sesekali terisak-isak. Aku kembali berjalan. Entah ke mana.
Tidak ingin pulang ke rumah.

Ada sepi dan ramai. Kembali aku melintasi orang-orang menikmati malam bawah rembulan.
Anak-anak masih tak letih berlarian. Penduduk kota masih dengan nikmatnya. Entah nikmat
yang bagaimana. Semua tampak tanpa beban. Tempaan angin dari arah teluk cukup membuat
dingin. Di kota selalu malam aku masih terus bertanya dalam hati. Kegilaan apa yang
menjadikan mereka nekat membakar matahari.

Setiap hari, di malam bawah rembulan. Aku masih melewati ruas-ruas jalan di kota ini. Kota
pekat. Kota nekat. Setibanya di pertigaan jalan itu, di sudut tembok, aku kembali melihat
perempuan tengah menangis. Seorang diri. Kali ini bukan yang tadi kujumpai. Rasanya tak
perlu lagi aku dekati. Hanya dalam hati: Entah kesedihan apalagi yang kau punya.***

Telukbetung, November 2007


Rumah Warisan
Cerpen Yonathan Rahardjo

Kematian perempuan tua itu membangunkan duka. Terik matahari, yang membuat penduduk
malas keluar rumah, tak sanggup menahan hati menuju gelap, ditutupi mendung kesedihan.
Menantu perempuan tua itu, yang pertama kali menjumpai kematian sang perempuan tua,
menjerit pilu.

Tangis janda anak kedua almarhumah itu mengundang cucu-cucu dan keponakan serta
tetangga-tetangganya untuk datang. Kabar duka pun menyebar dari mulut ke mulut,
memagnet anak-anak jenazah untuk segera berdatangan. Keluarga besar anak pertama, anak
ketiga dan anak kelima, melengkapi anak cucu terdekat, menyatu dengan saudara dekat,
tetangga-tetangga dan semua pelayat.

Suasana perkabungan bergulir dari satu acara ke acara lain, ditangani mereka yang ada.
Sedang anak keempat beserta keluarganya dalam perjalanan dari luar kota.

"Catur sebentar lagi tiba."


"Apa Ragil sudah dalam perjalanan?" tanya anak lelaki ketiga yang paling percaya diri menjadi
pemimpin perkabungan.
"Sudah. Namun, ia hanya dikabari bahwa Emak dalam kondisi kritis."
Banjir air mata terus mengalir merata pada diri para anak perempuan tua itu. "Emak
menyusul Bapak dan Mas Dwi."
"Kita segera berangkat begitu Catur datang."
Keberangkatan jenazah pun dipastikan ketika dari ujung gang terdengar raung tangis Catur,
anak lelaki keempat. Catur berjalan limbung, dipapah oleh istri dan anak-anaknya.

Prosesi harus berkejaran dengan perginya siang. Secepat langkah iring-iringan pengantar
jenazah, secepat itu pula pemakaman yang diiringi nyanyian duka pengantar kepergian sang
perempuan ke pemakamannya. Baru esok harinya si bungsu, anak perempuan almarhumah,
Ragil, tiba, setelah menempuh perjalanan sepanjang Pulau Jawa. Yang menyambut adalah
ketiadaan orang tersayang. Saudara-saudaranya tidak mungkin berdusta dengan suasana
perkabungan yang begitu jelas. Meski, mereka membiarkannya membuka kain pintu kamar
emaknya dan di situ tidak ia jumpai perempuan tua itu di atas pembaringannya.

Tangis kembali memecah hari. Wajah-wajah sedih kembali dibanjiri air mata duka, tidak
mampu menahan diri sekaligus mencegah luapan duka cita anak bungsu yang baru tiba.

"Mengapa kalian membohongiku? Emak sudah dikubur! Aku tak boleh memberi penghormatan
terakhir padanya?"
"Ragil, jangan salah paham. Sekarang kami antar ke makam Emak."
Di tanah kuburan yang masih basah, perempuan muda itu pingsan. Tangan-tangan saudara-
saudaranya mencegahnya tersungkur mencium tanah bertabur bunga yang belum kering.
"Anakku, Emak sudah tenang di sini. Emak sudah bertemu dengan Bapakmu."

"Emak, mengapa lebih sayang Bapak daripada aku, anak kesayanganmu?"


"Sayangku pada Bapakmu sebesar sayangku padamu, anakku."
"Mengapa tidak menungguku datang agar aku mencium Emak sebelum Emak bertemu
Bapak?"
"Itu bukan kemauanku, anakku. Saudara-saudaramu yang menginginkan jasad Emakmu ini
segera dimakamkan sebelum petang."
"Bukankah Emak masih bisa disemayamkan malamnya, diiringi doa-doa penghiburan, dan
baru dimakamkan esok harinya, ketika aku sudah pasti tiba?"
"Ragil, Emak tak kuasa menahan kakak-kakakmu. Sedang mereka bersiteguh dengan adat
kebiasaan yang mereka kenal."
Diiring senyum ibunya yang sangat ia kenal, perempuan muda itu tersilaukan oleh cahaya
yang begitu terang. Ragil melihat ibunya tak setua yang ia kenal, bergandeng tangan dengan
lelaki muda yang rasanya sangat ia kenal.
"Bapak...!"
Ragil, perempuan muda itu, tiba-tiba sadar. Saudara-saudaranya memandangnya dengan
penuh rasa heran.

"Adik bungsu, mari kita pulang. Biarkan Emak tenang bersama Bapak dan Mas Dwi di rumah
baru ini," ajak saudara-saudaranya ketika Ragil siuman.
"Mas Dwi? Aku tadi tidak berjumpa dengan Mas Dwi. Aku hanya berjumpa dengan Emak dan
Bapak."

Saudara-saudara lelaki, kakak-kakak dari anak bungsu itu, terhenyak.


"Mengapa hanya Emak dan Bapak? Mengapa tidak bersama Dwi?"
Perjalanan pulang dari makam digelayuti pikiran-pikiran kusut, suasana duka diracuni hati
cemburu.

"Jangan-jangan Emak dan Bapak tidak sayang pada Dwi," pikir si sulung Eko tentang
hubungan adik kandungnya dengan kedua orang tuanya yang sama-sama sudah tinggal nama.

"Jangan-jangan Emak dan Bapak juga tidak sayang padaku seperti tidak sayangnya mereka
kepada Dwi," pikir Tri, anak ketiga.
"Jangan-jangan.... Ah, biarlah," pikiran gundah tapi pasrah mendera anak ke empat, Catur.

"Wajar kalau Emak paling sayang pada Ragil. Sebab, ia anak bungsu dan satu-satunya
perempuan," anak lelaki kelima, Ponco, punya pikiran sendiri.
Bagaimanapun, mereka, empat anak lelaki dan satu perempuan yang masih hidup, bersama
istri, suami dan janda anak kedua, beserta semua anak mereka, tak dapat menghindar dari
suasana duka. Tidak ada lagi orang tua yang melahirkan dan membesarkan mereka.

Mereka merasa masih melihat kehadiran kedua orang tua terkasih di antara wajah-wajah
mereka dalam cermin. Darah yang mengalir dalam tubuh mereka adalah darah orang tua
yang sama. Tapi, mengapa harus ada perasaan aneh ini?

"Rumah ini adalah rumah Emak dan Bapak, cermin kehadiran beliau berdua. Pasti beliau
berdua pun membagi rumah ini bagi kita berenam," tiba-tiba Tri, anak nomor tiga, berkata
dengan suara keras.

"Apa maksudmu, Tri?"


"Kita masih dalam suasana duka!"
"Ya, kita memang berduka. Tapi, kita semua adalah anak-anak Emak dan Bapak."

"Maksudmu?"
"Emak dan Bapak pasti sayang kita semua. Karena sayang kita, pasti Emak dan Bapak mau
anaknya yang paling mampu menukar rumah ini dengan harga tertinggi untuk menggantikan
hak semua anaknya."

"Berhenti!"
"Karena aku yang paling mampu, maka aku yang akan membeli rumah ini." "Tutup mulutmu,
Tri! Soal ini kita bicarakan sesudah seribu hari meninggalnya Emak!"

"Sudah! Sudah! Ngaco, kalian semua! Ngomong tidak berperasaan!" Isak tangis dari Ragil,
adik perempuan bungsu mereka, menampar setiap mulut untuk langsung terdiam.
"Tanah kuburan Emak masih basah, kalian sudah ngomong soal warisan."
"Ragil, aku tahu, kamu tidak memikirkan soal duniawi ini, karena kamu memang menjadi
perempuan pemimpin umat bersama suamimu. Begitu juga aku. Selain berhasil menjalankan
ibadah tertinggi dalam agamaku, aku tetap mengimbangi dengan sukses duniawi seperti
usahaku jadi jagal sapi yang sukses bersama mbakyumu, istriku! Tapi, kakak-kakakmu? Lihat,
bisa apa mereka? Mencari nafkah saja dengan membesarkan betis. Menghidupi keluarga saja
kembang-kempis. Apalagi mau membahagiakan Emak yang baru saja menyusul Bapak. Mana
bisa?"

Tidak ada upaya menghentikan celoteh lelaki anak ketiga dari enam bersaudara dan tinggal
hidup lima orang itu. Si bungsu diam. Bahkan suaminya yang sedari tadi hanya menjadi
penonton 'pergulatan' lima bersaudara itu hanya diam dan menenangkan istrinya dengan
meremas telapak tangannya.

Sejak saat itu, sekembali ke kota tempat tinggalnya, Ragil tidak pernah lagi berkunjung ke
rumah yang baru saja ditinggalkan emaknya. Sedang kakak-kakaknya, Eko, Tri, Catur dan
Ponco, tersekat tenggorokannya. Tri, yang mengumbar hasrat sebelum waktunya itu,
meneguk ludah sendiri. Wajahnya merah, menanggung cibiran dan sorotan mata menghina
dari siapapun yang terhitung keluarga dan para tetangga.
"Kuburan orang tua masih basah, sudah ribut soal warisan...," celoteh meraka.***

Anggang dari Laut


Cerpen Pinto Anugrah

"Pergilah! Ikuti aliran batang Kuantan itu, kelak kau akan bertemu ujungnya, di mana air akan
terasa asin di lidahmu. Muara dengan riak ombak yang mendesir, nyanyian yang mendayu-
dayu, yang membuat hati pilu dan layu. Ya, di sanalah tanah Melayu. Carilah ayahmu! Ia
berdiam di laut yang sedidih hingga teratak berair hitam, tempat buaya putih tengkuk.
Anggang, itulah nama ayahmu, terkenal dengan julukan ‘Anggang dari Laut’!"

Mengiang, kata-kata itu mengiang. Tertanam di tubuhku yang paling dalam. Masuk ke darah,
mengalir, setiap persendian, ngilu, dan pilu. Menjadi dayung setiap pelayaranku.

"Ingat, Buyuang! Kau bukan lagi anak dari seorang putri raja dengan ibu bernama Puti
Jamilan. Kini, kau hanya seorang anak rantau yang mencari penghidupan baru di tanah
seberang. Layarilah penghidupanmu, kini kau punya kapal sendiri yang bebas kau kayuh ke
samudra manapun."

Sebuah kapal dagang baru saja melempar jangkar. Petang di bandar Malaka tak menyurutkan
hiruk-pikuknya sebagai bandar dagang yang sangat ramai. Kapal-kapal silih berganti
menurunkan dan menaikkan jangkarnya. Barang-barang dagang tak habis-habisnya turun dan
naik dari kapal-kapal.

"Apa yang kau lamunkan, Bujang?"


Aku tak menyangka ia akan menyapaku juga. Sedari tadi kuperhatikan ia sibuk menyelesaikan
pekerjaannya; mengangkuti peti-peti lada yang hendak diperdagangkan. Ia seorang kuli
angkut di bandar ini, aku mengenalnya pagi tadi di kedai kopi sudut bandar.

"Saya hendak sangat berlayar."

Ia tertawa, lepas, keras sekali. Hingga orang-orang pun menoleh, kami jadi pusat perhatian.
"Ke mana kau akan berlayar, Bujang?"

"Entahlah. Ke mana gelombang akan membawa."

"Kau masih terlalu mentah. Kau tahu, di laut lepas sana lanun-lanun berkeliaran. Membidikkan
meriamnya ke setiap kapal dagang yang lewat. Sanggup kau menghadapinya?"

Aku tercenung, kemudian mengangkat kepala kembali. "Boleh saya tanya sesuatu."

"Apa yang hendak kau tanyakan?"

"Kau tahu di mana letaknya laut yang sedidih?"

Ia terkesiap, seketika ia hentikan pekerjaannya. Dan langsung berlari, menghilang di balik


kerumunan orang. Bandar sangat ramai, aku tak dapat melihat ke arah mana ia lari. Tinggal
rasa heranku.

Kembali aku termenung di ujung bandar, menatap laut lepas, dan sesekali pikiranku melayang
entah ke mana. Tak lama ia kembali, namun kali ini ia tak sendiri. Di belakangnya seorang tua
mengikuti. Air mukanya jernih. Bawaannya sangat tenang. Tampaknya ia seorang tua yang
sangat dihormati dan jadi kaul tempat bertanya. Ia menghampiriku, sangat dekat,
memandang lekat-lekat.

Ia berkata setengah berbisik, "Siapa yang kau cari, anak dagang?"

Aku memandang wajahnya yang teduh itu. "Anggang!"

Tampak ia terkejut, namun keterkejutannya itu dapat ia redam dengan bijak sebagai seorang
tua. "Dari mana kau tahu keberadaan Anggang? Hanya orang-orang yang telah lama berlayar
dan lanun-lanun yang tahu akan keberadaan Anggang."

"Aku anak Anggang!"

Kali ini keterkejutannya tak dapat ia sembunyikan. Ia terdiam, beberapa saat.

"Sebaiknya kau, anak dagang, cepat pergi dari sini! Jika Syahbandar tahu, kau bisa dirantai."

Kawanku, kuli angkut, turut mengangguk. Mengiyakan. Meyakinkanku.

Dan orang tua itu tampak memandang lurus ke depan, seolah pandangannya dapat
menembus luas lautan. "Datang juga masa itu!"

***

Ruang ini gelap sekali, tak ada cahaya masuk sedikit pun. Aku tersandar di dinding batu yang
lembab dengan kaki terantai dan terpasung ke dinding. Kepalaku terasa berat, tak lagi berasa
apa-apa. Hanya darah dingin yang mulai membeku terasa di bibirku yang sembab. "Asin,"
umpatku, "Seasin air laut..."

Tak dapat kuingat dengan jelas, kejadian itu berlalu begitu cepat. Menghantamku, membuat
segala yang ada di sekitarku mengelam. Kelam.
Tiba-tiba saja ia telah berada di belakangku dengan para hulubalangnya. Mereka langsung
menyekap dan merantaiku. Kawanku — kuli angkut itu, tak dapat berbuat apa-apa, hanya
memandang nanar ke arahku. Sedangkan orang tua itu, ia tersenyum, senyum yang lepas,
"tidak apa, ikuti saja mereka! Itulah jalan untuk bertemu ayahmu!" Kemudian ia menghilang
di antara kerumunan orang yang menonton.

Aku dibawa ke sudut bandar, seperti sebuah gudang, tapi aku yakin ini bukanlah sebuah
gudang. Di dalam gelap, hanya bayangan garis wajah mereka yang dapat kutangkap dengan
mata.

"Kau dari mana?"

"Siak!"

Sesuatu mendarat di kepalaku. Begitu keras. Membuat pandanganku mengabur. Dan benar-
benar kelam.

***

"Tukar kebebasanmu dengan Pedang Sijanawi!"

Ia duduk berhadap-hadapan denganku. Sebuah meja Turki memisahkan. Tampangnya begitu


dingin, walau airmukanya kelihatan bersih. Aku tak mengenalnya.

"Aku tidak tahu pedang apa itu, lagipula aku tidak punya pedang satu pun apalagi pedang
yang kau sebutkan tadi."

Tawanya langsung meledak seperti muncung meriam. Aku tak mengerti apa yang
ditertawakannya. "Bodoh! Aku tidak menyangka ia punya anak sebodoh ini."

Orang-orang yang berdiri di sudut ruangan itu pun ikut tertawa.

"Tidak perlu kau tahu pedang apa itu, cukup kau beritahu di mana keberadaan ayahmu, maka
kau bebas!"

"Di laut yang sedidih." Aku menjawabnya cepat.

Ia lalu mengambil sebuah peti dan meletakkannya di atas meja Turki itu. Dikeluarkannya
sebuah peta yang tampak sudah usang dan dikembangkannya seperti mengembangkan layar
kapal ke hadapanku.

"Tunjukkan! Di mana laut yang sedidih itu!"

Aku sama sekali tak mengerti membaca peta. Yang kulihat hanya garis-garis hitam yang tebal
dan pada bagian tertentu terdapat garis tipis mengiris. Dan tulisan, tulisan Arab tanpa baris,
aku dapat membacanya sedikit-sedikit walau masih terbata-bata. Kutelusuri tulisan itu dengan
berusaha membacanya satu persatu.

"Inuk." Kutunjuk sebuah tempat yang dengan mudah dapat kubaca di peta.

Ia langsung tercenung, semua tercenung.

"Inuk?"

"Bukankah Inuk wilayah kekuasaan raja-raja Bugis di Lingga?"

"Kita tidak bisa masuk ke dalamnya."

"Jika tetap masuk kita akan berperang dengan Bugis-bugis itu."


"Saya tidak percaya Anggang berada di Inuk, Syahbandar."

"Kenapa kau tidak percaya?"

"Kita lupa, ia itu Raja Lanun yang diburu muncung meriam raja-raja Melayu dan dibenci oleh
raja-raja Bugis. Tidak mungkin dengan mudahnya ia memberitahukan keberadaannya pada
orang-orang, bahkan kepada anak dan istrinya sekalipun."

Syahbandar langsung memukul meja di hadapanku.

"Budak ini mencoba menipu kita!"

Sebuah benda keras lagi-lagi dihantamkannya ke kepalaku. Membuatku tersungkur ke meja,


darah segar langsung keluar mengalir dengan deras menggenangi meja buatan Turki itu,
membentuk lautku sendiri. Tiba-tiba aku seperti tersadar, inikah laut yang sedidih itu? Mana
mungkin, aku menepis pikiran itu.

Samar-samar aku masih mendengar amarah mereka.

"Buang budak ini ke air, biar muara Kampar menguliti tubuhnya, dicabik-cabik buaya. Tidak
ada gunanya budak ini di atas kapal kita."

"Huh, Anggang, Raja Lanun yang menyimpan pusaka segala lanun yang benar-benar licik dan
licin. Tidak salah ia dinamakan dengan Anggang, mendengarnya saja sudah bikin gatal
seluruh badan apalagi kalau menyentuhnya."

***

"Bangun! Bangunlah, Anakku!"

"Kaukah itu Ayahku? Kaukah itu Anggang?"

"Ya, inilah bentuk wujudku. Ternyata kau sudah besar, Buyuang. Tanggalkanlah nama kecilmu
itu! Sekarang kau bernama Tun Bujang yang akan mewarisi segalanya dariku."

"Di mana? Di mana kau, Ayah?"

"Ada di hatimu."

"Hatiku jauh kutinggalkan bersama Ibu, sebagai kawan sepinya untuk bersenandung."

"Telah kujemput dengan pusakamu Yamtuan Raja Kecik dan pedang Sapu Rajab, serta cap kuasa atas segala selat dan
pesisiran."

"Kita pernah bertemu. Bukankah kau yang di bandar tempo hari?"

"Ya, bentuk lain dari penyamaranku."

"Di mana aku saat ini?"

"Ada dalam dirimu."

"Seperti kabut kau buat segalanya kabur. Tidakkah aku sekarang berada di laut yang sedidih hingga teratak berair hitam,
tempat buaya putih tengkuk?"

"Tidak. Itupun lebih dikaburkan. Kenapa kau datang ingin menemuiku?"

"Ibu sudah sangat rindu kepadamu. Aku ingin membawamu menemui Ibu."
"Laut telah mengikatku!"

"Ayah!"

"Dan suatu saat kau pun akan diikat laut!"

"Ayah!"

"Sudah takdirmu kau akan menjadi Raja Lanun dan memegang pusaka pedang Sijanawi!"

"Ayah!"

"Salamku untuk ibumu!"

"Ayah!"

"Bangun! Bangunlah, anakku!

"Oh, di mana aku?"

"Di rumah. Kau terbawa arus sungai, untung tersangkut akar bakau, kalau tidak mungkin kau akan digulung arus
bendungan dan pulang namanya saja."

"Ayah! Di mana Ayah? Ayah!"


"Ayahmu belum pulang menangkap ikan sejak pagi."

"Bagaimana aku menyusuri Kampar, Ibu? Batang Kampar telah dibendung, air menggenang membuat danau.
Bagaimana caranya aku sampai ke laut. Dan Ayah, bagaimana dengan Ayah?"

"Kau bicara apa?"

"Laut yang sedidih hingga teratak berair hitam, tempat buaya putih tengkuk. Di mana itu, Ibu?"

"Bangunlah, Buyuang! Sadarlah!"

"Anggang, ya, Anggang. Itukah nama Ayah, Bu?"

"Rupanya benturan di kepalamu cukup keras, hingga kau menceracau tidak karuan!"

"Ayah! Kita tidak akan ketemu Ayah lagi, Bu!"***

Kandangpadati, 0705 09
Sebotol Mineral
Cerpen Isbedy Stiawan ZS

PEREMPUAN paruh usia bertutup kepala itu cepat sekali lenyap. Seperti ditelan remang senja.
Seteleh mengucapkan terima kasih atas sebotol minertal untuk bernuka puasa. Mas Tohari
berkali-kali keluar rumah makan, ingin mencari ibu itu. Tetapi, tak juga dilihatnya bayang-
bayang ibu itu sedikit pun. Mas Tohari tampak gelisah, seperti menyesali diri.

"Ibu itu mungkin sudah jauh," kata Halim. Mereka baru tersadar setelah mas Tohari berkali-
kali mendongakkan kepalanya keluar pintu, mencari ibu paruh usia yang berpakaian agak
kumuh-betutup kela sejenis selendang digulung menyembunyikan rambutnya.

"Kukiran masih dekat. Mungkin ia masuk gang," ujar mas Tohari. Ia hendak mengajak Halim,
teman kami yang lain. "Kau ikut aku, Lim, siapa tahu ibu tadi belum jauh. Siapa tahu
mengaso di gang sebelah."

Halim beringsut dari kursi. Hidangan untuk berbuka puasa sudah disajikan. Di Ubud ini hanya
sedikit mereka menemukan rumah makan yang bisa menyelerakan lidah: masakan Padang.
Dan, dari sedikit itu hanya rumah makan ini paling tepat dengan lidah mereka. Itu sebabnya,
untuk sahur dan berbuka puasa, rumah makan ini menjadi pilihan.

Semula mas Tohari dan Wira tak tahu rumah makan yang mampu menggairahkan lidah.
Untunglah Halim yang kebetulan menyewa sepeda motor mengeliling setiap liku Ubud, dan
dapatlah rumah makan khas Minang ini. Sejak itu-selama 5 hari di Ubud dalam rangka
mengikuti suatu kegiatan internasional-mereka ketagihan mampir ke rumah makan sebelah
Timur kota Ubud ini.

Dan, senja tadi seorang ibu paruh usia muncul di depan pintu. Ia ingin membeli sebotol
mineral ukuran besar degan memberi uang Rp5 ribu. Tentu saja, penjual yang hanya pegawai
tak memberi karena uang ibu tidak cukup. Mas Tohari segera meminta pedagang itu agar
memberikan sebotol mineral itu pada ibu. "Ambillah, ibu. Saya yang bayar," kata mas Tohari.

"Alhamudillah. Terima kasih, uang ini untuk jajan buka puasa saya hari ini," kata ibu itu
segera berlalu. Begitu cepat. Sebab hanya beberapa detik dari kepergiannya, mereka tersadar
kalau ibu itu tak saja membutuhkan sebotol mineral untuk menghilangkan dahaganya,
melainkan ia amat memerlukan uang-setidaknya-untuk membeli makanan untuk berbuka
puasa.

"Ya Allah, kita sudah menganiaya diri kita," keluh mas Tohari. Usia Mas Tohari tertua di antara
mereka. Ia juga dikenal sebagai ustad dan pemilik sekolah Islam di kotanya. Mas Tohari
adalah, ah, tak perlulah kusebut profesinya yang lain yang konon cukup banyak itu.

Tapi, kali ini ia merasa terlecehkan. Rasa peduli sesama manusia kini teruji. Ia menyadari
uang untuk membayar sebotol mineral buat ibu untuk bebruka puasa tiada nilanya, dengan
uang yang dimilikinya di saku. Selama ini aku menggembor-gemborkan bahwa mencintai
Tuhan sama artinya mengasihi orang-orang telantar, miskin, dan papa. Ia menggumam.

Yang lain hanya memandangnya kosong.


Mas Tohari seperti tak sedap duduk. Seperti ada paku yang menancap di kursinya. Ia gelisah
sekali. Ia menyadari iblis yang teramat kikir sudah memengaruhi rasa kesetiaannya pada
sesama. Mengapa tadi ia tak sekalian memberikan uang barang Rp50 ribu atau Rp100 ribu,
toh tak akan menumpaskan isi sakunya? Seharusnya aku tadi segera memberi uang padanya.
Tapi, kenapa tak jadi? Ia menggumam lagi. Menyesal sekali.

"Sudahlah, mas, mungkin rezeki ibu itu bukan di sini, bukan dari kita," Dendi berujar. Ia lalu
mempersilahkan mas Tohari untuk menyantap. Hidangan sudah tersaji. Waktu berbuka sudah
tiba. Bersegera memecahkan puasa adalah wajib. Namun mas Tohari tak lagi berselera
mencecap sajian. Hanya membasahi tenggorokannya dengan seteguk air, kemudian keluar,
setelah ia memberi uang Rp 100 ribu kepada Wira untuk membayar pada pemilik warung. Ia
juga mengingatkan teman-temannya supaya jangan lupa membayar sebotol mineral untuk ibu
paru usia tadi.

Mas Tohari kemudian mencari ibu paruh usia yang seakan lesap dalam keremangan maghrib.
Sendiri.

Ia susuri sepanjang jalan di Ubud menuju Barat. Tak terasa ia melangkah mendekati Casa
Luna, Warung Arys, Puri Palace-tempat di mana ia kemarin diundang makan dan pembukaan
sebuah festival internasional. Kemarin aku makan di tempat mewah ini, dengan hidangan
selera para turis namun tidak selera lidahku yang lokal ini. Aku hanya mencicipi sekadar untuk
selanjutnya kubiarkan tersisa di meja sampai pelayan memungutnya kembali, dan menyajikan
makanan lain. Tetapi, senja tadi aku diuji oleh seorang ibu paro usia. Hanya dengan sebotol
mineral yang tak sanggup ia bayar untuk membuka puasanya, tentu tanpa makanan.

Dan, aku seperti masabodo pada nasibnya. Hanya membayar sebotol mineral yang tak lebih
dari Rp 10 ribu. Sungguh, aku sudah kehilangan rasa syukurku. Apa gunanya aku seharian
menahan haus dan lapar, kalau hatiku tak tergerak menyaksikan orang yang untuk membuka
puasa pun tak lagi punya. Berulang-ulang ia menyesali keteledorannya. Menyesal mengapa
hatinya tak menggerakkan tangannya untuk merogoh sakunya, dan memberi selembar atau
dua lembar Rp 5 ribuan kepada ibu paro usia tadi?

Teman-temannya pun tak mengingatkan. Mereka juga baru tersadar dan seolah ingin
berlomba berbuat amal, setelah ibu itu menghilang. Amal yang tiada gunanya. Niat yang
cuma sebatas bibir.

Mas Tohari belum juga kembali ke rumah makan. Waktu sudah pukul 21.15. Teman-temannya
yang ditinggal mas Tohari mulai gelisah. Mereka khawatir mas Tohari tersesap dalam
keasingan kota Ubud. Was-was kalau-kalau mas Tohari tak tak tahu jalan ke penginapan.

"Kita harus cari mas Tohari. Aku khawatir ia kesasar!" ajak Halim.

"Ah, tak mungkinlah. Mas Tohari bukan anak-anak lagi. Ia bisa bertanya pada orang ke mana
jalan ke penginapannya," bantah Wira.

"Siapa tahu dia benar-benar kesasar. Mas Tohari pergi dalam keadaan kalut, perasaan
bersalah, pikirannya tentu lagi kosong!" Dendi mendukung Halim.

"Oke, kalau begitu!" akhirnya Wira menyetujui. "Kita berbagi arah. Halim ke Barat, Dendi ke
Timur. Dan aku ke Utara. Jam 23 nanti kita bertemu di depan Casaluna, ya,"

***

MENCARI mas Tohari di tempat asing bukan gampang. Mereka pendatang yang baru tiba
beberapa hari ini, dan belum seluruh lekuk-liku tubuh Ubud dijelajahi. Jalan yang mereka
ketahui hanya dari penginapan ke Indus, Gaya Fusion, Four Session Hotel, Casaluna, Puri
Palace, dan rumah makan khas Minang ini. hanya sejengkal dari beribu meter "kampung
dunia" para turin ini.

Ketika berjumpa di Casaluna seperti waktu yang disepakati, ketiganya menggeleng. Mereka
makin disergap cemas yang sangat. Kekhawatiran tak akan bertemu lagi mas Tohari,
membuat wajahnya pasi.

Halim mengusulkan agar melaporkan ke pania. Wira menolak, sebab ia merasakan yang
mereka lakukan belum maksimal. Tetapi, Dendi ngotot sebaiknya meminta bantuan pihak
kepolisian untuk mencari mas Tohari.

"Bagaimana caranya kita harus menemukan mas Tohari malam ini juga!" kata Dendi.

"Siapa yang membiarkan mas Tohari hilang?" Wira berujar dengan suara sedikit meninggi.
"Tapi, bukan begitu caranya. Jangan cepat menyerah. Kita belum maksimal mencarinya.
Bagaimana kalau kita cari lagi? Kita susuri jalan ke rumah makan tadi? Di sana aku lihat tadi
ada gang, agak gelap dan pengap memang, siapa tahu mas Tohari ada di sana."

"Aku tak yakin mas Tohari ke sana. Aku lihat sendiri tadi ia berbelok ke kanan, bukan masuk
ke gang itu," elak Halim.

"Kupikir bisa kita coba usulan Wira."

"Ah, aku malas. Kalian saja," sela Halim. "Aku menunggu di sini saja, siapa tahu mas Tohari
ke sini."

Tanpa berpikir lagi, Wira dan Dendi segera kembali menyusuri jalan ke arah rumah makan. Ia
masuki gang pengap dan gelap tak jauh dari rumah makan tadi. Tetapi, selain rumah-rumah
kumuh dan gubuk-gubuk terbuat triplek di dalam gang itu, mereka tak mendapati mas Tohari.

Entah di mana dan ke mana mas Tohari. Kecemasan mereka makin menjadi-jadi. Saling
merutuk diri mengapa tak menemani mas Tohari mencari ibu paruh usia yang misterius itu?
Sampai esok pagi mas Tohari tak kembali ke penginapan. Dan, ibu paro usia yang telah
membuat hibuk itu, teramat sulit untuk dijumpai lagi di Ubud yang tak terjengkal luasnya oleh
kaki mereka. Pohonan yang rindang dan lebat-sangat banyak menghiasi dan menjadi khas
Bali-bisa saja menenggelamkan orang semacam ibu tadi.

Dan, mas Tohari sia-sia menemukan ibu itu. Sementara ketiga rekannya juga sia-sia
menunggu kedatangannya. Layaknya mendapati sebatang jarum di keluasan padang pasir.
***

(persembahan buat Ahmad Tohari, Marhalim, dan Wiratmadinata)

* Ubud-Lampung, September-Oktober 2007


Duel Dua Bajingan
Cerpen Fahrudin Nasrulloh

Di tebing jurang Wuluh di Bukit Kumbang, onggokan mayat-mayat berserakan di mana-mana.


Gubuk-gubuk padepokan lantak terbakar. Amis darah meruap, menjelma bebayang hantu
ditelan asap dan menyarang pedat ke rongga-rongga batu karang.

Roh mayat-mayat beterbangan

Diterpa cahaya purnama

Yang lahir dan yang mati

Tinggal kisah di sekotak peti

Jadi kenangan esok hari

Malam terus merayapi rasa kelam. Tapi kobaran api kian menerbangkan lelatu kematian.
Membubung tinggi. Hitam pekat berliuk-liuk. Bergulung-gulung bagai ribuan naga sanca yang
berlesatan menerobos angkasa. Di atas purnama bersaput warna kuning jingga, kejahatan
malam itu bak geriap ajal yang membelit bayangan pandangan mata yang durja.

Ia mendengus beringas. Tatapannya sangar. Mengoceh ngalor-ngidul. Mulutnya


memuncratkan ludah banger. Baunya bisa semaputkan orang. Ia berjubah hitam. Bertubuh
gempal. Tegap gagah, tampan. Tapi rautnya penuh parut bekas bacokan. Mengerikan dan
angker. Omongannya ngawur. Mbelgedhes! Mbelgedhes! Semprotan itu selalu ia semburkan
ketika amarahnya muntap.

Tubuhnya dekil. Bau bangkai babi. Petakilan tingkahnya. Berangasan bila melihat perempuan
ayu montok. Tak malu ngocol di jalanan. Memang ia suka menumpahkan berahi di sembarang
jalan. Ia menghunus pedang bergagang naga. Matanya memancarkan kilat bersaput kejora.
Melesat ia, secepat lawa, di atas selembar daun jati, menembus pepohonan. Berlayangan dari
ranting ke ranting. Seperti gagak maut yang mengibaskan kepak bengis sekarat,
melengkingkan kesumat, amuknya terpanggang dendam membara. Sekujur tubuhnya
bergetar gemuruh angkara.

Di Bukit Kumbang, kobaran api masih berjilat-jilat, lelaki itu berdiri bak arca yang bangkit dari
kutukan zalimnya. Jubah hitamnya berkibar-kibar diterpa sangit malam. Ingatan yang lamur,
sayup-sayup terbayang di pelupuk mripatnya simbahan darah sang guru, Ki Padas Getas.
Bagai janin mimpi beraroma keji, pembumihangusan padepokan Bukit Kumbang baginya
betul-betul menorehkan tragedi yang memilukan. Empat puluh murid Ki Padas Getas binasa
dengan cara mengerikan. Puluhan kitab warisan Syekh Karamuk musnah terbakar. Sebagian
dilenyapkan ke Jurang Wuluh, sebagian dirampok para pemburu kitab di bawah pimpinan
bajingan Pieter Zan Boven, si Belanda pincang bermata buta.

Lelaki itu berkelebat di udara. Tangannya mengusap-usap wajah buruknya. Sembari memekik,
ia berteriak lantang ketika melihat Pieter tergopoh-gopoh bersama dua orang berbaju hitam
yang menggembol bungkusan besar.
"Mau lari ke mana kau, Landa bangsat!? Hayo hadapi aku, jika kau benar-benar pembunuh
bayaran Kompeni laknat itu!"

Mendengar celometan itu, Pieter hanya terkekeh-kekeh sengir menatap tingkah pongah
Sawungpati. Seraya meludah-ludah jijik, ia duduk berleha-leha dan bersiul-siul ngece di
sebongkah karang. Mengelus-elus pistolnya bergagang emas. Sebilah keris berwarangka
kuning kemerah-merahan tersengkelit di pinggangnya

"Sawungpati, jangan cuma pamer kesaktian, Kau! Aku tak akan lari dari kematian. Akulah
tuan dari segala kematian. Dan kematianmu tinggal selangkah lagi. Dan malam inilah malam
terakhirmu. Ketahuilah, Ki Padas Getas dan semua muridnya sudah mati dengan peluru-peluru
berajah babiku ini. Memang mereka pantas mampus. Ia telah bersekongkol dengan Surapati
yang mempecundangi dan membunuh Kapten Francois Tack di Kartasura. Karena itu, aku
dapat bayaran banyak dari Kompeni untuk membunuh semua sahabat dan antek-antek
Surapati."

"Bangsat kalian semua! Persetan dengan Kompeni! Juga Sri Sunan yang jadi begundal dan
boneka kaum kafir itu. Kalian sebut Surapati sebagai bandit pengacau. Tapi dia sahabatku
yang punya keyakinan dan jiwa ksatria, dan bagiku, dia-lah yang layak menjadi raja di tlatah
Jawa, ketimbang Sri Sunan yang dungu, gampang membunuh, dan gelap kekuasaan itu.
Terlebih lagi, kalianlah perampok negeri kami! Bangsat! Jiancurit! Anjing najis kalian semua!!!
Cuih! Bedebah! Cuih!"

"He he he, Siapa yang lebih anjing bin babi hoi, murid begajulan! Kau curi Kitab Bajra Tapak
Geni Ki Padas Getas. Kau cabuli putrinya, Ni Mayang Wulan, hingga ia terhina dan gantung diri.
Kau tak pernah bergabung dengan laskar Surapati dalam peperangan sekalipun. Hidupmu
cuma kau buang untuk berhura-hura. Berjudi. Sabung ayam. Merampok dan menjarahi harta
juragan-juragan Cina. Main perempuan hingga zakarmu kena raja singa. Ha ha ha, kau lebih
laknat dari iblis, Sawungpati! Dan sekarang, kita ini sama-sama biadab, Sawungpati! Kau tak
terima juga jika sekarang aku melakukan kejahatan yang sebenarnya lebih sesat dari
kejahatanmu!"

Dua murid murtad Ki Padas Getas itu gencar saling berserapah dan lempar tuduhan. Pieter, si
jangkung merit beraut mayat, bertulang bak jrangkong. Dengusan napasnya bagai
memletikkan rambut pasir api yang kuasa membangkitkan mimpi buruk bagi siapa pun yang
terjebak menatap kesangaran wajahnya. Ketangkasannya bertarung sabung memang setara
dengan Sawungpati yang telah menguasai Kitab Bajra Tapak Geni. Namun pelor-pelor
pistolnya yang berajah gaib itulah, yang banyak membikin gentar musuh. Bahkan Kompeni
juga orang-orang Mataram pun menggigil menghadapinya.

"Pieter, kenapa kau tega membunuh guru kita?"

"Ia pantas mati. Bukan perkara aku dibayar oleh Kapten Eygel untuk membinasakannya. Tapi
aku yakin, jika tak kubunuh si bongkeng bau tanah itu, dia pasti nanti kau bunuh juga dan
kau rampas pula kitab saktinya. Dan ternyata benar dugaanku."

"Tapi mengapa pula kau lenyapkan semua kitab Syekh Karamuk?"

"Aku sudah mempelajarinya semua. Termasuk kitab babon Segara Ireng Kalimatul Arsy wal
Maut. Aku yakin, tak seorang pun pewarisnya yang khatam mengamalkannya. Kecuali aku.
Aku. Akulah pewaris tunggal semua ilmu guru yang kelak menjadi jawara di tlatah ini yang
tiada tandingnya."

"Sontoloyo, celeng demit begejil!! Terbakarlah leluhur bejatmu di alam baka, bangsat!"
"Hei, lancang benar kau sebut-sebut roh leluhurku di Den Haag yang telah beristirahat dengan
tenang. Memang, aku sudah telanjur jadi iblis. Aku bukan pengabdi Kompeni, bukan budak
siapa pun. Akulah tuan dari kebejatanku sendiri, dari segala kejahatan dunia. Sudahlah!
Jangan banyak cincong kau! Hayo kita bertarung!!!" Ciaaatttttt!!!

Ciaw, ciow, cah cih cuh

Mata elang sambar menyambar

Bayangan getih bersintakan

Digulat dendam, silir menyilir

Yahoi, jurus-jurus beradu

Menetak nadi, gemetar pepati

Ciaw, ciow, cah cih cuh

Pieter berkelebat. Menghambur ke arah Sawungpati. Sementara, dua pengikutnya, jawara


bule peranakan; Gajul van Deer dan Bajul van Keer telah bersiap-sigap menyerang dari sisi
kanan dan kiri.

"Hoi, Kalian menyingkirlah! Ini urusanku dengan Sawungpati. Jangan ikut campur!!!"

"Kami berdua juga ingin menguji kesaktian Sawungpati, Tuan!" pekik Bajul van Keer.

"Benar, Tuan, aku juga sudah gatal ingin meremukkan kepala si durjana ini!" sambung Gajul
van Deer.

"Jamput! Dasar kroco-kroco tak tahu diri. Kalian bukan tandingannya. Jangan membantah
perintahku! Atau kubunuh kalian sekarang!?"

Seketika keduanya ciut nyali dan nyengir seperti disawuri kotoran anjing. Mereka mundur
barang lima tombak. Bersungut-sungut gentar campur grundel sambil mondar-mandir
mengayun-ayunkan pedang dan kapak mereka.

Bagi Gajul dan Bajul, mereka hanya sekali menyaksikan pertarungan dua pendekar urakan itu.
Inilah persabungan kedua mereka setelah, lima tahun sebelumnya, Pieter dicocor mripat
kirinya dengan jurus Tapak Carang Goyang oleh Sawungpati hingga buta dan kemiren kaki
kanannya tertetak pedangnya hingga pincang. Tapi Sawungpati juga terluka cukup
memedihkan. Karena sabetan keris Wotyamadipati milik Pieter, hampir sekujur wajahnya
penuh carut luka. Mengerikan. Menyayat pandangan.

Dalam sekejap keduanya sudah bertarung sengit. Berlompatan di udara. Menukik. Menghunus.
Saling sambar menyambar dengan jurus masing-masing. Hunjaman demi hunjaman keris
Pieter menyodok ke wajah Sawungpati. Sabetan pedang Sawungpati juga berkali-kali
menjurus ke dada Pieter, namun ia tangkas berkelit lincah.

Sesekali keduanya berkelebatan dari bongkahan karang satu ke bongkahan karang yang lain.
Jika tak hati-hati, mereka bisa terpeleset terjerumus ke Jurang Wuluh. Tapi mereka bukan
pendekar urakan biasa yang ceroboh seperti dua cecunguk Pieter yang keberanian dan
ketangguhannya terbilang kacangan.
Hiaattt!.... Ciahhhh!....

Ciaaatttt!.... Heahhh!....

Gema suara mereka melengking menggelegar hebat. Denting keris dengan pedang
memekakkan telinga. Percikannya bak tebaran timah panas berpletikan ke mana-mana.
Menggiriskan bulu kuduk. Memaksa mata tersodok berkejap sebab kilaunya memerihkan
tatapan. Membunarkan jarak pandang. Memusingkan kepala bagi siapa saja yang jika berani
coba-coba membuka kedipan mata.

Tiba-tiba Sawungpati mundur tiga langkah. Menata kuda-kuda. Membuka jurus-jurus dari
Kitab Bajra Tapak Geni. Kaki kirinya dilipat dan ditapakkan di dengkul kanannya. Matanya
terpejam. Dua telapak tangannya saling dirapatkan dan diacungkan ke langit. Mulutnya
komat-kamit merapalkan mantra:

aji bajra tapak geni

segara langit segara bumi

lipat pati latu getih

biqudratillahi mautika

rajiun wa laknatun

Pieter tidak tinggal diam. Lima pelor berajah babi telah siap dibidikkan. Namun ia juga
berjaga-jaga dengan mendaraskan mantra dari Kitab Segara Ireng Kalimatul Arsy wal Maut:

aji geni ireng segara areng

sipat Gusti sipat langgeng

sipat menus sipat pati

matia sajroning dzat Gusti

la ilaha illallahu Muhammadar rasulullahu

Serentak keduanya saling menerjang. Kibasan, pukulan, dan sodokan sama-saama mereka
lancarkan.

Pieter mulai keteter. Dengan susah payah ia berkelit dan menangkis pukulan dan tendangan
Sawungpati. Sawungpati terus mendesak. Jurus kelima Bajra Tapak Geni ia tukikkan ke ulu
hati Pieter. Sial. Pieter tak sempat menghindar. Kecepatan pukulan itu melebihi desahan
napasnya yang mulai ngos-ngosan. Ia terjengkang tiga langkah ke belakang. Sambil
memegangi ulu hatinya, Pieter menghirup setarikan napas.

"Ha, ha, ha, bagaimana rasanya Bajra Tapak Geni-ku, Pieter? Jantungmu bisa-bisa ambrol dan
gosong!!! Ha, ha, ha!!!"

Pieter tak meladeni ocehan itu. Sekilat lepas ia tembakkan pistolnya. Sawungpati tergeregap
menghindar. Berjumpalitan bagai kutu loncat. Empat tembakan dapat ia tepiskan. Tapi satu
peluru menyarang di perutnya. Darah mulai menetes. Ia merintih-rintih, nyengar-nyengir
kesakitan. Wajahnya yang bercarut luka kini memerah. Pelor rajah babi memang dengan
sendirinya merasuk ke seluruh aliran darah dan membuat si terluka makin garang dan lepas
kendali bagai celeng alas mengamuk menyerang musuhnya.

Sementara Pieter mulai terhuyung-huyung dan berjalan terdingklang-dingklang sembari


memegangi ulu hatinya dengan tangan kirinya. Tangan kanannya masih tetap menodongkan
pistol yang kosong itu ke jidat Sawungpati. Ia tahu tak ada waktu lagi mengisi peluru, lantas
membuang pistol.

Pieter segera mencabut Keris Wotyamadipati. Keringat dingin menderas meleleri sekujur
tubuhnya. Ia semakin gemetar merasakan keampuhan pukulan Bajra Tapak Geni itu.
Sawungpati juga mencabut pedangnya. Tapi pedang ini bukan pedang pusaka. Kendati
pedang ini pernah membikin picak dan pincang si Pieter. Itu pun karena gabungan jurus
pedang dengan dengan ajian Bajra Tapak Geni.

Keduanya saling berhadapan dalam jarak dua tombak. Tampaknya inilah pertarungan hidup-
mati mereka. Lalu keduanya saling menyerang.

Crasss.... Jlepp....

Akhkhkh.... Eighghrrhghrrr...

Tebasan pedang Sawungpati membuntungkan tangan kiri Pieter. Mata Pieter mengerjap-
ngerjap. Menatap dengan nanar ke purnama yang hendak tenggelam dijemput fajar. Pieter
limbung. Gontai, dan tersungkur tepat di kaki Sawungpati.

Adapun Sawungpati lebih tragis lagi, keris Wotyamadipati menancap di lehernya hingga
tembus ke tengkuk. Darahnya muncrat membasahi sekujur tubuhnya. Namun ia tetap berdiri
tegap dengan mata mendelik. Nyalang mripatnya seolah mau menghirup cahaya fajar yang
mulai menyingsing. Mulutnya hendak memekikkan sesuatu. Tapi tak kuasa. Lalu ia terjatuh
tersimpuh. Meregang nyawa. Suaranya mengorok-orok sesenggrokan. Seperti suara sapi
kejang yang disembelih.? Sejenak kemudian, kepalanya tertunduk. Dan darahnya yang
menghitam kental itu masih saja merembes dari lehernya.

Dengan cekatan Gajul dan Bajul menyingkirkan Pieter dari posisi Sawungpati yang tewas
bersimpuh itu. Pieter barangkali hanya pingsan sebab kehabisan darah. Tapi pukulan
Sawungpati itu juga sangat mematikan. Akhirnya, dengan membopong Pieter beserta barang
jarahan lain keduanya cepat-cepat meninggalkan Bukit Kumbang itu.***

Lembah Pring, Jombang, 2006-2007


Tanah Merah
Cerpen Dwicipta

Ketika ia bersandar pada pagar kapal yang akan membawanya pergi dari Tanah Merah,
seluruh peristiwa yang telah dialaminya hampir setahun sebelumnya bagai berputar kembali di
pelupuk matanya. Hidupnya sendiri adalah rangkaian petualangan demi petualangan yang tak
berkesudahan. Semula ia adalah seorang pahlawan untuk negerinya, negeri Belanda yang
telah menguasai bumi Hindia Belanda selama ratusan tahun. Semua orang yang tahu atau
pernah mendengar tentang peristiwa Banten yang menggegerkan itu sudah barang tentu telah
mendengar keharuman namanya.

Oleh tindakan kepahlawanan itu Pemerintah Hindia Belanda telah menganugerahkan sebuah
bintang kehormatan kepadanya. Orang-orang mengelu-elukannya. Ia mendapatkan undangan
pesta dari para pejabat militer Batavia dan orang-orang yang ingin mendengarkan kisah
pertempuran yang telah ia alami, bunyi letusan senapan dan jerit mengerikan ketika tubuh
meregang nyawa. Sungguh, memabukkan.

Beberapa bulan setelah ia berhasil menumpas pemberontakan kaum merah di Banten,


Pemerintah Batavia menunjuknya sebagai komandan ekspedisi yang pertama-tama untuk
masuk ke Digul dan mempersiapkan kamp pembuangan bagi kaum interniran yang telah
memenuhi penjara-penjara di Jawa dan Sumatera.

"Apakah Gubernur Jenderal sudah gila? Digul adalah daerah terpencil, hutan-hutan lebat yang
belum dijamah kecuali oleh penduduk rimba setempat dan para petualang Tionghoa. Aku
mendengar dari orang-orang yang melakukan ekspedisi ke sana untuk mencari emas bahwa
Digul adalah belantara yang dipenuhi para pengayau. Bagaimana kaum interniran bisa hidup
di sana?" tanyanya kepada Letnan Drejer, opsir yang juga mendapatkan perintah untuk
menemaninya masuk belantara Digul.

"Tampaknya tuan Gubernur Jenderal de Graeff ingin meniru bangsa Rusia. Bukankah di Rusia
terdapat pembuangan yang terkenal di seluruh dunia? Siapa tak mengenal Siberia, neraka
bagi siapa pun warga Rusia yang berontak atau menjadi bajingan!" ujar Letnan Drejer sambil
tersenyum kecut.

"Kita bukan bangsa Rusia dan Siberia lain dengan Digul, Letnan. Digul hutan lebat. Apa yang
bisa diharapkan dari daerah seterpencil itu? Kalau kita membuka hutannya, masalah
mengerikan lain telah menunggu: malaria! Bukankah itu sama saja dengan mengirimkan
kaum interniran itu ke lembah kematian?"

"Saya tak takut dengan malaria, Kapten. Tapi tinggal di hutan lebat semacam Digul sama saja
dengan menyerahkan kepala kita kepada para pengayau atau para kanibal hitam di sana.
Itulah yang saya takutkan," ujar Letnan Drejer dengan kepala bergidik.

"Hehm, benar. Dan kita, kaum terhormat yang baru saja mendapatkan bintang kehormatan
dari tindakan militer, harus mengotorkan tangan dengan tindakan memalukan. Sungguh
keterlaluan orang-orang Batavia!"

"Yang lebih mengherankan, bukankah Gubernur Jenderal de Graeff itu terkenal berbudi baik,
Kapten? Bagaimana ia bisa membuat keputusan-keputusan yang mengerikan seperti
membuka kamp pembuangan?" ujar Letnan Drejer tak mengerti.

"Apalah artinya seorang gubernur jenderal berbudi baik bila sistemnya telah diracuni oleh para
pejabat berhati kotor? Merekalah yang tak ingin kedudukannya terancam dengan ulah para
pemberontak yang ingin menjatuhkan kekuasaan. Dan, untuk menangkal ancaman tersebut,
tindakan kotor pun buat mereka tak apa-apa dan tak ada salahnya dilakukan."

Letnan Drejer mengangkat bahu. Dipandangnya punggung Kapten Becking yang jangkung itu.
Rasa hormatnya yang tinggi tak pernah lenyap terhadap lelaki ksatria yang beranjak tua ini.
Di luar dinas militernya, opsir berambut putih itu sungguh terpelajar. Satu minggu
sebelumnya Kapten Becking telah meminta bawahannya untuk mencari segala pengetahuan
yang ada hubungannya dengan Digul dan bumi hitam di ujung timur Hindia itu. Sementara
para prajurit dan opsir bawahannya membual dan membayangkan petualangan di tanah
mereka yang akan mereka lakukan, ia justru tenggelam dengan buku-buku dan tumpukan
laporan tentang Digul dan wilayah New Guinea secara umum. Ia gemar sekali membicarakan
suku-suku pedalaman yang tinggal di hutan belantara itu dan di sepanjang Sungai Digul,
kebaikan-kebaikan mereka dan kesukaan mereka dalam mengayau. Tak jarang ia
mengingatkan Letnan Drejer akan kebuasan alam tempat baru itu dan berujar ia akan
menundukkannya secepat mungkin.

Satu minggu sebelum bulan Januari 1927 berakhir kapalnya yang membawa 120 serdadu dan
60 kuli paksa dengan kaki dirantai memasuki Sungai Digul dan membuang sauhnya pada
jarak ratusan kilometer dari pantai. Hujan tipis tak menghalanginya untuk keluar dari kapal,
memandang ke arah hutan lebat maha luas dan tampak buas dalam bayangannya. Dari tabir
tipis gerimis ia masih bisa menangkap keluasan hijau yang terbentang di depan matanya,
daerah sunyi yang oleh Gubernur Jenderal de Graeff telah dipilih sebagai kamp pembuangan
kaum interniran merah yang memberontak itu. Tubuhnya yang jangkung dan rambutnya yang
memutih bergoyang-goyang oleh kapal dan angin yang bertiup cukup keras. Ia
menggelengkan kepala dan menarik napas dalam-dalam.

"Di sinikah tahanan politik itu disembunyikan dari masyarakatnya, ataukah justru dikuburkan
untuk selama-lamanya?"

Lama ia berdiri di pagar kapal, mengamati hutan belantara dan buaya-buaya yang berjemur
dengan moncong terkatup di pinggir sungai. Ia membayangkan suku-suku pedalaman yang
nanti akan terganggu oleh pekerjaan barunya. Sayang ia tak bisa mundur lagi. Dengan
seluruh perasaan bersalah mengeram di dalam dadanya, ia menekan hasrat kemanusiaannya
yang terus menggemakan pertanyaan demi pertanyaan. Ia menggenggam bintang
kehormatan yang tersemat di dadanya dengan perasaan terhina dan masuk kembali ke kapal
menemui Letnan Drejer dan segenap prajurit bawahannya.

Setelah berunding beberapa saat, mereka menurunkan seluruh keperluan pembukaan hutan
dan perbekalan hidup mereka untuk masa tiga bulan. Kecuali pakaian dan perlengkapan anak
buahnya, terdapat alat-alat duduk dan tidur, barang pecah belah, alat pertanian dan
persediaan benih, lalu kaleng minyak tanah yang isinya tidak lain bahan-bahan makanan. Para
kuli paksa dan sebagian besar serdadu membuka hutan dengan model setengah lingkaran
terlebih dahulu sebagai tempat untuk mendirikan kemah dan tenda mereka. Sementara
sebagian kecil serdadu menjaga bahan persediaan makanan dan segala barang perlengkapan
yang telah diturunkan dari kapal.

Ketika kegelapan menyelimuti mereka, di tengah-tengah tenda dan kemah baru diletakkan
lampu stormking. Kapten Backing dan seluruh pengikutnya bersiap-siap dengan serbuan
pertama-tama manusia hutan Digul. Pada tengah malam, ketika keletihan telah merayapi
tubuh mereka, tiba-tiba terdengar jeritan panjang yang datang dari berbagai jurusan
sekalipun tak ada satu pun dari mereka yang menunjukkan dirinya di bawah penerangan
lampu. Beberapa kuli paksa gemetaran dan membaca doa keras-keras, mengira suara-suara
jeritan dari balik hutan sebagai kemarahan hantu-hantu hutan yang pepohonannya telah
mereka babat. Namun, Kapten Becking dan sebagian besar serdadu yang dibawanya yakin itu
adalah suara-suara para penghuni hutan yang telah menyaksikan aktivitas mereka sejak pagi.
Setelah ditunggu-tunggu dan mereka tak juga muncul atau menyerang, seluruh serdadu dan
kuli paksa menarik napas lega.
"Aku yakin mereka tidak buas, sebab kalau mereka buas sudah sejak semalam mereka akan
menyerang kita," ujar Kapten Becking keesokan harinya.

"Aku harap juga demikian. Kalau mereka buas, pekerjaan kita bakalan lebih payah lagi,"
letnan Drejer menimpali dengan kecut.

"Benar. Bagaimanapun tugas berat ini harus cepat selesai, paling tidak sebelum satu bulan. Di
samping tenda-tenda, kita harus mempersiapkan dua gudang untuk menyimpan seluruh
barang-barang yang telah kita bawa, sebuah rumah sakit, satu stasiun radio dan sebuah
kantor pos. Itu belum termasuk menyiapkan lahan-lahan permukiman bagi kaum interniran
dan lahan pertanian mereka kelak."

"Kantor pos? Sungguh aneh, di sebuah hutan belantara seperti Digul bagaimana mungkin ada
kantor pos? Sungguh konyol gagasan orang-orang Batavia itu," ujar Letnan Drejer mengejek.

"Sekarang mungkin kita tak membutuhkannya. Namun, nanti, ketika seluruh kaum interniran
itu diangkut ke sini, mereka akan membutuhkannya. Apakah mereka akan dibiarkan betul-
betul merana tanpa berkirim kabar pada saudaranya di tempat lain. Mereka orang beradab
dan harus tetap berhubungan dengan peradaban."

"Mereka dibuang di sini saja bukan tindakan beradab, Kapten. Jadi sia-sia saja mereka
mencari hubungan dengan orang-orang beradab."

"Itulah yang sebenarnya melukai kehormatanku, Letnan. Aku lebih terhormat meregang
nyawa dalam sebuah pertempuran daripada membuat tempat penyiksaan semacam ini. Tapi
kita mengabdi kepada Gubernur Jenderal, bukan kepada nurani kita," ujar Kapten Becking
sambil menguap. Tak lama kemudian ia jatuh tertidur.

Begitu terang tanah telah sempurna, mereka kembali bekerja membabat hutan dan
mempersiapkan tanah lapang untuk keperluan tempat tinggal dan segala bangunan yang akan
diperlukan nanti. Serdadu yang berjaga dan ingin melepas kejenuhan menyusuri sungai dan
berburu buaya.

Pada hari kelima, ketika mereka tengah siap memulai pekerjaan setelah istirahat tengah hari,
mereka dikagetkan oleh suara jeritan seperti empat malam sebelumnya. Dari berbagai arah,
dengan hanya berpakaian bulu burung cenderawasih dan membawa sebuah pepaya di tangan,
manusia-manusia hitam bertubuh atletis itu menampakkan diri di hadapan para serdadu dan
kuli paksa, mencoba menarik perhatian mereka lalu mendekat selangkah demi selangkah
dengan sangat hati-hati. Kapten Becking, yang telah melakukan studi lama tentang daerah
sekitar hutan ini beserta kebiasaan para penduduknya mendekati mereka dengan dada
berdebar-debar. Busur, panah dan lembing mereka siap bergerak. Namun, buah pepaya yang
ada di tangan para manusia hitam itu yang membuat Kapten Becking yakin mereka tak akan
membuat keonaran.

Dengan tangan gemetar ia mengeluarkan tembakau dari saku celanya dan dengan bahasa
isyarat dari tangan dan wajahnya ia mengajak mereka menukar tembakau terebut dengan
pepaya yang mereka bawa. Begitu mereka menerima tembakau dan Kapten Becking
menerima pepaya, orang-orang hitam itu bersorak melegakan seluruh pendatang baru itu.
Kapten Becking meminta kepada Letnan Drejer untuk mengambilkan sekantong garam dan
barang-barang perhiasan kecil yang ada di gudang. Ketika benda-benda itu diberikan kepada
pemimpin penghuni hutan, mereka membalasnya dengan memberikan bulu burung
cenderawasih, burung-burung yang cantik, dan binatang-binatang buruan yang berhasil
mereka tangkap dengan sumpit. Namun, yang paling membuat geli para pendatang baru itu
adalah sikap para penghuni hutan itu kepada gramofon yang mereka bawa. Benda yang
piringan hitamnya sedang berputar itu diangkat, diselidiki, dan dilihat-lihat dari segala sudut
dengan penuh keheranan.
"Mungkin mereka heran bagaimana suara manusia bisa muncul dari gramofon itu, Kapten,"
kata anak buahnya sambil tersenyum dan tertawa terpingkal-pingkal.

"Tentu. Mereka mencari bagaimana benda sekecil itu menyembunyikan manusia," kata Letnan
Drejer sambil tersenyum lebar.

Setelah beberapa minggu segala persiapan awal penyambutan kedatangan para internitan
yang pertama-tama di bekas hutan Digul itu selesai, secara bergelombang datanglah kaum
merah yang telah gagal memberontak itu, dipisahkan dari bangsanya sendiri dan dikubur di
tengah belantara untuk selamanya. Pada pendatang baru ia memperkenalkannya sebagai
Tanah Merah.

Siapa sangka jika pekerjaan meletihkan dan memalukan itu kemudian memaksanya berhenti
dari dinas militer? Semuanya berawal ketika ia mengizinkan seorang wartawan berkebangsaan
Denmark masuk ke kamp interniran dan melihat dari dekat segala hasil kerjanya. Kabarnya,
wartawan itu mengambil gambar para interniran selama di dalam kapal dari Surabaya hingga
sampai di Digul. Komandan kapal yang tak ingin dosa-dosa para pejabat Batavia diketahui
secara luas oleh seluruh dunia merampas kamera dan menghancurkan foto-foto yang telah
dibuatnya selama di kapal. Alangkah murkanya ia ketika Kapten Becking justru mengizinkan
wartawan itu masuk ke kamp pembuangan.

Ia juga tahu para pejabat Belanda di Merauke tak menyukai keberhasilannya membangun
kamp pembuangan itu. Mereka membuat rencana busuk untuk menyingkirkanya. Suatu kali
Letnan Drejer memberitahu bahwa Opsir Mon Joulah yang mengatur semua itu. "Ia sangat gila
kekuasaan, Kapten," ujar Letnan Drejer muak.

Foto dari wartawan Denmark itu rupanya telah melukai kehormatan para pejabat Batavia.
Mereka makin menyudutkannya atas tindakan ceroboh memasukkan wartawan ke kamp
pembuangan sehingga kabar tentang kamp pembuangan itu meluas ke seluruh dunia. Saat
itulah ia memutuskan untuk mengirimkan kawat ke Batavia dan mengundurkan diri dari dinas
militer!

Tak akan terlupakan hari keberangkatannya meninggalkan Digul. Ia berdiri di pagar kapal api,
bukan lagi memandang hutan yang hijau sunyi, namun permukiman yang dibangunnya belum
setahun yang lalu sembari merenungkan nasibnya. Hujan tipis membasahi baju dan
rambutnya yang putih. ***

Sokawangi, Oktober 07
Bangku Beton
Cerpen Sunlie Thomas Alexander

BANGKU beton itu masih di sana, di bawah rindang batang jambu air. Kusam dan
berlumut tebal. Alang-alang tumbuh lebat di sekelilingnya, tanaman pakis menjalar
liar. Di atasnya, berserakan guguran daun-daun tua. Sebagian telah membusuk oleh
hujan. Ia tertegak di pintu dapur, tak berkesip memandang bangku di sudut
pekarangan rumah itu. Entahlah, lamat-lamat ia seolah mendengar tiupan
harmonika, mendengar lagu Les Premiers Sourires de Venessa-nya Richard
Clayderman. Beberapa saat lamanya ia merasa terbuai. Tapi, sesuatu seperti
menyesaki dadanya. Tanpa sadar ia menggigit bibir. Pandangannya menjadi buram.
Tentu ia tak pernah bisa melupakan lagu itu, juga lagu-lagu Richard Clayderman
lainnya. Meskipun sudah demikian lama, bertahun-tahun, tak pernah mendengarnya
lagi. Ia ingat, lelaki itu nyaris dapat memainkan semua lagu Richard Clayderman
dengan segala instrumen, dengan cukup sempurna.

Di tengah pandangannya yang berkabut, lelaki itu seolah masih duduk di sana
sambil meniup harmonika. Hampir setiap sore, setelah toko tutup, lelaki itu akan
duduk-duduk di bangku beton di bawah pohon jambu air lebat itu sambil meniup
harmonika, membaca buku atau koran. Kadangkala secangkir kopi menemaninya.
Lelaki itulah yang membuat ia jatuh cinta pada musik, juga mengenalkannya pada
wushu.

"Pinggangmu kurang lentur, geser kaki kananmu lebih ke belakang," ia seperti


mendapat instruksi dari lelaki itu lagi. "Ya, turunkan kuda-kudamu lebih rendah.
Kalau lawan datang dari samping, kau akan punya kesempatan mengelak dan
menyerang bagian rusuknya."

Tapi, lututnya sudah goyah, bahunya terasa linu. "Sudah Pa, sudah capek. Aku mau
main bola..."

"Ah, manja kau!" lelaki itu menyeringai." Kau les piano kan nanti malam?"

Aroma dupa mengental, menyengat hidungnya. Gerimis sudah berhenti. Tiupan


harmonika itu timbul-tenggelam, terus mengiang-ngiang di telinganya. Lagu-lagu
silih berganti, menyeret kembali kenangannya dengan kejam. Ballade Pour Adeline,
A Comme Amour, Un Blanc Jour D’ un Chaton, Nostalgy, Lettre A Ma Mere... Agaknya
ia masih menghafal semua judul lagu. Meskipun ia tidak pernah bisa memainkan
lagu-lagu itu dengan baik di atas tuts-tuts piano, dan lebih tertarik pada musik klasik
murni. Pada Chopin, Mozart, Beethoven, dan Bach. Atau yang lebih kontemporer,
Stravinsky. Dan, ketika memutuskan untuk belajar di akademi musik, ia pun lebih
senang mengambil mayor gitar.

Ada jalan setapak kecil dari susunan batu-batu putih, membentuk lengkungan
setengah lingkaran dari pintu dapur ke bangku beton itu, memotong hamparan
rumput jarum yang meranggas. Agak ragu ia melangkahkan kakinya ke sana. Angin
sore terasa basah, sedikit kencang, membuat dedaunan jambu air bergemerisik ribut.
Ia melihat daun-daun tua keemasan yang melayang jatuh seakan dalam gerak slow
motion. Dan, hal itu, entah kenapa, membuat perasaan sedihnya semakin tajam.
Seperti mengiris di dada. Ah, waktu! Waktu!
Namun, saat langkah kakinya sampai di sana, bangku beton itu tiba-tiba terasa
begitu senyap. Bungkam, seakanakan tak berkenan menyambut kedatangannya. Tak
ada lagi tiupan harmonika, tak ada lagu-lagu Richard Clayderman yang mengiang di
telinganya. Semua lenyap. Ia berdiri tertegun di bawah kerindangan pohon jambu.

Memandang sekeliling, ia melihat pekarangan rumahnya kini agak kurang terurus. Ia


tahu, sejak muda ibunya bukanlah perempuan yang cukup telaten mengurus rumah.
Lagi pula sekarang di rumah mereka tak ada pembantu. Bibi Fatonah dipulangkan
ibu ke kampung setelah lelaki itu meninggal.

"Dia sudah tua, biarlah istirahat di kampung. Ibu beri pesangon secukupnya," kata
ibunya dalam sepucuk surat. Ah, dulu lelaki itu selalu wantiwanti kalau pekarangan
belakang rumah itu harus selalu bersih dan rapi. Tiba-tiba ia baru menyadari kalau di
teras belakang itu tak ada lagi pot-pot bunga berukuran besar-kecil yang tertata
indah. Beragam bunga, terutama euphorbia, anggrek, dan adenium. ia termangu-
mangu di depan bangku beton yang kusam berlumut itu. Mencoba mengingat semua
kejadian indah yang pernah dilewati.

"Kau mau makan dulu?"’ Suara ibu sedikit mengagetkan lamunannya. Ia berpaling
dan mendapatkan perempuan itu sedang berdiri di ambang pintu dapur. Ia
menggeleng ragu.

***

IA pulang juga setelah sembilan tahun. Rumahnya -sebuah ruko tepatnya-tidak


banyak berubah seperti juga kota kecilnya. Bagian muka ruko tampak sepi, ketika ia
turun dari angkot yang membawanya dari pelabuhan. Rolling door biru muda kusam
berkarat tertutup rapat dengan gembok besar terkait di bagian bawahnya. Hujan
rintik-rintik menyergapnya di depan ruko. Kernet angkot membantu menurunkan
dua ransel besar yang dibawanya. Setelah membayar sesuai harga yang telah
disepakati di pelabuhan, ia mengangkat kedua ransel besarnya, agak sempoyongan
karena berat. Ada beberapa orang menatapnya. Ia berpaling ketika merasa
mengenali seseorang. Seorang perempuan separo baya. Ia masih mengenali
perempuan itu, tetangga bertahun-tahun. Ia tersenyum lebar. Tapi perempuan itu
diam saja, terus menatapnya tak berkedip, meskipun kemudian mengangguk kecil.
Tanpa senyum. Ah, apakah ia tidak kenal padaku lagi? Pikirnya kurang enak.’

Diteruskan langkahnya ke pintu depan rumah yang terbuka dengan rolling door
tergulung ke atas. Sebetulnya itu pintu samping dari ruko yang berfungsi sebagai
pintu masuk rumah tinggal. Los toko dipisahkan dari rumah dengan pembatas
dinding triplek yang membentuk semacam lorong kecil dari pintu masuk itu. Lampu
di lorong kecil itu belum dinyalakan.

Ia akhirnya sampai ke bagian dalam rumah. Ruang tengah juga tidak banyak
berubah. Sebuah lukisan pemandangan alam pegunungan masih tergantung sayu di
dinding. Agak miring. Berpaling ke kiri, ia melihat pintu kamar baca itu tertutup
rapat. Kenangan yang berdebu menyergapnya. Gelenggeleng kepala, ia meneruskan
langkahnya melewati ruang tengah. Ada seekor kucing belang tidur di dekat sofa.
Bangun mendadak ketika ia lewat. Kucing itu tampak waspada. Ia menyeringai lebar.

Ketika ia sampai di dapur, ibunya sedang mengatur sesajen di atas meja


sembahyang. Perempuan itu menoleh ketika mendengar langkah kaki anaknya
masuk. Tampak begitu tua dan ringkih, tapi senyumnya masih menyisakan
kecantikan di masa muda.

"Ah, kau sudah sampai rupanya. Pas! Mama baru saja mau sembahyang."
Perempuan itu menarik sebuah kursi plastik di dekatnya, "Duduklah." Perempuan itu
kemudian menuangkan secangkir teh dari teko keramik untuk anaknya. Diperhatikan
betul kerut-merut wajah ibunya, juga uban di kepala perempuan itu. Ia tersenyum
getir.

"Mama pikir kau tak jadi pulang," suara ibunya seperti menggantung. Ah, tidak Ma,
aku pasti pulang seperti yang aku katakan di telepon, elaknya buruburu. Ibunya
tersenyum tipis. Tiba-tiba ia merasa malu karena teringat dua kali ia pernah berjanji
untuk pulang tapi tak pernah jadi. Pertama, saat kakak perempuannya menikah.
Kedua, ketika neneknya sakit lalu meninggal. Setelah itu, ia seolah ditelan tanah
rantau, nyaris tak pernah berkabar ke rumah.

Diperhatikannya ibunya menuang arak dari botol bekas sirup ke tiga cawan kecil di
atas meja sembahyang. Perempuan itu kemudian merobek sebungkus dupa merah,
dan membakarnya pada lilin besar di sisi kiri meja. Tiga buah kaleng bekas susu
bubuk yang dililit kertas merah berisi pasir diletakkan bersusun di tepi meja. Tiga
lembar kertas merah bertulisan China yang masing-masing ditempel pada dua
batang dupa tertancap pada setiap kaleng. Ia tak bisa membaca hanji -meskipun
pernah diajari- tapi ia tahu mana nama bapaknya, kakek, dan neneknya.

"Sembahyanglah! Kabari papamu kalau kau pulang!" kata perempuan itu sambil
mengulurkan sejumlah dupa berasap kepadanya. Ia menerima dengan begitu
bimbang. Dengan canggung ia memegang dupa itu dengan kedua tangannya di
depan meja. Dan, semakin ragu ketika menatap beragam buah, kue, dan daging
yang tertata dalam piring-piring di atas meja.

Akhirnya, dengan setengah hati, ia menuruti juga keinginan ibunya. Ia bersin


berulang kali oleh asap dupa yang tajam menyengat. Padahal, dulu, aroma dupa itu
begitu harum bagi hidungnya. Ia hanya menggerak-gerakkan kedua tangannya yang
memegang dupa di depan dada sekadarnya dengan mulut terkatup, tanpa
mengucapkan sepatah doa pun. Dulu, ibunya, juga nenek, selalu saja mengajarinya
berdoa panjang-lebar setiap kali sembahyang.

Ia merasa tak ada yang harus dipanjatkan, tak ada kata-kata yang mesti diucapkan
untuk masa lalu. Orangorang yang telah pergi itu cukuplah menjadi hantu di dalam
kenangan. Sekadar hantu, yang kadang-kadang membuat kita terharu -atau sakit-
oleh beragam peristiwa yang telah lewat. Demikian ia berpikir ketika menancapkan
dupa di kaleng. Sampai tiba- tiba ia menangkap bayangan bangku beton itu lewat
ambang pintu dapur yang terbuka lebar.

***

Lelaki itu seharusnya bisa memilihuntuk melupakan masa silamnya. Seharusnya.


Tetapi lelaki itu memilih mengawetkannya, bahkan kemudian menjemput masa silam
itu. Ia tahu alangkah sulit bagi lelaki itu untuk menjatuhkan pilihan. Ia selalu yakin
lelaki itu seorang yang cukup bijak. Tapi ketika lelaki itu akhirnya memilih tidak
seperti yang ia harapkan, kekecewaan tak mampu ia pendam. Ia memang
menghargai pilihan lelaki itu, meskipun sejak itu dendam perlahan mulai tumbuh di
dadanya, menggerogoti hatinya. Barangkali seperti lumut yang kini melapisi bangku
beton di hadapannya, pikirnya sedikit sinis.

Ia ingat, bermalam-malam ibunya menangis. Cuma menangis. Tak ada keributan di


rumah. Semua berjalan seperti biasa. Hanya saja, kemudian lelaki itu semakin
sering keluar rumah, mulai jarang duduk-duduk di bangku beton itu sambil
memainkan harmonika atau membaca. Meskipun setiap kali pergi, lelaki itu selalu
saja pulang, kadang menjelang dini hari. Dan ibunya tetap setia membukakan pintu.

Ia tidak tahu apa yang salah. Apakah ia memang pantas membenci lelaki itu. Yang
pasti, ia mulai jarang bicara dengan lelaki itu. Lebih sering menghindar bila
berpapasan. Tak ada makan malam bersama, tak ada latihan wushu, atau acara
pergi memancing berdua ke pelabuhan. Hubungan mereka jadi aneh. Serba
canggung. Richard Clayderman menghilang.

"Papamu tidak salah, Nak. Mamalah yang merebutnya dari perempuan itu...."Ada
senyum tipis di wajah ibunya. Mama tidak sakit kok! Papamu akan tetap bersama
kita. Mama bisa mengerti dia. Sederetan kalimat meluncur lancar, senyum di wajah
ibunya merebak lebih lebar. Tapi ia melihat luka menganga yang sia-sia
disembunyikan itu, di dalam bola mata ibunya. Mata yang indah, meski sedikit sayu.
Mirip dengan mata Natalia. Ah!

Ibunya kemudian menuturkan sebuah cerita, nyaris seperti dongeng-dongeng yang


suka dikisahkan perempuan itu waktu ia masih kecil. Tentang seorang lelaki yang
jatuh cinta pada seorang gadis penyanyi di sebuah bar. Seorang biduan yang manis.
Ah, tidak, Nak, itu bukan pertemuan mereka yang pertama. Perempuan itu
sesungguhnya bersama dari masa lalu si lelaki. Masa kecil yang hilang. Saat itu, si
lelaki masih seorang mahasiswa tingkat akhir yang mencari tambahan uang saku
dengan menjadi pianis di sejumlah bar. Ia begitu bahagia menemukan biduan itu,
yang selalu dikenangnya sebagai seorang gadis cilik berkepang dua. Diajaknya
perempuan itu pulang ke kampung halaman.

"Tapi aku tidak punya rumah dan siapa-siapa lagi di sana?" kata perempuan itu
bimbang. Lelaki itu tergetar oleh sepasang matanya yang begitu sunyi, "Tapi ada
aku. Aku akan membawamu kepada orang tuaku." Biduan manis itu hanya
tersenyum sipu, senyum yang tak kentara maknanya. Toh, itu sudah cukup
membuat lelaki itu berbunga-bunga.

Namun, kampung halaman ternyata bukan lagi tempat yang ramah untuk menerima
si perempuan, juga rumah lelaki itu. Wajah kedua orang tuanya, suami-istri pemilik
toko kelontong, begitu masam ketika menerima jabatan tangan si biduan.

"Kau tahu, perempuan apa yang kau bawa kemari?!" Suara bapaknya cukup keras di
tengah malam, "Kau bahkan tak tahu siapa orang tuanya kan?!" Lelaki itu balas
menatap bapaknya lekat-lekat, tak gentar. Ia tak peduli siapa perempuannya, siapa
orang tua perempuan itu sebagaimana yang diceritakan bapaknya. Ia juga tak peduli
pada peristiwa besar yang pernah terjadi di kota kecilnya, juga seluruh negeri.
Sebuah peristiwa politik yang kelabu. Tahun gelap yang kemudian tercatat penuh
dusta di buku sejarah anak-anak sekolah.

"Aku mencintainya!" Si lelaki menjadi garang. Kedua matanya berapi-api. Tapi


perempuan itu sudah lenyap keesokan pagi. Lenyap. Tanpa meninggalkan pesan apa
pun. Lelaki itu menangis, ia kehilangan untuk yang kedua kali.
***

IA tidak tahu kenapa perempuan itu kembali. Apa keinginannya. Ia mengenal Natalia
ketika gadis berkulit kuning langsat dengan rambut potongan poni itu pindah ke
sekolahnya. Berwajah polos tapi sensual. Ia diam-diam suka mencuri pandang pada
gadis itu ketika pelajaran sedang berlangsung dengan dada yang sedikit berdebar.
Tapi gadis itu jinak-jinak merpati. Menjauh kalau didekati, mendekat ketika ia
menjauh. Toh, justru membuat ia makin penasaran dan bersemangat mendekati
gadis itu. Sampai kemudian ia melihat sebuah luka. Luka yang begitu muram di
kedua mata Natalia yang sayu...

Dan, ia bertemu perempuan itu, perempuan yang fotonya dulu pernah ia temukan di
laci meja baca bapaknya. Waktu itu ia kelas enam SD. Ibunya buru-buru merebut
foto itu dari tangannya dan memasukkan kembali ke laci, sekaligus mengunci laci itu.

"Jangan lancang, Nak! Jangan ganggu barang-barang di laci itu!" Ibunya bergegas
menariknya keluar dari ruang baca yang merangkap perpustakaan kecil.

"Siapa perempuan di foto itu, Ma?" tanyanya. Namun ia tidak pernah mendapat
jawaban.

"Jangan masuk lagi ke ruang baca Papa!" Lelaki itu menatapnya tajam dengan wajah
agak merah. Ia buru-buru menunduk. Belum pernah lelaki itu bersuara keras
padanya. Sejak itu ruang baca selalu terkunci rapat, namun wajah perempuan cantik
di dalam foto itu tak pernah pudar dari ingatannya.

"Aku bertemu dengan perempuan dalam foto Papa...," katanya sore itu sepulang dari
rumah Natalia. Gadis itu memang tidak pernah mau mengatakan padanya tinggal di
mana, tetapi siang itu sepulang sekolah ia diamdiam menguntit Natalia. Dan
perempuan itu ada di sana, mempersilahkannya masuk dan menghidangkan
untuknya secangkir teh. Ia sama sekali lupa apa tujuannya datang ke sana, pun
ketika Natalia mempersilahkan minum. Mereka duduk berhadapan dengan begitu
kaku.

"Aku bertemu dengannya, Ma," ia mengulangi sekali lagi. Dilihatnya wajah ibunya
berangsur-angsur berubah pucat. Tertegun menatapnya.

***

ENTAH telah berapa tahun, bangku beton itu tinggal sepi. Sudah belasan tahun
agaknya. Setelah semuanya berlangsung, sesekali lelaki itu memang masih duduk-
duduk di sana, tapi tidak bermain harmonika atau membaca. Dia hanya duduk
termangu di sana, dengan raut wajah yang kadangkala tampak kosong. Mereka tidak
pernah lagi bicara. Badan kekar lelaki itu kian hari semakin susut, tampak rapuh.
Asam urat, iritasi lambung, ada masalah dengan ginjal dan lever. Malarianya juga
sering kambuh, kata ibunya terisak. Entah dari mana segala penyakit itu datang,
barangkali akibat waktu muda papamu terlalu banyak mengonsumsi alkohol. Dia
dulu peminum? Tanyanya, tapi cuma di dalam hati. Lelaki itu meninggal ketika ia
hampir tamat SMA. Ibu dan kakaknya menangis berhari-hari tapi ia tidak. Ia hanya
menatap jenazah lelaki itu dimasukkan ke peti mati dengan perasaan yang ia sendiri
tak bisa jelaskan sepenuhnya. Pandangan matanya seperti berkabut. Perempuan itu
datang ke pemakaman bersama Natalia, keduanya mengenakan pakaian serbaputih
seperti halnya ia, ibu, dan kakak perempuannya. Tetapi mereka tidak saling bertegur
sapa.

Tak lama setelah itu, ia pergi meninggalkan rumah, meninggalkan pulau kecil itu,
dan tak pernah pulang sekali pun...

"Mama harap kau mau pulang. Kakakmu sedang dalam masalah. Toko bangkrut.
Kakak iparmu entah di mana sekarang. Hampir tiap hari selalu saja ada orang
datang menagih hutang, tambang-tambang itu benar-benar menguras seluruh uang
kakak iparmu!" Itu kata-kata ibunya dalam telepon beberapa hari lalu. Ia tak
menyangka kalau akan tiba di rumah tepat pada hari sembahyang arwah Chit Ngiat
Pan...

yang kusam dan berlumut itu, ketika namanya dipanggil. Menoleh, ia melihat kakak
perempuannya sedang berjalan mendatanginya. Wajah Ai Ling tampak tirus dan
kusut, lebih tua dari usia yang sebenarnya. Begitu berbeda dengan sosok gadis
manis dan periang yang dikenalnya bertahun-tahun lalu. Ibunya masih berdiri di
pintu dapur.

Ah, tiba-tiba ia merasa ingin sekali bermain harmonika, memainkan Les Premiers
Sourires de Venessa dan lagu-lagu lainnya... ***

Gaten, Yogyakarta, Mei 2007 /kenang-kenangan buat bapak


Percakapan Tentang Sakit
Cerpen Setiyo Bardono

Mak,Indah ingin makan apel." "Tunggu ya Nak,Bapakmu belum pulang." "Mengapa harus
menunggu Bapak?" "Tadi pagi,Emak sudah pesan pada Bapak,kalau pulang beli apel di
stasiun."

"Emang Bapak punya uang,Mak." "Mudah-mudahan hari ini Bapak dapat banyak rezeki hingga
bisa beliin Indah apel yang banyak.Makanya Indah doain Bapak ya..." "Iya,Mak." "Nah, gitu
dong. Itu baru Indah, anak Emak yang cantik."

"Mak,biasanya kalau sakit kan banyak yang nengokin.Kayak waktu kita ikut nengokin Ibu
Dede, Ibu Roni, Ibu Raihan.... Enak yaMak...Ada yang bawa buah-buahan. Ada yang ngasih
makanan. Ada yang ngasih uang." "Hus... kamu ini, sakit kok dibilang enak." "Memang begitu
kan,Mak."

"Tapi Indah nggak dirawat di rumah sakit?" "Jadi Indah harus dibawa ke rumah sakit biar
ditengokin orang-orang?" "Kalau di kampung ini biasanya begitu, Nak." "Kalau begitu,
mengapa Indah tidak dibawa ke rumah sakit saja?" "Uang Emak tidak cukup untuk biaya
berobat ke rumah sakit.Bapakmu belum dapat kerjaan tetap.Kamu tidur ajadulu ya,sambil
nungguBapak pulang.Mudahmudahan Bapak pulang bawa apel."

"Tapi Indah ingin apel dari orangorang." "Kan sama saja, Nak." "Enggak mau... Indah mau
apel dari orang-orang." "Ssst...diam dulu Nak,tuh dengar ada pengumuman dari masjid."

"Perhatian bagi Ibu-Ibu warga RT 01 RW 04 yang ingin ikut menjenguk Ibu Hajjah Nuriyah
yang sedang di rawat di Rumah Sakit Waras Medika,harap berkumpul di rumah Ibu Ria nanti
sore pukul tiga lebih tiga puluh. Sekali lagi, pukul tiga lebih tiga puluh.Terima kasih atas
perhatiannya." ***

"Indah,anak saya sakit keras Pak RT." "Sakit apa?" "Sepertinya demam.Badannya panas,
kadang muntah-muntah. Semalam tak henti-hentinya dia mengigau." "Sudah diperiksa ke
dokter?" "Belum Pak RT?" "Waduh, jangan sampai terlambat Mas. Jangan-jangan Indah kena
demam berdarah."

"Periksa ke dokter kan biayanya mahal Pak RT." "Ke puskesmas kan bisa." "Hari minggu kan
puskesmas tutup Pak RT." "Iya, ya. Kalau begitu kasih obat penurun demam saja." "Sudah
Pak RT, saya sudah beli obat yang sering diiklankan di televisi itu. Katanya begitu minum
langsung baikan, ternyata panasnya gak turun juga.Mana harga obatnya lumayan mahal lagi."

"Namanya juga iklan, Mas. Jadi apa yang bisa saya bantu Mas Paijo." "Maaf Pak RT,
sebenarnya saya malu mengatakannya... Indah hanya ingin makan apel.Kalau kemauannya
dituruti pasti dia akan lebih baikan." "Belikan saja, kan di stasiun murah. Lima ribu dapat lima.
Kalau nggak punya uang, pakai uang saya saja. Gitu aja kok repot."

"Kalau itu,saya juga tahu Pak RT.Setiap hari saya kan naik kereta.Tadi sudah saya belikan,tapi
Indah tidak mau makan." "Memangnya kenapa?" "Indah ingin apel pemberian orangorang."
"Maksudnya?" "Wah..saya jadi malu.Begini Pak RT... Sepertinya Indah ingin dijenguk ibu-ibu
warga kampung kita dan diberi apel seperti orang-orang lain yang sakit." "Oh gitu..."

"Namanya juga anak-anak. Harap maklumlah Pak." "Jadi saya harus mengumpulkan ibuibu
untuk menjenguk Indah?" "Terserah Pak RT saja. Nggak usah banyak-banyak juga nggak apa-
apa.Dua atau tiga orang saya kira sudah cukup" "Tapi kan Indah belum dibawa ke rumah sakit.
Bagaimana saya harus mengumpulkan warga."

"Bilang saja Indah sakit keras. Memangnya harus dibawa ke rumah sakit dulu baru warga bisa
menjenguknya?" "Ya, tidak begitu mas Paijo.Tapi kalau sudah dirawat di rumah sakit,warga
jadi tahu bahwa sakit Indah benar-benar parah.Saya juga lebih enak ngomong-nya." "Tapi
Indah benar-benar sakit pak." "Saya tahu, tapi kalau tidak dibawa ke rumah sakit, nanti
warga bilang, walah baru demam aja minta dijenguk."

"Jadi Indah harus saya bawa ke rumah sakit dulu?" "Lebih baik begitu.Bukan hanya agar bisa
dijenguk warga, yang lebih penting agar penyakit Indah bisa dideteksi." "Saya juga
bermaksud begitu pak RT, tapi saya sedang tidak punya uang.Biaya rumah sakit kan mahal."
"Waduh gimanaya.Jadi serbasalah nih." "Jadi Pak RT tidak bisa menolong saya?" "Bukan
begitu,Mas" "Jadi gimana dong" "Begini saja, nanti saya bicarakan dengan Ketua Pengajian."

"Kalau bisa sore ini Pak RT,saya takut Indah kenapa-napa." "Iya, saya tahu.Tapi sebentar lagi,
Ibuibu akan berangkat menjenguk Ibu Hajjah Nuriyah.Mas Paijo kan dengar sendiri tadi sudah
ada pengumumamnnya dari musala. Nggak enak kan sama Ibu Nuriyah. Sudah dua hari ia
dirawat di Rumah Sakit Waras Medika. Kabarnya sih mau dioperasi. Bagaimana kalau besok
pagi saja."

"Kan Ibu Nuriyah orang kaya, punya rumah makan dan anaknya jadi pengusaha semua.Tanpa
dijenguk pun ia bisa membayar biaya rumah sakit." "Jangan begitu Mas Paijo. Kita tidak boleh
membeda-bedakan orang." "Kalau begitu, Pak RT juga jangan membeda-bedakan Indah
dong." "Iya tapi Ibu Nuriyah sakit lebih dulu. Dan sekarang terbaring di rumah sakit
menunggu operasi kanker kalau nggak salah.Pokoknya penyakit orang kayalah."

"Indah tidak saya bawa ke rumah sakit karena nggak ada biaya. Harusnya anak saya yang
ditolong lebih dulu". "Waduh,saya jadi tambah bingung nih." "Begini saja Pak RT. Bagaimana
kalau sebelum berangkat Ibu-ibu disuruh mampir ke kontrakan saya dulu." "Waduh, kan
Rumah Sakit Waras Medika jauh pak. Tahu sendiri jalanjalan di ibukota seringnya macet.
Kalau ibu-ibu pada ribut, nanti saya juga yang kena komplain,Mas" "Sebentar saja,lima menit
juga cukup." "Besok pagi saja, Mas. Saya nggak enak sama Ibu-ibu." ***

"Walah, baru demam saja minta ditengokin." "Namanya juga anak-anak bu." "Emang
sekarang di mana?" "Di rumah bu." "Saya kira dibawa ke rumah sakit." "Saya nggak punya
uang buat bawa Indah ke rumah sakit." "Kita ini buru-buru mau ke rumah sakit, sore ini kita
kan ibu-ibu sudah sepakat untuk nengokin Ibu Hajjah Nuriyah di Rumah Sakit Waras Medika."

"Saya tahu bu.Tapi sebentar saja,biar Indah puas" "Nanti kita terlambat bu. Jam besuknya
kan antara jam empat sampai jam enam sore. Bagaimana kalau besok pagi saja, atau nanti
malam sepulang dari besuk Ibu Hajjah Nuriyah." "Iya Bu Paijo, besok aja deh kita nengokin
Indah. Nggak mungkin to, kita batal besuk Ibu Hajjah Nuriyah." "Maaf lho, bu. Bukannya mau
beda-bedain, tapi rencana sore ini kanudahmenjadi kesepakatan kita. Bahkan warga sudah
banyak yang iuran buat besuk Ibu Nuriyah. Nggak enak kalau dibatalin begitu saja." ***

"Gimana Bu..." "Katanya besok,Pak." "Tapi badan Indah semakin panas bu. Sewaktu Ibu
tinggal, Indah juga muntah sampai empat kali." "Apa dibawa ke dokter saja?" "Bapak punya
uang?" "Nggak sih." "Ke puskesmas saja." "Hari minggu kan puskesmas tutup." "Oalah, Pak...
Kenapa Indah harus sakit di hari Minggu?" "Bukan hanya jangan sakit di hari Minggu bu. Kalau
bisa jangan sakit di Jakarta dan sekitarnya."

"Jakarta dan sekitarnya.... Seperti adzan magrib saja. Mungkin memang beginilah nasib orang
miskin. Makanya Bapak yang bener cari kerjaannya" "Jangan bilang begitu Bu.Bapak juga
sedang berusaha. Maklumlah, Bapak kan cuma lulusan SMP. Sabar ya... Gusti Allah tidak tidur,
semua pasti ada jalan keluarnya." "Gusti Allah memang tidak pernah tidur. Kamunya saja
yang tidak pernah salat,makanya rezeki kita seret. " "Udah... udah... ah. Jangan
diungkitungkit terus." ***

"Bu, Indah ingin makan apel." "Iya, Nak. Itu apelnya sudah ada. Ibu kupasin ya..." "Indah
maunya apel dari orangorang." "Entar, ya... Ibu-ibu belum pulang dari rumah sakit." "Indah
maunya sekarang." "Pak...gimana ini.Badan Indah semakin panas saja." "Gimana kalau kita
bawa saja ke rumah sakit." "Yang mau bayar siapa?" "Ya, gimana entar sajalah. Aku takut
Indah kenapa-napa."

"Kalau begitu, coba Bapak ke rumah Pak RT lagi. Siapa tahu kali ini dia bisa menolong. Kalau
nggak coba cari pinjaman ke rumah pak Husein." "Hutang yang dulu saja belum lunas
Bu.Bunganya juga semakin menumpuk. Nanti kita bayarnya pakai apa?" "Ya, dicoba dulu Pak.
Ngomong baikbaik, barangkali Pak Husein mau memberi pinjaman tanpa bunga." "Tanpa
bunga? Sepertinya mustahil Bu.Tapi ya, udah-lah, Bapak akan coba bicara dengan Pak Husein.
Tunggu sebentar ya..." ***

"Wah,rumah sakitnya bagus banget ya." "Iya, pasti biayanya mahal. Apalagi Ibu Hajjah
Nuriyah dirawat di ruang VIP. Bisa habis puluhan juta tuh..." "Kalau aku, punya uang segitu,
mendingan buat beli rumah. Nggak enak kan, bertahun-tahun hidup ngontrak melulu." "Anak-
anaknya juga baik-baik semua. Udahkaya,baik lagi.Kapan saya bisa punya anak-anak seperti
itu."

"Ibu Hajjah Nuriyah memang beruntung punya anak-anak seperti mereka." "Iya, ya. Tadi
anak yang paling tua, malah nraktir kita semua makan fried chicken. Sebenarnya nggak enak,
nyumbang cuma goceng, ditraktir makan enak. He... he..." "Nggak enak sih nggak enak. Tapi
kayaknya kamu tadi nambah ya." "Enak aja.Bukannya kamu juga nambah." "Udah... udah...
gitu aja ribut." "Iya, tuh.Kayak nggak pernah makan enak saja." "We... sirik. Kamu sendiri
seringnya beli ikan asin di warung Bu Ijah.Udah itu ngutang lagi."

"Walah... kayak kamu nggak pernah ngutang aja. Sekarang kamu kan nggak pernah belanja
di warung Bu Ijah.Takut ditagih utang tuh." "Udah... udah... baru njenguk orang sakit kok ya
pada ribut to... Tuh lihat kita udah nyampe...." "Bang...Stop Bang.Sampai di sini saja."
"Iya,Bang.Di sini saja,kalau di depan musala, jalannya kejauhan." "Ayo, turunnya jangan
berebut." "Iya, nih...Orang kok badannya gedegede amat, jadi sulit turun."

"Sst, jangan ribut. Dengar tuh ada pengumuman dari musala." "Innalillahi wa innailaihi rojiun.
Diberitahukan kepada seluruh warga RT I RW IV, telah meninggal dunia dengan tenang Indah
Ratna Juwita Binti Paijo. Dimohon kepada seluruh warga, terutama anak-anak muda, untuk
bisa membantu persiapan pemakaman yang Insya Allah akan dilaksanakan besok pukul
sepuluh pagi." ***

Depok, 22 Desember 2007


Sopir Taksi dan Sebuah Kepala
Cerpen Naning Pranoto

Pukul 05.45, taksi biru tua yang dikemudikan Begjo distop oleh seorang lelaki tua bertopi pet,
di dekat pintu tol jalur ke Jagorawi.
''Antar saya ke Bogor! Lewat tol,'' pinta lelaki tua itu, tergesa-gesa. Begitu duduk di jok
belakang ia langsung menyerahkan amplop kepada Begjo. ''Apa ini, Pak?'' Begjo terkejut.
''Uang!'' sahut lelaki tua, bersuara ngebass. Begjo sempat mengamatinya. Penumpangnya itu,
berusia 70-an, tapi masih tegap, sehat walau kulitnya keriput.
''Kasih uang saya kok banyak sekali, Pak? Begjo membelalak, ketika tangan kirinya
menyingkap amplop dari penumpangnya itu. "Lagi pula, baru naik kok sudah mbayar.''
Tidak ada jawaban.
Penumpang itu membuka topi petnya, lalu mengenakan sunglass hitam gelap. Begjo melihat
sekilas, kepala lelaki itu aneh: lonjong dan botak mengkilat.
''Pak saya takut, sampeyan mbayar banyak sekali. Seumur-umur baru kali ini saya nrima uang
sebanyak ini!''
''Stt, jangan takut, Anda antar saya saja,'' gumam si penumpang, sambil membuka jendela
taksi yang ada di sampingnya.
''Lho, Pak kok sampeyan ngeluarin kepala tho?'' Begjo terkesiap, penumpangnya menjulurkan
kepala keluar jendela, posisinya tengadah, mulut ternganga, sepasang kacamatanya melotot
seram.

Tidak ada jawaban. Taksi Bejo melaju kencang di tol Jagorawi. Si penumpang itu tetap
menjulurkan kepalanya. Lehernya menegang, >kepalanya memanjang dan nyaris copot dari
batang leher. Begjo panik.
''Pak, jangan bunuh diri!'' teriak Begjo, mengarah ke jalur lambat. Selama ia jadi sopir hampir
seperempat abad, baru kali ini ia mendapat penumpang sangat aneh.
''Ayo, tancap gas Mas!'' pinta si penumpang itu sambil tertawa,
''Saya tidak mau bunuh diri. Saya cuma mau mbuang kepala saya di jalan tol!''
''Hah?'' Begjo melongo, ''Weleh, baru kali ini ada orang mau mbuang kepalanya. Berhenti saja
ya, Pak.''
''Jalan terus. Saya tambah ongkosnya!'' ia berkata tegas, melemparkan amplop di pangkuan
Begjo.
Begjo membelalak, melihat setumpuk uang asing, menyembul dari tutup amplop yang ada di
pangkuannya.
''Itu uang dolar Amerika. Asli!'' kata si penumpang, ''Anda bisa beli rumah bebas banjir
dengan uang dolar itu untuk anak-anak dan istri Anda.'' ''Maaf, tidak usah saja. Tapi, saya
mau antar Bapak kemana pun, asal kepala Bapak tidak menjulur di jendela.'' Begjo
berkeringat dingin. Ia menaruh dua amplop berisi uang itu di jok belakang.
''Anda menolak uang saya?'' lelaki itu tidak happy. ''Anda memerlukannya, paling tidak untuk
membeli BBM selama mengantar saya.''
''Tidak usah. Saya mau berhenti.'' Begjo memperlambat taksinya.
''Jalan terus, sebelum saya berhasil membuang kepala saya. Ini proyek terakhir dalam hidup
saya dan harus berhasil, karena saya telah sukses jadi pimpro berbagai proyek besar dan satu
mega-proyek yaitu menobatkan seorang anak desa jadi orang nomor satu di negeri ini.'' Tiba-
tiba lelaki itu tertawa lepas. Begjo limbung.

''Mas Sopir, jangan takut. Saat ini saya sedang super waras, setelah saya gila hampir empat
puluh tahun. Maka, saya ingin mbuang kepala saya agar saya waras total. Selama kepala ini
masih nempel tubuh saya, saya akan gila terus! Ketika Tuhan memanggil saya dalam kondisi
waras, saya pasti mampu menyebut asma-Nya.''
''Pak maaf, saya tidak bisa melanjutkan nyopir.'' Begjo merintih. Ia ngompol pada titik puncak
ketakutannya.
''Saya perlu bantuan Anda, untuk mbuang kepala saya di jalan tol. Sebab, bila kepala saya ini
saya buang ke laut, akan dimakan ikan. Ikan yang makan kepala saya, akan dimakan manusia.
Oh, jangan. Sebab, sari pati kepala saya penyebar virus berbahaya bagi siapa pun yang
makan ikan ikan yang makan otak saya. Generasi yang memakan sari pati otak saya, akan
jadi pengacau negeri ini. Kalau negeri ini terus menerus kacau, kapan mencapai Zaman
Emas?''
''Zaman Emas, apa itu, Pak?'' Begjo heran.
''Jika Reformasi terwujud. Anda tahu reformasi?''
''Reformasi bermula waktu Pak Harto lengser jadi presiden karena didemo para mahasiswa
yang ngumpul di Gedung DPR pertengahan Mei 1998? Apa benar, Reformasi itu artinya
mbrantas pemerintahan yang korupsi?'' tanya Begjo lugu.
''Pinter.'' Seru lelaki yang ingin membuang kepalanya itu.
''Ah, saya ndak pinter, cuma lulus SD, lalu ajar nyopir dan jadi sopir taksi.
Bapak kerja apa?'' tanya Begjo memberanikan diri.
''Saya juga sopir, tapi bukan nyopiri mobil!''
''Nyopiri apa Pak?'' Begjo bingung.
''Nyopiri manusia, para petinggi negeri ini. Saya nyopir bukan dengan tangan, tapi dengan
otak sumber berbagai taktik. Ya, otak kepala yang sekarang ini akan saya buang dan akan
saya ganti dengan kepala bayi.''
''Kepala bayi?'' Begjo tambah bingung.
''Kepala bayi, otaknya masih suci. Tidak seperti otak saya, bejat, berisi otak iblis yang
kerjanya menghasut, otak setan yang kerjanya menyesatkan, otak algojo yang ter-drive
membunuh. Makanya, saya ingin punya kepala bayi hari ini, sebelum matahari terbenam, agar
saya bisa mengisi otak itu dengan ajaran Kitab Suci yang dulu selalu dibacakan oleh ibu saya
sebelum tidur. Saat-saat ibu saya membaca Kitab Suci, selalu mengusap-usap kepala saya,
katanya agar apa yang ia baca bisa meresap ke otak saya. Itu kenangan indah dan termahal
dalam hidup saya.''

Air mata Begjo menetes mendengar tuturan penumpangnya itu. Ia teringat masa kecilnya
yang pahit. Ia tidak punya secuil pun kenangan manis bersama ibunya. Si ibu 'menghilang'
saat ia berusia enam bulan. Setelah dewasa ia baru tahu, ibunya dibawa orang-orang
bersenjata di pagi buta, setelah lebih dahulu dipukuli dan ditelanjangi oleh mereka itu.
Ayahnya, telah hilang saat ia masih dalam kandungan.

''Kok nangis Mas Sopir?'' tanya lelaki tua yang semula menjulurkan kepalanya di jendela taksi,
kini kembali duduk tertib di jok belakang sopir.
''Saya terharu Bapak tidak jadi mbuang kepala,'' Begjo berdusta.
''O..., saya tetap akan mbuang kepala saya!'' bisik lelaki tua itu, sambil mengeluarkan sesuatu
dari sakunya.
''Tolong, tembak kepala saya!'' lelaki tua itu menyerahkan pistol pada Begjo. ''Pak, eling Gusti
Allah!'' Begjo gemetar, menolak pistol itu.
''Anda tidak mbunuh saya. Ini kemauan saya, karena saya tidak mampu melakukannya, walau
saya telah membunuh ratusan jiwa tahun enam-lima, hingga enam tujuh.'' Mata lelaki tua itu
membasah. Lalu, ia menyerahkan lagi amplop pada Begjo sambil berbisik, ''Ini surat wasiat
untuk Anda, ucapan terima kasih saya!''
Begjo diam. Ia tidak menginginkannya amplop itu.
''Mas Sopir, yuk cari tempat aman, agar Anda bisa nembak kepala saya dengan tenang,'' lelaki
tua itu menepuk-nepuk bahu begjo.
Begjo tidak taat. Ia mematikan mesinnya di jalur peristirahatan kendaraan. ''Maaf, saya tidak
bisa lagi nyopir, Pak.'' Begjo pasrah. Ia buka pintu taksi. Tapi sebelum ia melangkah,
terdengar tembakan lepas memuntahkan rentetan peluru, tepat mengenai kepala Begjo.
Tubuh Begjo terkulai, menyangsang di pintu depan taksinya.

Tak sampai 10 menit, polisi patroli datang menghampirinya. Pada saat itulah lelaki tua itu
menembak kepalanya sendiri sambil berteriak-teriak, ''Saya ingin mbuang kepala saya. Kepala
yang mengotaki pembunuhan terkeji di negeri ini. Saya juga yang menembak sopir taksi ini.''
Dor! Dor! Doorrrrr! ***
Hajah Miranti dan Siti
Cerpen Humam S. Chudori

SAMPAIKAN salam saya saja sama mereka," ujar Siti Qonaah, tatkala Hayatun Nufus
mengajak menengok Miranti yang baru pulang dari tanah suci, setelah menunaikan ibadah
haji.

"Saya masih ada kerjaan, Fus," lanjut janda beranak dua yang sedang menambal pakaiannya
yang robek.

"Kita ke sana sebentar saja."

"Iya, saya tahu. Masa kita mau bertamu sampai berjam-jam. Apalagi mereka pasti masih
lelah."

"Jadi, kamu mau ke sana?"

Siti Qonaah menggeleng. Lalu katanya, "Ya, nanti saja kalau sempat, saya ke sana sendiri
juga tidak apa-apa, kok."

"Mumpung sekarang belum empat puluh hari, doa mereka masih makbul. Seperti kata Kyai
Bisri orang yang belum genap empat puluh hari pulang dari tanah suci, doanya masih makbul.
Kita minta mereka mendoakan kita."

Siti Qonaah diam. Ia bingung tidak tahu harus berbuat apa. Satu sisi ia dapat menerima
pendapat Hayatun Nufus. Sebab Miranti dan suaminya, memang, belum lama tiba di Tanah Air.
Bahkan belum genap sepekan mereka berada di rumah. Hampir tiap hari pasangan suami-istri
itu kedatangan tamu, para tetangga yang ingin mengucapkan selamat kepada mereka. Namun,
di sisi lain ia tidak ingin terjadi kesalahpahaman lagi dengan Istri Nuralam tersebut. Sebab
setiap orang yang bertamu ke rumah itu, hampir bisa dipastikan, pulangnya akan membawa
kantong plastik. Isinya oleh-oleh dari orang yang baru dipanggil dengan embel-embel
tambahan kata haji di depan namanya.

"Siapa tahu kita nanti dikasih oleh-oleh sama mereka," lanjut Hayatun Nufus, setelah agak
lama Siti Qonaah terdiam.

Siti Qonaah tersenyum

"Bagaimana?" tanya Hayatun Nufus.

"Ya, sampaikan salam saya saja kepada mereka," Siti Qonaah mengulang kalimat sebelumnya.

Hayatun Nufus diam. Kenapa Siti tidak mau? Mungkinkah Siti merasa minder ke rumah Pak
Nuralam? Jangan-jangan Siti sudah mendapat oleh-oleh dari mereka, hingga ia merasa tidak
perlu lagi datang ke sana. Sebab rumah Pak Nuralam tidak jauh dari sini, hanya berjarak lima
puluh meter. Bahkan masih dalam wilayah erte yang sama. Atau jangan-jangan Siti sudah
datang ke sana? Pertanyaan-pertanyaan ini memenuhi pikiran Hayatun Nufus.

"Kamu sudah ke sana apa belum?" tanya Hayatun Nufus, untuk menghilangkan keraguan
yang ada dalam pikirannya. "Belum. Belum sempat Fus," jawab Siti Qonaah, "Nah, sekarang
saja pekerjaan saya masih banyak."

"Ya, sudah. Kalau begitu," kata Hayatun Nufus.


Setelah berkata demikian, Hayatun Nufus meninggalkan Siti Qonaah.

***

SEBETULNYA ketika Hayatun Nufus mengatakan doa orang yang baru selesai menunaikan
ibadah haji makbul, Siti Qonaah merasa tertarik untuk menemani orang yang mengajaknya
bertandang ke rumah Haji Nuralam. Namun, setelah sang tamu berkata "Siapa tahu kita
pulang dikasih oleh-oleh" Siti Qonaah langsung berubah pikiran. Ia tetap pada keputusan
semula. Tidak mau datang bertamu ke rumah Haji Nuralam.

Siti Qonaah merasa yakin bahwa orang yang baru pulang dari tanah suci tersebut masih tidak
suka dengan dirinya. Gara-gara ia pernah tidak mau mengeroki istri Nuralam.

Memang. Siti Qonaah - perempuan yang bekerja sebagai buruh cuci itu - sering dimintai
tolong untuk mengerok tetangga. Apabila ada tetangga yang masuk angin, misalnya. Miranti
sering menyuruh Siti Qonaah mengeroki punggungnya. Lantaran ia merasa cocok dengan
kerokan Siti Qonaah.

Suatu ketika Miranti menyuruh anaknya datang ke rumah Siti Qonaah. Maksudnya agar janda
beranak dua itu mengeroki punggungnya. Namun, karena pada saat yang sama Sri Winarti
sedang demam. Suhu badan anak itu tinggi, Siti Qonaah tidak tega meninggalkan anaknya
yang masih balita itu di rumah sendirian. Sebab Karima, kakak Sri Winarti, masih di sekolah.
Terpaksa ia menolak permintaan Miranti.

Penolakan ini rupa-rupanya membuat Miranti tersinggung. Marah. Siti Qonaah tahu setelah
keesokan harinya ia datang ke rumah Nuralam, untuk meminta maaf. Karena ia tak bisa
mengerok Miranti sebagaimana biasanya.

"Kamu tidak usah tanya, saya sudah sehat apa belum. Buat apa? Saya butuh dikerok itu
kemarin. Bukan sekarang," demikian kata pedagang sembako itu.

"Tapi, saya ke sini juga mau minta maaf, Bu. Karena kemarin ..."

"Minta maaf?" tanya Miranti, memotong kalimat Siti Qonaah.

Siti Qonaah mengangguk.

Namun, anggukan Siti Qonaah telah disalahtafsirkan Miranti.

Orang yang minta maaf, pasti bersalah, Miranti membatin. Berarti sebetulnya kemarin dia
tidak punya kerjaan. Kenapa dia tidak mau mengerok saya?

Ya, kemarin Supardi yang disuruh menghubungi Siti Qonaah. Dan, anak lelaki itu hanya bilang
"Bu Siti tidak mau, Bu," tanpa menjelaskan kenapa janda beranak dua yang biasanya mau
disuruh mengerok tetangga itu menolak perintah Miranti yang disampaikan lewat Supardi.

"Kemarin saya tidak bisa ke sini karena ..." "Sudah," potong Miranti, untuk kedua kalinya,
"Sekarang kamu pulang saja, Saya sudah sehat. Tidak perlu dikerok lagi."

Sejak itu, Siti Qonaah tidak pernah disuruh Miranti mengerok punggungnya. Namun,
perempuan yang ditinggal mati suaminya itu hanya berpikir suami Nuralam itu sudah tidak
pernah masuk angin lagi. Lantaran paling tidak dalam sebulan sekali ia pasti minta Siti
Qonaah mengerokinya.
Siti Qonaah baru menyadari kalau Miranti masih marah terhadap dirinya, tatkala ia mencoba
utang beras tetapi tidak dikasih. Padahal, sebelum peristiwa itu terjadi, Miranti sering
mengutangi beras kepada Siti Qonaah. Terutama sejak Siti Qonaah ditinggal mati suaminya.

Rupa-rupanya Siti Qonaah masih kecewa kepada orang yang baru menunaikan ibadah haji itu.
Itulah sebabnya ia tidak pernah berusaha bertamu ke rumah tetangganya yang baru pulang
menunaikan ibadah haji.

Ketika dua hari yang lalu Sri Winarti - anaknya yang kedua - minta buah korma. Siti Qonaah
tak bergeming. Anak perempuan berusia tiga tahun itu minta buah padang pasir setelah
melihat Asih dan Kurnia makan buah berwarna pekat. Rupa-rupanya tetangga kiri dan kanan
Siti Qonaah sudah mendapat oleh-oleh dari Haji Nuralam.

Siti Qonaah yakin sekali kalau tetangganya sudah mendapat oleh-oleh dari Haji Nuralam.
Sebab ia melihat Supardi - anak Haji Nuralam - membawa tas plastik berwarna hitam ke
rumah para tetangga. Termasuk ke rumah Kamal, orangtua Asih, dan ke rumah Agus,
ayahnya Kurnia. Dua rumah yang berdiri mengapit tempat tinggal Siti Qonaah.

"Nanti kalau Emak punya duit, emak beli, Nak," kata Siti Qonaah kepada anak perempuannya
yang merengek minta buah korma.

"Nia sama Asih tidak beli Mak. Tapi dioleh-olehi pak Haji Nuralam," jawab Winarti.

"Ya, sudah ..."

"Tapi, emak mestinya ..."

"ASSALAMUALAIKUM," sebuah suara membuyarkan lamunan Siti Qonaah.

Perempuan yang sejak tadi belum beranjak dari tempat duduknya, tersentak kaget. Ia tidak
menyangka orang yang tadi mengajaknya bertandang ke rumah Haji Nuralam sudah kembali
lagi. Ia membawa dua buah kantong plastik kecil warna hitam.

Belum dipersilakan penghuni rumah, Hayatun Nufus sudah masuk. Ia duduk di tempat semula,
seperti beberapa saat sebelumnya. Hayatun Nufus memang selalu berbuat demikian jika
bertandang ke rumah Siti Qonaah. Ya, apabila sudah mengucapkan salam dan pintu rumah
dalam keadaan terbuka Hayatun Nufus langsung nyelonong masuk.

"Ini ada titipan dari Bu Hajah Miranti," ujar Hayatun Nufus, sambil meletakkan satu kantong
plastik hitam di atas meja. "Apa ini?" tanya Siti Qonaah.

"Kurma sama kacang arab," jawab Hayatun Nufus.

Siti Qonaah diam. Ia seperti tidak percaya dengan penuturan Hayatun Nufus. Betapa tidak,
beberapa saat sebelumnya ia sempat membatin tentang sikap orang yang baru datang dari
tanah suci. Lantaran rumahnya dilewati oleh Supardi tatkala lelaki kecil itu membagikan buah
tangan kepada para tetangga.

"Kamu tidak salah Fus?"

"Buat apa saya bohong?" Hayatun Nufus balik bertanya.

Siti Qonaah diam. Ia tetap masih tak percaya kalau kantong plastik kecil berwarna hitam itu
untuk dirinya.
Selanjutnya Hayatun Nufus menceritakan pengalaman pahit yang dialami Nuralam dan Miranti
ketika menunaikan ibadah haji, sebagaimana yang dituturkan oleh Miranti.

***

Siti Qonaah masih tidak percaya dengan penuturan tamunya, sesaat setelah sang tamu
pulang. Bagaimana mungkin di tanah suci mereka bisa kelaparan? Siti Qonaah membatin.

Mungkinkah apa yang dialami Bu Miranti karena ia pernah menolak saya hendak utang beras?
Kalau cuma kejadian itu kan saya baru dua kali ditolaknya utang beras.

Sebab sebelumnya ia sering memberi pinjaman beras kepada saya? Atau barangkali bukan
hanya saya yang sering diperlakukan demikian oleh Bu Miranti sehingga ia harus kelaparan di
tanah suci? Jangan-jangan ....

Siti Qonaah segera istighfar, ia tidak ingin mengembangkan prasangka buruknya terhadap
orang yang baru pulang dari menunaikan ibadah haji itu.

Siti Qonaah memang sudah dua kali ditolak utang beras, lantaran Siti Qonaah terlambat
menerima upah dari orang yang menyuruhnya mencuci pakaian. Terpaksa hari itu Siti Qonaah
hanya mengisi perutnya dengan air. Jika siang itu Siti Qonaah makan, dapat dipastikan, kedua
anaknya tidak akan kebagian nasi. Siang itu pun, nasi yang masih ada diusahakan Siti Qonaah
untuk dua orang anak. Kendati ia yakin mereka tidak terlalu kenyang. Untunglah sore harinya
Andi, anak Priono, datang. Lelaki kecil itu mengantar upah cucian dari orangtuanya.

"Ibu bilang, ibu minta maaf, Lik," kata Andi setelah menyodorkan uang kepada Siti Qonaah,
"Ibu baru sempat ngasih."

"Tidak apa-apa, le," jawab Siti Qonaah, "Bilang sama Ibu, Lik Siti terima kasih."

Setelah menerima upah dari orangtua Andi, Siti Qonaah belanja beras di warung Miranti.
Maksudnya ingin menunjukkan bahwa dirinya tidak akan berhutang jika punya uang. Namun,
tanggapan Miranti lain. Ia menganggap Siti Qonaah telah membohongi dirinya dengan
mengatakan belum dapat uang.

"Kalau memang punya uang lebih baik beli seperti sekarang ini," kata Miranti, tatkala
menyerahkan uang kembalian kepada sang pembeli, "Tidak usah pura-pura tidak punya uang
segala."

Betapa sakitnya perasaan Siti Qonaah mendengar pernyataan sang penjual. Andai kata
kalimat itu diucapkan sebelum Siti Qonaah menyerahkan uang, ingin rasanya Siti Qonaah
membatalkan transaksi jual beli itu.

Peristiwa ini, sebetulnya, sempat terlupakan oleh Siti Qonaah. Tidak heran jika ia mencoba
utang beras lagi, tatkala belum mendapatkan upah dari orang-orang yang menyuruhnya
mencucikan pakaian. Hasilnya tetap saja sama. Siti Qonaah tidak diberi kesempatan
mengutang beras lagi.

Padahal biasanya Siti Qonaah mudah mendapat utang beras di warung Miranti. Namun,
setelah Miranti merasa kecewa karena tidak dituruti perintahnya. Perempuan bertubuh
gembrot itu tak mau mengutangi beras lagi kepada Siti Qonaah. Dan, Siti Qonaah pun tahu
diri. Ya, setelah dua kali tak diijinkan utang beras ia tak mau pinjam beras di warung Miranti.
Siti Qonaah memilih membeli beras di warung lain. Lantaran ia tidak ingin mendengar suara
yang tak enak dari mulut Miranti.
"Mudah-mudahan peristiwa yang dialami Pak Nuralam sama Bu ..."

"Katanya kita sudah dikasih korma, Mak?" Sri Winarti membuyarkan lamunan Siti Qonaah.

"Tadi Lik Nufus bilang emak sudah dikasih korma sama Bu Miranti," tambah gadis kecil yang
baru masuk rumah itu, "Mana Mak?"

Siti Qonaah masih tetap mematung. Sebab beberapa saat sebelumnya ia sempat berpikir
untuk mengembalikan korma itu, karena ia yakin tetangganya satu erte yang baru pulang haji
itu terpaksa memberi oleh-oleh setelah diingatkan oleh Hayatun Nufus. Setelah dirinya 'kirim
salam' lewat Hayatun Nufus.

Kini ia bingung sebab anaknya tampak sangat ingin sekali menikmati buah korma yang masih
terbungkus di kantong plastik hitam yang ada di depannya.

"Ini ya Mak?" lanjut Sri Winarti.

Tanpa menunggu jawaban dari ibunya, gadis kecil itu membuka kantong plastik hitam. Lalu
memakannya. Membawanya ke luar rumah.

Sebenarnya Siti Qonaah ingin melarang anaknya memasukkan buah itu ke mulut. Namun, ia
tidak tega melakukannya. Lantaran anak itu kelihatan senang sekali menikmati buah padang
pasir yang baru pertama kali dimakannya.

"Ini buat Sri semua ya, Mak," ujarnya tanpa menoleh, sambil melangkah menuju pintu. Siti
Qonaah diam.

Di depan pintu Sri Winarti berhenti sebentar. Menoleh ke arah ibunya. Lalu katanya, "Korma
ini cuma sedikit. Mbak Rima tidak usah dikasih."

Siti Qonaah mengangguk. Tetapi, ia tidak tahu kenapa harus mengangguk.***


Cekokiah
Cerpen Beni Setia

LIMA tahun lalu mereka bertengkar berkepanjangan, sebelum Ina mau menerima ide berhenti
bekerja dan mempersiapkan diri untuk hamil - punya anak. Pertengkaran yang dimulai di
pembaringan, dilanjutkan sebangun tidur, ketika sarapan, saat naik mobil, ketika pisah di
halaman kantor Ina, saat menjemput Ina, ketika menonton TV, dan ketika mau tidur beradu
punggung. Bahkan, seminggu kemudian, ketika berserentak berpura-pura bersenggolan
sambil serentak masing-masing melengos membuang bayangan anak yang diuleni saat itu.
Berkali-kali.

"Tapi aku tidak terbiasa tinggal di rumah tanpa melakukan apa-apa," kata Ina membantah
dengan kalimat baku buat menunjukkan penolakan formal. Berkali-kali, seperti membaca
mantra penyihir untuk mengubah batu jadi apel, daun jadi duit seribu rupiah, dan orang jadi
gagak. Setengah frustasi karena yakin tak mungkin akan ada perubahan sesuai ilusi dari
kenyataan yang mengada - telah lima tahun mereka menikah, dengan ikrar utama ingin
secepatnya beranak. Ya!

"Aku biasa sibuk," kata Ina, terisak-isak - pada akhirnya. Muksin merangkul Ina dan lembut
membelainya. Mengecupi bibirnya, dengan sentuhan ringan yang berulang, seperti arus listrik
dinamo menghidupkan sipat magnetik di besi batangan lewat arus di lilitan kawat. Berulang
dan makin lama panjang melekat dan kelekatannya, seiring reaksi Ina. Yang percaya pada
kalimat dr Kulanter Tengtong, kalau kualitas sperma Muksin dan daya renangnya prima, kalau
sel telur, keasaman mulut rahim dan rongga rahimnya Ina kondusif untuk hamil.

Ya, tapi kenapa tak ada kehamilan?

***

MEREKA bercinta dan bermesra, atau bermesra dan bercinta, seperti setengah hari lagi dunia
kiamat. Kapanpun, lepas kerja, dan terutama di akhir pekan, mereka bermesra dan bercinta -
bahkan tanpa pembaringan -, karena sete-ngah hari lagi tokh akan kiamat. Dan kalau itu
terjadi tahun depan, pada saatnya: mereka nanti sudah punya anak. Tapi Ina tidak pernah
hamil. Karena itu mereka pindah konsultasi ke dr Pong Kettipong, yang menganjurkan agar
mereka menngurangi frekuensi bercinta, mengurangi kegiatan kerja agar tak terlalu cape, dan
mempersiapkan diri untuk precintaan pada masa puncak kesuburan Ina.

Kini hari-hari mereka ditempuh dengan petunjuk dan perhitungan primbon kalender Ogino-
Knaus, berlatih untuk memastikan dan menuruti petunjuk Keefe, Billings dan Mittelschmerz,
dan berpraktek untuk memastikan peningkatan suhu basal tubuh Ina, kelimpahan lendir rahim,
dan perubahan jaringan dan cervix. Sementara itu lukisan panorama di dinding kamar diganti
dengan diagram ovulasi Dr J.A. Menezes, Dr Josef Rotzer, dan seterusnya - mengalahkan
klinik KB bidan Istoolat. Tapi meski posisi Ina di atas agar jarak ke mulut rahim memendek
dan semburan menderas - yang dipicu berpantang tiga minggu -, bahkan ditambah mantra
yang diawali shalat malam, dzikir, dan puasa Daud: tidak sekalipun ada gejala hamil.
Mensturasi Ina lancar terus. Deras seperti kran PDAM.

"Apa takdir kita harus sebatangkara?"

"Mungkin harus dipancing dengan anak pungut?"

"Kenapa nggak istri pungut? Gendakan?"


"Aku serius, Ina," kata Muksin. Ina tersedu. Muksin merangkul dan perlahan melembutinya.
Itu hari Sabtu, satu hari setelah Ina memenuhi jadwal rutin bulanannya - mensturasi yang
ketiga puluh lima di tahun ketiga mereka mengikuti petunjuk dr Pong Kettipong. Dan bagai
batang besi yang dililiti kawat, tapi lama tak dialiri arus listrik, sipat magnetik Ina bangkit dan
berinkarnasi sebagai si kekasih yang dikutuk setengah hari lagi dunia kiamat. Malam itu
mereka bermesra tanpa bercinta, berbisik-gurau sampai hari berganti dan malam berikut
datang. Bermesra sambil masak, makan, mencuci, mandi dan tidur tanpa bercinta.

***

LIMA hari kemudian mereka kembali ke pakem awal, bermesra dan bercinta, bercinta dan
bermesra seperti dunia akan kiamat setengah hari lagi. Lantas bagaimana bila dunia kiamat
tanpa sempat punya anak? "Emangnye gue pikirin?" kata Ina, dan Muksin manggut-manggut
sambil membayangkan Rod Stewart menyeruak serak, "I Don't Want to Talk About It".
Bahkan, di tahun berikutnya, Ina minta izin untuk kembali bekerja. Usaha yang sangat
gampang, karena Ina punya relasi dan Muksinpun punya jabatan. Sehingga kemesraan si
pengantin baru yang selalu romantis menyelenggarakan honey moon di setiap momentum
seperti sembilan tahun lalu terulang. Berentet tak ada habisnya.

"Kita tak akan punya anak," kata Muksin sambil tersenyum dan berguman ikut Pahama
menyenandungkan "Kidung" di radio mobil. Ina cuma tersenyum, tanpa marah dan
tersinggung ditakdirkan jadi perempuan yang tidak akan punya anak. Mereka percaya garis
nasib, semacam jalan tol yang terbuka untuk ditempuh dengan menikmati apa-apa saja yang
tiba-tiba menyeruak dan menggejala di sekitar mereka. Dan memang kegiatan mereka kini,
tiap akhir pekan: traveling .ke luar kota dan bersantai di mana saja. Selalu bermesra di mobil
lalu mampir ke sembarang hotel dan losmen untuk bercinta tanpa takut dirazia polisi susila.
Bu-kankah mereka suami-istri, yang berpergian dengan membawa STNK, BPKB, SIM, KTP,
kartu kredit, kartu debit dan surat nikah? Lengkap. Bermartabat.

Sampai satu malam, sehabis bermesra selama empat jam dalam perjalanan panjang dari
Surabaya, seusai bercinta di sebuah villa di tepi danau di Sarangan yang dingin - setelah
masing-masing menghabiskan lima belas tusuk sate kelinci -: Ina terjaga. Tersentak ditindih
Muksin, yang memegang telor ayam cangkang putih. Ina memberontak, tapi kakinya
dipegang oleh bapak dan bapak mertuanya. Muksin tertawa. Ibunya dan ibu mertuanya,
sambil menindih tangannya berusaha mengangakan mulut. Tanpa senyuman Muksin
memasukkan cairan telor - setelah cangkangnya dipecah di ujung ranjang. Ina terbelalak saat
cairan telor itu me-rasuk kerongkongan dan mencercah lambung, membangkitkan kontraksi
mual. Ina berteriak. Tersentak. Terjaga. Celingukan dalam dingin tak berpakaian. Lalu
menyelusup ke balik selimut dan hangat tubuh Muksin.

"Aku mimpi dicekoki telor mentah," kata Ina, mual-mual, pagi-pagi ketika bangun terlambat.
Muksin, sambil membaca koran pagi, tersenyum. Mengecupnya. "Oleh siapa? Aku?" katanya.
Ina tersentak. Ina tersipu. Lalu pura-pura sigap meraih nasi pecel dan membuka bungkusan
sate kelinci yang sudah dibeli Muksin dari kios di tepi telaga. Siangnya Ina makan nasi kelinci.
Malamnya Ina makan sate kelinci. Dan paginya, sebelum pulang, kembali sarapan sate kelinci.
Bahkan memesan lima puluh tusuk sate kelinci, yang dimakan tanpa nasi, sampai habis dalam
perjalanan pulang ke Surabaya. Muksin melirik.

"Masih trauma mimpi dicekoki?"

"Ya,"

"Kenapa?"

"Anu, telornya amis - telor ayam kampung sih," gumannya. Lalu bungkam, karena perutnya
melilit-lilit. Seakan-akan irisan daging kelici dari lima puluh tusuk sate itu, yang hancur oleh
enzim dalam lambung itu, bergabung dan membentuk sesosok kelinci kloning yang mencari
jalan ke luar. Meloncat-loncat. Memanjat. Merangkak sampai di pangkal kerongkongan. Ina
pening - mual. Ina ingin muntah. Dan memang muntah ketika mobil sampai di rumah, dan
Muksin turun membuka pintu halaman. Tubuhnya dingin. Muksin gopoh membimbingnya
masuk. Memijit kuduknya. Membalur tubuhnya dengan minyak kayu putih. Membuat minum
hangat ketika Ina kembali muntah. Tubuhnya dingin. Menggigil di tempat tidur. Meringkuk
bagai tahanan politik.

***

PAGINYA Ina tidak ke kantor. Ia ingin ke dokter, tapi menyuruh Muksin tetap ke kantor, dan
baru lima menit Muksin tiba Ina sudah menelepon: minta dicarikan asinan kedongdong. Saat
Muksin pulang dengan asinan kedondong itu Ina malam menangis minta dibelikan sate kelinci
dari Sarangan. Muksin gopoh melarikan mobil ke Sarangan, dan pulang lagi dengan lima puluh
tusuk sate kelinci. Ina tertawa, ia memakan sate kelinci itu, satu demi satu tanpa nasi. Pada
tusuk sate yang ketiga puluh tiga ia mendelik, lalu bergegas lari ke WC untuk muntah. Muksin
tergagap mengajaknya ke dokter, ke RS. Ina menggeleng dan mulai menekuni sisa sate
kelinci. Malamnya ia minta pukis Banyumas. Paginya ia minta tahu campur Lamongan, yang
bakul nyamangkal di gerbang Mandedadi.

"Ada apa ini?"

Ina menggeleng. Dan, tidak seperti biasanya, ia mulai menangis, sehingga Muksin gopoh
berangkat ke Lamongan. Di jalan ia menelon Ibunya dan ibunya tertawa. "Kamu mungkin jadi
bapak," katanya. Muksin tak percaya. Ia menelepon ibu mertuanya dan mendapat jawaban
yang sama. Ia tak percaya. Ia meneleponi semua temannya dan mendapat jawaban yang
serupa. Ia ingin menelepon lagi tapi pulsa HP-nya habis. Ia membeli lima porsi tahu campur
dan bergegas pulang. Di rumah ia melihat Ibu dan Mertuanya tertawa menyambut kegopohan
dan kepanikannya. Tapi benarkah Ina hamil? Benarkah Ina nyidam? Muksim tak yakin, ia
masih harus menunggu tujuh hari, sampai jadwal mensturasi Ina tiba. ***
Uang Jemputan
Cerpen Farizal Sikumbang

Aku seperti seonggok batu yang bisu di malam hari. Diam dan kaku. Tubuhku disepuh cahaya
bulan. Aku duduk di gubuk sawah milik abak yang tak berdinding dan beratap daun rumbia.
Udara dingin menyergap dari berbagai arah. Entah sampai berapa lama aku akan mampu
bertahan dari udara malam ini. Udara malam yang mengilu kulit sampai ke semua rusuk
tulang. Juga sampai ke hati, karena hati membuka diri untuk membunuh rasa sepi dan pedih
tak terperi ini. Sebab bukankah kesedihan hati juga akan membuat suasana akan terkondisi?

Iya. Seperti malam ini rasanya entah apa. Kesedihan menyergap dari berbagai arah. Luka
serasa semakin menyiksa karena malam yang sunyi seperti sembilu yang turut melukai hati.
Tapi hanya malam dan di gubuk ini aku bisa merenung diri. Menimbang-bimbang nasib.
Menyesali diri, mengapa dulu pindah ke kampung halaman ini. Menyepelekan saran sahabat
dan kerabat. Kini aku terperangkap dalam keputusan yang digulung adat. Mengunyah harapan
dan mematikan keinginan. Di bawah langit yang berbintang, berkali-kali berkelebat wajahmu
sambil menusuk sepi ini. Wahai Faraswati, adakah engkau rasakan deritaku ini ?

Semua berawal dari enam bulan yang lalu. Pada sebuah perkenalan yang tak disengaja. Di
atas bus ANS pertama kali aku melihatmu. Kala itu aku pulang ke Padang setelah pengajuan
surat pindah tugasku dikabulkan. Kutahu engkau naik dari Bukittinggi pada pagi hari. Di kala
kedua mataku masih mengantuk dan tubuh terasa penat setelah satu hari aku duduk di kursi
bus itu.

Entah sebuah kebetulan atau tidak. Kamu menghempaskan tubuh di tempat duduk di
sebelahku. Di antara kantukku yang masih menggantung, aroma tubuhmu berputar-putar
menusuk hidungku. Buru-buru aku cepat memperbaiki duduk. Merapikan pakaian yang terlihat
kusut. Meraba rambut supaya tidak terlihat semrawut. Faraswati, kau tahu, di masa itu aku
sebenarnya begitu gugup. Betapa tidak. Engkau muncul di sisiku seperti bidadari di pagi hari.
Tubuhmu ramping. Kulitmu kuning bersih. Pakaian yang kau kenakan memperlihat lekuk
tubuhmu.

Maka ketika bus melaju meninggalkan terminal Bukittingi yang sempit itu, aku mulai mencari
kata untuk mengenalmu.

Di dalam bus yang melaju. Berlari gegas menyusuri jalan berkelok. Kuperhatikan wajahmu.
Kamu seperti memikirkan sesuatu. Tatapanmu lurus ke depan memperhatikan ujung-ujung
jalan yang akan dilewati bus itu.

Tepat pada jalan yang agak meluncur, kamu terlihat agak susah payah mengeluarkan
handphone di saku celana jeans-mu yang ketat. Lalu kamu mengutak-atik handphone-mu itu.
Sepertinya kamu ingin mengirimkan pesan singkat buat seseorang. Setelah selesai kembali
kau sorongkan handphone ke dalam celana jeans-mu. Dan di saat itulah, siku tanganmu
menyentuh bahuku.

"Maaf," katamu pelan sambil sedikit tersenyum.

"Tak apa," jawabku pula.

Lalu kamu kembali duduk seperti semula. Menatap ke depan.

"Mau ke mana," tanyaku.


"Ke Padang," jawabmu.

Aku terdiam. Mencoba mencari kembali kata untuk mengajakmu berbicara.

"Ke Padang tempat siapa," begitu kataku selanjutnya.

Sejenak engkau diam. Seperti mencari sebuah jawaban.

"Ke rumah orangtua," jawabmu.

"Lalu di Bukittingi tempat siapa?"

"Tempat kakak."

"O."

"Kalau uda dari mana?"

"Dari Medan," jawabku

"Dari Medan," katamu pelan.

Lalu selanjutnya kita terus berbicara berbagai hal. Menghabiskan jam demi jam. Sampai kau
ceritakan tentang dirimu yang akan segera diwisuda di Universitas Negeri Padang. Di atas bus
yang menderu, kita bagai dua orang yang sudah lama cukup kenal. Aku pun tak mengerti,
mengapa kita lekas begitu akrab. Ketika kamu akan turun di tempat tujuan, tidak lupa
kuminta nomor handphone-mu.

Esok harinya aku mencari rumahmu lewat SMS yang kau kirim. Seperti seekor kumbang
dengan sayap penuh bunga aku terbang menyusuri kampungmu. Kutahu kampungmu masih
dipenuhi sawah-sawah membentang. Ada jalan setapak dari simpang tiga yang menuju ke
rumahmu seperti yang kau tulis lewat SMS. Setelah terbang cukup lama akhirnya aku
menemukan rumahmu.

Rumahmu berupa rumah panggung. Dipagari bilah-bilah bambu yang melingkar. Bunga-bunga
mekar di dalamnya. Setumpuk bunga mawar yang tumbuh di dekat anak tangga
memperlihatkan bunga-bunganya yang merah hati. Sewaktu kuinjak anak tangga pertama,
jantungku berdebar kencang membayangkan kamu akan membukakan pintu dengan
tersenyum. Tapi, ternyata tidak. Setelah pintu kuketuk, rupanya bukan kamu yang
membukakan pintu. Akhirnya kutahu dia ayahmu. Badannya kekar. Berkumis tebal. Faraswati,
di saat itu aku merasa sangat penakut. Namun setelah berbicara dengan ayahmu, nyatanya
dia sangat baik.

Kebaikannya itu pulalah yang membuat aku di hari-hari berikutnya kembali ke rumahmu.
Menemuimu di setiap aku merasa seekor kumbang yang ingin hinggap pada sekuntum bunga.
Hari dan bulan berlalu. Aku seekor kumbang yang semakin mabuk harum bunga. Akhirnya
pada suatu malam, kita memutuskan untuk menikah.

"Menikah? Dengan Siapa? Anak siapa dia, ha. Di mana rumahnya," tanya abak setelah
kunyatakan keinginanku itu.

"Rumahnya di Air Dingin," jawabku


"Di Air Dingin? Ham. Bagus, berarti masih orang Minang juga. Kutakut, kau bawa pula gadis
Batak itu kemari," jawab amak.

"Tidak-lah mak. Sewaktu bertugas di Medan. Sudah kutanamkan bahwa aku tak akan kawin di
sana."

"Kalau memang sudah begitu, kau suruhlah orangtuanya ke mari. Biar kita buat
kesepakatan."

"Iya bak."

Lalu dua hari selanjutnya kedua orangtuamu datang. Kuingat itu pada suatu malam. Di dalam
kamar, di antara hati yang berbunga-bunga aku berusaha mencuri percakapan mereka.
Ternyata, di malam itu, semuanya berubah. Semuanya seperti yang tidak kita duga.

"Apa? Sepuluh juta?"

"Ya."

"Bagaimana kalau tiga juta. Karena kami tidak punya uang sebanyak itu. Belum lagi uang
untuk pesta dan membeli perlengkapan lain."

"Itu sudah sepantasnya. Kalau tiga juta itu-kan, untuk laki-laki yang tidak mempunyai
pekerjaan tetap. Tapi anak kami seorang guru pegawai negeri. Kami rasa sepuluh juta itu
sudah sepadan."

"Terus terang kami tidak bisa memenuhi uang jemputan sebanyak itu. Untuk saat ini kami
mengalah. Uang itu terlalu besar buat kami."

Lalu tidak berapa lama kemudian kudengar kedua orangtuamu minta pamit diri.

"Abak, mengapa jadi begitu. Mengapa harus ada uang jemputan sebanyak itu," tanyaku.

"Sepuluh juta itu sudah biasa buyung. Kau tahu, si Husen anak Apak Kahar yang bekerja
sebagai montir Honda dijemput lima juta. Apalagi kau, seorang pegawai negeri."

"Tapi abak, aku tak butuh uang sebanyak itu. Aku punya uang untuk pesta pernikahanku."

"Ini soal adat dan harga diri buyung. Apa kata orang nanti. Masa anak seorang pegawai negeri
tidak ada uang jemputan."

"Itu kan lebih bagus abak."

"Tidak. Tidak ada uang jemputan itu lebih tidak bagus. Pokoknya uang jemputannya sebanyak
itu. Jika tidak, jangan harap kau bisa menikah dengannya. Kau sudah susah payah aku
sekolahkan. Biayamu besar. Kau tahu."

Malam itu aku tidak bisa tidur. Aku mondar-mandir di kamar seperti orang kesurupan. Hatiku
gelisah. Ruangan kamar itu berubah seperti sebuah petakan yang siap hendak menjepit
tubuhku. Setelah lelah berputar, aku akhirnya menghempaskan tubuh di atas kasur. Tidak
lama kemudian kuterima kiriman SMS-mu.

"Uda, ayah sudah pulang dari rumah uda. Ayah sudah menceritakan semuanya. Katanya ayah
tidak punya sebanyak itu. Itu memang benar. Ayah beberapa bulan yang lalu sudah menjual
satu ekor sapinya untuk uang wisudaku yang lalu. Kami bukan orang kaya uda. Jadi
bagaimana kami bisa memenuhi uang sebanyak itu? Aku bingung uda. Apakah kasih kita akan
patah sampai di sini? Aku tunggu jawaban uda"

Begitu bunyi SMS-mu yang semakin membuat mataku tak bisa dipejamkan malam itu.

Kini, di malam ini aku belum juga bisa membalas SMS-mu itu. Aku tidak bisa memutuskan
apa-apa. Aku tak bisa menentang abak. Aku benar-benar menjelma seperti batu. Diam dan
kaku. Oh Faraswati, di bawah cahaya bulan, di dalam gubuk tak berdinding ini, kuharap kau
mengerti deritaku ini. ***

Padang 2007
Ceracau Ompu Gabe
Cerpen Hasan Al Banna

Ompu Gabe?" sergap seorang anak muda pada sebuah petang yang basah. Belum sempurna
angguk Ompu Gabe, anak muda itu sudah mengeluarkan sebilah perintah dan gumaman aneh,
" …ke lapo tuak terdekat! Mmh, aku suka naik becak siantar...."

Meski dilanda kecengangan, Ompu Gabe mengengkol sepeda motor peninggalan Perang Dunia
II itu. Lantas dengan suara yang gederubum tak ubah letupan meriam, Ompu Gabe
mengantar penumpangnya dengan becak khas kota Siantar kepunyaannya. Tapi rupanya
kecengangan lain menyongsong. Tiba di tujuan, anak muda itu memang bergegas turun. Tapi
ia tidak menyodorkan ongkos, hanya menjulurkan tangan, "Marihot …." katanya sambil
menggeser senyum ke pipi kiri.

Ompu Gabe terkesima, lidahnya terkepang. Pun ketika anak muda bernama Marihot itu
mengajaknya minum, ia patuh. Ompu Gabe begitu saja mendapatkan dirinya menghadap
deretan botol tuak. Lalu, tanpa basa-basi. Marihot leluasa saja merubuhkan kegelisahan —
entah kegeraman? Dan ketika Ompu Gabe masih dijerat peranjat, tiba-tiba Marihot
membentangkan cita-cita dengan istilah — yang kedengaran asing bagi Ompu Gabe:
Revitalisasi Opera Batak!

Marihot tertantang untuk menggempitakan kembali kesenian leluhurnya, opera batak.


Bukankah sudah bertahun-tahun ia terlibat pertunjukan teater di Medan, bahkan keliling
Sumatera dan Jawa? Maka, dengan air muka yang berkeciak, Marihot membeberkan liuk-
lekuk rencana. Ia hendak mengawinkan keluguan opera dengan kilau pertunjukan modern.
Marihot juga hendak mendaur torsa-torsa (dongeng), turi-turian (legenda), serta mitos- mitos
batak menjadi naskah-naskah yang mujarab untuk ditampilkan. Maklum, opera batak tempo
dulu cuma mengandalkan kekuatan bertutur dan improvisasi.

Maka, sudah sejak lama ia, katanya, mencicil semangat, merajut referensi, juga menggalah
dukungan — motivasi dan tentu materi. Lantas, ketika semuanya rangkum, ia pun mengokang
tekad: ini saatnya! Pusat Pengembangan Opera Batak layak deklarasi. Maka, Marihot
mendesak Ompu Gabe pulang ke tahun-tahun lampau. Dengan harapan Ompu Gabe terlibat,
tentu. Tapi, meski takjub, Ompu Gabe mengelak, tidak! Ia mengaku telah lama menebas
segala kenangan tentang opera batak.

Namun, Marihot terus menggeledah, mengintai, menggoda, dan menyodokkan pertanyaan


yang mesti dijawab Ompu Gabe: ya. Marihot berpekik, opera batak jangan mati, tak boleh jadi
mumi! Bah, luar biasa gairah anak muda ini, puji Ompu Gabe di sudut hati.

Demi Tuhan, ia pun pernah ditabuh gairah semacam itu, mungkin jauh lebih dahsyat. Aku
akan bermain opera sampai batas napas, begitu ia pernah bersumpah. Ketika itu, siapa yang
sanggup meninggalkan gelora opera? Ou, dulu, opera batak adalah primadona, selalu
ditunggu-tunggu. Maklum, jangankan tivi, listrik pun masih langka. Selain pasar malam,
hiburan warga, ya, opera batak yang tur dari kampung ke kampung. Mereka bertahan di
sebuah kampung berhari-hari, bahkan dalam hitungan minggu.

Eit, jangan khawatir jika tak ada uang. Tiket bisa dibeli dengan beras atau hasil ladang. Monis
pe dijalo do (beras yang terbuang dari hasil menampih pun diterima), seloroh orang kampung.
Maka, orang-orang berbondong menonton ke tanah lapang sambil margobar, berselubung
selimut tebal. Tentu demi mematahkan angin yang mencengkeram tulang. Tapi iyalah, kelebat
tepukan dan jengking siutan pun cukup ampuh menjerang tubuh.
Mmh, darah Ompu Gabe kerap bergeriap setiap melawat kemeriahan opera. Maklum, sejak
usia 18 tahun ia sudah menunggang panggung; berlakon, menari, memainkan musik, dan
bernyanyi. Ia pemain opera yang dielu-elukan penonton. Puja-puji apalagi yang tidak
digemuruhkan ke telinganya. Ia jaya, ternama! Meski pada suatu kesempatan tur, ia pernah
kehilangan daya. Diam- diam, seorang penonton setia selalu membikin dadanya berdegup.
Setiap malam hadir dan tidak segan menonton di barisan depan.

Oi, ialah gadis bernama Teresia. Katakan, lelaki mana yang tidak hendak meminang pucuk
bunga pesohor kampung? Maka tiada yang dapat menghadang kibasan bendera cinta. Pun
ketika mereka saling bersulang kasih sayang. Maka, pada kesempatan tur yang ke sekian kali,
mereka sepakat berangkat ke pelaminan. Menjadi suami istri muda!

Kehadiran Teresia kian membongkahkan tekad Ompu Gabe untuk tetap berlakon di panggung.
Di mana cerita digelar, di situ Teresia bersandar. Ia senantiasa mendampingi,
menyemangati —juga memberi dua anak lelaki untuk Ompu Gabe. Teresia adalah mata air
kekuatan dan ketabahan. Suatu waktu, ketika zaman berganti gaun dan masyarakat halal
menukar selera, grup-grup opera memilih tumbang, termasuk grup tempat Ompu Gabe
bernaung. Pemilik opera angkat tangan, bangkrut dan bubar! Awak grup tercecer.

Ompu Gabe meronta: opera tidak boleh mati di tanah Toba! Lalu, Teresia tak tega. Ia pun
berjuang keras menimba semangat Ompu Gabe yang amblas ke lubang yang gulita. Ia
himpun serpihan kepercayaan Ompu Gabe yang berantakan. Dan ya, berhasil. Ompu Gabe
perlahan bangkit, membentuk grup baru, serta menampung kembali pemain dan pemusik
grup lama. Tur opera pun kembali berdebur, mengedar lakon demi lakon. Iya, kian berkelang
memang jejeran penonton. Pun hasil keuntungan dangkal dan keruh. Tapi Teresia menolak
beranjak dari gebyar panggung.

Tentu, Ompu Gabe bangga kepada istrinya. Teresia bahkan pernah didaulat pahlawan oleh
awak grup. Saat itu, seorang pemain, tokoh inang, mendadak sakit. Lantas penonton nyaris
mengamuk karena pertunjukan lalai dimulai. "Aku yang main!" Teresia menghadap suaminya,
lalu segera mendaki panggung. Ia berhasil mengupas rasa canggung sekaligus menghipnotis
penonton. Hasilnya? Lumayan, sanjung Ompu Gabe.

Maka, tak heran jika Teresia menjadi pesona baru. Dari opera ke opera, dia memikat hati
penonton —juga mendulang pujian dari awak grup. Tapi sumpah, Ompu Gabe tidak pernah
menghasut Teresia memikat hati siapa pun di luar lakon. Terlebih itu lelaki, apalagi lelaki itu
adalah lawan main Teresia di panggung? Dasar tak beradat! Semula, baginya Teresia adalah
kebahagian sempurna! Tapi kebahagiaan apa lahir yang dari sebuah pengkhianatan? Togu,
sahabat Ompu Gabe, bermain opera sejak belia bersekutu cinta dengan Teresia. Mereka raib
meninggalkan sekerat surat. Hanya sembilan tahunkah usia kesetiaan? Ompu Gabe pun
bersemak isak sembari mendekap kedua anaknya: ah, sudah berumur tujuh dan lima tahun.
Ompu Gabe berkubang luka!

Tapi apalagi, selain pasrah? Siapa hendak menampung lampiasan amuk? Lagi pula, Ompu
Gabe tak berniat mengampuni pengkhianat. Luka memang berkibar, dendam, ya,
menggelepar. Namun tidak untuk menagih Teresia dari pangkuan Togu. Iya, pikiran Ompu
Gabe lintang-pukang. Ia bubarkan grup. Tak ada opera, tiada lagi tur. Ia lipat hasrat untuk
mengusung panggung ke kampung-kampung. Sambil menangkis tangis, Ompu Gabe pun
menjual seluruh perangkat musik dan segala aset opera. Lalu, janji pun ditancapkannya ke
udara: tidak untuk opera dan tidak untuk perempuan!
Nah, ketika sebagian teman —mantan pemain opera—m asih tetap berkesenian meski
berprofesi pengamen, Ompu Gabe malah membelot menjadi penarik becak siantar. Entahlah,
ia serasi sebagai penarik becak antik itu. Kalau tidak, mana mungkin Ompu Gabe setia
menarik becak sampai 22 tahun lebih. Ia bahkan sudah bercucu. Tapi belum mampu juga
menumpas masa lalu? Kemudian, seorang anak muda bernama Marihot tiba-tiba
mengelebatkan hujan cuka, tepat ke ladang luka.

Ah, tidak! Sebelum Marihot datang, Ompu Gabe sudah sejak lama gagal menjemur luka dan
membunuh sisa cinta terhadap Teresia dan opera? Ia pun sebenarnya paham jika Marihot
tidak berniat mencongkel bekas luka. Memang, Marihot mahir menjangkau geriak kehidupan
Ompu Gabe yang hanyut ke muara waktu. Benar, Marihot lihai menyeret Ompu Gabe
menelusuri kembali ladang kenangan: riang-gempita dan luka-cita! Tapi ia tidak pantas
menuding Marihot sebagai pengobrak lemari kenangannya — bukankah sejak lalu tak terkunci?

Lagi pula, Ompu Gabe pun sadar atas kegagalannya menggenapkan kesumat. Bayangan
Teresia sering timbul tenggelam di laut lamunannya. Lalu, ke mana pun angannya berpaling,
terperosok juga ke semarak opera; lakon, musik, nyanyian, dan hiruk penonton. Tengoklah, di
bawah jok becak tersimpan hasapi. Iseng Ompu Gabe membelinya, tapi tekun memainkannya,
bersanding lagu-lagu sampai lalai waktu. Pernah, ketika Marihot menjumpai Ompu Gabe pada
kesempatan yang lain, mereka menempuh malam sambil menenggak tuak, bercerita, dan
bernyanyi sampai serak.

"He, jariku masih mahir memetik senarnya," Ompu Gabe mengumbang diri.

"Lebih paten kalau dipetik di panggung," Marihot berdesis. Lalu kembali meniup sulim.

"Mmh, tidak …" Ompu Gabe menggeleng, tapi matanya bimbang.

Marihot memang anak muda yang gigih. Sabar dan pintar. Apalagi ketika mengetahui
pendirian Ompu Gabe mulai oleng. Ia belum mau menyerah. Apalah sulitnya menggedor pintu
yang mulai goyah? Maka, pada malam yang lebih menggigilkan, Ompu Gabe akhirnya
kehilangan kekuatan.

"Baiklah. Aku bersedia, Marihot …" Teriak Ompu Gabe menaklukkan suara mesin becak. Saat
itu Ompu Gabe dan Marihot sedang berputar-putar di kota Siantar, "Aku juga akan membujuk
kawan-kawan untuk berlatih dan main." Marihot menyelidik wajah Ompu Gabe. O, mata Ompu
Gabe berkilau, memendar buncahan gairah.

"Tapi ada syaratnya, Marihot …" sesabit senyum mengait di bibir Ompu Gabe. Pangkal hidung
Marihot mengerucut, "Aku yang menjadi anak mudanya, heh!" Ompu Gabe mengerling,
Marihot terbahak sambil menahan kencing.

Malam ini penampilan perdana: Lakon Guru Saman! Penonton tidak melimpah dalam gedung.
Mungkin pekan depan lebih meriah saat mereka tampil di Lapangan Sisingamangaraja, Balige.
Menurut rencana, lakon Sipurba Goringgoring yang digelar di sana. Tapi Ompu Gabe tidak
peduli dengan jumlah hadirin. Ia cuma menanti kedatangan seseorang untuk menyaksikan
kehebatannya ketika berlakon. Ia kembali merasa muda. Matanya menyala.

Ompu Gabe berperan sebagai Guru Saman, jagoan asal Lau Balang-Tanah Karo. Berilmu kebal
dan lihai main silat. Nah, cerita punya cerita, tokoh ini membunuh seorang hamba Tuhan —
vorhanger, juga istri korban yang sedang hamil. Memang, Guru Saman mendapat ilmu dari
seorang guru yang membolehkannya membunuh, tapi ibu hamil jangan! Tapi, petuah itu telah
dilanggar Guru Saman. Kesudahannya, Guru Saman berhasil ditangkap komandan intel. Lalu,
ya, dihukum gantung ….

Ompu Gabe bergelimang peluh. Ia sibuk memompa napas ke dada. Sesekali, Ompu Gabe
membidikkan pandangan ke jantung panggung. Hujan cahaya. Tortor Sawan, selingan
sekaligus bagian pertunjukan sedang berlangsung. Para penari bersimbah aksi. Musik bertabur,
saling menyalip. Suara taganing berkulitak-dung, bunyi garantung bergedatuk- tang. Meski
masih berada di luar panggung — wing kanan, Ompu Gabe turut dirasuk musik. Tapi ia masih
harus kembali ke panggung. Adegan penangkapan Guru Saman menunggunya.

"Lihat, aku masih bermain mantap. Tapi di mana kau…? " Ompu Gabe bergumam. Dari tadi,
dalam kekhusyukan berlakon, sungguh, sepasang mata Ompu Gabe begitu telaten mengedar
pandangan ke barisan penonton. Tempias cahaya panggung memang samar,tetapi cukuplah
untuk menyenter wajah hadirin di barisan depan. "Biasanya kau duduk di depan itu …." Namun
ia tidak menemukan sosok yang diharapkannya. Ia pastikan berkali-kali. Hasilnya serupa,
"Mmh, kau tidak datang …?" bisiknya ke telinga sendiri. Harapannya terjungkal!

Adegan pengujung lakon Guru Saman tetap berlanjut. Ompu Gabe sedang tertunduk ditodong
tiang gantungan. Ia tegak ditopang bangku kayu. Alunan sarune menyayat, sesaat. Lantas,
setelah pembacaan pledoi hukuman, adegan eksekusi pun dimulai. Lengkung tali dikalungkan
ke leher Guru Saman. Algojo eksekusi bersiap menebas bangku tumpuan Guru Saman berdiri.
Lampu panggung pun seketika padam diiringi jerembab bangku dan bunyi derak tali. Nyawa
Guru Saman tamat. Lantas tetabuhan meletup, susul-menyusul. Suara sarune meliuk,
mengoyak.

Penonton bertepuk merayakan akhir pertunjukan. Riuh sorak- sorai. Tak ada yang tahu ajal
sudah tercerabut dari mulut yang berceracau:

"Ah, di mana kau, Teresia? Di mana? Mampuslah …!" ***


Gung Ayu Ariani
Cerpen Sunaryono Basuki Ks

GUNG Ayu Ariani seolah merasa berdiri di depan candi bentar1 yang terukir indah, pintu
gerbang yang terbuat dari batu merah jalan masuk ke dalam puri.2 Dia tak menyadari bahwa
peristiwa itu sudah lama berlalu, sejauh dia dapat merasakan perasaannya yang tercabik-
cabik. Dua puluh enam tahun telah berlalu sejak terakhir kali dia berdiri di depan pintu
gerbang puri tempat keluarga besarnya tinggal. Di rumah besar itu tinggal kakek neneknya
yang sekarang sudah almarhum, ayah ibu dan saudara-saudaranya. Dia selalu ingat Gung
Biyang, ibunya, dan Gung Aji, ayahnya, sangat baik kepadanya. Mungkin dialah anak yang
paling mereka sayangi. Kenangan kepada keduanya mengguncangkan bandul lonceng
perasaan di dadanya, yang kemudian terasa sesak, mau meledak, dan benar-benar pecah
dalam derai air mata yang tak terbendung. Desakan perasaan dari dalam itu seolah memompa
dadanya dan satu-satunya cara merekamnya ialah berurai air mata. Di ujung bandul dia bisa
merasakan kesedihan yang tertekan, di ujung yang lain dia merasakan kegembiraan.
Bukankah kedua orang tuanya sudah memberinya kebahagiaan sampai dia dewasa?

Beberapa tahun lamanya dia merasakan perih tersayat di dadanya bilamana memikirkan
keluarganya, terutama Gung Biyang. Kepedihan itu makin menyayat saat dia mendengar
Gung Biyang meninggal, dan pada tahun berikutnya, Gung Aji menyusul. Pada kedua
kesempatn itu dia ditolak para orang tua dalam keluarga untuk masuk ke dalam puri untuk
memberikan penghormatan terakhir pada kedua orang yang dicintainya dan mencintainya itu.
Upacara kematian itu harus berlalu dengan menorehkan luka di dadanya.

Hantaman badai di dadanya itu membuat Gung Ayu Ariani patah hati, dan tak akan pernah
memberi tahu anakanaknya siapa dirinya sebenarnya, dari mana asalnya. Terasa berat untuk
berbohong, tetapi dia harus berbohong agar anak-anaknya tidak terkena getah keputusannya
meninggalkan keluarga dan memilih menikah dengan lelaki idamannya. Kalau anak-anaknya
bertanya, dia selalu menjawab bahwa dia berasal dari sebuah desa kecil di Jawa Timur, dan
bahwa kedua orang tuanya sudah meninggal dunia.

Dia memang berbohong tentang kampung asal usulnya, tetapi tidak tentang kakek nenek
mereka yang memang sudah meninggal. Anak-anak tidak tahu bahwa dia berasal dari sebuah
puri di Klungkung, bahwa dia adalah seorang perempuan bergelar Anak Agung, dan bahwa
anak-anaknya itu punya sepupu dan juga paman yang bergelar Anak Agung. Dia kubur semua
itu dalam-dalam, dan dia menjadi seorang wanita baru. Alangkah terkejut anak-anaknya bila
mereka tahu asal usulnya dan kemudian ditolak oleh keluarga besar untuk sekadar menengok
kediaman kakek nenek mereka.

Gung Ayu Ariani bisa berbahasa Jawa dengan lancar karena sejak kecil dia banyak bergaul
dengan orangorang Jawa yang sudah lama menetap di Klungkung, bermain-main dengan
sebayanya, bahkan memainkan permainan anak-anak yang berasal dari Jawa. Orang bilang,
dulu mereka keturunan Majapahit, datang ke Bali sejak jatuhnya kerajaan besar itu. Dulu
mereka menjadi pengawal seorang putri yang sudah memeluk agama Islam, untuk
menjemput pangeran yang lari ke Bali. Pangeran itu menolak untuk diajak pulang dan
berganti agama, dan tetap bersikukuh untuk memeluk agama Hindu. Karenanya sang putri
pulang kembali dengan sedikit pengawal, sedang pengawal-pengawal lain ditinggalkan di
Klungkung. Kisah itu mungkin benar, mungkin juga tidak benar. Tetapi memang kalau ditanya
dari mana asalnya, mereka hanya bisa menjawab bahwa mereka sudah lama menetap secara
turun-temurun. Lalu, ada pendatang baru dari Jawa yang berbaur dengan mereka.
Kebanyakan dengan pendatang baru inilah Gung Ariani bergaul.

Tak seorang pun mengira bahwa dia bukanlah seorang penutur asli bahasa Jawa. Aksen Bali
tak terdengar, apalagi namanya bukan Anak Agung Ayu Ariani lagi. Sekarang orang-orang
mengenalnya sebagai Hajjah Ari, yang rajin menghadiri pengajian dan ke manamana
mengenakan jilbab. Seorang mualaf 3, tak seorang pun mengira bahwa dia seorang mualaf.
Tak seorang pun mampu menelusuri asalnya. Bahkan beberapa teman yang berasal dari Bali
yang tinggal di kota ini, tak pernah mengira bahwa dia berasal dari Bali. Dan bahasa Jawanya
makin halus karena dia pernah tinggal di Yogyakarta.

Dua puluh tahun telah berlalu, tujuh tahun setelah pernikahannya dengan Retmono, saat dia
sudah melahirkan bayi perempuan dan lelaki. Dia pernah memberi tahu kedua orang tuanya
bahwa lelaki yang dicintainya itu adalah Raden Mas Retmono, putra Raden Mas Retono dengan
Raden Ayu Ambarwati. Namun, mereka tak pernah memasang gelar itu di depan nama
mereka. Orang tua Retmono berasal dari keluarga bangsawan di Solo, namun tak pernah
menganggap gelar kebangsawanan itu penting.

Mungkin, yang dianggap kesalahan besar adalah pernikahan itu. Gung Biyang pernah
menyebut nama Gung Jelantik, paman jauhnya, untuk menjadi suaminya. Di dalam kehidupan
bangsawan Bali, seorang gadis baik menikah dengan sepupu atau sepupu jauh. Lebih baik lagi
kalau bisa menikah dengan paman jauh, jadi dapat memanggil suaminya nanti dengan
sebutan Gung Aji. Walaupun Gung Jelantik pamannya, usianya hanya berbeda tiga tahun
dengannya. Dia adalah sepupu ayahnya, putra termuda dari saudara termuda kakeknya.

Bisa juga karena proses pernikahan mereka tak pernah direstui kedua orang tuanya. Karena
tahu Gung Ayu Ariani tak akan mendapat simpati kedua orang tuanya dalam pernikahan itu,
dia pun berkonsultasi dengan seorang paman yang tak terlalu konservatif. Pamannya itu
mengenal Retmono dengan baik dan dapat menilai bahwa lelaki itu memang lelaki baik-baik,
sesuai untuk suami Gung Ayu Ariani, walaupun dia bukan dari kalangan keluarga. Paman itu
memberi saran agar sebaiknya mereka kawin lari saja.

Merangkat merupakan solusi biasa bilamana ada halangan dalam sebuah perkawinan,
terutama bilamana mempelai berasal dari kasta yang berbeda: yang wanita dari kasta yang
lebih tinggi. Merangkat dilaksanakan dengan rapi sesuai tuntutan adat: Gung Ayu Ariani
membawa beberapa potong pakaian ketika dijemput Retmono di tempat yang telah disepakati.
Mereka langsung menuju tempat persembunyian yang dirahasiakan, dijemput sejumlah
kenalan yang lebih tua, yang sudah siap mengenakan pakaian adat Bali. Merekalah yang
bertindak sebagai utusan, sebagai pejati yang mengabarkan bahwa Gung Ayu Ariani sudah
dilarikan orang. Mereka mulamula menuju rumah ketua RT tempat keluarga Gung Ayu tinggal,
untuk melaporkan maksud mereka. Dengan diantar ketua RT, mereka menuju puri dengan
menyalakan dua lampu minyak tanah sebagai tanda bahwa mereka adalah utusan. Kedua
pejati itu bertemu keluarga Gung Ayu, bicara dengan bahasa halus, bahkan teramat halus,
namun pihak keluarga merasa terkejut dan marah. Mereka minta Gung Ayu dan calon
suaminya dibawa menghadap agar bisa ditanyai langsung, apakah mereka memang saling
mencintai.

Dari pertemuan itu, Gung Ayu Ariani mendapat keputusan yang memukul perasaannya.
Keluarga tidak akan menghadiri upacara pernikahan dan mereka tak diperkenankan memasuki
puri untuk waktu yang tak ditentukan. Mula-mula Gung Ayu Ariani mencoba meyakinkan
dirinya bahwa kedua orang tuanya tidaklah bersungguh-sungguh dengan keputusan ini. Di
dalam pertemuan keluarga yang bersifat resmi ini, mereka memang harus menunjukkan sikap
tegas untuk memberi kesan bahwa mereka memang sungguh-sungguh mematuhi peraturan
keluarga dan tidak melanggar adat. Tidak satu pun gadis dari keluarga itu boleh menikah
dengan lelaki dari kasta yang lebih rendah atau juga dengan lelaki dari suku lain. Namun
Gung Ayu Ariani juga tahu bahwa sejumlah keluarga lain mengizinkan putri mereka menikah
dengan lelaki dari kasta yang lebih rendah asal punya gelar akademik khusus atau bahkan
berpangkat. Dia tahu temannya menikah dengan Dr Wayan Dibia yang lebih rendah kastanya,
atau dengan Kapten Marinir Ketut Pugeh. Mereka seolah menutup mata. Dan dia akan
menikah dengan Ir Raden Mas Retmono, bukan lelaki biasa. Dia berharap, lama-kelamaan hati
kedua orang tuanya akan melunak, apalagi bila mereka berhadapan dengan cucu-cucu yang
lucu. Mungkin Gung Ayu Ariani akan diizinkan pulang, disambut sebagai keluarga. Namun, hal
itu tak pernah terjadi, apalagi kedua orang tuanya meninggal satu per satu. Pernah mereka
datang ke puri dengan membawa dua bocah kecil yang lucu untuk melunakkan hati Gung
Biyang dan Gung Aji. Namun Komang Ratning, pembantu mereka yang sudah tua yang keluar
dan dengan lidah hampir terpaku menyampaikan pesan bahwa Gung Biyang dan Gung Aji tak
berkenan menerimanya. Dilihatnya mata perempuan tua itu berkubang air mata. Ingin dia
memeluk perempuan tua ini, yang mengasuhnya sejak kecil, namun niat itu diurungkannya.
Diam-diam diberikannya beberapa lembar uang kertas yang mula-mula ditolak, namun
akhirnya diterima dengan isak tangis. Saat itulah dia memandang dengan hati bolong candi
bentar yang memisahkan dunia keluarganya dan dunianya. Gapura itu tak pernah lagi
dilintasinya. Itulah kenangan yang diingatnya untuk waktu yang sangat lama: dua puluh
tahun.

Gung Ayu Ariani masih memegang gagang telepon yang bergetar di tangan.Antara rasa
bahagia dan rahasia yang ingin dikuatkannya. Hampir tak dapat dipercaya apa yang
didengarnya. Telepon dari Dewi Saraswati, anak sulungnya dari Columbus. Jam lima pagi,
udara sejuk di luar.

"Dewi harap Mama tidak terkejut. Dewi berhasil memperoleh gelar master, dan juga seorang
calon suami."

Calon suami? Apakah orang Amerika? Tapi teka-teki segera pecah.

"Dia sangat baik, sabar, penuh pengertian, dan setia. Mama dapat menilai dari suaranya. Dewi
bukan lagi gadis kecil, Ma. Mau tahu namanya? Anak Agung Alit, lulusan ITB. Dia juga
memperoleh gelar master di Ohio State University tempat Dewi belajar. Alit dari Klungkung!
Pasti Mama menyukainya!"

Memang, Dewi bukan gadis kecil lagi, yang rambutnya dijalin dengan hiasan pita merah.
Bukan gadis kecil yang dengan manja minta dipangku dan disuapi kala makan walau sudah
duduk di kelas dua SD.

Dewi seorang perempuan dewasa. Pribadi yang mungkin tak lagi dikenalnya. Dan dia segera
pulang dengan seorang calon suami pilihannya sendiri. Bukankah dia juga memilih Retmono
sebagai calon suami, memilih sendiri, dan menolak pilihan Gung Biyang? Dia tidak terkejut
oleh isi berita yang disampaikan padanya, tetapi dengan cara Dewi bercerita tentang calon
suami. Rasanya, Dewi bukan gadis remaja yang dikenalnya. Tetapi, siapakah Gung Alit?
Apakah dia anggota keluarganya sendiri? Apakah sejarah akan berulang kembali seperti kata
orang Prancis? Tak kuasa dia menahan air matanya yang tumpah.

Gung Ayu memberi tahu Gung Alit agar keluarganya datang berkenalan, tanpa memberitahu
bahwa sesungguhnya dia juga seorang Anak Agung dari Klungkung. Tetapi, banyak keluarga
Anak Agung yang tak saling berhubungan, yang berasal dari Klungkung.

Pada hari yang ditentukan, Gung Ayu merasa gelisah, tak tenteram di tempat duduknya. Dia
bergerak dari ruang ke ruangan, memberi petunjuk kepada kedua pembantunya tentang
hidangan yang akan disuguhkan. Dewi sendiri nampak bahagia dan anggun dalam pakaian
kain kebaya gaya Yogya. Gung Alit memang pemuda yang tampan dan menarik. GungAyu
mencoba menelusuri wajah siapa yang menjejak pada wajah Gung Alit. Mungkin salah
seorang keluarganya. Sekilas, Gung Alit mirip Gung Aji Purwa, salah seorang pamannya.
Namun, sesaat kemudian lelaki itu mengingatkannya kepada pamannya yang lain, atau
sepupunya. Pikiran-pikiran itu membuatnya tambah gelisah. Saat tiga mobil berhenti di depan
rumah, keluarga Retmono dan tetangga dekat yang bertugas sebagai penyambut tamu
bergegas menuju halaman. Kemudian mereka diantar masuk ke dalam rumah. Mereka
berpakaian adat Bali. Yang lelaki mengenakan sarung dan kemeja yang dibungkus jas, serta
mengenakan ikat kepala dari kain batik. Yang perempuan mengenakan kain dan kebaya,
dengan hiasan kepala dari bungabunga emas. Setiap tamu diperkenalkan kepada Retmono
dan Gung Ayu Ariani seorang demi seorang oleh yang nampaknya paling tua. Gung Ayu Ariani
menyalami mereka. Ketika yang tertua maju, Gung Ayu memandangnya tanpa senyum.
Walaupun dia bertambah gemuk, mungkin sepuluh atau lima belas kilogram, Gung Ayu Ariani
tetap mengenalinya sebagai Gung Jelantik. Lelaki itu terkejut dan ingin mengatakan sesuatu,
namun Gung Ayu Ariani diam saja. Lelaki itu tahu pasti situasi sulit baginya, jadi dia diam saja
dan hanya tersenyum kecil.
Gung Ayu Ariani merasa pertemuanitu sangat resmi. Ketua rombongan menghaturkan oleh-
oleh yang diletakkan di atas nampan kayu yang berkaki. Di atasnya setumpuk kain batik dan
songket warna-warni. Di atas nampan lain buah-buahan segar dan juga kue-kue. Mereka
menyampaikan maksud kedatangan untuk berkenalan dan juga melamar Dewi Saraswati
untuk Ir Anak Agung Ngurah Alit MSc. Utusan itu juga mengatakan bahwa Gung Alit adalah
putra Anak Agung Udayana yang berhalangan hadir dalam esempatan baik ini. Ariani tahu
bahwa Gung Udayana adalah saudara tua Gung Jelantik, dan Gung Alit adalah bayi kecil yang
dulu dilihatnya sebelum dia meninggalkan puri. Gung Ayu Ariani yakin keluarganya masihingat
bahwa dia adalah salah seorang anggota keluarga yang pernah memprotes adat keluarga.
Mungkin juga mereka tahu bahwa Gung Ayu Ariani berjuang keras untuk tetap hidup dengan
melanggar peraturan itu. Semuanya diam, tak seorang pun berani mengungkap rahasia itu.
Retmono tidak mengenal mereka secara dekat, namun dapat merasakan ketegangan antara
istrinya dan keluarganya. Dewi dan Gung Alit nampaknya tak menyadari akan situasi sulit ini.
Semua tamu menunggu tanda dari Gung Ayu Ariani untuk mengakhiri perselisilahan keluarga
yang cukup lama itu. Mungkin saat yang tepat untuk rujuk di antara keluarga. Mereka merasa
bersalah karena dulu tak berani melawan keputusan para tetua keluarga, dan seharusnya
berdiri kokoh membela Gung Ayu Ariani. Gung Ayu Ariani tahu semua adik dan kakaknya
hadir di sini. Mereka menentang pernikahannya dan tak pernah berkabar sekalipun kepadanya.
Apakah dia harus menolak lamaran ini sekadar untuk mempertahankan rasa bangganya dan
menghancurkan kebahagiaan anaknya? Apakah dia tidak bisa mengorbankan penderitaan
masa lalunya untuk masa depan Dewi? Apakah dia harus bertindak kejam kepada putrinya
sendiri? Apakah belum cukup penderitaan bertahun-tahun hanya untuk dirinya sendiri, tak
perlu dibagi? Beberapa saat lamanya dia tak bisa mengambil keputusan. Retmono
sudahmemberi tahu tamunya bahwa istrinya yang mengambil keputusan untuk anak
perempuan, dan dia akan mengambil keputusan untuk anak lelaki mereka.

Hidangan kue dan minuman dibiarkan tak tersentuh. Ruang tamu seakan beku. Bahkan detak
jam dinding pun tak terdengar. Semua menunggu. Menunggu. Tiba-tiba Gung Ayu Ariani
melempar senyum yang makin melebar. Terdengar napas lega di sudut-sudut ruang tamu.

"Gung Aji!" kata Gung Ariani memecah sunyi, "Selamat datang di rumah kami."

Dewi Saraswati menoleh ke kanan dan kiri, mencoba untuk memahami keadaan itu.***

Singaraja, 7 Juli 2007

KETERANGAN
1 Candi bentar= gerbang untuk rumah bangsawan
2 Puri = kediaman bangsawan Bali yang bergelar Anak Agung
3 Mualaf = seorang muslim sebagai hasil memeluk agama baru. Banyak mualaf, baik
lperempuan maupun lelaki, akibat dari sebuah pernikahan.
Dajjal
Cerpen Beni Setia

Jemur bantal, guling dan kasur. Setidaknya seminggu sekali gantilah seprei dan sarung
bantal-gulingmu." "Agar tak ada Dajjal, Yah?" "Agar Dajjal mengerut dan terbakar jadi abu.
Agar abunya terbang di panas siang dan tidak buru-buru bersarang di dalam tanah
pekarangan.Tepuk-tepuk bantal dan guling agar bulu-bulu halus Dajjal beterbangan dan tidak
bersarang di bantal dan guling ––sehingga kamu batuk-batuk."

"Apa Dajjal pocong itu, Yah?" "Bukan. Pocong adalah orang mati yang tak ikhlas menerima
kematiannya. Ia mempertahankan tubuhnya, percaya bahwa satu saat tubuhnya akan hangat
lagi, lalu bisa bangun dan pulih seperti biasa. Ia menekur, berjaga di sisi tubuh yang dikafani
dan dikubur dengan berbantal gumpal tanah di rongga lahad.

Dan Dajjal, setelah tiga bulan penguburan, terkadang muncul dari balik bantal tanah untuk
menggerayangi hidung dan menyelinap ke rongga dada. Dajjal selalu rindu lubang hidung,
atau kuping, karena tidak punya kaki,tangan,badan, kepala dan mata. Ia ingin jadi manusia,
segala hewan dan tanaman yang bisa muncul di permukaan tanah tanpa mati dibakar sinar
matahari."

***

Dajjal itu monster, jejadian, siluman. Induk dari segala Dajjal berada jauh di dasar
Bumi,berupa batang kelam seperti tanaman parasit berujud akar ––seperti bunga bangkai ––,
yang terpendam lama sebelum memunculkan kuncup bunga dan kemudian mekar jadi bunga
raksasa beraroma busuk pemancing serangga.Nun.

Tapi Dajjal tidak memunculkan kuncup bunga. Ia melepas ruas batangnya,seperti cara
pembiakan cacing pita, yang terapung dan bersarang di bawah bantal yang lembap berbau.
Bertahan sampai dua tahun ––bila tak dijemur di panas matahari. Diam-diam mengincar isi
rongga dada lewat lubang hidung, lubang kuping dan mulut orang tidur, yang tak pernah
menjemur bantal, guling, dan kasur.

Mencengkeram dan tumbuh sebagai Dajjal sempurna di paru-paru, lambung, dan jantung.
Pada mulanya Dajjal hanya serabut transparan berbulu, yang gampang rontok dan bila
terhirup menyebabkan kita batuk-batuk di waktu tidur. Setelah sempurna, ia jadi sulur-sulur
hitam dengan kepala yang berupa setangkup cocor bebek yang akan menggerogoti tulang
rawan hidung dan kuping, atau menyedot cairan isi mata dan kepala sehingga setiap manusia
seperti tidak punya hidung, kuping, mata, dan otak.

Mengendalikan manusia seperti dalang mengendalikan boneka marionette dengan tali atau
wayang dengan batang bambu kecil. Mendominasi sehingga tubuh itu hanya alat untuk
memuaskan keinginan Dajjal, sampai manusia bersangkutan kurus, kering dan garing seperti
ranting, mati dan mayatnya dikuburkan.

Pada tahap ini ia bisa bertahan seratus tahun, sambil setiap lima tahun melepas ruas
tubuhnya menjadi serabut-serabut Dajjal,yang bila dalam dua tahun tidak terbakar matahari
bisa mencapai rongga dada manusia akan mencapai tahap dewasa––dengan mengendalikan
dan menyedot daya hidup inang.

Lantas, dikuburkan untuk bisa berkembang biak dengan menerbangkan serabut transparan ––
meniru Dajjal purba yang ada di dasar Bumi. Nun.Tapi apa Dajjal itu? Di abad apa ia mulai
tumbuh? Apa kreasi liar yang terbentuk di masa purbani dan gagal disisihkan seleksi alam
karena memiliki daya tahan sebanding dengan agresivitas destruktif? Atau ia makhluk
vegetatif penyusup dari Planet Nun [jauh] di Tata Surya asing? ***

Dalam cerita wayang, dalam komik Ramayana, Rahwana adalah makhluk raksasa yang lahir
dari seorang putri ambisius yang kepingin menguasai ilmu kesempurnaan hidup milik dewa,
dengan seorang lelaki petapa yang telah menguasai ilmu ke-sempurnaan dan tergoda
kemolekan si putri ketika dia mencoba mengajarkan ilmu itu atas permintaan anak lelakinya
yang menaksir si putri.

Mungkin karena mereka mengurung diri dalam kamar, terperangkap pada fakta ketubuhan di
ruang tertutup, dan berselingkuh sehingga lahirlah anak-anak yang ada di antara gradasi
nafsu dan keutamaan,Rahwana dan Wibisana.Dalam epos Ramayana itu diceritakan Rahwana
mencuri Dewi Sinta, istri Betara Rama dengan tipu daya, dan tak mau mengembalikannya
ketika diminta secara baikbaik.

Maka pecahlah perang besar, yang ditutup dengan kekalahan Rahwana. Tapi Rahwana tak
pernah mati ––ia memiliki aji Pancasona yang menyebabkan tubuh dihuni nyawa lagi begitu
menyentuh tanah setiap kali terbunuh.Karena itu, ia dikejar-kejar panah sakti yang dilepaskan
Rama, berusaha [tunggang- langgang] untuk bersembunyi di sembarang tempat.

Gagal dan karenanya ia menyusup ke dalam tanah dan akhirnya terjepit oleh kerak bumi yang
saling bergesekan sebagai lempeng landas benua ––terjepit dan terdorong ke kawah magma
gunung kembar. Tidak bisa bergerak karena terjepit, tak mau bergerak karena diincar panah
sakti, dan karenanya ia hanya mengorok dan menggelokgok melepas aneka rupa angan-
angan, nafsu ––seperti bocah kampung meniup busa sabun dari mangkuk air sabun.

Tetapi, tentu saja, tanpa tawa dan canda. Dipenuhi oleh kemarahan dan dendam ia
meniupkan hipnotis dan sugesti kepada orang-orang hidup yang bebas gentayangan di muka
Bumi–– agar angkara seperti dirinya. Ya! Tapi apa Rahwana itu biang Dajjal? ***

Aku kelas empat SD dan adik baru kelas satu SD. Saat itu hari hujan,lampu mati sehingga TV
tak bisa dinyalakan –– kami yang tak bisa main game. Aku ingat pada cerita Ayah tentang
Dajjal yang bersarang di bawah bantal. Teringat akan momen ceritanya di tiga bulan lampau–
–pada saat yang juga malang seperti sekarang ini––, yang kemudian disusul dengan desas-
desus munculnya setan pocong Bu Bariah, yang meninggal dalam kondisi hamil muda.

Aku membayangkan Dajjal seperti membayangkan pocong, yang berwarna kelam dan
bersembunyi di bawah bantal,karenanya hanya seruas jari kelingking.Aku minta Ayah
menggambarkannya di kertas dan bukan memperagakannya dengan empat jemari di dua
telapak tangan. Lantas Ayah menggambar di buku tulis dan memberinya warna sehingga aku
yakin akan keberadaannya.

Karenanya aku bertanya lagi: apa Dajjal itu hewan atau tumbuhan? Apa Dajjal itu jantan atau
betina? Apa Dajjal itu virus atau parasit? Ayah tertawa. Ayah bilang, tidak ada Dajjal dan yang
ada hanyalah Om Zal. Aku dan adik mengernyit. Om Zal itu adik ayah. Sudah tua tapi
kesenangannya bermalasan, teler, dan hampir setiap hari minta duit sama Oma ––Opa sudah
meninggal ––, dan marah bila tidak diberi duit.

Karenanya Oma menelepon Ayah, menelepon Tante Maryam dan Om Yusuf. Bila ditelepon
begitu,begitu terdengar, Ibu selalu marah dan mencaci maki Om Zal. Ayah bilang, ia terpaksa
memberikan sokongan karena ingin menyenangkan Ibu. "Itu bakti saya kepada Mama,"
katanya. "Tapi itu sama saja dengan membiasakan Zal tergantung padamu. Menggerogoti
kita . …" kata Ibu.

Ayah bungkam ––Oma masih menelepon dan minta sokongan. Apa mungkin Om Zal itu Dajjal?
Aku berpikir: mungkin Dajjal bersarang di bawah bantal Om Zal,lalu masuk ke rongga perut
lewat lubang hidung, kuping atau mulut.Bersarang dalam lambung, dan menyerap segala
rokok,minuman, pil, dan entah apa saja yang dimakan oleh Om Zal.

Dan pada gilirannya, Om Zal itu sendiri sudah bukan lagi Om Zal, tapi sebuah Dajjal yang
memakai tubuh Om Zal ––setidaknya karena mata dan otaknya kering terhisap. Kalau begitu,
ke mana Om Zal yang sejati? Apa yang terusir dari tubuhnya itu nyawa atau ruh? Apa hanya
kesadaran dan harga diri yang menyebabkannya jadi orang tak malu hidup bermalasan dan
bermanja ––parasit yang merepotkan orang, seperti yang dibilang Ibu bila tahu Ayah
menyokong Om Zul?

Dan karenanya, untuk bebas dari Dajjal, kita tidak boleh bermanja, tidak boleh merepotkan
orang lain ––tak boleh jadi parasit. Punya harga diri dan kemauan untuk hidup mandiri.Dengan
senantiasa menjemur bantal,guling,kasur, dan selalu ganti sarung bantal dan guling dan
seprei seminggu sekali —seperti yang selalu dikatakan ayah. OK! Tetapi kenapa Ayah tidak
membebaskan Om Zal dari dominasi Dajjal?

Apa di dunia ini memang tak ada obat untuk membebaskan orang yang di- cengkeram dan
dikuasai Dajjal? Bila begitu apa Dajjal itu asli jejadian yang tumbuh bersama evolusi planet
Bumi atau justru datang dari Planet Nun [jauh] di Tata Surya lain. Serdadu komando alien
yang berusaha menguasai Bumi dengan menguasai dan menggerogoti tubuh manusia Bumi?

***

Apa mungkin Dajjal itu sabu-sabu, ekstasi, putaw, rhohipnol, pil koplo, ganja,bir,wiski, vodka,
arak, dan segala entah apa lagi yang selalu dikonsumsi oleh Om Zul? Atau … ***
Anting
Cerpen Ratna Indraswari Ibrahim

Dalam tiap acara keluarga besar kami, sejak kecil aku merasa Antinglah yang jadi selebritis.
Dari sekian puluh cucu eyang putri, cuma dia yang cantik. Konon, Anting mirip leluhur kami,
garwa kepala prajurit Pangeran Diponegoro yang lari ke Malang.

Saya yang belajar biologi, sebetulnya heran genetik leluhur (teori Mendel) eyang cuma jatuh
ke Anting. Padahal, ada sekian puluh cucu perempuam eyang, termasuk aku (Dini). Anting
paling beruntung. Om Didit (papa Anting) pengusaha restoran yang sukses. Di Jakarta saja
punya lima belas cabang, padahal yang dijual hanya bakso dan ayam goreng khas Malang.
Mama bisa lebih enak membuat masakan itu, tapi tidak pernah sukses memperdagangkannya.

Dibanding Om Didit, ekonomi keluarga kami kalah jauh. Mama dan Papa, lulusan IKIP Malang,
hanya guru SMA. Bisa dibayangkan, sejak kecil, aku dan Mbak Anting seperti bumi dan langit.
Sekalipun, sebisa-bisanya kala lebaran mama memberiku baju yang lebih bagus dari yang
lainnya, agar aku tidak terlampau merasa kalah dengan Anting.

Tapi, papa selalu memprotes sikap mama. "Kamu tidak mendidiknya dengan baik. Seharusnya
Dini sejak kecil diajari memahami realitas hidup ini. Aku bukan pebisnis. Gajimu dan gajiku
tidak akan sama dengan pendapatan Om Didit."

Sejak remaja aku tidak suka mendengarkan itu. Seolah-olah aku betul-betul miskin, dan tidak
akan pernah sejajar dengan Anting. Apalagi, pada waktu remaja Anting sudah bermain
sinetron. Saat itu aku sudah tidak suka menceritakan pada teman-teman sekelasku bahwa dia
sepupuku. Pastinya mereka tidak akan pernah percaya, bagaimana mungkin aku bisa
bersaudara dengan Anting yang cantik dan anak orang kaya itu.

Semua orang tahu kami tinggal di perumahan BTN. Kedua orang tuaku hanya punya sepeda
motor. Aku dan adikku, Dina, memang pernah membicarakan hal itu dan kukatakan padanya,
"Jangan bilang sama orang, kalau Anting itu kakak sepupumu. Mereka tidak bakal percaya."
"Mbak, teman-temanku percaya kok. Malah mereka bilang, sampeyan dan Anting itu mirip.
Cuma saja baju sampeyan bukan baju bermerek." Aku benci mendengarkan itu. Sejak remaja
aku sudah bertekad untuk tidak akan pernah kalah dengan Anting, yang semakin kelihatan
naik daun.

Aku kini menjadi wartawan sebuah harian nasional. Suatu kali redaksi daerah memanggilku.
"Dini, coba liput Anting, dia kan saudara sepupumu. Kamu akan berkerja sama dengan
seorang wartawati senior dari Jakarta. Liputannya untuk halaman tokoh. Akan dimuat dua
minggu lagi. Menurut kabar, dia akan menjadi artis terbaik tingkat ASEAN."

Aku menganggukkan kepala. Sesungguhnya aku tidak suka tugas itu! Tulisanku akan
menjadikannya lebih populer. Aku, secara individu maupun secara lembaga, akan ikut
membesarkanya. Aku benci memikirkan itu. Kala remaja aku adalah bayang-bayangnya. Aku
tidak ingin mendorongnya menjadi orang besar dengan tulisanku di koran tersebut.

Tapi, tidak mungkin aku menolak tugas. Aku bisa disingkirkan dari media itu. Aku benci. Aku
seorang sarjana teknik material. Seharusnya aku berada di perusahaan yang tidak ada
sangkut pautnya dengan Anting. Tapi, kehidupanku berbicara lain. Setelah hampir enam bulan
menganggur, setelah tamat SI, aku cuma bisa diterima di media tersebut.

Sebetulnya, sampai hari ini, aku tidak suka bekerja di tempat seperti ini. Apalagi, harus
bertemu dengan Anting, ikutan membesarkan orang yang membuat aku merasa tidak berarti
apa-apa di muka keluarga besar kami, juga di muka Tom (pacarku) yang selalu dengan
terkagum-kagum bilang, "Astaga, aku tidak tahu Anting, tapi luar biasa ya bakat dan
cantiknya."

Tentu saja aku tidak menunjukkan perasaan tidak sukaku pada Anting di muka Tom.
ketidaksukaanku itu akan membuat hasil liputanku amburadul. Padahal, aku ingin sekali ke
Jakarta untuk membuktikan aku bisa menulis untuk media ini. Saat kukatakan tugasku ini
pada Dina, gadis remaja itu berkata kepadaku, ''Mintakan fotonya ya, Mbak, dengan tanda
tangan, biar teman sekelasku tahu kalau aku ini adiknya selebritis."

Dan, mama menambahi, "Kalau kau ketemu Anting, aku mau kirim keripik tempe untuk Om
Didit dan tantemu, mangga yang masak di batang dari teman yang punya kebun mangga di
Probolinggo."

Aku berlagak sibuk dan masuk ke kamar. Mengotak-atik komputer, mencoba membuat format
untuk profil Anting. Menurut teman-teman, wartawati senior yang akan meliput bersamamu,
orang yang cerewet. Dan aku harus berhati-hati, karena pengaruhnya besar pada atasan. Bisa
jadi, aku diberhentikan dengan tidak hormat, kalau dia tidak suka, kepada pekerjaan yang
aku lakukan. Bisakah dibayangkan aku sebetulnya tidak selalu ingin menjadi orang kedua
sejak kecil. Aku sering mengatakan pada diriku sendiri, "Aku harus punya nilai lebih dari
Anting."

Aku tidak pernah sepakat dengan omongan papa yang mengatakan bahwa, "Tidak setiap
orang bisa menjadi nomor satu. Di dunia ini, pasti ada yang nomor dua dan tiga. Kita adalah
aktris dan aktor yang disutradarai oleh-Nya. Setiap orang pegang peranan, hanya untuk
kembali kepada-Nya."

Aku sangat marah mendengar ucapan papa. Menurutku papa seharusnya tidak pasrah seperti
itu. Dia seharusnya mengambil S2, S3 dan menjadi guru besar di universitas, bukan hanya
guru SMA. Waktu itu mama bercerita, "Papamu tidak mau kuliah di luar kota, karena takut
membebani orang tuanya. Dia menyuruh adik-adiknya yang sekolah di luar kota. Secara
ekonomi mereka tidak seberuntung aku dan saudara-saudaraku." "Toh adik papa yang kaya-
kaya itu tidak memberi bantuan kepada kita sekalipun papa sudah berkorban untuk adik-
adiknya."

Mama tersenyum, "Nduk, kita kan sudah cukup sekalipun tidak sekaya Pakde Didit." Yah, aku
tidak tahu bagaimana seharusnya menghadapi Anting. Dia pasti akan menegakkan kepalanya
di mukaku, kala berbicara seolah-olah dunia ini cuma dia yang memiliki. Tentu saja, dia tidak
jelek seluruhnya. Kadang-kadang Anting memberiku sebotol parfum dari kelas bermerek.
Kadang-kadang, dia menyelipkan uang kepada adikku yang membuat adikku berjingkrak-
jingkrak.

Tapi, aku memang tidak begitu suka padanya. Apakah aku membencinya? Mungkin juga tidak.
Kadang-kadang kalau pulang lebaran dia bercerita banyak. Tentang sinetron, atau jalan-
jalannya ke luar negeri, dan aku menikmati juga ceritanya. Dia pasti tidak lupa memberi
mama parfum, yang pasti tidak akan terbeli oleh kami. Jadinya, aku mungkin orang yang lagi
iri hati saja. Dalam diskusi panjang dengan Tom, dia mengatakan, "Seharusnya kita mengukur
baju kita sendiri."

Aku merasa omongannya tidak jelek. Tapi, aku selalu tidak mau terkurung omongan orang.
Berhari-hari aku membikin profilnya dan kukirim ke wartawati senior yang akan meliput
bersamaku. Wartawati itu bilang, "Saya sudah pas dengan semua pertanyaanmu, dan sudut
yang kau ambil. Cuma aku harus menambah di sana-sini, tapi tidak banyak."

Pulang dari wawancara, seluruh keluargaku mendapat hadiah termasuk aku. Dia memberiku
laptop yang sudah lama aku inginkan. Anting bilang, "Ini pakailah. Aku baru beli tiga bulan
lalu, namun aku tidak suka warnanya. Kan kamu sekarang wartawati."
Hari minggu pagi adikku berteriak-teriak, liputan yang aku buat tentang Anting sudah ada di
koran. Kemudian, wartawati senior dari Jakarta meneleponku, "Ini pekerjaan yang bagus.
Saya merekomodasi kamu untuk bekerja di pusat saja."

Setelah itu, aku membaca lagi jawaban atas surat lamaranku yang datang kemarin. Aku
diterima bekerja di sebuah perusahaan baja di Jakarta. Aku sudah menata kopor untuk
keberangkatanku besok Senin. Dan, aku juga sudah menulis e-mail kepada Tom, pacarku,
yang sedang meliput gempa bumi di Sumbawa.***
Perempuan Petelur
Cerpen Iggoy el Fitra

TIADA

yang tahu bagaimana perempuan itu dapat bertelur seperti unggas. Semua bermula dari
kedatangannya yang tiba-tiba di sebuah pulau di tengah keheningan Laut Cina Selatan. Entah
di mana pulau itu berada, tak setitik pun ia tampak di peta. Lebih jauh dari Kepulauan Paracel,
lebih jauh lagi dari Kepulauan Filipina. Pesawat kargo yang terbang rendah menjatuhkannya di
tengah lembah bersama sekotak peti yang telah mengurungnya sejak berangkat dari landasan
udara di pesisir selatan Borneo. Dari pelabuhan Tanjung Perak, dia digiring bersama beberapa
perempuan sebayanya menaiki kapal yang akan memberangkatkan mereka ke Telawang.

Dia tidak tahu bagaimana bisa dipisahkan dari rombongan ketika sampai di pelabuhan.
Tentara-tentara Jepang berkali-kali menodong-nodongkan senjata ke wajahnya yang dekil. Di
atas kapal, di sebuah kabin, dia diperkosa dengan kasar oleh seorang kuli angkut atas
suruhan para tentara itu. Setelah tak berdaya, para tentara beramai-ramai meludahinya, lalu
pukulan gagang senjata sekejap membuatnya pingsan.

Dan di lembah ini, dia langsung terbangun setelah seluruh tubuhnya terhempas dengan keras
sekali. Peti kayu itu pecah, tetapi tubuhnya tidak apa-apa. Hanya kepalanya yang sedikit
pusing. Dia tak menyadari bahwa tiada sehelai benang pun membalut tubuhnya. Sambil
merangkak dia menghampiri sebuah air yang terpancur dari balik batu. Dia meminumnya
dengan tergesa-gesa.

Barangkali dia terkena amnesia. Atau hanya demensia belaka. Berulang-ulang dia usap
belakang kepalanya sambil meringis sakit, kemudian menggerak-gerakkan tangannya seolah-
olah dia baru terjaga dari tidur yang panjang. Dia mulai berjalan menyusuri semak belukar.
Ada tebing menuju puncak lembah. Tidak begitu curam, mungkin dapat didaki. Dia mencoba
memanjatnya hati-hati.

Telah seharian dia menyusuri hutan, namun pulau ini seperti tiada bertepi. Dia mulai
mendekap dadanya. Dingin. Rimbun ilalang juga membuat kulitnya gatal-gatal. Dia
menggaruknya sampai memerah dan berdarah. Semak-semak di depannya terlihat semakin
sedikit, tanah yang dipijaknya mulai berubah menjadi pasir. Apakah dia telah sampai di
sebuah pantai?

"Aku kedinginan dan lapar," gumamnya.

Dia dapat bicara meski sepatah kalimat saja. Sebuah pohon yang dapat dia jangkau buahnya
menghentikan langkahnya. Buah itu hanya sebesar kepal, maka dia memakan banyak sekali.
Perutnya langsung sakit. Dia buang air besar di atas pasir.

Ternyata di depannya bukanlah pantai, melainkan sebuah gurun yang tak dapat dilihat
batasnya. Walaupun begitu, dia menyusurinya tanpa ragu-ragu. Berhari-hari sudah, berlama-
lama dia berjalan menyusuri gurun pasir itu. Dia terlalu lelah. Perutnya telah membesar.
Bukan karena terlalu banyak makan, tapi mungkin benih-benih orang-orang yang
menyetubuhinya telah tumbuh.

Dahaga yang begitu hebat dirasakannya tertuntaskan oleh sebuah oase yang muncul sedikit
demi sedikit dari balik gurun. Dia bukan nabi, bukan pula istri seseorang yang sangat mulia,
tetapi kolam jernih itu begitu saja ada di depannya seakan-akan memang hanya diciptakan
untuknya. Adapun dia hanya pelacur yang belum puas dengan hidupnya sendiri.
Dari orang-orang di desanya, dia mendengar pengumuman bahwa para gadis muda akan
dipilih untuk dipekerjakan di Borneo. Sudah lebih dari dua tahun pengiriman itu berulang. Dia
tak masuk dalam pilihan, sebab meskipun masih muda, tetapi dia sudah memiliki anak,
lagipula kulit hitam dan wajahnya yang burik tidak membuat para agen tertarik. Namun dia
bersikeras meyakinkan kepada orang-orang itu kalau dia bersedia bekerja apa saja. Dia
berharap dipekerjakan menjadi pelacur, sebab sebelumnya dia telah melacur diam-diam di
desanya. Seorang teman pernah melarang. Tapi dia sangat ingin melayani orang-orang
Jepang yang banyak uang.

***

PERANG

masih berlangsung. Tentara Belanda memang makin jarang terlihat di Tanah Jawa, tetapi
tentara Jepang sepertinya mengambil posisi mereka. Pada 11 Januari 1942, mereka kali
pertama mendarat di Indonesia dengan menyerang pasukan Belanda di Tarakan. Dini hari itu
terjadi pertempuran besar. Ladang-ladang minyak terbakar. Borneo telah penuh dengan
tentara Jepang. Tiga tahun kemudian, ketika perempuan itu dimasukkan ke dalam peti,
pesawat yang membawanya hampir saja ditembus rudal dari pesawat tempur Australia. Dia
telah menyingkir dari Perang Pasifik yang hampir berakhir.

Ditenggelamkannya kepalanya di dalam kolam. Sambil menyelam, dia meminum airnya.


Langit bergemuruh sekali-sekali. Hari tidak mendung, melainkan sangat terik. Agaknya dia
benar-benar lupa dengan pesawat-pesawat tempur yang berdesing-desing di atasnya. Dia
memang mengalami amnesia.

"Di mana ini? Perutku sakit, siapa yang akan membantuku bersalin?" dia berucap
menengadah langit.

Tiba-tiba dia mengerang. Kakinya mengangkang dengan tidur terlentang. Dia mengejan, dia
berusaha mengejan sekuat-kuatnya. Sebuah cangkang muncul di liangnya, mulai membesar
serupa kepala bayi yang biasa keluar lebih dulu. Perempuan itu berusaha mengeluarkannya.

Dia berusaha kuat mengejan mengeluarkannya. Mungkin saja liangnya sobek, sebab cangkang
bulat sebesar kepala orang dewasa itu terlalu besar untuk dikeluarkan seorang perempuan.
Napasnya terengah-engah, situasi sulit itu lewat sudah. Tanpa ketuban yang pecah, juga
tanpa tali pusar dan plasenta, telur itu tergeletak di atas pasir begitu saja.

Mulanya dia heran dan takut. Tapi dia segera sadar bahwa di dalam telur itu ada buah hatinya
yang harus dierami dan dijaga. Diseretnya telur itu ke dalam kolam, dimandikannya. Lalu dia
mengambil pelepah-pelepah pohon palem satu-satunya yang menjulang di dekat kolam itu.
Dia menjadikannya sebuah tas, tempat telur yang akan dibawanya berkelana.

Telur itu berat sekali.

Dia berjalan lurus, tapi gurun pasir ini sungguh-sungguh luas seperti tak berbatas. Seharian
sudah dia berjalan. Dia kembali menemui keajaiban. Di depannya terbentang sungai yang
mengaliri gurun. Dan di sanalah, dia mengerami telurnya semalaman. Perutnya kembali sakit,
dia kembali mengerang. Dia akan bertelur sekali lagi. Kali ini tampaknya dia tidak lagi
kesulitan untuk bertelur lantaran pengalaman yang sebelumnya. Akan tetapi pada saat dia
mengejan, berkelebat ingatan-ingatan di kepalanya.

"Abang boleh nyobain saya dulu, deh. Kata orang, dicoba dulu baru dibeli. Iya, kan?" dia
berkata kepada seorang agen di sebuah barak.
Lelaki brewok itu terlipat keningnya. Gairahnya tidak ada sama sekali. Namun sebelum ia
beranjak pergi dan mengusirnya, perempuan berkulit hitam itu segera menanggalkan baju lalu
menggoda si agen. Dengan keadaan demikian, tentu saja si agen tak dapat mengelak. Mereka
bercinta di dalam barak, dengan harapan agar perempuan itu bisa ikut dengannya ke Borneo.

Telurnya terguling-guling sebentar.

Dia kelelahan bukan karena bertelur, tapi bayangan-bayangan di kepalanya telah


membuatnya pusing. Telur barunya dia dekap, dia cium-ciumi. Telurnya yang satu lagi
bergoyang-goyang. Sebuah kaki tiba-tiba menembus cangkang, sementara dia segera
membantu telur itu menetas. Cangkangnya tidak lagi mengeras. Dia tak butuh menunggu 30
hari untuk kelahiran anaknya. Cukup semalaman. Tak ada tangisan. Tak ada keramaian
seperti orang-orang desa yang bersama-sama menyambut kelahiran anak pertamanya yang
lahir tanpa bapak. Hanya senyap, seiring bayang-bayang yang mengganggunya itu lenyap.

Tak lama dia langsung menyusui anaknya. Dia hanya tertawa-tawa sambil mengusap rambut
anaknya yang tebal. Ah, barangkali bukan saja amnesia yang mengganggunya, tetapi juga
skizofrenia.

***

MAKA

begitulah, perempuan itu bertelur setiap hari dalam perjalanannya. Di pulau itu tak seorang
manusia pun dia temui. Tampaknya memang pulau yang tidak berpenghuni. Anak-anaknya
satu persatu telah menetas. Tiada yang tahu bagaimana dia dapat bertelur seperti unggas.

Perang telah berakhir. Tak ada lagi pesawat-pesawat lewat di langit yang dia tatap. Dia tidak
tahu ada kemenangan, dia tidak tahu ada kemerdekaan. Tetapi baginya, kesempatan untuk
bertahan hidup adalah kemenangan yang mutlak. Di pulau itu hanya dialah orang dewasa
selain anak-anaknya yang mulai dapat berjalan dan menangkap ular-ular di balik rerumputan.

Dia mengajarkan kepada anak-anaknya bagaimana mencari makan, mengolah daging-daging


hewan agar enak dimakan. Sisa-sisa ingatan masih ada di kepalanya, tentang hidup yang
pernah dijalaninya bersama orang-orang. Mereka memasak dengan membakar api di dalam
tungku, dia ingat hal itu selalu. Tetapi tak ada yang dikenalnya, tak ada satu pun orang yang
dia ingat siapa mereka.

Dalam kehidupannya yang baru itu, dia telah menelurkan lima belas anak, tujuh perempuan,
delapan laki-laki. Anak yang menetas terakhir bernasib malang, tubuhnya dikoyak-koyak
anjing hutan. Jadi semua anaknya berjumlah empat belas. Dengan begitu, dia mengawinkan
anaknya berpasang-pasangan.

Pada hidup yang terus berjalan, telur-telur bergeletakan di atas pasir, di tepi sungai, di dalam
lembah, bahkan di puncak bukit yang paling tinggi. Mereka telah berkembang biak, telah
beranak pinak, bertelur serupa induknya.

Semakin renta, perempuan tua itu semakin sering bertekur di sebuah lembah, tempat di mana
dia dijatuhkan, dipisahkan dari dunia yang penuh dengan ledakan, rentetan peluru, dan darah.
Tapi dunianya yang baru ini tiada memberikannya kebahagiaan. Telah bertahun-tahun
kepalanya diisi oleh pertanyaan-pertanyaan, "Siapakah aku, di manakah diriku berada, apa
tujuanku di sini?"

Betapa dia sangat kesepian di pulau ini. Tak ada lagi seorang pun yang dapat diajaknya
bercanda, bersenda gurau, dan saling menyayangi.
Anak-anaknya hidup damai di segala penjuru pulau. Perempuan hitam itu telah menjadi nenek
bagi cucu-cucunya. Dan di pulau ini, mereka membuat peradaban baru yang ganjil. Membuat
rumah, membuat kampung, dan menyebarkan bahasa yang mereka yakini. Tentu saja,
mereka jauh lebih cerdas ketimbang Homo Sapiens. Akan tetapi, amnesia yang dibawa induk
mereka dahulu telah menjadi sesuatu yang diidap turun-temurun. Mereka hidup berkeluarga,
dipisah-pisahkan oleh rumah-rumah, namun seorang ayah dapat masuk begitu saja ke rumah
tetangga sebelah. Yang datang tidak tahu bahwa yang dimasuki bukanlah rumahnya, dan
yang punya rumah pun tidak tahu siapa yang tiba. Lantas penghuni rumah tiba-tiba saja
memanggil laki-laki itu sebagai bapak mereka, dan laki-laki itu seakan-akan sadar kalau
rumah itu adalah rumahnya.

Oleh karena itulah, perempuan tua yang memunculkan kehidupan baru di pulau ini sering
menjadi sedih. Tak ada satu pun dari anak-anaknya itu yang dia ingat, dan anak-anaknya pun
tak mengingat siapa dia. Maka makin seringlah dia menyendiri. Barangkali dia terlalu tua,
batinnya.

Dia menatap langit. Ah, andai pesawat-pesawat itu kembali berlalu di atas, dia hendak
bertanya. Sudah berpuluh-puluh tahun tak ada suara gemuruh mesin di angkasa. Dia makin
nelangsa. Tetapi sekejap saja dia berharap, deru-deru yang dirindukannya terdengar dari balik
awan. Pesawat-pesawat jet berlewatan.

Mereka saling menembak. Suara-suara bersipekak, udara meledak-ledak, dia menutup


telinganya. Setelah ledakan besar, sesuatu terjatuh di lembah itu. Seorang pilot dengan kursi
lontarnya jatuh tanpa parasut. Melihat pilot itu tampak kesulitan membuka sabuk pengaman,
perempuan itu tertatih-tatih pergi menghampirinya. Dikeluarkannya belati untuk memotong
tali.

Dia mengusap wajah pilot itu yang pucat ketakutan.

"Telah lama aku menunggu seorang laki-laki tanpa istri. Aku ingin bertelur lagi," ucapnya
sekonyong-konyong.

Perempuan itu tertawa sambil menutup giginya yang ompong.***

Ilalangsenja, Padang, 2 November 2007

Anda mungkin juga menyukai