Anda di halaman 1dari 4

Surat dalam Hujan

Selalu demikian di bulan Nopember ini. Hujan benar-benar mewarnai hari. Sore. Ya,
pukul empat lebih, hujan seperti pantulan manik-manik kaca menderas seketika dengan
anggunnya. Aku menyesal, sumur di luar pasti akan keruh lagi airnya, mestinya diberi atap
nanti. Hujan. Aku duduk di sini, dekat jendela kaca memerhatikan curahan air yang mengguyur
serentak dari udara. Seperti apakah bunyinya? Di atas atap, di dedaunan, di tanah becek, bahkan
di kolam ikan yang berderet nun di luar? Aku tak tahu. Sunyi. Kecuali gelegar petir yang
menghantam bumi. Ya, hanya itu yang kurasakan. Aku ingat kamu. Aku suka hujan, aku suka
suasananya yang begitu kontemplatif. Kurasakan ekstase tertentu jika hujan. Memberiku
inspirasi untuk menulis puisi. Bahkan juga menulis surat untukmu dalam suasana hujan kupikir
cukup romantis, meski isinya terkadang bernada humor yang ironis. Aku rindu suratmu. Yang
selalu hangat dan menggembirakan, simpel dan terkadang menggetarkan. Namun mungkin kamu
sudah kecewa dengan kenyataan yang kuungkapkan dalam suratku yang barusan kukirimkan.
Mungkin kamu kebingungan dan terpaksa bertanya pada orang yang kebetulan pernah bertemu
denganku, entah Mas Herwan FR atau Agus Kresna, meski ada yang merasa tak berhak untuk
mengatakan apa-apa karena aku sudah memintanya agar jangan dulu mengabarkan kehadiranku
pada orang-orang untuk suatu alasan. Dan rentetan kemungkinan lainnya mengendap dalam
benakku. Namun aku harap kamu benar-benar cukup dewasa untuk menerima realita dalam
hidup yang penuh ketakterdugaan. Aku kesepian. Apa yang kulakukan. Duduk di kursi sembari
mengangkat kaki, dan di rumah hanya ada aku sendiri. Aku membayangkan kamu. Sosok yang
tak pernah kutemui. Hanya foto yang kamu kirimkan melengkapi imajinasi: seorang lelaki
gondrong yang menarik, dan merasa dirinya secara psikologis sudah dewasa dalam usia 23
tahun. Heran, di luar belasan burung entah apa namanya berseliweran dalam guyuran hujan
begini, apa yang mereka cari? Barangkali kamu lebih tahu ekologi dan mau berteori? Aku
kedinginan. Aliran listrik padam. Barangkali segelas teh manis panas bisa menghangatkan
tubuhku. Apakah di Bandung saat ini sedang hujan juga, dan kamu tengah bagaimana? Mengisap
A Mild ditemani secangkir kopi panas? Menulis puisi, cerpen, esai, surat, atau tugas mata
kuliah? Di kampus, di rumah, atau di suatu tempat entah? Membaca diktat, buku tertentu, karya
sastra, atau komik? Di depan monitor komputer, mengobrol, atau nonton TV? Mendengarkan
The Doors atau Ebiet G. Ade? Tidur atau makan? Salat Asar atau menggigil kehujanan? Atau
mengguyur badan di kamar mandi? Atau tak melakukan apa-apa sama sekali? Cuma Tuhan yang
tahu. Relasi yang aneh, katamu, karena lewat surat. Lalu kamu menyuruhku belajar internet biar
bisa bikin e-mail dan tak perlu ke perpustakaan konvensional. Dan kamu janji akan mengajariku
jika nanti bertemu. Bertemu. Aku juga ingin bertemu kamu. Namun untuk apa? Adakah makna
dari pertemuan itu? Kubayangkan kamu sebagai Indra, temanku, yang membagi dunia lewat
tangannya. Namun apa kamu bisa bahasa isyarat sederhana cara abjad? Kamu kecewa karena aku
tuli? Apakah dalam surat pertamaku aku harus memberitahu siapa diriku secara mendetail? Aku
telah mengambil risiko. Begitu pun kamu. Risiko untuk merelasi diri dan berinteraksi dengan
orang asing. Sebuah silaturahmi yang kumulai, haruskah berakhir sia-sia? Aku berusaha
menerima diriku sebagaimana adanya dan menjadi orang biasa, meski aku tahu orang-orang di
sekitarku kecewa. Keluarga, teman-teman, sahabat dekat, sampai siapa saja yang memang
merasa harus kecewa. Bertahun-tahun, ada belasan tahun mungkin, sejak usiaku 16 tahun sampai
25 tahun, kujalani hari dengan sunyi, sebuah dunia tanpa bunyi-bunyi. Bisakah kamu
bayangkan? Ah, aku tak akan bisa mendengar permainan harmonikamu, lalu membandingkannya
dengan permainan harmonika abangku. Atau denting gitarmu dengan Eric Clapton. Atau
bagaimana suatu melodi tercipta dari puisi. Aku juga tak akan tahu warna suaramu saat
memusikalisasikan puisi, berdeklamasi, menyanyi, tadarus, berperan dalam lakon teater, atau
bicara biasa saja. Kamu masih ingat, dalam salah satu suratmu, kamu menulis: Setting: Kamar,
141000 - 21.20 WIB, Dewa 19 - Terbaik-terbaik. Gurun yang baik. Barangkali sekaranglah
saatnya! Lalu kamu membiarkan selembar halaman kertas itu kosong. Aku mengerti artinya,
kamu ingin aku memutar lagu tersebut, dan membiarkan Terbaik-terbaik bicara. Sesuatu yang
tengah menggambarkan suasana hatimu saat itu? Sayang, aku tak bisa melakukannya. Kata
teman-teman, lagu itu tentang cinta dan persahabatan. Kurasa aku harus bertanya pada Rie,
Indra, atau Nana; apa ada yang punya teksnya? Ironis, bukan? Tampaknya kamu senang menulis
dengan diiringi musik. Aku iri padamu. Karena aku ingin tahu juga seperti apa indahnya musik
klasik itu, entah Mozart yang kata Indra melankolis; atau Chopin di masa silam, gumam Cecep
Syamsul Hari dalam puisi Meja Kayu yang kembali muram-surealis, menulis lagu pedih tentang
hujan2; atau tahu di mana letak jeniusnya Beethoven yang mencipta komposisi meski tuli; dan
bisa mengerti mengapa ayahku sangat menyukai musik klasik selain country. Aku rindu bunyi
gamelan, dan ingin kembali belajar menari. Entah jaipong Jugala, tari klasik Jawa, atau mungkin
sendratari seperti yang sering kusaksikan di TVRI waktu kecil dulu. Aku ingin berperan sebagai
Drupadi atau Srikandi, perpaduan antara kelembutan dan keperkasaan. Kamu lebih suka karakter
Bima? Aku suka karakter Yudistira, ia satu-satunya yang (hampir) berhasil mencapai puncak
Mahameru sementara saudara-saudaranya satu per satu berguguran. Kamu tahu artinya, kan?
Aku lupa penggalan kisah ini dari komik wayang R.A. Kosasih atau majalah Ananda -- yang
pernah kita baca waktu kanak-kanak dulu, meski mungkin dalam dimensi yang
berbeda. Sudahlah, setidaknya aku bisa tahu minatmu, dan kamu tahu minatku. Aku tak tahu
banyak tentang musik, padahal kamu pasti asyik sendiri dengan The Corrs, Dewa, Kubik, Jim
Morrison, bahkan juga Jimi Hendrix. Mengapa sih dalam cerpenmu yang barusan dimuat koran,
kamu menulis soal Jimi Hendrix dan Jim Morrison? Itu mengingatkanku pada Abuy teman
SMU-ku yang sangat mengidolakan mereka dan senang cerita soal itu padaku, seolah merekalah
yang bisa meluapkan kegelisahan terpendamnya yang liar menuju muara kebebasan. Lucu,
adakah orang tuli yang begitu besar rasa ingin tahunya tentang sesuatu yang tak mungkin bisa
dirasakan. Katakan aku aneh. Aku memang orang aneh. Namun aku juga berharap bisa tahu
lebih banyak tentang Iqbal, Rumi, Camus, Dylan, Gibran, Cummings, Malna, sampai Rendra.
Ya, itu jika kita bertemu. Mungkinkah itu? Tempias hujan tidak deras lagi, namun kesedihan itu
masih menghantam ruang terdalam. Aku butuh kawan. Kamukah orangnya? Tidak, kamu
mungkin sudah berharap agar aku jadi seseorang yang ke lima setelah kamu kecewa dengan
sekian perempuan yang masuk dalam hidupmu, meski itu terlalu dini karena kita baru tiga kali
saling menyurati. Semudah itukah hatimu terpaut, atau kamu cuma ingin mengujiku? Tidak. Aku
tak berharap apa-apa darimu. Aku hanya ingin jadi kawanmu. Kawan biasa. Bukan pacar. Meski
aku juga ingin punya pacar, sebagaimana perempuan kebanyakan. Seseorang yang membuatku
jatuh cinta sungguhan. Seseorang yang mencintaiku apa adanya. Seseorang di mana bisa berbagi
dunia. Naifkah? Hujan. Aku kembali memandang ke luar jendela kaca. Di sana gunung begitu
dekat dengan latar pepohonan seperti hamparan permadani hijau kebiruan, dan kabut yang
mengental; terasa beku dalam pelukan kegaiban-Nya. Ya Tuhan, barusan kulihat kilatan petir
membelah langit desa di sebelah utara. Subhanallah, indah sekali bentuknya; kilatan warna perak
yang abstrak dengan latar kelabu. Aku membayangkan bagaimana seandainya jika petir tiba-tiba
menghajarku. Sudahlah, mungkin lebih baik aku membayangkan diriku sebagai Walter Spies
atau Alain Compost; akan kuabadikan keindahan panorama hujan. Tidak. Aku bukan mereka.
Aku cuma punya kata-kata. Bukan kuas atau kamera. Namun kata-kata yang berhamburan dari
mulutku pasti tak akan kamu mengerti sepenuhnya jika kita berbicara. Kamu akan membutuhkan
waktu untuk mengenali warna suaraku yang kacau intonasinya, seperti teman-teman dekatku.
Mungkin cukup lama. Apakah kita akan bertemu dan bicara seolah kawan lama dengan
akrabnya? Atau kaku lalu merasa sia-sia? Aku bukan May Ziadah, Elizabeth Whitcomb, Mabel
Hubbard-Graham Bell, Marlee Matlin, atau Jane Mawar. Atau perpaduan perempuan mana yang
pernah kau kenal.Hujan

Anda mungkin juga menyukai