Anda di halaman 1dari 6

Sebelum dan Setelah Hujan, Sebelum dan Setelah

Perpisahan

Kafe ini masih sepi, karena memang baru saja buka. Hanya ada aku dan tiga pelayan kafe: satu
perempuan dan sisanya laki-laki. Aku rasa beberapa jam kemudian kafe ini tak akan menjadi
ramai. Aku menduga kafe ini akan terus sepi, bahkan sampai pintu itu menutup dengan
sendirinya. Bukan karena tempatnya tidak menarik. Bukan. Namun sepertinya sebentar lagi
hujan akan turun. Dan akhir-akhir ini hujan selalu datang berlarut-larut dan membuat orang-
orang menjadi pemalas. Siapa yang akan datang saat hujan? Siapa yang mau sibuk-sibuk pakai
jas hujan hanya untuk pergi ke sebuah kafe? Siapa? Sepertinya tidak ada. Atau barangkali yang
akan datang ke kafe ini hanyalah sepasang kekasih yang kebetulan lewat dan tak menemukan
tempat lain untuk berteduh. Ya. Tentu kamu masih ingat, seperti kita dahulu.

Kita baru saja pulang dari sebuah toko buku. Di jalan, hujan tiba-tiba datang. Dan aku lupa
membawa jas hujan. Kamu sama sekali tak merasa keberatan. Kamu malah senang hujan-
hujanan bersamaku. Katamu, itu akan menjadi lebih romantis. Lantas kamu pun memeluk
tubuhku lebih erat. Tapi karena hujan semakin deras, dan karena kamu tidak membawa tas,
sementara motorku yang tidak memiliki sebuah tempat untuk menyimpan sesuatu, maka kamu
memintaku untuk lebih baik segera berteduh. Sebab kamu tak ingin jika buku yang baru saja
kamu beli itu menjadi basah.

Pada saat itulah pertama kalinya aku mengunjungi kafe ini. Sebuah kafe yang berada di sudut
perempatan utara, dekat alun-alun kota. Sebuah kafe yang juga dekat dengan rel kereta.

“Aku suka hujan, sejuk dan menyegarkan mata,” katamu sebelum akhirnya bersandar di bahuku
dan membuka buku yang baru saja kamu beli itu: Reruntuhan Musim Dingin, karya Sungging
Raga.

Di luar jendela, kereta lewat. Gemuruhnya membuyarkan lamunanku. Tetapi setelah kereta
lenyap, kafe ini menjadi hening kembali. Di luar jendela, gerimis mulai berjatuhan dan ingatanku
kembali bergerak dengan cepat. Sangat cepat. Menyusuri fragmen-fragmen masa lalu.
Kamu tentu tahu, dua tahun bukanlah waktu yang singkat. Kamu pun tentu mengerti, selama dua
tahun ini aku masih mengingat. Karena memang mengingatmu adalah pekerjaan paling mudah.
Bagaimana tidak, sosokmu itu masih menghantui pikiranku. Tentang sepasang matamu yang
cemerlang seperti rintik-rintik hujan di kaca jendela. Tentang alismu yang tebal dan kamu
menolak untuk memolesnya. Tentang bulu matamu yang lentik tanpa sebuah maskara. Tentang
rambutmu yang hitam seperti malam, yang selalu tergerai sampai ke bahu. Atau tentang
hidungmu yang tidak terlalu mancung dan kamu akan selalu marah saat kupegang dan kutekan
keras-keras sehingga suaramu menjadi sengau.

“Jangan begitu, nanti hidungku tambah mancung! Kamu pasti akan iri kepadaku.”

Tidakkah kamu ingat, saat suasana menjadi sejuk seperti ini, udara dingin selalu meminta kita
untuk saling menggenggam tangan. Mata kita akan saling beradu pandang. Dan mulut kita akan
saling mengatakan, aku mencintaimu.

Ya. Cinta. Dulu kita pernah saling menguatkan teori, bahwa cinta adalah tentang keindahan.
Kamu dan aku adalah keindahan cinta. Namun setelah perpisahan, teori tersebut tak ubahnya
menjadi runtuhan batu yang menghantam kepala. Sakit sekali.

Rinai hujan basahi aku

Temani sepi yang mengendap

Kala aku mengingatmu, dan semua saat manis itu....

Lagu Utopia diputar. Sepertinya pelayan kafe itu terlalu sentimentil. Atau bisa jadi di antara tiga
pelayan kafe itu juga pernah menciptakan kenangan bersama hujan. Namun tetap saja, aku
merasa lagu ini ditujukan kepadaku. Liriknya, musiknya, antara melodi dan hentakannya,
seakan-akan semuanya menyatu dan membaur di dalam kepalaku.

Di luar jendela, malam telah memasang ruang. Di balik jendela, segelanya terlihat seperti mimpi.
Jendela ini seperti layar kaca yang selalu merakam gerak-gerikmu, canda-tawamu, cerita-
ceritamu. Kamu pernah mengatakan kepadaku, kelak kamu ingin mempunyai anak kembar. Lucu
sekali. Kamu juga pernah mengatakan, bahwa hidup ini sudah terlalu rumit dan hanya kenangan
yang kita punya.

Selalu ada cerita, tersimpan di hatiku


Tentang kau dan hujan

Tentang cinta kita yang mengalir, seperti air....

Barangkali kita adalah hujan. Dan cinta kita seperti air, yang mengalir di sungai. Melewati
berbagai peristiwa dan waktu. Hingga akhirnya tiba di muara. Menyatu bersama air laut. Lantas
dihempaskan ombak, terombang-ambing, dan berkali-kali menghantam karang.

Menyedihkan sekali.

Pintu kafe berderit. Terihat dua orang bergegas masuk. Aku memperkirakan mereka adalah
sepasang kekasih yang kehujanan dan tak menemukan tempat lain untuk berteduh. Baju mereka
basah. Bibir wanita itu begetar. Dengan tangkas laki-laki itu pun merangkulnya. Kemudian
mereka memilih tempat duduk tepat di depan mejaku. Aku tidak mengatakan bahwa mereka
terlalu mendramatisir suasana. Aku juga tidak bilang kalau laki-laki itu yang tiba-tiba
menggenggam erat tangan wanitanya itu adalah sesuatu yang berlebihan. Hanya saja, jika kamu
yang berada di sini dan menggantikan posisiku, ingatanmu pun pasti akan berputar dengan
sendirinya.

“Sekali-kali bawa mobil papamu lah, Sayang.” Wanita itu akhirnya bicara juga, “Biar tidak
kehujanan lagi.”

“Hmm... kapan-kapan.”

“Kamu ini selalu mengatakan kapan-kapan dan kapan-kapan.”

Aku mengalihkan pandangan ke luar jendela saat wanita itu tiba-tiba menatapku. Entahlah
kenapa seorang wanita, di mana-mana, selalu sensitif. Sedangkan laki-laki itu hanya diam saja.
Sepertinya ia merasa sungkan kepadaku. Di sisi lain, pelayan kafe yang perempuan itu
mengantarkan apa yang telah dipesan oleh sepasang kekasih itu. Lantas aku pun melihat ke
mejaku sendiri. Ternyata kopi yang kupesan sudah ada di situ sejak tadi, tak bergerak sedikit
pun. Di permukaan kopi yang kurasa sudah dingin, wajahmu tiba-tiba menyembul. Kamu pun
menatapku. Senyumanmu itu begitu manis. Dan akan selalu manis.

“Tidak biasanya kamu menuangkan banyak gula di kopimu,” ucapmu saat itu. Tapi kamu duduk
di hadapanku, bukan di sebelahku.
“Tidak biasanya juga kamu menahan senyumanmu.”

“Bagaimana aku bisa tersenyum jika sekarang adalah hari terakhir kita bertemu?”

Kupandangi corak bunga-bunga yang tersebar di kemeja putih lengan pendekmu. Kupandangi
semua benda yang melekat di tubuhmu. Sebentuk cincin di jari manismu. Jam tangan yang
bersebelahan dengan sebuah gelang di pergelangan tangan kirimu. Sebuah kalung dengan simbol
huruf R. Sepasang anting yang katamu adalah pemberian ibumu di hari ulang tahunmu yang ke-
17. Atau sebuah bando merah yang selalu kamu pakai saat bepergian ke mana-mana.

Waktu kita bertemu pertama kali, aku pernah membayangkan ingin menjadi benda-benda itu,
yang selalu menempel di tubuhmu. Namun sebelum dan setelah perpisahan, aku hanya ingin
menjadi sepasang antingmu, yang katamu tak akan pernah bisa tergantikan sekalipun itu dengan
anting yang paling mahal di dunia.

“Dalam hidup, kadang kita harus belajar melepaskan,” lanjutmu lagi.

Aku tahu kamu berbohong. Aku tahu kamu hanya berusaha menengakan dirimu sendiri.

“Jadi, di antara kita siapakah yang meninggalkan dan siapakah yang ditinggalkan?”

Kamu tersenyum. Tapi dalam senyum yang manis itu ada sebaris kesedihan yang terpendam.
“Kita hanya harus belajar saling melepaskan.” Dan tanganmu yang halus itu menggenggam
tanganku dengan tekanan yang tidak erat lagi. “Jadi tak ada dari kita yang perlu merasa
meninggalkan atau ditinggalkan.”

Dan selama hujan masih berjatuhan, ingatan tentangmu akan selalu menjelma layar yang lebar di
kaca jendela kafe ini. Hujan pernah menahanmu di sini. Tapi aku tidak mengatakan jika aku
seperti apa yang dimaksud dalam lagu Utopia tadi, yang menjelaskan bahwa pada saat hujan
turun kita akan bahagia karena dapat mengenang sesuatu yang pernah kita alami. Tidak. Aku
memang mengenangmu untukku sendiri. Tapi aku tidak sedang bahagia sekarang. Memang aku
dan kamu pernah diguyur hujan, kita pernah tertawa bersama-sama ketika sedang membicarakan
hujan, kita pun pernah berada dalam satu ruangan dan duduk bersebelahan di dekat jendela
hanya untuk melihat hujan. Memang, hujan mampu menciptakan kenangan yang begitu lekat
pada ingatan kita. Tapi sekali lagi, yang tak pernah bisa kumaafkan pada diriku sendiri adalah
ketika aku tak dapat lagi menahanmu untuk tidak pergi dari kafe ini. Tidak ada yang bisa
kulakukan selain hanya diam menyaksikan sepasang matamu yang mulai berkaca-kaca.

Pada detik-detik perpisahan itu kita tak sanggup mengucapkan apa-apa lagi. Lidah kita seperti
membeku. Karena kita tahu, jika mulut kita melontarkan satu kata saja, air mata tak mungkin
bisa kita bendung lagi. Kamu pun bergegas bangkit dari tempat duduk. Sungguh aku tak mampu
bergerak. Dan aku sangat menyesal ketika tubuhmu itu tiba-tiba ditelan pintu, kemudian benar-
benar hilang bersama hujan. Jadi adakah alasan agar aku bisa merasa bahagia saat duduk di dekat
jendela kafe ini? Adakah sebuah keindahan saat aku menyaksikan rintik-rintik itu, yang jatuh
satu demi satu di kaca jendela? Atau adakah sesuatu yang menyenangkan saat aku mendengar
suara hujan yang murung itu?

Aku tidak menyalahkan kafe ini karena telah menjadi tempat terakhir kita bertemu. Aku juga
tidak membenci hujan yang pada saat itu menjadi sebuah melodrama kesedihan. Aku tidak
membenci apa-apa. Aku pun tidak membenci siapa-siapa. Namun kamu tahu kan, pada saat itu
kita sama-sama tak menginginkan perpisahan itu. Adakah yang lebih sedih dari sepasang kekasih
yang harus berpisah dalam keadaan masih saling mencintai?

***

Pukul 21.58. Ternyata ramalanku akurat. Kafe ini masih sepi. Hanya ada aku, tiga orang pelayan
kafe, dan sepasang kekasih itu, yang masih saling menggenggam tangan. Di luar, hujan semakin
deras dan kaca jendela semakin berembun. Aku ingin menulis namamu di sana. Tapi urung,
sebab aku teringat sesuatu.

Tadi pagi seorang teman mengantarkan selembar undangan pernikahan yang di dalamnya tertulis
namamu. Walaupun dadaku terasa sesak, tapi sebetulnya aku tidak begitu terkejut. Karena aku
tahu, pernikahan adalah sebuah pilihan. Tak terkecuali kamu yang akhirnya memilih untuk
menikah. Namun yang membuatku begitu terkejut adalah ketika melihat foto laki-laki di dalam
undangan itu. Kenapa bentuk wajah laki-laki itu, yang alisnya, hidungnya, sepasang matanya,
begitu mirip denganku? Aku tidak mengerti. Aku hanya bergeming. Ada sesuatu yang begitu
keras membentur dadaku. Sudah kukatakan, aku masih bisa menerima dengan lapang dada jika
akhirnya kamu menikah dengan orang lain. Tapi jika kenyataannya kamu menikah dengan orang
yang sangat mirip denganku, oh, tunggu dulu. Ini adalah patah hati yang paling menyakitkan.
Di dalam undangan itu pula aku menemukan secarik kertas dengan tulisan tanganmu.

Aku juga tidak tahu kenapa aku bisa bertemu dengan laki-laki ini. Aku juga tidak mengerti
kenapa tiba-tiba dia melamarku dan orangtuaku merestuinya. Dan yang paling tidak kumengerti
adalah kenapa bentuk wajahnya sangat mirip denganmu. Maafkan aku. Aku tak bisa berbuat
apa-apa. Dan terlepas dari itu semua, aku ingin berterima kasih kepadamu karena sudah
menjadi bagian dari kenanganku. Aku rasa Tuhan mengabulkan doaku.

Entahlah apa yang harus aku lakukan setelah mengetahui kebenaran ini. Sungguh aku benar-
benar tak mengerti dengan apa yang kamu pikirkan. Bagaimana kamu bisa belajar melupakan
jika wajah laki-laki yang akan menjadi suamimu itu sangat mirip denganku?

***

Dan setelah perenungan yang begitu panjang, akhirnya aku percaya satu hal. Bahwa sebelum dan
setelah hujan, sebelum dan setelah perpisahan, Tuhan telah merencanakan semuanya. (*)

Jember, 15 Desember 2019

Anda mungkin juga menyukai