Anda di halaman 1dari 3

Seorang Gadis yang Meminta Api

Kau terbangun menjelang Mannheim. "Carmina Burana" gubahan Carl Orff mengentak di
telinga. Pagi baru menggeliat. Kau duduk mengantuk di atas bus yang melaju ke timur.
Sepanjang jalan melintasi daratan Jerman pepohonan hijau kuning kemerahan musim gugur
terhampar. Sebagian telah ranggas. Langit mendung. Kabut mengambang di atas sungai. Terasa
sebersit nuansa indah di tengah kemuraman.

Beberapa jam sebelumnya kau duduk di beranda sebuah kafe di St. Michel, di satu kawasan
ramai Paris yang kerap disebut Latin Quarter. Usai berjalan-jalan mengelilingi Paris seharian,
kau duduk-duduk minum kopi sebelum naik metro menuju Porte Maillot untuk mengejar bus
malam terakhir ke Praha.

Saat kau asyik duduk sendiri mengisap kretek seraya menghadapi secangkir kopi di meja,
matamu menangkap seorang gadis berambut panjang keluar dari dalam kafe. Di pundaknya
tersampir sebuah tas. Kulitnya tak terlalu terang. Rambutnya legam.

Sosoknya ramping dengan tinggi badan sedang. Wajahnya mengingatkanmu kepada Djamila
Bouhired-pejuang kemerdekaan Aljazair. Ada sebungkus rokok di tangannya. Mungkin dia baru
membelinya di konter kafe.

Tak sengaja matamu bersirobok dengan matanya yang kemerjap. Dia lalu berjalan
menghampirimu yang duduk di sudut di antara beberapa pasang bule setengah baya di meja lain.

"Ecuse moi," kata dia. Gadis itu lalu meminta api dengan sopan.

Kau menjawab gugup dalam bahasa Inggris. Tetapi sialnya kau lupa di mana tadi menaruh
geretan. Kau berdiri, mencoba mencari-cari. Gadis itu mulai gelisah. Untunglah geretan itu
segera ditemukan. Ternyata ada di saku jaketmu.

Lekas kau nyalakan rokok di bibirnya dengan geretanmu. Dia tersenyum dan berterima kasih.
"Merci," katanya.

Kau lalu menawari dia duduk. Dia menggeleng, mengatakan harus segera pergi seraya menunjuk
ke satu arah. Lalu dia tersenyum sekilas dan melambai. Kau membalas senyumnya dengan hati
sedikit kecewa.

Lalu, saat bus melaju menuju Nurnberg setelah melewati persimpangan antara Basel dan
Stuttgart, kau teringat Montmartre. Ketika kau menyusuri sepanjang jalan di sekitar kawasan
lampu merah itu, kau bersua dengan klub legendaris Moulin Rogue. Kau pun terkenang sebuah
film lama. Film itu berkisah tentang percintaan yang sedih antara seorang seniman miskin dan
seorang primadona di panggung kabaret.

Dua puluh tahun silam, semasa mahasiswa di Bandung, sebagai pemuda yang ingin jadi penulis
kau sesekali nongkrong di Cafe Terminus, di Pusat Kebudayaan Prancis. Di salah satu
dindingnya saat itu ada mural warna-warni tentang kehidupan di Paris. Di situ tertera sebuah
kalimat yang membuatmu tersenyum geli, "Aku rela menjual becakku demi pergi ke Paris."

Bus terus melaju. Menuju Praha. Kau teringat Kafka dan Kundera dan novel-novel mereka yang
kaubaca sejak belasan tahun silam. Kau pun terkenang lagi pada seorang gadis yang meminta api
lalu pergi dengan meninggalkan semacam patah hati.

Misalkan pada suatu hari kau berjumpa tanpa sengaja dengan seseorang tak dikenal di kota yang
asing nun jauh dari negeri asalmu saat sama-sama sedang menunggu bus atau pesawat yang
masih lama berangkat, katakanlah seperti ini: "Selepas senja Anda duduk di sebuah kafe di
kawasan Latin Quarter menghadapi secangkir kopi. Di depan Anda orang-orang berlalu-lalang di
trotoar. Tiba-tiba seorang gadis berambut panjang dengan mata seperti kejora berjalan mendekati
Anda. Dia meminta api. Anda menyalakan geretan lalu menyorongkan ke ujung rokok yang
terselip di bibirnya. Dia mengucapkan 'Merci' seraya tersenyum sekilas. Lalu seumur hidup Anda
tidak pernah bertemu lagi dengan gadis itu. Pernah mengalami seperti itu?"
4. Contoh Cerpen Singkat Karya Anton Kurnia Berjudul Garis Batas

Ada sebuah ruas jalan di kotamu yang lekat di hatimu seperti sisa es krim yang melengket di sela
jemari. Di ujung selatan ruas tengah Braga yang kedua sisinya didereti toko-toko antik
berjendela kaca lebar dan bangunan kuno berarsitektur art deco, terdapat sebuah kafe tua yang
menjual es krim bikinan sendiri. Ke Cafe Canary itulah ibumu mengajakmu pada satu sore cerah
yang muram.

Umurmu baru sekitar tiga minggu menjelang genap sepuluh tahun. Tetapi, setahun sebelumnya
kau sudah kehilangan ayah. Kanker tulang belakang telah merenggutnya setelah bertempur hebat
selama dua tahun sehingga tubuhnya yang subur menyusut menjadi amat kurus di saat-saat
terakhir.

Di bangku itu kau duduk menghadapi semangkuk kaca es krim vanila. Sepasang bola matamu
yang cokelat menatap mangkuk es krim. Sesekali kau menggaruk tahi lalat di atas bibirmu yang
sebetulnya tak gatal. Kau melakukannya hanya karena kau tak bisa mengontrol gerakan itu saat
kau gugup atau sedih atau gundah.

Kau amat suka rasa es krim vanila yang putih dan lembut dan manis. Namun, kau mendadak
merasa lidahmu seolah pahit sehingga kau teringat sebuah cerita lama yang pernah kaubaca di
sebuah majalah anak-anak tentang seorang pendekar berlidah pahit. Kau juga merasa lidahmu
kelu. Tak mampu bicara.

Ibumu baru saja berkata dia akan menikah lagi dan suaminya yang baru akan membawa kalian
pindah ke lain kota. Itulah yang membuat es krimmu jadi tak terasa manis, hanya dingin dan
kebas. Padahal sore itu cuaca amat cerah.

Ada semacam luka halus yang menggores di dalam hatimu. Sesungguhnya kau tak rela ibumu
memiliki dan dimiliki lelaki lain selain kau dan ayahmu. Kau tak suka ada lelaki lain di dalam
hidupmu, di antara kau dan ibumu. Kau tak ingin ibumu beralih dari ayahmu yang telah tiada.
Kau sedih, tetapi tak berdaya. Namun, kau tak menangis. Kau hanya diam membisu.
Diam-diam kau menelan es krimmu yang mencair di lidah, serupa menelan gumpalan kesedihan
yang patah. Seakan-akan ada rumpang di hatimu yang perih. Seolah-olah ada semacam lubang di
sana yang membuatnya tak akan pernah lagi utuh.

Saat itu kau belajar satu hal: di dalam hidupmu kau tak hanya bisa kehilangan orang-orang yang
pergi tak kembali seperti ayahmu, tetapi kau juga bisa kehilangan orang-orang yang masih ada
serupa ibumu. Atau setidaknya, kau terpaksa harus berbagi. Tak lama lagi, ibumu bukan milikmu
sepenuhnya walaupun kau anak satu-satunya.

Saat itulah kau mulai mengenal bagaimana rasanya patah hati.

Anda mungkin juga menyukai