Pagi itu aku sedang sarapan dengan sangat tenang, tiba-tiba tersendak karena aku
melihat jam sekarang pukul 7. Aku menggowes sepedaku. Sialnya gerbang sekolahku sudah
ditutup, dan dengan wajah kesal pak satpam berkata kepadaku di balik pintu gerbang. Lalu
dibukakannya pintu gerbang ini, tapi aku bersama murid lain dihukum berdiri di lapangan
basket hingga jam pertama selesai. Aku melirik pos satpam, tempat di mana laki-laki itu
setiap pagi datang dan juga bekerja sampai suatu sore hari tiba.
Namanya Pak Asep, tapi anak-anak sering memanggilnya dengan "Mang Oray", aku
tak tahu dari siapa orang pertama pencetus panggilan tersebut pada Pak Asep. Dia memang
sangat popular di SMA Negeri 1 karena dekat dan ramah dengan murid-murid, khususnya
kepada murid laki-laki.
Lama setelah itu, aku makin akrab dengan satpam yang tersebut, kawan-kawanku
selalu memanggilnya Mang Oray. Pernah suatu saat dia bercerita kepadaku dan juga kawan-
kawanku tentang dia sewaktu seusia kami.
"Dulu, Mamang juga pernah sekolah seperti kalian. Tapi, mamang tidak dapat
melanjutkannya hingga selesai, karena orang tua mamang yang tidak bisa membiayainya,"
imbuh dia dengan senyum untuk menutupi.
"Kalian harus bisa memanfaatkan kesempatan mengais ilmu di sini, makanya
mamang suka sangat marah pada kalian yang suka terlambat masuk," sambungnya. Dia
kemudian masih melanjutkan ceritanya. Ternyata di dalam rumahnya dia menyediakan
perpustakaan mini untuk para tetangganya yang ingin sekolah, tapi terkendala ekonomi
keluarga. Aku pun menjadi sangat kagum dengan berbagai perjuangan Pak Asep. Di tengah
biaya hidup yang kini makin susah, kulit kian menjadi keriput serta rambut kian memutih, dia
masih bisa selalu membantu orang-orang di sekitarnya. Terima kasih, Pak.
https://www.bola.com/ragam/read/5052331/contoh-cerpen-pendidikan-yang-menarik-dibaca
Prestasi
Cerpen Karangan: Dini Fitri Rahmawati
Ada sebuah ruas jalan di kotamu yang lekat di hatimu seperti sisa es krim yang
melengket di sela jemari. Di ujung selatan ruas tengah Braga yang kedua sisinya didereti
toko-toko antik berjendela kaca lebar dan bangunan kuno berarsitektur art deco, terdapat
sebuah kafe tua yang menjual es krim bikinan sendiri. Ke Cafe Canary itulah ibumu
mengajakmu pada satu sore cerah yang muram.
Umurmu baru sekitar tiga minggu menjelang genap sepuluh tahun. Tetapi, setahun
sebelumnya kau sudah kehilangan ayah. Kanker tulang belakang telah merenggutnya setelah
bertempur hebat selama dua tahun sehingga tubuhnya yang subur menyusut menjadi amat
kurus di saat-saat terakhir.
Di bangku itu kau duduk menghadapi semangkuk kaca es krim vanila. Sepasang bola
matamu yang cokelat menatap mangkuk es krim. Sesekali kau menggaruk tahi lalat di atas
bibirmu yang sebetulnya tak gatal. Kau melakukannya hanya karena kau tak bisa mengontrol
gerakan itu saat kau gugup atau sedih atau gundah.
Kau amat suka rasa es krim vanila yang putih dan lembut dan manis. Namun, kau
mendadak merasa lidahmu seolah pahit sehingga kau teringat sebuah cerita lama yang pernah
kaubaca di sebuah majalah anak-anak tentang seorang pendekar berlidah pahit. Kau juga
merasa lidahmu kelu. Tak mampu bicara.
Ibumu baru saja berkata dia akan menikah lagi dan suaminya yang baru akan
membawa kalian pindah ke lain kota. Itulah yang membuat es krimmu jadi tak terasa manis,
hanya dingin dan kebas. Padahal sore itu cuaca amat cerah.
Ada semacam luka halus yang menggores di dalam hatimu. Sesungguhnya kau tak
rela ibumu memiliki dan dimiliki lelaki lain selain kau dan ayahmu. Kau tak suka ada lelaki
lain di dalam hidupmu, di antara kau dan ibumu. Kau tak ingin ibumu beralih dari ayahmu
yang telah tiada. Kau sedih, tetapi tak berdaya. Namun, kau tak menangis. Kau hanya diam
membisu.
Diam-diam kau menelan es krimmu yang mencair di lidah, serupa menelan gumpalan
kesedihan yang patah. Seakan-akan ada rumpang di hatimu yang perih. Seolah-olah ada
semacam lubang di sana yang membuatnya tak akan pernah lagi utuh.
Saat itu kau belajar satu hal: di dalam hidupmu kau tak hanya bisa kehilangan orang-
orang yang pergi tak kembali seperti ayahmu, tetapi kau juga bisa kehilangan orang-orang
yang masih ada serupa ibumu. Atau setidaknya, kau terpaksa harus berbagi. Tak lama lagi,
ibumu bukan milikmu sepenuhnya walaupun kau anak satu-satunya.
Saat itulah kau mulai mengenal bagaimana rasanya patah hati.
https://www.detik.com/sumut/berita/d-6622113/15-contoh-cerpen-singkat-berbagai-
tema-yang-terbaru