Prakisah
Hanya seorang jejaka tak perkasa
Bermuka kasar perangai tak perasa
Dia hanya punya satu senjata
Keindahan baris juga kata
Dibawah lampu tiga warna, berkarya
Disertai rasa dahaga, bekerja
Suara melintang memecah klakson
Dengan nada sedikit memohon
Dia tak pandai mengiba diri
Hingga tak jarang orang mencaci
Baginya secarik puisi
Ialah sesuap nasi
Dibawah lampu tiga warna
Kisah ini berada
Dibawah lampu tiga warna
Tempat kami bekerja
BABAK 1
Siang itu seorang petugas parkir tengah melakukan tugasnya mengatur
keluar masuknya kendaraan di jalan besar beraspal hitam yang
mengerlingkan panas dari sinaran matahari di depan sebuah minimarket
yang baru berdiri 4 bulan. Gerakanya nampak ritmis dan teratur dengan
meluncurkan lengan memberi petunjuk bagi para pengendara yang
kebingungan memarkirkan kendaraanya. Di katup bibirnya, sebuah peluit
di tiup nyaring memotong riuhnya bunyi klakson para pengendara yang
antre di bawah lampu tiga warna di seberang toko.
Tukang Parkir
(meniup peluit dengan wajah penuh peluh dan raut tampak lelah)
Tepat dibelakangnya, duduk seorang pria dengan selinting tembakau yang
diselipkan diantara telunjuk dan jari tengah tangan kirinya. Sekali-kali
rokok itu dihisap sehingga bara memerah diujungnya yang pada akhirnya
selalu diikuti kepulan asap yang selalu ia tembakkan ke udara. Di tangan
kanannya, sebuah kertas lusuh di gemggamya dengan malas. Siapa
sangka dari kertas lusuh itu paru-parunya bisa merasa hangatnya asap
tembakau, dari kertas lusuh itu pula air segar mengalir di
kerongkonganya, dan dari kertas lusuh itu perutnya terisi walau hanya
dengan sepiring nasi uduk berlauk tempe goreng di siram sambel kacang
hangat. Kertas itu berlampirkan larik-larik puisi berisi keluhan diri,
kutukannya terhadap kehidupan sulit di kolong langit. Dia menjajakan
puisi-puisi itu di kaca mobil yang mengantri menunggu lampu hijau
menyapa. Pekerjaan yang cukup miris untuk dilakoni.
Saat itu tukang parkir meniup peluit memberi instruksi pada sebuah
kendaraan yang hendak keluar dari pertokoan. Selepas itu dia berlalu ke
tepi jalan untuk rehat dari penatnya tugas mengatur parkir pertokoan.
Keadaan panggung adalah tempat parkir didepan sebuah pertokoan.
Pengamen duduk di pelataran toko. Sementara diatas pelataran toko ada
sebuah kursi kayu yang hanya muat untuk satu orang diatasnya ada
sebotol air putih, sebungkus rokok, serta sebuah korek.
Tukang Parkir
(duduk diatas kursi dibelakang pengamen)
Hey, sudah kaya kah dirimu sekarang ? (Menenggak air minum dari botol
yang sedari tadi disimpan disitu)
Pengamen
(diam, menghisap rokoknya kembali)
Tukang Parkir
2
(memukul pengamen) hey, kau nabi cinta sudah tuli kah telingamu itu ?
Sampai tak kau dengar seruanku tadi. (Menyalakan rokok) apa janganjangan kini kau buta ? Lihat itu le, lampunya merah !. Kendaraanya
berhenti semua, artinya kau bisa mulai membaca puisi-puisimu itu di
depan mereka, dan kau bisa mendapatkan recehan darinya. Bisalah kau
bayar hutangmu padaku.
Pengamen
berhentilah memanggilku nabi cinta ! Aku bukan Kahlil Gibran, aku ini
Charil Anwar. Sudah jelas terpampang di ijazahku Chairil Anwar, sarjana
sastra.
Tukang Parkir
loh memang apa bedanya kau dengan si nabi cinta itu ? Kalian kan samasama senang membuat puisi, dan dengan lirih membacanya.
Pengamen
kami memang sama-sama penyair, tapi syair kami jauh berbeda. Kahlil
Gibran cenderung gemar menulis syair mesra yang mendayu-dayu.
(menatap polisi) Cinta. (Merokok kembali, mengamati tulisan puisinya).
Puisiku tidak pernah ada satupun yang menyinyir cinta. Kalaupun ada
cinta, pastilah itu cinta kepada negara, kepada para pahlawan, atau paling
tidak cinta kepada Ibu. Bukannya cinta terhadap wanita.
Tukang Parkir
hah entahlah, mana aku tahu soal yang begituan. Sarjana sastranya kan
kamu, sedangkan aku cuma lulusan SMA yang sekarang cuman jadi
tukang tiup peluit.
Pengamen
lantas dari mana kamu tahu bahwa kahlil gibran itu nabi cinta ? Apa kamu
senang membaca puisinya ?
Tukang Parkir
bah, bercanda mu itu lucu sekali hahaha. Kau pikir aku sudi kah
menghabiskan waktuku hanya untuk membaca tangisan seorang pria
yang ditulis dengan kata-kata cengeng. Aku takut nanti aku dikira banci
kekar, malu aku dengan tubuh besarku ini.
(Menyeruput kopi yang sudah dingin dimakan angin)
Aku mengenal si nabi cinta itu dari anak bungsuku, Dewi. Anakku itu bang,
setiap hari kerjanya menulis kata-kata cinta di dinding kamarnya, ya katakata si nabi cinta itu. Katanya, si Kahlil Gibran ini adalah orang yang paling
romantis, si Dewi sampai gila dibuatnya. Setiap hari disebutnya selalu
nama orang itu.
Pengamen
(Tertawa meringis, menghisap sisa2 rokoknya lalu segera membuang
puntungnya ke jalan kosong)
(Menghembus asap rokoknya ke udara) hehe wanita ..
(Menulis sesuatu, senyumnya nampak menyungging)
Tukang Parkir
3
rokok. Apa aku pun akan mati muda seperti dia. (Menghela nafas) aku
memang binatang jalang.
Ini memang gara-gara orang biadab itu. Jahanam ! Bagaimana bisa
seorang sahabat yang kenal dekat sejak kecil tega mencuri karya
sahabatnya sendiri. Dia seluruh karya spektakulerku dicuri hingga remahremahnya tak bersisa. Dia jual puisiku ke redaksi atas namanya. Sehingga
namanya terkenal seantero negeri. Sementara aku, aku dipenjara dan
denda akibat aku menjiplak sebanyak 23 buah puisinya. Fitnah !. Itu
fitnah, puisi yang dia terbitkan itu puisiku. Semenjak itu aku hancur, harta
bendaku habis, aku di black list oleh semua redaksi. Dan buruknya lagi
sekarang aku disini. Jadi pengamen puisi, akibat aku terlalu sibuk dengan
sastra hingga tidak punya keahlian lain. Miris.
(Menghisap rokok) aku ingin suatu hari nanti aku bisa hidup kembali.
Hidup sewajarnya, manulis lalu mendapat uang, menikah lalu beranak.
Sesederhana itu mimpiku. Namun aku terjebak disini, entah sampai kapan.
Entah bagaimana aku hidup nanti. Sial.
BABAK 2
Pengamen itu masih nyaman menikmati sengatan mentari. Matanya
melolong ke kanan kiri mencari hal tersembunyi. Kemudian datang
seorang pemuda pedagang asongan yang menepi. Kotak asongnya
nampak setengah kosong. Ditambah wajah yang cukup sumringah
menambah pasti ekspektasi akan kesuksesan mengasongnya hari ini. Dia
melangkah mendekat ke trotoar tempat si pengamen duduk. Dia berjalan
dengan senyum pendek untuk menunjukan keberhasilan ngasongnya hari
ini. Namun si pengamen tak acuh, masih memandangi lalu lalang
kendaraan yang seakan tiada habisnya. Pengasong tetap berusaha
menggoda si pengamen. Dia bertingkah aneh dengan menari-menari dan
mengeluarkan suara keras demi menarik perhatian si pengamen. Nihil, si
pengamen tetap di posisi semula dengan raut wajah sebelumnya dan
tetap tak bersuara. Sampai akhirnya si pengasong menyerah dan memilih
ikut duduk merenung di samping pengamen.
Pengasong
Gak biasanya lu murung gitu. Ada apa sih ?
Pengamen
(tak menjawab, bahkan menoleh pun tidak)
Pengasong
Gua lagi bahagia, dan gua pengen berbagi kebahagiaan sama elu. (masih
tak ada jawaban). Buju buneng (menepuk kening) gua lupa.
(Mengambil satu bungkus rokok dari kotak asongnya, kemudian dibukanya
6
jadi abang pengen jadi anggota dewan ? Hahay jangan ngimpi bang
disana itu isinya orang2 pinter semua, orang jahiliyah kaya abang mah
mana bisa jadi dewan. Itu sama aja kaya kucing pengen berenang. Yah ga
mungkin bisa. Ngimpiii
Tukang Parkir
hey jaga mulut kau itu, aku ini ga bodoh-bodoh amat. Lagian siapa yang
mau jadi anggota dewan. Aku itu pengen kerja disana itu aku pengen jadi
tukang parkirnya. Disana kan banyak mobil bagus tuh, tempat parkirnya
luas pula, bisa kaya mendadak aku. Hahaha
Pengasong
haha sialan lu bang bisa aja
Tukang Parkir
hey sudahlah ga usah ngomong-ngomong DPR segala, nanti penyakit si
Anwar ini kambuh lagi.
Pengamen
Penyakit ? Penyakit apa ?
Tukang Parkir
penyakitnya itu ysng selalu berkata aneh sambil menghina itu DPR.
Pengamen
Puisi ? Aku sedang tak bernafsu untuk bersyair.
Tukang Parkir
Amboi apa yang terjadi dengan dunia, tak biasanya si Anwar malas
berpuisi.
Pengasong
Mungkin ini hari kebalikan.
Tukang Parkir
maksudmu apa ?
Pengasong
tadi pagi elu mandi kaga bang ?
Tukang Parkir
Iya.
Pengasong
tuh kan bener hari kebalikan, anwar jadi malas bikin puisi, dan bang haris
yang biasanya ga mandi hari ini mandi. Hahay
Tukang Parkir
sialan kau (hendak memukul)
Pengamen
Aku bukan malas, aku hanya sedang tidak bernafsu. Otakku terlalu sibuk
memikirkan masa depanku sampai-sampai enggan berfikir untuk
melakukan hal yang lain. Aku takut akan masa depanku. Aku hanya
seorang penyair jalanan, apa mungkin aku bisa bahagia bila terus seperti
ini. Dimana aku berada saat aku tua nanti, bahkan aku tak tahu apakah
aku sempat menua atau justru mati muda terbunuh sebatang daun bakar
yang kuhisap setiap hari. Atau mati bunuh diri akibat terlalu kejamnya
8
Gadis
dia itu dewi adikku, kenalkan namaku Gita. (Mereka berjabat tangan)
Pengamen
namaku Chairil Anwar, panggil aku anwar. Kemana kau selama ini ?
mengapa aku tak pernah melihatmu ?
Gadis
Aku tak tinggal disini. Aku tinggal di Bandung bersama su .
Tiba-tiba terdengar suara klakson mobil yang kencong, membuat
pembicaraan terhenti. Klakson tersebut berasal dari dua mobil yang
hamper bertabrakan. Setelah bunyi klakson terdengar, kemudian muncul
teriakan beberapa orang yang marah-marah, tapi tak begitu lama.
Pengamen
Dasar, orang-orang zaman sekarang selalu emosi.
(keduanya diam sesaat)
Gadis
kamu jaga parkir disini juga ?
Pengamen
tidak, aku ini penyair jalanan.
Gadis
penyair ? Benarkah ?
Pengamen
ya tentu.
Gadis
jadi tentu kau pandai membuat puisi.
Pengamen
(hanya mengangguk)
Gadis
bisa kau buatkan sebuah puisi untukku ?
Pengamen
tentu, tapi tidak dengan cuma-cuma
Gadis
dengan apakah aku bisa membayar ?
Pengamen
cukup dengan diam tunggu disini dan dengarkan dengan baik puisiku.
Gadis
(tetawa kecil)
Mereka diam sejenak, Pengamen Nampak berfikir keras. Terlihat dari
kerutan di dahinya.
Gadis
Sudah dapat ? kenapa lama sekali ?
11
Pengamen
(Menajamkan mata pada Gadis)
Wanita di perempatan jalan
Menenteng sewadah pakan
Menanti bapak, entah kemana
Menusur jejak, enah dimana
Ayu parasmu terbakar matahari
Sedetik ini tak sampai yang kau cari
Nona cantik, meminta puisi
Satu puisi, berlampir hati
(Keduanya lama saling menatap, terdengar music
menambah suasana kasmaran diantara keduanya)
romantis
yang
Pengamen
Bagaimana ? baguskah ?
Gadis
(masih diam terpesona)
Pengamen
Nona, permisi
Gadis
(tersadar dari lamunan, agak kaget) iya ada apa ?
Pengamen
Ada seorang penyair yang menunggu sebuah apresiasi atas karyanya
Gadis
Eh .. Bagus sekali, sangat bagus. Aku suka sekali dengan pria yang pandai
membuat puisi (disini nampak Gadis mulai tertarik pada Pengamen)
Pengamen
Tidak adakah ucapan kagum yang lebih bagus lagi, karyaku ini
masterpiece. Pertama kali sepanjang aku membuat puisi, puisi ku berisi
puja-puji pada wanita yang baru pertama kali ini ku temui.
Gadis
Kau ini peritungan sekali. Masih kurang kah pujianku tadi padamu ? dan
kau bilang pertama kali kau buat puisi untuk wanita. Memangnya sebelum
ini kau tak pernah bertemu wanita ?
Pengamen
Tentu saja pernah. Kau tahu ? aku pernah satu kali jatuh cinta pada
seorang wanita. Dia memberiku semangat hidup hingga aku merasa orang
paling beruntung di dunia. Kami cukup lama bersama, menjalin
kebahagiaan bersama saat aku mulai merintis karirku sebagai penulis
setelah aku lulus kuliah. Semua sangat indah sampai tiba masa itu. Masa
dimana aku terpuruk, menjadi penulis paling dibenci. Saat dimana aku
benar-benar butuh seorang sandaran hidup. Saat yang tidak tepat baginya
untuk pergi. Pergi dan membuat hati luka borok !
Gadis
12
Aku turut berduka cita. Sebagai wanita, aku diciptakan dengan kepekaan
rasa yang tinggi. Jadi, aku bias mengerti dengan pasti akan perasaanmu
itu.
Pengamen
Iyah, terima kasih. Kau tahu ? dia bilang padaku akan kembali suatu saat
nanti. Dan jelas sampai saat ini aku masih menunggunya. Namun kau tahu
? dia tak pernah datang. Entahlah mengapa alasannya.
Gadis
Dari ceritamu itu. Aku tahu kau orang yang sangat baik. Bersabarlah,
kebaikan tentu akan datang pada orang yang baik. (Diam sejenak) aku
jadi semakin mengagumimu, kau benar-benar pria yang luar biasa.
Pengamen
(duduk, kembali merenung)
Gadis
(ikut duduk) kau harusnya bisa lebih baik dari ini. Hidup di jalanan
harusnya tak menjadi pilihanmu setelah karirmu jatuh. Cobalah pekerjaan
lain. Bukankah seharusnya laki-laki tampan dan gagah sepertimu tentu
bisa melakukan apa saja.
(Pengamen tetap diam)
Apa mungkin kau kehilangan semangatmu ? karena wanita ? seperti yang
aku bilang tadi, kau ini pria yang baik mestinya tak sulit bagi setiap wanita
untuk luluh akan kelembutanmu. Kamu harusnya bersyukur sempat
merasakan hidup enak. Sementara keluargaku selalu hidup dalam
kesederhanaan. Kalau memang dulu kau pernah sukses, bukankah akan
lebih mudah bagimu untuk mendapatkan sukses itu kembali.
Pengamen masih diam. Dalam hatinya bergejolak. Dia bertanyadlam hati
mengapa ada seseorang yang baru mengenalku begitu peduli
denganku ?
Keduanya terus beradu pandang. Suasana semakin romantis.
Masuk tukang parkir.
Tukang Parkir
Hey Gita sedang apa kau disini ?
Gadis
Eh Bapak. Bapak kemana aja ? dari tadi Gita nunggu disini, ini makanan
Bapak sampai dingin begini.
Tukang Parkir
Maaf anakku, tadi Bapak asik ngobrol dengan Bang Guntur disana
(Menunjuk ke sebuah pabrik di sebelah toko).
Gadis
Oh begitu, ya sudah ini cepat dimakan. Gita harus segera pulang, takut si
adek menangis.
Tukang Parkir
13
14