Anda di halaman 1dari 21

Pelajaran

Memantrai

Sehimpun prosa dan cerita pendek

FAIZAL REZA
Fragmen
coretan-coretan kecil tentangmu. resto tua di
pusat jakarta. kita yang berbeda meja. lelaki
yang baru patah hati. halte transjakarta. kau
dan senyum menguatkan. harapan yang lahir
kembali. rencana besar yang perlahan
kususun ulang. ceritamu tentang cintamu.
puluhan hati yang kau patahkan. puluhan
cinta yang kau tata lagi.

kembali dipeluk senyummu. hal-hal tak


mungkin. pacarmu dan pacarku yang luar
biasa anjingnya. patah hati kita lagi.
alasan-alasan berhenti. alasan-alasan
bertahan. sebab-sebab menyerah. puisi-puisi
lama tentang jatinegara. taksi argo tembak
dan lagu bahasa rusia. sepasang kekasih di
puncak bundaran hotel indonesia. hening
yang membelah macetnya timur jakarta.
hati yang tertinggal di coretan dinding depan
rumahmu. laki-laki yang membawa banyak
luka di punggungnya. perempuan di teras
starbucks pondok indah. lagu-lagumu
tentang pelarian dan persembunyian.
khotbah nikah di gereja. kau dan aku yang
jatuh dan patah lagi. delapan atau tiga belas
kuda di patung arjuna. ratusan hari
memikirkanmu tanpa diminta.

kisah dan harapan yang kembali bubar jalan.


cinta lama yang menghampirimu lagi. cinta
lama lain yang kau kejar kembali. aku dan
cinta baruku lagi. perempuan yang kau benci
setengah mati. rumah mungil di barat
pancoran. cita-citamu yang kian dewasa.
patah hati kesekian kali.

politisi yang kita benci. malam yang kian


dalam kita selami. seribu kunang-kunang di
langit balkon rumahmu. pulang yang tak
pernah benar pulang. hilang yang tak pernah
benar hilang. cinta terbaikmu. patah hati
terburukmu.

kau yang terus berlari. kau yang tak lagi


mencari. senyummu yang lebih dari
menguatkan. senyummu yang masih sama
cantiknya.
***
1993

desember mengantar kita ke cinta paling


mungkin, padahal kita belum tahu-tahu
amat soal cinta.

gedung bioskop tak jauh dari rumahmu


menjadi kesenangan kecil di malam
minggu. pintu besi, poster-poster kain,
penjual es limun, kretek eceran dalam
kaleng, dan orang berbaris antre di depan
loket.

kita berenang di antara bahagia dan cinta


tercuri. kita jelajah gelisah di antara kisah
pelacur dan sopir taksi, istri yang
menunggu suaminya pulang, pertemuan di
kereta malam, pertarungan para pendekar,
dan jahatnya cinta penasaran.
kita susuri musim jauh di tenang sungai
beku dan sore yang membuat orang jatuh
cinta pada pandang pertama. kugenggam
tanganmu di trotoar bersalju. kucuri
ciummu di bawah langit berbulan merah
dan lalu lalang orang mencari kado natal.

cinta kita terus menari di akhir desember,


tapi tak bertahan hingga januari.
***
Medioker

sungguh cinta kita biasa saja. pertemuan di


setiabudi astra, kopi dan bubur ayam cikini,
lalu pulang ke kalibata.

kita tonton film dan dengar lagu-lagu yang


juga biasa saja. tentang detektif partikelir,
dongeng setelah mati, horor boneka hantu,
pahlawan super yang hidup lagi setelah
hancur jadi debu, atau kisah kekasih yang
pergi dan tak tahu kapan pulangnya.

kita sabar menunggu jam pulang kantor


karena sadar kita bukan satu-satunya.
ratusan ribuan kisah cinta yang mungkin juga
begini-begini saja.
jakarta yang terburu-buru. jakarta yang sok
punya banyak waktu. jakarta yang
menggelisahkan dan memabukkan. jakarta
yang kekanak-kanakan namun sok dewasa.

kita kembali ke setiabudi astra, hanya maju


sedikit ke senayan. mendesah dan
mengerang di kebayoran, atau berpeluh
deras di kemang selatan.

cinta kita tak ada indah-indahnya. hanya


perihal aku, kau, dan mimpi yang terlalu
sederhana. cuma menunggu kapan aku yang
bosan atau kau yang menjauh.

cinta kita hanya jeda pengisi


kesepian-kesepian. cinta kita berputar antara
ketulusan dan dikorbankan.

kelak cinta kita hanya sebatas konten. yang


dirayakan bersama dentuman lagu-lagu
amarah khas selatan jakarta. di sela
tawa-tawa lain yang seringnya masih juga
tentang cinta.

memanglah. perkara mengangkat cinta yang


sebenarnya medioker, kita ini ahlinya.
***
Burung Hantu

rumahmu di malam minggu. teras rumah dan


nyanyian lagu-lagu perihal sesal.
peronda-peronda yang akrab dengan
ayahku dan ayahmu. bahagia tanpa takut
jam malam. membicarakan cinta bersama
potongan rindu dan martabak manis di meja
kursi kecil dekat jendela.

pohon tua di halaman rumahmu. cerita yang


ditinggalkan kakek buyutmu. saksi pelarian
mereka-mereka yang pernah negara sebut
pengkhianat. pertengkaran kecil kakakmu
dan ayahmu. ratusan ribu dan berbotol arak
murah yang tandas bersama taruhan di meja
bilyar. pamanmu yang menyukai film
polisi-polisian. bibimu yang tergila-gila drama
india.
pantai berpasir hitam yang hanya
seperlemparan batu dari rumahmu. tempat
kita berlarian, berciuman, menunggu, dan
mendatangi. bertanya ke mana ombak yang
biasa. siapa gerangan hujan yang turun hari
ini. penjual sate kerang dan nasi cumi yang
tak bosan menyuruh kita menikah. doa agar
kita bahagia sampai tua.

pasar malam tiga bulan sekali. hiburan saat


kita bosan dengan cinta dan surat cinta.
sirkus monyet. motor dalam tong setan.
hantu-hantu yang kalah seram dari bayangan
apa jadinya hidupku tanpa kamu. minuman
bersoda yang kalah segar dari senyummu.
gambar-gambar dan cerita pendek yang
kutulis di buku kecilmu. rindu yang menetes
dari pohon natal. amarah yang meledak dari
serpihan bom di halaman gereja. rapat
pembalasan di rumah makan padang. lalu
lalang motor di pasar buah dekat rumahku.
kerusuhan besar yang memecahkan jendela
masjid. murka dan api yang membakar desa.

sore ini kukenang kau selayaknya cinta yang


gagal pada akhirnya. kita yang menyerah
dan mengakui. bahwa terkadang cinta mesti
satu doa.
***
Mengingat Dia

KALAU saja waktu itu ia tak menelepon dan menyuruhmu datang ke


apartemennya, mungkin kejadiannya tak seperti sekarang.
Tengah malam itu ia memohon kepadamu. Ia bilang butuh
ditemani. Percintaannya baru kandas. Ia menangis. Ia bilang butuh
teman bicara. Tanpa banyak bertanya, kau pun memutuskan datang
dan ada di sampingnya.
Lalu kau memasang hati dan telinga. Mendengar cerita-ceritanya.
Tentang harapan-harapannya yang bubar jalan. Tentang ditinggalkan
tanpa alasan masuk akal. Kau dan dia. Di lantai dua puluh tujuh
balkon apartemennya. Ditemani bergelas scotch dan martini. Di
bawah langit pekat dan kerlap-kerlip lampu gedung tinggi sekitar
yang membuatmu makin merasa menjadi Marno dalam Seribu
Kunang-kunang di Manhattan.
Kau mencoba romantis. Kau diam. Kau cuma mendengar. Karena
kau mencintainya. Meski tak tahu cinta yang seperti apa. Cintamu
tulus. Cintamu suci. Kau mencintainya dengan darah dan hati. Begitu
pikirmu.
Kau tak pernah ingin memiliki. Kau cuma ingin menjaganya. Kau
hanya ingin ia bahagia. Itu cukup. Sesekali kau cemburu mendengar
kabar ia bahagia dengan pacarnya. Tapi di waktu lain, kau bahkan
ingin mencarikan ia laki-laki yang lebih tepat.
Cintamu tulus. Cintamu suci. Banyak yang berkata cintamu
menyedihkan. Tapi kau tak peduli. Kau pernah punya banyak
kesempatan mengatakan cinta. Tapi semuanya tak kau ambil. Kau
terlanjur mencintai dengan darah dan hati. Sementara mungkin ia
terlanjur menganggapmu sebagai sahabat sendiri.
Cintamu tulus. Cintamu suci. Malam masih gelap dan berbintang
sedikit. Ia kembali mengisi penuh gelas minumannya. Kau pun ikut
mengisi gelasmu. Gelasmu berisi scotch, gelasnya berisi martini.
Kalian mulai sama-sama melayang dan limbung. Kalian makin merasa
menjadi Marno dan Jane dalam Seribu Kunang-kunang di Manhattan.
Cintamu tulus. Cintamu suci. Tiba-tiba dia memelukmu. Erat
sekali. Peluk yang beda dengan biasanya. Kau tak menghindar. Kau
merasakan sesuatu berdesir kencang di dalam darahmu. Lalu kau
pun membalas pelukannya. Kau beranikan diri menciumnya. Dia
membalas dengan ciuman lebih ganas. Kau meletakkan gelas ke
atas meja, menutup pintu balkon, lalu menggendongnya ke tempat
tidur.
Ah, persetan dengan cinta tulus dan suci, pikirmu. Setelah
bertahun hanya berteman, malam itu kalian berdua bercinta. Untuk
pertama kalinya.

***

SEPRAI tempat tidurnya masih berantakan. Di atasnya dia tertidur


dengan tubuh telanjang tertutup selimut. Kau berjalan ke balkon.
Tentu sudah pakai celana. Kali ini sendirian. Kembali mengisi
gelasmu dengan scotch. Kau menatap menerawang ke langit malam
yang masih berbintang sedikit. Kau sedikit menyesal. Cintamu tak
tulus dan suci lagi. Kau luar biasa menyesal. Kemudian kau mulai
mengingat-ingat.

***

KALAU saja waktu itu kau tak menonton film itu, mungkin kau takkan
pernah mengenalnya. Dan kalau tak pernah mengenalnya, tentu kau
tak perlu jatuh cinta.
Sebuah film tentang cinta. Kisah cinta yang sama berdarahnya
dengan cintamu kepadanya sekarang. Bioskop waktu itu sepi. Tak
sampai lima belas orang penonton. Kau kebetulan duduk di
sebelahnya. Saat film usai dan lampu kembali menyala, kau langsung
sadar betapa cantiknya dia.
Kau beranikan diri menyapa. Ia membalasmu dengan hangat. Kau
mengajaknya makan malam di kafe bioskop. Lagi-lagi ia tak
keberatan. Lalu kalian mengobrol panjang lebar. Cuma soal film yang
baru saja yang kalian tonton. FIlm yang sebenarnya tidak menarik.
Memang tentang cinta. Tapi tidak menarik.
Saat itulah saat jatuh cintamu dimulai. Dan
keeseokan-keesokannya, setelah pertemuan-pertemuan berikutnya,
kau resmi jatuh cinta. Semakin jatuh cinta. Cuma kau. Karena kau tak
tahu apa yang ia rasakan dalam hatinya. Kemudian kau kembali
mengingat-ingat.

***

KALAU saja kau tak pernah penasaran dengan film tentang kisah
cinta berdarah itu, mungkin kau takkan pernah mengenalnya,
kemudian jatuh cinta.
Bioskop itu sangat jauh dari tempat tinggalmu. Bukan bioskop
langgananmu. Kau orang yang super praktis, super mager, dan malas
ribet. Seringnya kau memilih bioskop di mall paling dekat. Memang
harga tiketnya sedikit lebih mahal, namun terbayar lunas dengan
kenyamanan, kualitas gambar dan audio, juga pilihan filmnya yang
lebih lengkap.
Tapi malam itu, demi film tentang kisah cinta berdarah itu, kau
kuatkan hati dan niat untuk berjalan lebih jauh dari biasanya. Sebuah
bioskop yang jaraknya 30 kilometer lebih dari tempat tinggalmu.
Bioskop yang bahkan akses menuju ke sana pun macet bukan main.
Bioskop yang baru bisa kau injak lobbynya setelah sembilan
perempatan dan sembilan belas makian. Kau meneguk minumanmu,
lalu mengingat-ingat lagi.

***

KALAU saja kau tak kenal dengan penulis skenarionya, dapat


dipastikan kau takkan menonton film itu, lalu nekad ke bioskop yang
jauh itu.
Si penulis skenario adalah teman baikmu. Tak pintar-pintar amat,
tapi keluarganya kaya raya. Temanmu semasa kuliah. Yang murah
hati dan sering mentraktir makan, minum, hingga mabuk alkohol
murah setiap akhir pekan. Tiga hari lalu ia mengirim pesan lewat
Facebook. Cuma pertanyaan pendek;
“Sudah nonton, Bung?”
Pesannya disertai sebuah gambar. Sepasang kekasih yang
sebenarnya terlihat tak pantas satu sama lain. Gambar itu dilayout
dengan sangat buruk. Ada tulisan di sana. Besar-besar, dengan font
tegas berwarna merah muda.
“20,000 ORANG SUDAH MENANGIS DARAH KARENA CINTA.”
Hatimu penasaran. Seberdarah apa cinta yang membuat puluhan
ribu orang menangis? Maka hitung-hitung sebagai bentuk dukungan,
kau pun putuskan menonton film itu. Fakta bahwa filmnya hanya
tersisa di satu bioskop yang jauh dari rumahmu, kau abaikan.
Kemudian kau kembali mengingat-ingat. Kali ini setelah kau nyalakan
sebatang rokok.

***

KALAU saja dulu kau tak kuliah film, mungkin kau takkan pernah
mengenal temanmu yang penulis skenario itu. Kau kuliah film karena
kau mencintai film. Kau lahir dan besar dengan film. Ayahmu pernah
bekerja di gedung bioskop. Dia pun mencintai film. Dia pula yang
mengenalkanmu pada banyak film.
Ayahmu selalu pulang kerja dan membawa satu flyer film buatmu.
Satu flyer setiap hari. Tak selalu film yang sedang tayang. Judulnya
berbeda-beda, tapi seringnya juga sama. Berulang. Tapi kau tak
peduli. Karena satu flyer film setiap hari adalah wajib buatmu. Pernah
suatu ketika ayahmu lupa membawa flyer film saat pulang ke rumah,
kau menangis meraung-raung. Ayahmu tak punya pilihan lagi selain
kembali ke bioskop dan mengambil satu flyer film buatmu.
Keluargamu jauh dari kaya raya, tapi lebih dari cukup untuk bisa
punya TV berwarna dan video player Betamax. Maka kau pun bisa
menonton banyak film. Mulai silat hingga komedi. Mulai drama
sampai tragedi. Mulai horor sampai aksi. Mulai Eropa, Amerika,
hingga Asia.
Ayahmu tak terlalu peduli dengan rating tontonan anak atau
dewasa. Kau yang masih kecil tenang-tenang saja melihat adegan
sepasang kekasih bercinta hingga berguling-guling di atas kasur.
Sebuah film Indonesia. Otak kecilmu tak paham adegan itu. Maka
mulut polosmu pun bertanya,
“Mereka lagi apa, Yah?”
Ayahmu menjawab enteng sambil mengembuskan asap
cerutunya.
“Pacaran.”
Lalu kau kembali mengingat-ingat.

***

KALAU saja kau tak ingat adegan pacaran berguling-guling itu,


mungkin kau tak akan kuliah film.
Adegan pacaran itu membekas terlalu dalam di pikiranmu.
Bahkan hingga kau beranjak dewasa. Perempuannya cantik sekali
sampai membuat kepalamu pusing. Kau biasa menulis. Biasanya kau
pintar bercerita tentang kecantikan perempuan. Tapi kali itu tidak.
Kau cuma bisa bilang, perempuan itu luar biasa cantik dan sangat
menggoda.
Kau ingin menonton film itu lagi. Tapi video player Betamax
ayahmu tentu sudah wafat dimakan zaman. Rasa penasaran
kemudian membawamu ke toko majalah bekas. Kau cari majalah film
terbitan tahun lama. Kau bertanya judul film itu pada banyak orang.
Mulai tukang majalah, kang bakso yang gerobaknya mangkal di
depan kios tukang majalah, mang cukur yang sedang mencukur
rambut kang bakso yang gerobaknya mangkal di depan kios tukang
majalah, abang-abangan warteg, teman-teman kuliahmu, hingga
mbak-mbak rental VCD. Berbekal ingatan terbatas tentang sepasang
kekasih berguling-guling di atas kasur. Tentu tak berhasil. Maka
pertanyaan dan penasaran itu terus tinggal di pikiranmu.
Sekali dua kali kau coba bertanya ke ayahmu tentang film itu,
Malangnya, ayahmu pun sudah tak ingat. Adegan pacaran hanya
satu dari puluhan, ratusan ribu, atau mungkin jutaan adegan yang
berdiam di kepalanya.
Akhirnya kau berjanji pada dirimu sendiri. Kelak kau akan
membuat film yang kurang lebih sama. Menemukan perempuan yang
cantiknya kurang lebih sama pula.

***
DIA terbangun. Melihatmu berdiri sendirian di balkon dengan segelas
scotch, dia pun menyusulmu. Dia mengenakan lagi baju tidurnya.
Asal-asalan. Mengisi gelasnya dengan martini, lalu berdiri di
sampingmu.
“Kamu kenapa?” tanyanya lembut.
“Cuma mengingat satu film,” jawabmu dengan nada cool yang
dibuat-buat.
“Film apa?”
Lalu kau ceritakan padanya adegan pacaran yang
menggelisahkan itu. Sepasang kekasih berguling-guling di atas
kasur. Karena memang hanya itu yang kau ingat.
“Tunggu,” potongnya.
“Ya?”
“Ada adegan mereka naik taksi, terus si laki-laki tinggal di kamar
paviliun penuh poster band metal?”
“Ya. Benar sekali!”
“Ada adegan si perempuan diusir dari rumah lalu dilempar
sandal?”
“Eh iya, Benar. Hahaha..”
“Dan si laki-laki dipecat lalu ketiduran di pos ronda?”
“Iya. Iya.. Benar. Hahahahaha….”
“Aku tahu film itu!”
Yay! Hatimu girang bukan main. Pertanyaan, alasan, dan
kegelisahan bertahun-tahun hilang sudah. Perempuan di sampingmu
ternyata orang yang tepat. Dia jawaban atas pertanyaan besarmu
selama ini. Misteri yang tak terjawab oleh tukang majalah, kang
bakso, mang cukur, abang warteg, mbak-mbak rental DVD,
teman-teman kuliah, bahkan ayahmu sendiri. Memang tak salah
kalau kau mencintai dia, apalagi bercinta dengannya.
“Apa judulnya?” tanyamu tak sabar.
“Aku belum ingat. Mungkin besok bisa kutanyakan. Aku kenal
baik pemeran perempuannya,” jawabnya sambil tersenyum.
“Siapa?”
“Ibuku.”

***
Tukang Sulap

pesulap gembel itu mengancam menghilangkan


burungku. tentu aku tak percaya. dia pesulap
yang main di depan sekolahku setiap kamis sore.
berjas panjang hitam, bertopi panjang, bermuka
masam. dari topinya keluar kelinci, bunga kertas
warna-warni, kadang untaian kenangan yang
saling merajut dan menguatkan.

suatu kali ia datang membawa kotak kayu hitam


besar. dari dalamnya keluar pemuda linglung dari
tanah antah berantah. pesulap itu menyeringai.
menertawakan si linglung dan berkata, “begitulah
sakitnya cinta, begitulah sakitnya cinta..”

pesulap gembel itu selalu membawa beragam


barang ajaib yang tak kumengerti. jamu kuat
bercinta, obat tahan mencinta, mantel penahan
rindu, akar pengikat janji, larutan penyegar hati,
dan entah apa lagi.

ia selalu bercerita tentang cinta-cinta yang


berbahaya, jiwa-jiwa yang dibangkitkan, ribuan
hati yang patah lalu tercabut, hingga kisahnya
menaklukkan hati milik perempuan tercantik di
bumi.
aku tak percaya keajaiban. tapi aku percaya cinta
yang menguatkan. pesulap gembel marah dan
lagi-lagi mengancam menghilangkan burungku.
aku tak percaya. burungku baik-baik saja dan
tetap di tempatnya. aku tertawa. pesulap gembel
makin murka. “kau terbunuh cinta menyakitkan!
kau terbunuh cinta menyakitkan!” kutuknya.

malam ini puluhan tahun setelah pesulap gembel


itu main di depan sekolahku. burungku masih
berdiri gagah di tempatnya. bahkan berkali-kali ia
menyenangkan kamu, dia, temannya, orang lain,
pacar kekasihmu, lalu kamu lagi.

sampai kemudian di sebuah malam sepi tanpa


cinta di losmen murah dengan hujan deras dan
petir bersahut-sahutan (dan tentu saja kamu
terlelap di sebelahku) seperti dalam film noir,
hatiku mendadak diserang tanya, “mungkinkah
yang dulu hilang itu bukan burungku, tapi
hatiku?”
***
Pelajaran Memantrai

malamku ditingkahi jutaan harap gemas yang


mesti kupegang kendali. aku dirasuki belasan
bidadari. hatiku dihajar cinta-cinta terbakar api.

kugenggam kau erat. kutenggelamkan kau.


kuhempaskan kau. kuikat jiwamu dan tak kulepas
lagi.
cintaku menghisap laut surut. cintaku
menghancurkan karang dan gunung. cintaku
membelah perut bumi. cintaku menghidupkan
orang-orang mati. cintaku meredupkan matahari.
cintaku menghangatkan bulan. cintaku
menghentikan hembusan angin. cintaku lebih
cantik dari bintang paling cantik.

cintaku membangunkanmu. cintaku


menggerakkanmu. cintaku membawamu berlari.
cintaku membawamu kepadaku. cintaku
memanggilmu berserah diri. cintaku merobohkan
semua tapi.

kau terjerat di hatiku dan tak bisa keluar lagi.


cintaku satu-satunya.
***

Anda mungkin juga menyukai