Memantrai
FAIZAL REZA
Fragmen
coretan-coretan kecil tentangmu. resto tua di
pusat jakarta. kita yang berbeda meja. lelaki
yang baru patah hati. halte transjakarta. kau
dan senyum menguatkan. harapan yang lahir
kembali. rencana besar yang perlahan
kususun ulang. ceritamu tentang cintamu.
puluhan hati yang kau patahkan. puluhan
cinta yang kau tata lagi.
***
***
KALAU saja waktu itu kau tak menonton film itu, mungkin kau takkan
pernah mengenalnya. Dan kalau tak pernah mengenalnya, tentu kau
tak perlu jatuh cinta.
Sebuah film tentang cinta. Kisah cinta yang sama berdarahnya
dengan cintamu kepadanya sekarang. Bioskop waktu itu sepi. Tak
sampai lima belas orang penonton. Kau kebetulan duduk di
sebelahnya. Saat film usai dan lampu kembali menyala, kau langsung
sadar betapa cantiknya dia.
Kau beranikan diri menyapa. Ia membalasmu dengan hangat. Kau
mengajaknya makan malam di kafe bioskop. Lagi-lagi ia tak
keberatan. Lalu kalian mengobrol panjang lebar. Cuma soal film yang
baru saja yang kalian tonton. FIlm yang sebenarnya tidak menarik.
Memang tentang cinta. Tapi tidak menarik.
Saat itulah saat jatuh cintamu dimulai. Dan
keeseokan-keesokannya, setelah pertemuan-pertemuan berikutnya,
kau resmi jatuh cinta. Semakin jatuh cinta. Cuma kau. Karena kau tak
tahu apa yang ia rasakan dalam hatinya. Kemudian kau kembali
mengingat-ingat.
***
KALAU saja kau tak pernah penasaran dengan film tentang kisah
cinta berdarah itu, mungkin kau takkan pernah mengenalnya,
kemudian jatuh cinta.
Bioskop itu sangat jauh dari tempat tinggalmu. Bukan bioskop
langgananmu. Kau orang yang super praktis, super mager, dan malas
ribet. Seringnya kau memilih bioskop di mall paling dekat. Memang
harga tiketnya sedikit lebih mahal, namun terbayar lunas dengan
kenyamanan, kualitas gambar dan audio, juga pilihan filmnya yang
lebih lengkap.
Tapi malam itu, demi film tentang kisah cinta berdarah itu, kau
kuatkan hati dan niat untuk berjalan lebih jauh dari biasanya. Sebuah
bioskop yang jaraknya 30 kilometer lebih dari tempat tinggalmu.
Bioskop yang bahkan akses menuju ke sana pun macet bukan main.
Bioskop yang baru bisa kau injak lobbynya setelah sembilan
perempatan dan sembilan belas makian. Kau meneguk minumanmu,
lalu mengingat-ingat lagi.
***
***
KALAU saja dulu kau tak kuliah film, mungkin kau takkan pernah
mengenal temanmu yang penulis skenario itu. Kau kuliah film karena
kau mencintai film. Kau lahir dan besar dengan film. Ayahmu pernah
bekerja di gedung bioskop. Dia pun mencintai film. Dia pula yang
mengenalkanmu pada banyak film.
Ayahmu selalu pulang kerja dan membawa satu flyer film buatmu.
Satu flyer setiap hari. Tak selalu film yang sedang tayang. Judulnya
berbeda-beda, tapi seringnya juga sama. Berulang. Tapi kau tak
peduli. Karena satu flyer film setiap hari adalah wajib buatmu. Pernah
suatu ketika ayahmu lupa membawa flyer film saat pulang ke rumah,
kau menangis meraung-raung. Ayahmu tak punya pilihan lagi selain
kembali ke bioskop dan mengambil satu flyer film buatmu.
Keluargamu jauh dari kaya raya, tapi lebih dari cukup untuk bisa
punya TV berwarna dan video player Betamax. Maka kau pun bisa
menonton banyak film. Mulai silat hingga komedi. Mulai drama
sampai tragedi. Mulai horor sampai aksi. Mulai Eropa, Amerika,
hingga Asia.
Ayahmu tak terlalu peduli dengan rating tontonan anak atau
dewasa. Kau yang masih kecil tenang-tenang saja melihat adegan
sepasang kekasih bercinta hingga berguling-guling di atas kasur.
Sebuah film Indonesia. Otak kecilmu tak paham adegan itu. Maka
mulut polosmu pun bertanya,
“Mereka lagi apa, Yah?”
Ayahmu menjawab enteng sambil mengembuskan asap
cerutunya.
“Pacaran.”
Lalu kau kembali mengingat-ingat.
***
***
DIA terbangun. Melihatmu berdiri sendirian di balkon dengan segelas
scotch, dia pun menyusulmu. Dia mengenakan lagi baju tidurnya.
Asal-asalan. Mengisi gelasnya dengan martini, lalu berdiri di
sampingmu.
“Kamu kenapa?” tanyanya lembut.
“Cuma mengingat satu film,” jawabmu dengan nada cool yang
dibuat-buat.
“Film apa?”
Lalu kau ceritakan padanya adegan pacaran yang
menggelisahkan itu. Sepasang kekasih berguling-guling di atas
kasur. Karena memang hanya itu yang kau ingat.
“Tunggu,” potongnya.
“Ya?”
“Ada adegan mereka naik taksi, terus si laki-laki tinggal di kamar
paviliun penuh poster band metal?”
“Ya. Benar sekali!”
“Ada adegan si perempuan diusir dari rumah lalu dilempar
sandal?”
“Eh iya, Benar. Hahaha..”
“Dan si laki-laki dipecat lalu ketiduran di pos ronda?”
“Iya. Iya.. Benar. Hahahahaha….”
“Aku tahu film itu!”
Yay! Hatimu girang bukan main. Pertanyaan, alasan, dan
kegelisahan bertahun-tahun hilang sudah. Perempuan di sampingmu
ternyata orang yang tepat. Dia jawaban atas pertanyaan besarmu
selama ini. Misteri yang tak terjawab oleh tukang majalah, kang
bakso, mang cukur, abang warteg, mbak-mbak rental DVD,
teman-teman kuliah, bahkan ayahmu sendiri. Memang tak salah
kalau kau mencintai dia, apalagi bercinta dengannya.
“Apa judulnya?” tanyamu tak sabar.
“Aku belum ingat. Mungkin besok bisa kutanyakan. Aku kenal
baik pemeran perempuannya,” jawabnya sambil tersenyum.
“Siapa?”
“Ibuku.”
***
Tukang Sulap