Anda di halaman 1dari 3

SURAT UNTUK ROMI

Kepada, Romi. Kutulis surat ini sesaat setelah air mataku berhenti mengalir.

Ingatkah kau, Rom. Bulan depan adalah bulan yang berbahagia bagi kita. Andaikan kau tidak
pergi begitu saja, mungkin bulan depan kita akan merayakan hari jadi hubungan kita yang keempat
tahun. Tapi takdir berkata lain, kau pergi begitu saja tanpa sedikitpun aba-aba. Meninggalkanku sendiri,
meratapi kepergianmu yang kau anggap ialah jalan yang paling baik. Dan aku, hanya bisa menyampaikan
semua perasaanku kepadamu, lewat surat ini.

Romi, aku merindukanmu. Belum lagi genap 24 jam setelah kau pergi meninggalkanku. Kini,
bisa-bisanya aku merindukanmu. Padahal rindu yang kini menyiksaku, ialah satu-satunya peninggalan
yang tersisa darimu, Rom. Kalau dipikir-pikir, waktu berjalan begitu cepat. Tak terasa sudah hampir
empat tahun kita mengabiskan waktu berdua dengan rutinitas yang itu-itu saja tiap harinya. Tapi tak
pernah terlintas dipikiranku, aku akan pergi meninggalkanmu karena rasa bosan. Lalu, mengapa kau
pergi, Rom? Apakah kau bosan dengan rutinitas kita? Atau apakah kau merasa kecewa kepadaku karena
aku tidak pernah bisa suka dengan karya-karya sastra yang selalu kau bicarakan kepadaku? Aku jelaskan
kepadamu, Rom. Bagiku yang sama sekali tidak memahami sastra, sastra ialah bualan, serupa dongeng
pengantar tidur. Dan aku tak akan pernah bisa untuk menyukainya. Dan kau tahu itu, Rom. Tapi
mengapa setiap kita bertemu kau selalu saja membahas karya-karya sastra, mulai dari puisi-puisi, novel-
novel yang baru saja selesai kau baca, cerita-cerita antahberantah yang tak jelas siapa pengarangnya,
dan yang paling sering kau ceritakan ialah cerita Romeo dan Juliet. Tapi aku tak pernah merasa risih
dengan itu. Lalu mengapa kau yang harus pergi, Rom?

Bahkan aku masih ingat perkataanmu, Rom. “Kita dipertemukan oleh takdir, melalu cerita
Romeo dan Juliet”. Memang, kita bertemu pertama kali di sebuah kafe. Saat itu, kau sedang duduk
sendiri sambil membaca sebuah buku berjudul Romeo dan Juliet. Kebetulan, waktu itu aku bekerja
sebagai pelayan di kafe itu. Dan sebuah kecelakaan terjadi, tak sengaja aku menumpahkan espresso
pesananmu tepat di depanmu dan tumpahannya mengenai buku itu. Setelah kejadian itu, kau bertanya
namaku dan aku menjawab, Julia. “Kebetulan sekali, namaku Romi”. Aku tak memahami maksud dari
‘kebetulan’ itu, belum lagi sempat aku bertanya, kau dengan semangatnya menjelaskan bahwasanya
nama kita hampir sama dengan nama tokoh dalam buku yang kau baca. Dan kau juga menjelaskan,
bahwasanya buku ini bercerita tentang kisah cinta sehidup-semati. Tak lama, kau meminta nomor
handphoneku dan setelah hari itu, aku selalu melihatmu di kafe itu sambil membaca buku yang sama
tiap harinya.

Berbulan-bulan berlalu dan kita mulai akrab. Di sela-sela waktu senggangku, aku selalu
menyampatkan diri untuk duduk satu meja denganmu. Mungkin karena kau banyak membaca, jadi kau
bisa membicarakan apa saja dan aku juga suka tentang apa saja yang kau bicarakan itu. Sampailah di
hari itu, kau menyatakan cinta kepadaku. Kau mengatakan bahwa akulah sang Juliet itu, yang rela
membuatmu meminum racun tanpa pikir panjang andai saja aku mati lebih dulu darimu. Tapi di hari itu
juga, aku menegaskan kepadamu, aku bukanlah Juliet itu, dan kau juga bukanlah Romeo. Mungkin kau
rela meminum racun demi menyusulku ke alam baka. Tapi aku tak tahu, apakah aku sanggup untuk
menghunuskan belati ke tubuhku andai saja kau yang mati lebih dulu. Tapi kau masih gigih
meyakinkanku. Dan aku luluh.

Hari-hari kita lewati berdua dengan gembira meskipun rutinitas kita itu-itu saja. Pagi kau selalu
membangunkanku lewat dering telponmu, siangnya kau mengantarkanku ke tempat aku kerja dan kau
juga duduk di sana sambil membuka laptopmu dan mulai menulis untuk kau kirim-kirimkan ke media-
media, di waktu senggangku kita saling bertukar cerita sampai larut malam kau mengantarkanku pulang
ke kostanku. Selama hampir empat tahun bersama, hampir setiap hari rutinitas kita itu-itu saja. Mungkin
hanya saat aku libur saja kita bisa berpergian ke tempat-tempat yang belum pernah kita singgahi
sebelumnya dan menghabiskan waktu berdua di sana. Tapi itu tidak sering.

Romi, aku merindukanmu. Semoga saja kau tahu itu. Andai kau tak pergi begitu saja, mungkin
bulan depan kau akan memberikan kejutan kapadaku, mungkin berupa sekotak coklat atau seikat
bunga. Tapi mengapa kau harus pergi, Romi? Aku sangat menantikan kejutan darimu. Bukankah semua
perempuan menyukai kejutan jika itu dari pasangannya, Rom? Lalu mengapa untuk hari jadi hubungan
kita yang keempat ini kau tidak lagi memberikannya kepadaku? Aku selalu menyukai kejutan darimu,
Rom. Aku masih mengingat semua kejutan yang kau berikan kepadaku, di hari ulang tahunku. Tak
pernah bisa aku melupakan itu, karena aku menyukainya, Rom. Di hari ulang tahunku yang ke 23,
sebulan sebelum hari jadian kita. Sepulangnya aku kerja kau mengajakku ke rumahmu. Dan itu hari
pertama aku datang kerumahmu dan berkenalan dengan orang tuamu. Aku makan malam di rumahmu
di sebuah meja makan yang berisikan masakan-masakan Ibumu, yang membuatku terharu karena sudah
lama aku tak merasakan kehangatan keluarga yang seperti ini sebab aku hidup jauh dari orang tuaku.
Setelah makan kita duduk berdua di ruang tamu dan kau menceritakan sebuah puisi yang baru saja kau
tulis. Ditengah-tengah obrolan kita, kau dipanggil Ibumu. Entah apa yang terjadi, aku mendengar
bahwasanya Ibumu tak menyukaiku. Mendengar itu, dadaku menjadi sesak. Kau berdebat panjang lebar
dengan Ibu dan Ayahmu. Kau mengatakan kau sangat mencintaiku, tapi Ayah dan Ibumu tidak
menyukaiku. Aku hanya bisa melamun kosong mendengarkannya. Sampai suara pirin pecah itu
memecah lamunanku. Sontak aku langsung berlari menyuslmu, entah apa yang telah terjadi kepadamu,
pikirku. Namun, tak disangka, bukannya aku menemukan sebuah keluarga yang hancur karenaku, aku
malah melihat sebuah kue ulang tahun dan ruangan yang tadinya kosong kini sudah berhiaskan balon-
balon dan sebuah tulisan di dinding “Selamat ulang tahun, Julia. Kekasihku”. Dan malam itu, menjadi
malam yang paling berbahagia dalam hidupku.

Di hari ulang tahunku yang ke 24, kembali aku tak menyadari bahwa kau akan memberikan aku
sebuah kejutan. Hari itu, tak ada dering telpon darimu yang membangunkanku. Tak ada juga kau
mengantarkanku pergi kerja. Tak ada juga kau berkunjung ke kafe itu. Kau beralasan bahwasanya kau
banyak kerjaan, sebuah media menyewamu untuk membuat sebuah tulisan di website-nya. Aku tidak
berharap banyak untuk malam nanti, apakah kau akan datang menyemputku atau tidak. Tapi aku juga
tidak berharap bahwasanya setiap ojek online yang aku pesan, membatalkan pesananku. Dan aku tak
tahu harus pulang dengan apa. Kau juga tidak bisa aku hubungi. Malam semakin larut, aku sudah tidak
ingat lagi bahwasanya hari itu adalah hari ulang tahunku. Aku hanya memikirkan bagaimana cara aku
pulang. Cukup lama berpikir, aku menyerah. Hanya tangisan yang bisa aku hasilkan. Anehnya, tak
seorangpun yang datang untuk menenagkan. Tapi aku masih belum sadar, bahwa ini adalah skenariomu.
Tiba-tiba lampu kafe mati. Lengkap sudah penderitaanku hari ini. Aku hanya bisa diam dan pasrah.
Sampai lampu itu menyala, kau sudah berada di depanku dengan sebuah kue di tangan dan pegawai-
pegawai kafe yang lain memegang balon.

Di hari ulang tahunku ke 25, kau memberikanku kejutan yang tak akan pernah bisa aku lupakan.
Malam yang begitu menyenangkan sampai aku lupa siapa diriku yang sebenarnya. Tak seperti hari-hari
sebelumnya, hari itu kau tak langsung pergi setelah mengantarkanku ke kost. Kau memilih untuk meng-
iyakan ajakanku untuk singgah. Padahal di hari-hari sebelumnya ajakanku hanya kau abaikan saja. Aku
tak sadar kau akan memberikanku kejutan itu. Sampailah jam dinding menunjukan pukul dua belas
tepat. Lampu kamarku mati, dan sebuah bisikan terdengar di telingaku “Selamat ulang tahun sayang”
dan aku tahu itu suaramu. Malam yang dingin menjadi hangat karna pelukan yang erat darimu. Aku tak
tahu, apa yang aku rasakan hari itu, yang jelas paginya bukan lagi dering telpon yang membangunkanku,
tapi kecupan hangat di keningku yang itu asalnya darimu.

Di hari ulang tahunku yang ke 26. Tepat di malam itu, kau tidak seperti biasanya. Kali ini kau
tidak mengiyakan ajakanku untuk singgah ke kostanku. Padahal hari-hari sebelumnya kita selalu
menghabiskan malam berdua di kostanku. Tapi hari ini sepertinya berbeda. Aku menyadarinya kali ini,
Rom. Kau akan memberikanku sebuah kejutan. Tapi, sebelum kau memberikanku kejutan, aku yang
akan memberikanmu kejutan terlebih dahulu. Setelah jam dinding menunjukan pukul dua belas tepat,
tepat saja pikirku, ada yang menggedor-gedor pintu kostku. Aku tahu itu kau, Rom. Langsung saja aku
menjalankan skenarioku. Dengan sebuah botol pembersih lantai di tangan aku berbaring seperti orang
yang keracunan dan pura-pura mati. Dengan maksud untuk menggagalkan kejutanmu dan aku yang
akan memberikanmu kejutan di malam ini.

Cukup lama aku terbaring, hingga akhirnya sebuah dobrakan keras menghantam pintu kosku
dan pintu terbuka. Betul tebakanku, itu kau, Rom. Dengan sebuah kue di tangan. Aku menyaksikan kau
terdiam melihat tubuhku yang tergeletak dari sela-sela kecil mataku yang sedikit terbuka. Aku
mendengar kau berteriak minta tolong, tapi tak ada yang mengindahkan teriakanmu. Aku tak tahu apa
yang ada dipikiranmu, malam itu. Sesaat setelah kau mengatakan “Aku mencintaimu, Julia” kau
meneguk botol pembersih lantai itu seperti segelas wine dan kau pun terkapar. Sudah sekuat tenaga aku
berteriak minta tolong, tapi tak ada yang mengindahkanku. Aku menyaksikan busa-busa keluar satu
persatu dari mulutmu. Dan aku mendengar kata-kata terakhirmu “Kau julietku”.

Kau tahu, Rom? Akhirnya keraguanku terjawab. Aku memang bukan julietmu. Aku tak sanggup
menghunuskan mata pisau itu ke tubuhku. Aku hanya bisa menangis setelah itu. Betul yang kau katakan
kepadamu, Romi. Kita bukanlah kisah Romeo dan Juliet.

Hari ini, belum genap sehari setelah kepergianmu, aku menulis surat ini untukmu. Sebagai
tanda, bahwa aku pernah mencintaimu, Romi.

Anda mungkin juga menyukai