Anda di halaman 1dari 16

Cerpen kompas Juli 2010

Janji Kaci

Jemputlah aku di tikungan ketiga, Kaci. Pukul sebelas, malam Sabtu Pahing nanti.

Kalau kamu datang, tunggu aku di bawah pohon cemara. Aku sudah membuat janji untuk
menginap di Gang Bakwan. Kamu ingat? Mak Kus, pemilik rumah yang baik hati itu akan
menyiapkan segalanya. Tak perlu berlama-lama, kamu bisa pulang pada pagi kemudian. Setelah
itu, kamu memiliki janjiku. Janji yang terakhir.

***

Kaci,
Sudah dua Sabtu Pahing aku menunggumu di tikungan ketiga, di bawah pohon cemara.
Menggigil dan sendirian. Tujuh batang rokok kuhabiskan sembari berharap sosokmu muncul dari
balik belokan, tetapi pada batang ketujuh, aku tahu, kamu tak akan muncul. Sia-sia saja
menunggu. Maka aku akan pulang dalam diam, dan tertidur lepas subuh di sofa merah ruang
tamu. Sementara teman-temanku yang lain menari dalam kamar dengan mereka yang telah
menambatkan tali di tubuhnya. Diam-diam, aku masih menunggumu. Kamu tak pernah datang.
Ke bawah pohon cemara tempat kita biasa duduk di pelipiran jalan, atau ke ruang tamu
pondokanku.

Surat itu kuselipkan di bawah pot bunga di samping wastafel Restoran Miraza lantai 1 yang
tersembunyi. Di situ, janjimu, kita bertukar pesan. Atau sajak. Sebab katamu, kamu lebih suka
membaca gurat tanganku yang rahasia, ketimbang membaca pesan pendekku di ponselmu yang
sulit dirahasiakan. Atas nama rahasia pula, surat-suratmu kutitipkan pada sebuah kotak sepatu
tua dan kusembunyikan rukut dalam lemari plastik. Tahukah kamu, kotak sepatu itu sudah
hampir buncah, sebab kita bersurat tanpa jeda. Sampai kau berhenti muncul di restoran. Atau
tepatnya, berhenti memeriksa pot bunga yang letaknya tersembunyi itu. Aku tahu, sesekali kamu
masih datang ketika aku tak ada.

Ah, aku tahu, tak sepantasnya aku besar kepala, meskipun kamu bisa membawaku ke restoran
yang jaraknya hanya 12 kilometer dari pondokanku itu. Kebanyakan laki-laki yang datang
padaku hanya ingin lubang senang, bukan cinta. Tetapi aku telah telanjur memaknai rumah
makan besar di lereng Pandaan itu sebagai tempat rendez-vous. Barangkali karena bagiku kamu
berbeda dengan penambat yang lain. Sebab rasanya, bukan tubuhku yang ingin kau ikat. Ada
yang lebih dari itu. Sebab itulah aku desak diriku untuk bertanya.

Tapi sejak itu kamu tak lagi muncul dan menjemputku dari sofa merah pondokanku. Apakah
karena aku telah lancang bertanya? Apa perempuan seperti aku tidak punya hak untuk
mencintai? Percakapan di senja layu itu berakhir dengan diam. Kamu ranggas dan mengeras,
seperti batu. Lalu lenyap sama sekali. Mama Tien sudah bosan bertanya tentang kamu, sebab tak
pernah kugubris. Akhir-akhir ini, ia bahkan bersikap judes padaku. Sebab aku sudah enggan
berias. Meski dengan wajah natural pun orang-orang tetap menganggapku primadona
Pesanggrahan.

Kaci,
Aku tahu kamu membaca suratku. Aku tahu kamu perlu waktu untuk berpikir. Tapi Sabtu depan
adalah Sabtu Pahing terakhir yang bisa kuberikan. Aku tak bisa menunggu selamanya. Mama
Tien mengancam akan memotong bagianku dua kali lipat lebih besar, kalau aku terus-terusan
keluar ketika malam sedang ramai. Lagipula, ia mungkin takut aku akan lari. Aku bukan orang
kaya, Kaci. Aku masih punya mimpi untuk membangun sebuah rumah batu di Jember sana.
Berangan-angan bisa memensiunkan emak-bapakku dari ladang orang. Biarlah mereka hidup
enak. Biar aku saja yang bekerja. Bukankah aku pernah bercerita?

Maka, Kaci, jemputlah aku di tikungan ketiga, di bawah pohon cemara. Setelah itu kita bisa
pergi. Tidak ke rumah dengan sofa merah itu. Tidak juga ke kota, sebab aku tak berniat lari. Tapi
ke sebuah kamar hangat di Gang Bakwan, yang sudah kupesan dan kubayar lunas. Sedikit orang
mungkin hadir untuk mengesahkan perjanjian kita. Tapi selebihnya, kita sendirian. Seperti biasa.
Kamu boleh memilikiku sepenuhnya.

***

Jumat legi terakhir. Semua sudah rapi kusiapkan. Entah kenapa aku bisa begitu yakin, kamu akan
datang. Sebelum adzan Jumat selesai sikumandangkan, aku sudah terjaga, lebih awal dari biasa,
dan buru-buru turun ke Gang Bakwan.

“Apa kamu yakin, dia pasti datang?” tanya Mak Kus setelah tawanya habis, ketika aku tergopoh-
gopoh datang padanya untuk memastikan. Rencana ini memang kususun bersama Mak Kus.
Hanya dengannya aku berani bercerita. Dulu, Mak Kus sama sepertiku, tak seperti Mama Tien
yang judes dan pandai berhitung. Karena itu ia bisa memahamiku.

Aku mengangguk. Mak Kus barangkali menangkap kecemasan berkilat di wajahku.

“Sudah ada ojek yang njemput Pak Ma’ruf?” pertanyaan perempuan gemuk yang baik hati itu
membuatku tercekat. Bukan karena aku alpa mengatur rencana. Tapi oleh angin dingin yang
tiba-tiba menghantam tubuhku. Memerihkan jantung. Entah kenapa. Barangkali sebab
kedatangan Pak Ma’ruflah yang akan mengesahkan perjanjian terakhirku denganmu.

“Sudah, Bu. Taryo nanti yang pergi. Aku akan bel dia kalau Kaci sudah datang.”

Jam dua belas lewat tengah hari. Setelah menyulut sebatang rokok yang tertinggal di meja, aku
berpamitan.

“Salam untuk Sur, ya Bu. Masih tidur dia?”

Induk semang yang kukunjungi itu mengangguk. Aku beranjak dan melambai. Kurasakan
wajahku merona, entah kenapa?
Aku berbelok ke barat, keluar gang, menyusur jalan raya, dan mendaki ke utara, melewati Hotel
Inna. Hangan masih terus tertinggal di pipiku. Tetapi dingin menyusup dari hutan-hutan jauh.
Kaci, semua sudah siap. Tinggal diriku sendiri yang mesti berkemas.

***

Pukul sebelas kurang lima belas. Susah payah, kujejalkan selembar gaun hitam seharga Rp
250.000,- yang kubeli dari Mama Tien ke dalam tasku. Menurutku, gaun yang harus kucicil
dalam lima kali pembayaran itulah satu-satunya yang layak dijadikan pakaian pengantin. Aku
lalu menyelinap lewat pintu belakang setelah berpamitan dan mencium pipi Mama Tien.
Mukanya sedikit cemberut, karena sedari sore sudah tiga-empat orang yang datang untuk
menemuiku dan kutolak halus-halus, tapi toh diizinkannya aku pergi, setelah kujanjikan akan
membawa upeti esok pagi.

Pukul sebelas tepat, aku sudah duduk di sana, menunggumu di tempat yang dijanjikan.
Jantungku berdegup kencang. Tubuhku menggigil. Sambil menyulut sebatang rokok pertama,
kubayangkan kamu dan perjanjian kita nanti. Kamu akan menjemputku dengan sedan 80-an yang
aroma kabinnya kuingat betul. Setelah itu, kita mampir di toko Pak Sokeh untuk menjawil Taryo.
Biasanya ia menunggu ojekan di sana. Aku akan memintanya menjemput Pak Ma’ruf di Kalisat.
Perjalanan Prigen-Kalisat-Prigen dengan kecepatan sedang di malam hari makan waktu kurang
lebih satu setengah jam. Sembari menunggu penghulu yang biasa menikahkan pasangan kawin
siri itu dijemput, kita bisa duduk-duduk di depan Hotel Surya, menikmati jagung bakar dan
seseruputan angsle panas, merokok dan mengobrol. Aku akan bertanya, ke mana saja kamu
selama ini? Apa kamu enggak kangen sama aku? Dan kamu akan tersenyum tipis seraya
meremas jariku. Itu adalah isyaratmu kalau sedang ingin menciumku.

Kusulut batang rokok ketigaku. Malam menjadi. Di jalan, mobil lalu lalang. Sesaat, aku seperti
melihat mobilmu, tapi kalau toh benar kamu pasti berhenti dan menjemputku. Kuembus asap
kuat-kuat ke udara. Kamu mungkin terlambat, tapi pasti datang. Sesuatu di perutku meloncat
girang, seperti kupu yang menggeliat dari kepompongnya.

Pukul satu, kita akan berkumpul di Gang Bakwan, di dalam kamar hangat yang telah kupesan
dan kubayar lunas. Aku dan kamu, Mak Kus, Pak Ma’ruf, dan Suryani. Aku akan menyalin
bajuku dengan gaun yang kubawa, dan membaiki riasan yang luntur disapu angin malam.
Sementara Mak Kus dan Suryani membawakan kerudung, peci, dan kitab suci. Gemetar, kuraba
uang dalam amplop yang kusimpan baik di dalam tasku. Tujuh ratus ribu. Biaya perkawinan kita,
lengkap dengan buku nikah yang nyaris tak beda dengan yang asli.

Ya, Kaci. Bukankah sudah kukatakan kepadamu, aku ingin menikah? Tak perlu takut kena
penyakit kelamin, sebab aku disiplin dengan kondom, dan dua kali seminggu pergi suntik ke
Puskesmas Pandaan. Aku juga tak akan banyak menuntut seperti lazimnya istri-istri yang lain.
Toh kamu sendiri sudah punya istri. Hati kecilku tak pelak berharap kamu akan membawaku
pergi dari rumah bersofa merah terang itu, untuk menetap di rumah kecil yang hanya terbuka
untuk tamu baik-baik, tapi jika itu terlampau muluk-muluk, aku bisa tinggal di sini saja. tetap
dengan mimpiku membangun rumah batu di Jember sana dan memensiunkan emak-bapakku dari
ladang orang. Bagiku, menikah denganmu saja sudah cukup.
Cepatlah datang dan jemput aku, Kaci. Malam hampir berakhir. Aku tak sabar lagi.

***

Pukul dua. Mobil mengalir tak sederas tadi; kini mereka parkir di vila-vila. Kamu tetap saja tak
ada. Mulutku asam dan berliur menahan lapar dan dingin. Di mana kamu? Aku tak seberapa
peduli pada lapar, kita bisa makan bersama, nanti. Tapi kenapa kamu belum juga datang? Bulu
kudukku berdiri. Angin menusuk. Di langit timur, kembang api mulai menyalak. Orang-orang
berpesta. Malam ini malam Minggu extravaganza.

Aku belum ingin menyerah, Kaci. Tapi aku kedinginan tanpa kamu.

***

Dekat jam tiga pagi. Jalanan sepi, sudah terlampau larut. Kubuang gaun pengantinku jauh ke
jurang, sebelum berjalan mendaki ke Gang Sono. Malam ini kuputuskan untuk pulang ke Gang
Bakwan, ke kamar kosong yang sudah kupesan. Aku bisa main kartu sendirian di sana. Atau
bersama Suryani, kalau dia tak sedang ada tamu. Kalau ada penambat yang kelihatan cukup
berduit, barangkali aku akan berubah pikiran. Satu-dua lelaki saja cukup. Lumayan untuk
menyaur upeti pada Mama Tien besok pagi. Sembari tersengal, kusulut rokok terakhirku.

Aku berbelok ke toko Pak Sokeh untuk membeli minuman dan rokok. Ada duit tujuh ratus ribu
menganggur di dalam tasku. Malam ini aku bisa foya-foya. Di tikungan, sepasang manusia
setengah teler keluar dari rumah biliar di sebelah toko. Berangkulan, berciuman. Aku merasa
mengenal salah satu dari kedua orang itu, maka aku berhenti sejenak untuk memerhatikan
mereka. Sepasang manusia itu masih tertawa-tawa.

”Darsih!” si perempuan memanggilku. Misye, pesolek Gang Sono yang terkenal pandai merayu.
Aku melambai dan tersenyum tipis.

”Hei, ‘lemu’, Sye?” Ya. Tentu. Aku tahu benar, laki-laki itu cukup gemuk dompetnya, Misye.
Bersenang-senanglah kamu malam ini. Misye tertawa genit sambil menggamit lengan si lelaki.

Lelaki berkemeja hitam yang masih memandangku dengan wajah putih.

Ya. Itu memang kamu, Kaci. Tapi aku tak lagi mengenalmu.

Kubuang puntung rokokku yang masih setengah ke tanah. Sebelum kembali berjalan menuju
toko Pak Sokeh, tanpa menoleh lagi.

Ditulis oleh tukang kliping

4 Juli 2010 pada 06:44

Dikaitkatakan dengan Miranda


Ooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooo

Perempuan dalam baju zirah


Semua hampir sama seperti dulu sebelum kau pergi ke Cina untuk menghadiri Kongres
Perempuan Internasional itu. Kepergian yang tanpa meninggalkan pesan apa pun dan
membuatku menunggu dalam pertanyaan sampai bertahun-tahun kemudian. Hingga aku paham,
kenapa beberapa hari sebelum pergi, kau selalu memandangku dalam dengan raut wajah muram.
Kau sebenarnya tak tahu pasti, kapan akan kembali.

Konon waktu akan mampu mengurai segalanya, membuat air keruh menjadi kembali bening.
Namun saat ini waktu gagal mengurai kepedihanku padamu. Malah membuatku berkhianat pada
janji untuk tidak menemuimu lagi sampai mati. Tapi, rasanya terlalu berat bagiku menafikan
kesempatan melihat wajahmu sedekat sekarang. Walau tidak lagi sesegar dulu, namun sorot mata
tajam dan cemerlang itu sepertinya tak pernah bisa kulupakan.

Ingatanku seolah segar kembali menoleh ke belasan tahun lalu, sewaktu penguasa paling lama di
negeri ini jatuh. Kita pernah sama-sama dilempar ke dalam truk polisi karena dianggap menolak
dan berkata tidak pada kekuasaan. Setelah peristiwa itu aku sudi lagi turun ke jalan berurusan
dengan tongkat pemukul dan sepatu laras yang membuat pinggangku memar berhari-hari. Waktu
itu kau juga mengurusi pinggangku. Sempat malu juga aku diuruti olehmu dengan setengah
telanjang di antara kawan lain menyoraki kita di markas polisi. Untungnya hanya 24 jam kita
diinterogasi. Mereka belum punya cukup alasan menahan lebih lama.

Mungkin lebih tepatnya telah pusing mengurusi kita. Mereja seolah dipekerjakan dalam
kantornya sendiri. Direpotkan dengan mengurusi makan minum kita. Sudah begitu masih
ditambah mendengarkan omongan sekenanya pula. Menambah pekerjaan bila saja menahan
lama-lama mungkin pikir mereka.

Setelah peristiwa itu kau masih kuperhatikan tetap rajin dalam aksi-aksi selanjutnya. Masih
kokoh merapat dalam barisan. Masih berteriak sambil mengepalkan tinju. Dan tetap lantang
menyanyikan mars pembangkan ketidakadilan para penguasa; kita pasti menang!

Kadang aku menerka-nerka, betulkan kau waktu itu bicara atas nama orang-orang kalah, bukan
karena gelisah mencari jati diri. Bila saja sempat kutanyakan hal ini padamu, pasti matamu
seolah keluar dari kelopaknya, lali dengan ganas menyerangku sambil mengutip kalimat Mark
sampai Andre Gunder Frank. Sumpah, kadang aku suka pada bagian dirimu itu. Berapi-api dan
gagah. Pantas saja kau sering mendapat tugas sebagai koorlap sewaktu aksi. Kau seperti Yeni
Rosa Damayanti, anak tentara yang menolak jika penderitaannya dalam penjara terlalu
dibesarkan dan mengaku malu pada kawan lain yang telah menyerahkan nyawa untuk
perjuangan ini.

“Aku hanya perempuan biasa yang mencoba membuktikan bahwa sekarang ini adalah abad
perempuan. Juga berusaha dengan cara apa pun agar kami tidak hanya dipandang seperti sekerat
daging,” katamu dengan nada tinggi.
Lalu aku pasti akan terburu mengiyakan, khawatir kalimatmu kepanjangan. Bila tidak, kau pasti
dengan sukacita siap berperang kata denganku. Bisa hancur berantakan pertemanan kita bila
kuladeni segala keberangasanmu itu. Padahal paling tidak, perlu waktu satu bulan berjauhan
sebelum kita saling menyapa lagi.

Kau memang tipe perempuan yang mengandalkan mulut besar. Aku paham itu. Tak mungkin
rasanya kau bisa terlibat dalam organisasi kampus, LSM, dan organisasi lain di masyarakat bila
hanya mengandalkan bicara dan bentuk fisikmu yang cantik. Tak ada suatu hasil terbaik tanpa
konkret diperjuangkan, no pain no gain! ujarmu.

Wajahmu terlihat bersemangat ketika bercerita tentang seorang Nadine Gordimer, perempuan
kulit putih pemenang Nobel Sastra dari negara Nelson Mandela, yang gelisah melihat
ketidakadilan kaumnya pada penduduk asli Afrika Selatan. Dia menghantam apartheid dalam
novel-novelnya sehingga ia kemudian harus rela kerap terjaga tengah malam karena
pengerebekan keamanan setempat untuk ditahan. Hal yang seharusnya tidak ia alami bila hanya
menulis novel biasa tanpa menyinggung apartheid.

Mungkin kegelisahan semacam itu yang membuatmu tabah menyusuri perkampungan dan gang
kumuh kota ini untuk membagi-bagikan kondom gratis. Hal yang membuat para pekerja seks dan
preman di sekitar kawasan Stasiun Tugu dan Malioboro akrab menyapamu mbak kondom.
Sering kali mereka berani tanpa sungkan menggodamu dengan anekdot jorok sebab tahu kau
pasti tak akan marah.

Pada awalnya mereka memang penuh curiga padamu dan memperlakukan mu dengan kurang
baik. Ada yang menyindir, bahkan sontak mengungkapkan keberatan atas kedatanganmu. Lebih
jauh lagi, sempat kau juga mengalami pelecehan di kawasan ini. Namun, pada akhirnya mereka
luluh juga dengan semangat pantang menyerahmu. Lagi pula kau memang tulus pada orang
semacam mereka. Rasanya tidak sulit bagi orang-orang di sana menyadari bahwa sesuatu yang
dari hati akan sampai ke hati.

Beberapa pengalaman mereka sering kali kau bagi padaku saat kita punya kesempatan
menghabiskan waktu di pinggiran pantai berdua. Tentang seorang anak perempuan belasan tahun
yang dijual ibunya, atau bagaiman cara perempuan di sana yang sukses menghabiskan uang
tamunya, para lelaki tua yang sebetulnya sangat pelit pada anak-istrinya. Kita lalu tertawa bila
pada episode lucu, dan meringis pada episode yang tragis.

“Mereka, bagaimanapun adalah guruku. Orang-orang yang gagah berani hidup sekaligus berani
mati. Kau pasti masih ingat Chairil pernah terpesona pada orang macam mereka,” katamu
memukauku di sela suara gemuruh ombak Parangtritis menjelang gelap.

“Ya benar, penyair pemberontak itu pernah memang memngungkapkannya, ‘Aku suka pada
mereka yang berani hidup!’ itu kan maksudmu?” ujarku menimpali.

Bila bicaramu sudah seperti ini, maka pasti kutanggapi dengan serius karena saat seperti inilah
kau terlihat begitu indah. Entah kenapa aku suka saat engkau bicara tentant Tagore sampai
tentang seorang Umbu Landu Paranggi, sastrawan yang menggauli setiap sudut di Malioboro dan
membikin sekelompok pedagang kaki lima, gali, dan tentu saja seniman jalanannya akrab pada
puisi. Katamu, dia memang pantas disebut presiden Maliioboro. Apa yang ia lakukan mirip
karakter Robin Williams dalam film Dead Poet Society, seorang guru yang membuat murid-
muridnya menggilai puisi.

Puisi juga kadang bisa membuatmu bertingkah gila. Seperti waktu kau ajak beberapa kawan
melakukan aksi dadakan di depan sebuah gedung pertunjukan. Waktu itu almarhum Rendra akan
membaca karya-karyanya dalam Disebabkan oleh Angin. Kau tuding tokoh ini menjual
idealismenya dan berpihak pada golongan kaya karena harga tiket yang melambung, di luar
jangkauan mahasiswa kere macam kita ini. Aku tahu pasti, sebenarnya itu adalah akal-akalanmu
saja yang sedang bokek namun memaksakan diri untuk menonton.

Aku heran kenap masih bisa mengingat begitu banyak hal konyol dalam dirimu. Mungkin kau
memang kawan perempuan paling aneh yang pernah kutemui. Yang selalu ingin mengemudikan
motor bila kita pergi berdua. Yang mengajariku berpuisi tentant Tuhan, sementara bulir arak
terserak di seputar bibir kita. Mungkin kau membayangkan saat itu serasa bagai seorang
Abunawas, hedonis yang berputar arah menjadi seorang sufi lalu membuat syair menggetarkan
dalam Al I’tiraf. Atau seperti Sutardji Calzoum Bahri yang bersyair tentang Tuhan dengan mulut
penuh busa bir.

“Aku mungkin brengsek, namun bukan seorang ateis,” ujarmu sambil melempar botol dari
tanganmu ke tengah laut.

Sekarang, setelah belasan tahun berlalu. Kekuasaan negeri ini pun sudah beberapa kali berganti.
Kurasa segala kebadungan, kebrengsekan, dan kenekatanmu pasti sudah banyak berkurang.
Berubah seperti juga banyak kawan seperjuangan kita dulu pun berubah. Sebagian ada di partai,
sebagian memakan mentah-mentah apa yang dulu mereka maki-maki, dan sisanya tak punya
cukup alasan lagi untuk tetap berjuang.

Tapi, kuyakin kau dalam hal ini masih tetap seorang pemberontak. Seperti kuduga sebelumnya,
sikapmu memilih tinggal di luar Jawa sebenarnya bukan sekedar mencari suasana baru. Mesti
banyak hal kau lakukan di sana.

“Setelah dari Cina, selama bertahun-tahun aku hidup seperti hippies. Berkeliling ke beberapa
negara di Eropa sana. Bergabung dengan Amnesti Internasional, ikut program Greenpeace.
Berteriak sebebasnya, melakukan semua yang kuingin, sampai kemudian aku rindu pulang dan
menyadari bahwa tempatku memanglah bukan di sana. Alangkah bodohnya aku jika
meninggalkan negeri yang sering membuat iri bangsa-bangsa lain ini,” dengan datar kau
bercerita.

Agak lama kita kemudian terdiam tanpa kata-kata. Masing-masing terdiam dalam benaknya
sendiri. “Lalu sebenarnya apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku agak kaku. Sebenarnta kalimat
itu terdengar terlalu kaku untuk kedekatan kita, terutama setelah lama tidak bertemu.

“Aku ada acara di Jakarta. Kawan-kawan Walhi mengundangku menjadi pembicara mengenai
eksploitasi alam di Borneo. Kupikir, sepertinya ada sesuatu yang belum selesai denganmu,
setelah tahu kau ada di Bandung, kusempatkan mampir menemuimu sebelum terus ke Jakarta,”
perlahan sekali kau bertutur.

Kita terdiam lagi beberapa waktu. Belum sempat kukatakan sesuatu, kau menyambung lagi
kalimatmu.

“Seperti yang kubilang, aku memang bukanlah orang taat. Hanya saja pernah seorang kyai
berkata padaku bahwa satu hikmah yang terdapat dalam beberapa ritual keagamaan kita adalah
silaturahmi. Orang yang berkali-kali pergi haji, dan selalu bersujud srta membaca kitab suci,
belum tentu baik di mata-Nya bila hubungan dengan sesamanya buruk. Itulah yang membawaku
kemari. Jadi, maukan kau memaafkanku?”

Ya ampun. Alangkah hebatnya perempuan ini. Untuk kesekian kalinya ia mengajariku tentang
memaafkan dan kelapangan hati. Tanpa mengindahkan beberapa pasangan yang juga sedang
berdua di pantai itu, kugenggam tangannya dan berbisik dekat sekali di telinganya, seharusnya
aku yang pertama memaafkanmu, bukan menunggumu untuk mengatakannya.

Cianjur, 5 April 2010.

Ditulis oleh tukang kliping

11 Juli 2010 pada 12:16

Dikaitkatakan dengan Trudonahu Abdurrahman Raffles

Ooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooo

Sonya ruri
Mendengar isak tangisnya, aku terhisap memasuki lorong panjang, penuh kelokan. Pada setiap
tikungan, aku menemukan jejak luka yang dalam. Aku tak ingin mencari sebab di balik matanya
yang sembab. Aku sangat menghormati keputusannya untuk menangis, di antara detak jarum jam
yang menikam dan mengiris.

Air matanya begitu indah: mengalir berbulir-bulir penuh cahaya serupa permata. Aku ingin
memunguti dan menguntainya menjadi kalung dan mengenakan di leher jenjang perempuan itu.
Siapa tahu, kalung air mata itu dapat sedikit menghiburnya? Tapi niatku yang baru saja kuhunus
itu pupus. Ia tiba-tiba menatapku sambil mengucap lirih, “Kamu masih mendengar tangisku?”

Tentu saja aku mengangguk. Dengan lirih kukatakan bahwa aku memang telah menyiapkan
waktuku, perasaanku, dan seluruh dalam diriku hanya untuk mendengarkan tangisnya. Dia
tersenyum. Tatapan matanya menunjukkan dirinya lega dan dia pun meneruskan tangisnya.

Mendengarkan tangisnya yang panjang dan menyayat, aku menduga dia sangat terlatih menangis
atau setidaknya dia punya pengalaman yang panjang dalam soal tangis-menangis. Tentu saja,
dugaanku itu sama sekali tak berhubungan dengan dirinya yang perempuan. Tangis bukan hanya
milik perempuan, tapi juga laki-laki.

Aku juga sama sekali tidak menganggap ia cengeng, apalagi menghubungkannya dengan raut
wajahnya yang sendu dan melankolis. Bagiku ia menangis karena memang harus menangis.
Tidak setiap tangisan punya alasan. Karena itu, aku tetap kukuh untuk tidak bertanya kenapa dan
untuk apa dia menangis. Kupikir itu tidak sopan.

“Kamu tidak ingin tahu kenapa aku menangis?” ujarnya lirih.

Aku menggeleng. Dia memberikan tatapan yang mengambang. Mungkin aku dianggapnya aneh
dan berbeda dengan banyak laki-laki lain yang selalu ingin tahu alasan seorang perempuan
menangis. Lalu, laki-laki itu mencoba menjadi tukang pemberi nasihat dengan kata-kata yang
gagah dan gemerlap, namun setelah itu menyatakan jatuh cinta. Simpati seperti itu, kupikir, tak
lebih dari jebakan.

“Kamu tidak ingin tahu, kenapa aku menangis?”

Aku tersentak, namun cepat-cepat menguasai diri dengan mengambil nafas dalam dan panjang.
Kegugupan mendorongku untuk menghunus sebatang rokok dan menyulutnya. Kuhisap rokok
itu kuat-kuat dan kuhembuskan asapnya.

Aku tak berani menatap wajahnya. Aku memilih menyapu pandangan pada botol-botol bir yang
kosong, pada gelas-gelas yang menganga, atau cawan berisi kacang goreng. Aku merasa
kecanggungan itu mencair ketika perempuan pelayan kafe datang dan mengangkat botol-botol
itu. Tanpa berpikir panjang, kupesan dua botol bir dan satu porsi kentang goreng. Perempuan
pelayan itu cepat melesat setelah pesananku dicatat. Kurasakan suasana canggung kembali
mengurung.

Musik blues mengelus ruangan. Seorang penyanyi berambut coklat mengalunkan lagu. Irama
dan suaranya menjelma sembilu.

“Apa bagimu kisah perempuan selalu membosankan?”

Kembali ia menohokku. Hatiku merasa tersodok. Aku sulit menjawab. Kurasakan aku gagal
menyusun setiap kalimat atau suaraku seperti tercekat di tenggorokan.

“Aku selalu tertarik pada kisah-kisah perempuan. Namun, aku tidak bisa memaksa setiap
perempuan untuk menceritakan. Apalagi kita saling kenal belum cukup lama.”

“Bagaimana kalau aku yang bercerita, tanpa kamu merasa bersalah untuk mendengarnya?”

“Tapi aku lebih suka mendengar tangismu.”

“Kenapa? Kamu merasa terhibur?”


“Bukan. Bukan. Jangan salah paham.”

“Lalu, kenapa? Bukankah umumnya setiap orang menangis? Apa istimewanya tangisku?”

“Tangismu sangat indah….”

Dia diam. Aku tak tahu perasaan apa yang kini mengaduk-aduk hatinya. Aku sangat khawatir,
ucapanku tadi menyakiti hatinya.

Pelan-pelan ia menyeka air matanya, dengan sapu tangan kecil.

“Aku sudah sangat lelah menangis. Aku telah menangis sepanjang waktu, sepanjang usiaku….”

Suara penyanyi yang menyayat, tiba-tiba menerobos, lalu pelan-pelan menghilang diringkus
kesunyian malam.

Tanpa kutanya, perempuan itu bercerita. Pertama kali dia menangis dengan perasaan terluka
sangat dalam ketika dia masih tumbuh remaja. Waktu itu, seorang laki-laki setengah baya—yang
telah dianggapnya sebagai orang tuanya sendiri—menggagahi tubuhnya. Tangis dalamnya yang
kedua adalah, ketika semasa mahasiswa: seorang laki-laki mencoba memerkosanya. Tangis
ketiganya pecah ketika ia dilecehkan secara seksual oleh seorang laki-laki, bos dari sebuah
perusahaan, tempat ia melamar pekerjaan. Tangis keempat, tangis kedua puluh lima, tangis
keseratus satu… ah dia sudah tidak ingat.

“Aku sebenarnya ingin mengakhiri tangisan hidupku. Ya, malam ini, ketika bersamamu.”

Darahku berdesir. Degub jantungku meningkat cepat.

“Kenapa harus bersamaku? Apa istimewanya diriku?”

“Kamu pendengar yang baik. Entah kenapa, aku merasa aman dan nyaman. O ya, meskipun kita
baru seminggu ini saling kenal, aku merasakan kita sudah bersahabat sangat lama.”

Aku merasa sedikit tersanjung, meskipun mungkin baginya aku ini tak lebih dari keranjang
sampah yang baik dan santun.

“Tapi, ternyata kamu ini laki-laki paling aneh sepanjang yang kutemui dalam hidupku. Kamu tak
pernah ingin tahu apa alasanku menangis? Aku merasakan tangisanku ini sia-sia….” Kembali dia
“menyerangku”.

Darahku kembali berdesir. Beban rasa bersalah mendadak menindihku. Aku menenggak bir
langsung dari botolnya. Namun dingin bir itu kurasakan tak bertenaga meredam gebalau galau
dalam hatiku.

“Aku baru saja cerai dengan suamiku,” ucapnya tiba-tiba.


Aku tersentak, tapi aku tak kuasa untuk mencari sebab. Aku hanya berani menebak-nebak dalam
benak. Mungkin, dia merasa dikhianati suaminya yang berselingkuh dengan wanita lain. Atau,
justru dirinya yang meninggalkan suaminya karena tertarik pada pria lain? Atau alasan klise
lainnya. Aku sama sekali tak tertarik mengusutnya.

“Sekarang aku tinggal sendirian. Kebetulan, kami belum dikaruniai anak, meskipun kami telah
berumah tangga selama hampir empat tahun.” Perempuan itu berbicara dengan pasti, tanpa
emosi. Aku heran, kenapa kini dia tidak menangis?

“Aku ingin mengakhiri tangis hidupku malam ini, bersamamu. Kamu tidak keberatan?”

Aku mengangguk.

Malam telah menjelma gelaran kain waktu yang lusuh, mungkin juga basah oleh air mata
perempuan yang sepanjang pertemuan kami tadi selalu menagis. Aku kaget, mendadak ia
menggenggam tanganku kuat-kuat. Aku ingin menariknya, tapi tak kuasa. Kurasakan kehangatan
mengaliri jiwaku. Aku pun pasrah dalam genggamannya.

“Aku pulang dulu. Besok kita bertemu lagi di sini,” bisiknya.

“Kamu tidak keberatan jika aku mengantarmu?” aku memberanikan diri bertanya.

Agak lama dia diam. Menimbang-nimbang, mungkin dengan bimbang. Namun, gumpalan
kecemasanku pun runtuh oleh anggukan kepalanya. Kurasakan sayap-sayap dalam tubuhku
tumbuh.

***

Rumah perempuan yang kukenal bernama Sonya Rury itu terletak di sebuah perbukitan yang
jaraknya sekitar 25 kilometer dari kota. Mobilku pun cepat melesat, mencapai rumahnya yang
mungil tapi indah itu.

Ia menggenggam erat tanganku, membimbingku memasuki ruang tamu. Ketika ia masuk kamar
tidurnya, aku duduk mengatur nafas dan degup jantungku. Saat itu aku baru sadar, aku lelaki
yang miskin petualangan.

Mendadak ia memanggil namaku. Ia memintaku masuk ke kamarnya. Jantungku cepat berdegup.


Aku gugup dan hanya bisa terpaku diam di sofa. Ia mengulangi permintaannya. Kegugupan
membimbing langkahku.

Di kamar yang bercahaya temaram itu, ia berdiri memunggungiku. Hanya separoh tubuh kuning
langsatnya yang dibalut kain. Kutatap tubuhnya lekat-lekat. Namun, perasaanku yang campur-
aduk mendorong niatku untuk berbalik keluar dari kamar. Dia mencegah.

“Kamu tidak melihat punggungku?”


“Ya, punggungmu penuh bekas luka. Bahkan beberapa luka masih tampak baru dan segar…,”
ucapku lirih.

“Kamu ingin tahu, kenapa luka-luka itu terpahat di punggungku?”

Dia memelukku.

“Siapa yang melukaimu?” aku gagap bertanya.

Sonya pun berkisah. Dia bertemu dengan seorang laki-laki yang berwajah menawan di sebuah
kafe. Mereka pun lama berpacaran. Laki-laki itu menyatakan jatuh cinta dan berniat
mengawininya.

“Tapi sebenarnya kami tak pernah menikah…. Maafkan aku telah berbohong di kafe tadi….
Kami hanya kumpul kebo….”

Di bawah ancaman pembunuhan, ternyata laki-laki itu menjual Sonya kepada para
pelanggannya.

“Seluruh pukulannya telah merata dalam tubuhku. Juga sayatan dan tikaman pisau lipat.”

Dengan sukma yang selalu meradang, Sonya terpaksa melayani beberapa laki-laki yang bisa
membayarnya. Setiap malam. Seluruh tubuh dan jiwanya terasa ngilu.

“Tapi aku tak pernah melihat uang hasil keringatku, apalagi memilikinya….”

Sonya nekat berlari.

“Inilah rumah persembunyianku. Liang hidupku….”

Malam telah menyusut, kegelapan pun semakin surut. Angin pagi bertiup memasuki seluruh
ruangan rumah ini, mengusap tubuh Sonya yang penuh luka.

Kutatap wajah Sonya yang tertidur pulas. Mungkin ia sedang menyusun kedamaian dalam
hatinya, di tengah pelarian yang penuh kecemasan.

Aneh, aku merasa telah menjadi bagian dari dunia Sonya yang cemas.

Kulihat mata Sonya tak lagi sembab. Ia telah mengakhiri tangis dalam hidupnya.

Ndalem Tirtonirmolo 2010

Ditulis oleh tukang kliping

18 Juli 2010 pada 20:21


Dikaitkatakan dengan Indra Tranggono

Ooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooo

Kemarau
Barangkali karena hawa panas yang tak mau menguap dari kamar-kamar sempit yang dimuati
tujuh anak. Barangkali lantaran mertua makin cerewet karena gerah. Barangkali karena musim
kemarau terlanjur berkepanjangan, kampung kami menjadi sangat tidak enak setelah bulan Maret
sampai September.

Tak ada yang betah di rumah, dan makin menyusahkan karena tak ada hiburan di luar.
Adakalanya biduanita organ tunggal meliuk-liuk seperti belut sawah di atas panggung berhias
pelepah kelapa di pinggir-pinggir pantai, lebih menyanyikan maksiat daripada lagu. Tapi itu
hanya lama-lama sekali, pun kalau harga timah sedang bagus—yang amat jarang bagus.

Tak ada galeri seni, gedung bioskop, kafe-kafe, atau pusat perbelanjaan untuk dikunjungi. Yang
sedikit menarik perhatian hanya sebuah jam besar di tengah kota dan jam itu sudah rusak selama
46 tahun. Jarum pendeknya ngerem mendadak di angka lima. Jarum panjangnya mengembuskan
napas terakhir di pelukan angka dua belas. Jarum detik telah minggat dengan perempuan lain, tak
tahu ke mana. Melihat jam itu sejak kecil, aku punya firasat, bahwa nanti jika dunia kiamat,
kejadiannya akan tepat pukul lima.

Penarik perhatian lainnya adalah dua buah patung, juga di tengah kota. Patung pertama berupa
seekor buaya yang sedang melilit sebilah parang. Besar, tingginya mungkin enam meter. Sejak
kecil pula aku telah berusaha mencerna makna filosofis patung itu, tapi selalu gagal. Aku hanya
menduga-duga, buaya adalah perlambang lelaki hidung belang, maka, semua lelaki pembuat
parang patutlah dicurigai.

Patung satunya lagi juga besar dan tinggi, adalah patung para pejuang kemerdekaan tahun 45.
Lengkap dengan senapan dan bambu runcing. Mereka mengacungkan tinju dengan geram, siap
menyikat Belanda. Juga sejak kecil aku bertanya-tanya, mengapa pematung membuat kepala
patung-patung itu secara anatomis sangat besar? Baru belakangan ini kutahu jawabannya, yaitu
di depan patung itu kini dipasang papan reklame dan di situ para politisi sering berbusa-busa
membanggakan program-program mereka. Maka tampaklah kini para pejuang 45 itu seperti
ingin menonjok mereka. Jika ingin tahu definisi dari visi seorang seniman, patung itu memberi
contoh yang sangat pas. Jam besar, patung pejuang 45 dan papan reklame itu adakalanya bagiku
tampak bak panggung parodi, adakalanya bak wangsit, dan adakalanya bak segitiga Bermuda,
yang menyimpan misteri politik republik ini.

Namun, tak pernah kami risaukan semua itu sebab kami punya sebuah museum, dan museum
kami adalah museum yang paling hebat di dunia ini. Tak ada yang bisa menandinginya sebab ia
museum sekaligus kebun binatang.

Baiklah, mari bicara soal museum. Di sana ada sebuah ruangan yang jika dimasuki harus
membuka sandal dan mengucapkan assalamualaikum demi menghormati tombak-tombak
karatan, peninggalan para hulu balang antah berantah. Uang kecil diselipkan ke dalam kotak di
samping tombak-tombak itu dapat menyebabkan pendermanya awet muda dan enteng jodoh.
Anak-anak yang tak sengaja menunjuk tombak itu harus mengisap telunjuknya agar tidak kualat.

Dari jendela museum, istimewa sekali, tampak hewan-hewan berkeliaran. Itulah kebun binatang
kami. Setiap minggu tempat itu dipenuhi orang-orang yang ingin melihat kijang yang saking
buduknya sudah tampak serupa kambing. Ada pula unta gaek yang menderita sakit batuk kering
stadium 4. Setiap kali dia batuk, nyawanya seperti mau copot. Ada zebra jompo yang hanya
memandang ke satu jurusan saja. Tak paham aku apa yang tengah berkecamuk di dalam
kalbunya. Ada orangutan uzur yang sudah ompong dan tampak terang-terangan menafsui bebek-
bebek gendut di kolam butek sebelah sana. Tak ada malu sama sekali. Lalu ada singa tua kurapan
bermata sendu macam penyanyi dangdut. Singa itu sepertinya sangat benci pada hidupnya
sendiri. Mereka muak melihat orang-orang udik yang menontong mereka di dalam kandang.
Konon, mereka dihibahkan ke kampung kami karena telah afkir dari sebuah kebun binatang di
Jawa, di mana mereka dianggap tidak sexy lagi. Namun, seperti segala sesuatu yang selalu kami
terima apa adanya, seperti segala sesuatu yang tak pernah berubah di kampung kami, makhluk-
makhluk hidup segan mati tak mau itu selalu punya tempat di dalam kebun binatang kami, di
dalam hati kami. Hewan-hewan itu menguap sepanjang hari, mereka hanya seekor saja dari
jenisnya masing-masing, jadi mereka adalah pejantan bujang lapuk seumur-umur. Sungguh
mengerikan hidup ini kadang-kadang.

“Mau kemana kau, Bujang?” sapa penjual tebu yang bertedu di bawah patung pejuang 45 itu.
Malas aku menjawabnya. Karena ia selalu menanyakan hal yang sama padaku, setiap kali aku
melintas di situ, dan karena aku terpana menatap propaganda yang dikoarkan politisi di papan
reklame itu, megah bertalu-talu tentang perubahan-perubahan yang akan mereka buat. Tanpa
mereka sadari, mata nanar mereka yang penuh optimisme tengah menatap jam besar yang telah
rusak selama 46 tahun itu. Tanpa mereka sadari, para pejuang 45 mengacungkan tinjunya pada
mereka.

“Mau ke pinggir sungai,” jawabku dalam hati. Jika kemarau makin menggelak, aku menyingkir
dan duduk melamun dibelai angin di sebuah kapal keruk yang termangu-mangu di sana. Kapal
itu tinggal segunung besi rongsokan. Mesin besar dan digdaya, dulu selalu dikagumi anak-anak
Melayu. Ketika meskapai Timah masih berjaya, jumlahnya puluhan. Mereka mengepung
kampung, menderu siang dan malam, mengorek isi bumi untuk meraup timah. Kini, satu-satunya
yang tertinggal, tempatku melamunkan nasib ini, teronggok seperti fosil dinosaurus.

Kapal keruk pernah menjadi pendendangirama hidup kami, bagian penting dalam budaya kami.
Karena semua lelaki angkatan kerja bekerja bergantian selama 24 jam. Tak kan pernah kulupa,
setiap pukul dua pagi, truk pengangkut buruh kapal keruk menjemput ayahku. Kudengar suara
klakson. Ayah keluar rumah di pagi buta itu sambil menenteng rantang bekal makanan dari ibu.

Jika melihatku terbangun, ayah kembali untuk mengusap rambutku dan tersenyum. Dari dalam
rumah kudengar ayah mengucapkan salam pada kawan-kawan kerjanya yang telah berdesakan di
dalam bak truk. Kawan-kawan kerjanya itu adalah ayah-ayah dari kawan-kawanku. Lalu
kudengar gemerincing besi beradu, kemudian truk menggerung meninggalkan rumah.
Sering aku minta dibangunkan jika ayah berangkat kerja pukul dua pagi itu. Karena aku ingin
melihat ayah dengan seragam mekaniknya yang penuh wibawa, yang ada test pen di sakunya,
yang berbau sangat lelaki. Ayah melangkah tangkas sambil menyandang ransel berisi tang,
ragum, dan sekeluarga kunci Inggris. Kunci-kunci baja putih itu bila dibariskan akan membentuk
segitiga yang sangat hebat. Kubayangkan, tugas-tugas yang berat diemban oleh bapak kunci
paling besar, dan tugas-tugas sepele adalah bagian anak-anaknya. Aku senang melihat ayah
melompat ke dalam bak truk. Dia, pria yang gagah itu, penguasa sembilan kunci Inggris anak-
beranak itu, adalah ayahku, begitu kata hatiku. Lalu aku tidur lagi, sambil tersenyum.

Sepuluh tahun telah hangus sejak terakhir aku melamun di rongsokan kapal keruk itu. Jam besar
di tengah kota tepat menunjukkan pukul 5 saat kutinggalkan kampungku dulu. Musim kemarau
waktu itu. Sekarang, ketika aku kembali pulang, jam besar itu masih saja menunjukkan waktu
pukul 5, dan musim masih kemarau.

“Mau ke mana kau, Bujang?” sapa penjual tebu waktu aku melintas dekat patung pejuang 45.
Sepuluh tahun telah lewat, apa dia tak punya pertanyaan lain? Malas aku menjawabnya. Lagi
pula aku tengah terpana menatap propaganda para politisi di papan reklame itu. Silih berganti
mereka telah merajai papan itu. Periode demi periode mereka telah berkuasa. Silih berganti
mereka telah berkoar soal perubahan-perubahan yang akan mereka buat, namun jam besar yang
berada di depan hidung mereka telah rusak selama 56 tahun, tetap rusak selama 56 tahun, dan
para pejuang 45, tetap mengacungkan tinjunya pada mereka.

“Mau ke pinggir sungai,” jawabku dalam hati. Aku melenggang pergi. Tapi sungguh merana.
Sampai di sana, yang kutemui hanya semilir angin dan riak-riak halus gelombang. Bangkai kapal
keruk itu telah lenyap, macam telah disulap seorang illusionist. Aku kembali. Pada penjual tebu
aku bertanya.

“Pak Cik, ke mana perginya kapal keruk itu?”

“Sudah dipotong-potong menjadi besi kiloan,” jawabnya tak acuh sambil mengunyah tebunya
yang tak laku. Aku terhenyak. Sirna sudah kenangan manis itu, lenyap sudah kebanggaan masa
kecil itu, hapus sudah kebudayaan itu. Di kampung kami, arkeologi industri telah dilanda
tsunami. Saat itu, rasanya ingin aku memanjat patung itu dan bergabung dengan pejuang 45.
Namun tak kulakukan, karena aku sudah terlambat untuk pulang, sudah sore. Kulihat jam besar
itu, sudah pukul 5.

Musim masih kemarau saat aku kembali ke Jakarta dan hidup berlangsung seperti biasa. Suatu
malam aku terjaga. Pukul dua pagi waktu itu. Lalu seakan terdengar suara klakson mobil truk,
dan menguar suara orang-orang mengucap salam. Kemudian kudengar suara gemerincing besi
saling beradu. Kulihat ke luar jendela, seorang lelaki berkelebat dengan seragam mekaniknya
yang hebat, lalu truk menggerung, pelan-pelan meninggalkan rumah. Aku termangu.
Kerinduanku pada ayah semakin tak tertanggungkan.

Vancouver, Mei 2010


Diadaptasi dari salah satu bab dalam novel Padang Bulan dan Kisah-Kisah dari Negeri Laskar
Pelangi, karya Andrea Hirata

Ditulis oleh tukang kliping

25 Juli 2010 pada 11:44

Dikaitkatakan dengan Andrea Hirata

Anda mungkin juga menyukai