Anda di halaman 1dari 12

Cerpen kompas September 2009

Lelaki dari neraka

Tiba-tiba saja lelaki itu menyeruak masuk lagi ke dalam hidupku. Suara baritonnya di ujung
telepon pagi ini membuatku sesak napas sekaligus membuyarkan hari yang semestinya lapang
dan ringan ini.

Kami berjumpa pada sebuah malam yang panas dua puluh lima tahun lalu. Berdiri di atas
podium dengan dagu agak terangkat, ia memperkenalkan dirinya dalam rentetan suara berat
dengan kalimat-kalimat yang ringan dan dingin. Seorang pemimpin aktivis mahasiswa
terkemuka, datang dari sebuah universitas besar di Ibu Kota. Namanya menjulang, kerap disebut
dengan hormat oleh para demonstran mahasiswa hingga ke banyak pulau yang jauh.

Pidato singkat perkenalannya boleh jadi paling kami tunggu di antara serangkaian panjang pidato
perkenalan dari pimpinan delegasi semua kampus. Ditunggu dan ternyata bermutu! Dialah
bintang paling terang di langit Yogyakarta malam itu.

Ia bukan saja memperkenalkan dengan amat efisien semua anggota delegasinya, tapi dengan
tandas memberi setengah lusin catatan untuk agenda-agenda pokok pertemuan. Paparannya
tertata, menukik langsung ke sasaran. Sungguh-sungguh efisien.

Tapi dagu itu tak lagi mendongak ketika tangannya dengan kelembutan yang berbekas panjang
dalam ingatanku memegang dahiku.

”Tinggi sekali suhu tubuhmu. Panas sekali,” katanya lirih. ”Harus secepatnya kita bawa ke
dokter,” lanjutnya. Lebih mirip gumaman.

Lalu, selebihnya terbangunlah sebuah sejarah kecil kami. Sebuah sejarah yang amat pendek.

Aku sungguh tak ingat persis pangkal ceritanya. Dialah yang membawaku ke dokter di tengah
kota, tak jauh dari fakultas ekonomi, tempat kami berkumpul untuk sebuah kongres dan
serangkaian seminar nasional hari-hari itu.

Demam tinggi itu menarikku terbaring di atas tempat tidur asrama tempat kami menginap selama
nyaris satu setengah hari. Aku tak ingat, bagaimana awal hikayatnya hingga dengan amat segera
kami menjadi amat dekat, lekat dan rekat.

Yang aku sangat ingat, dia selalu menjengukku di tiap jeda antarmata acara. Memegang
tanganku sesekali. Memandangku dengan tatapan yang sulit kumengerti. Dan membisikkan kata-
kata pengharapan, bukan sekadar doa lekas sembuh, yang membangkitkan getaran-getaran aneh,
melonjak-lonjak dan tak beraturan di kepalaku.

Hari-hari yang tersisa kemudian adalah hari-hari kami.

”Pembicara dan materi seminar ini sungguh membosankan,” katanya suatu pagi. Aku hanya
mendengarkan. Takzim seperti biasa. Seperti jemaat setia di hadapan pengkhotbah agungnya.
”Dan tak bermutu,” katanya lagi.

Maka, kami pun membolos dari banyak sekali mata acara seminar berhari-hari itu. Menyusuri
Malioboro. Berkeliling Yogyakarta di atas becak. Menyelusup di tengah sebuah bazar murah di
sepanjang sisi Mandala Krida. Menyisir setiap kios yang memajang buku-buku bajakan.
Menghabiskan nyaris sepenggalan hari di Gembira Loka.

Bagiku, hari-hari membolos seminar bersama lelaki itu justru merupakan rangkaian seminar
menyenangkan. Bahkan, itulah hari-hari kuliah terbaik sepanjang hidupku.

Selepas ciuman pertama kami, yang terjadi begitu saja, ia bercerita tentang seorang profesor
ekonomi politik Jerman yang baru saja mengumumkan buku terbarunya. Nama profesor itu tentu
saja tak bisa kuingat lagi. Yang kuingat, sang profesor mengagumi Jepang dan meratapi Brasil.

”Pembangunan Jepang sukses lantaran menjaga jarak dari kapitalisme internasional yang penuh
jebakan. Mereka membangun kapitalisme disosiatif. Mereka meminjam cara kerja kapitalisme
sambil membentengi diri dengan kebijakan ekonomi yang berorientasi pada pasar domestik.
Sementara itu, Brasil keliru dengan membangun kapitalisme asosiatif. Tunduk, bertekuk lutut
berhadapan dengan kapitalisme internasional. Jadilah mereka zona kehancuran. Monumen
kegagalan pembangunan,” kuliahnya berapi-api.

Di depan orang utan Gembira Loka yang termangu-mangu, ia bercerita dengan penuh luapan
kekaguman tentang Doktor Soedjatmoko. Ia menyebut Sang Doktor sebagai seorang humanis
dengan pikiran yang meloncat- loncat ke depan. Kutipannya tentang Soedjatmoko kemudian
berhamburan seperti rangkaian gerbong kereta, menderu-deru, tak habis-habis.

Yogyakarta hari-hari itu pun ditaburi banyak kutipan yang sebagian besar tak bersahabat dengan
kepalaku yang sempit. Para pemikir besar itu berjejal-jejal di kepalaku dan anehnya
menghasilkan rasa bahagia yang menghanyutkan.

Lelaki itu memang berhasil mengangkat derajatku tinggi- tinggi. Aku, seorang aktivis pemula,
mahasiswi sebuah universitas di sebuah pelosok kota ujung timur Pulau Jawa, tiba-tiba diangkat
naik menjadi teman bicara lelaki aktivis yang serba gemerlap. Aku tersanjung dan hanyut.

Diam-diam lelaki itu berhasil dengan cepat menyudahi peperangan dalam hatiku. Nyaris seluruh
bagian hatiku telah ditaklukkannya tanpa ampun. Dan akhirnya, di hari yang sungguh terasa
panjang itu, kami menyelusup masuk ke asrama yang melompong ditinggal para penghuninya
mengikuti pidato kebudayaan seorang penyair besar di balairung Bulaksumur. Sungguh sulit
kumengerti. Betapa mudah aku menyerah petang itu. Aku benar-benar hanyut. Tanpa perdebatan
atau sekadar perbincangan panjang, jadilah dia ”lelaki pertama” dalam hidup perempuanku.

Di hari perpisahan kami, dia menggenggam tanganku erat. Tatapan matanya menggetarkan ulu
hatiku. Mataku nanar dan nyaris berair. Mendung terasa menggantung di atas stasiun Tugu
petang itu.
Aku benar-benar menangis ketika suara baritonnya menyeruput telinga kananku.. ”Aku telah
jatuh cinta,” bisiknya lirih. Nyaris tak terdengar.

Lututku bergetar hebat. Tulangku serasa dilolosi ketika gerbong terakhir kereta itu musnah
ditelan tikungan. Bukan hanya lelaki itu yang pergi ke Jakarta, tapi seluruh hatiku terbawanya
serta.

Tapi, sejarah kami dimulai dan berakhir pada titik yang sama. Hari-hariku selepas Kongres dan
Seminar Yogyakarta itu adalah sebuah penantian panjang tanpa ujung.

Lelaki itu lenyap dengan sempurna. Bulan-bulan dan tahun-tahunku yang panjang tak disinggahi
sepotong pun kabar darinya.

Yang kutahu bertahun-tahun kemudian adalah namanya kerap benar mengisi berita utama surat
kabar. Wajahnya nyaris setiap hari muncul dalam acara-acara pamer cakap televisi. Kejatuhan
Soeharto telah menaikkan namanya. Dari balik bau bangkai kekuasaan Orde Baru, nama
harumnya menyeruak semerbak ke mana-mana. Suara baritonnya akrab menggauli telinga siapa
saja hingga ke dusun-dusun di pedalaman. Karier politiknya melejit.

Aku sendiri harus menutup rapat-rapat buku sejarahku dengannya. Semuanya sudah kuanggap
tamat dan usai begitu saja. Tapi, kuhabiskan lima tahun untuk menanggung rasa sakit yang
mengiris-iris.

Lima tahun penantian tanpa hasil itu telah mengubah dengan sempurna wujud lelaki itu di
kepalaku. Dari lelaki pertama yang menyentuhku, yang kepadanya segenap jiwa, raga, pemujaan,
dan cinta naifku kuserahkan, ia telah menjelma sebagai seorang bajingan tengik tak punya
tanggung jawab, yang pada tiap pagi, siang dan petangku kukirimi doa masuk neraka.

Sejarah pendek itu makin lama makin lapuk dan menguap. Sejarahku yang sesungguhnya
kemudian adalah menjadi istri bersahaja dari seorang suami yang bekerja keras dari pagi hingga
petang dalam enam hari setiap pekan. Penantian dan pengharapan sia-sia akan lelaki itu memang
berakhir setelah kusua seorang lelaki lain yang meminangku pada sebuah pagi biasa. Kini, aku
telah dihadiahinya dua bidadari mungil dan satu jagoan kecil.

Dan sepi pagi hari rumah kami robek oleh dering telepon itu. Lalu, bungsuku berlari dengan
napas memburu.

”Ibu! Ibu! Ada telepon! Katanya dari Istana Presiden!” Teriaknya berulang-ulang.

Semacam rasa waswas yang asing membikin goyah langkahku menjemput telepon di ruang
tengah.

”Selamat pagi Ibu. Mohon maaf jika mengganggu. Saya ajudan Bapak Presiden. Bapak berkenan
bicara,” suara formal di ujung sana mengguncang-guncang seluruh jiwaku.
Tanpa menjawab sepatah kata pun, aku tahu pesawat telepon di ujung sana telah berpindah
tangan.

”Selamat pagi Dyah. Ini saya. Apa kabar?”

Suara bariton itu menyeruak masuk ke dalam gendang telinga kananku. Berat, dengan kalimat
ringan dan dingin. Suaranya benar-benar mengorek menguak kembali luka yang kupikir sudah
benar-benar kering dan sembuh. Seperti sebuah suara dari neraka.

Eep Saefulloh Fatah

Oooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooo

Penari hujan

Aku akan selalu ingat kamu saat hujan.”


”Kenapa?”
”Karena kita sering menari bersama hujan.”
”Hanya itu alasanmu?”
”Bukan, karena kamu perempuan hujan.”
”Maksudmu?”
”Hujan dan kamu adalah cintaku…”

Lelaki itu datang dari kabut di satu sore yang mendung. Di antara detik suara gerimis dan leleh
keringat yang bercampur dengan sengau napas yang mengeluarkan asap seperti naga yang
kelelahan. Lelaki itu menyimpan mata yang aneh. Mata yang selalu murung meski urat-urat di
sekitar mulutnya tertarik ke atas untuk mengukir sepenggal tawa. Mata itu membutuhkan
kemampuan ekstra jenius untuk mengurai satu per satu sel-sel makna di dalamnya. Aku melihat
Siwa sedang tidak menari di mata itu. Mata yang marah. Mata yang diam. Mata itu
membutuhkan istirahat dari pertanyaan.

”Aku belum pernah ke tempat ini.”


”Aku juga. Eh tapi orangtua kamu tinggal di kota itu kan?”

Percakapan biasa dari sebuah pertemuan tampak biasa. Kami tidak begitu mengenal satu sama
lain pada awalnya. Tapi aku merasa lelaki itu telah ada dalam tubuhku beratus-ratus tahun yang
lalu. Aku tahu sekali pertemuan itu akan terjadi dan entah kenapa aku percaya sejak awal bahwa
dia selalu mencariku selama ini. Mata itu bicara. Mata itu merindukan kedatanganku. Mata itu
tertawa memandangku.

”Kamu seperti orang patah hati deh…”


” Memang. Kamu juga seperti orang marah…”
”Memang. Jadi kita sama- sama orang cacat neh?”
”Cacat?”
” Iya, cacat emosi.”
Hujan sering turun dalam di gelap atau di pagi dengan kabut menghebat. Kami bicara banyak
dalam kata, tapi juga kami bicara banyak antara mata. Kami sering tertawa melihat hujan yang
menari seperti tarian Siwa. Kami melihat hujan yang riang. Hujan yang tertawa. Aku sangat suka
hujan karena lelaki itu selalu tertawa saat hujan. Kami bermain air seperti kanak-kanak yang
melihat dewi rembulan. Tangan kami menengadah ke langit sambil tubuh kami berputar
mengikuti irama hujan. Kami menyebutnya tarian hujan dan aku memanggil lelaki itu si Penari
Hujan. Aku dan Penari Hujan pun bercinta di bawah hujan.

” Hujan itu indah.”


” Kupu-kupu juga indah, kamu tahu kan aku suka kupu-kupu?”
” Hujan itu ajaib.”
” Cinta juga ajaib.”
” Hujan itu tarian semesta.”
” Kamu hadiah semesta.”
” Aku mencintaimu…”

Cinta itu seperti hujan. Sering meruah tiba-tiba. Menyisakan warna-warna di langit bernama
pelangi. Penari Hujan sering berdiri di depan pintu menatap hujan. Bibirnya terkatup rapat. Mata
kecilnya berkejap-kejap menghalau air yang mendesak keluar. Aneh, mengapa tidak
ditumpahkan saja air di matanya sehingga berbaur bersama air hujan yang dicintainya itu? Mata
itu ketakutan akan kesendirian. Sunyi yang mengentak dan merongga ke sudut hitam hatinya.
Sunyi itu dia sebut hantu. Ah, bukankan hantu itu hanya ada di kepala Sayangku? Penari Hujan
takut hantu bernama Sunyi.

”Perempuan, kamu mencintaiku?”


” Mengapa kamu tanya itu? Kita sering menari bersama hujan kan?”
”Kamu mencintaiku?”
” Seperti katamu, hujan dan kamu adalah cinta.”
”Cinta… Sejatikah cintamu?”
”Pertanyaan yang aneh. Cinta sejati, cinta murni, Cinta palsu, Cinta bohong-bohongan? Apa
bedanya?”

Selalu pertanyaan tentang cinta tidak pernah selesai. Semua selalu mencari dan bertanya tentang
cinta sejati. Adakah cinta sejati itu? Ah, Penari Hujan cinta bagiku selalu sejati dan pertama.
Karena setiap cinta yang kubuat selalu satu-satunya dan pertama kali kuberikan ke lelaki yang
kujatuhcintai. Satu cinta dan cinta lainnya tidak pernah sama. Mungkin mirip-mirip tapi tidak
ada satu pun yang sama persis. Cinta yang kupunya bagiku selalu adi busana, cinta yang dibuat
tangan oleh perancangnya. Bukan cinta pakaian jadi buatan pabrik konveksi. Massal dan
seragam. Cinta itu selalu sejati karena tidak pernah dirancang kapan jatuhnya dan kapan
hilangnya. Aku selalu merenda cintaku dengan hati dan jiwaku untuk semua lelaki yang
beruntung membuatku mau merenda cinta itu. Cinta untukku selalu menyanyikan keindahan, jika
ada tangis dan air mata itu hanya para ego yang terluka. Egoku selalu terluka karena sekarang
aku selalu menangis.

”Kamu mau tinggal bersamaku selamanya di sini?”


” …”
”Mengapa kamu diam?”
”Aku ingin mengejar asal pelangi itu. Mau ikut?”
”Kamu tidak mencintaiku? Mengapa ingin pergi?”
”Mengejar pelangi dan cintaku tidak ada hubungannya.”
”Tapi kamu akan meninggalkanku.”
”Aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Kamu sudah ada dalam hatiku, dalam tubuhku.”
”Kamu jahat. Kamu akan pergi meninggalkanku.”
”Maksudmu kamu mau tubuhku selalu ada bersamamu? Mana yang kamu inginkan dariku:
tubuh ini bersamamu atau hatiku bersamamu?”
”Huh, kamu lebih mencintai negeri pelangimu daripada aku”

Lelaki itu tidak pernah tahu, aku hidup dari pecahan-pecahan puzzle mimpiku. Udara setiap pagi
yang kuhirup mengembuskan satu puzzle baru yang harus kutata agar menjadi mimpi utuh.
Mungkin mimpi itu tidak akan pernah menjadi kenyataan tapi dengan membuat keping-keping
puzzle paling tidak aku punya semangat menyusunnya. Kamu tidak pernah mengerti di setiap
keping puzzle itu ada kamu, Sayangku. Tidakkah itu cukup bagimu? Kita sudah ada sejak
beratus tahun lalu dan apa yang kita punya itu tidak akan pernah hilang dan mati. Selalu ada di
tempatnya. Selalu ada di sana.

”Datanglah lebaran nanti, aku ingin mengenalkanmu ke keluargaku. Aku ingin menikahimu.”
”Haruskah?”
”Bukankah kamu mencintaiku. Kamu bilang kamu mau jadi istriku. Gimana sih?”
”Aku kan sudah bilang aku ingin ke negeri pelangi dulu. Bukankah kita sudah bicarakan hal
ini?”
”Aku benar-benar ingin kamu datang Lebaran nanti. Aku tunggu kamu. Ibuku sayang kamu”
”Aku juga sayang ibumu”



Lelaki itu terus menunggu. Hingga dia tahu bahwa perempuan hujannya telah pergi ke Negeri
Pelangi. Saat itu juga dia berhenti menari dan membenci hujan. Setiap hujan tiba dia selalu
memaki langit yang memberi warna abu-abu yang pernah sangat dia suka. Air hujan membuat
kaki dan tangannya membeku. Tak lagi mampu menarikan tarian semesta seperti ketika Tamino
bertemu Pamina, sepasang kekasih di Magic Flute, opera terakhir Mozart. Derap kaki menari di
atas bumi telah disimpannya, dengan satu warna merah di dada.

Waktu menyimpan misterinya sendiri.

Waktu seperti pendulum, yang selalu kembali ke tempat di mana kita mengayunkannya. Kita pun
akan selalu bertemu di tempat di mana kita akan mulai


Dear Penari Hujan kekasihku…

Saat kamu membaca suratku, aku sudah tidak lagi di Negeri Pelangi. Ternyata Negeri Cahaya
lebih memikatku. Negeri di mana waktu seolah berhenti berdetak. Waktu yang seperti bunyi
jantung kita sendiri. Bunyi itu merenda mimpi, harapan dan juga cinta. Sungguh, kamu mungkin
tidak akan pernah mengerti aku dan mungkin tidak akan pernah mengerti selama hidupmu
tentang semua mimpiku. Tetapi kekasihku kamu harus mengerti bahwa dalam setiap langkahku
dan napasku selalu ada tarian-tarian hujanmu. Tarian yang berdentam dengan irama terindah.
Bunyi itu begitu merdu, para pemetik harpa di surga pun akan iri mendengarnya. Karena tarian
hujanmu adalah gerak semesta yang berasal dari jiwamu. Kamu masih sering menari ketika
hujan tiba bukan sayangku? Tarian hujan itu bukan untukku atau bukan untuk orang-orang
yang kamu cintai. Tetapi tarian itu untuk dirimu sendiri. Kamu hidup dari tarian itu. Gerakkan
kaki dan tanganmu lagi sayangku. Menarilah. Ikuti bunyi terindah dari hatimu. Kelak, pada satu
hujan di satu senja, di mana langit begitu jingga dengan semburat keputihan, aku berjanji akan
selalu datang. Jangan pernah bertanya lagi tentang cintaku. Karena cintaku itu seperti angin.
Tidak ada warna dan bentuknya tetapi kamu selalu akan bisa merasakannya. Jaga dirimu selalu
baik-baik sayangku. Hujan selalu musik terindah dalam tarian-tarian kita. Ada pelukan dan
ciumanku dari tempat tersepi di dunia…di hatiku…

Selalu mencintaimu dengan hidupku

Perempuan Hujanmu

Surat itu diterimanya sehari setelah kelahiran anak pertamanya. Bayi perempuan yang cantik.
Perempuan kecil itu lahir di sebuah hujan yang aneh di akhir bulan Juli. Hujan seperti tanpa
henti. Hujan itu seperti pukulan-pukulan tabla dan sitar para pemusik Siwa ketika dia mulai
menggerakkan tangan dan kakinya di atas semesta. Lelaki sejenak ragu. Tetapi tangan dan
kakinya seperti tanpa tuan terus bergerak. Tanpa peduli teriakan istrinya dan tangis bayinya,
lelaki itu berlari keluar. Ditengadahkannya kedua tangannya ke langit abu-abu dengan sedikit
semburat putih. Air hujan sangat deras mengguyur bumi, bau tanah kering yang meranggas
begitu kental ketika air itu menyentuhnya. Petir pun berkilat seperti suara perkusi para pemusik
samba seolah tertawa riang menyambut kembalinya lelaki penyuka hujan itu. Bumi pun bersorak
ketika kaki lelaki itu menjejakkan kembali di atas tubuhnya dan meliukkan kembali tarian-tarian
semestanya.


Sebuah sore yang indah.

….

Perempuan Hujanku
Terima kasih untuk suratmu. Kamu benar, tarian hujan itu adalah hidupku. Aku begitu
mencintai tarian itu lebih dari apa pun di dunia ini. Ketika anak perempuanku lahir, aku melihat
matanya seperti matamu. Mata yang mampu membuatku kembali menari. Aku begitu bahagia
bisa menari lagi. Hujan ternyata adalah diriku dan tarian adalah napasku. Perempuanku, aku
akan selalu mengingat setiap langit memerah saat menjelang gelap. Senja selalu seperti
bisikanmu di saat aku begitu lelah. Aku akan selalu tahu kamu mencintaiku setiap angin
menerpa wajahku. Kamu benar, cinta itu selalu ada di sana, bersama waktu yang
melahirkannya. Perempuanku, kamu harus janji selalu bahagia ya? Sungguh, aku berjanji akan
selalu menari lagi. Mencintaimu dalam diamku

Lelaki Hujanmu


Kebahagiaan itu ternyata seperti sebuah ciuman. Akan begitu menyenangkan ketika kita
membaginya.

Hujan dan lelaki itu adalah bahagia.

Ubud, Agustus 2009

Noviana Kusumawardhani

Ooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooo

Nyekar

Pagi itu aku keluar dari kamar hotel. Aku menguap. Aku masih setengah mengantuk. Aku jalan
pagi di kota kecil itu. Kutemukan sebuah tata kota lama khas Jawa, sebuah alun-alun di depan
tempat kediaman resmi bupati, masjid tua di baratnya dalam cahaya redup sisa lampu, gereja tua
di timurnya hampir tertutup rimbun pohon. Semua merupakan lambang raja-raja zaman dulu,
kantor pemerintah daerah di selatannya merupakan lambang kompeni yang sekarang digantikan
orang-orang yang pernah dijajahnya. Kurasa bangunan tua di pojok itu peninggalan Belanda
dijadikan gardu listrik masih bangunan asli tulisan huruf Jawa masih tergurat di dindingnya. Aku
menguap lagi. Aku masih setengah mengantuk. Mana rumah Jenderal Ahmad Yani, lalu rumah
Jenderal Oerip Soemohardjo teman seperjuangan Jenderal Soedirman, yang mana rumah
mereka? Untuk apa, hanya untuk tahu dan melihat saja, tak ada yang bisa kutanya. Tak seorang
tampak menyertai jalan pagiku, kecuali kicau burung beterbangan di antara ranting pohon di
sepanjang jalan. Aku masuk ke dalam berjalan di atas rumput. Basah embun kurasakan di telapak
kaki.

Pagar beton mengelilingi dua batang pohon beringin di bagian tengah lapangan luas itu.
Kudapatkan celah dari jeruji besi di atas bangunan tembok beton pagar, kuintip ke dalam ke
batang pohon beringin, ada dua pancang tulisan nama pohon, Ki Soeryo Putro batang pohon di
sebelahnya Ki Dewo Atmodjo. Kau harus masuk ke dalam kalau kau mau melihat namanya.
Kalau kau melihat dari trotoar saja, kau hanya melihat rimbun pohon dan untaian akar udaranya
seperti janggut kakek tua.

Teruslah jalan ke barat, keluar dari alun-alun itu, menyeberang jalan. Masuklah ke pintu gerbang
Masjid Agung Darul Muttaqin di dalamnya kau akan temukan Beduk Pendowo terbesar di dunia
sebagai tanda waktu sholat. Dibuat lebih kurang tahun 1762 Jawa atau tahun 1834 Masehi,
panjang rata-rata 292 cm, bergaris tengah depan 194 cm, garis tengah belakang 180 cm, keliling
bagian depan 601 cm, keliling bagian belakang 564 cm, jumlah paku depan 120 buah, jumlah
paku belakang 98 buah. Bahan pohon jati bercabang lima pendowo didatangkan dari Dukuh
Pendowo Desa Bragolan Purwodadi. Beduk terbesar di dunia itu sebagai peninggalan budaya
yang harus dijaga dan dirawat, kegunaannya dibunyikan setiap hari Jumat dan hari-hari besar.

”“Terima kasih penjelasannya.”


”Ayo shalat subuh.”
”Ayo.”

***

Kubeli lima ikat rambutan. Kulepas dari ikatannya kuurai dan kubungkus dalam alas taplak meja
rumah kosku. Rambutan dalam bungkusan taplak meja itu kutinting ke rumah Nur.

”Pi ada tamu,” kata Nur.

Adik–adik dan kakaknya muncul dan mengambil bungkusan yang kubawa.

”Apa yang dia bawa?” kata papinya keluar muncul ke ruang tamu. Badannya tegap seperti
pegulat.

Kakak Nur yang gendut meletakkan bungkusan kain taplak meja itu di atas meja ruang tamu.
Rambutan beserta daunnya berserak di atas meja.

”O, baru dipetik.” Diambilnya sebuah dikupasnya dan dimakannya. ”Lekang ya. Ada kebun
rambutanmu?”
”Iya dong. Anak Medan kalau merantau selalu berhasil,” kata istrinya.
”Dia anak Medan. Di mana dia tinggal?”
”Di daerah cagar budaya, Condet.”
”Luas kebunmu?”
”Tak seberapa. Cuma beberapa pohon.”
”Bikinkan dia kopi.”
”Jadi Papi nonton Wayang Wong Sriwedari dari Solo itu?”
”Jadi, terima kasih tiket yang kau berikan itu. Untung tidak hujan. Cerita klasik dibawakan
mereka, bulan muncul di atas panggung. Seakan bulan itu bagian suasana cerita. Betul-betul
nikmat menonton di teater terbuka di Taman Ismail Marzuki itu. Kadang-kadang ibumu tertawa
Nur, kelelawar masuk ke dalam panggung. Kalau ada lagi boleh itu.”
Nur masuk ke dalam dan keluar membawa dua gelas kopi di atas nampan. Diletakkan satu gelas
di depanku. Satu gelas yang lain diletakkan di meja dekat jendela. Kemudian dia masuk.

”Minumlah anak Medan.”

Nur keluar.

”Pi kami boleh pergi malam ini?”


”Ke mana kalian mau pergi?”
”Jalan-jalan dong, kan malam minggu,” kata ibunya.
”Ke mana kalian mau jalan-jalan?”
”Ke Monas. Mau lihat Oma Irama,” kata Nur.
”Bawa adikmu. Jangan malam-malam ya pulangnya.”
”Ya Pi,” kata Nur menyalam dan mencium belakang telapak tangan ayahnya.
“Kalau pulang bawa makanan kesenangan Papi, kerak telor.”
”Itu terus makanan yang Papi pesan,” kata ibu Nur.
”Di mana kita tinggal kita harus larut dengan budaya mereka.”

Kupanggil becak. Kami naik becak di Jalan Thamrin. Adiknya kami dudukkan di tengah-tengah
setelah jok tempat duduk kutarik ke depan. Adiknya duduk di antara kami. Kepala Nur
kubalikkan sehingga mukanya mengarah kepadaku. Kucuri bibirnya dengan bibirku.

”Ah…” katanya menyembunyikan wajahnya sambil menunjuk kepala adiknya.

Tiga bulan kemudian kami menikah dan ketika anak kami yang pertama lahir, papinya masuk
rumah sakit. Lama dia dirawat.

Kami datang menjenguk. Didekapnya cucu pertamanya dari kami.

”Cucuku yang pertama, siapa namamu?”


”Masak Mbah lupa. Yang memberi nama, kan kamu,” kata istrinya.
”Oiya. Sudah ya… Mbah tidak kuat menggendongmu.”

Nur mengambil anaknya dari pangkuan ayahnya.

Kata dokter beberapa hari lagi dia sudah boleh pulang, dia sudah boleh rawat jalan. Tiga hari lagi
sebenarnya dia sudah boleh pulang. Kami senang mendengarnya. Tapi ayahnya dari kampung
datang menjenguk, dia berteriak seperti menemukan masa lalunya. Dia bicara dalam bahasa Jawa
yang tak kumengerti. Tapi akhirnya aku bisa berkesimpulan, dia minta pulang. Kulihat
tangannya seperti memegang kayu pemukul. Mengayun-ayunkan ke depan.

”Aku ingin memukul beduk.” Dia berdiri dari tempat tidur. Dia cabut jarum infus dan dia terus
meminta pulang ke kampungnya.

Sore itu aku disuruh membeli beberapa tiket kereta api Senja Utama di Gambir. Dia dipapah
ayahnya keluar sembunyi-sembunyi meninggalkan rumah sakit. Di jendela kereta senja utama itu
dia tak membalas lambaian tangan kami. Rombongan itu berangkat ke tempat dia dilahirkan.
Kabar yang kami terima dia tiga kali pingsan di kereta. Di stasiun Kutoarjo, kereta Senja Utama
itu menurunkan mereka dan pindah naik delman ke Purworejo. Sampai di alun-alun dia minta
berhenti dan turun dari kereta kuda itu melepas sepatunya dibimbing ayahnya jalan di tengah
lapangan luas itu. Sepatu yang dilepas itu dijinjing istrinya turun dari kereta kuda berlari kecil
mengejar langkah suaminya di rumput basah embun pagi. Mereka mengikutinya sampai ke
pohon beringin kembar itu, kemudian mereka keluar dari alun-alun dan menyeberang jalan,
masuk ke halaman masjid. Entah pertimbangan apa penjaga masjid membimbingnya ke bawah
beduk terbesar di dunia itu dan menyerahkan pemukul beduk. Dia memukulnya seperti yang
diinginkannya. Hanya beberapa pukulan saja yang dapat dia lakukan. Ayahnya membujuknya
kembali ke delman membawanya ke kampung halamannya, Desa Seren. Hanya tiga hari dia
nikmati halaman rumah masa lalunya, kemudian wafat.

***

Telepon sakuku berdering menerima pesan.

”Ayah di mana? Ibu sudah mau keluar dari hotel, mau beli kembang,” kata Nur.
”Oke aku pulang. Baru jalan pagi di alun-alun.”
”Kok curang nggak ngajak-ngajak.”
”Sudahlah, nanti kita bicara di hotel.”

Aku masuk ke kamar mandi hotel. Bergegas keluar hotel. Kami panggil becak. Kutarik jok
tempat duduknya.

”Untuk siapa?”
”Ibu.”
”Dua becak Mas.”
”Mengapa dua?”
”Aku ingin duduk lapang di becak bersamamu.”
”Kita cari sarapan pagi dulu, Mas.”

Kami dibawa berputar-putar mencari makanan yang khas kota kecil ini. Dibawanya kami ke
warung dekat tepi sungai. Kupesan kopi panas. Pelayan warung itu menyuguhkan tiga piring
suguhan makanan ringan, satu piring Clorot yang dibuat dari jalinan janur, anyaman daun kelapa
muda, membentuk bungkus makanan itu seperti terompet. Kubuka lilitan janur itu yang lama-
kelamaan terjurai seperti pita memunculkan isinya yang dibuat dari tepung ketan dicampur gula
merah lembek kenyal-kenyal seperti jenang. Tapi Nur memanggil pelayan warung tepi sungai
itu, dia tidak mau tangannya dikotori daun kelapa muda yang melilitnya dia minta dibukakan
dari anyaman daun janur pembungkusnya. Pelayan warung itu meletakkan piring kosong di
depan meja tempat duduk Nur. Memencet ujung anyaman seperti kerucut itu dan pelan-pelan
isinya muncul dari bulatan bungkus depan. Pelayan warung itu jadi tahu kalau kami tidak pernah
makan makanan itu. Kopi panas menyertai Clorot yang mereka suguhkan.

Diparutnya kelapa, ditaburkannya ke atas makanan berbentuk gelang yang baru disenduk dari
kukusan anyaman bambu. Dihidangkan di depan kami. Gebleg itu dibuat dari tepung ketela
berbentuk gelang yang satu sama lain bersambung seperti rantai ditabur kelapa parut bercampur
gula.

”Bawa makanan ini untuk oleh-oleh,” kataku karena sedap. Krimpying bahan tepung ketela
berbentuk gelang digoreng kering keras tapi renyah itu dibungkusnya dalam kantong plastik.
”Enak, buatan sendiri?”
”Tidak, buatan penduduk Bruno, kami tidak tahu ada campuran khusus, pembeli-pembeli kami
sangat menyukainya, rasanya paling khas kata mereka, kami tidak tahu apa itu khas?”
”Ayo kita ke pasar,” kata ibu Nur, ”kami mau beli kembang, untuk nyekar.”

Kami tinggalkan warung di tepi sungai itu. Becak membawa kami ke pasar. Ibunya Nur membeli
dua keranjang bunga rampai dan kami terus ke makam.

Di pemakaman itu kami sulit mencari dua makam ayah dan anaknya, suami dan mertuanya.
Kucabut rimbunan semak menyiangi makam. Akhirnya kutemukan makam yang kami cari, R.
Soedjatmiko, wafat 31 Agustus 1973. Kutabur bunga rampai. Kusentuh nisan yang bertulis
namanya dan kupegang erat pusaranya.

”Maafkan aku Papi… Kutanggalkan ikatan lima ikat rambutan itu, kucampur dengan daun
segarnya, kubungkus dengan taplak meja rumah tempat aku kos. Aku tak punya kebun dan
pohon rembutan Papi… Maafkan aku membohongimu,” bisikku pelan supaya tidak didengar
yang lain.

Wangi bunga rampai semerbak diterbangkan angin mengiring kami keluar dari pemakaman itu
meninggalkannya…

Hamsad Rangkuti

Ooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooo

Anda mungkin juga menyukai