Anda di halaman 1dari 17

Prolog

Di hadapanku, seluruhnya berwarna putih.

Dokumen yang berserakan, kain putih yang menutupi beberapa barang. Suasana yang sangat
sunyi, bahkan tetesan cairan pun terdengar. Tunggu, cairan? Ahh, benar cairan warna merah
keluar dari pergelangan tangan. Itu adalah darahku.

Kaki ini tak lagi memijak pada lantai. Tanganku pun tergores sesuatu yang sepertinya sangat
kasar. Pandanganku bergoyang. Kaki pun terhuyung-huyung, nyaris kehilangan
keseimbangan.

“Aku tidak boleh melakukan kesalahan,” ucapku pada diri sendiri.

Kuteguk ludah untuk membasahi tenggorokan yang kering. Inilah saatnya.

Di hadapan simpul tali tersebut, kan ku gantungkan tubuh dan nyawa ini selamanya.

Prolog.

In front of me, everything is white.

Scattered documents, white cloth covering some items. The atmosphere was so silent, even
the dripping of liquid could be heard. Wait, liquid? Ahh, that's right, red liquid is coming out
of my wrist. That is my blood.

These feet are no longer on the floor. My hand was scratched by something that seemed very
rough. My vision swayed. My legs staggered, almost losing balance.

"I can't do anything wrong," I said to myself.

I took a gulp to moisten my dry throat. This is the time. In front of the knot of the rope, I will
hang this body and life forever.

プロローグ

目の前はすべて白です。

散らばった文書、いくつかのアイテムを覆う白い布。雰囲気はとても静かで、液体の滴りさ
え聞こえました。待って、液体?ああ、そうです、赤い液体が手首から出てきています。そ
れが私の血です。

1
これらの足はもはや床にありません。私の手は非常に荒いように見える何かによっ
て引っかかれました。私の視力は揺れた。足はよろめき、ほとんどバランスを失い
ました。

「私は何も悪いことはできない」と私は自分に言い聞かせた。

喉の乾燥を一気に湿らせました。今がその時だ。 縄の結び目の前で、この体と命を永遠に
吊るします。

Memories 1 : In The Everlasting Snow, there is Yoshizawa Eima.

Putih.

Benar-benar putih. Usaha untuk menggapai sebuah memori yang berhubungan sepertinya sia-
sia. Tapi, warna putih ini benar-benar membuatku bernostalgia. Sejauh apapun mata
memandang, tawa bersama dengan salju merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan.

Fokusku buyar. Pengumuman dari pihak bandara adalah penyebabnya. 5 menit lagi, pesawat
terbang yang akan mengantar pergi diri ini dalam perjalanan dari Tokyo menuju Kumamoto
sepertinya akan segera sampai.

Waktunya hampir tiba.

Koper milikku pun kupegang erat gagangnya seolah benda itu akan hilang bila aku
melepasnya. Aku pun menarik napas dalam-dalam, sembari mengamati pemandangan dari
kursi bandara yang mengarah ke tempat resepsionis untuk mengurus tiket penerbangan.

Bandara Haneda bukanlah tempat yang sepi. Satu dari dua bandara utama di Tokyo ini
sejatinya selalu ramai, terlebih sewaktu libur musim dingin seperti ini. Beberapa menit yang
lalu, ketika masih berjalan masuk menuju bandara, aku merasa bahwa membeli mantel tebal
—kubeli dengan murah di bazar barang bekas—merupakan keputusan yang tepat.

Namun, perkiraanku sepertinya sedikit melenceng. Mantelnya mungkin berguna, tapi tidak
untuk sekarang. Sistem penghangat di bandara bekerja dengan baik, bahkan cukup baik untuk
membuatku berkeringat di dalam mantel tebal ini.

Suara dari para turis sedikit menarik perhatianku. Tidak, sepertinya bukan cuman diriku,
namun semua orang yang ada. Suara mereka terdengar excited. Bersamaan dengan ekspresi
wajah yang berbinar-binar, mereka membahas rute perjalanan dengan semangat menggebu-
gebu. Namun, yah begitulah para turis. Bukan hal aneh melihat mereka pulang ataupun pergi

2
melalu tokyo ke berbagai kota lain di Jepang. Bila mereka mengikuti penerbangan yang sama
denganku pun kupikir sedikit wajar karena di Kumamoto sendiri terdapat berbagai destinasi
wisata yang patut untuk dikunjungi.

Di antaranya seperti, Istana Kumamoto yang merupakan pusat destinasi. Ada juga Suizenji
Jojuen Garden, taman bernuansa damai yang dibangun pada abad 17, membicarakan soal
taaman aku juga mengingat Ezu Lake bersama dengan suasana tenangnya. Terakhir, bila
turisnya merupakan tipe orang yang suka dengan seni, aku menyarankan Contemporary Art
Museum Kumamoto sebagai tujuan wisatanya.

Salah satu turis pun menyadari keberadaanku yang sedari tadi melihat mereka, ia tersenyum
padaku lalu kembali bercakap-cakap bersama temannya. Sedikit senyum kusuguhkan. Karena
melihat mereka, tanganku justru mencari amplop yang berada di dalam tas kecil berwarna
biru yang selalu kubawa.

Sungguh aneh. Surat yang datang menghampiriku di jam 4 pagi. Tulisan tangan ini terlihat
sedikit berantakan. Penulisnya pasti sangat terburu-buru. Karena surat ini, aku harus pergi
menuju Kumamoto—jauh dari Tokyo, daerah yang berada di pelosok. Persis ketika aku ingin
memasukkan kembali surat tersebut ke dalam amplop, ponselku berbunyi. Sebuah firasat,
cukup kuat untuk menebak siapa yang menelepon diri ini.

“Halo?” sapaku kepada sang penelepon di sana.

“Kau di mana?”

Sudah kuduga. Suara laki-laki. Terdengar sangat familiar. Bahkan bila kontaknya tidak
kusimpan, aku akan tetap mengenalinya.

“Bandara Haneda, sebentar lagi pesawatku akan tiba.”

Sunyi beberapa saat. Helaan napas terdengar dari arah sang penelepon. Ia sepertinya sudah
lelah untuk menghadapi keegoisanku.

“Eima! Mengapa kau tetap pergi? Aku sudah memberitahumu, bukan? Surat yang tidak
diketahui pengirimnya, bahkan tiket pesawat Tokyo-Kumamoto. Kau pikir semua itu tidak
aneh?”

Nada suaranya naik beberapa oktaf. Kecurigaannya benar. Surat aneh dengan tulisan tangan
yang berantakan, serta tidak mungkin ada orang yang mau membelikan tiket pesawat dengan
cuma-cuma.

3
“Aku tahu. Tapi Tokyo bukanlah rumahku, bahkan aku tidak tahu mengapa aku bisa berada
di sini. Ibuku pasti sedang menunggu di runah, aku juga punya Adik kecilku di Kumamoto
sana.”

Hening pun kembali melanda. Sambungan telepon tetap kunyalakaan walau si penelepon
sama sekali tidak bereaksi. Sedetik kemudian, aku mendengarnya menghembuskan napas
panjang.

“Kumohon dengarkan aku, Ai—“

“Taka. Aku sungguh berterima kasih padamu karena telah memberiku rumah, makan, serta
menemaniku selama 3 bulan.”

Ia terdiam. Itu menjadi isyarat agar diri ini melanjutkan pembicaraan.

“Tapi, aku tidak mengenalimu. Bahkan ketika kau memanggilku dengan nama yang aneh
itu.”

Tepat setelah kata terakhir dari kalimat kulontarkan, aku langsung memutus sambungan
telepon. Tak lupa pula mematikan telepon milikku agar ia tidak bisa menghubungiku lagi.
Rombongan turis tadi pun berjalan menuju kabin pesawat, aku pun terburu-buru
mengikutinya.

“Ini akan menjadi perjalanan yang sangat panjang ...” batinku. Entah mengapa, aku merasa
bahwa perjalanan pulang—dari Tokyo ke Kumamoto—ini akan menjadi perjalanan yang
sangat panjang dan tidak biasa.

Tidak sulit untuk menemukan tempat duduk milikku, bahkan aku sampai menghapalnya
karena terlalu sering melihat tiker pesawat tersebut. Koper pun kutaruh di tempat seharusnya,
mantel tebal berwarna coklat keemasan kulepaskan dan menaruhnya di pangkuan. Untunglah
kursi penumpang milikku berada dekat dengan jalan.

Apa peneleponku sudah menyerah, ya? Menilai dari sifatnya, kurasa laki-laki itu tidak akan
berhenti menelepon bahkan ketika sang operator memberitahukan bahwa nomorku saat ini
sedang tidak aktif.

“Benar-benar orang yang merepotkan.”

4
Takahiro—nama laki-laki yang terus meneleponku. Ia tidak memberitahukan nama
keluarganya. Pria bertinggi 168 cm, dengan rambut urakan yang disemir berwarna kuning
kehijauan, terlihat cocok dengan wajahnya yang sedikit ... seram? Mungkin seperti itu.

Aku mulai mengenalinya semenjak 3 bulan yang lalu. Di rumah sakit, dia adalah orang
pertama yang kulihat ketika terbangun. Walau mengaku mulai mengenalnya 3 bulan yang
lalu, namun hal itu berbeda dengan perspektif Takahiro.

“Ini aku! Taka! Takahiro! Mengapa kau tidak mengingatku? Padahal kita sudah bertemu
semenjak 10 tahun yang lalu!”

Wajahnya terlihat begitu emosional, sorot matanya pun terlihat seperti ingin menangis ketika
memberitahukan hal itu padaku. Namun, apa boleh buat? Aku memang tidak mengingatnya,
bahkan mengenalinya saja tidak. Ketika aku memeriksa adanya kemungkinan Amnesia ke
dokter pun hasilnya nihil.

Bukankah diagnosa dari dokter yang sudah bekerja selama beberapa tahun jauh lebih bisa
dipercaya ketimbang seorang laki-laki yang merupakan orang asing di mataku?

Ah, sudahlah. Lupakan soal dia dan biarkan pikiran ini kembali rileks untuk menikmati
perjalanan pulang. Para turis tadi rupanya berada berseberangan dengan kursiku. Masih
dengan semangat serta ekspresi yang sama.

“Ano ... sumimasen, koko ni suwatte mo ii desu ka?” (Anu, permisi apakah saya boleh duduk
di sini?)

Pertanyaan itu datang, mengganggu ketenangan. Suaranya berasal dari laki-laki yang bisa
kutebak merupakan salah satu turis. Kulitnya coklat namun mendekati warna terang, ia
terlihat mengenakan kacamata sembari menggendong ransel berwarna hitam berukuran tidak
terlalu besar.

“E? Mochiron da.” (tentu saja)

Setelah aku memberikan jawaban, ia pun duduk di kursi sebelahku. Tidak ada lagi
pembicaraan setelah itu. Apa yang terdengar hanya lah pengumuman dari salah seorang
pramugari yang meminta penumpang untuk memastikan apakah sabuk penyaman sudah
terpasang dengan benar, karena pesawat akan lepas landas sebentar lagi.

Pandanganku pun fokus ke pemandangan yang disuguhkan melalui jendela pesawat.


Panorama salju tebal segera menyambut. Salju turun di mana-mana, melapisi berbagai tempat

5
dan membuat mereka terlihat menjadi warna putih kecuali beberapa atap rumah yang masih
menyembul dengan atap berwarna kecoklatan. Warna-warna hangat keluar untuk mencairkan
suasana dingin di Tokyo yang dingin.

Pesawatku pun lepas landas, namun aku tidak ingin mengalihkan pandangan. Terus menatap
salju yang turun dan saling mengejar satu sama lain seolah tidak peduli dengan apa yang
terjadi di pesawat.

Perasaan yang tidak bisa kujelaskan. Mungkin orang lain menyebutnya sebagai ‘rindu’? Oh
tidak, bukankah itu wajar? Aku baru saja pulang lagi ke Kumamoto! Tapi tunggu ... mengapa
rasanya seperti sudah lama sekali aku tidak pulang?

Ahh...

Everlasting snow...

Look up at the night sky, stop the time...

When we hurt each other. You are not alone, someone always be by your side and create a
glimmer of miracle...

Snow is falling, erasing all the common scenery...

I hope that this world would always be full of happiness...

At the night town, Lovers are singing, let it snow...

Happy holiday!

“Utsukushii koe.” (suara yang bagus.)

Gawat. Secara tidak sadar aku malah menyanyikan lagu yang ada dipikiranku hingga
terdengar.

“A, Arigatou...”

Baru kusadari. Bahasa Jepang turis yang satu ini sepertinya cukup lancar. Penggunaan kata
serta nada bicaranya seolah bukanlah pendatang melainkan orang Jepang asli. Biasanya ada
beberapa nada bawaan dari negara masing-masing turis yang bisa ditangkap telinga ketika
mereka menggunakan bahasa Jepang.

6
“Lirik lagunya juga bagus. Tidak tertuju ke satu personal melainkan semua orang. Sang
penyanyi seolah ingin menyelamatkan, mendoakan semua orang bahagia, ia juga memhantu
orang-orang yang sedang terpuruk dalam kesendirian.”

Tidak paham. Aku tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan oleh orang ini. Mungkin ke
lirik yang kunyanyikan? Tapi aku sendiri tidak tahu siapa penyanyi dari lagu tersebut.

“Seolah ingin menyelamatkan senua orang dari kesedihan, namun siapa yang akan
menyelamatkan dirinya kalau begitu?”

Pertanyaan itu terdengar begitu menarik. Siapa yang akan menyelamatkan orang tersebut?
Orang yang menyelamatkan dan berharap kebahagiaan untuk semua orang? Tatapan matanya
yang tertuju padaku seolah memaksaku untuk menjawabnya.

“Emm, entahlah?”

Ia tersenyum setelah mendengar jawabanku. Tersenyum. Benar tersenyum, seolah ia sudah


menduga jawaban itu akan keluar dari mulutku.

“Maaf, sepertinya aku terlalu banyak bicara.”

Ia pun mengalihkan pandangan, memasang headset ditelinga dan memutar lagu dari HP
miliknya. Aku pun mengikuti apa yang ia lakukan, berusaha tidak peduli dan melupakan apa
yang baru saja kami bicarakan.

Dinginnya AC membuatku kembali mengenakan mantel dan terlelap dalam kehangatan


hingga masuk ke dunia mimpi.

***

Surat dari Kumamoto.

Pulanglah. Ke tempat di mana kau memulai segalanya. Ke tempat di mana kau memutuskan
semua hubungan, dan pergi meninggalkan mereka semua.

Pulanglah, dengan sosok yang sudah tidak dikenali lagi.

Semua kerja kerasmu tidak akan dihargai, bahkan keberadaanmu tidak akan diakui. Namun,
kumohon tetaplah pulang.

Bukan demi orang lain. Bukan untuk menyelamatkan orang lain lagi, tapi untuk
menyelamatkan dirimu sendiri.

7
***

“Jadi di sini kantor catatan sipil Kumamoto?”

Pertanyaan itu Taka simpan untuk dirinya sendiri. Langkah kakinya pun tak tergoyahkan.
Sembari merapatkan kembali mantel tebal yang ia kenakan, Taka berjalan masuk seraya
menghangatkan tangan dengan sedikit tiupan dari mulut agar bisa bertahan dari salju di
malam hari ini. Sedikit rahasia, Taka ternyata datang ke Kumamoto jauh lebih dulu
ketimbang Eima.

Pintu kaca pun ia dorong dengan pelan. Seolah mengikuti ritme pintu yang terbuka, bunyi
lonceng yang menjadi tanda kehadiran tamu atau mungkin orang yang baru masuk akhirnya
berbunyi. Melihat salah satu loket yang kosong, Taka langsung bergegas ke sana.

“Selamat datang, Tuan. Ada yang bisa kami bantu?” senyum khas dari pekerja kantoran
langsung menyambut Taka tepat ketika ia berdiri di hadapan seorang wanita muda berumur
kisaran 20-27 tahuh. Sungguh beruntung bisa mendapat pekerjaan tetap di usia seperti itu,
walau Taka juga sama sepertinya. Tepat di atas kantung baju, ada papan nama yang
bertuliskan ‘Takamura Aoi’ dengan huruf kanji, sepertinya itu merupakan identitas
perempuan ini.

“Aku ingin mencari informasi tentang seseorang yang bernama Yoshizawa Eima.”

Tanpa basa-basi dan langsung ke inti permasalahan merupakan ciri khas Taka.

“Yoshizawa Eima ... kalau boleh tahu anda memiliki hubungan apa dengan Yoshizawa-san?”
pertanyaan itu dilontarkan Aoi sembari mengotak-atik komputernya mencari sesuatu yang
berhubungan dengan Yoshizawa—perempuan yang tadi pagi diperingatkan oleh Taka agar
tidak pergi ke Kumamoto.

“Aku kekasihnya.”

Aoi terdiam. Ia lanjut mencari informasi tentang Yoshizawa sementara Taka terus menunggu.

“Anu, maaf ...” ucapan itu sontak menarik perhatian Taka yang tengah memutar-mutar kunci
mobilnya. “Informasi soal Yoshizawa-san ....”

“Ada apa? Cepat katakan!” bentakan itu menarik perhatian pegawai serta tamu sekitar,
namun Taka tidak peduli.

8
“Kami tidak bisa menemukan informasi lebih lanjut soal Yoshizawa-san, hal ini
dikarenakan ...,” ucapan Aoi terhenti, namun dilanjutkan dengan suara mesin printer yang
berbunyi. Setelah berhenti, Aoi pun menyerahkan selembar surat kepada Taka.

“Karena surat ini kami tidak bisa menemukan informasi lebih lanjut.

Surat pernyataan kematian : Yoshizawa Eima.

10 tahun yang lalu, dikarenakan bunuh diri di kamar sendiri...

Yang bertanda tangan serta saksi : Yoshizawa Hinami

Hinami-san. Dia adalah Ibu Eima. Tunggu, apa maksudnya ini.

Yoshizawa Eima, gadis yang kutemui 10 tahun yang lalu justru dinyatakan meninggal 1
minggu tepat setelah hari kami bertemu?

Memories 1 : In the Everlasting Snow, There is Yoshizawa Eima.

White.

Totally white. Attempts to reach a related memory seem futile. But, this white color really
makes me nostalgic. As far as the eye can see, laughter along with the snow is something that
cannot be separated.

My focus is lost. The announcement from the airport was the cause. In 5 minutes, this self-
driving plane on the way from Tokyo to Kumamoto seems to be arriving soon. The time is
almost here. I also held my suitcase tightly by the handle as if it would disappear if I let go. I
also took a deep breath, while observing the view from the airport seat that led to the
reception area to arrange flight tickets.

Haneda Airport is not a lonely place. One of the two main airports in Tokyo is actually
always crowded, especially during winter holidays like this. A few minutes ago, while still
walking into the airport, I felt that buying a thick coat—I bought it cheaply at the thrift bazaar
—was the right decision. However, my estimate seems to be slightly off the mark. The coat
might be useful, but not right now. The heating system at the airport worked well, even good
enough to make me sweat in this thick coat.

The noise from the tourists caught my attention a bit. No, it looks like it's not just me, but
everyone else. Their voices sounded excited. Along with shining expressions on their faces,
they discussed the route with great enthusiasm. However, well that's the tourists. It's not

9
unusual to see them go home or go via Tokyo to other cities in Japan. If they take the same
flight as me, I think it's a bit reasonable because in Kumamoto itself there are various tourist
destinations that are worth visiting.

Among them are, Kumamoto Castle which is the center of the destination. There is also
Suizenji Jojuen Garden, a peaceful garden that was built in the 17th century, talking about
gardens I also remember Ezu Lake along with its calm atmosphere. Finally, if the tourist is
the type of person who likes art, I recommend the Contemporary Art Museum Kumamoto as
a tourist destination . One of the tourists also noticed my presence who had seen them, he
smiled at me and then went back to chatting with his friend. I offer a little smile. Seeing
them, my hand was looking for the envelope that was in the small blue bag that I always
carried with me. How strange. The letter that came to me at 4 in the morning. This
handwriting looks a little messy. The author must have been in a lot of hurry. Because of this
letter, I had to go to Kumamoto—away from Tokyo, a remote area. Just as I was about to put
the letter back in the envelope, my cell phone rang. A hunch, strong enough to guess who was
calling himself.

"Hello?" I greeted the caller there.

"Where are you?" I already guessed. Male voice. Sounds very familiar. Even if I don't save
the contact, I'll still recognize him.

"Haneda Airport, my plane will be arriving soon." Silence for a while. A sigh came from the
caller's direction. He seemed tired of dealing with my selfishness.

"Eima! Why do you keep going? I told you, didn't I? A letter whose sender is unknown, not
even a Tokyo-Kumamoto plane ticket. You don't think that's weird?” His voice rose a few
octaves. His suspicions were right. A strange letter with messy handwriting, and no one
would want to buy a plane ticket for free.

"I know. But Tokyo is not my home, I don't even know why I'm here. My mother must be
waiting at home, I also have my little brother in Kumamoto over there.”

Silence struck again. I kept the phone on even though the caller didn't react at all. A second
later, I heard him let out a deep breath.

“Please listen to me, Ai—”

10
"Taka. I really thank you for giving me a house, food, and accompanying me for 3 months.”
He was silent. It was a signal for him to continue the conversation.

"But I don't recognize you. Even when you call me by that strange name.”

Right after the last word of my sentence, I immediately hung up. Don't forget to turn off my
phone so he can't call me again. The group of tourists was walking towards the plane cabin, I
was in a hurry to follow him.

“This is going to be a very long journey…” I thought. For some reason, I felt that the return
journey—from Tokyo to Kumamoto—was going to be a very long and unusual journey.

It wasn't hard to find my seat, I even memorized it because I saw the plane ticket too often. I
put the suitcase where it should be, the thick golden brown coat I took off and put it on my
lap. Luckily my passenger seat was close to the road.

Have my callers given up? Judging by his nature, I don't think the guy would stop calling
even when the operator informed me that my number was currently off.

“What a troublesome person.”

Takahiro—the name of the man who kept calling me. He did not reveal his family name. The
man who is 168 cm tall, with unkempt hair that is dyed a greenish yellow, looks to suit his
slightly ... spooky face? Maybe like that. I started to recognize him since 3 months ago. At
the hospital, she was the first person I saw when I woke up. Even though he claimed to have
known him 3 months ago, it was different from Takahiro's perspective.

"It's me! Taka! Takahiro! Why don't you remember me? Even though we have met since 10
years ago!”

His face looks so emotional, the look in his eyes looks like he wants to cry when he tells me
that. However, what can you do? I don't remember it, I don't even recognize it. When I
checked for the possibility of Amnesia, I went to the doctor and the results were nil. Wasn't a
diagnosis from a doctor who had worked for several years far more reliable than a man who
was a complete stranger to my eyes?

Ah never mind. Forget about him and let this mind relax again to enjoy the ride home. The
tourists were apparently opposite my seat. Still with the same spirit and expression.

“Ano… sumimasen, koko ni suwatte mo ii desu ka?” (Um, excuse me can I sit here?)

11
The question came, disturbing the peace. His voice came from a man I could guess was one
of the tourists. His skin is brown but close to a light color, he is seen wearing glasses while
carrying a black backpack that is not too big.

"E? Mochiron da." (of course)

After I gave my answer, he sat down in the chair next to me. No more talking after that. All
that could be heard was an announcement from one of the flight attendants asking passengers
to check whether their seat belts were properly attached, as the plane was about to take off.

My eyes focused on the view that was presented through the plane window. Panorama of
thick snow immediately welcomes. Snow was falling everywhere, covering the places and
making them look white except for some of the roofs of houses which were still sticking out
with the brown roofs. Warm colors come out to dilute the chilly atmosphere of cold Tokyo.

My plane took off, but I didn't want to take my eyes off it. Constantly staring at the falling
snow and chasing each other as if they didn't care what happened on the plane. A feeling I
can't explain. Maybe others call it 'miss'? Oh no, isn't that natural? I just came back to
Kumamoto! But wait... why does it feel like it's been a long time since I've been home?

Ah...

Everlasting snow...

Look up at the night sky, stop the time...

When we hurt each other. You are not alone, someone always be by your side and create a
glimmer of miracle...

Snow is falling, erasing all the common scenery...

I hope that this world would always be full of happiness... At the night town, Lovers are
singing, let it snow...

Happy holidays!

"Utsukushii koe." (beautiful voice.)

critical. Unconsciously I even sang the song that was in my mind until it sounded.

"Ah, Arigatou..."

12
I just realized. This tourist Japanese language seems quite fluent. The use of words and tone
of voice as if not a foreigner but a native Japanese. Usually there are some innate tones of
each tourist's country that can be heard when they use Japanese.

“The lyrics of the song are also good. Not aimed at one person but everyone. The singer
seems to want to save, wish everyone happiness, he also haunts people who are slumped in
solitude."

Do not understand. I don't understand what this guy is talking about. Maybe to the lyrics I
sing? But I myself do not know who the singer of the song.

“As if to save everyone from grief, but who will save him then?”

That question sounds so interesting. Who will save that person? The one who saves and
wishes happiness to everyone? His eyes were fixed on me as if forcing me to answer.

"Um, I don't know?"

He smiled after hearing my answer. Smile. True smiled, as if he had expected the answer to
come out of my mouth.

"Sorry, I think I talked too much." He looked away, put the headset on his ear and played a
song from his cellphone.

I followed what he was doing, trying not to care and forget what we just talked about. The
cold air conditioner made me put on my coat again and fall asleep in the warmth until I
entered the dream world.

***

A Letter from Kumamoto.

Go home. To the place where you started everything. To the place where you cut off all ties,
and left them all.

Go home, with a figure that is no longer recognizable. All your hard work will not be
appreciated, even your existence will not be recognized.

However, please go home.

Not for someone else's sake. Not to save others anymore, but to save yourself.

***

13
So this is Kumamoto's civil registry office?"

The question Taka kept to himself. His footsteps did not waver. While pulling back the thick
coat he was wearing, Taka walked in while warming his hands with a little blow from his
mouth so he could survive the snow at night. A little secret, Taka turned out to come to
Kumamoto much earlier than Eima.

He pushed open the glass door slowly. As if following the rhythm of the door opening, the
bell that signaled the presence of guests or perhaps someone who had just entered finally
rang. Seeing one of the empty counters, Taka immediately rushed to it.

"Welcome, sir. Can I help you?" The typical smile of an office worker greeted Taka right
when he stood in front of a young woman aged between 20-27 years. It's really lucky to get a
permanent job at that age, even though Taka is the same as him. Right above the shirt pocket,
there is a nameplate that says 'Takamura Aoi' in kanji, it seems to be the identity of this girl.

“I want to find information about someone named Yoshizawa Eima.”

No-nonsense and straight to the heart of the matter is the hallmark of Taka.

“Yoshizawa Eima… may I know what kind of relationship do you have with Yoshizawa-
san?” That question was asked by Aoi while fiddling with his computer looking for
something related to Yoshizawa—the woman Taka had warned him not to go to Kumamoto
this morning.

"I'm his lover." Aoi was silent. He continued to search for information about Yoshizawa
while Taka continued to wait.

"Ugh, sorry ..." the words suddenly caught Taka's attention, who was twirling his car keys.
"Information about Yoshizawa-san..."

"What is it? Say it quickly!” The yell caught the attention of employees and guests around,
but Taka didn't care.

“We couldn't find any further information about Yoshizawa-san, this is because ..." Aoi's
words stopped, but continued with the sound of the printer engine beeping. After stopping,
Aoi handed Taka a letter.

“Because of this letter we could not find any further information.”

Death certificate: Yoshizawa Eima. 10 years ago, due to suicide in his own room...

14
The undersigned and witness: Yoshizawa Hinami

Hinami-san. She is Eima's mother. Wait, what does this mean. Yoshizawa Eima, the girl I
met 10 years ago was pronounced dead 1 week right after the day we met?

Memories 2 : Why we cant see the Stars in the Rain?

Ini adalah sebuah pertanyaan mendasar yang mungkin saja bisa dipertanyakan oleh semua
manusia.

“Mengapa manusia bisa menderita?”

Terdapat berbagai jawaban untuk menjawab pertanyaan ini, setiap orang pun mempunyai
jawaban yang berbeda-beda. Akan tetapi, terdapat jawaban yang paling umum untuk
pertanyaan tersebut dan hal itu adalah sebuah perbandingan antara diri sendiri dengan orang
lain. Sebenarnya, tidak salah untuk membandingkan diri dengan orang lain—begitu pikirku—

15
namun, yang salah adalah perbandingan yang dilakukan selalu mengarah ke atas. Kita selalu
membandingkan diri dengan sosok yang mempunyai mobil yang lebih bagus, gaji yang lebih
tinggi, ataupun pasangan hidup yang lebih cantik. Sebenarnya, solusi dari permasalahan
tersebut adalah kita hanya perlu menerima keadaan diri seadanya dan puas dengan hal
tersebut. Namun, sayangnya manusia tidak diciptakan seperti itu. Oleh karenanya, manusia
selalu menderita.

Tapi itu merupakan perbandingan internal bukan. Dibandingkan dengan factor eksternal,
seperti yang dilakukan oleh dan dengan orang lain tanpa kemauan diri sendiri … bukankah
itu terdengar lebih menyakitkan? Kau merasa puas dengan dirimu sementara orang di
sekitarmu merasakan hal yang sebaliknya. Itu tidak hanya akan menuntunmu pada
penderitaan, kau juga akan kehilangan dirimu sendiri.

Dingin. Kurekatkan syal berwarna silver yang sedari tadi melingkari leher untuk menjaga
kehangatan tubuh ini. Cappuccino hangat yang kubeli sepertinya tidak bisa melaksanakan
tugasnya dengan baik dikarenakan cuaca malam ini. Salju yang turun sebenarnya tidak begitu
lebat, namun angin malam yang berhembus serta awan mendung berwarna orange yang
menutupi seluruh penjuru langit menjadi penyebab suasana dingin tak tertahankan ini. Tidak
terlihat satu pun bintang di atas sana, bahkan bintang Polaris sekalipun.

Tidak banyak orang bodoh sepertiku yang masih saja berjalan di bahu jalan dengan
menerobos malam bersalju ini. Kebanyakan dari mereka berlindung di dalam sebuah
bangunan entah itu rumah ataupun Kafe. Aku pun memberhentikan Langkah saat akan
melewati salah satu toko yang menjual beragam jenis hadiah untuk natal. Kaca yang
memisahkan antara barang yang ada di dalam dengan pengunjung yang berada di luar itu bisa
merefleksikan diriku sepenuhnya. Tampak sesosok laki-laki setinggi 165 cm dengan coat
berwarna hitam yang ia padukan dengan bawahan berwarna coklat. Rambut Panjang yang ia
biarkan acak-acakan serta cappuccino yang ada ditangan nampaknya benar-benar membuatku
terlihat lebih tua dari umurku yang seharusnya. Padahal tahun ini aku baru akan berumur 18
tahun.

Langkah demi Langkah kutelusuri, tujuanku tidak lagi jauh di sana. Hanya tinggal berjalan
lurus untuk 400 meter ke depan lalu belok kanan di simpang jalan. Tempat yang kutuju
adalah sebuah Kafe yang berada di daerah Shinsigai, Kumamoto. Sembari berjalan, masih
saja kupikirkan mengapa aku harus datang ke tempat itu. Jauh-jauh datang ke Kumamoto

16
dengan tujuan untuk kabur, namun pada akhirnya tetap menurut seperti anjing peliharaan?
Lebih parahnya lagi, aku mungkin akan mengingkari omonganku sendiri.

Isi kepalaku cukup kacau apabila disuruh untuk mengatakan semua hal yang ada di
dalamnya. Namun, belum saja selesai dengan semua perdebatan diri ini, masalah yang lain
Kembali datang.

17

Anda mungkin juga menyukai