Anda di halaman 1dari 9

Kau dan aku –kita

Hari yang berlalu masih sebrengsek biasanya. Tidak peduli betapa langit sangat cerah. Tidak peduli
bahwa diatas sana langit memberi gradasi warna yang menenangkan. Angin yang gersang
berhembus seolah mengatakan bahwa musim Hujan telah berganti menjadi musim panas. Tapi aku
tetap tidak peduli.

Hari ini semua orang tertawa menikmati sinar matahari yang akan membuat mereka jauh dari kata
basah. Begitu pula denganmu. Masih tersenyum seperti biasa menikmati entah apa yang sedang kau
lihat. Mungkin, hanya aku ditempat itu yang masih terdiam tak mengatakan satu katapun. Masih
menatap sinis setiap orang yang menyapaku untuk membuat mereka mundur teratur karena
ketakutan. Aku tidak peduli apa yang mereka katakan –sangat tidak mempedulikannya. Tapi kau
menyapaku dibalik sayup-sayup suara bass itu. Masih tersenyum seperti biasa. Aku merasa bibirku
menarik sudut-sudut yang tak jelas terlihat.

Aku peduli.

Karena itu kau, maka aku peduli.

Kau –Cho Kyuhyun

Wanita itu menghentikan goresan penanya. Matanya menatap aksara terakhir yang ditulisnya. Nama
itu, entah kenapa menghilangkan segala kewarasannya untuk berhenti menatap nama itu.
Mempecundangi kenyataan bahwa lengkungan pada bibirnya tertarik perlahan.

Ada garis senyum yang tak kentara dibibirnya saat ini

Masih tetap mempertahankan tangannya yang memegang pena diposisi yang sama, wanita itu
masih membiarkan pengelihatannya berada dititik koordinat yang sama –koordinat dimana nama itu
terukir disana. Cho Kyuhyun.

Wanita itu bernama Dezana kalau kau mau tahu.

Dengan surai hitam panjang, ikal dan terlihat sedikit berantakan. Bertubuh tidak tinggi dengan kulit
coklat susu. Terbalut celana Jins hitam dengan kaus putih kebesaran.

Satu deskripsi yang menandakan eksistensinya.

Lengkungan tipis itu memudar. Terganti dengan ekspresi yang tidak mampu terbaca. Seiring dengan
matahari yang seakan mulai mengalah pada sang rumbulan.

Mata hitam itu kini menatap kearah jendela yang memamerkan bentangan kain hitam tak kasat
mata, lalu secepat mungkin mengalihakan pemandangannya dari langit. Menatap bingkai foto yang
menampakkan dua insan yang saling tersenyum. Seorang pria bersurai coklat dengan iris mata yang
sama, tersenyum sambil menggenggam tangan seorang wanita bersurai hitam yang saat itu
menatapnya. Terlihat garis tipis melengkung dibibir wanita itu. Garis lengkung yang sama seperti
yang ditujukkannya tadi.
Cho Kyuhyun dan Dezana –itu mereka.

....

Distraksi

Ya, saat itu aku butuh distraksi: dari berkutat dengan tugas dan deadline yang brengsek luar biasa.
Saat itu aku menghela nafas panjang. Melirik sejenak pada jam dinding kelas yang seolah ikut
mengejekku dengan kelelahan, dan berkontemplasi sejenak mengenai apa yang mungkin bisa
menjadi distraksi dari kewajiban yang harus kujalani entah berapa satuan waktu lagi.

Masih dengan tidak tenang berkutat dengan rumus-rumus yang memuakkan. Trigonometri, integral,
vektor, matriks, blablabla, blablabla, dan blablabla –jelas bahwa itu adalah saat yang memuakkan
menjadi seorang pelajar.

Jeda beberapa saat aku menyeringai diiring bel yang berdering dan sorak kebebasan dari yang
lainnya. Membereskan buku-buku itu dan melangkahkan kaki yang terkesan bebas keluar kelas.

Tentu saja, tujuanku adalah kau –Cho Kyuhyun.

Katakan aku egois. Tapi aku tidak peduli sekalipun kau masih dalam jam bekerja untuk meladeni
remaja-remaja gila yang selalu meneriaki namamu. Aku tidak peduli karena aku sama sekali tidak
memiliki niatan untuk merecokimu atau masuk kedalam daftar gadis remaja tersebut. Aku hanya
ingin melihatmu –Cho kyuhyun.

Dan aku melihatmu –dengan senyuman menawan ditengah gadis remaja yang masih dan akan
selalu mengelukan namamu. Sesekali tertawa dan masih tak menyadari kehadiranku.

Sinar matahari yang menerpa kulitmu yang putih pucat menjadikanmu begitu sangat menawan
dimataku. Segaris lengkung tipis tak terlihat seperti tanda memulainya acara ku untuk merekammu
dalam memoriku yang saat ini terlihat tanpa cela.

Kau sepertinya menyadari keberadaanku. Tersenyum kearahku dan menatapku seolah-olah


memintaku untuk menunggumu. Aku tidak memiliki waktu untuk menunggumu, melakukan hal-hal
tidak penting seperti itu aku sama sekali tidak memiliki waktu.

Tapi lihat, aku tetap saja menunggumu.

Selama itu kau, Cho Kyuhyun, maka aku tak pernah keberatan.

“za–“

Buku itu tertutup segera, mengeluarkan debaman yang tak kentara bunyinya.

Wanita itu mengangkat kepalanya. Melihat seorang wanita yang sedang bersender dipinggir meja.
Dan wanita itu sangat tak diharapkan kehadirannya.

“kau disini? Aku mencarimu. Kau belum mengumpulkan tugasmu”

“ambil saja ditas ku” masih dengan ketidak peduliannya.

Wanita yang baru saja merusak ketenanganya itu berjalan mendekatinya dan merogoh tas dibalik
punggungnya.

Dia sudah menemukan apa yang diinginkannya. Kemudian membalikkan badan. Namun sebuah
objek membuatnya terdiam ditempat.

“Za, buku apa itu?”

Wanita ini terkenal dengan ketidak seganannya untuk mengeluarkan apa yang ada difikirannya.

“buku biasa, seperti yang kau miliki. Kau sudah menemukan apa yang kau cari? Bisakah kau dengan
senang hati meninggalkanku sendiri?”

Dan Deza bukanlah orang yang dengan senang hati menjawab hal-hal yang terkoneksi dengan
kehidupan pribadinya.

Decakan kesal meluncur dari bibir wanita itu. Argumentasi adalah hal yang menurutnya paling
menyenangkan didunia ini. Terlebih saat mengetahui kenyataan bahwa dia selalu menjadi
pemenang disetiap argumentasi yang ia lakukan.

Namun tidak jika lawannya adalah Deza.

Wanita itu melangkahkan kakinya pergi dari meja itu. Namun langkahnya terhenti dan dia berbalik.
Menatap temannya dengan pandangan prihatin.

“kau tidak bisa seperti ini” kemudian meninggalkan Deza sendirian ditempat itu seperti yang
dimintanya.

Bibir wanita itu terkatup rapat. Matanya menatap tak fokus terhadap pena yang digengamnya.
Matanya kini menatap ponselnya yang menyala. Menampakan sebuah visual mengenai dirinya dan
Cho Kyuhyun.

“apa yang kau bicarakan” tangannya kemudian menggapai ponselnya. Sebuah kurva tipis terbentuk
dibibirnya “aku baik-baik saja”

Hening sejenak.

“selama ada Kyuhyun, aku baik-baik saja”

....

Saat itu hujan. Kau duduk dihadapanku dengan kedua jemari tanganmu yang melingkari sebuah
cangkir berisikan kopi hitam. Sesekali kau teguk minumanmu, sesekali kau menatap kearah kaca
disisi meja kita yang menapilkan jalanan dengan orang yang berlalu-lalang terburu-buru atau
menunggu hujan yang entah kapan berhentinya.
Kau menatapku. Dengan tatapan menusuk yang masih sama. aku mengatakan bahwa kau harus
mencoba coklat panas yang tersedia dicafe itu. Kau hanya mengangguk: aku lebih sekedar tau
bahwa makanan manis bukanlah preferensimu.

Lalu kau mulai bercerita –dari kegiatanmu yang akhir-akhir ini sangat memuakkan, Eunhyuk dan
Donghae yang semakin menampilkan kemesraan yang memuakkan diatas panggung, hingga sebuah
pernyataan:

“bertemu denganmu... nyaris seperti fiksi”

Dan aku yang sedari tersenyum dan terkadang tertawa mendengar ceritamu hanya mengerenyit.

“terlalu banyak pekerjaan sepertinya membuatmu meracau, Kyu. Ini bukan fiksi. Sama sekali bukan.”

Kau berdecak.

Aku menyeringai.

Sejenak aku dan kau saling terdiam. Hanya terdengar riak air hujan yang menjadi melodi atau
menggantikan kita bicara –entahlah.

Mata kita saling terpaut. Memfokuskan pemandangan yang terdapat dihadapan kau dan aku. Masih
memandangimu yang tanpa cela. Merekam tentangmu dalam memori otakku. Tapi entah apa yang
kau lihat dariku. Tubuh dan wajah yang selalu penuh cela ini. Apa pemikiran kita sama? saling
merekam –semoga saja.

Kita masih saling menatap. Saat itu, aku merasa bandul waktu terhenti.

Namun seperti tak ingin terjebak dalam vakum waktu aku menyeringai.

Kau mendelik.

Aku menyeringai lagi.

Matamu bertanya.

Lalu kita berdua tertawa lepas. Entah karena apa. Entah karena alasan apa. Entah karena apapun
itu.

Tapi bukan masalah bagiku.

Selama itu kau. Cho Kyuhyun, maka aku tak perlu menjabarkan alasannya.

....

“kau menyadarinya”

Dia mendengarnya

“menyadari apa?”

Dia mendengarnya
“tentang SparKyu kita”

Dia mendengarnya

“maksudmu Deza?”

Dia mendengarnya

“siapa lagi”

Dia mendengarnya

“memang apa yang terjadi dengannya?”

Dia mendengarnya

“jangan berpura-pura kau tidak mengetahuinya, kau pembohong yang kelewat buruk”

Dia mendengarnya

“...”

Dia mendengarnya

“jadi..”

Dia mendengarnya

“aku tidak tahu, tapi kurasa dia sedikit lebih baik dari sebelumnya. Kau tahu betapa terlukanya dia
kan?”

Dia mendengarnya

“Entahlah, tapi aku merasa ada yang aneh darinya”

Dia mendengarnya

“maksudmu?”

Dia mendengarnya

“kurasa dia menyembunyikan sesuatu –dan ini berhubungan dengan buku tua bersampul hitam yang
selalu dibawanya”

Dezana mendengar –s e m u a n y a.

Wanita itu melangkahkan kakinya melewati ruangan tempat ia mencuri dengar. Lantas sudut
bibirnya tertarik membentuk lengkungan tak kentara. Dengan tangan kanan menenteng sebuah tas.
Tangan kirinya memegang buku tua bersampul hitam.

Lalu langkah kakinya terus menjejak.

Dan kemudian Dezana tertawa kecil.


Tak terselip jenaka dalam tawanya. Yang ada hanya bunyi tawa tanpa makna. Selang sepersekian
detik, tawa itu lenyap secepat dia datang. Langkahnya yang menghantarkannya ke roftop sekolah
kini terhenti.

Lalu dia diam.

Dia tertawa –lagi.

Karena dia tahu, bahwa semua orang tidak mengetahui –tidak akan pernah mengetahui tentang apa
yang seharusnya tidak mereka ketahui tentangnya.

....

Satu lagi fragmen bersamamu.

Saat itu senja. Kau memaksaku pergi ke tempat yang bahkan tak pernah disebutkan dalam peta.

Aku hanya mengangguk.

Aku sendiri masih bertanya pada diri sendiri –perihal kenapa aku bisa dengan begitu mudahnya
mengalah jika kau sudah menggunakan kemampuan lidah tajammu. Entah kenapa. Kenapa. Kenapa.

Seharusnya tidak seperti itu, bagi aku yang banyak orang konsiderasikan sebagai orang yang keras
kepala. Tidak semestinya begitu, bagi aku yang banyak orang konsiderasikan sebagai orang yang
egois. Mungkin –mungkin karena itu kau, Cho Kyuhyun, yang membuat batas antara iya terlihat
begitu tidak kasat mata.

Atau lebih tepatnya, batasan antara tidak dan iya memang sudah tidak ada.

Satu lagi fagmen bersamamu.

Rupa-rupanya kau mengajakku ke satu bukit. Menarikku dan memaksaku duduk bersisian dibukit.
Katamu, tempat itu adalah tempat yang paling kau sukai, karena interestmu terhadap keheningan.

Dan saat itu hening.

Entah sejak kapan, kita tidak lagi duduk bersisian. Alih-alih demikian, yang kita lakukan adalah
berbaring dan menatap langit. Dengan tanganmu yang memeluk pinggangku dan kepalaku yang
terbaring didadamu. Wangi pinus terkuar dari sana. Satu-satunya wangi pagi yang aku sukai –
karena memang aku tidak menyukai pagi. Kita sama-sama mempeduli setani detikan waktu. Kita
masih terdiam ditengah hening yang kau sukai. Tapi ini sudah cukup. Bagiku ini terlalu cukup.

Asalkan bersamamu, Cho Kyuhyun. Segala hal menjadi lebih dari cukup untukku.

Deza menyukai permainan. Ini fakta.


Deza benci kekalahan. Ini juga fakta.

Demi harga diri, ia tidak pernah membiarkan tawa setan berpuas diri pada kekalahannya. Ia tidak
akan pernah membiarkan itu terjadi. Ia tidak suka kalah –tidak oleh siapapun. Ia benci kekalahan.
Semudah itu, sesimple itu.

Tapi toh ia kalah dalam satu permainan.

Permainan waktu: dengan melibatkan dunia perarel dimana satu orang bertemu dengan orang yang
sama dengan dirinya di dimensi waktu lain, merevisi apa yang sudah terjadi dan mengacaukan
perputarannya. Permainan yang tujuan utamanya bukanlah skakmat atau untuk meraih level
tertinggi, melainkan memanipulaisi waktu dan merubah kenyataan.

Merubah realiti. Mengubah takdir yang telah terjadi. Mengubah nyata menjadi mimpi –mimpi
menjadi nyata.

Permaina waktu.

Deza tidak bisa memainkan permainan seperti ini.

Deza sudah kalah telak.

Menghela nafas dengan tangan membalik lembaran-lembaran kusam dan tua. Di satu halaman
hanya tertulis nama itu. lewati. Mencari sebuah halaman yang harus ditulis dengan kisah baru.

“pesananmu, Deza –satu cangkir coklat panas dan... kopi hitam”

Satu interupsi..

Dengan datang interupsi tersebut, dua cangkir berwarna senada tersaji diatas meja.

Deza hanya mengangguk singkat.

Tangannya menggapai untuk mendorong gelas berisikan likuid hitam ke sisi meja dihadapannya.
Untuknya. Mempeduli setani bukti nyata bahwa tidak ada presensi yang duduk di hadapannya.

Hanya untuk sepersekian detik.

Menoleh dan menatap pemilik cafe dengan wajah datar dan mulai angkat bicara.

“ada apa?”

Terdengar helaan nafas. Bukan dari Deza. Melainkan dari pria yang mendapat pertanyaan darinya.
Mata pria itu menatap kearah cangkir berisikan likuid hitam.

“aku tahu ini bukan urusanku tapi –” dia menghentikan pernyataannya sejenak. Terlihat seperti
menimbang-nimbang apa yang akan dia katakan “ –kau tau benar ini tidak baik untukmu”

Tertawa, itulah yang Deza lakukan.

“kau yang mengatakannya: ini bukan urusanmu, dan memang ini bukan urusanmu”
Tawa itu perlahan lenyap.

“aku baik-baik saja, kalau kau mau tahu. Sepertinya banyak hal yang masih bisa kau lakukan selain
berdiri disini”

Tawa itu benar-benar lenyap sekarang.

Deza dapat mendengar jelas hela nafas panjang dari pemuda berambut hitam itu. Wanita berambut
hitam itu hanya memasang tampang datarnya seperti biasa saat pria yang tadi berdiri dihadapannya
memutuskan bahwa meninggalkannya dalam ruang privasi adalah pilihan yang terbaik.

Itu memang pilihan yang terbaik, atau setidaknya itulah yang Deza simpulkan sendiri.

Cih, sejak kapan orang-orang berkonspirasi menjadi bedebah-bedebah yang mengkhawatirkannya


dengan dasar yang tak teralaskan? Ia masih Dezana yang biasa. Ia masih Dezana yang biasa. Ia masih
Dezana yang biasa. Seharusnya bedebah-bedebah itu sadar bahwa ia baik-baik saja. Ia baik-baik
saja. HEI, IYA BAIK-BAIK SAJA.

Persetan dengan bedebah-bedebah yang berkonsiparasi. Ia mempunyai dunianya sendiri.

Dunia tersebut, dimulai oleh tulisannya –

Tap, tap, tap

Langkah kaki seorang wanita menjejak menuju sebuah meja. Diatas meja tersebut tersapat sebuah
buku yang terbuka dengan sebuah ponsel yang menyala menggambarkan visual.

Ceroboh. Tipikal Dezana

Wanita itu tersenyum. Matanya mencari seseorang pemilik tempat tersebut yang nyatanya tak
berada disana. Kedua matanya menangkap sebuah potret yang ada di ponsel –potret wajah Deza
dan Kyuhyun.

Tidak ada senyuman samar diwajah wanita itu sekarang, yang ada hanya tatapan getir terlihat
melintas.

Dia tidak mampu melupakan pemuda itu, tentu.

Merasa bahwa ia sudah melanggar batas privasi, wanita itu kemudian memutuskan untuk
meninggalkan tempat–

“ini–“

–tapi eksistensi dari sebuah buku diatas meja menahannya untuk berbuat demikian.
“ –ini.. apa ini buku yang arie maksud?” tanyannya kepada dirinya sendiri sembari mengingat-ingat
konversasinya terhadap seorang wanita bernama Arie beberapa waktu lalu.

Dengan skeptis diraihnya buku tersebut. Ia tahu ini tidak benar. Ia tahu. Tapi rasa penasaran sudah
terlanjur mengendalikannya. Maka, wanita itu membuka lembar pertama: mendapati sebuah foto
tertempel disana. Foto tersebut memuat gambaran mengenai si pemilik buku dan seorang pria yang
tengah duduk dan bertatapan tajam.

Wanita itu tersenyum kecut.

Entri berikutnya –rangkaian aksara dari memori yang sudah terjadi. Rangkaian entri berikutnya
dibuat secara kronologis oleh Deza berisikan fragmen-fragmen yang telah terjadi didalam hidupnya.

Melewati beberapa lembar halaman, wanita itu menemukan entri yang menarik atensinya. Entri
satu-satunya yang berisikan sedikit rangkaian tanda grafis.

24092011

Cho Kyuhyun

Anda mungkin juga menyukai