Anda di halaman 1dari 12

Dela Tan


Juni 21, 2021Mei 31, 2022

2HA – Buku 2 ; Bab 177

Shizun Pura-Pura Tidur

Chu Wanning sama sekali tidak memejamkan mata selama


dua hari, dan dia tidur pulas. Gerakan Mo Ran halus, jadi
ketika dibopong ke tempat tidur dalam pelukan hangat Mo
Ran, dia tidak terganggu.

Mo Ran membaringkannya di tengah tempat tidur, dengan


tangan di belakang lehernya, dia meletakkan kepala Chu
Wanning di atas bantal lalu menutupinya dengan selimut.

Setelah melakukan semua ini, dia tidak pergi. Sebaliknya, dia


menatap wajah itu dengan lapar, dari alisnya yang gelap, inci
demi inci, hingga ke bibirnya yang tipis.

Tampan.

Bagaimana bisa Shizun-nya, gurunya, begitu tampan?

Sangat menyenangkan menatapnya. Jantungnya menjadi


lunak dan bagian bawah tubuhnya menjadi keras.

Kulit kepalanya mati rasa, dan pikirannya mencekik lehernya.


Dia tahu ini salah, tetapi wajah Chu Wanning sangat dekat,
bara api yang samar seperti jari-jari lembut yang tak terhitung
jumlahnya, membujuknya untuk telanjang, dan pergi ke
tempat tidur yang hangat bersamanya.

Mungkin karena darah yang mengalir di pembuluh darah Mo


Ran terlalu deras seperti gelombang pasang, atau mungkin
karena hatinya seperti genderang perang yang tidak bisa
dihentikan, atau mungkin karena matanya terlalu panas,
membakar orang yang tidur nyenyak.

Singkatnya, Chu Wanning membuka mata dan bangun.

“…”

Untuk sesaat, tidak ada yang bersuara, Mo Ran hanya berdiri


kaku. Chu Wanning berubah dari keadaan bingung menjadi
horor, matanya yang seperti phoenix terbuka lebar, seolah
untuk membakar mata Mo Ran.

Chu Wanning tiba-tiba waspada, “Apa yang sedang kau


lakukan?”

Ekspresi di wajah pemuda tampan itu sulit dilihat dengan


jelas. Perlahan dia mencondongkan tubuh, Chu Wanning
sangat terkejut sampai tidak berani bergerak.

“Kau…”

Jarak mereka semakin dekat.

Jantungnya berdebar kencang.

“Sstt!”

Suara cahaya datang dari samping tempat tidur. Tiba-tiba,


cahaya di sekitarnya redup, dan tempat tidurnya empuk.
Membuat suasana jatuh dalam keadaan yang lebih canggung.
Mo Ran membungkuk dan menarik tirai, lalu menegakkan
tubuh dan duduk di tepi tempat tidur.

Dia menundukkan kepala untuk melihat Chu Wanning yang


sedang berbaring dan berkata dengan suara rendah, “Aku
melihat Shizun tertidur jadi aku ingin membantumu
menurunkan tirai, aku tidak berpikir akan
membangunkanmu.”

Chu Wanning tidak mengatakan apa-apa, tetap bersandar di


bantal, memiringkan kepala untuk menatapnya.

Tirai kuning tua yang baru saja dilepas dari kepala ranjang
melambai di belakang Mo Ran, dan cahaya lilin menjadi
sangat kabur, seperti kabut yang telah beku di jendela pada
musim dingin. Terlalu gelap untuk melihat wajah tampan
pemuda itu dengan jelas. Hanya matanya yang bersinar dalam
kegelapan, seperti bintang jatuh.

Mo Ran tiba-tiba memanggilnya, “Shizun.”

“Hmm?”

“Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan padamu.”

“…”

Dalam kegelapan, keberanian muridnya tampaknya kian


besar.

Hati Chu Wanning menegang. Dia berpikir, “Apakah dia akan


bertanya tentang kantong itu?”

Wajahnya tidak terganggu, tetapi di dalam dadanya ombak


bergelora.

Apakah tidak terlambat untuk berpura-pura tidur?


Mo Ran bertanya, “Di mana aku harus tidur?”

“…” Chu Wanning membisu.

Setelah malam yang sibuk, Mo Ran menyiapkan tempat tidur


di lantai malam itu.

“Tempat tidurnya terlalu kecil.” Dia bahkan menyesal segera


setelah dia bertanya. Bagian bawah tubuhnya seolah
menelannya sampai ke sumsum tulang, akan lebih baik jika
dia tidak tidur dengan Chu Wanning. Bukannya dia tidak tahu
seberapa buruk hasrat seorang lelaki.

“Aku akan tidur di lantai.”

“…Ada berapa tempat tidur?”

“Ada tempat tidur.”

“Apakah akan dingin?”

“Tidak, aku hanya akan menggelar lebih banyak jerami.”

Setelah mengatakan itu, Mo Ran pergi ke luar untuk


mengambil jerami, kembali membawa setumpuk dan
menggelarnya dengan rapi di lantai. Chu Wanning sangat
tersiksa dan untuk sementara tidak bisa tidur. Dia
memiringkan tubuh dan menopang kepalanya, mengangkat
tirai dengan satu tangan. Diam-diam memerhatikan lelaki
yang sibuk menyiapkan tempat tidur tunggal untuk dirinya
sendiri.

“…”                                 

“Tidur. Shizun, selamat malam.”


Lelaki itu tidur berpakaian lengkap dan menarik selimut
untuknya sendiri. Sepasang matanya yang gelap menatap
lembut dan mantap pada Chu Wanning di tempat tidur.

Chu Wanning: “Baiklah.”

Melihat tampang ‘aku sangat jujur’ Mo Ran, Chu Wanning


merasa lega. Dia memasang tampang ‘aku sangat dingin’ dan
menurunkan tirai dengan santai.

Kemudian, Mo Ran duduk lagi.

“Mau apa?”

“Mematikan lampu.”

Lelaki itu bangkit dan meniup lilin.

Ruangan itu jatuh dalam keheningan. Dua lelaki, Shizun dan


murid, berbaring di tempat tidur masing-masing dengan
pikiran mereka sendiri, memandangi bunga-bunga dan kupu-
kupu yang berpendar samar di malam tanpa akhir.

“Shizun.”

“Apa lagi sekarang? Apakah kau masih belum tidur?”

“Aku akan tidur.” Suara Mo Ran begitu lunak. Khususnya di


malam hari, terdengar sangat lembut. “Hanya saja tiba-tiba
aku ingin memberitahumu sesuatu.”

Chu Wanning membasahi bibirnya. Meskipun jantungnya


tidak berdetak seliar saat pertama kali dia menebak-nebak,
dia masih merasa tenggorokannya kering.

“Aku ingin mengatakan… saat tidur, Shizun tidak perlu sangat


hati-hati. Kau selalu tidur di pojok.”
Ada senyum dalam suaranya, rendah tapi menyenangkan.

“…Aku sudah terbiasa. “

“Kenapa?”

“Kamar selalu terlalu berantakan. Aku pernah jatuh dan


tergores sabit di lantai.”

Mo Ran terdiam lama.

Chu Wanning menunggu. Ketika tidak ada reaksi, dia


bertanya, “Ada apa?”

“Tidak ada.” Suaranya terdengar lebih dekat. Chu Wanning


menoleh, dan di balik tirai yang kabur dan lembut, dia melihat
di bawah cahaya kupu-kupu dan bunga begonia, Mo Ran telah
menarik tempat tidurnya di lantai lebih dekat kepadanya.

Mo Ran kembali berbaring dan berkata sambil tersenyum,


“Ketika aku di sini, Shizun tidak perlu khawatir. Jika jatuh, kau
tidak akan tertusuk.”

Dia berhenti sejenak dan kemudian berkata dengan santai,


“Aku di sini.”

“…”

Setelah beberapa saat, Mo Ran mendengar lelaki di tempat


tidur itu mendengus sedikit dan berkata dengan lemah,
“Daging di lenganmu sangat keras sehingga jika jatuh bukan
berarti lebih baik dari sabit.”

Mo Ran tersenyum. “Ada yang lebih keras, yang belum dilihat


Shizun.”
Maksudnya adalah otot-otot di dadanya, tetapi sebelum
kalimatnya selesai, dia tiba-tiba menyadari bau darah kental
yang terkandung dalam kata-katanya. Dia tertegun dan buru-
buru berkata.

“Aku tidak bermaksud seperti itu.”

Chu Wanning tadinya hanya mendengar kalimat pertama, dan


dia sudah sangat malu. Setelah mendengar kalimat kedua,
suasana di antara mereka berdua bahkan lebih tanpa harapan
dan tenggelam ke kedalaman jurang.

Tentu saja, Chu Wanning tahu bahwa Mo Ran memiliki bilah


yang lebih keras dan lebih panas. Itu bahkan lebih
menggigilkan daripada gagang dingin pisau mekaniknya. Dan
tidak perlu dikatakan, dia pernah merasakannya sebelumnya.
Dia berpakaian saat itu, dan tidak sengaja merasakannya. Itu
adalah gairah yang menakutkan yang bisa membuat menggigil
dan mati rasa.

Chu Wanning menjawab dengan tidak sabar, “Tidur.”

“…Baik.”

Tapi bagaimana bisa tidur?

Lava cinta menghantam mereka berdua, menjilati dada


mereka yang pecah-pecah. Ruangan itu begitu senyap sampai
masing-masing bisa mendengar suara napas yang lain, dan
juga gerakan jari kaki masing-masing.

Mo Ran meletakkan tangannya di belakang kepala dengan


mata nyalang, memandang ruangan yang dipenuhi kupu-kupu
merah menyala. Seekor kupu-kupu terbang dan hinggap di
tirai tempat tidur, membuat tirai menjadi berwarna merah
muda lembut.
Di tengah keheningan ini, Mo Ran tiba-tiba teringat sesuatu.

Saat itu di Danau Jincheng, orang yang telah


menyelamatkannya dari mimpi buruk samar-samar telah
membisikkan kalimat di telinganya.

Pada saat itu, kesadarannya tidak penuh, jadi tidak yakin


apakah itu hanya ilusi. Tetapi sekarang setelah dipikirkan,
tiba-tiba dia merasa bahwa mungkin dia tidak salah dengar.

Mungkin itu benar.

Dia mendengar Chu Wanning berkata, “Aku juga


menyukaimu.”

Detak jantung Mo Ran semakin kencang. Beberapa detail yang


tidak pernah dia perhatikan sebelumnya, semuanya bertunas
pada saat ini, berubah menjadi kelopak daun segar, kemudian
dipelihara oleh ambisi serigala, tumbuh menjadi pohon yang
rimbun, besar hingga mencapai langit.

Kepalanya berdengung, dan penglihatannya buram. Semakin


dia memikirkannya, semakin dia merasa ada sesuatu yang
salah…

“Aku juga menyukaimu.”

Aku juga menyukaimu.

Jika dia salah dengar, lalu mengapa ketika dia bangun, Chu
Wanning tidak mau mengakui bahwa dialah yang
menyelamatkannya?

Kecuali dia tidak salah dengar!

Kecuali Chu Wanning memang mengatakan itu…


Mo Ran seketika duduk. Dia sangat bersemangat sehingga dia
tidak bisa menahan diri ketika berkata dengan suara serak,
“Shizun!”

“…”

Meskipun orang di balik tirai tidak mengeluarkan suara, Mo


Ran masih bertanya, “Hari ini, ketika aku mencuci pakaian,
aku menemukan sesuatu. Itu…”

Sunyi di dalam tirai.

“Apakah kau tahu itu apa?” Saat kata-kata itu keluar dari
mulutnya, dia tiba-tiba menjadi tersipu. Dia sangat bodoh
bertanya seperti ini kepada Chu Wanning.

Lelaki itu lama tidak menjawab.

Mo Ran ragu-ragu, matanya basah dan gelap. “Shizun, apakah


kau masih terjaga?”

“Apakah kau mendengar aku bicara…”

Di tempat tidur, yang diselimuti cahaya, Chu Wanning benar-


benar diam seolah-olah dia sudah tidur. Mo Ran menunggu
lama, tidak mau berdamai. Dia mengulurkan tangannya
beberapa kali untuk menyibakkan tirai, tetapi berhenti.

“Shizun.”

Dia bergumam dan berbaring lagi.

Suaranya sangat lembut.

“Jangan khawatir tentang aku.”

Tentu saja, Chu Wanning tidak akan memedulikannya.


Seluruh dirinya kacau, dan pikiran jernih yang selalu
dibanggakannya sudah dipenuhi dengan asap dan racun. Dia
berbaring di tempat tidur, menyipitkan mata pada tirai gelap,
berpikir perlahan dan kaku. Apa yang coba dilakukan Mo
Ran?

Dia memikirkan banyak hal dan membuat segala macam


dugaan yang tak terbayangkan. Hanya saja dia tidak berani
menebak jawaban yang paling jelas, juga tidak berani
menebak bahwa Mo Ran juga mencintainya.

Ini seperti orang lapar yang mendapat pai daging renyah dan
harum, karena tidak mudah didapat, sangat berharga, dia
memakan semua lapisan kulit kue tetapi enggan untuk makan
dagingnya.

Chu Wanning mendengarkan lelaki di luar tirai yang


menggumam dengan cemas.

Dia menarik selimut diam-diam hingga ke atas dagu dan


hidungnya, hanya memperlihatkan sepasang matanya yang
cerah.

Lalu dia menutupi matanya juga dan menyembunyikan diri di


dalam selimut.

Tentu saja dia mendengar, tetapi dia tidak tahu bagaimana


menjawabnya.

Jantungnya berdebar kencang dan telapak tangannya penuh


keringat.

Dia merasa seperti telah dipojokkan ke jalan buntu, ingin


duduk dan berteriak marah, “Ya! Aku  menyembunyikan
kantong brokat itu! Aku suka itu! Puas?! Berhentilah bertanya
dan tidur!”
Dia tersiksa dan malu, dan hatinya sangat gatal.

“Shizun?”

“…”

“Apakah kau benar-benar tidur…”

Setelah beberapa saat, Chu Wanning mendengar Mo Ran


mendesah pelan.

Dia menutupi kepalanya dengan selimut. Dalam kegelapan,


dia dipenuhi dengan penyesalan, ketakutan, kegugupan, dan
rasa manis. Dia memiliki perasaan campur aduk, asam dan
pahit, dan mencoba menenangkan dirinya sendiri, tetapi pada
akhirnya, pipinya terbakar dan tidak bisa menahan untuk
diam-diam menendang selimut.

Published by:

delatan

Menjalani hidup menurut jalannya. I live my life as it's meant


to be. Lihat semua pos milik delatan

 2HA bab 177, bab177, erha, Yu Wu Meninggalkan


komentar

Tema: Cyanotype oleh WordPress.com.

Anda mungkin juga menyukai