Anda di halaman 1dari 7

The Colors Of life (Not

feeling blue, I’m feeling


black)
“I saw that you were perfect and so I loved you, then I saw you were not perfect
and I loved you even more”.

Katanya dibalik kesedihan pasti akan ada kebahagiaan yang datang.


1

Katanya disetiap air mata yang jatuh akan digantikan dengan senyuman yang
tertunda.

Katanya cinta adalah rasa yang abadi, yang bisa menyembuhkan, membuat lupa,
jatuh dalam angan-angan, terhempas, tanpa tau arah untuk melangkah, hanya bisa
mempercayakan dan pasrahkan.

Katanya semua rasa sakit yang menikam, membunuh perlahan, memutar belati
ditengah jantungnya akan menghilang seiring berjalannya waktu.

Katanya untuk sembuh seutuhnya membutuhkan waktu kurang lebih selamanya.

Katanya melupakan merupakan hal yang sulit untuk dilakukan.

Katanya jika kamu percaya dan tidak memaksakan kehendak, maka kamu perlahan
akan menemukan jawabannya.

Katanya hidup bukan untuk setiap orang.

Tapi nyatanya kehadiran seseorang dapat menghidupkanmu kembali. Membawa


jiwamu yang telah mati. Sampai nanti kau akan bereaksi dan bersaksi bahwa
mungkin benar kata mereka.

Bahagia itu sederhana. Bahagia dapat dicari, dapat dinanti untuk datang kembali.

Sama seperti yang Wonwoo rasakan.

Hitam.

Dunianya hitam, gelap, kelabu, tanpa secercah sinar, tanpa harapan. Pikirannya
keruh, seakan kehidupan siap menyantapnya kapan saja. Seakan ada awan hitam
berputar dan menjatuhkan hujan lebat di dalam kepalanya.
2

Tapi itu dulu. Sebelum Mingyu hadir dan mengubah hitam dalam hidupnya menjadi
warna.

Merah, untuk setiap kali ia merasakan emosi yang tidak terbendung sampai rasanya
ingin memaki, membanting apapun yang ada di sekelilingnya, dan menghantamkan
kepalanya hingga hilang sudah akal sehatnya. Namun Mingyu akan menatapnya
kemudian merengkuh seluruh tubuhnya dan berucap dengan suaranya yang
lembut,

“Kamu boleh marah, kamu boleh teriak, kamu boleh nangis sekuat-kuatnya. Tapi
kamu ga boleh sakitin diri kamu sendiri, karena ada aku yang sayang sama diri
kamu. Ada aku yang ga akan rela satu goresan pun terlukis di tubuh kamu. Lebih
baik aku yang sakit”, dan ia hanya bisa terjatuh dalam dekapan Mingyu sambil
mengepalkan jemarinya seraya menangis membasahi hoodie merah favorit Mingyu.

Kenapa bisa ada seseorang yang rela merasakan sakit demi dirinya?

Biru, untuk sebuah gelas berwarnakan biru langit yang Mingyu belikan untuknya.
Gelas yang sering ia pakai namun telah pecah, hancur dibantingnya berkeping-
keping karena hidup selalu saja menghadapkannya pada kenyataan bahwa ia takkan
pernah bisa bangun dari mimpi buruk yang selalu menghantuinya.

“Kamu mendingan pergi deh Gyu! Aku udah bilang kalau mamaku ga akan setuju.
Mama selalu bilang kalau aku ga berguna, aku bodoh, dan dia bilang kalau aku sama
seperti ayahku.. aku ga bisa menuhin ekspektasi dia. I'm a failure. Kita udahin aja
hubungan ini. Let's stop seeing each other”, Wonwoo memeluk erat dirinya sendiri,
tubuhnya bergetar tidak karuan. Sakit di dadanya menusuk kian parah.

Langkah demi langkah diambil oleh Mingyu sampai ia berada tepat di depan lelaki
yang sedang terisak itu.
3

Mingyu hancur melihat itu. “Apa yang susah Nu? Kasih tau aku dan kita akan cari
jalan keluarnya sama-sama”.

Air mata telah membasahi kedua pipinya, “Aku suka banget sama kamu, Gyu. Sayang
banget sama kamu. Karena itu lebih baik kita pisah aja. Gausah dilanjutin lagi.”

Kepalan tangan Mingyu mulai memutih, lehernya memerah. Ingin berteriak namun
ia mencoba untuk menjadi yang paling rasional diantara keduanya. “Kalau sayang
kenapa harus pisah? Ga masuk akal Nu! Kita hadepin sama-sama. Aku bakal selalu
disamping kamu apapun yang terjadi.”

Senyuman pahit terlihat dari wajah Wonwoo, “Daripada kamu bakal menderita
belakangan. I have so many bad thoughts in my mind, sometimes it's difficult to
handle. Aku hancur luar dalam, Gyu. Dibanding kita saling bikin lelah dan nyakitin
satu sama lain, let's just stop this”, tawa kecil terdengar dari mulut Wonwoo.

Dilahirkan dengan hati yang besar mungkin salah satu kelebihan Mingyu. Sesulit
apapun keadaan akan dia hadapi. Sekeras apapun pemikiran Wonwoo akan dia
hancurkan. Ia mengambil kedua tangan Wonwoo dalam jemarinya. Mengelus,
berusaha menenangkannya.

“Justru itu. Semua hal buruk di dalam kepala kamu cuma sementara. Aku akan bikin
kamu lupa semua rasa sakit itu. Aku akan bikin kamu bahagia, bikin kamu tertawa
setidaknya buat kamu tersenyum disaat kamu ngerasa hidup kamu berat. And i'll
give you space too if you need it. Just don't push me away, Nu. Let me stay.”

Wonwoo merasa seperti ada peluru menembus tubuhnya ketika ia mendengar hal
itu. Membuat ia bertanya-tanya, apa yang sudah ia lakukan di masa lalunya sehingga
seseorang seperti Mingyu dihadirkan Tuhan untuk menjadi matahari di
kehidupannya dan menjadi pilar yang menguatkannya.
4

Jika diperbolehkan merangkum dinamika mereka terhadap satu sama lain, seluruh
dunia dapat melihat bagaimana Mingyu adalah tembok kuat yang membentengi dari
mara bahaya. Mingyu adalah superman di garda terdepan, dan Mingyu adalah
sumber rasa aman. Setidaknya begitu bagi Wonwoo, yang selalu merasakan segala
bentuk afeksi dan bagaimana rasanya diprioritaskan oleh pemuda itu. Bagaimana
panggilan tengah malam pencarian bala bantuan tak hanya sekedar wacana, dan
pemuda itu akan tiba secepat kilat yang menyambar.

Oranye, untuk langit dengan semburat oranye yang menemani mereka ketika
bertemu ditaman kompleks sore itu.

“Seminggu yang lalu aku ngobrol sama mama.”

Paddum, paddum. “Oh ya? Terus?”

“Mama tanya kalau memang kasusnya seperti ini, jadinya kapan aku mau serius
sama kamu.”

Dan Mingyu terbatuk. Dan terbatuk. Dan terbatuk. “…..Hah?”

“Gokil gak, sih?” Wonwoo menyengir. Sebuah cengiran super lebar.

Mingyu menelan ludahnya susah payah. “Banget.”

“Tuh, liat deh.” Wonwoo menunjuk langit, kepada matahari yang dalam sekejap
mata akan segera tenggelam. “Barusan aku curhat ke sunset nya, minta dia restuin
hubungan kita.”

Mingyu terkekeh tanpa suara. “Terus dia setuju?”


5

“Tadinya engga, tapi aku ancem.”

Lagi, Mingyu terkekeh dan menutup matanya rapat-rapat. “Boleh tolong bilangin
langit juga? Minta langit untuk restuin kita, supaya kalau tiba-tiba si sunset
mangkir, kita masih punya rencana cadangan.”

Wonwoo mendengus geli, Mingyu Kemudian mengusap kepala yang terkasih dan
membawanya ke depan dada.

“Igyu.”

“Hm?”

“We’re all in this together?”

“We’re all in this together.”

I told sunset about us, that we’re gonna stay together no matter what.

Dan hijau, untuk hamparan rumput yang luas membentuk bukit. Tempat dimana
Mingyu memberikan kotak berisi foto polaroid mereka berdua dan sebuah gelang
berwarna perak yang diatasnya terukir kata-kata,

“breathe and happy thoughts only, sunshine.”

Pada saat itulah, ia menyadari bahwa hidup akan terus berjalan. Bumi akan terus
berputar. Matahari akan terus bersinar. Seseorang akan datang dalam hidupnya dan
yang orang itu inginkan darinya hanyalah tak ingin dunianya selalu gelap. Tak ingin
melihat ia tertawa untuk menyembunyikan kesakitan. Tak ingin melihat ia berusaha
menikam hatinya demi menutupi kesepian.

Yang orang itu inginkan.. yang Mingyu inginkan adalah mencoba memahaminya,
mencoba menjadi bumi yang tak lelah mengitarinya, menjadi lembaran indah dalam
6

kisah hidupnya, dan memperjuangkannya yang selalu berlari menjauh dengan


alasan mencari jati diri dan merasa lebih baik sendiri.

Padahal untuk apa pergi? Untuk apa berlari? Jika ternyata rumahnya ada disini.
Bahwa Mingyu adalah rumah baginya. Dan seberapa jauh ia melangkah, pada
kilometer berapapun ia berhenti, dunianya akan selalu kembali menuju seseorang
yang telah kekal mengukirkan nama pada hidupnya dan menjadikannya sebuah
alasan untuk menetap, bahkan untuk selamanya.

Anda mungkin juga menyukai