Anda di halaman 1dari 397

1

SUBTITUSE

FOR MY WIFE
Song Eunso

1
2

BAGIAN SATU
Prolog
“Eonni…”
Aku mengintip ke arahnya melalui sudut mataku yang lebar, sejalan dengan
dugaanku... dan ia masih menatapku, bukan dengan tatapan heran seperti
kebanyakan orang —ekspresinya sedikit gelisah. Dan aku kembali menunduk,
menyembunyikan penolakanku yang seringan abu. Well, aku benar-benar tidak bisa
menahan diri, but… aku juga tidak seberani yang kuharapakan. Aku menyadari,
sebenarnya aku memang payah jika harus berdebat dengan dirinya yang kelewat
keras seperti baja. Entah itu aku yang memang tidak memiliki daya atau memang
eonni yang terlalu berkuasa, yang jelas… aku benar tidak bisa menang untuk hal
apapun. Aku mungkin saja berani, tapi itu juga tidak cukup membantuku. Barangkali
itu hanya penenangku belaka supaya bisa lebih kuat.
“Hmm… Tidakkah ini tidak terlalu beresiko? Maksud Eunso, umm… apakah
benar tidak ada jalan lain? Well… kita mungkin kembar tapi— bukan berarti
Kyuhyun-ssi buta mengenali bukan?”
Eunbi mengangka bahu.
“Tidak, tentu saja tidak”
Ia menjawab dengan ringan, tanpa beban, dan santai.
Aku menghembuskan napas pelan. Memutar keras bagaimana upaya yang
harus kulakukan kembali. Aku tahu jika aku tak akan pernah bisa merasa menang,
aku takkan pernah berhadapan dengan keputusan adil jika harus berhadapan
dengannya. Sekuat apapun itu, dan bodohnya… seperti yang bisa kurasakan,
penyesalan tak pernah datang menghampiriku. Ketika hidup menawarkan garis
takdir yang sebeginian rupa, melebihi akal pikirmu, rasanya tidak masuk akal untuk
menyesalinya bila impian itu berakhir. Entah akan berakhir sesuai dengan apa yang
2
3

kuharapkan, atau tidak... aku tetap tidak bisa merasa menyesal, setidaknya untuk
sekarang..., asalkan semuanya bisa cepat berlalu, asalkan ia bisa berhenti merengek
padaku, aku bisa saja. Aku bisa menuruti semua permintaannya, tapi jika ini masih
bisa dinegosiasikan... aku juga masih berharap semunya tidak akan terjadi.
“Tapi jika ketahuan bagaimana? Maksudku, kurasa… tidak hanya oppa,
keluarga kita... semua bisa saja terjadi eonni. Dan coba kau pikirkan lebih jauh,
dengan keadaanku yang tidak pernah bertemu dengan suamimu, dengan Kyuhyun-
ssi. Bukankah itu hal yang mengerikan?” cicitku pelan, sebisa mungkin
menumbuhkan sisi keberanianku yang lain. Di dalam keadaan cukup terang, dan
lebih hangat kuharap semua energi positif mampu menyokongku. Aku menatap
eonni tanpa bernapas, ke dalam mata cokelatnya yang teduh, dan ia balas
menatapku senang. Aku selalu tak bisa memahami jalan pikirannya yang sering
bertolak belakang denganku. Ini mungkin terdengar tidak rasional, seharusnya aku
lebih mempunyai pikiran yang sama.
“Well… bukankah itu ide bagus yang patut diapresiasi?”
Kedua alisku berkerut, kedua tanganku saling mencengkeram
kuat. Ketakutan mulai menghampiri relung hatiku dengan gerakan berlebih. Well...
ini bukan keputusan mudah, dan apabila memang garis ini yang aku harus lakukan,
akan ada banyak dampak yang mengikuti dengan sukarela, nantinya. Tentunya ini
adalah cara yang bagus untuk mati, menggantikan orang lain, orang yang seharusnya
kau cintai. Bahkan mulia. Mestinya itu berarti sesuatu.
“Bagus apanya?”
“Sejatinya, dari perspektifku yang lain, semakin minim interaksi yang
terhubung antara Kyuhyun dan dirimu… presmisnya bukankah pria itu juga akan
semakin sulit untuk mengenalimu eo?”
“Tidak ada presmis yang tidak masuk akal seperti itu”
Ia mendecak kecil.

3
4

Makan waktu beberapa menit untuknya menyanggah beberapa argumenku.


Meski ujungnya aku kalah, berjuang di pertengahan seperti ini juga bukan hal yang
salah. Kuharap aku tidak menyepelekan pertahananku dan berharap aku
mempercayai bahwa kemanangan atas diskusi panjang ini jatuh dalam kuasaku. Aku
tidak ingin membohongi diri, hingga aku terpaksa harus melakukan itu.
“Eunso…”
“Ya”
“Memangnya kau tidak senang ya?” kaoknya.
Kutatap matanya yang berbinar-binar itu selama sedetik. “Jelas, bagaimana
aku bisa menyukai hal ini!”
Aku membuang muka ke arah jendela, menggetarkan gigi dengan gemas.
Bahkan jika aku harus merenung selama sepuluh tahun, aku tetap tidak bisa
menemukan alasan kenapa aku harus menyukai ide gilanya ini. Kami tidak mencapai
kesepakatan apapun soal hal yang bisa menguatkan argumenku, tapi aku juga
merasa bersalah.
“Kumohon… gantikan aku. Sementara saja”
“Sementara atau apapun itu, tetap saja, Eunso benar tidak bisa
melakukannya. Pikirkan sekali lagi eonni, pernikahan kalian bahkan baru seumur
jagung. Tidakkah kau ingin bersabar untuk mendapatkan hati seorang Cho Kyuhyun?
Well..., ini mungkin hanya soal waktu, mungkin saja perasaan itu belum tumbuh,
tapi… kita tidak pernah tahu keadaan apa yang akan terjadi di masa depan. Bisa jadi,
jika kau lebih bersabar… kurasa kebahagiaan akan datang melingkupimu dan
Kyuhyun-ssi”
“Aku sudah bertahan selama delapan bulan ini. Jikapun itu soal waktu,
semestinya aku juga tidak akan menunggu selama itu, Eunso. Tidak bisakah..., kau
juga paham akan perasaanku? Aku lelah untuk berada dalam lingkaran api seorang
Kyuhyun. Usahaku tak pernah terbaca, bahkan aku sangsi dengan kehadiranku yang

4
5

kasat mata. Eunso..., aku sudah pernah mencoba. Dan akhirnya, aku benar tersiksa
atas apa yang Kyuhyun lakukan padaku”
Hatiku gelisah. Entah suatu kebenaran atau bentuk penyangkalan semata.
Aku benar-benar tidak bisa memahami seperti apa pribadi Kyuhyun. Tapi… melihat
matanya yang penuh pengorbanan di balik lini katanya, well… itu menggiring opiniku
bahwa Kyuhyun memang bukan pribadi yang baik. Itu jika aku harus menarik
kesimpulan dari sudut pandangnya sendiri. Dan secara keseluruhan, aku juga tidak
bisa menyalahkan sikap eonni yang terkesan menentang apa saja yang melewatinya,
karena memang… pernikahan ini hanyalah sekedar simbol janji masa lalu. Danpun
parahnya… dari ketersembunyian status pernikahanya, kuyakin ada satu hal yang
memang sengaja ditutupi oleh seorang Kyuhyun. Barangkali tipuan, itu bisa saja
benar atau salah. Dan untuk kebodohanku yang terlampau parah, aku bahkan tidak
bisa menghadiri upacara sakralnya.
“Eunso-ya, dengarkan aku. Ini tentu berisiko. Tapi dia juga tidak mungkin
mengamatiku sedetail yang kau kira. Terlebih lagi kita ini kembar, matanya tajam
tapi tidak benar berfungsi untukku. Bahkan jika aku mengganti wajahku sekalipun,
pria itu sedikitpun tak akan peduli”
“Benarkah...?” heranku saat ucapannya terkesan berlebihan.
“Ya, karena kau tidak pernah mengerti bagaimana Cho Kyuhyuh”
Ia menggenggam kedua jemariku yang saling bertaut. Mengelusnya pelan,
hingga aku turut merasakan nada mohon yang mengalir di setiap gerakannya. Aku
menatapnya lembut, tidak pernah benar-benar tega untuk melihat matanya yang
berkaca-kaca. Wanita yang lahir lima menit sebelumku ini, benar-benar memenuhi
ruang hatiku hingga tak tersisa. Aku tak bisa untuk mengusungkan permusuhan di
antara kami. Aku mencintainya lebih dari apapun, well… ikatan kami memang kuat
karena aliran darah yang sama.Kami sudah lama merasakan sesuatunya bersama,
tumbuh dan hidup bersama. Ia tumbuh menjadi gadis periang, mudah bergaul,

5
6

begitu kontras dengan pembawaanku yang cenderung pemalu. Kami hidup bahkan
seperti tak terpisahkan. Aku bahkan bisa merasa hampa yang berlebih saat ia jauh
dari pandanganku. Aku tahu ini sesuatu yang wajar bagi kembar seperti kami.
Well..., jika keputusannya akan berakhir seperti permintaannya. Aku harus
membuat rencana paling matang saat aku harus berperan menjadi nyonya rumah
Cho. Aku tertawa dalam hati, benarkah pertemuan pertamaku dengannya harus
melalui jalan yang semengerikan ini? Eunbi mungkin paham, tapi bagaimanapun
juga. Entah seacuh apapun pria itu, tetap saja instingnya akan lebih tajam dari apa
yang ia pikirkan. Kebayakan laki-laki memang seperti itu bukan?
“Aku mungkin bisa mengabaikan perasaanku. Tapi…, bagaimana dengan yang
lainnya? Tidakkah eonni juga memikirkan perasaan eomma, appa, Daehyun oppa?
Semuanya... bisakah kau menjamin keselamatan ada pada mereka bertiga?”
Aku menghembuskan napas sebelum kembali memulai.
“Sebagai upaya terakhirku. Kumohon... pikirkan baik-baik dan hiduplah
bahagia dengan Kyuhyun-ssi. Aku yakin, ia adalah yang terbaik untukmu. Terlepas
dari semua buruknya Kyuhyun sekarang… atau apapun itu. Yang jelas, kau hanya
butuh percaya bahwa Kyuhyun pasti bisa menjadi lebih baik. Kau hanya perlu
bersabar sebentar saja, setelahnya kau—”
“Tidak..., kau tak bisa berpikir seperti itu”
“Aku harus berpikir bagaimana lagi? Apa yang bisa kau janjikan padaku
eonni? Apa yang bisa kau janjikan untuk keselamatanku?”
“Aku bisa menjanjikan apapun untukkmu”
Aku mengerang. Jadi— barangkali inilah jawabanku sekarang. Lalu
pertanyaan paling penting dari semuanya adalah. “Tidakkah perasaan Kyuhyun-ssi
baik-baik saja? Pikirkan betapa sakit perasaannya jika tahu akulah yang sedang
menggantikanmu”
“Ia tidak akan pernah merasa tersakiti untuk hal apapun”

6
7

“Dia juga manusia eonni...”


“Ujudnya mungkin manusia, tapi iblislah yang ada dalam jiwanya”
Jika ini benar, aku nyaris tidak bisa memaksa diriku memikirkan kata itu—
apa yang harus kulakukan? Melibatkan Daehyun jelas tidak mungkin. Aku bahkan tak
memercayai diriku sendiri, siapapun pasti akan menganggpku bergurau. Well…
sepertinya hanya ada dua pilihan. Pertama, mengikuti permintaannya: bersikap
seolah-olah akulah istri sah seorang Cho Kyuhyun, dan berperan sebiasa mungkin.
Kedua… mengabaikan sebisaku. Berpura-pura tidak pernah ada permintaan konyol
dan membuat hubunganku merenggang. Tiba-tiba aku merasa sangat putus asa
memikirkan kemungkinan terakhir. Pikiranku menolak rasa sakit itu, dan bergegas
beralih ke pilihan pertama.
Aku memang selalu seperti itu. Membuat keputusan adalah sesuatu yang
menyakitkan bagiku, bagian yang paling membuatku menderita. Tapi begitu
keputusan diambil, aku tinggal menjalaninya— biasanya dengan perasaan lega
karena pilihan sudah dibuat. Tetapi, terkadang perasaan itu juga bercampur dengan
penderitaan, seperti keputusanku yang tidak tepat sesuai aturan. Tapi ini lebih baik
daripada harus bergulat dengan pilihan-pilihan lainnya. Setidaknya itu yang bisa
menenangkanku sekarang, penyemangatku, bukan sekedar pelampiasanku belaka.
Lagipula, seandainya Kyuhyun memang sama persis dengan apa yang Eunbi
katakan. Sesuatu yang kukhawatirkan mungkin tidak akan pernah terjadi. Sebaliknya
aku bisa saja diam tanpa harus menyapa Kyuhyun seperti yang Eunbi katakan. Satu
hal yang aku yakin, kalau memang yakin. Apa yang harus kutakutkan jika saja
Kyuhyun tak pernah datang? Dari situlah aku mendapatkan jawabanku. Aku benar-
benar tidak tahu bahwa sebelumnya juga ada pilihan. Aku bisa menyetuji tanpa
harus repot untuk mengahadi peringai seorang Kyuhyun. Dan itu adalah kuncinya.
Meski ini adalah keputusan berbahaya, anehnya ini mudah untuk kujalani. Entahlah,
aku seperti sedang menjemput sesuatu yang harus kujemput.

7
8

“Benarkah?”
“Ya Tuhan. Kecerdasanmu ini memang membutakanmu, ya? Untuk alasan
apapun, Kyuhyun bukanlah orang yang penuh dengan perasaan hangat. Ia jauh
dengan apa yang ada dipikiranmu. Dan kupikir… laki-laki dingin, tegas, dan hedonis
macam Kyuhyun, hanya cocok untuk gadis penurut sepertimu. Lagipula kau belum
mempunyai kekasih, jadi kurasa ini bisa menjadi ajang pembelajaran untukkmu”
“Eonn—”
“Apalagi?”
“Justru karena Eunso tidak pernah mempunyai pengalaman semacam itu.
Bukankah itu terdengar membahayakan? Well… Eunso bisa saja salah meyiapkan
barang sesuatunya. Untuk hal-hal yang biasa kau lakukan untuk Kyuhyun, itu sesuatu
yang tabu bagiku. Aku tidak bisa menjanjikan semuanya akan sesempurna
rencanamu”
“Tidak perlu memikirkan hal yang tidak perlu kau pkirkan. Kau hanya perlu
menjadi istri yang baik untukknya. Menyiapkan air hangat, menunggunya pulang
kerja, menyiapkan makan, dan... bagian paling mengasyikkannya, tentunya,
melayani Kyuhyun di atas ranjang”
Darahku bagai meledak-ledak dalam nadiku. Pembicaraan tabu semacam ini
benar tidak bisa membuatku berpikir jernih. Aku menatapnya dengan tuntunan
pertanyaan kuat. Well… untuk masalah ini aku memang tidak memungkiri bahwa
aku jauh berada di bawah Eunbi. Sikap introvert dalam diriku mengembang pesat
dengan dorongan jiwaku yang menguat. Sejauh ini aku memang dianggap terlalu
polos untuk hal-hal berbau seksualitas. Well..., itu kenyataannya dan aku tidak
merasa dipermalukan. Bagiku..., apa yang ada dalam diriku lebih penting. Jadi
kurasa… aku mungkin bisa saja dibohongi oleh sebagian orang jika saja lingkunganku
tak terkondisikan.
Menyedihkan, bagaimana imajinasiku begitu tak terkendali.

8
9

“Dengarkan aku baik-baik, aku yakin otak cerdasmu juga bisa memahaminya
cepat. Secara teknis… Kyuhyun hanya menganggapku sebagai seorang adik, tidak
lebih. Tak ada pancaran nafsu dari sudut matanya. Dan… mengingat kesamaan umur
yang kita miliki, logikanya ia juga harus bertingkah sama. Dalam dunia-dunia dengan
tanda kutip, lelaki dewasa seperti Kyuhyun juga tak mungkin tertarik pada gadis kecil
sepertimu”
“Benarkah?”
“Kau bisa pegang ucapanku. Meskipun aku tahu dia bajingan, bukan berarti
Kyuhyun juga orang yang ingin berbuat secara paksaan. Jangan pernah
mencemaskan apapun”cecar Eunbi.
“Aku penasaran”
“Apa?”
“Jika tahu akan berakhir seperti ini.., kenapa tidak diakhiri saja? Kenapa tidak
dibatalkan setidaknya, kurasa... pasti ada hal yang memang seharusnya dilakukan”
“Well… kalaupun aku bisa, sudah kugugat cerai pria itu satu menit setelah
pemberkatan. Ini hanya janji belaka, dan aku bisa apa melawan perintah abeoji?
Meski mereka mengharapkan banyak hal, aku tetap yakin, tidak akan pernah ada
cinta diantara kita. Please..., aku sudah sangat frustasi dengan pernikahan ini. Pria
itu tidak pernah berperilaku ramah sedikitpun padaku. Aku sudah berusaha
semampuku but tetap saja... ia hidup seolah-olah tak ada aku, dan kau tahu
bagaimana rasanya? Tersiksa”
“Lalu, jika akhirnya seperti yang kau harapkan..., berapa lama? Berapa lama
aku harus menjadi dirimu?”
“Sampai ia menyadari betapa pentingnya memiliki seorang istri”
“Setelah itu?”
“Semua keputusan ada di tanganmu”
Aku menarik napas panjang, menimbang keputusan yang paling tepat.

9
10

“Aku tahu. Ini pasti berat untukmu, tapi aku juga tidak sanggup untuk
bertahan. Well… kumohon, bantu aku sekali lagi. Aku akan melakukan apapun, jika
kau memintaku berlutut, akan kulakukan. Aku berjanji, ini adalah kali terakhirnya
aku meminta padamu”
Gelombang iba bergejolak dalam dadaku ketika menyadari tatapannya yang
menyesakkan. Dengan harapan yang masih menipis, hatiku mematangkan hasil
keputusan yang sempat ku ambil di awal. Meski harus tertatih-tatih… ia adalah
segalanya untukku. Bahagianya adalah milikku dan tangisnya adalah dukaku. Dan
seperti biasa mula-mula akulah yang akan mengalah untuk semuanya. Kemudian,
kegemberiaannya meningkat cepat ketika satu kata menakjubkan keluar dari
mulutku.
“Baiklah”
Aku tahu, awal hidupku akan bermula di sini, pada detik ini.

Story begin.
Well… tak ada yang perlu kusesali. Mulai, jalani, dan akhiri. Semudah
sesimpel itu pikirku, tapi itu tentu tak akan berjalan semestinya. Iya jika itu memang
diakhiri dengan semudah menjentikkan jari, kalau sebaliknya? Aku menelah ludah
kasar, dan aku tidak bisa menyalahkan siapapun. Aku tahu ini juga pilihan yang sulit
untuknya, tapi... jika alasannya hanya untuk seorang Kangin... lelaki yang kutahu
sebagai sunbaeku di sekolah menengah itu, ia mungkin tampan, tapi setampan
apapun itu bukankah Cho Kyuhyun lebih lebih dan lebih tampan dari seorang
Kangin? Itu jika kulihat dari kacamata bingkai berukuran kecil di balik layar ponselku.
Entah jika ia melihatnya dari sisi yang mana hingga bisa begitu percaya bahwa
Kangin adalah pria dimana ia bisa menambatkan segala sesuatunya.
Bahwa..., aku percaya.
Fisik bukan satu-satunya kriteria.

10
11

Aku tidak terlalu paham dengan apa yang seharusnya terjadi. Pun dengan
permasalahan pelik sebelum ini, tentang pernikahannnya, atau tentang sebuah
kesepakatan. Aku tahu ini hanya sebatas pernikahan klasik belaka, tapi setiap
alurnya juga tidak harus disamakan dengan drama-drama Korea bukan? Ini mungkin
saja berakhir bahagia, hanya saja aku menjadi ragu untuk menduga. Jujur..., aku
percaya rencana Tuhan sejalan dengan hukumannya yang berlaku. Tidak ada
perbuatan yang tak pernah membawa pengaruh, dan jika aku selamat, aku akan
selamat. Dan jika aku mau mengiyakan, aku akan bertolak belakang dari itu.
Aku menghela napas kasar, menimang-nimang berada di tahun berapa aku
hidup. 2019..., dan tipe-tipe perkenalan semacam perjodohan ternyata masih begitu
eksis di era globalisasi ini. Aku tahu, penolakan menjadi momok utama yang tak
dapat diselesaikan. Pergelakannya mungkin sukses, lancar dari apa yang
diperbincangkan. Tapi, apa itu masih berarti jika kebahagiaan justru saling berlari?
Iya jika saling berlari mencari, kalau berlari saling menjauhi seperti sekarang? Tak
ada pendekatan, apalagi pertemanan. Yang ada hanyalah benteng permusuhan dan
titik kepalsuan. Aku bergidik heran, jika tahu akhirnya akan seperti ini, bagaimana
bisa abeoji terus memaksa Kyuhyun untuk menikahi salah satu diantara kami?
Di usiaku yang baru duapuluhsatu tahun, aku yakin ini bukanlah keputusan
yang mudah. Sama halnya dengan Eunbi. Semuanya tak ada yang berubah. Jarak
usia kami yang relatif jauh, membuat segalanya nampak menjadi lebih kacau.
Lagipula..., benar katanya, sungguh sangat tidak adil rasanya jika pria dewasa seperti
Kyuhyun harus menikahi gadis belia seperti kami. Aku terdiam, kemudian tertawa
sumbang. Hari pertamaku buruk, tapi baik. Baik karena aku tidak harus bertemu
dengan Kyuhyun, dan sangat buruk karena itu membuatku semakin lama merasa
terbiasa. Aku merasa sesuatunya menjadi serba salah untuk kulakukan, dan well...,
ini sama sekali bukan gayaku. Aku tidak pernah merasa terlalu memperhatikan
seseorang yang tidak terlalu dekat denganku.

11
12

Lambat laun aku mulai menyadari sesuatu, aku tidak bisa untuk tidak merasa
terusik. Bahkan saat hari demi hari membawaku kedalam penantian belaka, aku
tidak bisa tidak merasa semuanya akan baik-baik saja. Aku melirik ke arah jarum
jam, lalu mendesah. Pukul satu malam, dan tandanya aku harus benar-benar tidur
tanpa harus menunggu kepulangan Kyuhyun lebih lama lagi. Aku mulai paham,
kegiatan seperti ini ternyata tidak berlangsung untuk sehari, duahari, atau tiga hari,
aku terus melakukannya sampai ia benar-benar datang menemuiku.
®®®
Paginya matahari menerpa kulitku hangat melewati celah-celah yang mampu
menyilaukan mataku. Tidurku gelisah, bukan karena mimpi buruk yang menderaku,
bukan, ini lebih kepada tidur tapi tidak benar-benar terlelap. Aku tahu ini hanya
dampak dari kegelisahanku yang tiada ujung. Well..., aku harus memahami, dan
hatiku berperan apik tanpa aku sadari. Aku tidak ingin menduga atau membuat
kesimpulan bahwa alasan terbesar dari malam-malam gusarku adalah, aku sedang
menunggu. Bahwa sebenarnya aku sedang menunggu Kyuhyun, untuk kembali
pulang dan menjalankan status sebagaimana mestinya. Alisku mengernyit, batinku
bertalu-talu bertanya mengapa, tapi aku juga tidak memiliki jawaban yang bisa
membuatnya luruh.
Aku menarik napas dalam-dalam. Kalender kecil di sudut permukaan jam
menginformasikan padaku hari ini tanggal duapuluh tiga September. Aku beralih
menatap jauh ke arah jendela, matahari yang sempat membuatku mengernyit
berubah menjadi cahaya kelabu muram, tersaput mendung. Semoga ini bukan
pertanda yang buruk. Kakiku sedikit sempoyongan saat melangkah dimana aku bisa
membuat diriku menjadi orang normal.
Ketika aku meggosok gigi, aku nyaris terkejut karena bekas di bawah mataku
membuatku benar-benar yakin hidupku sudah jauh dari apa yang seharusnya
melekatiku. Sepanjang musim dingin yang sempurna, musim dingin paling

12
13

membahagiakan yang selalu kunikmati, kini bergentayangan muram dalam diam,


menunggu saat yang tepat untuk menyerangku.
Aku berlama-lama di kamar sebelum turun ke bawah, sambil menenteng asa,
berusaha menepis kegelisahan yang berkecamuk di hatiku, memikirkan jarak aneh
antaraku dan Kyuhyun.
Tidak ada yang kulakukan selain berdiam diri karena bosan. Bagaimanapun,
ada banyak hal yang kulakukan pagi ini— aku menatap ke arah jendela, di luar sudah
terlalu gelap untuk sinarnya yang terang, dan perasaan itu semakin kuat, sekarang
bahkan nyaris menjadi keharusan. Bahkan, ini lebih parah saat semua rutinitas
pagiku selesai, tidak ada hal yang benar-benar bisa membuatku mengalihkan fokus
pada suasana aneh yang kuciptakan. Semuanya, harus sesuai dengan apa yang telah
kurencanakan sejak awal. Bagaimanapun keadaannya.
Aku...
Kesepian...
Entah sampai kapan, aku tidak tahu.
Aku benar tidak bisa membohongi diri. Mataku beberapa kali melirik jarum
jam yang terasa memekakkan. Detik jarumnya membuatku semakin merasa waktu
sedang mengulitiku hidup-hidup. Bahkan itu bisa saja membuatku sinting. Aku
menelan ludah, beberapa kali mengenyahkan ganjalan yang tiba-tiba bersarang di
tenggorokanku. Aku tidak bisa mengalah, bahkan... bisa jadi ini adalah awal bagi
hidupku. Well..., aku berusaha meyakinkan diriku sendiri dengan mengatakan bahwa
ini hanya soal waktu. Aku tetap bisa hidup seperti biasanya aku hidup, meski aku
juga tidak yakin bisa.
Sejenak aku hanya diam, linglung.
Aku mulai lagi. Tak ada apapun di sudut-sudut rumah ini sepertinya
menyadari hal itu. Aku bisa merasakan sesuatu, mungkin kepanikan, bertumpuk di
dadaku. Aku kabur ke dapur.

13
14

Japchae yang kubuat sama sekali tidak menarik perhatianku. Aku duduk di
kursi, melipat lutut, dan memeluk kedua kakiku di balik rok. Ada yang tidak beres,
mungkin lebih parah daripada yang kusadari. Aku mencoba mengendalikan diri,
memberi penjelasan masuk akal pada diriku. Hal paling buruk apa yang bisa terjadi?
Aku tersentak, menggeleng keras. Itu jelas pertanyaan keliru. Sulit rasanya bernapas
dengan benar.
Baik, aku mencoba berpikir untuk mengubah sedikit pertanyaan barusan, hal
paling buruk apa yang sanggup kuterima saat ia kembali? Atau hal paling buruk apa
yang sanggup kuterima saat semuanya selesai? Aku lagi-lagi menggeleng, aku juga
tidak terlalu menyukai pertanyaan itu. Tapi aku memikirkan berbagai kemungkinan
yang dulu kupertimbangankan. Sulit rasanya mengingat alasan dari semua
kekacauan ini. Tapi aku tak bisa bergantung pada hal itu. Aku sudah memutuskan
kalau aku tak bisa bertemu dengan Kyuhyun hari ini, benar-benar bicara, aku akan
menemui Eunbi besok. Aku harus melakukan sesuatu.
Aku tak bisa memastikan jawabannya.
Aku meletakkan pipiku ke lutut, memandangi benda-benda asing dari
pengelihatanku. Aku tahu jalan yang kupilih ini bakal sulit. Dan, bagaimanapun, aku
memikirkan skenario terburuk— yang paling buruk yang bisa kuterima. Aku terkekeh
sendiri saat semua beputar bagai roll film yang menghanyutkanku. Tawaku berhenti.
Begitu merasa sedikit pusing, seakan-akan aku berdiri di tepi tebing curam yang
sangat tinggi. Dari sana, aku tidak memiliki pegangan apapun, aku bisa saja terjatuh
dan mati.
Siang hari itu lewat dengan cepat, pikiranku terfokus pada bagaimana malam
nanti bisa kulalui. Bagaimanapun, kemarin tidak terjadi apa-apa. Tidak terjadi apa-
apa. Dari pengalaman sebelumnya aku tahu, aku hanya perlu menunggu tanpa
penantian yang berarti. Kabut tebal yang mengaburkan hari-hariku kini terkadang
terasa membingungkan. Aku sedikit terkejut saat mendapati diriku sudah di sofa

14
15

panjang di ruang bagian tengah, tidak begitu mengingat perjalananku dari kamar
menuju tempatku sekarang. Tapi itu sebenarnya bukan masalah. Aku justru
bersyukur bila waktu berjalan tanpa bisa kusadari.
Aku tidak melawan kabut yang menyelubungi pikiranku saat berpaling
menghadap pintu utama. Ada tempat-tempat tertentu di mana perasaan kebas itu
dibutuhkan. Mataku melirik ke penjuru arah, menyadari jika aku benar-benar
menyukai tempat ini. Temboknya yang berwarna putih tidak membuatnya merasa
menyeramkan untuk rumah yang besarnya dua kali lipat dengan apa yang sudah
kubayangkan. Kusentakkan kedua tanganku di atas kedua pahaku, dan saat itulah
aku mendengar suara mesin mobil, makin keras, makin keras dan akhirnya berhenti.
Kulirik diriku di cermin ruang depan sebelum menyiapkan jiwaku, hati-hati mengatur
ekspresiku dengan bersikap biasa dan berusaha mempertahankannya.
Sejenak aku ragu, mendadak aku merasa sangat ketakutan sampai-sampai
tanganku gemetar. Kutempelkan kedua tanganku ke perut untuk menyembunyikan,
dan memandangi ruang dimana aku bisa mematahkan rasa penasaranku. Tapi
selanjutnya aku berhasil menabahkan diri hingga sanggup berdiri dan melangkah.
Aku tahu, aku sangat bisa. Aku hanya cukup mengelabuhi diriku sendiri hingga
semuanya berakhir dan selesai. Aku menatap, memandangi arah jarum jam lama-
lama sambil berdebat dalam hati berapa persen dari kesiapanku yang berdurasi
tujuh malam suntuk yang bisa kugunakan untuk menyambut Kyuhyun. Tapi ini
memang ironis, kalau dipikir-pikir, bahwa pada akhirnya, justru tak ada satu
bagianpun yang bisa menguatkanku.
Sungguh menyedihkan menyadari diriku adalah tokoh utama, bahwa aku
adalah watak antagonisnya.
Jantungku menjadi bergetar hebat. Aku mulai tidak fokus dalam dudukku.
Bagaimanapun juga, Kyuhyun bukanlah hantu atau sesuatu yang menyeramkan,
jelas aku masih satu ras dengannya..., itu tak cukup membantu. Kakiku saling

15
16

mengetuk pelan, menimbulkan suar-suar yang semakin membuatku kalut.


Perasaanku yang cenderung santai berubah menjadi tidak sabaran. Dan..., inilah
kehidupan yang sesungguhnya, nasibku, masa depanku bergantung dengan apa
yang bisa kulakukan sekarang. Dan saat..., pintu berdecit terbuka, aku tahu aku tidak
bisa putar arah ataupun mundur. Hanya ada kata.
Maju dan lawan.
Feromonnya menyekikku.
Aku menghela napas dan tersenyum sebisaku saat tubuhnya berbalik dan
menutup pintu. Bukan hal yang sulit, tapi ini memang bukan saatnya aku merasa
bahwa semuanya bisa stabil baik-baik saja. Tubuhku meremang merasakan sorot
matanya yang tajam menghunus tepat ke dalam retinaku. Well..., ini mendebarkan
meski aku selalu mewanti-wanti untuk tetap tenang. Aku cukup merasa baik, saat
tak ada celah sedikitpun dari penampilanku mampu membuatnya curiga. Pikiranku
berkecamuk, saling mendebat benakku tentang apa yang harus kulakukan
selanjutnya, tapi akhirnya menyesal. Aku mengerang kuat dalam hati, bukan! Bukan
ini yang kuinginkan. Aku tidak ingin merasa diabaikan dengan langkahnya yang
melewatiku.
Benar-benar tidak bisa dibiarkan.
Aneh juga bagiku, bisa sedekat ini, lebih secara emosional daripada fisik,
meski kedekatan fisik juga merupakan hal yang aneh bagiku—dengan sesama
manusia. Itu bukan gayaku yang biasa. Normalnya, tidak mudah bagiku untuk
memulai obrolan menjadi sebuah hubungan, dalam tahapan yang sangat mendasar.
Aneh lagi bagiku, aku harusnya merasa ini adalah bagian baik saat dia mengabaikan
hadirku. Aku tidak perlu-perlu untuk memperhatikannya lebih jauh, aku tidak harus
berperan seperti apa yang kupikirkan sebelumnya. Tapi..., perasaan itu menjauhiku.
Aku sedikit berlari menyusulnya.
“O... oppa”

16
17

Suarku mencoba. Dan..., aku tidak tahu jika feromonnya akan begitu terasa
dalam jarak sedekat ini. Matanya menatapku, kemudian beralih dan mendapati
tanganku dengan lancang menyentuh pergelangan tangannya. Aku buru-buru
melepasnya, dan segera merutuki kebodohanku. Aku menunggunya untuk
merespon, yang hanya membuatku semakin terlihat konyol.
“Maksudku..., itu... kau ingin makan atau mandi dahulu?”
Aku tidak tahu pertanyaanku ini benar atau tidak.
“Aku tidak lapar”
Jadi? Aku bertanya pada diriku sendiri, alisku mengernyit, jika aku
mengajukan dua premis dengan jawabannya yang ia tawarkan, maka premis yang
seharusnya kusimpulkan adalah ia memilih mandi daripada makan.
“Mandi" satu kata berhasil Kyuhyun keluarkan.
“Baik oppa..., aku sudah siapkan airnya”
Kyuhyun mengangguk dan kembali menjauhiku, tapi juga kembali berhenti,
saat aku bertanya, “Ingin kubantu bawakan?”
“Urus saja dirimu”
Aku tertawa sumbang, mataku menatap nanar ke punggungnya yang kian
menjauh. Perkataan Eunbi berlarian di hadapan benakku, dan aku benar-benar bisa
membuktikannya sekarang. Aku semakin percaya untuk racun-racunnya yang
menyerangku. Eunbi benar, Kyuhyun memang jauh dari ekspektasiku. Alasan
terbesar kenapa Eunbi bisa berani menaruhku di tempat ini, kini aku tahu, paham
dan sangat paham. Rasanya seperti di neraka, gurun yang gersang. Aku menengadah
ke atas, seraya bertanya-tanya, mana ada hubungan pernikahan semacam ini, lebih-
lebih romantis, saling menyapa saja sudah sangat bersyukur.
Terserahlah...
Aku tidak akan peduli.
Selagi dia tidak bermain tangan padaku, aku masih baik-baik saja.

17
18

®®®
Semakin malam, udara terasa semakin dingin, menusuk tulang-tulangku
hingga membuatnya nyeri. Aku melirik ke arah jendela, dan menyesal cepat saat
gerakan kanopi pohon begitu menakutiku. Hujan mungkin akan segera turun, dan
bisa jadi semakin mengalutkan malamku. Bukan hal yang bisa membuatku
menangis, tapi ini benar menyesakkan hatiku. Mataku beberapa kali melirik arah
jarum jam yang menyulitkanku. Bisa jadi Kyuhyun sudah selesai, tapi... bisa jadi aku
juga yang terlalu lama menunggunya. Lama aku berpikir hingga aku menemukan
keberanian yang telah mengecil, menyusunnya keping demi kepingnya untuk
kumelangkah.
Langkahku sempat berputar-putar. Kekanan... sesekali kekiri, maju sesekali
mundur dengan perasaan ragu. Mataku menyalang horror mendapati diriku sudah
berada dimana hanya ada dan ia disebalik pintu yang menghalangiku. Ini agak sulit
bagiku. Eunbi tidak pernah menjelaskan padaku lebih detail bagaimana aku harus
bersikap, bagaimana aku harus mengurusi Kyuhyun disaat aku juga tidak paham apa-
apa yang telah mereka lakukan bersama. Jadi..., kurasa... jika ini normal, berarti apa
yang kulakukan selanjutnya juga tidak akan salah.
Nafasku tertarik pelan.
Aku bisa.
Kalaupun tidak bisa, aku juga tidak bisa mundur.
Tanganku membuka pintu tanpa suara, lalu segera menemukan dimana aku
bisa menjangkau sosoknya tepat dihadapanku. Kakinya bersila, tangannya sibuk
mengetik, matanya tertuju tanpa menyadari hadirku. Aku kembali menguatkan hati,
bahwa aku tak akan diperlakukan tidak senonoh olehnya. Kakiku terseok-seok pelan,
belum sepenuhnya berani untuk mengeluarkan bunyi-bunyian apapun yang mampu
membuat konsentrasinya buyar.
But...

18
19

Aku juga tidak bisa jika harus berdiam diri. Napasku naik turun tak teratur,
aku percaya... akan keputusanku sekarang bahwa aku hanya cukup menebalkan
mukaku untuk bergabung bersamanya.
Datang,
sapa,
dan tidur.
Kyuhyun side’s
Dalam bayangku, ini adalah kali pertamanya aku mengenali ada yang
berbeda dengan apa yang biasa kulihat. Tidak secara menyeluruh, tapi aku mengerti
akan adanya perubahan itu meski aku tidak tahu dimana letaknya. Aku mengakui,
pernikahanku dengan Song Eunbi tidak sebaik dengan apa yang seharusnya
dilakukan banyak orang dalam status pernikahan. Aku tahu hubunganku dengannya
sangat buruk, tapi bukan berarti apa-apanya juga luput dari pengawasanku.
Bagaimanapun, untuk seseorang yang kunikahi satu tahun silam, untuk
kesahariannya bersamaku, aku tentu bisa mengenali. Entah itu dari kebiasaannya,
gaya bicaranya, aku bisa cukup memahami meski sulit. Jadi..., jika memang ada yang
berubah dengannya, aku pasti mengerti.
Well..., pertemananku dengan Eunbi tidak sepenuhnya memburuk sejauh ini.
Tapi, jika dilihat dari sudut pandang pernikahan, itu jelas diluar batas kewajaran. Aku
tidak seharusnya menikah atau menikahi gadis manapun. Sejauh ini aku memang
tidak mempercayai pernikahan, cinta, kasih, dan sejenisnya. Hidupku sudah terlalu
cukup dengan apa yang kumiliki. Dan..., hanya dengan alasan yang begitu sepele,
gadis yang seharusnya juga menjadi adikku, adik dari Daehyun, justru berakhir tragis
dengan menikah denganku. Aku tidak bermaksud menyimpulkan atau menakut-
nakuti. Menikah denganku bukanlah jaminan untuk bahagia, lebih parah dari itu,
menikah denganku mungkin bisa dianalogikan seperti menggali lubang kematianmu
sendiri.

19
20

Aku tidak menyukai segala macam status, tidak mempercayai ikatan yang
bisa membuatmu merasa tidak ada orang lain yang bisa membuatmu bahagia selain
dirinya. Jauh-jauh hari aku sudah meninggalkan tradisi semacam itu. Pun..., kalau
aku ditakdirkan menikah nantinya, untuk usia tigapuluhtujuh tahunku, aku benar-
benar tidak akan menikahi seorang gadis muda semacamnya.
Tentu saja...
Gadis kecil, muda tak berpengalaman tentu tidak seimbang untuk mencukupi
kebutuhan biologisku yang timpang.
Mataku kembali berlaih menatap layar putih kosong saat menyadari
kehadirannya. Dari sudut mataku dapat kurasai segala perasaan gugup
menyelimutinya. Well... aku mencoba tenang dalam kepura-puraanku. Menunggu
hal yang akan ia lontarkan padaku.
“Selamat malam... oppa”
Aku mendongak..., menatapnya was-was. Mataku menatap penuh tanya saat
mendapati ia turut naik bergabung bersamaku. Benar-benar berada di tempat yang
sama denganku. Seratus persen aku meyakini, sesuatu pasti telah terjadi hingga ia
berani melanggar kesepakatannya sendiri. Well..., bukannya aku keberatan jika ia
harus tidur bersamaku, tapi... bukan itu yang menjadi masalahnya sekarang. Sejauh
ini aku sudah lama menempatinya sendirian, lalu dengan alasan apa ia bisa dengan
gampangnya mendatangi kamarku? Toh lagipula sejak awal ia yang membuat
semuanya menjadi seba salah.
“Oo... tidur di sini?” tanyaku.
Berbasa-basi.
Ia mengangguk pelan, matanya menelisik ragu, dan mencoba berbaring
sejauh mungkin membuat jarak denganku. Aku ingin sekali menanyakan kenapa
alasannya, tapi kurasa itu tidak penting, jadi kuurungkan cepat-cepat. Aku diam,
kembali fokus dengan layar putih di depanku. Mengetikkan beberapa kata yang

20
21

sempat tertunda tanpa harus merasa terusik oleh apapun. Namun aku tahu aku
takkan mampu fokus, bagaimanapun juga ada dia di sampingku, tatapannya,
gerakan tangannya yang mengetuk-ngetuk kasur membuatku sedikit terganggu. Bisa
saja, jika pikiran kotor menggerayangiku, aku bisa menyimpulkan gerakan tangannya
sebagai undangan terbuka untukku.
“Oppa... apa yang kau kerjakan hum?”
Double shit. Iya kan?
Beberapa kata itu mengiang-ngiang di kepalaku tanpa henti. Aku diam,
merenung, membiarkan pikiranku menelisik lebih jauh dengan apa yang ia gunakan
untuk mengganti nama Kyuhyun dalam memanggilku. Panggilan yang cukup
romantis, menurutku. “Membalas email”
Jawabku. Kentara sekali jika aku berbohong.
Lama aku terdiam, kesunyian nyatanya mengikuti dua kata terakhirku. Tak
ada yang bisa kulakukan, dan situasi seperti ini membuatku canggung.
Bagaimanapun, tidur dengan adikmu sendiri bukan hal yang menarik, lebih dari itu
ini terasa tidak mengenakkan. Ada hal-hal yang harus kami obrolkan, tapi aku juga
bukan tipe orang pembuka obrolan.
“Oo... dingin sekali”
“Hoo”
Aku menoleh ke arah dinding kaca di samping kiri, lalu menatap ekspresinya,
kemudian menyetujui ucapannya, well... tak ada alasan untuk mengatakan panas
disaat angin diluar begitu kuat meliuk-liukkan setiap bagian pohon yang
menghambat lajunya. Entah itu bentuk nyata dari kedinginannya, atau alasan
untukknya membuka obrolan denganku. Yang jelas itu mampu membuat tanganku
terulur, meninggikan suhu di antara kami. Aku sedang mengingat-ingat bagaimana
cara menghadapi serangan empati, aku bermaksud mengabaikan, tapi aku justru
mendorong diriku sendiri, menghancurkan pertahananku hingga melesak ke kepala.

21
22

Aku tidak seharusnya melakukan itu pada Eunbi, tapi... hal itu juga bukan hal yang
salah.
Aku melihatnya hendak mengulurkan tangan kanannya, ragu-ragu ingin
menyentuhku, tapi kemudian mengurungkannya dan pelan-pelan meletakkannya
lagi di samping bantal.
“Terimakasih, oppa” ucapnya seraya memamerkan senyumnya yang
memukau, membuatku sesaat terpana. Aku memutuskan untuk kembali diam dan
mencari-cari kesibukan di layar laptopku, membuka beberapa folder, menggulirnya,
melihatnya sebentar lalu menutupnya. Jariku bergulir ke ikon pencarian, entah apa
yang kucari, tapi akhirnya ku tutup juga saat mulai loading ke halaman utama.
Kemudian, setelah beberapa detik aku mendapati jemariku mengeklik tulisan shut
down dengan cepat. Layarnya berubah menjadi biru, berputar-putar, lalu hitam,
mati. Aku mengerang, menjatuhkan diri ke tempat tidur dengan wajahnya yang
masih memperhatikanku. Lampu kamar masih menyala, dan aku bingung untuk
memutuskan itu tetap hidup atau kumatikan.
Well..., aku menyadari sikapku berlebihan. Sesuatu di luar pembenaran
rasional telah terjadi di depan mataku yang tidak percaya. Entah itu karena efek dari
lamanya perjumpaan kami atau teoriku sendiri, ini bukanlah... Aku. lebih dari itu.
Aku bahkan tak mempercayai diriku sendiri, bahwa aku pasti sedang bergurau.
“Sudah selesai?”
“Ya”
Jadi—
Barangkali, inilah jawabanku sekarang. Aku tidak memaksa diriku memikirkan
apa yang harus kulakukan sekarang. Dan sepertinya, hanya ada satu pilihan, aku
mengikuti kebiasaanku, mengabaikannya sebisaku, lalu tidur secepat mungkin. Aku
berbaring memunggungi tubuhnya yang menghadapku, aku tak peduli, berpura-pura
ada kaca tebal tak bisa bisa tembus di antara kami. Tapi..., saat aku berhasil

22
23

menjauh, tiba-tiba aku merasa sangat putus asa memikirkan tindakanku ini apakah
patut dibenarkan atau justru sepenuhnya salah. Pikiranku menolak untuk diam, dan
bergegas tidur sebelum kelewat panik. Tapi penyebabnya tidak penting, yang
penting adalah akibatnya. Dan esok baru permulaannya.
Aku menarik selimut tua itu menutupi tubuhku, kemudian menambahkan
bantal-bantal.
“Selamat malam, mimpi indah oppa”
Adalah kata-kata terakhir yang kudengar.
Aku tak sadarkan diri.
®®®
Paginya, saat sarapan, ia sepertinya bersemangat mengenai kebutuhanku.
Aku duduk di tempat seharusnya aku makan, menunggu-nunggu aroma masakannya
yang membuatku bingung. Aku tidak mengerti mengapa, sampai ia benar-benar
dihadapanku, aku menjadi semakin bertanya-tanya. Rasanya mustahil berada di
rumah ini, dan menyadari bahwa Eunbi juga ada bersamaku dan menyiapkan
semuanya. Ini sesuatu yang baru, asing, bahwa ketika aku sadar sudah lama sekali
kami tidak makan bersama. Biasanya..., jika aku tidak kembali, ia akan kembali, lalu
sebaliknya, kita jarang sekali berpapasan. Rumah yang seharusnya kami tinggali
nyatanya berubah menjadi tempat persinggahan belaka. Aku tahu..., dan aku juga
tidak memaksa untuk alasannya yang tak pernah pulang ke rumah.
Sesuatu mungkin telah terjadi.
Kangin..., pria yang sedang ia cintai. Kurasa lebih berhak untuk
menungguinya daripada ia harus terus tinggal denganku. Aku tidak masalah, lebih
lagi tidak ambil pusing. Dari awal..., hubungan kami memang tidak ditakdirkan untuk
berada dalam status pernikahan. Aku membebaskannya, entah ia akan pulang atau
terus bermadu kasih dengan Kangin, aku tetap tidak merasa aku sedang dikhianati
oleh istriku sendiri. Tentu saja..., lagipula... aku juga tidak sebersih yang dikira, jadi

23
24

rasanya tidak adil ketika aku bermain diluar, lalu Eunbi harus duduk diam menunggu
kepulanganku. Itu benar-benar tidak dibenarkan dalam kamusku, intinya jika aku
bebas bermain dengan wanita manapun, itu berarti Eunbi juga kubebaskan untuk
mencintai pria manapun.
Sesimpel itu.
Tapi kini...
Rumah yang selalu sepi menjadi terlihat begitu berpenghuni karena
kehadirannya. Pagi yang biasanya sunyi kini penuh suara-suara peralatan dapur yang
saling bertalu, bunyi rebusan air yang mendidih, nada dari irisan bawangnya...,
semuanya membuat dapur benar-benar terasa hidup sekaligus aneh. Aku
mengamatinya dari tempatku duduk, jari-jemarinya yang panjang bergerak luwes...,
sesekali ia juga tersenyum ke arahku dan membuatku mau tidak mau harus
membalasnya kikuk, lebih canggung.
Dari apa yang bisa kulihat, semuanya berhasil membuatku merasa ragu.
Tentang kehadirannya yang tiba-tiba terasa begitu berbeda. Caranya berjalan,
gayanya berpakaian, nada bicaranya yang lebih lembut, semuanya berubah
sependek pengetahuanku. Rok panjang selutut berwarna hijau kelam dengan atasan
putih, ia pilih sebagai pakaian paginya. Rambutnya hitam panjang, tergerai tanpa
membuatnya risih karena terlalu panjang melebihi bahunya. Itu penampilan asing...
seperti bukan dirinya. Aku mengerut kening keras, menepis pikiranku yang semakin
melantur jauh. Atau mungkin aku bisa menanyakannya kepada Daehyun, tentang
keanehan yang menyergapku. Tapi... itu akan semakin membuat semuanya menjadi
tambah kacau. Aku tidak ingin kekonyolanku diketahui banyak orang.
Biasanya.
Aku tidak pernah peduli dengan apapun.
Tanpa terkecuali.
“Silahkan makan oppa”

24
25

Aku mengangguk mengerti. Dari pandanganku, aku bisa mendapati


tangannya bergerak menuangkan beberapa tumpukan lauk di atas piringku. Aku
tertegun, keanggunannya memukauku beberapa detik. Dan yang membuatku
terkejut, aku menyukainya. Aku tidak tahu jika masakannya akan sememukau
penampilannya. Aku ingin sekali bertanya apakah ia melakukan les masak sebelum
ini bersama ibuku atau apa, yang jelas ini mengingatkanku dengan rasa khas yang
Hana buat.
Sarapan bersama Eunbi berlangsung hening. Ia mendoakanku supaya aku
bisa melewati hariku dengan nyaman. Aku berterimakasih padanya, meski tahu
doanya akan sia-sia. Aku memakannya dengan kunyahan, benar-benar ingin
menikmati. Menyenangkan rasanya ketika aku bisa mempercayakan urusan dapur
padanya, sekarang.
“Ini mengingatkanku pada ibuku”
Aku menatapnya tenang, sembari mengunyah aku menunggu reaksinya.
Matanya sempat berpikri, tapi kemudian balik bertanya, “Bagian yang mana?”
“Masakanmu”
“Benarkah?”
Nadanya memukauku, senyumnya yang lebar membuatku terkejut seolah-
olah apa yang barusan kukatakan adalah hal yang begitu penting.
“Oo... terimakasih oppa, aku akan membuatmu merasakannya setiap hari”
Aku mengangkat bahu pelan, tidak ingin terlalu percaya dengan bualannya.
Bisa saja ini hanya sekedar mimpi bagiku, atau bisa juga hubungannya dengan
Kangin sedang memburuk sehingga ini adalah efek dari keputusasaannya. Well...,
semuanya bisa saja terjadi, dan aku tidak harus percaya, paginya... ia bisa saja pergi
lagi menjemput kebiasaannya setelah hubungannya dengan Kangin membaik. Aku
memaklumi itu, jika sepekulasiku benar-benar terjadi.
“Kau bisa percaya padaku, oppa”

25
26

Aku memandanginya, lalu menelan ludah. Ekspresiku tentu begitu terbuka


melebihi halaman buku yang sedang kubaca hingga ia mengenalinya tepat. Aku
tersenyum lebar, “Oo... aku percaya. Sangat”
“Syukurlah...”
“Aku ingin menanyakan satu hal” ujarku.
“Ya, apapun yang ingin kau tanyakan padaku, oppa” jawabnya cepat-cepat.
Matanya menatapku tajam, tapi aku tahu itu hanya bentuk dari pertahannya.
“Aku tidak tahu jika kau semahir ini, maksudku... dulu saat awal kita
menikah, aku benar-benar tidak bisa memakan apa yang kau masak. Kau... berlatih
sebelum ini?”
Ia tersenyum, “Aku memang mahir, oppa saja yang tidak tahu” jawabnya.
Aku ingin menanggapinya, tapi senyumnya lebih dulu menyambutku. Aku
buru-buru mengurungkan niat, dan memilih menikmati senyumnya yang menawan.
Makan waktu setengah jam hingga aku benar-benar bisa menghabiskan semuanya.
Barangkali takkan begitu jadinya bila keterampilannya masih seperti dulu, tapi aku
harus mengakui bahwa sebagian darinya memang sudah berubah.
“Aku selesai”
Eunbi mengangguk patuh, mengambil piringku dan menumpuknya rapih.
Lagi-lagi aku merasa tertegun, tapi itu bukan hal yang penting. Aku tak ingin terburu-
buru berangkat, tapi aku juga tak ingin tinggal di rumah lebih lama. Aku mengenakan
jasku— yang rasanya seperti pakaian antiradiasi. Dari sudut mataku dapat kulihat
ia berdiri beberapa meter dariku, menatapku lekat-lekat. Tangannya saling bertaut
membentuk jembatan di antara jari-jarinya. Sesekali bibirnya bergerak, lalu diam,
lalu bergerak lagi. Aku membiarkannya merasa canggung, dan akan berlalu pergi jika
ia tetap diam saat aku selesai menyimpul dasi.
“Adakah yang tertinggal?”
“Tidak”

26
27

Aku berjalan menuju pintu, tidak perlu menambahkan obrolan lain. Ia


melirikku dengan penuh harap. “Hati-hati oppa”
Aku mengangguk, “Aku menunggumu”
Itu lebih membuatku terkejut.
Aku mengabaikannya sebisa mungkin, dan berhasil.
Saat aku keluar, kabut tebal bisa kulihat, dan bisa kurasakan hawa dingin
menembus di sekitar telapak tanganku. Hari sudah setengah siang ketika aku mulai
mengendarai mobil menuju kantor. Tidak terlalu sulit untuk berkonsentrasi
mengerjakan sesuatunya, bagiku kondisi Eunbi sekarang cukup menguntungkanku.
Hujan masih gerimis, tapi tak sampai membuatku basah kuyup saat aku melangkah
dalam hitungan ke delapan. Aku buru-buru masuk, ingin segera keluar dari kabut
lembab yang menyelubungi kepalaku dan hinggap di rambutku.
Di dalam mobil nyaman dan kering tapi suasananya cukup gelap, tak ada
cahaya seiring pintu yang tadi terbuka, dan aku nyaris tak bisa melihat ekspresiku
sendiri dalam cahaya temaram dari arah dasbor. Aku menoleh sebentar ke arah kiri,
dan mendapati dirinya masih berdiri di pintu, seperti menunggu kepergianku.
Tangannya melambai sebatas bahu, bibirnya bergerak, tak ada suara, tapi kuyakini
bahwa kata-kata hati-hatilah yang keluar dari bibirnya. Aku diam, tidak tersenyum
atau membalas lambaian tangannya. Aku buru-buru menyalakan mesin, tidak ingin
merasa terjebak lebih lama dalam situasi awkward semacam ini.
Aku meninggalkan rumah dengan perasaan aneh. Meski ingin menyangkal,
tapi hatiku juga tak mampu berhenti. Aku dan Eunbi memang tidak dekat, tapi
bukan berarti aku buta untuk bisa melihat. Sesuatu telah terjadi. Entah dibagian
mana, yang jelas... itu berimbas pada reaksi tubuhku. Barangkali ini adalah efek dari
taruhanku yang sepanjang seminggu untuk tidak menyentuh siapapun. Aku
mengangguk pelan, ya barangkali memang seperti itu.
Bajingan!Apa yang sebenarnya terjadi?

27
28

BAGIAN DUA
Kyuhyun side’s
Malamnya aku memilih untuk tidak kembali.
Aku menatap jauh ke arah balkon, kurasa aku harus membuat ini menjadi
sebiasa mungkin, itu jika aku masih ingin tetap waras. Angin sepoi-sepoi menerpa
wajahku yang telanjang, satu hal yang kusukai di sini, nyaman, membuatku sendirian
untuk menikmati hidupku. Aku memandang pantulan wajahku di cermin,
hubunganku dengan orang-orang sebayaku tidak pernah bagus. Barangkali
sebenarnya hubunganku dengan orang-orang memang tak pernah bagus. Bahkan
orang tuaku, orang yang seharusnya paling dekat dengaku dibandingkan dengan
siapapun di dunia ini, tak pernah selaras denganku, tak pernah benar-benar
sepaham. Kadang-kadang, dulu..., aku pernah membayangkan apakah aku melihat
hal yang sama seperti yang dilihat orang lain di dunia ini. Barangkali memang ada
masalah di otakku.
Tapi..., lama aku mencari, tak ada tanda-tanda atau petunjuk yang
membuatku merasa seperti orang normal. Dan selama itu pula aku akhirnya
mengakui bahwa aku sedang membohongi diri.
Aku cukup memaklumi kondisiku, dengan didikan tanpa ekspresi, tanpa rasa
kasih, sayang, atau perhatian yang sejenisnya. Aku tak pernah mengenal bagaimana
masa kecilku yang menyenangkan seperti kebanyakan orang. Yang ada diingatanku
hanyalah cara bagaimana aku bisa berada di atas, menguasai semuanya. Tidak ada
orang yang benar-benar peduli, apapun caranya aku harus menjadi berkuasa. Aku
tidak di didik untuk menjadi orang yang mudah perasa... dan dari situ aku mulai
paham mengapa sifatku menjadi keras seperti ini. Dingin, keji, tidak berperasaan,
hedonis, kaya raya, dan sebagainya. Aku tidak bisa memungkiri dan berlebihan jika
aku mengakui bahwa julukan-julukan itu melekat padaku.

28
29

Tak ada cinta, bahkan belas kasih.


Dalam pandangan yang diturunkan Jongwan, ayahku, pada diriku. Hubungan
semacam itu hanya akan berakhir memuakkan. Satu nasehat yang masih kuingat dan
kupercayai sampai detik ini, aku bisa bermain dengan siapapun, tapi jangan pernah
berani memberikan hatiku.
.... itu adalah doktrin ampun yang membuatku sampai detik ini masih saja
seperti bajingan kelamin. Aku mmebuang-buang benihku dalam tempat yang tidak
semestinya. Tapi itu juga tidak membuatku menyesal, karena... memang tidak
mungkin aku merasakan hal itu.
Tidurku gelisah malam itu, bahkan setelah aku menghabiskan waktu untuk
menikmati hasil taruhanku. Badanku remuk, entah karena kelelahan atau pikiranku
yang semakin jauh melantur. Hujan terus menderu dan angin yang menyapu
dinding-dinding jendela tak lenyap juga dari kesadaranku. Aku melepas celana
panjangku, kemudian menumpuk bantal-bantal. Tapi lepas tengah malam barulah
aku tertidur, ketika hujan akhirnya reda berubah menjadi gerimis. Malam itu aku
tidur tanpa mimpi.
KEESOKAN paginya, sulit berdebat dengan bagian diriku yang yakin bahwa
kejadian kemarin adalah mimpi. Logika tak berpihak padaku, ataupun akal sehat.
Aku bergantung pada bagian yang tak mungkin itu cuma khayalanku— seperti
aroma tubuhnya yang membuatku gila sendiri. Aku yakin takkan pernah bisa
membayangkannya dengan usahaku sendiri. Di luar jendela, cuaca gelap dan
berkabut, benar-benar sempurna. Aku tak punya alasan untuk tidak ke kantor hari
ini, dan bisa jadi itu dapat menjadi bahan pelarianku akan pertanyaan-pertanyaan
yang kerap menderaku.
Aku melirik ke nakas saat sudut mataku menangkap ponselku berbunyi.
Tanganku segera menariknya malas. Kemudian menjadi begitu tidak terlalu tertarik
untuk segera membukanya saat kuketahui siapa nama yang tertera jelas di bagian

29
30

tengah saat deringnya semakin memekikkan telingaku, tapi jika aku tak kunjung
membalas, itu akan menjadi hal yang tidak mengenakkan lagi.
Jam sembilan ada rapat, jangan lupa hyung!
Tulisan dengan susuan tujuh kata itu membuatku nyaris terkejut.
Bahwasanya mendadak aku merasa hal itu akan terlihat membosankan.
Balas pesanku.
Jari-jariku segera membasnya, segera.
Aku tidak lupa.
Aku kembali memandang ke arah jendela, tahu jika kedepannya akan jauh
lebih sulit jika aku harus berdiam diri dalam lubang pertanyaanku. Langkahku sedikit
sempoyongan saat memulai ritual pagiku, seperti biasa. Aku menggosok gigi dan
segera berganti baju. Aku tahu sikapku konyol, tapi aku tidak peduli. Kumatikan
lampu-lampu saat semuanya berhasil kuselesaikan. Pukul delapan pagi aku sudah
siap berangkat dan menyambut hariku dan mencobanya untuk terus monoton tanpa
harus terusik dengan perubahan yang Eunbi tawarkan padaku.
Suasana kantor setidaknya lumayan membantuku untuk mengenyahkan
segala pemikiran yang mengganjalku. Aku menyusuri lobi, lorong, dan mendapati
semua orang tersenyum menyambutku. Aku tidak ambil pusing mengenai alasan
yang mereka pegang, entah itu karena benar-benar menghormatiku sebagai pemilik
perusahaan atau hanya sekedar mencari muka untuk kenaikan jabatan. Langkah
kakiku mengetuk-ngetuk tegas, memperkuat ekspresiku yang dingin dan tak kenal
ampun.
Aku mencoba memusatkan pikiranku dengan apa yang sedang kukerjakan.
Barangkali memang ada yang salah dengan diriku, akalku tak bisa benar-benar fokus
meski kupaksa. Aku lalu menyadari dimana titik kesalahanku, dugaanku melebur
dalam angan-angan belaka bahwa nyatanya, ini juga tidak membantuku untuk
mengenyahkan semuanya. Dan yang hanya kulakukan sekarang, hanya pasrah.

30
31

Rabunya, aku kembali mangkir.


Kamis...
Sampai Senin, banyak hari kulewati, hingga rasa penasaran datang
membunuhku. Sisa mingguku berlangsung membonsankan. Aku terbiasa dengan
rutinitasku, tapi lagi-lagi karena penasaran, aku mencoba untuk memaklumi diri
dengan pulang ke rumah.
Hari Selasa, itulah akhir dari kekalahanku. Aku membuka pintu pelan, sesaat
aku berpikir mana yang sebaiknya kulakukan terlebih dahulu, kebenaran atau
kebohongan. Kuputuskan untuk mengatakan yang sebenarnya apabila ia bertanya
mengenai ketidakpulanganku nanti. Aku berjalan perlahan, benar-benar nyaris
penasaran saat semuanya terlihat kosong. Aku tahu apa yang kuharapkan, tapi jelas
bukan yang seperti ini. Aku menyadari kekecewaan menyambarku perlahan, tapi aku
tidak bisa berhenti untuk melangkah, menelisik kepenjuru rumah, barangkali ia
memang masih di sini. Lama aku menyadari hingga aku mendapati sudah berada di
ujung bagian dalam. Aku berbelok ke arah kanan, mencoba peruntungan terkahir
dengan mencarinya di sudut taman.
Well...,
Mataku terkejut, cepat-cepat mengamati penampilannya yang lagi-lagi
mendebarkanku. Rambutnya yang panjang ia gulung tinggi-tinggi, terlihat begitu
cantik dan menggairahkan secara bersamaan. Aku menggeleng keras, duniaku
serasa jatuh tanpa gravitasi. Aku linglung, bahkan nyaris sinting karena berani
tergoda dengan gadis sepertinya. Demi apapun tidak bisa dibenarkan. Tidak
selayaknya kau menganggumi adikmu sendiri dalam artian yang lain. Buru-buru aku
mengalihkan pandangan sebisa mungkin, ke manapun asal jangan menatapnya.
Syukurnya aku berhasil tanpa cela. Di sudut-sudut tembok, tanahnya tak lagi
gersang, terlihat gembur, dan aku bergidik ngeri jika ia benar-benar mencangkulnya
seorang diri.

31
32

Bayangan pepohonan yang menaungi sisi kiri dinding rumah yang berdiri di
antaranya, membuat serambi yang mengitari lantai dasar tampak kuno. Aku
mengernyit bingung, tidak menyadari berapa lamanya aku tidak terlalu peduli
dengan setiap sisinya hingga aku tak mengenali rumahku sendiri. Sudut-sudutnya
nampak berubah, mungkin sisa dari aktifitasnya barusan. Aku berdeham, mencoba
mengalihkan perhatiannya sebisa mungkin tanpa harus membuatnya merasa aku
sedang bersandiwara.
“Oo... oppa pulang?” tanyanya lembut, menenangkan detak jantungku.
Aku menyadari, saat aku mengemudikkan mobil meninggalkan pusat kota,
aku sama sekali tidak mempersiapkan hatiku. Aku mengangguk pelan, cukup
menjawab pertanyaannya.
“Aku merombaknya..., kau menyukainya?”
Lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk.
“Cantik ya?”
“Iya”
Untukmu, lanjutku dalam hati.
Ia tersenyum lebar, giginya yang putih terlihat begitu menggemaskan di
mataku, tersusun rapih tanpa cela. Tapi terlepas dari tawa dan keceriaan itu, ada
sesuatu yang berbeda, dan aku tak dapat mengatakan dengan pasti apa itu. Aku
diam-diam mulai mengamatinya dengan seksama. Warna kulitnya yang putih
terlihat memerah, barangkali akibat aktivitasnya di luar, lingkaran di bawah matanya
juga tidak kentara seperti dulu. Aku memikirkannya lagi sambil memandanginya,
berusaha menemukan perubahan itu. Aku tidak ingin terburu-buru mengenali,
kurasa, ini bisa kujadikan alasan tinggal di sini lebih lama. Itu membuatku sedikit
percaya diri, bahwa ada alasan yang benar-benar terlihat, setidaknya aku tidak
terlihat seperti orang sinting. Lagipula..., ini memang rumahku, jadi kenapa aku
harus takut?

32
33

®®®
Eunso side’s
Aku agak gemetar mendengar suaranya yang dingin. Semacam deheman
atau aku memang tidak terlalu mendengarnya. Aku tak bisa bergerak hingga otakku
mengurai dengan sendirinya. Lalu dengan cepat aku melangkah canggung ke
arahnya, sampai harus menyeimbangkan kakiku karena saking terburu-burunya,
untungnya aku tidak terjatuh konyol Kupikir aku mendengarnya tertawa, tapi
suaranya terlalu pelan membuatku jadi aku tak yakin. Ia menungguku hingga aku
sampai di pintu, kemudian mulai berpikir apa yang harus kuucapkan untuk
menyapanya.
“Oo... oppa pulang?”
Kugigit bibirku, lega karena ia tidak bisa mengetahui betapa gugup begitu
menderaku. Kyuhyun mengangguk pelan, itu semakin membuatku tak yakin apakah
aku sanggup bicara. Tapi bagaimanapun juga aku tidak bisa hanya diam. Kurasakan
tatapannya di wajahku, tapi aku tetap memandang lurus ke muka. Aku mengetuk-
ngetukkan kaki pelan, kami sama-sama diam hingga kesunyian menyelimuti di
antara jarak yang kubentuk.
Aku harus bagaimana?
Aku bergidik ngeri, disiksa dilema yang berkecamuk dalam batinku. Kami
bertatapan, dan kurasa ia juga sedang menunggguku bicara. “Kau ingin makan
sesuatu?” cengirku tahu ini salah, tapi responnya membuatku tersenyum lebar. “Aku
akan menyiapkan makanan”
Aku buru-buru melesat, meninggalkan Kyuhyun yang masih berdiri di
belakangku. Aku senang bisa meninggalkannya cepat, itu berarti aku bisa bebas
mengeluarkan ekspresiku dan mengasihani diriku sebelum bertemu dengannya
kembali. Yang berarti hanya tinggal sedikit hal untuk mengalihkan perhatian. Aku
membumbui ikan untuk makan siang, dan menyiapkan salad dan kimchi sisa

33
34

semalam, jadi tak ada apa-apa yang bisa kukerjakan selagi aku menormalkan detak
jantungku. Aku menghabiskan setengah jam untuk membuatnya benar-benar
selesai, dan berhasil menyelesaikannya dengan cepat diluar dugaanku. Kuperiksa
sesuatunya, mungkin Kyuhyun akan menyukai ini.
Aku menghela napas dan berlari ke arah kamar. “Oppa..., ayo makan”
Kyuhyun tidak menyahut, tidak pula mengangguk tapi gerakan kakinya yang
mendekatiku sudah cukup menjawab apa yang kupikirkan. Aku mencoba tersenyum,
menyambut hadirnya sebahagia yang bisa kulakukan. Perasaan was-was yang
merambati punggungku membuat gelombang panik bergejolak dalam perutku tanpa
alasan. Aku berjalan tertatih-tatih di belakangnya, sama sekali tak repot-repot
berpura-pura untuk menyamarkan ekspresiku. Sepertinya kami memang benar-
benar tidak cocok. Bibirnya bergerak tidak jelas.
“Kau memasak apa?”
“Ayam..., salad”
Lagi-lagi Kyuhyun hanya mengangguk, dan itu membuatku risih. Selama aku
hidup, diriku tidak begitu biasa melihat ada orang yang lebih pendiam dariku, dan ini
mampu membuatku berpikir dua kali untuk memulai obrolan. Aku menyadari
sejatinya aku hanya akan terkesan konyol akan gerbang obrolanku.
“Kyuhyun oppa...” panggilku.
Tanpa berpikir panjang, aku mengulurkan tanganku dan menyentuh tangan
kanannya yang menggantung, tapi ia langsung menariknya, begitu juga aku. “Maaf”
suaraku nyaris seperti bisikan. Benar-benar merutuki kebodohanku yang gampang
sekali dibentuk.
Raut wajahnya berubah dingin, tanpa ekspresi. Kyuhyun segera menarik
tangannya dan menaruhnya di saku celananya, tapi ia mecondongkan tubuhnya ke
arahku. Aromanya sejuk, tidak seperti aroma kolonye, atau barangkali itu bebauan
khas Kyuhyun yang memabukkan.

34
35

“Ada apa?”
“Hari yang bagus untuk berada di luar”
“Lalu?” tanyanya memperhatikan. Aku terkejut, lalu menunduk, wajahku
memerah tentu saja.
“Aku ingin makan di luar, di halaman belakang”
“Mmm—” ia bingung sejenak, matanya mengerjap. Ia memiringkan
kepalanya, sorot matanya penasaran, membuatku buru-buru menyela. “Jika oppa
tidak ingin, kita—”
Gilirannya menyelaku. “Oke,”
Kyuhyun memamerkan senyumannya yang memukau. Aku mengangguk
senang, terlalu bersemangat mendenar satu katanya menyetujui ideku. Rasanya
seperti keajaiban. Dalam perjalanan turun aku menyambar selembar selimut tua
dari lemari di tangga teratas. Kami berjalan pelan, masih berhati-hati agar tidak
saling bersentuhan. “Oppa duluan saja...” ujarku mengingatkan.
“Kenapa?”
“Aku akan mengambil makanannya”
Kyuhyun diam, “Begini, aku bawa selimutnya, kau bawa makananya,”
usulnya.
Aku cepat-cepat menyerahkan apa yang ada dalam tanganku dan berlari
menuju dapur. Kyuhyun membukakkan pintu untukku dan menunggu sampai aku
keluar, lalu menutupnya dengan lembut. Aku memerhatikannya, masih
menganggumi keanggunannya. Barangkali seharusnya aku harus lebih terbiasa
dengan itu kedepannya— tapi kurasa aku tidak siap. Firasatku mengatakan tak
seorangpun akan pernah terbiasa dengan Kyuhyun. Ketamapananya bisa membuat
siapapun hilang akal.
Di luar, di halaman rumah Kyuhyun yang berbentuk persegi, selimutnya ia
lipat dua lalu dihamparkan di bawah pepohonan, di atas rumput tebal yang kering.

35
36

Diam-diam aku tersenyum, cukup terkejut tentang impianku bersama Eunbi dan
Daehyun yang justru terealisasikan bersama Kyuhyun. Kami duduk berhadapan
dengan ayam, selada sebagai penengah diataraku. Tangannya menarik lengan
bajunya sampai siku bergantian. Aku tidak memikirkan apa pun kecuali kehangatan
yang kurasakan pada kulitku, ujarku pada diri sendiri. Aku terus merasai bagaimana
kehangatan itu menyentuh kelopak mata, tulang pipi, hidung, bibir, lengan bawah,
leher, menembus kausku. Angin masih sepoi-sepoi, tapi mampu meniup bulu-bulu
halus di wajahku, dan rasanya agak geli. Kutarik rambutku ke atas, membiarkannya
mengering dan kembali berkonsentrasi dengan apa yang ada dihadapanku. Kyuhyun,
salad yang menggiurkan.
Matanya menyipit. “Kau memasak salad?”
“Mm...hm”
Aku mengunyahnya, berusaha terlihat cuek. “Aku tidak suka sayur, baunya
juga tidak terlalu”
Aku tak sanggup berkata-kata. Kyuhyun memejamkan mata, larut dalam
pengakuannya yang membuatku mengerut. Aku mendengarkan, lebih antusias
daripada rasional. Tapi sebagai ganti aku lega akhirnya bisa mengetahui satu hal
yang bisa ia keluarkan padaku. Diam-diam, entah itu disadarinya atau tidak, ia
terbuka padaku. Aku sangat bersimpati, bahkan sekarang, tanganku dengan cepat
menyingkirkan saladnya di belakang punggung.
Matanya berkilat-kilat menatapku. “Sudah lebih nyaman?”
“Kuharap kau lebih kreatif setelah ini...” senyumnya mengejek, namun
tatapannya selembut kapas, menenangkanku. “Well..., aku benar-benar tidak tahu
kau alergi atau semacamnya” aku mengakui.
Matanya menatapku heran, sadar aku telah mencondongkan tubuhku ke
tengah. Aku menunduk, kuambil sumpit dan dengan hati-hati mengambil beberapa
potongan ayam. Pelan-pelan aku memasukkannya ke mulut, masih menunduk,

36
37

mengunyah sambil berpikir. Ayamnya enak. Aku menyantap semuanya dengan ceria,
memerhatikan debu-debu beterbangan di antara sinar matahari yang menyelinap
masuk di antara kanopi-kanopi pohon.
Aku menelan dan minum lagi sebelum menatapnya kembali.
“Katakan..., apa lagi yang tidak oppa sukai?”
“Apakah itu menjadi begitu penting untukmu, sekarang?”
“Tentu saja, aku tidak ingin kejadian ini terulang kembali”
“Hanya itu?”
“Well..., aku ingin makan bersamamu tanpa saling merasa tidak enak”
Tiba-tiba suasana hatinya yang tak bisa kutebak berubah lagi. Ia balas
tersenyum, mata cokelatnya berkerut di sudut-sudutnya. Ketika Kyuhyun
tersenyum, sangat mudah memahami kenapa ia bisa begitu mempesona di mataku.
Aku seharusnya cukup menahan diri— aku tahu aku tidak semestinya merasa
terpana, tapi aku tak bisa merasakan rasa pertahananku yang seharusnya. Rambut
hitamnya yang ikal, jika bukan teksturnya, warnanya sama dengan rambutku—
bedanya aku hanya lebih tipis. Tapi ketika ia tersenyum, aku bisa melihat sedikit
bagian dari pria yang telah menikah dengan Eunbi, ketika umunya masih dua tahun
lebih muda dari umurnya sekarang.
“Ayo katakan”
“Segala jenis sayur, dan makanan pedas”
“Oo.., benarkah?”
“Ya”
“Aku benar-benar terkejut, kukira oppa menyukai pedas. Tapi aku
menyukainya” sahutku. “Kenapa?”
“Itu berate ada hal yang membuatku sama denganmu, oppa”
Kyuhyun tersenyum.
“Terimakasih”

37
38

Aku mendongak bingung sebelum ia melanjutkan, “Untuk makanannya”


“Well..., itu kewajibanku. Oppa tidak perlu berterimakasih” aku bertanya-
tanya apakah ucapanku yang kusut ini bisa dimengerti oleh Kyuhyun. Ia tersenyum
ironis. “Ya, kalau begitu aku akan terus di sini”
“Sudah seharusnya, bukan?” aku mengingatkannya seraya tersenyum,
menghindari perubahan hatinya karena pertanyaanku.
Kyuhyun tertawa, matanya hangat. “Betul juga,” sahutnya menyetujui. “Lalu,
jika aku memintamu untuk membuatkannya setiap hari? Bagaimana tanggapanmu,
Song?”
“Tentu saja. Kenapa harus mengatakan tidak?” antusiasku, tak mampu
membendung rasa baru yang menyambar hatiku. Aku menyadari telah
mencondongkan tubuhku ke arahnya lagi. Kami bertatapan. Kyuhyun mengulurkan
tangannya ke arahku, mengabaikan ketika aku mencoba menariknya, dan dengan
hati-hati menyentuhkan punggung tangannya. Kulitnya hangat dan keras, tapi terasa
lembut di tanganku. Aku yakin aku tidak bisa menahan bagaimana reaksiku untuk
tetang biasa saja, wajahku memerah panas.
“Terimakasih”
Suaranya benar-benar tulus. “Aku menagih janjimu, oke?”
Aku mengangguk, menarik tanganku dan menaruhnya di atas paha. Aku
bertanya-tanya apakah seharusnya ia merasa terganggu dengan gerakanku, tapi
sebaliknya aku malah senang. Kyuhyun menatapku, barangkali bertanya-tanya
mengapa aku tiba-tiba tersenyum. Selama beberapa menit, kami makan dalam
diam. Namun diam yang nyaman. Tak satupun dari kami terusik oleh keheningan itu.
Kurasa, dalam beberapa hal, kami sangat cocok untuk hidup bersama.
Kami kembali terdiam setelah selesai makan. Matahari akhirnya terbenam,
dan aku nyaris tidak ingin beranjak. Kyuhyun membersihkan peralatan yang
bercecer sementara aku mencuci piring. Sepertinya Kyuhyun merasa salah tingkah

38
39

berada di dapur tanpa melakukan apa-apa, jadi ia pergi ke ruang tamu dengan
langkah diseret lalu menonton TV, sementara aku bekerja di dapur. Ini lebih nyaman
buat kami berdua. Selesai melakukannya, aku sesegera mungkin menuju kamar
mandi untuk membersihkan diri. Aku tidak bermaksud buru-buru, tapi juga tidak
ingin memperlambatnya juga. Kugosok gigiku keras-keras, berusaha menyeluruh,
menyingkirkan sisa-sisa makanan yang kumakan.
Air panas dari pancuran cukup membuatku lebih rileks. Siramannya
melemaskan otot-otot punggungku, menenangkan denyut nadiku. Aroma khas dari
sampoku membuatku merasa aku mungkin bisa cukup percaya diri sekarang. Aku
mencoba tidak memikirkan Kyuhyun, masih menonton TV atau sudah duduk di
kamar, mengerjakan sesuatu. Karena jika aku memikirkannya, aku harus mengulangi
proses menenangkan diri dari awal lagi. Aku sudah berusaha membuatnya selambat
mungkin, tapi akhirnya aku tak bisa menundanya lagi. Jemariku menekan tombol
merah, kucur-kucur air mulai berhenti menerpa tubuhku.
Aku mengenakan handuk sekenanya, masih tidak buru-buru untuk keluar.
Kukenakan kaus lusuhku dan rok panjang selutut warna cokelat muda, lembut dan
aku menyukainya. Kukeringkan rambutku lagi dengan handuk, mataku memandang
wajahku di cermin sambil menyisir rambutku yang lembab dan tipis. Barangkali
tipuan, aku benar-benar terlihat mirip, persis Eunbi. Tapi aku terlihat sedikit pucat,
kulitku bisa saja cantik— bening, nyaris transparan— tapi semua itu tergantung
warna. Aku kembali memandang pantulan wajahku di cermin, aku memaksa
mengakui sedang membohongi diri sendiri bahwa dari sisi manapun aku tidak benar-
benar sama dengan Eunbi. Mataku lebih gelap, begitu kontras dengan warna
rambutku. Well..., rasanya begitu mustahil berada di rumah ini tanpa merasa
dicurigai. Dan itu membuatku sedikit nyaman.
Tanganku menyentuh gagang pintu dengan perasaan kalut. Berusaha untuk
tetap tenang, sebelum kembali memakai topengku kembali. Jantungku bergemuruh

39
40

hebat, Kyuhyun sesuai dengan apa yang ada di benakku, dalam opsiku yang kedua,
duduk manis di kamar dengan barang elektronik dalam genggamannya. Aku
tersenyum dan bibirnya sedikit bergerak-gerak. Matanya mengamatiku, rambutku
yang basah, pakaian yang kukenakan. Salah satu alisnya terangkat. “Bagus—”
Aku nyengir, memilih untuk tidak menanggapi dengan kata-kata.
“Sungguh, pakaian itu tampak bagus padamu”
“Benarkah?”
Kyuhyun mengangguk.
“Terimakasih oppa” bisikku.
Aku berjalan ke arahnya, duduk di sisi ranjang yang lain. Aku memandang
sesuatu dilayar ponselnya yang kuyakini sebagai urusan perusahaan yang tidak
kupahami. Aku berpaling untuk memandanginya, menatapnya dengan pandangan
kritis. Tangannya mengambil laptop yang berada di atas nakas lalu memangkunya
dengan gerakan sensual. Lagi-lagi Kyuhyun duduk dan berpangku laptop
“Memangnya oppa benar-benar tidak bisa lepas dari laptop ya?” tanyaku.
Diam-diam aku curiga apakah ada hal lain yang ia lakukan di kantor, hingga
membuatnya harus sesibuk ini di rumah. Kyuhyun melarikan jemarinya di
rambutnya yang hitam, tak mampu meraih dahinya yang lebar.
“Begini lebih mudah”
“Apanya yang lebih mudah?”
Kyuhyun tersenyum sinis. “Ini membuatku lebih santai”
Keningku berkerut, “Kau ini bicara apa, oppa?”
Ekspresi Kyuhyun menyiratkan kemenangan, seolah-olah aku luput
memperhatikan sesuatu yang sudah sangat jelas. Itu cukup membuat ku merasa
malu jika aku memang salah. “Aku sangat sibuk, jadi sebisa mungkin aku
menyempatkannya sebelum tidur”
Wajahku merah padam. “Itu sama sekali tak terpikir olehku,” gumamku.

40
41

Kyuhyun tertawa. Aku tidak tahu harus berkata apa.


“Apakah itu membuatmu risih?”
“Tidak”
Kyuhyun tertawa lagi, dan aku memunggunginya untuk berkonsentrasi tidur
daripada menunggunya. Aku memasang telinga, berusaha mendengarkan suara
yang ia timbulkan dari gerakan jemarinya di atas keyboard. Selama beberapa menit
berikutnya, tapi tidak bisa menemukan apapun. Aku juga tidak bisa tidur meski aku
terus terpejam. Seisi ruangan mulai tampak berpendar-pendar dan kabur di sisi-
sisinya. Aku kembali menarik napas dalam-dalam, kelelahan karena menunggu
akhirnya membuat rasa kantuk datang meski terkesan terlambat. Barangkali itu
hanya halusinasiku sebelum tidur, samar-samar aku mendengar suaranya
memanggil margaku. Pelan, sangat pelan. “Song...”
Aku tidak yakin.
Buru-buru aku mencoba terjaga, tapi rasanya tidak mungkin. Entah benar
atau tidak, aku mendengar suaranya lagi, lebih lembut,“Selamat tidur”
®®®
SUNGGUH kekanak-kanakan, kenapa aku harus merasa gugup jika Kyuhyun
datang? Aku seharunya sudah terbiasa hidup dengannya tiga bulan ini. Bukan berarti
aku sengaja memiliki antagonisme pribadi terhadap kehadirannya, tapi itu semua
lebih mudah terjadi, naluriah dalam diriku. Pikiranku tidak fokus, benar-benar tidak
pernah menyadari jika kedekatanku dengan Kyuhyun akan begitu berimbas dengan
sistem sarafku. Aku menjadi tidak bisa menghilangkan bayang-bayang dimana saat
hembusan napasnya yang dingin membasahi helai-helai rambutku, aku menggeleng-
geleng pelan, bulu kuduk di telingaku langsung meremang.
Aku sedang berkonsentrasi pada tumpukan piring dalam air bersabun hingga
aku lupa kalau belakangan ini Kyuhyun bisa berjalan tanpa suara. Maka akupun
terlonjak kaget waktu suaranya tiba-tiba terdengar di belakangku.

41
42

“Kenapa menyalakan penghangat? Dingin? O, maaf”


Aku terciprat air cucian piring ketika kehadiran Kyuhyun membuatku
terlonjak kaget. “Ooo... sedikit, sekarang tidak terlalu” tukasku sambil menyeka
bagian depan bajuku dengan lap.
“Aku berpaling untuk memandanginya. Diam-diam aku curiga apakah
Kyuhyun memang sengaja ingin memamerkan otot-ototnya yang kekar dari lengan
pendeknya. Harus kuakui, otot-ototnya memang mengesankan— tapi menurutku
Kyuhyun bukan tukang pamer, aku saja yang berpikiran kotor.
“Kau merasa panas?”
“Tidak”
Kyuhyun melarikan jemarinya dirambutnya yang basah, habis keramas.
“Oppa..., tidak baik membasuh rambut malam hari”
“Tapi tadi aku gerah sekali”
“Itu sama sekali tidak baik, kau bisa saja sakit”
Kyuhyun tertawa, tapi aku juga tak mengerti apa yang sedang ia tertawakan.
Aku memunggunginya, untuk berkonsentrasi pada piring-piring yang sedang kucuci.
Mudah-mudahan ia tidak menyadari wajahku yang merah padam karena malu oleh
kebodohanku sendiri, karena jawabanku yang terkesan memperdulikan. “Well..., apa
saja yang kau lakukan hari ini?”
Kyuhyun mendesah. “Aku membersihkan rumah setelah kau pergi, lalu
berkebun, dan sisanya menunggu kepulanganmu”
“Tidak pergi ke luar?”
“Aku tidak pernah keluar”
“Dulu... kau sering pergi, sekarang aku benar-benar yakin, bahwa kau
sepenuhnya telah berubah, Song”
Aku menggigit bibirku pelan saat ponselnya berdering. Aku cukup bersyukur
untuk itu, setidaknya aku tidak gagu dalam menyikapi pernyataannya. Dengan tekun

42
43

aku menyikat piring yang kupegang. Satu-satunya suara yang terdengar hanyalah
bunyi sikat plastik menggesek-gesek permukaan keramik. Aku memasang telinga,
berusaha mendengarkan suaranya dari telepon. Barangkali Daehyun, tapi aku tidak
mendengar apa-apa seiring langkahnya yang menjauh dariku. Sadarlah aku bahwa
aku sudah menyikat piring yang sama lebih lama daripada seharusnya, jadi aku
berusaha memusatkan perhatian pada apa yang sedang kukerjakan. Mencoba fokus
meski seringkali aku gagal.
“Brengsek!” seru Kyuhyun, beberapa sentimeter di belakangku, lagi-lagi
membuatku melompat kaget.
“Aduh, oppa, jangan mengagetiku terus!”
“Maaf, ayo...”
Kyuhyun meraih lap dan mengeringkan tumpahan air. “Aku akan meminta
maaf atas kesalahanku. Kau mencuci, aku yang membilas dan mengeringkannya”
“Baiklah,”
Kusodorkan piring itu kepadanya.
“Song..., ini sesuatu yang baru bagiku”
Kyuhyun tertawa. “Kita seperti pasangan suami istri pada umumnya,
setidaknya untuk sekarang”
Aku mengangguk, baru menyadari, barangkali aku yang terlalu banyak
membawa perubahan. Selama beberapa menit berikutnya, aku mencuci dan
Kyuhyun mengeringkan sambil berdiam diri.
“Boleh aku tanya sesuatu?”
Aku mengulurkan piring lagi padanya. “Tergantung pada apa yang ingin oppa
tanyakan padaku”
“Bukan maksudku ikut campur, atau bagaimana— aku benar-benar ingin
tahu” Kyuhyun berusaha menyakinkanku.
“Baik. Apapun, tanyakan saja”

43
44

Kyuhyun terdiam sebentar. “Bagaimana rasanya— menikah denganku?”


Aku memutar bola mataku. “Bersyukur, sangat”
“Aku serius. Apakah itu tidak pernah membuatmu merasa terganggu, tidak
pernah membuatmu ngeri karena sikapku dulu?”
“Tidak pernah, aku justru merasa sangat beruntung”
Kyuhyun diam saat mengambil mangkuk dari tanganku. Kulirik wajahnya—
keningnya berkerut, bibir bawahnya mencebik. Aku tidak tahu, hanya berusaha
menjawab jujur dari pandanganku.
“Ada lagi, oppa?”
Kyuhyun mengernyitkan hidungnya lagi.
“Well..., aku hanya ingin tahu, bagaimana... eh, jika aku yang tidak bahagia
dengan pernikahan ini?”
Aku tertawa, entah itu ujaran jujur atau hanya sekedar mengecohku. Meski
bukan ditujukan padaku, rasanya tetap menyakitkan melebihi apa yang bisa Eunbi
rasakan. “Aku, akan membuatmu menyesal telah mengatakan hal itu”
Kyuhyun bergidik. “Ugh”
“Aku kan hanya mencoba,” gumamku.
“Memangnya kau tidak takut akan hasil akhirnya?”
“Selama aku bisa mencoba, entah itu berakhir seperti apa yang kuharapkan
atau tidak. Aku akan terus membuatmu jatuh cinta padaku, oppa”
Aku tidak sadar telah terbawa emosiku sendiri, padahal aku tahu ini hanya
candaannnya belaka. Aku menggertakkan gigi dan dengan gemas menyikat pisau
dapur. Tatapanku kosong, mengikuti naluri hatiku. Aku ingin sekali bahkan benar-
benar ingin membuktikan bagaimana aku bisa membuat Kyuhyun jatuh hati padaku,
jatuh hati pada seorang Eunso. Meski aku belum menyadari perasaanku sendiri, aku
dengan sadar menginginkan pria itu untuk terus bersamaku, meski tidak mungkin.
Tanpa sadar aku sudah menyikat ujung-ujungnya lebih lama dan melupakan standar

44
45

keamananku. Barangkali aku menyikatnya terlalu keras atau karena keteledoranku


sendiri, aku tiba-tiba memekik.
“ADUH”
Suasana dapur yang sunyi membuatku sampai-sampai melompat kaget
mendengar terikanku sendiri. Pisau dalam peganganku terjatuh, berdenting di lantai
dapur. Di telapak tangaku tampak nyaris luka panjdang dan dalam. Darah mengalir
ke sela-sela jemariku dan sebagian menetes ke lantai.
“Brengsek! Siapa yang menyuruhmu terluka?” maki Kyuhyun.
Segera saja kepalaku pusing dan perutku berontak. Aku berpegangan erat-
erat pada lengannya dengan tangan kiriku. Aku menarik napas dalam-dalam lewat
mulut, dan memaksa diri untuk tenang supaya bisa menolong diriku sendiri. “Song...,
kau takut darah?”
Aku mengangguk cepat.
“Oke..., tidak apa-apa, jangan khawatir”
Kyuhyun segera menarik tanganku lembut, kemudian meletakkannya di
bawah keran dan membiarkan air mengalir membersihkan lukaku. Air yang
mengucur berubah warna menjadi merah. Kepalaku berputar. Terlebih dengan
posisinya yang tepat berada di belakangnku membuat semuanya menjadi lebih
kacau daripada semestinya. Dadanya yang keras, menempel tepat di punggungku
yang rapuh. “Song...” kata Kyuhyun.
Aku memalingkan muka, tak ingin melihat lukanya, dan mendongak menatap
wajah Kyuhyun. Keningnya berkerut, tapi ekspresi yang ditangkap oleh mataku tetap
tenang. “Apa?” tanyaku.
“Kau kelihatan seperti mau pingsan, dan bibirmu kau gigiti. Hentikan. Rileks.
Tarik napas panjang, darahnya akan segera hilang” tenangnya. Aku menghirup udara
melalui mulut dan berhenti menggigit bibir bawahku. Kyuhyun segera memapahku
cepat menuju kursi terdekat. Aku tetap tidak berani melihat bagaimana aku jalan,

45
46

terlalu pusing untukku melihat. Dalam diamku, kudengar langkah kakinya menjauh.
Tapi aku tidak peduli. Aku kembali menarik napas dalam-dalam, sibuk menenangkan
diriku. Saat aku membuka mata, seisi ruangan mulai tampak berpendar-pendar dan
kabur di sisi-sisinya. Benakku terus meyakinkan diriku untuk tetap sadar.
“Coba kulihat”
Tangan kiriku semakin menggenggam ujung sofa erat, berjaga-jaga agar tidak
jatuh pingsang kalau nanti luka itu membuatku pusing lagi. Kyuhyun mengambil
perban dari kotak yang ia bawa dan melilitkannya dengan longgar ke telapak
tanganku yang terluka. “Oppa..., jangan dilihat”
“Pokoknya beri aku kesempatan untuk memutuskan apakah aku harus
mengamuk atau tidak untuk mengobati lukamu”
Aku mengernyitkan wajah dengan sikap ngeri. “Jangan, jangan mengamuk”
Kyuhyun kembali menghembuskan napas dalam-dalam, dihadapanku,
kemudian menghembuskannya dengan suara keras. Tangannya telaten mengolesi
lukaku dengan alkohol, lalu membalut lukaku sempurna. Dibutuhkan beberapa detik
untuk melihat semuanya selesai. Aku bahkan sampai melupakan genggamanku yang
sia-sia. Kyuhyun menarik tangannya, matanya menatap mataku, tenang dan kalem.
“Sudah selesai”
Aku melihat tanganku dan membolak-balikkannya. Lukaku tertutup rapih,
tanpa sisa. Padahal aku tadi melihat luka yang panjang itu dengan jelas, melihat
darah yang mengalir ke bak cuci. Bau darah seperti karat bercampur garam bahkan
nyaris membuatku pingsan. Aku menatapnya tersenyum, aku pasti terlihat konyol
sekali. Bibir Kyuhyun berkerut, membentuk senyuman separo.
“Terimakasih Hyun oppa...” ucapku sembari memperbaiki posisi dudukku
menjadi lebih sopan dihadapan Kyuhyun. Dari sudut pandangku sekarang, Kyuhyun
tidak lagi semenakutkan saat pertama kali kami bertemu. Aku mulai mulai nyaman
dengan permainan ini.

46
47

“Lain kali harus berhati-hati”


“Iya oppa. Lain kali tidak lagi”
Kyuhyun bangkit lalu mengeluarkan botol berisi cairan pemutih dari rak di
bawah bak cuci. Kemudian menuangkan sedikit ke lap dan mulai menggosok-gosok
lantai. Bau cairan pemutih yang membakar melenyapkan sisa-sisa pusing dari
kepalaku. “Biar aku saja yang membersihkannya oppa” kataku.
“Tidak usah. Duduk diam saja”
Kyuhyun side’s
Setelah aku yakin lantai tidak berbau apa-apa lagi kecuali bau cairan
pemutih, aku bangkit dan membilas bak cuci sebelah kanan dengan cairan pemutih.
Kemudian aku pergi ke ruang cuci di sebelah pantry dan menuangkan satu tutup
botol penuh cairan pemutih ke mesin cuci sebelum menyalakannya. Ia mengamati
kesibukanku dengan ekspresi tidak setuju tergambar di wajahnya. Kubasuh
tanganku bersih, lalu kembari menghampirinya begitu aku selesai. Tanganku meraih
tangannya yang terluka, kemudian berkata, “Jangan pernah lagi terluka”
Ujaranku membuat ku kaget, “Maaf”
Ia nyengir lebar, giginya cemerlang berlatar belakang kulitnya yang seputuh
susu. “Dan... terimakasih oppa,” katanya kemudian menyambar tanganku dan
memelukku erat sekali. Ini membuatku heran sekaligus terkejut akan respon yang
kuberikan. Biasanya aku selalu menolak jenis sentuhan apapun.
Belum sempat aku bereaksi, ia sudah melepas pelukannya dan mundur
menjauh. Aku mendesah pelan, sarafku mulai hilang kendali. Hidungku diam-diam
mengernyit merasaan aroma rambutnya yang kuat memabukkanku. Mendadak aku
sadar apa yang telah kuperbuat setelah bernapas begitu dekat dengan rambutnya
yang menggoda. Aku nyengir membayangkan jika aku bisa bernapas lebih lama
disana, bermain dengan helai-helai rambutnya yang panjang. Benakku meronta
hebat, tapi syukurnya akalku masih cukup sehat.

47
48

Aku menghela napas dalam-dalam dan menghitung pelan-pelan sampai


sepuluh. “Oppa...”
“Hmm...”
“Ada yang ingin kutanyakan padamu”
“Ya”
“Besok persediaan makanan kita habis...”
“Lalu?”
“Bolehkan aku pergi untuk membeli beberapa sisanya?” tanyanya.
Suaranya yang lembut membuatku berdiam cukup lama tanpa bisa berpikir.
Tatapannya yang khas membuatku senang saat matanya tertuju padaku. Sesaat aku
membiarkan diriku mencerna keterangan itu, membiarkan otakku menyerapnya
hingga berdiam di kepalaku. Baru sedetik kemudian aku menangkap maksudnya.
Dulu..., ia selalu pergi dan bahkan jarang kembali ke rumah tanpa meminta izin
dariku. Tapi sekarang? Hanya untuk membeli bahan makanan saja ia harus repot-
repot memberitahuku?
Aku tanpa sadar menggelengkan kepala pelan. “Jangan keluar”
“Ya?”
“Maksudku, tetaplah dirumah, nanti aka nada Jongmun yang akan
mengantarnya “kesini”
Aku melihatnya mengangguk. Jika ia memutuskan untuk menurut padaku,
maka biarkan kebiasaan ini terjadi untuk selamanya. Biarkan hanya diriku yang bisa
memandanginya tanpa harus takut dengan apapun. Dan... banyak kurasa tubuhnya
yang lugu, polos, tidak cukup pantas untuk dinikmati kebanyakan orang di luar sana.
Well..., aku terkejut menyadari reaksiku.
Bagaimanapun aku tidak pernah terlihat bisa terpengaruhi oleh
seseorangpun, tidak pernah meras bergantung dengan kehadiran seseorang. Aku
jadi penasaran lagi, apa yang sebenarnya terjadi padaku? Aku tidak tahu banyak

48
49

tentang riwayat hidupnya, hanya bahwa ia berasal dari satu garis keturunan dengan
Daehyun sebelum aku menikahinya. Entah mengapa, perubahan terjadi begitu cepat
menyerbu hatiku. Dan aku merasa terintimidasi oleh perasaan ini. Aku tidak pernah
lagi melihatnya sebagai adik bagiku, yang ada hanya sosok wanita sempurna, yang
baru mendatangiku.
Dalam duniaku, aku sudah dewasa. Aku tidak mencari cinta— tidak, saat itu
aku terlalu bersemangat untuk mengusasi apapun hingga tidak peduli dengan
perasaan sejenis itu, aku tidak memikirkan yang lain selain betapa mulianya terjun
ke dalam dunia perang seprti tentara yang mendaftar. Tapi seandainya aku
menemukan..., seandainya aku menemukan seseorang, seandainya aku
menemukannya, benteng pertahananku runtuh. Dan sekarang aku menemukanya,
tidak ada keraguan dalam pikiranku bagaimana aku memulainya. Dan jika waktu
memang bisa diulang kembali, aku ingin begitu aku mengetahui ia adalah orang yang
kucari— aku ingin langsung berlutut dan melamarnya dengan cara yang lebih
manuasiawi. Aku pasti akan sangat mengininkannya untuk selama-lamanya, bahkan
saat kata itu tidak memiliki arti yang sama.
Aku menarik napas. Aku ingin menikmati momen itu kembali. Dan sejenak
aku bisa. Aku melihat dirinya dalam balutan gaun panjang dan blus renda-renda
berleher tinggi, dengan rambut yang disanggul tinggi juga. Wajahnya cantik, dengan
polesan sedikit. Aku melihat diriku tampak tampan dalam setelan jas warna terang,
memgang buket bunga-bunga liar, duduk berdampingan dengannya di ayunan teras.
Aku menggeleng dan menelan ludah. Aku menyadari telah jatuh cinta dengannya,
dengannya yang baru dan jikapun ia kembali berubah, aku tetap akan mencintainya
seumur hidupku.
Teorinya, aku sangat ingin, bahkan bersemangat menukar apapun dengan
keabadian bersamanya. Bagaimanapun itu adalah kunci agar aku bisa bersamanya
selamanya, teorunya itu masuk akal. Praktiknya... yang kutahu aku hanya perlu

49
50

menjadi manusia yang lebih normal. Masa depan di luar sana ibarat dalam dan gelap
yang takkan kuketahui dasarnya sampai aku melompat ke dalamnya. Barangkali
seperti itulah kehidupanku bersamanya kelak, aku tidak tahu kapan ia akan kembali
seperti dulu dan berpulang dalam pelukan Kangin. Dan aku tahu apa yang
kulakukan, tidak akan ada yang pernah kubiarkan ia menjadi milik siapapun. Sudah
cukup aku berbaik hati membiarkanya hidup bebas bersama Kangin. Sudah saatnya
aku mengambil apa yang seharunya menjadi milikku.
Waktu terus berjalan terlalu cepat.
Malam itu berlalu tanpa diganggu mimpi, barangkali aku memang tidak
pernah bermimpi semenjak kami berbagi ranjang berdua, tiba-tiba saja sudah pagi
dan hari selanjutnya membayang di depan mata. Ada setumpuk hal yang harus
kupelajari untuk mengajakknya berkencan seperti kebanyakan orang, dan aku tahu
aku bahkan tidak akan bisa menguasai setengahnya. Aku tersenyum, tidak ingin
menyebut siapa namanya, aku mencintainya. Aku mempunyai perasaan yang baru
selama ku hidup, bukan berarti aku tidak tertarik pada perempuan, sungguh bukan.
Hanya saja, jika ditarik benang merahnya, itu hanya akan kembali pada larangan
keras ayahku untuk tidak memberikan hatiku untuk siapapun.
Mungkin ini terlalu mendadak, tapi perasaan orang juga tidak bisa ditebak.
Aku perlu menyiapkan sesuatunya, aku perlu memperbaiki sikapku, menebus dosa-
dosaku semasa dulu. Aku ingin mengimbangi perubahannya yang drastis, bisa jadi
semuanya dan akhirnya aku memang ditakdirkan untuk terus bersamanya, sampai
kapanpun.

50
51

BAGIAN TIGA
Eunso side’s
SEMUA SUDAH SIAP.
Aku berkemas-kemas untuk menginap dua malam bersama Kyuhyun,
semuanya sudah ia siapkan di mobil, yang hanya perlu kulakukan hanya mengikuti
intruksinya. Diam selagi ia sibuk menyiapkan sesuatu yang nantinya, mungkin akan
kami perlukan. Aku sudah memberikan banyak pilihan untukku sendiri, memilih
bertahan atau terbawa arus bersama Kyuhyun. Aku diam menyadari bahwa dua
pilihan itu terasa tidak pantas untuk di sejajarkan. Aku mungkin bisa saja memilih,
tapi pilihan pertama menjadi tak terlihat olehku. Toh... lagipula aku juga tidak
terpaksa untuk memilih yang kedua, memilih terbawa arus bersama Kyuhyun. Aku
sudah melakukan semua bentuk pertahananku yang kubisa. Aku berusaha
menerima itu dengan senang hati walaupun akhirnya aku juga tidak akan
mendapatkan apapun selain kekecewaan.
“Untuk malam ini saja, bisakah kita mencoba melupakan hal-hal lain kecuali
kau dan aku?” pinta Kyuhyun, mengeluarkan segenap pesona lewat sorot matanya
yang tertuju padaku. “Sepertinya aku tak pernah bisa punya cukup waktu seperti itu.
Aku perlu berduaan denganmu. Hanya denganmu”
Ini bukan permintaan yang sulit untukku setujui, walaupun aku tahu jauh
lebih mudah untuk mengatakan akan melupakan ketakutanku daripada
melakukannya. Aku tidak terlalu mengerti apa yang Kyuhyun katakan, jika benar ia
ingin berduaan denganku, bukankah di rumah juga sama saja? Ada banyak hal yang
kupikirkan sekarang, tapi mengetahui kami hanya akan berdua malam ini, itu
mungkin membantuku. Aku sudah menyerah, dan barangkali aku memang
ditakdirkan untuk ini, aku siap.
“Baik...”

51
52

Aku menyadari.
Ada hal-hal yang sudah berubah.
Misalnya aku sudah siap.
Aku sudah siap dengan segala konsekuensi yang bisa menyerangku kapan
saja. Perasaan takut, bersalah, dan gelisah yang kurasakan sekarang telah
mengajariku. Tentang bagaimana aku harus membahagiakan diriku sendiri. Aku
sudah mendapat kesempatan untuk berkonsentrasi memikirkan hal ini, saat aku
memandangi bulan di balik awan-awan sambil bersandar pada bahunya aku tahu
aku tidak akan panik lagi. Aku tak harus memilih, karena sebenarnya memang tak
ada pilihan untukku selain mengikuti hatiku. Lain kali, jika aku dihidupkan kembali,
aku takkan pernah harus memilih antara Kyuhyun dan Eunbi. Aku hanya perlu
memilih dan melakukan bagianku sendiri, dan berharap aku benar-benar akan
bahagia.
Biarpun sudah mantap dengan keputusanku, aku tidak kaget saat perasaan
gugup masih bisa menyerangku saat melihat jalanan mulai sepi. Kyuhyun duduk di
kursi pengemudi, menyusuri jalan panjang menuju mansionnya. Ia tersenyum,
mengemudi dengan lambat. Dari remang-remang, aku masih bisa menikmati pesona
wajahnya yang tampan. Sudut mataku tidak bisa memungkiri, sekalinya aku selalu
merasa jatuh saat berada didekatnya. Hari sudah gelap saat kami sampai. Meski
begitu padang rumput terlihat terang benderang akibat cahaya lampu yang
terpancar di setiap jendela. Begitu mesin mobil dimatikan, Kyuhyun segera keluar
dan sudah berada di samping pintuku, membukakannya untukku. Tangannya
menarikku turun dengan satu tangan, menyambar tasku di sisi belakang lalu
menyampirkannya di pundak dengan tangannya yang lain.
“Selamat datang” ucapnya, matanya cair dan hangat.
“Kedengarannya menyenangkan” kataku.
“Aku punya sesuatu untukmu,” kata Kyuhyun saat kami masuk ke rumah.

52
53

“Oppa, aku tidak suka diberi sesuatu” tegurku mengingatkan. Bagiku, itu
menghamburkan uang. Tapi bagi Kyuhyun, uang hanyalah hal sepele. Ia punya
banyak uang— aku bahkan tidak ingin membayangkan jumlahnya. Uang hampir tak
ada artinya untuk Kyuhyun, jauh berbeda denganku.
“Barang yang dulu menjadi milik orang lain, kurasa kau mau menerimanya”
Aku berpikir sejenak.
“Apa tidak apa-apa jika diberikan padaku?”
“Memangnya ada yang melarang?”
“Mm... maksudku apakah tidak apa-apa jika pemberiannya padamu justru
kau berikan padaku, oppa?”
“Kurasa tidak masalah”
“Mengapa begitu yakin?” aku terus bertanya. “Karena itu adalah
permintaannya padaku”
Kyuhyun menggenggam tanganku lembut, sorot matanya mengingatkanku
untuk tetap tenang, rileks. “Barangnya ada di kamar. Bagaimana kalau kita
mengambilnya?”
Aku sempat ragu, tapi menjadi sangat yakin saat ia menautkan jemarinya di
sela-sela jemariku. “Ayo kita kesana”
Kyuhyun pasti benar-benar ingin memberiku benda bukan hadiah. Barangkali
tidak sabar dengan langkahku yang lamban, Kyuhyun meraupku dalam
gendongannya, nyaris membuatku berteriak karena reflkesku yang mendadak. Ia
menurunkanku di depan pintu, lalu melesat masuk menuju lemari.
Ia sudah kembali sebelum aku sempat maju selangkah pun. Tapi aku
mengabaikannya dan tetap berjalan menghampiri kursi panjang di sudut ruangan,
menghempaskan tubuhku di pinggir dan bergeser ke tengah. Kyuhyun tertawa.
Kemudian ia ikut duduk di sebelahku, tak berjarak, sangat dekat hingga aromanya
membuatku merasa mau mati. Detak jantungku langsung berantakan, mudah-

53
54

mudahan Kyuhyun mengira itu karena aku gugup hendak diberi hadiah bukan
karena kehadirannya yang memabukkanku.
“Barang yang pernah dimiliki orang lain”
Kyuhyun mengingatkan dengan nada tegas.
Ditariknya pergelangan tangan kiriku, dan disentuhnya gelang perak itu
sekilas. Lalu ia melepaskan lenganku kembali.
Aku mengamatinya hati-hati. Di sisi yang berseberangan, aku melihatnya
begitu kontras dengan warna kulitku yang pucat. Aku terkesiap pelan, berusaha
tidak membohongi diri bahwa itu benar-benar cantik dan terasa tidak pantas
diberikan padaku.
“Dulu itu milik ibukku”
Kyuhyun mengangkat bahu dengan sikap seolah-olah itu hanya masalah
sepele. Air mataku seakan menerbak, aku merasa sangat tidak pantas untuk apapun.
Bagaimana bisa barang yang begitu berharga diberikan padaku?
“Ia memberikannya padaku, dan aku memberinya padamu”
Aku tersenyum sendu mendengarnya.
“Aku..., kurasa aku tidak bisa menerimanya...” ucapku berhati-hati sekarang.
“Kenapa?”
Kenapa? Karena aku bukan Eunbi yang dimaksud hatimu. Aku bukan
seseorang yang telah disatukan denganmu dimata Tuhan. Well..., aku bisa saja
menerima, tapi... aku juga tidak ingin menyiksa diriku lebih jauh meski tawaran itu
begitu menggiurkan. Aku butuh pengendalian diri yang kuat. Aku mencondongkan
tubuh ke arahnya, merasa masa bodoh dengan tingkahku yang kelewat tidak sopan.
Aku hanya ingin menyampaikan sesuatu, “Aku sangat berterimakasih, untuk itu dan
untuk hatimu”
“Song...”

54
55

Kyuhyun menatapku bertanya-tanya. Aku membuat ancang-ancang untuk


melanjutkan ucapanku. “Berikan padaku saat kau benar-benar yakin bahwa itu
memang pantas untukku”
“Tapi..., kau memang pantas untuk itu”
“Belum saatnya...”
“Kalau begitu kapan tepatnya?”
“Saat aku melahirkan anak pertamaku, mungkin?”
Jawabku sedikit bercanda. Membubuhkan tanda tanya dibelakangnya supaya
bisa terdengar lebih klasik. “Kita...”
Ia membeo, membuatku sedikit terpana.
“Bukankah anakmu itu juga anakku?”
Aku terdiam sejenak, memandangi jauh ke dalam matanya yang tajam. Aku
masih belum tahu bagaimana aku harus memulai. Aku merasakan matanya
menatapku dan aku tiba-tiba takut untuk mengangkat wajah. Darah mulai
membakar wajahku. Jari-jarinya yang besar membelai pipiku. “Kau tersipu?”
tanyanya kaget. Aku menunduk, menggigit bibir.
“Please, Song. Kau membuatku tegang”
Suaranya bernada memarahi, mengingatkanku bahwa Kyuhyun tidak suka
jika aku tidak mau mengutarakan pikiranku. “Well..., aku sedikit khawatir... tentang
sesudahnya, tentang hal-hal yang membuatku merasa bahagia” aku mengakui,
akhirnya berani menatapnya kembali.
“Apa yang kau khawatirkan?”
“Soal anak...”
Kurasakan tubuh Kyuhyun mengejang, sama sepertiku, tapi suaranya lembut
dan sehalus beledu. “Kenapa?”
“Apakah aku benar-benar bisa meneruskan keturunanmu, oppa?”
“Mengapa bertanya seperti itu?”

55
56

“Entahlah, itu hanya pikiranku saja. Aku merasa tidak pantas”


“Song, kau bisa memberikan seberapapun yang aku mau”
Kyuhyun meyakinkan aku. Kurasa..., ia tidak mengerti maksudku sama sekali.
Aku ingin sekali mengajukan sanggahan, tapi kurasa dengan kata-kataku sendiri
tidak akan berhasil. Sulit dipercaya betapa aku merasa canggung untuk ucapanku
barusan. Aku tahu itu tidak rasional. Dalam kesempatan-kesempatan lain Kyuhyun
sudah sangat jelas mengungkapkan bahwa ia bisa memberikan apapun untuk
mendapatkan hati Eunbi. Namun aku belum pernah serapuh ini, aku merengut
memandangi tangannya yang masih memegang gelang dengan kristal biru di
tengahnya.
“Oppa bisa memberikanku itu saat aku hamil anak pertama”
“Benarkah? Haruskah seperti itu?”
“Tentu saja”
Aku menarik gelang tersebut lepas dari genggamannya, mengamatinya
sesaat kemudian buru-buru memasukkannya ke dalam kotak berukuran empat kali
enam. Warnanya cantik, dan aku tidak bisa mengatakan bahwa aku tidak ingin
memilikinya. Tanganku mengusapnya pelan sebelum benar-benar kuserahkan pada
Kyuhyun. “Gelang ini terlalu berharga, eommonim... pasti sudah sangat
mempercayakannya padamu. Berikanlah kembali kepadaku, jika kau memang ingin
memberikannya padaku. Dan disaat kau benar-benar yakin, aku akan menerimanya
dengan senang hati”
Kyuhyun menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab.
“Kau bisa melakukan jauh lebih baik daripada ini, Song. Aku tahu, aku akan
menunggu waktu itu tiba, waktu dimana kau benar-benar menyempurnakan
hidupku”
Aku mengangguk pelan, semoga saja itu benar adanya. Well..., seandainya
ada cara supaya aku bisa menjadi milikmu, tak peduli apapun resikonya, aku rela

56
57

menanggungnya. Aku duduk diam tak bergerak, menyerap semua itu. “Jadi..., bukan
karena kau tidak suka dengan pemberianku, kan?”
Aku menghembuskan napas keras-keras.
“Kau khawatir aku tidak akan menyukai apapun darimu?” tuntutku.
Kemudian, sebelum ia sempat menjawab, tawaku meledak. “Oppa, itu hal yang tidak
mungkin”
“Aku kan hanya mengira,”
Ia menatapku sambil membelai pipiku, dan aku merasakan darah mengalir
cepat dan membuat kulitku merah padam. Kyuhyun ikut tertawa lembut.
“Tapi itu sangat lucu, menyenangkan”
“Lebih menyenangkan lagi, ketika aku mendengar detak jantungmu...”
sambungnya, lebih serius tapi tetap tersenyum. “Itu adalah suara paling signifikan di
duniaku. Aku sudah sangat terbiasa mendengarnya sekarang, dan aku bahkan bisa
merasakannya dari jarak beberapa kilometer.
“Jangan mendengarnya...”
“Tapi ini menyenangkanku”
“Kau terganggu, ya?”
Kyuhyun menggeleng, “Kurasa aku senang, dengan maksud detak
jantungmu”
Aku bergeming, pikiranku kusut memikirkannya. Aku menatap tangannya.
Waktu tidak akan membuatku kebal terhadap kesempurnaan Kyuhyun, dan aku
yakin tidak akan pernah menganggap sepele aspek apapun yang ada dalam dirinya.
Lama aku menyadari, ada satu hal yang benar-benar pasti dan kuyakini bahwa aku
telah jatuh, menyerah. Aku mencintainya, bukan karena dia tampan dan kaya. Tapi
karena jauh sebelum itu ia telah membuatku nyaman. Ini mungkin tidak pantas, tapi
aku juga tidak bisa menyangkal bagaimana cara untuk membuatnya berhenti.
Semuanya mengalir deras tanpa bisa kubendung dengan benteng pertahanku.

57
58

Barangkali karena pengalaman pertamaku, yang jelas, aku mencintainya tanpa


syarat apapun.
®®®
Keesokan paginya pagi lebih baik, tak ada hal yang bisa kubedakan.
Semuanya sama mewahnya dengan apa yang kulihat, atau barangkali aku yang
terlalu kuno untuk mampu terbiasa dengan kehidupan Kyuhyun yang terlalu
menyilaukan. Mengisi kebosananku, aku terus melangkah menyusuri apa saja yang
bisa kujelajahi, kemudian sesekali berhenti sejenak saat menemukan hal lain yang
menarik perhatianku. Langkahku terus mengepak, petak demi petak kulewati hingga
tanpa sadar telah sampai di ujung lorong yang panjang. Saat aku merasa sampai,
mataku terbelalak, merasa terpana dan terkejutkan seperti biasa. Bagian ini lebih
luar biasa lagi dari apa yang sempat kulihat di dalam. Kolam renang berbentuk
persegi panjang yang memukauku.
Airnya yang terpapar sinar matahari menjadi tampak berkilauan. Aku tidak
terlalu paham dengan arsitekturnya, yang jelas aku menyukainya. Kuberanikan diri
untuk kembali mengikis jarak dengannya yang berhasil menarik perhatianku. Aku
terus melangkah hingga sampai di ujung kolam kemudian mendudukkan tubuhku di
sana. Sengaja aku mencelupkan kedua kakiku ke dalam air perlahan-lahan. Rasanya
dingin, tapi tidak sampai membuatku menggigil. Lambat laun aku menyadari bahwa
aku menikmati ini, gerakan kedua kakiku yang saling menepuk menimbulkan
percikan air yang tidak terlalu keras. Sesekali aku tersenyum, dan terus melakukan
hal itu untuk jangka waktu yang cukup lama. Aku cukup tahu diri meskipun punya
keinginan untuk menceburkan seluruh tubuhku, aku tidak bisa berenang.
Barangkali terlalu asik dengan apa yang kulakukan, aku tidak menyadari
kehadiran Kyuhyun yang berdiri diam di belakangku. Jantungku seperti mau copot.
Tanganku berpegangan pada ujung kolam erat-erat, mencoba memastikan bahwa
aku tidak sampai tercebur ke bawah. Di suatu tempat, di sudut benakku, aku merasa

58
59

ada yang kuinginkan. Tapi aku tak bisa berkonsentrasi dengannya. Kedua tanganku
menekan lantai-lantai hitam, beringsut naik, tapi gerakannya yang turut duduk di
sampingku membuatku mengurungkan niat. Kurasa tidak ada salahnya. Tubuhnya
yang besar hanya berjarak beberapa senti saja dariku, kaki kanannya yang panjang
turut berayun disebelahku sedang kakinya yang lain ditekuk silang, membuat
Kyuhyun menjadi terlihat lebih berkharisma di mataku.
“Tidak turun?”
Aku menggeleng pelan, pertanyaan itu membuatku lebih tegang daripada
sebelumnya. Aku berusaha sebisa mungkin menggambarkan hal-hal abstrak seperti
apa saja yang bisa membuatku melupakan keinginanku untuk turun. Well..., kurasa
tidak baik jadinya jika aku harus turun dan berbagi kolam renang dengannya.
Bagaimanapun aku tetap harus berhati-hati akan hal yang bisa menjebakku di
kemudian hari. Aku menoleh ke arahnya, lalu membelalak lebar saat tiba-tiba ia
berdiri dan melepas pakaian atasnya. Napasku tercekat, jantungku berdebar
kencang seperti racun bagiku. Aku mengalihkan pandanganku sebisa mungkin,
kemana saja asalkan jangan ke tubuh Kyuhyun yang setengah telanjang.
Kinerja otakku menjadi tidak terkontrol, bukan karena aku berpikiran yang
tidak-tidak, tapi lebih karena ini adalah sesuatu yang baru bagiku. Darah mengalir
cepat hingga aku bisa merasakan wajahku memanas, merah. Benar bukan, aku tidak
bisa menjadi biasa untuk alasan apapun jika itu menyangkut Kyuhyun. Aku terlalu
mencolok.
BYUR
Tubuhku sedikit terjengkit ke belakang saat air mengenai sebagian depan
bajuku. Aku tidak bisa. Nuraniku mengingatkan, berpacu secepat mungkin bahwa
tidak seharusnya aku berada di sini untuk jangka waktu yang lama. Aku tidak harus
memandangi Kyuhyun yang kelewat rupawan, bahaya. Well..., melihat Kyuhyun
dalam keadaan seperti ini membuat pikiranku tidak fokus. Itu membahayakanku.

59
60

“Turunlah...” ucapnya saat sudah berada di dalam air. Kedua alisku


mengerut, membayangkan bagaimana tubuhku bisa terlihat. Diam-diam bulu
kudukku berdiri, menerawang jauh, tubuhnya yang jauh tinggi di atasku tenggelam,
menyisakkan sebatas bahunya yang dapat ditangkap mataku. Aku bergidik ngeri, jika
ia yang tinggi saja bisa tenggelam bagimana dengan diriku? Bagaimana dengan kaki-
kakiku yang begitu pendek, apa kabar dengan rok selutut yang kukenakan, lalu
bagaimana dengan kaos putih yang kupakai?
“Tidak”
“Ayolah”
Kyuhyun berjalan mendekat ke arahku, tangannya yang basah memegang
kedua kakiku di bawah air. “Aku tidak bisa berenang”
“Aku akan mengajarimu” tawarnya kelewat menarik.
Tangannya menarik kedua tanganku untuk bertumpu di samping kiri
bahunya. Dalam jarak sedekat ini aku bisa merasakan hembusan napasnya yang
hangat menerpa bagian wajahku yang lain. Kedua lengannya memeluk pingganku,
aku menggeleng pelan, menyadari apa yang hendak Kyuhyun lakukan setelah ini.
“Aku benar-benar takut”
“Ada aku bersamamu”
“Tapi itu tetap menakutkan”
“Aku tidak mungkin membiarkanmu tenggelam” jawabnya.
Sorot matanya meneduhkanku, aku tahu ia sedang berusaha menghipnotisku
untuk ini, but… ketakutanku tetap tidak bisa dilawan. “Kita coba,”
Aku memekik pelan saat tubuhku berhasil di bawa turun. Kakiku yang pendek
dapat kurasa melayang-layang di bawah sana tanpa pijakan. Tanganku memegang
erat leher Kyuhyun, berusaha membuat tubuhku tetap berada di permukaan. Aku
tidak ingin tenggelam atau mati dengan kondisi ini.
“Op—pa, aku takut”

60
61

“Jangan takut. Kaitkan kakimu”


Aku mengernyit bingung, tapi kemudian mendadak takut saat menangkap
maksudnya. Terlalu memalukan untuk dibayangkan, terlalu mengerikan untuk
dirasakan.
“Dipinggangku”
Kyuhyun mengucap lembut, tanpa tahu apa yang sedang kurasakan lebih
jauh. Tak ada waktu lagi untuk memikirkan dampaknya. Dengan segera kukaitkan
kedua kakiku ke pinggangnya, kuat. Tubuhku menempel erat tanpa cela dan itu
terkadang membuatku risih saat jari-jemarinya tanpa sengaja menyentuh bagian
pantatku.
“Hey... buka matamu. Tidak akan tenggelam”
“Jangan lepaskan aku, oppa”
Aku mengeratkan peganganku.
“Oo... tidak akan”
“Please…, jangan membuatku takut” ucapku. Bahkan ketika nada suaraku
sudah semakin parah, ia tetap tidak mengindahkan beberapa kata yang kulontarkan.
“Lihatlah, kau sangat aman”
Aku menatap wajahnya, mencari-cari darinya kata yang bisa membuatku
percaya. Tapi, bukannya kepercayaan yang kudapat, aku justru kembali terpesona
dengan penampilan Kyuhyun yang memukau. Aku tahu ini adalah hal yang jarang
kutemui, makanya aku buru-buru menyimpannya dalam memoriku. Bagaimana aku
mengingat rambutnya yang basah menutupi sebagian dahinya. Bagaimana ia
mendekapku erat-erat di dalam balutan air yang menggerogoti ketakutanku.
“Hana…”
Aku mengernyit. “Dul…”
“Hitungan ketiga, silahkan pejamkan matamu Song”
Aku tidak menjawab. “Set…”

61
62

Mataku cepat-cepat terpejam saat seluruh tubuhku berhasil Kyuhyun tarik ke


bawah. Gelembung-gelembung kecil dapat kurasakan saat mulutku bergerak
menyalurkan udara secepat yang kubisa. Pikiranku berpusat pada apa yang bisa
menyerangku di bawah sana. Tak pernah terbayangkan olehku bahwa bahaya
sesungguhnya mengintai jauh di bawahku, di bawah air yang membukusku bersama
Kyuhyun. Kedua tanganku mengerat, merangkul kuat tubuh Kyuhyun, terserah apa
yang akan ia pikirkan tentangku setelah ini, aku benar-benar tidak peduli.
“Hey sayang, tidak apa-apa. Jangan takut" tegur Kyuhyun sedikit serak.
“OPPA!” teriakku megap-megap.
“Bukankah ini menyenangkan?”
“Menyenangkan di bagian yang mana?”
“Barusan…” jawabnya santai.
“Ayo menepi... aku benar-benar takut— ya Tuhan, jangan tertawa”
rengekku.
“Sekali lagi”
“Oppa..., jangan lagi”
“Wae? Oppa senang berenang denganmu”
“Aku tidak”
®®®
Matahari tenggelam begitu dalam di balik awan-awan, jadi tak bisa diketahui
apakah matahari sudah terbenam atau belum. Setelah kejadian siang tadi yang
cukup memalukan sekaligus mendebarkan untukku, Kyuhyun membawaku mengejar
matahari ke arah barat hingga seolah matahari tak bergerak di langit— itu membuat
orang seperti kehilangan orientasi waktu, waktu terasa begitu tidak beraturan.
Sungguh menganggetkan saat aku mulai menyadari bangunan-bangunan berganti
jadi semak belukar dengan hutan di setiap sisinya, menandakan kami akan pergi jauh
dari kota. Lama aku diam hingga mengenali kemana ia membawaku pergi. Tempat

62
63

yang mampu membuatku lebih rileks dari apapun, well..., kalau dipikir-pikir ini
seperti perjalanan bulan maduku bersama Kyuhyun.
Pantai.
Bayang-bayang dari ulah cerobohku pagi tadi berkecamuk dalam pikiranku
sementara aku mencoba membayangkan hal yang menyenangkan untuk
dipikirkan.... desir angin pantai, wajah Kyuhyun, aku memikirkannya lama sekali.
“Sejak tadi kau diam saja,” komentar Kyuhyun saat kami sudah benar-benar
di luar mobil. Angin sepoi-sepoi menerpa wajahku yang telanjang.
“Apakah perjalanan ini membuatmu mual?”
“Tidak, aku baik-baik saja oppa”
“Kau sedih karena aku membawamu pergi?”
“Itu lebih tidak mungkin”
Kyuhyun mengangkat sebelah alisnya. Aku tahu tak ada gunanya dan
walaupun aku benci mengakuinya, tidak perlu memintanya untuk tetap
memperhatikan jalan di depan.
“Katakan padaku jika ada yang membuatmu kurang nyaman” ucapnya
memperingati. “Aku tahu oppa, dan aku akan menjaga diri”
Ia mungkin tak akan pernah mengerti bahwa titik dari ketidaknyamananku
justru terletak pada perhatiannya yang kadang membua tku terlena. Aku mendongak,
berniat melontarkan komentar sarkatis, tapi wajah Kyuhyun yang ternyata lebih
dekat daripada yang kuharapkan. Mata emasnya membara, hanya beberapa
sentimeter jauhnya, dan embusan napasnya sejuk menerpa bibirku yang terbuka.
Aku bisa merasakan aromanya di bibirku.
Aku langsung lupa dengan komentar pedas yang akan kulontarkan tadi. Aku
bahkan lupa namaku sendiri.
Kyuhyun tidak memberiku kesempatan untuk pulih dari kaget.

63
64

Kalau kemauanku dituruti, aku akan menghabiskan sebagian besar waktuku


untuk terus bersamanya. Tak ada pengalaman lain dalam hidupku yang setara
dengan indahnya merasakan betapa perhatiannya Kyuhyun, betapa bahagianya bisa
hidup bersama dengannya.
Tapi aku sadar...,
kemauanku yang ini tidak akan dituruti.
Maka aku agak terkejut saat jari-jarinya menyusup ke rambutku, merengkuh
wajahku kuat-kuat. Kedua lenganku mengunci di belakang lehernya, dan aku
ebrharap kalau saja aku lebih kuat— lebih kuat memenjarakannya di sini. Satu
tangannya meluncur menuruni punggungku, mendekapku lebih erat lagi ke dadanya
yang sekeras batu. Meski terhalang sweter, kulit Kyuhyun yang masih cukup dingin
membuatku gemetar— getaran kegembiraan, kebahagiaan, tapi akibatnya pelukan
Kyuhyun mulai mengendur.
Aku tahu aku hanya punya waktu kira-kira tiga detik sebelum Kyuhyun
mendesah, aku menghembuskan napas, kepalaku sedikit pening. Aku menggeleng
beberapa kali, berusaha menjernihkan pikiran, dan mengalihkan perhatian ke arah
lain, menjauhkan diri sejauh mungkin darinya.
Kecanggungan mengikuti setelahnya.
“Kau pernah melihat api unggun di pantai?” Kyuhyun bertanya.
Aku duduk di kursi pantai yang terbuat dari tulang yang diwarnai. Ia berlutut
di depan api unggun, menyalakan ranting-ranting pendek dengan korek api.
Gerakannya lugas, tapi selalu terlihat begitu menganggumkan olehku. Entah karena
perasaan cintaku yang teramat berlebihan atau apa, yang jelas ia selalu memukau
dihadapanku. Aku tidak berlebihan mengatakannya, bagaimana ia mempesonaku
memang benar adanya. Barangkali ini adalah pengalaman pertamaku berhubungan
dengan seorang pria, atau memang karena itu adalah Kyuhyun. Yang jelas,
kehadirannya selalu memberikan warna baru dalam hidupku.

64
65

“Belum” kataku sambil meletakkan beberapa ranting, membantunya


menyusun beberapa. “Kalau begitu kau akan menyukai ini, perhatikan warna-
warnanya”
“Warnanya biru” kagumku. “Itu karena garam. Cantik ya?” ia menyalakan
sebatang ranting lagi, dan menaruhnya di tempat yang belum terjilati api, lalu duduk
disebelahku. “Tentu... tidak secantik dirimu” aku tersenyum sembari memerhatikan
api hijau biru itu menyeruak ke angkasa. Mataku mengikuti kemana pancaran itu
naik ke langit. Terlihat bebas dan tanpa beban.
“Kyuhyun, kau benar tidak menyesal menikah... denganku?” tanyaku tetiba.
Alisnya berkerut tapi hanya sesaat.
“Tentu tidak, aku tidak pernah mencintai orang lain selain dirimu” lega
mendengarnya. Meski aku tidak terlalu mempercayainya, aku tetap menghormati
apa yang ia katakana sebagai jawaban atas pertanyaanku. Dengannya yang seperti
paket lengkap, bagaiaman bisa hal-hal semacam ini justru terlewat begitu saja?
“Dan kau?”
“Oppa sudah sangat tahu jawabannya”
Untuk pertama kali dalam kurun waktu yang sangat lama, mimpiki sama
seperti mimpi-mimpi normal lainnya. Hanya berkeliaran dalam ingatan samar ke
kenangan-kenangan lama— melihat matahari di kota London yang teriknya
mmebutakan, wajah ibuku, rumah pohon bobrok, selimut warna hijau pekat,
dinding putih,... aku langsung lupa pada gambaran yang satu begitu gambaran yang
lain muncul. Gambaran terakhir adalah satu-satunya yang bertahan dalam
ingatanku. Tidak berarti apa-apa, hanya dekorasi di sudut-sudut rumah. Aku hanyut
dalam pikiranku sendiri, dan tiba-tiba nama Juliet masuk dalam benakku.
Kyuhyun masih memandangi api unggun yang semakin membara, aku ingin
mendekat memeluk hangatnya, tapi alih-alih mendekat aku justru kembali
memikirkan Juliet.

65
66

Aku bertanya-tanya dalam hati, apa yang akan ia lakukan seandainya Romeo
meninggalkannya, bukan karena dilarang menemuinya, tapi karena kehilangan
minat? Bagaimana seandainya, alih-alih menikahi Juliet, Romeo justru menghilang?
Kurasa aku tahu bagaimana perasaan Juliet.
Juliet pasti takkan kembali ke kehidupan lamanya, tidak terlalu. Ia tidak
mungkin melanjukan hidup, aku yakin itu. bahkan seandainya ia hidup sampai tua
dan keriput, setiap kali memejamkan mata, wajah Romeolah yang akan selalu
terbayang. Ia akan menerima kenyataan itu, pada akhirnya. Aku bertanya-tanya
apakah akhirnya Juliet akan menikah dengan pria lain, hanya untuk membahagiakan
orangtuanya, demi menjaga ketenangan. Tidak, mungkin tidak, aku memutuskan.
Tapi kisah itu memang tak banyak bercerita tentang Juliet dan pria lain. Ia hanya
peran pembantu— tempelan, ancaman, tenggat waktu untuk memaksa Juliet.
Bagaimana jika peran pria itu lebih dari yang ada dalam cerita?
Bagaimana seandainya itu adalah teman Juliet? Seandainya itu adalah
sahabatnya, bagaimana seandainya jika pria itu satu-satunya orang kepasa siapa
Juliet bisa mencurahkan keluh kesahnya tentang hubungan cintanya yang gagal
dengan Romeo? Satu-satunya orang yang benar-benar memahami Juliet dan
membuatnya merasa seperti manusia normal lagi. Bagaimana seandainya pria itu
sabar dan baik? Menjaga Juliet dengan baik-baik? Bagaimana seandainya Juliet tahu
ia tak mungkin bisa bertahan tanpanya? Bagaimana kalau pria itu benar-benar
mencintai Juliet dan ingin agar ia bisa bahagia?
Dan bagaimana bila Romeo tidak mencintai Juliet? Tidak sebesar cinta yang
telah Juliet berikan. Desah napas Kyuhyun yang lambat dan dalam adalah satu-
satunya suara manusia di sampingku selain angin yang menubruk pohon-pohon di
belakang kami. Suaranya seperti ninabobo yang digumamkan pada seorang anak,
seperti suara kursi goyang, seperti detak jarum jam tua di saat kau tidak perlu pergi
ke mana-mana. Pendek kata, suara yang membawa kedaiman.

66
67

Seandainya Romeo benar-benar pergi, tak pernah kembali lagi, apakah


bedanya seandainya Juliet menerima tawaran dari pria lain? Atau mungkin
seharusnya Juliet mencoba mengais kembali kepingan-kepingan hidupnya yang
masih tersisa. Mungkin itulah hal yang paling mendekati kebahagiaan yang bisa
diraihnya.
Aku mendesah, lalu mengerang saat desahan itu menggesek tenggorokanku.
Aku terlalu jauh menghayati kisah itu. Romeo takkan mungkin berubah pikiran.
Itulah sebabnya orang-orang masih mengenang namanya, selalu dikaitkan dengan
nama kekasihnya, Romeo dan Juliet. Itulah sebabnya kisah itu indah. Juliet
dicampakkan dan akhirnya bersanding dengan pria lain. Kurasa ini mirip denganku.
Akhirnya aku hanya akan dicampakan dan bersanding dengan yang lain. Aku tak
akan pernah bisa bersanding dengan Kyuhyun, dan Kyuhyun takkan berubah pikiran
untuk mengambil kembali diriku. Aku memejamkan mata dan kembali terlena,
membiarkan pikiranku berkelanan meninggalkan drama bodoh yang tak ingin
kupikirkan lagi.
“Apa yang sebenarnya kau pikirkan, hum?”
“Hanya kisah yang sempat kubaca tadi”
“Keberatan untuk memberitahuku?”
Aku menggeleng, menatap wajahnya yang lembut melebihi beledu. “Romeo
dan Juliet”
Kyuhyun diam, “Aku tidak terlalu suka dengan alurnya”
“Kenapa bisa begitu?” aku mengernyit, bagaimanapun... kebanyakan orang
akan menyukai kisah tersebut.
“Karena, jika Romeo benar-benar mencintai Juliet seperti apa yang
dibicarakan banyak orang, seharusnya mereka tidak berakhir tragis seperti sekarang,
bukan?”
Benar juga, batinku.

67
68

Aku hanya diam mengangguk, hingga kesunyian mengikutiku. Perkataan


Kyuhyun lambat laun mulai membuatku sadar bahwa kisahku tidak bisa dianalogikan
dengan siapapun dan apapun. Entah untuk kisah sebahagiapun itu, aku tak akan
memilih berakhir seperti apa yang telah Romeo pilih. Sesuai kata Kyuhyun, aku akan
bersungguh-sungguh, serius mencintainya yang terlampau istimewa untukku. Entah
itu akan berakhir sama, aku tidak peduli, setidaknya aku masih sempat
mempertahankannya, nanti.
Aku bergerak di tempat duduk, tangan terlipat, diam-diam berpuas diri.
Pesisir pantai yang luas, menjadi saksi bagaimana titik perjuanganku dimulai,
bagaimana ia menjadi begitu rapuh. Aku sudah cukup mempertimbangkannya, dan
tiba-tiba merasa aku baik-baik saja. “Jika aku Juliet, apa yang seharusnya kau
lakukan?”
“Jauh dari apa yang dilakukan Romeo untuk Juliet. Bagaimanapun juga Song,
aku takkan membiarkan apapun melukaimu,— bahkan tidak dirimu sendiri. Aku
takkan pernah melepasmu, meninggalkanmu, aku janji”
Aku merasa lebih baik, ia bisa melihatnya di wajahku. Aku mengikuti arah
pandangannya, menatap jauh ke arah pantai. Kyuhyun meraih tanganku dan
meremasnya. Di tengah laut, ombak terlihat lebih tenang dari biasanya, kulihat
gelombang menghantam satu sama lain tapi bisa membuatku takut. Aku tak bisa
membayangkan hidupku tanpanya sekarang— berusaha membayangkannya saja
sudah membuatku menahan ngeri. Bagaimanapun, ia telah menjadi bagian esensial
yang membuatku mengerti arti cinta. Tapi, membiarkan keadaan seperti apa
adanya... apakah itu kejam?
Tanpa bertanya, Kyuhyun bergeser dan medekapku erat-erat di sampingnya.
Aku membaringkan kepalaku di dadanya.
“Kau harus berjanji padaku, oppa”
Aku diam kemudian melanjutkan.

68
69

“Apapun yang akan kulakukan padamu dikemudian hari, berjanjilah padaku,


meski itu akan sulit”
Aku ingat pertahananku, bahwa Kyuhyun itu istri dari saudari perempuanku.
Aku sadar sekarang, yang kuinginkan sebenarnya adalah mengklaimnya sebagai
milikku. Rasanya seperti bukan saudara bila ia memelukku seperti ini. Pelukannya
menyenangkan— hangat, nyaman, dan familier. Aman. Kyuhyun adalah pelabuhan
yang aman.
“Ya”
Aku bisa mengklaimnya. Hal itu ada dalam jangkauanku.
Aku harus menceritakan semua padanya, aku tahu itu. Hanya itu satu-
satunya cara bersikap adil. Aku harus menjelaskannya dengan benar, supaya ia tahu
aku bukannya membuka lembaran baru, bahwa ia terlalu baik bagiku. Aku bahkan
harus mengakui bahwa aku gila, menjelaskan tentang semua rahasia yang Eunbi
titipkan padaku. Ia perlu mengetahui segalanya sebelum tahu dari sudut pandang
yang lain.
Tapi, bahkan saat aku menyadari betapa pentingnya sebuah kejujuran, aku
taju aku takkan sanggup, aku tidak bisa menjamin jika Kyuhyun akan menerimaku
apa adanya. Ia tentu harus berpikir-pikir lagi.
Aku terlanjur berkomitmen dalam hal ini, berkomitmen sebanyak yang masih
tersisa dalam diriku, memberikan kenangan yang masih tersisa. Itu satu-satunya cara
bersikap adil padanya. Maukah aku? Bisakah? Salahkah aku berusaha membuat
Kyuhyun bahagia dengan caraku? Bahkan seandainya cinta yang ia rasakan padaku
tak lebih dari cintaku padanya, apakah itu juga akan tetap salah?
Kyuhyun mengulurkan lengannya yang lain untuk memelukku, menarik ke
dalam dadanya, mendekapku erat-erat. Lagi-lagi rasanya menyenangkan. Nyaris
seperti milikku seorang. Napasku melejit satu tingkat, mengamplas dinding-dingding
tenggorokanku. Tidak mungkinkah Eunbi, meski terkesan tidak peduli, ingin agar aku

69
70

bahagia? Tidakkah masih tersisa sedikit perasaan sayang sebagai saudari dalam
dirinya untuk menginginkan itu bagiku? Kurasa pasti masih. Eunbi tidak mungkin
marah padaku karena hai ini: memberikan secuil cintaku yang besar pada suaminya,
Kyuhyun. Lagipula, ia juga tidak mempunyai cinta yang sama denganku.
Kyuhyun menempelkan pipinya yang hangat ke puncak kepalaku.
Jika aku memalingkan wajahku ke samping— jika aku menempelkan bibirku
di area lehernya yang telanjang, aku tahu benar apa yang akan terjadi selanjutnya.
Mudah sekali. Tidak perlu ada penjelasan apa-apa malam ini untuk alasanku.
Tubuhku akan bergetar, memberi respon yang tidak seharusnya.
Tapi bisakah aku melakukannya? Mampukah aku mengkhianati Eunbi demi
menyelamatkan hidupku yang menyedihkan? Kupu-kupu menggelepar dalam
perutku saat aku berpikir untuk memalingkan wajah.
“Berbahagialah,” katanya. Matanya menatap jauh ke arahku, mencoba
mencari-cari. “Berbahagialah, denganku”
Aku langsung membeku.
“Bolehkah?”
Kyuhyun mengangguk, “Apa yang membuatmu yakin bahwa aku adalah
orang yang pantas kau bahagiakan?”
“Orang bilang, cinta tak akan perlu alasan. Tapi..., bagiku. Karena itu dirimu,
adalah alasan terbesarku untuk bertahan” jawabnya.
“Aku penasaran,”
“Penasaran untuk?”
“Jika..., kedepannya aku melakukan hal yang paling tidak kau sukai?
Apakah..., aku masih bisa menempati hatimu, oppa?”
“Ya,”
Aku merasa bahwa hidupku saat ini selalu ketinggalan zaman. Pergaulan
sosial begitu hiruk pikuk. Sering kali akua merasa gaya hidup zaman modern ini tidak

70
71

masuk akal. Bayangkan, seorang lelaki bernama Cho Kyuhyun bisa begitu percaya
pada semua hal yang akhirnya hanya akan membuatnya sakit. Well..., atau memang
dunia sudah separah ini? Atau udikku yang memang tidak ada habisnya? Atau,
apakah aku sekarang tidak lagi menjadi perempuan yang memiliki pikiran kritis?
Angin menampar pipiku. Siapa yang bilang jika teknologi bisa menuntaskan
beragam persoalan hidup pada abad ini?
“Ya, oppa. Dan aku akan benar-benar menagih janjumu, kemudian hari”

71
72

BAGIAN EMPAT
Seindah sandiwara, tentu akan berakhir. Cepat atau lambat, semuanya pasti
selesai –entah, dengan ending menyenangkan atau menyesakkan hati. Semua tentu
hanya soal waktu, lebih dari hati.
Eunso side’s
Setelah makan malam, aku melipat pakaian dan memindahkannya ke mesin
pengering. Sayangnya ini jenis pekerjaan yang hanya dapat menyibukkan tanganku
saja. Pikiranku jelas punya banyak waktu senggang, dan sudah mulai tak terkendali.
Pikiranku berpindah-pindah antara antisipasi yang begitu kuat hingga nyaris
menyakitkan, dan perasaan sangat senang yang membulatkan tekadku. Aku harus
terus mengingatkan diri bahwa aku telah membuat keputusan untuk jatuh cinta
pada Kyuhyun, dan tak akan mengubahnya. Aku hanya perlu berpegangan pada
diriku, aku hanya jatuh cinta, tanpa hasrat untuk merebutnya dari Eunbi. Dan atas
pilihanku yang lainnya— menyalahkannya dari hidupku? Tidak mungkin. Lagipula,
sejak awal kedatanganku di rumah ini, kelihatannya hidupku benar-benar tentang
dirinya.
Tapi suara kecil di relung benakku yang terdalam berkerut cemas, bertanya-
tanya apakah akan sangat menyakitkan bila semua ini berakhir buruk. Kalau aku
merasa tidak rela akan akhir semuanya.
Aku merasa lega ketika hari sudah cukup malam untuk tidur. Aku tahu aku
terlalu tegang untuk bisa tidur, meski aku sudah berusaha melupakan apa rencana
Kyuhyun esok hari. Aku mendorong pelan pintu kamar yang sepenuhnya tidak
tertutup dan tersenyum mendapatinya terjaga. “Lama sekali”
“Oppa bisa tidur lebih dulu”
Tapi..., aku memang tidak bisa tidur tanpamu”
Aku nyengir sejenak, “Sebelum ini oppa juga tidak pernah tidur denganku”

72
73

“Itu karena aku bodoh”


Aku berbaring, meletakkan kepalaku di tempat yang telah Kyuhyun sediakan.
Well..., ketakutan kembali menggerayangiku bahwa kenyamaan ini nyatanya hanya
sementara belaka. Aku tidak bisa benar-benar merasakan untuk jangka waktu yang
lama. Aku merasa tegang, sungguh ini telalu berlebihan.
“Ada yang menganggumu?”
Aku menggeleng pelan, tangannya mengelus pelan punggungku.
Menciptakan gelayar aneh tapi menenangkan. Aku tidak tahu bagaimana dua rasa
itu bisa terbentuk secara bersamaan, yang jelas… gerakannya yang penuh kehati-
hatian mampu mendatangkan kantuk untukku. Aku merasa seperti bayi yang sedang
ditimang-timpang, merasa terlindungi dalam dekapnya yang memabukkan. Banyak
benakku bertanya-tanya tapi aku juga tak bisa menemukan pertanyaan yang jelas.
Ratusan bahkan ribuan, tapi aku tidak bisa menjamin ada satu pertanyaan yang
benar-benar membuatku yakin. Entahlah..., aku mungkin memang selalu merasa
aman dengan Kyuhyun. Terlepas dari bagaimanapun pria itu, ketakutanku sekarang
nyatanya selalu datang dalam diriku sendiri, tidak benar-benar berasal dari Kyuhyun.
Lama kami terdiam, ruangan semakin terasa kebas dalam retinaku. Aku tau sebentar
lagi akan jatuh ke alam mimpi.
“Terimakasih oppa” ucapku sedetik sebelum jatuh ke alam mimpi.
Paginya aku bangun lebih cepat dari biasanya, tidurku benar-benar nyenyak
berkat pelukan Kyuhyun. Aku mengintip ke luar jendela untuk memastikan
harapanku yang kembali jatuh. Awan tipis bagai kapas menyelimuti langit, dan itu
menjadi penanda tidak ada alasanku untuk tidak pergi bersama Kyuhyun. Aku turun
dengan perasaan malas, tidak bersemangat. Aku meluncur ke pintu, sedikit cepat
untuk menyiapkan sarapan. Mataku sesekali masih mengintip ke arah jendela
barangkali ada yang berubah dari warnanya, tapi tak ada yang berubah. “Selamat
pagi” sapanya sambil tergelak.

73
74

“Oppa...” panggilku.
“Kita sudah sepakat,” ia mengingatkanku, merasa puas. Lalu duduk dan
menyambut mangkuk kecil berisikan gyeran jjim dari tanganku. Aku menggigit bibir
pelan, “Aku kan hanya memangilmu”
“Kurasa, aku sudah cukup paham dengan makna dibalik panggilanmu itu”
Aku mengalihkan pandangan, hati-hati menyaduk gyeran jjim dan
memasukkannya dalam mulutku. Kyuhyun tertawa, sedikit ceria ketika melihatku.
Aku sengaja mengunyahnya pelan-pelan, mencoba mengulur waktu lebih lama. Bisa
saja, keberuntungan memihakku sebentar lagi. Sudut mataku melirik pakaian yang
Kyuhyun kenakan, kaus pendek cokelat muda, dengan kerah hitam mengintip
dibaliknya. Aku menunduk, mencoba memastikan aku benar-benar merasa cukup
untuk bersanding dengan Kyuhyun. Aku sedikit tertawa, lagipula..., aku tidak akan
lama di sini.
Kami menyantap sarapan dengan cepat, usahaku sekarang terlihat sangat
sia-sia. Kyuhyun buru-buru membereskannya ketika kami selesai. Aku mengintip ke
arah jendela lagi, tapi yang kulihat justru matahari sudah kian meninggi. Jantungku
berdetak kencang.
“Sayang...”
“Ya”
“Ayo”
Dan dia tampak berdiri di hadapanku, menggenggam tanganku lembut.
Semua kegelisahanku lenyap begitu melihat sorot matanya. Kini aku merasa tenang,
sekarang. Kami berjalan beriringan, aku mengunci pintu sementara ia berjalan ke
arah mobil. Tanganku sedikit gemetar saat pintu sudah benar-benar terkunci, dan
herannya itu dilakukan olehku sendiri. Aku melangkah pelan-pelan, keengganan
begitu ketara dalam ekspresiku. Sesampainya di samping, kulihat ia menungguku
dengan ekspresi yang tak berdosa yang mudah di tebak.

74
75

Ia menurunkan jendela otomatisnya dan mencondongkan tubuhnya ke kursi


di seberangnya. “Masuk, sayang”
Aku tak menjawab. Dalam pikiranku aku menghitung-hitung kesempatanku
untuk kembali ke rumah sebelum ia menangkapku. Harus kuakui, tidak mungkin.
“Aku bisa menggendongmu, jangan berpikiran untuk kabur” ancamnya, seolah bisa
menebak apa yang sedang kurencanakan.
Aku berusaha meyakinkan diriku seraya naik ke mobil. Usahaku tidak terlalu
berhasil— aku tampak seperti kucing setengah kuyup dan sepatuku berdecit-decit.
Bukan..., ini hanya terlalu beresiko untukku. Barangkali ada yang mengenaliku
sebagai Eunso di luar sana?
“Ini benar-benar tidak perlu oppa, kita bisa menghabiskan waktu di dalam
rumah”
“Akunya yang tidak ingin di rumah”
“Lalu akan kemana?”
“Kenakan sabuk pengamanmu— belum-belum sudah bertanya”
Aku menatapnya nanar ketika melakukan perintahnya.
“Kemana?”
“Kemana saja asal bersamamu”
Ia menekan tombol kontrol, menyalakan pemanas dan menyetel musik.
Ketika mobilnya meninggalkan halaman, aku bersiap-siap menekan rasa khawatirku
yang menjadi begitu berlebih, sulit berkonsentrasi dengan jalanan di depanku. Aku
mencoba menormalkan mimik mukaku, yang sepenuhnya sudah cemberut. Tapi, lalu
aku mengenali musik yang mengalun itu, dan rasa penasaranku mengalihkan niatku
semula.
“U?” tanyaku terkejut.
“Kau tahu?”
Ia juga terdengar terkejut.

75
76

“Tidak terlalu,” aku mengakui.


“Lalu?”
“Daehyun oppa suka menyetel lagu klasik sewaktu dulu, dan aku hanya tahu
yang kusuka”
Kyuhyun tersenyum, satu tangannya menggenggam tanganku yang
menganggur. “Ini salah satu kesukaanku” aku mengangguk, memandangnya lama,
termenung.
Aku mendengarkan musiknya, bersantai di jok kulit abu-abu muda yang
kududuki. Mustahil aku tak bereaksi terhadap melodi yang amat kukenal dan
menenangkan ini. Sinar mentari memukaikan semua yag ada di luar jendela menjadi
terlihat hidup. Lambat laun aku mulai menyadari mobil melaju cepat sekali, meski
stabil dan tenang, sehingga aku tidak merasakan kecepatannya. Hanya kelebatan
kota di sisiku yang menunjukkan betapa cepatnya Kyuhyun berkendara. Harus
kuakui ia bisa mengemudi dengan baik sekali saat ia menjaga kecepatannya tetap
wajar. Seperti banyak hal, tampaknya itu mudah bagi Kyuhyun. Meskipun ia nyaris
tidak melihat jalanan karena melirikku beberapa kali, ban mobil tak pernah keluar
lima sentipun dari batas jalur.
Kadang-kadang ia memandangi matahari dari arah timur, kadang-kadang
menatapku, wajahku, rambutku yang berkibaran dari jendela yang terbuka, tangan
kami masih saling bertaut.
Tanganku yang kanan membolak-balikkan telapak tangannya yang masih
beradu dengan tangan kirku. Aku mengamatinya seksama, mengikuti garis-garis
tangannya dengan jari telunjukku. Tanganku... kecil sekali. Aku memandang
Kyuhyun, mengamatinya dengan tatapan seksama.
“Aku masih bertanya-tanya” suaraku yang sumbang memecah keheningan.
Aku tetap tidak bisa tenang, jantungnku menjadi semakin bergermuruh saat
membayangkan— tempat semacam apa yang akan ku datangi, sebentar ini.

76
77

“Apakah oppa bermaksud meninggalkan Seoul?”


Aku harap jawabannya iya, dan anggukan kepalanya membuatku sedikit
tenang. Tak ada yang ku takutkan selain ini. Pergi bersama Kyuhyun, ke tempat
dimana akan ada banyak orang mengenaliku, adalah hal yang wajib kuhindari. Tak
lama kemudian kami sampai di perbatasan kota, meskipun ia terus saja diam.
Pemandangan semak belukar yang lebat mulai mendominasi perjalanan kami,
menggantikan gedung-gedung tinggi yang telah kulewati.
“Aku penasaran,”
“Apa?” jawabku buru-buru.
“Apakah itu masalah? Bepergian denganku, apa itu sebuah masalah?”
“Tidak” aku berusaha agar jawabanku terdengar meyakinkan. “Aku hanya
penasaran oppa akan membawaku kemana. Jangan berpikiran terlalu jauh”
“Jangan khawatir, jaraknya hanya beberapa kilo saja dari sini dan kita tidak
perlu terburu-buru”
Aku tidak menyahut, supaya ia tidak mendengar kepanikan dalam suaraku.
Beberapa kilo dengan jalanan sepi seperti ini? Selama beberapa saat kami
melanjutkan tanpa bicara, sementara aku membayangkan kengerian yang bakal
kuhadapi. Aku tidak ingin berspekulasi bahwa di hari dimana aku bertambah umur,
Kyuhyun akan membunuhku atau semacamnya.
“Apa yang kau pikirkan?” tanyanya tak sabar.
“Hanya membayangkan tempat yang dituju”
“Kau tidak gampang menyerah, rupanya”
Kami memandang ke luar jendela, ke awan-awan yang mulai menipis. “Itu
karena oppa tidak mau memberitahuku”
“Itu tujuanku”
Kyuhyun menyeringai.

77
78

“Kemana? Oppa, cepat katakan hendak kemana kita?” aku terus mengulangi
setiap pertanyaannya sebisa mungkin. Tanganku meremas tangan Kyuhyun,
mencoba memaksanya mengaku. “Kau tahu jawabanku”
Aku berpura-pura tidak mendengar. Aku sepertinya sudah benar-benar
menyerah untuk menanyakannya kembali.
“Jangan marah” sahutnya saat aku mengabaikan kata-katanya.
Aku diam, pandanganku lurus ke jalan. Jika benar kemarahanku adalah
senjata ampuh untuk membuatnya luluh, aku menyesal tidak menggunakannya
sejak tadi.
“Tempat itu, sering kudatangi akhir-akhir ini”
Kepalaku dengan cepat menoleh, lebih penasaran lagi tentang apa yang dia
maksud. “Sebenarnya..., aku ingin mengatakannya nanti. Tapi kurasa itu tidak cukup
penting daripada menjaga moodmu tetap baik”
Tangan kananku bergerak menumpu punggung tangannya yang ada
digenggamanku. Tubuhku nyaris saja menempel bahunya jika tidak ada selfbelt yang
menghalangiku. “Bukan seperti itu oppa, aku tidak ada maksud lain selain
penasaran. Op—pa bisa menyimpannya nanti. Tidak perlu mencemaskan
ketidaksabaranku”
Kyuhyun mengangkat bahu pelan. Nadanya terdengar sendu di telingaku, itu
membuatku risih. “Aku sedih sekali”
Mataku membelalak lebar, merutuki sikapku yang keterlaluan.
“Kyuhyun oppa, jangan begitu. Maafkan aku ya?”
“Rasanya seperti ada yang menusukku, sakit”
“Opppaa... maafkan aku. Aku bisa sabar, aku janji”
Aku sudah hampir menangis, tapi Kyuhyun hanya diam tanpa menoleh ke
arahku. Lama aku memandangi ekspresinya yang aneh. Aku ragu itu asli atau
barangkali hanya sebuah tipuan. Aku bingung memutuskan hingga akhirnya aku

78
79

sadar dan kembali merutuki kebodohanku yang tak berujung. Aku buru-buru
mengganti ekspresiku dengan cepat lalu menatapnya nyalang.
“Kau memang menggemaskan”
Aku mengernyit.
“Oppa! Kau mempermainkanku?”
“Tidak”
“Kenapa tertawa begitu?”
“Memangnya ada yang melarangku tertawa?”
Aku mengerang jengkel, tidak berarti benar-benar marah. “Kau membuatku
takut tahu” gerutuku.
“Baiklah, baiklah... maafkan aku”
Dari tempat dudukku aku bisa melihat tarikan bibirnya, sebelum ini aku tak
begitu menyadari jika dilihat dari sisi manapun, Kyuhyun terlihat tampan. Selama
sisa perjalanan kami diam membisu. Aku bisa merasakan gelombang ketenangan
dan menenangkan dalam dirinya, dan aku tak tahu harus melakukan apa selain
menikmatinya.
Jalanan semakin menyempit, kemudian berakhir menjadi jalan setapak
dengan penanda kayu kecil. Sisi kanan kirinya terlihat rapi, jelas itu efek dari
pemugaran. Aku sedikit bertanya-tanya siapa dan apa motif dari semua ini. Jika
tempat ini benar sebuah objek wisata, well... tidak ada orang selain aku dan
Kyuhyun. Tapi jika ini milik pribadi, memangnya siapa yang rela menghabiskan uang
untuk mendesain ini semua?
Kyuhyun memarkir mobil di sisi jalan dan melangkah keluar, membukakan
pintu untukku. Sekarang di luar terasa hangat, lebih hangat dari apa yang kupikirkan
tadi pagi. “Lewat sini, sayang,” katanya sambil menoleh, sorot matanya tajam.
Jantungku berdebar, tidak pernah benar-benar terbiasa dengan sebutan
sayang. “Kemarikan tanganmu”

79
80

“Aku takkan membiarkanmu tersesat”


Kemudian Kyuhyun berbalik, dengan senyum mengejek dan aku mendengus
pelan. Kaus cokelat muda lengan pendeknya membuat kulit putihnya terpapar dari
leher hingga ke dada, otot-ototnya yang sempurna tak lagi tampak samar dari balik
pakaian yang membalutnya. Ia terlalu sempurna, pikirku sambil menatap tajam
putus asa. Tidak mungkin makhluk yang menyerupai dewa ini bisa ditakdirkan untuk
hidup bersama denganku.
Kyuhyun menatapku, keheranan melihat ekspresiku yang bodoh.
“Kau ingin pulang?” tanyanya tenang.
Aku menggeleng. “Tidak. Tentu saja tidak”
Kakiku melangkah maju sampai benar-benar berada di sampingnya, ak ingin
membuang-buang lagi satu detik atau berapa pun lamanya waktuku bersamanya.
“Ada apa?” tanyanya lembut.
“Aku suka”
Kyuhyun tersenyum, sambil menatap mataku. “Tapi bukan ini yang ingin
kutunjukkan padamu”
Sesaat akhirnya kami mulai berjalan masuk, menyusuri tangga-tangga kecil
yang memukauku. Jalan yang kami lewati kebanyakan datar, di samping kiri bisa
kulihat kanopi-kanopi berjuntaian lumut. Remasan tangannya selalu membuat
jantungku berdebar tak karuan. Ketika terjadi untuk kedua kali, aku sempat melihat
wajahnya dan yakin entah bagaiamana ia bisa mendengar detak jantungku.
Aku berusaha mengalihkan pandanganku dari kesempurnaanya sebisa
mungkin, tapi sering kali aku gagal. Setiap ketampanannya, perhatiannya,
menusukku dengan kepedihan bahwa dia bukanlah milikku. Kami lebih sering jalan
dengan diam. Kadang-kadang ia melontarkan pertanyaan asal yang belum
ditanyakannya dua hari yang lalu ketika menginterogasiku di atas ranjang. Ia

80
81

menanyakan teman-temanku, hewan peliharaanku di masa kecil, dan harus kuakui


bahwa aku tidak pernah memilikinya.
Lima menit kami berjalan, hutan terlihat begitu membentang di sekeliling
kami, dipenuhi jarring pepohonan kuno, dan aku mulai merasa gugup bahwa kami
takkan menemukan jalan keluar. Sebaliknya Kyuhyun, ia senang. Merasa nyaman
berada di tengah-tengan jaring hijau. Dan aku merasa tenang, asal dia bersamaku,
semua tidak ada artinya lagi selain keselamatanku. Setelah beberapa jam cahaya
yang menyupi di antara dedaunan pohon berubah, warna kehijauan yang suram
berganti jadi hijau cerah.
“Oppa...”
“Lelah?”
Aku mengangguk. “Tapi kita sudah sampai, Song”
Mataku menyipit memandang apa yang terjadi di hadapanku. Benar-benar
tidak percaya dengan apa yang berhasil ditangkap retinaku. Aku berjalan pelan
meninggalkan Kyuhyun dibelakang, padang rumput itu kecil, melingkar sempurna
dan ditumbuhi bunga-bunga tuli, biru, kuning, dan putih lembut. Tak jauh dari
tempatku berdiri aku bisa melihat bagian yang lebih membuatku terpana. Well...,
perbatasan warna hijau kelam dengan wewarnian bunga tulip membuatku takjub.
Matahari bersinar tepat di atasku, menyinari lingkaran itu dengan kabut kekuningan.
Aku berjalan pelan, terpesona, melintasi rumput halus, membelah bunga
yang melambai-lamabai, serta udara hangat dan keemasan yang menyentuh kulitku.
Aku setengah membalikkan badan, ingin berbagi apa yang kurasa dengan Kyuhyun.
Ia tersenyum... lebih mematikan daripada ujud keterpesonaanku.
Ia berjalan mendekat, tatapannya hati-hati, penuh minat. Aku tersenyum
mengamati, lalu menerima uluran tangannya.

81
82

Aku menunduk menatap tangan kami yang saling bertaut, dan dengan
lembut menggerak-gerakkan tanganku di telapak tangannya yang besar. Kyuhyun
tersenyum, wajahnya tampak malu.
“Cantik sekali” ucapku, untuk Kyuhyun dan sesuatunya yang memukauku.
Kehadirannya membuat hamparan bunga putih kuning semakin terlihat mempesona
di mataku.
“Tidak ada yang lebih cantik dibanding dirimu”
“Jangan begitu...” ucapku malu, tapi sangat senang di dalam hati.
Kyuhyun melihatku, ragu-ragu sejenak untuk memulai. Ia membimbingku,
menyentuhkan lengannya yang besar untuk melingkar dipunggungku. Kami berjalan
lurus beberapa meter, dan berhenti tepat di bawah pohon. Sisi-sinya bergantungan
tanaman lain yang tidak ku mengerti. Kyuhyun mendudukkanku di batu besar,
kemudian menyusulku tepat tanpa jarak di sebalah kiri.
“Berapa umurmu, sayang?” tiba-tiba ia bertanya padaku.
Suaranya terdengar frustrasi karena alasan yang tak bisa kutebak atau
kubayangkan.
“Duapuluh dua tahun” jawabku sedikit bingung.
“Kau tidak seperti berada dalam rentang umur itu”
Nada suaranya sumbang, membuatku tertawa. “Kenapa, oppa?”
“Kau seperti gadis tujuhbelas tahun”
Aku menggeleng cepat. “Tidak...” jawabku memanjangkan huruf di akhir.
Raut wajah Kyuhyun berubah dan ia langsung mengganti topik pembicaraan.
“Baiklah...”
Mataku menatapnya bingung, tanganya meraih kedua tanganku untuk ia
genggam. Aku melihatnya, itu lebih terlihat seperti anak burung dalam sangkar. Kecil
dan terlindungi.
“Selamat bertambah usia, kekasihku”

82
83

Aku terkejut mendengarnya. Butuh beberapa waktu untukku bisa kembali


sadar. Benakku mengingat-ngingat hari bagaimana dan dimana aku lahir. Bisikannya
di telingaku membuat konsentrasiku buyar, aku mendadak tidak bisa berpikir.
Ucapan sederhana tapi begitu penuh makna ditelingaku mampu membuatku
tertegun. Hatiku membuncah menyadari ia adalah orang pertama yang
mengucapkannya untukku. Aku mencondongkan tubuhku, terlalu bahagia untuk
menyadari harga diriku, aku memeluk Kyuhyun erat. Mencoba menyalurkan
perasaan terimakasihku melalui ini, sungguh.
Pikiranku sibuk mengoreksi beberapa kalimat yang akan kulontarkan pada
Kyuhyun. Memilah-milah, memilih yang pas.
“Oppa. Terimakasih”
Tapi..., akhirnya hanya itu yang mampu ku katakan.
Kyuhyun mendorongku pelan, menyisakkan beberapa jarak diantara kami.
“Aku tidak tahu hal apa yang kau sukai, dan hanya ini yang mampu kuberikan
padamu” ucapnya membuatku menggeleng keras. Kalimat hanya ini benar-benar
menohok hatiku, hadiahnya yang begitu indah ini, terlalu tidak pantas untuk dibilang
hanya ini.
“Tidak hanya ini. Ini lebih dari apapun yang menyenangkanku”
“Kupikir..., kau tidak akan suka”
“Kenapa berkata seperti itu? Kau tidak bisa melihat betapa bahagianya aku
saat ini? Well..., aku menyukai apapun. Apapun yang kau berikan padaku, aku akan
selalu menyukainya. Dan... ini benar-benar memukauku, oppa”
“Aku senang mendengarnya”
Aku tersenyum, tetapi seketika memandangnya lekat-lekat saat ekspresinya
berubah lebih dingin dan serius. “Domba kecil...”
Sebutan yang lucu.
“Aku ingin berbicara padamu”

83
84

“Aku siap mendengarkannya”


“Ini mungkin terdengar aneh, tapi... entah mengapa aku justru ingin memulai
semuanya denganmu. Hanya ada aku dan dirimu”
“Oppa...,” cekatku. Ucapannya ini benar-benar menghujam jantungku bagai
petir di langit. Aku merasa tertohok untuk permintaan Kyuhyun kepadaku. Bukan
aku tidak senang, tapi ini sejatinya bukan untukku. Bukan untuk Song Eunso si
penipu ulung, bukan untukku yang gemar bermain peran. Aku memaksa
membohongi diri bahwa ini semua bukanlah milikku, tapi... tidak bolehkan aku
merasakannya sesaat saja?
“Maukah kau menceritakan bagaimana dirimu padaku?”
“Apa yang ingin oppa ketahui tentangku?”
“Apa saja, kau boleh menceritakan apapu padaku”
“Kyuhyun...”
“Eo, katakan”
“Kau benar-benar ingin tahu tentangku— maksudku aku, sebagai diriku
sendiri?” tanyaku benar-benar memastikan.
Kyuhyun mengannguk. “Dirimu, tidak ada yang lain”
Aku menghela napas sesaat, menahannya untuk membuatku tetap tenang.
“Well…, jika itu yang kau inginkan. Aku tidak akan mengulanginya dua kali, jadi
kumohon dengarkan baik-baik”
“Tentu. Dengan senang hati”
Aku mendesah, kemudian menatap matanya, seolah-olah ini adalah hidup
dan matiku. Aku menoleh ke arah matahari, cahaya benda langit bundar yang
terbenam itu membuat kulit Kyuhyun terlihat begitu bercahaya.
“Aku lahir di Seoul tahun 1996” aku berhenti sejenak dan meliriknya dari
sudut mataku. Dengan hati-hati kujaga wajahku tetap tenang, berhati-hati untuk

84
85

tidak mengeluarkan hal-hal yang tidak kuinginkan. Barangkali aku nanti keceplosan.
Itu kan tidak lucu.
“Aku tumbuh menjadi gadis yang pemalu, selama dua tahun aku hidup aku
jarang mengalami hal-hal yang biasa orang lakukan. Aku tidak begitu mengingat
bagaimana masa kecilku, tapi dapat kujamin itu hal yang menyenangkan. Hidupku
sangat monoton, tidak terlalu memiliki banyak teman, barangkali aku memang tidak
mudah bergaul seperti Daehyun oppa atau saudaraku yang lain” putusku memilih
untuk tidak menyebutkan Eunbi.
Kyuhyun mendengarnya terksiap, meski bagiku sendiri nyaris tak terdengar.
Ia menunduk dan menatapku lagi. “Seperti yang kau tahu, aku suka hijau, gunung,
aku gemar memasak dan menanam bunga. Secara umum tak ada hal yang tidak
kusukai, tapi itu dulu... sebelum aku mengenalmu. Sekarang..., aku patut
berterimakasih atas perasaan yang kau berikan padaku. Atas perasaan
ketidaksukaan yang mendadak memenuhi hatiku, membuatnya terasa sesak akan
perasaan yang tidak menentu”
“Kau tidak menyukaiku?”
Aku menggeleng pelan, “Bukan aku tidak menyukaimu, tapi ada hal-hal yang
memang tidak suka kulihat”
“Contohnya?”
Beberapa detik berlalu sebelum aku menyahut. Aku memilih kata-kata
dengan hati-hati.
"Kelelahanmulah yang membuat hatiku resah. Dan aku tidak menyukai
perasaan itu. Aku tidak suka jika urusan perusahaan mulai membuat dahimu
berkerut. Aku tidak suka jika kau tidur membelakangiku, saat kau tidak
menghabiskan makananmu, aku sebenarnya tidak terlalu menyukainya. Itu mungkin
terdengar sepele, tapi itu adalah bentuk perhatianku padamu,”
“Kenapa?”

85
86

“Karena itu mengganggu kinerja hatiku. Aku ingin kau selalu baik-baik saja”
Aku kembali berujar, tanpa memberinya kesempatan untuk menyahut.
“Bagaimana dengan ibumu?”
Aku memandangnya, mengamatinya dengan tatapan penasaran. Bukankah
seharusnya Kyuhyun melihat ibuku saat pemberkatan? Aku ingin sekali bertanya tapi
kehangatan memeluk batinku saat sosok eomma melewati pikiranku.
“Dia sangat mirip denganku, bedanya dia jauh lebih cantik”
“Kau yang paling cantik”
Aku berhenti bicara. Membicarakan ibuk membuat hatiku tergores akan apa
yang telah jauh kulakukan. “Dia teman baikku”
Kyuhyun mengangguk. Tangannya mengelus pelan sisi bahuku sebelah kiri,
menyadari akan perubahan emosiku. “Kau baik-baik saja?”
“Ya” jawabku lembut.
“Ada yang ingin kau ceritakan padaku, lagi?”
“Belum...,”
“Baiklah, itu menenangkanku”
“Giliranmu”
“Maksudnya, Song?”
Aku tertawa melihat ekspresinys. “Aku sudah menceritakan sebagian
tentangku, tidakkah itu adil jika kau tidak menanggapinya dengan ceritamu?”
Aku duduk diam, memerhatikan wajahnya. Kutekan rasa penasaranku,
meskipun nyaris tidak mungkin. Kyuhyun menarikku untuk lebih dekat ke arahnya.
“Apakah itu sangat penting?” untungnya senyumnya masih tetap
mengembang.
“Sangat, bagiku”
Kyuhyun mendesah, kemudian menatap mataku.
“Aku Cho Kyuhyun”

86
87

“Halo, Kyuhyun” jawabku membuat suasana menjadi lebih ringan.


“Jauh sebelum kau lahir, aku tumbuh dalam didikan keluarga yang keras,
hidup tanpa seorang ibu membuatku menjadi lelaki yang tak tersentuh. Henry
adalah satu-satunya tempatku berkeluh kesah, meski terkadang itu tidak cukup
membantuku,” Kyuhyun memberi jeda sejenak, kemudian melanjutkan. “Kumohon
dengar baik-baik, meski aku benci mengakuinya. Aku bukanlah pria baik-baik, jika
kau mengira aku adalah lelaki baik maka kau salah besar. Aku tidak mengenal cinta
atau ucapan kasih, dan disaat itu aku juga butuh pelepasan”
Aku tetap mendengarkan meski sulit kumengerti.
“Tapi aku bersih dan sangat sehat. Aku tidak minum alkohol dan tidak
merokok. Tapi... seberapapun aku menganggap itu sebagai pembenaran, dua hal
tersebut tentu tak dapat menyematkan kata baik dalam diriku. Seperti yang sudah
kubilang tadi, aku di didik untuk tidak mengenal kata kasih, aku tidak percaya selama
aku hidup sebelum menemukanmu, sekarang. Kehadiranmu mampu membuat
benteng keras yang dibangun oleh ayahku nyatanya runtuh tanpa sisa”
Aku menghela nafas pelan. Bayangan Kyuhyun melakukan hal-hal diluar
batas kewajaran hidupku, berkeliaran saling bertubrukan, sedikit banyak membuat
hatiku terasa nyeri. Meski ini tidak seharusnya kulakukan, tapi aku juga tidak bisa
membohongi diri bahwa aku merasakan api, membara dalam hatiku. Bahwa aku
tidak bisa bersikap biasa.
“Pria baik, Cho Kyuhyun pria baik, untukku” tegasku. Dan pria baik sepertimu
tidak seharusnya terjebak dalam permainanku. Ini terlalu menyakitkan, tapi aku juga
bersalah karena terus melangkah maju. Aku tidak bisa melakukan apapun selain,
well..., Kyuhyun... bertahanlah sebentar lagi, setelahnya aku akan pergi. Kata-kata
itu sekilas tidak terlalu membantuku, tapi reaksinya jauh dari apa yang kubayangkan.
“Benteng itu hancur, luluh. Tak ada yang mengerti hingga aku juga lama
menyadari. Kau tau?”

87
88

Aku menggeleng, tidak juga mengerti jawabannya.


“Kehadiranmu membuat hatiku yang keras kembali lebih mausiawi. Di awal
pernikahan, mungkin aku cendenrung diam, karena aku tak sekalipun bisa
merasakan— tapi sekarang, saat bersamamu aku mulai merasakan jantungku
berdetuk kencang. Perasaanku menghangat ketika kau berada di sekitarku, dan
kembali gusar saat tak menemukanmu, disisiku”
“Hey... tidak apa-apa”
“Seumur hidupku, menjaga perasaan orang adalah hal yang tak pernah
kulakukan. Tapi sekarang, menjaga perasaanmu untuk tetap bahagia adalah suatu
kewajiban yang tak boleh terlewatkan olehku. Dan, di hari dimana kau lahir dan
ditakdirkan untuk menemaniku, Song..., ini adalah taman bunga yang sengaja
kubuat untukmu. Bukti bahwa aku tak pernah main-main. Aku tidak tahu kau akan
menyukainya atau tidak, setidaknya aku sudah berusaha”
“Aku mengerti,”
Banyak yang perlu kupikirkan mengenai hal ini, hal-hal yang baru saja muncul
dalam benakku. Suaranya yang lembut membuyarkan lamunanku.
“Aku bukanlah tipe orang yang mudah mengumbar kata cinta, tapi akupun
harus ingat jika usiamu juga masih begitu belia. Jadi dengan ini, aku berusaha sedikit
mengimbangi usiamu, meski itu tak akan berhasil. Istriku, dengarkan”
Kyuhyun menatapku dalam-dalam, dan mengangkat tangan kami, masih
saling bertaut, lalu mengusap pipiku dengan punggung tangannya.
“Aku, Cho Kyuhyun mencintaimu”
“Aku mencintai ia yang selalu menyambutku, aku mencintai ia yang selalu
bisa merasakan bagaimana keadaanku. Well..., kau mungkin cantik, tapi kupikir itu
hanya bonus yang Tuhan berikan padaku. Karena jauh di dalam hatiku,
kepribadianmulah yang membuatku jatuh cinta papar Kyuhyun”
“Tidak pantas sekali, jika aku harus dicintai oleh pria sepertimu”

88
89

“Akulah yang berhak menentukan pantas atau tidaknya, untukku”


Aku mendengar suaranya yang tegas dan percaya diri. Lantang,
menguatkanku. Beri aku waktu sebentar untuk menenangkan jantungku. Sesaat
kami duduk diam, sama-sama mendengarkan detak jantungku yang melambat. Aku
berpikir tentang pernyataannya barusan, sementara aku bukanlah wanita yang ia
maksud. Perlahan-lahan ia menundukkan wajahnya ke wajahku, meletakkan pipinya
ke kulitku. Aku sama sekali tidak bergerak. Saat ia menyentuhku, sangat sulit untuk
berpikir mengenai ucapannya yang tidak masuk akal. Saat konsentrasiku buyar,
butuh beberapa mmenit bagiku untuk memulai.
“Kyuhyun oppa” gumamku, hidungnya meluncur ke sudut rahangk. Aku
merasakan tangannya, lebih ringan dari debu, menyibak rambutku kebelakang
sehingga bibirnya bisa menyentuh lekukan di bawah daun telingaku. Jari-jarinya
perlahan menyusuri tulang selangkaku, aku mulai kehilangan akal seperti biasa.
Kurasakan getarn napasnya di leherku saat ia tertawa. Barangkali menyadari betapa
gugupnya aku sekarang.
“Selama kurang lebih ku hidup,” suaranya tenang, lama berdiam sebelum
akhirnya melanjutkan. “Aku tak pernah membayangkan sesuatu seperti ini. Aku tak
percaya akan pernah menemukan seseorang dengan siapa aku ingin menghabiskan
waktuku... bukan dalam artian seorang adik. Dan menemukan, meskipun semuanya
terkesan asing dan baru bagiku, bahwa aku tak bisa mengendalikan diriku saat
bersamamu...”
Aku memikirkannya sebentar, dan memulai.
Bolehkan aku benar-benar egois? Untuk kali saja?
“Hidup memang penuh dengan permainan” aku mulai menjelaskan. “Well,
sejujurnya ini juga hal baru bagiku”
Aku telah melihatnya ratusan kali, melihatku bermain peran dalam ribuan
pertunjukan dan film. Kemampuanku benar-benar meningkat drastis. Aku

89
90

mengerang keras dalam hati, “Jangan pernah pergi dariku,” timpalnya, tak mampu
menyembunyikan hasrat dalam suaranya.
“Setuju,” balasku, wajahnya berubah menjadi senyuman lembut.
“Kemarikan borgolnya— aku adalah tawananmu.”
Tapi tangannya yang panjang membentuk borgol di sekeliling pergelangan
tanganku saat aku selesaikan ucapanku. Kyuhyun mengeluarkan tawa merdunya
pelan.
“Kau tampak lebih... ceria dari biasanya,” kataku. “Aku belum pernah
melihatmu seperti ini sebelumnya”
“Bukankah seharusnya memang seperti ini?” Kyuhyun tersenyum.
“Keindahan cinta pertama, dan semuanya. Bukankah mengagumkan,
perbedaan antara membaca sesuatu, melihatnya di gambar, dan merasakannya
sendiri?”
“Sangat berbeda,” timpalku.
“Contohnya—” kata-katanya mengalir sekarang. Aku sampai harus
berkonsentrasi untuk menangkap semuanya. “Perasaan cemburu, aku terkejut
karena kemarahan, nyaris murka, yang kurasakan— awalnya aku tak menyadarinya.
Aku bahkan lebih jengkel daripada sebelumnya hanya karena kau mengabaikanku”
“Lalu semuanya mulai jelas,” ia tergelak. Aku menatapnya heran.
“Aku memang tidak ingin berbagi pada siapapun”
“Well..., aku juga tidak ingin membagi dengan siapapun”
“Kau tidak takut padaku?”
“Tidak, sama sekali”
“Itu kuanggap sebagai ujud penerimaanmu”
Matanya berkilat-kilat menatapku. “Aku kaget, sedikit tak percaya aku telah
mempunyai sebuah perasaan, menaruh diriku dalam kuasamu— dirimu. Aku tak
terbiasa merasakan ini, sangat menyebalkan”

90
91

Kyuhyun memejamkan mata. Aku mendengarnya antusias, dengan debaran


jatung yang menggelikan.
“Aku sama sekali tak memahami dirimu. Tapi aku tahu aku tak bisa terlibat
lebih jauh lagi. Waktu itu, aku berusaha sekuat tenaga untuk menjauhimu. Dan
setiap hari aroma kulitmu, napasmu, rambutmu... memukulku keras tanpa bisa
kubendung lebih dulu”
Mata kami kembali bertemu, dan aku terkejut melihat betapa lembut
tatapannya. “Song...”
Kyuhyun memanggil margaku dengan hati-hati dan aku bersyukur untuknya
yang tidak menyebutkan nama Eunbi sesudahnya. Tangannya mengacak-acak
rambutku dan seketika membuat tubuhku mengejang.
“Kau yang terpenting bagiku”
Eunbi..., lihatlah, batinku berteriak.
“Kau sudah tahu bagaimana perasaanku, tentu saja” ucapnya. “Aku ada di
sini... yang berarti aku tidak ingin menjauh darimu”
“Jadi... untuk memperjelas sesuatunya. Aku, Cho Kuhyun telah jatuh cinta
pada domba kecilku” suarnya. Aku menggigit bibir, menyembunyikan mataku
sementara hatiku senang mendengar kata-kata itu.
“Haruskah aku juga mempertegas perasaanku?”
Kyuhyun tersenyum. “Well... aku tidak memaksamu. Aku cukup lega untuk
mengatakannya padamu”
“Baik kalau begitu” kataku bergurau, mencoba mencairkan suasana yang
sedikit canggung. “Oppa..., karena kau telah mengatakan ini padaku. Kurasa tidak
adil jika aku hanya diam mendengarkan”
Ekspresinya menungguku dan itu membuatku tersenyum. “Kau mungkin
tidak tahu apa yang sedang jantungku kerjakan, perasaan ini cenderung baru

91
92

untukku, dan aku menyadari jika aku menyukainya. Jauh sebelum kau menyukaiku,
kurasa aku sudah lebih dulu jatuh hati padamu”
Kyuhyun mengangkat tangannya yang bebas, dan menaruhnya dengan
lembut di leherku. Aku duduk diam tak bergerak, sentuhannya yang hangat
menenangkanku. Darahku mengalir deras, dan aku berharap sebisa mungkin untuk
memperlambatnya, sadar ini pasti akan membuat semuanya akan terasa lebih
sulit— detak jantungku pasti ia mendengarnya.
“Rona pipimu cantik,” gumamnya.
Dengan lembut ia membelai pipiku, lalu memegang wajahnya di antara
sepasang tangan pualamnya.
“Song... jangan bergerak”
Perlahan-lahan tanpa mengalihkan pandangannya dariku, ia mencondongkan
wajah ke arahku. Lalu tiba-tiba, namun teramat lembut, Kyuhyun menempelkan
pipinya yang dingin di cerucuk leherku. Dengan kelambata disengaja, tangan-
tangannya bergerak menuruni leherku. “Oppa...”
Tubuhku gemetar, dan aku mendengarnya terengah. Tapi tangannya tidak
berhenti ketika dnegan lembut beralih ke bahuku, kemudian berhenti. Wajahnya
bergeser ke samping, hidungnya menyusuri tulang selangkaku. Lidahku kelu untuk
menghentikannya. Barangkali karena aku terlalu rapuh untuk sekedar bergerak
menjauh darinya.
Ia berhenti, salah satu sisi wajahnya menempel lembut di dadaku. Dan saat
itulah duniaku seraya runtuh. Kyuhyun mendengarkan detak jantungku yang
semakin kacau. Aku tak tahu berapa lama kami duduk diam tanpa bergerak. Bisa jadi
bermenit-menit. Akhirnya detak jantungku memelan, tapi ia tidak bergerak atau
bicara lagi ketika memegangku.
Kemudian, ia melepasku.
Aku tersenyum.

92
93

“Kemarilah”
Ia meraih tanganku dan menaruhnya dipipunya.
“Kau hangat sekali, matahariku”
Aku tidak tahu perasaan saat menyentuh wajahnya bisa semenyenangkan ini.
“Katakan sekali lagi, Song...” desaknya. “Apa?”
“Katakan kau mencintaiku” lengkapnya.
Mataku menyipit kemudian tersenyum, “Aku, mencintaimu. Kyuhyun.
Bahkan ketika matahari pergi meninggalkan bumi, aku akan tetap setia denganmu”
Dengan gerakan manusiawi, Kyuhyun memelukku dan menekankan
wajahnya di rambutku. “Untuk urusan ini, kau lebih baik daripada yang kusangka”
Lama kami duduk seperti itu, aku bertanya-tanya mungkinkah ia sama
enggannya untuk bergerak seperti halnya diriku. Tapi aku bisa melihat cahaya mulai
memudar, bayangan pohon di atasku menyentuh kami, dan akupun mendesah.
“Buka matamu sayang” ujar Kyuhyun pelan.
Dan disanalah dia, wajahnya sangat dekat denganku. Ketampanannya
memukauku— terlalu berlebihan memang, kelebihan yang belum bisa membuatku
terbiasa.
“Aku berpikir ada sesuatu yang ingin kucoba”
Dan dia memegangi wajahku dengan tangannya lagi.
Aku tak bisa bernapas.
Ia ragu-ragu— tidak seperti biasanya, seperti cara manusiawinya.
Bukan seperti pria yang ragu-ragu sebelum mencium wanita, untuk mengira-
ngira bagaimana reaksinya, untuk melihat bagaimana wanita itu menerimanya.
Barangkali ia ingin mengulur-ulur waktu, saat penantian yang tepat terkadang lebih
baik daripada ciuman itu sendiri. Aku ragu untuk menguji diriku sendiri, untuk
mengetahui apakah ini aman, apakah ini akan baik-baik saja untuk jantungku, untuk
memastikan diriku masih dapat mengendalikan sesuatunya setelah ini.

93
94

Kemudian bibir pualamnya yang dingin menekan lembut bibirku.


Jantungku sesaat berhenti, tidak siap dengan reaksiku.
Darahku mendidih dan membara di bibirku. Napasku terengah-engah meski
tak ada gerakan lain selain menempelkan ujung permukaannya. Jemariku meremas
kuat lengannya, mencengkeramnya, gugup menyerangku. Sedikitpun aku tidak
pernah bermimpi bahwa pengalaman ini justru akan kulakukan dengan Kyuhyun.
Atau barangkali takdir memang sudah menyiapkan setiap pengalamanku untuk
direbut oleh dirinya? Aku menggeleng pelan, benar tidak siap untuk ini. Dengan
lembut dan tegas aku mendorong tangannya menjauh dari wajahku. Aku membuka
mata dan melihat ekspresinya yang waspada.
“Maafkan aku—”
Tatapannya liar, kulihat rahangnya menegang, meski begitu artikulasinya
tetap sempurna. Kyuhyun masih memegangi wajahku yang hanya berjarak beberapa
senti saja darinya. “Aku hanya gu—gup, jangan meminta maaf oppa”
Aku mencoba memberinya ruang, tapi juga tidak ingin membukanya lebih
lebar. Tangannya tidak mengizinkanku untuk bergerak sedikitpun. “Aku bisa
mentolerirnya,” suaranya sopan, terkendali.
Aku terus menatap matanya, memerhatikan hasrat yang berkobar-kobar di
dalamnya mulai memudar dan melembut. Kemudian ia tersenyum, dan senyumnya
tak disangka-sangka nakal. “Bisa ditolerir?” tanyaku.
Kyuhyun tertawa keras, “Aku tidak sabar menunggu hal berikutnya”
Mataku menatap getir ekspresinya yang tak bisa kubaca, barangkali aku tidak
lupa, aku juga tidak memahami betul apa makna di balik ketidaksabarannya itu.
Dalam satu gerakan luwes, Kyuhyun sudah berdiri. Ia mengulurkan tangan padaku,
gerakan yang tidak disangka-sangka mampu membuat wajahku memanas. Aku
begitu terbiasa berhati-hati agar kami tak bersentuhan sebisa mungkin. Kugenggam
tangannya yang besar, dan tanganku terlihat sangat kecil, mungil, dan bisa rapuh

94
95

kapan saja dalam remukannya. Tanganku meremas kuat, menyadari sepenuhnya


bahwa keseimbanganku belum sepenuhnya kembali.
“Kenapa?”
Aku menggeleng cepat, tidak ingin menyertai alasanku. Tapi dari ekspresinya,
kurasa ia tahu mengenai dampak ciumannya kepadaku. Betapa ceria, betapa
manusianya dia ketika sedang tertawa sekarang ini, wajah malaikatnya tampak
tenang. Ia adalah Kyuhyun yang berbeda dari apa yang Eunbi kenal, atau barangkali
ia memang Kyuhyun lain milikku. Dan aku merasa lebih tergila-gila lagi padanya.
Akan menyakitkan bila harus berpisah darinya sekarang.
Dari topik menyenangkan, haru, tentang hari dimana aku lahir dan
ditakdirkan berada di jalan ini, sekonyong-konyong kami mengungkapkan perasaan
kami. Barangkali semua ini sudah Kyuhyun persiapkan sebelumnya, aku bisa
melangkah mengikuti alur. Lagi-lagi ekspresinya yang dominan dingin berganti lagi
menjadi lembut dan hangat. Kyuhyun menundukan wajahnya ke arahku, dan
mengusapkan bibirnya perlahan sepanjang rahangku, mulai dari telinga ke dagu,
berulang-ulang. Aku gemetaran, seperti biasa.
“Bagaimanapun,” akhirnya ia bergumam.
“Selamat ulang tahun sayang, aku mencintaimu” ucapnya sebelum
menciumku kembali.

95
96

BAGIAN LIMA
“Maaf membuatmu terlambat makan malam”
“Aku baik-baik saja, sungguh. Oppa pasti lapar ya?”
“Itu bukan masalah yang besar, aku ingin bersamamu”
Lebih mudah mendengarnya dalam kegelapan, mengetahui bagaimana rona
ekspresiku bisa mengkhianatiku dan kecanduanku akan dirinya bisa sedikit
tersamarkan.
Kami berjalan dalam kegelapan malam, begitu diamnya sehingga aku harus
terus-menerus melirik ke arahnya untuk memastikan bahwa Kyuhyun memang
berada di sampingku. Tetapi, ketika mendengar suaranya, aku tidak lagi khawatir.
Dalam gelap, ia masih tetap tidak bisa kehilangan kadar tampannya. Ia menggapai
pintu di depanku dan membukakannya untukku. Kami melangkah masuk,
menyalakan lampu, dan berbalik menghadapnya.
“Aku akan menyiapkan makanan, oppa bisa membersihkan diri dulu”
Untuk sementara aku mengabaikannya, buru-buru menuju dapur, menyusuri
lorong-lorong mewah untuk mencapainya.
Aku berkonsentrasi menyiapkan makan malam, mengambil bibimbap dari
dalam lemari pendingin, menempatkan sebagian di piring, kemudian
memanaskannya di microwave. Piringnya berputar, menyebarkan aroma telur ke
seluruh dapur. Mataku cukup terkejut saat Kyuhyun mengikuti pikiranku, memilih
untuk duduk di kursi yang sama dengan apa yang kubayangkan akan didudukinya.
Ketampanannya membuat dapur bersinar-sinar, lama baru aku bisa berpaling.
Setelah makan waktu kurang lebih limabelas menit, aku mengambil bibimbap dari
microwave dan menaruhnya di meja.
“Selamat makan oppa, yang banyak. Jika kurang aku bisa menambah
porsinya lagi” ucapku.

96
97

“Tidak, ini sudah cukup”


Aku mengangguk seraya mengunyahnya dengan pelan. Aku kepedasan.
Kutuangkan dua gelas susu untukku dan untukknya, dan meminum susuku untuk
menghilangkan pedas. Ketika aku meletakkan gelasku, susunya bergetar. Aku baru
menyadari tanganku gemetaran. “Terlalu pedas?”
Aku mengangguk. “Tidak tahu akan sepedas ini jika dipanaskan”
“Aku pesankan makanan” nada suaranya memutuskan.
“Tidak!” sahutku menahan napas, wajahku memanas hingga ke garis rambut.
“Ini bukan apa-apa untukku oppa, jangan khawatir”
Aku menyuap bibimbap-ku lagi. “Tapi... kurasa itu ti—”
“Aku tidak apa-apa, percaya padaku” jawabku buru-buru. Aku ingin sekali
merutuki perhatian Kyuhyun yang kelewat berlebihan. “Baiklah..., katakan padaku
jika berubah pikiran”
“Tidaaaaak....”
Begitu bibimbap kami habis, aku mengangkat gelasku dan menandaskan susu
yang tersisa”
Kyuhyun membuatku kaget karena ternyata ia memerhatikanku. “Pelan-
pelan saja, tidak ada yang merebutnya darimu” aku nyengir sejenak, hanya itu yang
bisa kulakukan. Aku mengambil mangkuk Kyuhyun dan mencuci piring, kemudian
menempatkannya terbalik di mesin pengering. Saat aku mencuci gelas, kulihat
Kyuhyun beranjak dan pergi. Langkah kakinya terdengar berisik, meninggalkanku
bersama sunyi. Aku berusaha menyelesaikannya secepat mungkin, buru-buru ingin
tidur karena perjalanan seharian. Aku juga perlu menenangkan hatiku, membuat
detak jantungku lebih normal jika dibanding saat pernyataan cintanya tadi padaku.
Aku melangkah ke kamar, sembari memastikan semuanya sudah beres
kukerjakan. Aku berusaha agar langkahku setenang dan sepelan mungkin ketika
menaiki tangga demi tangganya. Tanganku meraih gagang pintu, kemudian segera

97
98

menarik ke bawah. Kuhembuskan napasku pelan sebelum kututup pintunya cukup


keras, kemudian berjalan ke arahnya.
“Oppa...”
Kyuhyun berbaring, tersenyum lebar di tempat tidur kami, tangannya
menyilang di belakang kepala, kakinya berayun-ayun di ujung tempat tidur,
posisinya terlihat santai. Setelah dirasa dekat, ia mencondongkan tubuhnya ke
depan, dan mengulrkan lengannya yang panjang, mengangkatku, memegang
pangkal lenganku seolah aku anak kecil. Ia mendudukanku di tempat tidur di
sebelahnya. “Aku belum bebersih, bau”
“Wangi...”
“Mana bisa begitu, penipuan”
“Aku serius, Song”
Aku melompat, memberinya waktu limabelas menit untuk berdiam diri selagi
aku melakukan ritualku, menggosok gigi, cuci muka, tanpa membasuh tubuhku
dengan air. Kemudian aku kembali meluncur kelar, saat berada di ruang utama, aku
melihat Kyuhyun tak bergerak sedikitpun dari posisi semula.
“Berbaringlah” serunya.
“Lelah sekali, aku ingin segera terlelap...” ucapku saat naik ke tempat tidur.
Bergabung dalam undangannya. Aku berbaring di bawah selimutnya, meringkuk
miring menghadap Kyuhyun.
“Kau menarik ketika tidur”
Mataku menyipit, kepalaku mendongak untuk melihatnya yang lebih tinggi
dari kepalaku. “Kau mengigau”
“Aniyo!” sahutku menahan napas. Aku tahu aku suka mengigau ketika tidur,
tentu saja, Daehyun dan Eunbi selalu menggodaku soal ini. ekspresinya langsung
berubah kecewa.
“Kenapa? Kau marah karena ucapanku?”

98
99

“Tergantung”
Kyuhyun menunggu. “Apa?”
“Apa-apa yang kau dengar” erangku.
Saat itu juga tanpa suara, tangannya meraih tanganku dengan hati-hati. Ia
menurunkan wajahnya hingga sejajar dengan mataku, membuatku merasa malu.
Aku mencoba memalingkan wajah, tapi seringkali aku gagal melakukannya.
“Kau merindukan Daehyun...,” bisiknya. “Kau mengkhawatirkan ibumu, dan
ketika hujan turun, igauanmu membuatmu gelisah. Kau juga seing mengigau tentang
rumah ini, tapi sekarang sudah jauh berkurang”
“Daehyun oppa?”
Kyuhyun mengangguk, “Awalnya... tapi sekarang sudah tidak pernah”
“Ada lagi yang oppa dengar?”
Ia tahu maksudku. “Kau memanggil namaku, Cho Kyuhyun. Kau
menyebutnya begitu jelas, hingga awalnya kukira kau terbangun”
“Seberapa sering?”
“Hampir setiap malam”
“Oh tidak, oppa...”
Ini terlalu memalukan untuk diakui. Kyuhyun menarikku lembut ke dadanya.
Gerakannya sangat alami, naluriah. “Jangan malu,” ia berbisik di telingaku.
“Seandainya kau tahu, aku juga memimpikanmu. Dan aku tidak merasa malu”
“Mimpi apa oppa?”
“Rahasia...”
“Aku tidak mengenal kata itu”
Kyuhyun tertawa dan mengusap-usap rambutku lembut.
“Kau tidak mengerti...”
Aku menguap tanpa sengaja. “Aku telah menjawab pertanyaanmu, sekarang
kau harus tidur,” sebenarnya aku ingin sekali menyangkal, tapi rasa kantuk

99
100

mengalahkan niat awalku. Kemudian ia menggumamkan senandung yang sama lagi,


nina bobo yang asing, suara malaikat, lembut, menenangkan di telingaku. Aku
menyadari bahwa aku lebih letih daripada yang kusadari, lelah karena perasaan
bahagian dan emosi yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Aku tertidur dalam
pelukan tangannya yang hangat— panas.
Dan itu adalah malam pertama aku memimpikan Kyuhyun, setelah
pernyataan cintaku.
®®®
Kyuhyun side’s
HAMPIR semuanya kembali normal, normal seperti kebanyakan pria di dunia
ini. Nyaris, karena itu tidak berarti sama. Dongeng itu sudah kembali, sang putri
sudah kembali, dan kutukan jahat telah dimusnahkan. Aku tidak tahu apa yang harus
dilakukan terhadap karakter lain yang tertinggal dan tidak ikut bahagia. Yang
terpenting, dengannya didekatku, sulit untuk memikirkan hal-hal yang tidak
membahagiakan. Minggu-minggu berlalu, dan kehidupanku terasa semakin
sempurna di setiap detiknya. Aku tahu ini berlebihan, tapi... itu membuatku terus-
menerus tersenyum lebar. Tangannya seolah menarikku, membawaku untuk
menemukan duniaku yang baru.
Aku melirik ke sudut jendela, aku sudah mencoba segala cara, dengan
harapan mendapat respon yang berbeda. Tapi seringkali aku gagal, ucapan cintanya
padaku membuatku hampir sinting karena tidak berhenti berpikir. Sulit dipercaya
bahwa aku tidak hanya mengkhayalkan perkataannya, dan sorot matanya.
Barangkali itu hanya mimpi yang sangat nyata hingga sulit membedakannnya
dengan kenyataan yang sebenarnya. Aku merasa tidak sabar, aku ingin melihat
wajahnya, aku ingin tahu apakah ia tetap sama atau barangkali, karena sesuatu ia
berubah menjadi seperti sosoknya satu tahun yang lalu. Kangin..., aku benar-benar
tidak menyangka jika aku begitu menginginkan mantan kekasihmu.

100
101

Aku mengetuk-ngetuk ujung kakiku pelan, sesekali menahan napas


merasakan detak jantungku. Dari sudut manapun, aku mampu tak mengenali diriku
sendiri, jiwa baru seolah merasuki tubuhku. Mataku menatap jauh ke depan, angin
sepoi-sepoi menerpa wajah telanjangku. Seraya menunggu Daehyun, aku diam dan
bertanya-tanya, well..., entah ini bisa membuatku lebih percaya diri atau tidak,
kebanyakan orang tentu merasakan apa yang kurasakan, yakinku. Saat jatuh cinta,
aku bisa menemukan duniaku, atau bahkan semuanya menjadi tidak lagi penting
kecuali kehadirannya.
"Kyuhyun!”
Kata Daehyun membuyarkan lamunanku. “Bajingan...”
Kuangkat kepalaku cepat-cepat, mengikuti arah suara dan menemukannya,
tersenyum konyol, menjengkelkan, menatapku. Mataku mendelik tajam, mencoba
tidak terusik karena penampilan nyentriknya. Melihatnya berdiri di sana— mata
cokelatanya yang bersinar-sinar, tangannya menggenggam benda segi empat besar
terbungkus kertas warna biru, membuat keningku berkerut. Tolol.
“Haruskah... seribet ini?”
“Sssttt!” desisnya, memandang berkeliling, “Cepat nyalakan lilinnya”
perintahnya. “Mana?”
“Dibuka dulu tutupnya brengsek”
Aku terkekeh, entah apa yang kami pikirkan, rasanya umpatan keras
semacam ini berbanding begitu mencolok dengan siapa yang akan menerimanya.
Tidak adil kiranya gadis polos semacamnya bisa menerima sesuatu dari tangan-
tangan bajingan ini. Aku menyalakan korek, menyalurkannya ke empat lilin yang
berdiri tegak di tengah roti. Warnanya merah, terlalu mencolok dengan isiannya
yang putih.
“Kenapa tidak menyiapkan apapun?”
Aku mengangkat bahu acuh. “Aku tidak ingin terlihat konyol, sepertimu”

101
102

Tubuhku bersandar di samping pintu melihat ekspresinya yang tidak bisa


dibaca nalar. Tingkahnya yang terkadang diluar batas, mengingatkanku dengan
eskpresi yang sering Eunbi berikan padaku, dulu. Bar-bar sekali.
“Kenapa tersenyum?”
“Kenapa lagi jika bukan karena kebodohanmu, Hyun”
“Bajingan”
“Memang, cepatlah” ucapku. “Dari tadi yang ada juga kau yang membuatku
lama menunggu”
Aku kembali mengangkat bahu, kemudian tertegun saat sudut mataku secara
sengaja melihat buket lavender dengan diameter kira-kira tigapuluh senti di tangan
kanannya. Well..., bukan itu yang ingin kupermasalahkan. “Kenapa bawa bunga?”
“Memangnya kenapa?”
“Maksudku— kenapa tidak tulip saja hyung?”
“Tulipnya ada di mobil, untuk Eunso”
Jantungku berhenti sejenak, kemudian berdetak sangat tidak terkendali.
Saraf-sarafku secara mendadak memompa aliran darah menjadi mengalir lebih
cepat. Aku tidak ingin menelisik lebih jauh tentang alasan apa yang mendasari nama
itu membuatku sedikit kelimpungan. Aku tidak ingin memikirkan hal lain selain
bagaimana menukarkan bunga itu. Aku berdeham, mencoba menyembunyikan
reaksiku yang berlebih.
“Bukannya Eunbi juga suka tulip?”
“Haisshh, tau apa kau dengan kedua adikku ini eo?”
“Dia istriku, jelas aku tahu apa yang disukainya”
“Iya, tapi kau sepertinya harus menelan kesalahanmu mentah-mentah. Eunbi
memang istrimu, tapi masalah tulip itu jelas kesukaan Eunso”
“Bawakan tulipnya” ujarku tidak ingin beranjak dari pertanyaan ini. Telingaku
jelas mendengar tentang apa yang ia sukai. Ia mungkin suka lavender, tapi tulip

102
103

tetap yang utama. Daehyun menatapku jauh, alisnya berkerut bertanya-tanya, tapi
aku tak peduli. “Itu punya Eunso”
“Diamlah, nanti gampang kita carikan yang baru” ucapku jauh
meninggalkannya. Bagaimanapun juga, aku tidak ingin melihat Daehyun
memberikan apa yang tidak ia sukai. Bagiku..., hal-hal sepele semacam ini menjadi
begitu penting saat perasaan cinta menyelimuti relung hatiku. Aku mungkin
berlebihan, barangkali karena ini adalah pengalaman pertamaku, tapi kurasa juga
tidak juga. Atau mungkin ini adalah jawaban dari apa yang abeoji larangkan padaku,
bahwa jika aku melibatkan hatiku sedikit saja, tanpa memikirkan orang lain, tanpa
memperdulikan apapun, aku bisa memberikan apa saja untuk seseorang itu. dan
kini, untuknya, aku menyadari dan menemukan jawaban atas pertanyaanku. Dan
aku tidak menyesal.
“Cepatlah, dan pakai ini”
“Untuk apa?”
“Supaya..., aku juga tidak tahu. Sudahlah pakai saja” desaknya.
Tanganku menerima topi kertas berwarna biru dengan motif putih bulat
memenuhi bagaian utamanya. Aku tidak mengerti apa fungsinya, asalkan Daehyun
bisa berhenti mengoceh, kurasa juga tak ada masalah untuk mencoba memakainya.
“Oh ya, kau tidak memberitahu Eunbi jika aku akan datang bukan?”
“Tidak”
“Baiklah. Karena kau tidak memilih, maka, aku akan bawa rotinya, dan kau
bawa bunganya” putusnya, lalu menyambung. “Aku benar-benar tidak sabar melihat
ekspresi jeleknya saat melihatku yang tampan mengujunginya”
Aku melangkah pelan, di dalam lebih hangat daripada merasakannya di luar.
Langkah kakiku terdengar kasar, tapi tidak lebih keras dari Daehyun yang terkesan
menghentak-hentak. Aku memandang bunga berukuran besar dalam genggamanku,
warnanya yang putih, dan kuyakini akan membuatnya nampak seperti bidadari. Aku

103
104

memujinya dalam hati, diam-diam berterimakasih karena telah memberikan adiknya


padaku. Mempercayakannya padaku, hingga aku bisa merasakan apa yang namanya
hidup. Kalau seperti ini, aku seperti menjilat kembali ludahku sendiri. Bagaimana aku
menyangkalnya dulu hingga tak ingin berpisah sedikitpun sekarang.
Mataku menajam, bibirku otomatis terangkat membentuk senyuman.
Punggungnya yang tegap tapi rapuh tertangkap retinaku. Rambut panjangnya
sengaja ia gerai, menutupi sebagain motif bunga-bunga bajunya. Aku tidak tahu
pasti apa yang sedang ia lakukan sekarang, langkahku kupercepat dengan suara yang
dipelankan. Lalu ketika hanya berjarak beberapa senti, tanganku memeluknya erat,
membuat bunga tulip dalam genggamanku terpampang tepat di depan wajahnya
yang ayu.
“Sayang...” panggilku.
“Kau mengagetkanku” sahutnya.
Aku diam, fokus merasakan aroma tubuhnya yang bagai heroin menggilakan.
Wanginya ibarat candu bagiku, sedikitpun tak pernah lepas dalam benakku. Aku
yakin, wangi ini hanya ada satu di dunia, dan beruntungnya itu adalah milikku. Sulit
bagiku untuk merasa baik-baik saja, atau berpikir normal saat berdekatan
dengannya. Jiwaku seolah hilang, bermain bercumbu dalam khayalanku yang
terlampau liar. Terkadang itu juga memalukanku, menghancurkan citra yang telah
kubangun selama ini.
“Kenapa pulang larut?”
“Menyiapkan ini untukmu”
“Lagi?” beonya.
“Memangnya tidak boleh?”
“Bukan begitu, hanya saja... ini sedikit membuang-buang uang”
“Membuang-buang uang bagaimana? Uangku tak akan pernah habis, bahkan
sampai delapan turunan”

104
105

“Baiklah, baiklah tuan besar kepala. Akupun tidak akan menang jika harus
mendebatmu. Tapi..., well..., aku menyukainya. Sangat. Terima kasih untuk
bunganya oppa”
“Well..., cium aku, itu kesepakatannya”
Eunso side’s
“Well..., cium aku, itu kesepakatannya”
Aku tersenyum pelan, tidak merasa terlalu terganggu dengan sikapnya. Sejak
memutuskan untuk mencintai Kyuhyun, aku tak lagi peduli apapun, selagi ia disisiku,
bersamaku, aku tidak masalah. Dada bidangnya yang bertubruk dengan punggungku
terasa hangat, keras tapi nyaman. Aku merasa pelukannya adalah tempat paling
aman dimana aku bisa berlindung. Wajahnya yang berada di samping kiriku bergerak
ke samping, napasnya yang kasar menerpa sebagian pipiku. Aku bergerak
berlawanan, jantungku bergemuruh, walaupun sudah sering kali melakukan hal
semacam ini. Aku tetap saja gugup, tidak terbiasa mencumbui suami orang.
Hidung kami bersentuhan, samar-samar terasa geli. Napasnya yang berat
semakin menubruk wajahku yang telanjang, pun kurasa begitu juga napasku. Aroma
tulip putih yang menyerbak di sekitar kami kadang juga membuatku tak fokus
dengan apa yang akan kulakukan sekarang. Tulip, dan ciuman Kyuhyun mungkin
harus ku urutkan menjadi ke satu dan dua untuk hal-hal yang bisa memabukkanku.
“Hallo...”
Aku mengernyit, membuat gerakanku seketika berhenti. Aku menggeleng
pelan, matanya menatapku bingung. Aku sebisa mungkin mencoba mengenali suara
yang baru saja ditangkap inderaku. Barangkali itu hanya dugaanku, tapi aku tidak
juga yakin.
“Ya Tuhan, aku lupa jika ada dia disini” ucap Kyuhyun malas.
Aku tidak fokus dengan apa yang Kyuhyun ucapkan. Semua dayaku tertuju
untuk seseorang yang Kyuhyun maksud. Jika itu sesuai dugaanku, maka aku akan

105
106

mati detik ini juga. Tangan Kyuhyun menarikku hingga aku bisa melihat dengan jelas
siapa yang akan menjadi jawaban dalam pertanyaanku.
“SAENGIL CHUKHAE HAMNIDA, EUN—”
Mataku terbelalak lebar, petir seolah menyambar tepat di tengah jantungku.
Menghunusku tanpa perlu memberiku kesempatan untuk menghindar. Aku tahu, dia
juga terkejut, dari ucapannya yang tak terselesaikan, aku jamin apa yang kurasakan
tidak ada apa-apanya dibanding apa yang tengah ia pilukan. Pria itu bukanlah Cho
Kyuhyun yang tidak mampu mengenaliku. Ia Daehyun, Song Daehyun. Kakakku,
pemilik hubungan yang sedarah denganku, orang yang hidup hampir di seluruh
usiaku, apa-apa yang tampak atau tidak tampak dariku, tak akan pernah luput dari
ingatan Daehyun. Aku sangsi bisa melarikan diri dari situasi ini, atau sekedar
mengucapkan satu kata aku mungkin juga takkan sanggup.
Kilatan matanya merah, marah.
... dan aku akan kalah.
“Daehyun oppa...” lirihku.
Aku menunggu reaksinya, was-was. Sedetikpun tak pernah menyangka jika
harus tertangkap basah secepat ini. Aku tidak siap. Ketakutan menggerayangi
tubuhku, ekspresinya ketara menuntut penjelasan membuat nyaliku menyiut
menjadi buih-buih. Detuk jantungku semakin tidak karuan, tak lagi bisa ku
kondisikan, rasanya ingin mati. Otakku mencoba berpikir cepat, berusaha
menemukan jalan diantara jeda jawaban Daehyun atas panggilanku. Aku tidak ingin
berakhir dengan skenario menyakitkan macam ini. Aku tidak ingin Kyuhyun tahu
melalui pembicaraan tanpa persiapan. Walaupun akhirnya juga akan sama, tapi
setidaknya ini membuatku tenang.
Apapun itu.
Kyuhyun harus pergi.
Buru-buru aku berbalik menghadap Kyuhyun.

106
107

“Oppa..., sepertinya airnya sudah panas. Bisa minta tolong dihabiskan untuk
mandi?” perintahku dengan konotasi tidak jelas. Tapi kurasa Kyuhyun memahami
itu. Aku menarik tubuh Kyuhyun, bersikap sebiasa mungkin. “Bagaimana dengan
Daehyun?”
“Oppa mandi dulu, bau sekali tahu”
“Benarkah?”
Aku mengangguk cepat, “Cepatlah. Rambutnya jangan dibasahi, sudah
malam. Aku tunggu di bawah bersama Daehyun oppa”
“Kau belum menciumku Song”
“Mandi dulu, nanti aku akan menciummu”
“Kau suka mengingkari janji, kurasa...”
“Tidak, untuk kali ini” ucapku.
Aku mendorongnya masuk dan menutup pintu kamar mandi agak keras. Aku
buru-buru kembali ke ruang utama, langkah kakiku keras sedikit berlari. Sekuat hati
aku berusaha meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Meski sulit
untuk menjamin kesimpulan itu, aku tetap percaya diri. Aku mencoba berbesar hati.
Daehyun, semarah apapun ia, itu tidak akan sampai membunuhku. Dengan gemetar,
tanganku meraih roti yang berada di tangan Daehyun, takut-takut jika pria itu akan
melemparkannya ke sembarang arah dan semakin membuat Kyuhyun bertanya-
tanya nantinya. Aku buru-buru meniup lilinnya hingga tak ada yang tersisa.
“Apa yang kau lakukan disini?” telisik Daehyun.
Aku tahu, ini hanya permulaan. Tidak seharusnya aku merasa segugup ini.
Mataku melirik ke segala arah, lidahku kelu bukan takut, tapi lebih karena bingung
tentang jawaban apa yang harus kuberikan atas pertanyaannya. Gigiku kadang-
kadang saling beradu, membuat nada yang bisa kudengar sendiri. Jika aku saja tidak
tahu apa yang kulakukan di sini, bagaimana bisa aku menjawab pertanyaan DAehyun
dengan jawaban serupa.

107
108

Daehyun menungguku, tapi aku juga menunggu alasan tepat dan rasional
dari benakku. “Apa yang kau lakukan disini? JAWAB OPPA EUNSO!” teriak Daehyun
sekali lagi melihat keterdiamanku.
“Oppa..., jangan seperti ini” bisikku.
Mataku menoleh ke belakang, memastikan Kyuhyun tidak benar-benar
mendegar teriakan Daehyun. Aku benar-benar tidak siap untuk ini, ibarat ujian tanpa
persiapan, aku juga. Hasilnya tentu akan mengecewakan, nol. Aku tidak siap
melihatnya marah, aku tidak siap saat ia menatapku dengan bengis, aku tidak siap
untuk apapun. Tanganku saling mengait, dan bisa kurasakan keringat dingin
diantaranya saat mereka bersentuhan. Kakiku saling mengetuk, mencoba
menyamarkan keduanya yang bergetar hebat. Aku ingin sekali maju dan memeluk
tubuhnya, mencoba menenangkannya dalam pelukanku. Tapi..., ekspresinya
membuatku sadar bahwa itu adalah hal yang tidak seharusnya kulakukan. Aku tak
mampu mendekat, aku tak mampu membuat kakiku bergerak, keduanya terpaku
menempel erat pada dinding-dinding lantai. Tapi aku mengawasi setiap ekspresinya
dengan seksama.
“Jangan seperti ini kau bilang? Lalu oppa harus seperti apa? Apa aku harus
diam saja melihatmu seperti ini?” tantang Daehyun.
Aku terlonjak, mundur selangkah kaget sekaligus takut. Mataku tiba-tiba
memanas, dan sesaat aku mulai merasakan alirannya di pipiku. Keduanya menyipit,
sakit hatiku bukan lagi sebatas terbukanya rahasiaku, tapi itu meluas ke bagaimana
Daehyun berteriak padaku. Aku seperti melihat Daehyun yang berbeda. Kata-kata
lembut yang selalu ia lontarkan padaku sirna, hingga aku enggan menduga.
Barangkali karena tingkahku yang keterlaluan, aku kembali membohongi diri bahwa
tidak seharusnya aku merasa marah atas sikap Daehyun.
“Maksud—ku hmmh”
Lidahku benar-benar kelu.

108
109

“Aku tanya apa yang kau lakukan disini Song Eunso? Kau— kau tidak
seharusnya di sini bersama Kyuhyun”
Aku tetap diam, tidak ada jawaban yang bisa kulontarkan.
“Jangan keras kepala, cepat jawab aku Eunso!” maki Daehyun.
“Daehy—”
“Jangan panggil namaku”
Aku sudah melakukan semua yang bisa kulakukan. Aku berusaha menerima
semua makiannya, dan melupakan hal-hal lain ang berada di luar kendaliku,
setidaknya untuk malam ini. Bagaimanapun hasilnya nanti, semua akan berakhir
dengan apa yang tidak kuharapkan. Aku mencoba rileks meski sulit karena rasa sakit
yang menderaku. Aku tak pernah bisa punya cukup waktu untuk menjelaskannya
sekarang. Ini bukan permintaan yang sulit untuk disetujui, walaupun aku tahu jauh
lebih mudah mengatakan akan melupakan ketakutanku daripada melakukannya. ada
banyak hal yang kupikirkan sekarang, tapi mengetahui kami hanya memliki mala
mini saja, aku harus siap.
Meski ada hal-hal yang sudah berubah.
Misalnya, aku sudah sedikit siap.
“Untuk malam ini saja, bisakah kita mencoba melupakan hal-hal lain kecuali
kau dan aku?” pintaku, mengeluarkan segenap daya yang kupunya.
“Apa?”
“Eunso bisa jelaskan”
“Bukankah itu memang yang seharusnya kau lakukan?”
Aku menghela napas pelan. Aku sudah siap bergabung dengan gerbang awal
penderitaanku. Perasaan takut, bersalah, dan gelisah yang kurasakan sekarang telah
mengajariku hal itu. Aku sudah mendapat kesempatan untuk menjelaskan karena
barangkali masaku memang sudah habis. Lain kali, kalau terjadi sesuatu padaku, aku
akan siap. Aku akan memilih aset daripada beban. Dehyun takkan pernah harus

109
110

memilih untuk mendukungku atau memburuku. Aku akan menjadi upik abu kembali.
Lain kali, aku akan sadar dengan bagianku. Aku akan menunggu bahaya itu
menerjangku, supaya Daehyun puas.
Tinggal satu bagian lagi yang akan hilang.
Satu bagian, karena ada beberapa hal yang tidak bisa berubah. Termasuk
caraku mencintainya. Aku punya banyak waktu untuk melanjutkan hidupku, itu jika
aku kuat. Jadi banyak sekali yang harus aku bereskan malam ini. Dari apa yang telah
kurasakan selama delapan bulan terakhir, bagiku tidak ada istilah tidak mungkin.
Biarpun sudah mantap dengan keputusanku, aku tidak kaget waktu masih merasa
gugup saat hendak memulainya. Aku tidak tahu bagaimana melakukan apa yang
akan kulakukan, dan itu jelas membuatku sangat gugup.
“Haruskah Eunso menjelaskannya... di sini?”
“Ya”
“Tapi, Kyuhyun oppa bisa saja mendengarnya”
“Apakah aku peduli pria itu akan dengar atau tidak?”
Aku mengamatinya dengan hati-hati, lalu ia menatapku curiga. “Kumohon
oppa...,”
“Kau..., berani membangkang padaku?”
“Tidak! Aniyo oppa. Eunso tidak seperti itu”
Aku mengerang keras dalam hati. Bukan ini yang kuinginkan. Daehyun sama
sekali tidak memberiku kesempatan. Rentetan pertanyaannya berlalu tanpa sempat
kujawab sedikitpun. Belum sempat melontarkan sepatah katapun, aku merasa
seolah-olah dilempar tinggi ke udara, dan seketika jatuh tanpa pegangan. Aku
mendapati diriku hancur.
“Jadi..., katakan apa yang sebenarnya kau lakukan di sini”
“Hmh...”
“Jawab, Eunso”

110
111

Mataku mengerjap-ngerjap hebat, dan akhirnya aku bisa bicara juga.


“Menggantikan eonni”
Daehyun menatapku ngeri. Tubuhnya serta merta menegang mendengar
jawabanku. Sudut mataku tidak sengaja melihat kedua tangannya yang mengepal,
kuat hingga urat-uratnya menyembul di balik kulitnya yang putih. Aku menunggu-
nunggu kapan kepalan itu bisa mengendur. Tapi rasanya aku mendapati diriku
sedang memakan asa belaka. Aku tidak memahami ekspresinya sekarang, sorot
matanya berubah sinis seolah-olah aku musuh berasa, lebih dari sinis.
"Apakah kau sadar dengan apa yang sedang kalian lakukan?”
Jantungku berdebar semakin kencang, nyaring, seolah-olah membuatku
seperti sedang meminum kopi selepas tidur. Dagu Daehyun mengeras, dan ia
menegakkan bahunya.
“Ya”
“Kau serius?”
“Ya”
“Dimana hatimu, Eunso?”
Itu jelas pertanyaan retoris, sekaligus menyakitkan. Kata-kata itu terlontar
dari sela-sela gigi Daehyun dalam bentuk gerangan yang lebih keras daripada yang
kuharapkan. Terlalu keras. Itu berarti sekarang sudah sangat terlambat untuk
membuatnya mereda.
“Daehyun oppa...”
Adrenalinku sudah terkuras habis. Tak ada lagi yang tersisa. Aku menangis
keras, dan detik itulah aku menyadari, ketika Daehyun menanyakan hatiku, bahwa
keberadaan hatiku, akupun tidak tahu. Aku ingin sekali menjerit, pertanyaannya
menohokku, dan menyakitiku. Kupandangi matanya lekat-lekat untuk mencari tanda
bahwa ia akan menenangkanku atau tidak, tapi aku tak menemukan apapun dan itu
membuatku meringis pilu.

111
112

“Eunso..., katakan padaku. Katakan dengan jelas siapa yang menyuruhmu


bertindak bodoh seperti ini?”
“Maafkan Eunso, oppa...”
“Maaf tidak akan memperbaiki keadaan, Eunso. Apa yang kau pikirkan saat
itu?”
“Aku tidak berpikir,” bisikku.
“Tapi kalaupun iya kau tidak berpikir, tidak seharusnya juga kau menuruti
permintaan Eunbi sekalipun dia harus bertekuk lutut padamu”
“Aku tahu”
Aku menghela napas dalam-dalam dan goyah, berusaha menguasai diri.
bagaimana bisa justru akulah yang menangis untuk keputusanku sendiri? Aku diam
sejenak, sesekali mengerang. Rentetan kejadian sebelum ini berkelebat hebat dalam
benakku, menyadari bahwa aku memang bodoh. Ucapan Daehyun bagai cahaya
pencerahan dalam benakku, bahkan jika Eunbi berlutut padaku, aku tidak
seharusnya mengatakan setuju. Aku mengatupkan rahang, senang karena bisa
melihat kebodohanku, sebab aku sedang melawan sedu sedan yang mengancam
melandaku lagi. Aku harus kuat, tapi aku tidak tahu bagaimana...
“Kyuhyun—”
“Jangan!” potongku cepat. Aku ragu-ragu, kemudian membiarkan kata-kata
berhamburan dari mulutku, mengungkapkan hal sebenarnya. “Kumohon oppa, beri
aku waktu untuk menjelaskannya ke Kyuhyun”
“Kenapa?”
“Bolehkan Eunso memberitahumu bagian terburukku?” tanyaku ragu-ragu
ketika hendak menjawabnya.
“Apa itu akan membantu?”
“Bisa jadi. Tak ada ruginya”
“Apa bagian terburuknya?”

112
113

“Bagian terburuknya adalah mengetahui apa yang seharusnya tidak terjadi”


“Apa yang seharusnya tidak mungkin terjadi?”
Aku mendesah. Emosiku lambat-lambat menurun mengikuti suasana
Daehyun. Aku bisa melihat apa yang dilihatnya, dan aku tahu ia benar. Seandainya
dunia adalah tempat yang waras seperti seharusnya, aku dan Kyuhyun pasti tidak
akan terjebak seperti ini. Dan kami akan hidup tanpa saling mengenal. Aku tidak
akan mengharapkan dirinya menjadi belahan jiwaku di dunia itu. Dua masa depan,
satu belahan jiwa... itu terlalu berat untuk ku tanggung. Dan sangat tidak adil karena
bukan aku satu-satunya yang harus membayar harganya. Kepedihan hati Daehyun,
Kyuhyun, sepertinya haraga yang kelewat mahal.
Meringis membayangkan harga itu, aku bertanya-tanya dalam hati apakah
aku bakal ragu seandainya aku tak pernah menemukan Kyuhyun. Seandainya aku
tahu bagaimana jalan hidupku tanpa kehadirannya. Entahlah, pengetahuan itu
menjadi bagaina yang sangat dalam dari diriku, aku tak bisa membayangkan
bagaimana perasaanku tanpa itu.
“Bagian terburuknya adalah...”
Aku ragu-ragu, “Bagian terburuknya adalah melihat semuanya— seluruh
hidupku oppa. Dan Eunso sangat mengingnkan, Kyuhyun, aku menginginkan
semuanya. Aku ingin tetap tinggal di sini dan tidak pernah pindah. Aku ingin
mencintai Kyuhyun dan membuatnya bahagia. Tapi aku tidak bisa, dan itu
membuatku merasa sangat sedih. Sama seperti yang oppa katakan, aku tak pernah
punya pilihan. Sejak dulu aku tahu tidak ada yang bakal berubah. Mungkin itulah
sebebnya aku memintamu sedikit waktu. Aku ingin bersama Kyuhyun, tunggu aku
sebentar, oppa”
Daehyun seperti memusatkan segenap konsentrasinya untuk bernapas
teratur.
“Dia itu seperti candu bagimu, Eunso”

113
114

Suara Daehyun berubah lembut. “Bisa kulihat, kau tidak bisa hidup tanpa dia
sekarang, dan begitu juga dirinya. Padahal ada hal lain yang lebih sehat untuk kalian,
bukan candu, tapi seseorang bisa menjadi udara, matahari”
Sudut mulutku terangkat, membentuk senyum rapuh.
“Dulu aku tak perna menganggap bakal seperti ini jadinya. Tapi lambat laun
aku tak lagi membohongi diri, bahwa ia adalah matahari. Matahari pribadiku”
Daehyun mendesah, “Kalau awan-awan, aku masih sanggup menghadapinya,
tapi aku tak bisa melawan gerhana”
Daehyun maju mendekatiku, aku tahu suasananya membaik, aku ingin buru-
buru ia sampai dan memeluknya erat. Tangannya menyntuh wajahku,
menempelkannya pada pipi kananku. Daehyun menghembuskan napas, matanya
bertema mendung, aku mengerti bagaimana rasanya. Ini pasti sulit, terlebih rumit.
Suasana begitu hening. Sejenak aku bisa mendegar degup jantungnya, lambat, dan
mulai teratur. “Kau mencintainya, Song?”
“Maafkan aku oppa, ini pasti sulit bagimu untuk melihatku. Aku tahu,
kesalahanku mungkin tak termaafkan, tapi... beri aku waktu untuk memperbaikinya
oppa... Beri aku waktu untuk menjelaskannya sendiri pada Kyuhyun. Jangan katakan
apapun. Tetaplah berpura-pura” aku menjeda beberapa kalimatku, mengumpulkan
keberanian untuk menyambungnya. “Apapun yang terjadi biarlah aku yang
bertanggung jawab, kumohon, maafkan aku oppa”
Daehyun menggeleng pelan. “Tidak. Aku justru senang kau menceritakannya
padaku. Aku ingin mengetahui sebagaian detailnya. Tapi tidak sekarang kurasa.
Terimakasih”
Ia mengecup puncak kepalaku, kemudian menarik napas. Aku mendongak,
ragu menilai ekspresinya yang tiba-tiba terkesan balik mendukungku. “Oppa, tidak
marah padaku?”
“Marah juga tidak ada gunanya bukan?”

114
115

Aku tersenyum lebar, menghancurkan sisa-sisa air mataku yang mengering.


Suara Daehyun sangat tenang, sangat apa adanya. Kupandangi dia, ingin tahu
bagaimana dia bisa tahan menghadapi semua ini, sebagai kakak itu pasti sangat sulit
baginya. Ia menatap wajahku, diam-diam aku mengenali siapa sebenarnya pria yang
berada di hadapanku ini. Daehyun tidak pernah bisa marah, atau barangkali ia
menyembunyikan sisanya dariku. Tubuhku menubruknya erat, membenamkan
wajahku di dadanya yang bidang, hangat, menenangkan. “Maafkan aku oppa”
Ucapku merasa tak cukup, atau memang tidak akan cukup.
“Berapa lama lagi?”
“Tergantung berapa lama eonni datang padaku”
Aku menahan erangan, membayangkan apa saja yang bakal menimpaku.
“Jika aku mempercepatnya?”
Aku mengerti maksudnya. “Tidak apa-apa, oppa”
“Kau sanggup?” bisiknya.
“Ya,” aku balas berbisik.
Daehyun merangkul bahuku dan membawaku duduk, menemukan posisi
yang lebih nyaman. Tangannya mengusap wajahku, menghapus bekas-bekas air
mataku yang mengering. “Aku minta maaf, sudah membuatmu menangis”
“Tidak oppa! Jangan meminta maaf padaku”
“Tapi aku juga bersalah, kalau aku lebih peka. Mungkin semuanya juga tidak
akan terjadi. Kalau aku tidak egois melangsungkan pernikahan tanpa hadirmu,
mungkin ini juga tak akan terjadi”
Aku menggeleng keras. “Please, jangan meminta maaf untuk kesalahanku.
Itu membuatku takut, itu membuatku merasa semakin bersalah karena banyak hal
yang seharusnya kupertanggung jawabkan sendiri”
“Apa yang kau takutkan?” Aku hampir-hampir tak bisa mendengar suaranya
sekarang. Ia menunduk memandangi tanganku.

115
116

“Banyak hal”
Aku berusaha membuat suaraku terdengar lebih ringa, tapi tetap jujur.
“Eunso..., bukan orang yang suka menyiksa diri sendiri, jadi aku tidak suka
membayangkan sakitnya. Tapi..., sekarang menjadi begitu berbeda. Aku ingin ada
cara untuk menjauhkannya dariku, aku tidak ingin dia ikut menderita bersamaku,
tapi kurasa tak ada cara lain. Lalu hal-hal yang berkaitan dengan oppa, eonni,
Kangin... Kemudian sesudahnya, aku berharap mudah-mudahan aku bisa
mengendalikan diri”
Daehyun mendongak. “Aku akan selalu bersamamu, Eunso”
“Terimakasih oppa...”
Aku tersenyum. Mataku menatap lembut tanganku yang digenggamannya.
“Oppa akan selalu ada untukmu, Eunso. Jangan khawatirkan apapun” janjinya,
nadanya juga lebih ringan. Aku menarik napas pelan, bersyukur karena ini lebih
mudah dari apa yang kubayangkan.
“Apakah sebaiknya aku tinggal di sini? Atau kau lebih suka jika aku tidak
melakukannya?”
“Eunso akan langsung mengangguk untuk pertanyaan pertama. Tapi
Kyuhyun?” jawabku seraya balik bertanya. “Mungkin aku akan memikirkan cara lain
untuk mencegahnya berbuat sinting padaku”
Aku mencondongkan tubuhku dan mengecup pipinya lembut. “Kyuhyun
oppa tidak semenakutkan itu”
“Ngomong-ngomong, bagaimana Kyuhyun padamu?”
“Sangat baik, jauh dari dugaanku. Sejak awal Eunso sudah makan habis apa
yang eonni katakan mengenai Kyuhyun, Kyuhyun yang dingin, tak pernah bicara, tak
pernah berbuat baik, semuanya yang buruk-buruk menjadi titik ukurku untuk
menyetujui permintaan eonni. Eunso pikir, dengan Kyuhyun oppa yang cuek, lebih
memudahkanku untuk melakukan hal yang lain”

116
117

Aku diam, lalu melanjutkan. “Tapi itu dulu, sebelum aku benar-benar
mengerti apa sebenarnya yang ia butuhkan. Lama Eunso berpikir, bagaimana cara
supaya Kyuhyun bisa bersikap normal, aku berharap dengan usahaku, pernikahan
eonni bisa diperbaiki. Rencana hanya rencana, aku justru terjebak dalam pesonanya
yang memabukkanku, aku terpesona akan pribadinya yang baru, penuh kasih,
sayang”
“Kalian tidak tidur bersama bukan?”
“Tidur bersama?”
“Maksud oppa, kalian tidak berbagi tempat tidur kan?”
Aku menggeleng pelan sebagai jawabanku. “Kami tidur di tempat yang sama”
“Setiap hari?”
“Iya,”
“Dia tidak berbuat macam-macam, kan?”
“Macam-macam yang bagaimana?”
“Sentuhan tangan? Berpelukan?” jari telunjuknya membentuk jembatan kecil
di hadapanku. “Kau tahu, maksudku kalian berciuman kah?” nadanya terdengar hati-
hati. Aku ingin menjawab tidak atau menggeleng, itu yang ingin kukoarkan, tapi aku
juga tidak bisa berbohong di hadapan Daehyun. Kebohongan-kebohongan yang
pernah kulakukan seharusnya membuatku terbiasa untuk kembali berbohong
kepada Daehyun. Itu seharusnya. Atau barangkali pertanyaan ini seharusnya
disampaikan lebih awal sebelum kami sempat berciuman untuk pertama kali, tepat
di usiaku yang ke duapuluh satu.
Aku diam. Mencoba menjawab pertanyaannya lewat sudut mataku.
“Jawabanku akan sangat mengecewakanmu, maaf”
“Maaf untuk bagian yang mana Eunso?”
“Memeluk..., kami melakukannya setiap sebelum tidur. Banyak hal yang
membuatku menjadi begitu dekat dengan Kyuhyun. Dan..., untuk yang terakhir tadi,

117
118

Eunso juga tidak bisa bilang iya. Tiga poin yang oppa tanyakan padaku, meski aku
mencoba membohongi diri, tak ada satupun yang telah terlewat”
Daehyun mengernyit. Matanya yang menatapku nanar bergerak tidak fokus.
Aku tahu bagaimana rasanya, ketika jawabaku menjadi jauh dari harapannya, itu
tentu menyakitkan. “Kau mencintai Kyuhyun?” tanya Daehyun.
Bagiku, itu adalah pertanyaan retoris, ada nada penuntutan yang harus
kudengar dari suaranya. Ini lebih kepada penegasan atas praduganya padaku. Aku
mengangguk pelan menyetujui, tidak terlalu ingin untuk mengatakannya lewat kata-
kata. Itu seakan membuat nerakaku sendiri karena telah menantang maut dengan
mencintai suami Eunbi di hadapan Daehyun. Ia menghela napas pasrah, kurasa juga
tidak mengerti apa yang hendak ia lakukan.
“Aku mungkin kecewa..., atas apa yang kalian lakukan dibelakangku...,
perasaan marah menyulut benakku tanpa sempat kutahan. Aku mungkin kecewa,
tapi aku juga tidak bisa memarahimu. Bagaimanapun, kau dan Eunbi adalah adik
yang paling kusayangi”
“Oppa...”
“Jadi, lupakan semua yang telah melaluimu Eunso. Jangan biarkan hatimu
yang suci merasakan cinta yang seharusnya. Jangan pernah biarkan ia luluh, untuk
seseorang yang tidak seharusnya kau cintai. Aku tahu ini sulit bagimu, tapi kuharap
kau benar-benar memikirkan ucapanku barusan” aku diam. Menyadari maksud
perkataannya. Itu membuat hatiku seperti dibelah jadi dua, perih. “Aku tidak
menyalahkanmu karena mencintai Kyuhyun, bahkan Eunbi, akupun berharap bahwa
pernikahan ini tidak akan pernah terjadi”
“Kenapa?”
“Bagaimanapun, Kyuhyun bukan pria yang baik”
“Kyuhyun juga berkata padaku, tapi itu bukan masalah. Kalau benar itu
kesimpulannya, appa tidak akan mengusulkan pernikahan ini”

118
119

“Itu soal janji masalalu,” jawabnya.


Aku tidak ingin bertanya lebih jauh, butuh waktu untukku mempersiapkan
semuanya. Aku perlu menata hati, bahkan untuk pertanyaan-pertanyaan yang
menohokku, aku butuh mengendalikan emosiku. Awalnya mungkin mustahil, tapi
aku harus menekannya lebih lama. Jika ini hanya sekedar janji masa lalu, kenapa
harus Eunbi?
“Sayang...”
Kyuhyun berseru memanggilku, dari tempatnya biasa berselonjor di sofa
waktu aku meninggalkannya tadi. Aku menoleh padanya tanpa bicara, mata
Kyuhyun membelalak, dan ia buru-buru menghampiriku.
“Aku baik-baik saja, aku baik-baik saja” aku menenangkan Kyuhyun, suaraku
rendah dan parau. Aku memang baik-baik saja, secara fisik, dan memang itulah yang
dikhawatirkan Kyuhyun.
“Apa yang terjadi?” Kyuhyun menyambar bahuku pelan, matanya masih
membelalak cemas. “Kau kenapa?”
Wajahku pasti lebih parah daripada yang kubayangkan.
“Daehyun...” nadanya rendah, matanya berbalik menatap Daehyun
menuntut penjelasan mengenai apa yang telah menimpaku barusan. “Aku hanya
meninggalkanmu sebentar, bagai—”
Tidak apa-apa, oppa. Aku... hanya berbicara kepada Daehyun oppa tentang...
beberapa hal yang pernah kita lewati dulu, membicarakan kenangan-kenangan yang
membuatku sedikit terharu karena merindukannya”
Kecemasan Kyuhyun mereda, berganti dengan sikap tidak percaya.
“Benarkah seperti itu?”
“Iya. Percaya padaku”
Kyuhyun duduk di antara kami, ditengah-tengah membuat Daehyun
berkoceh, “Kenapa di sini?”

119
120

“Memangnya kenapa?”
Daehyun tidak menjawab. Tapi dapat kulihat matanya menampakan nada
jengkel dan sendu, membuatku kembali merasa sedang membunuh diriku sendiri.
kyuhyun menatap wajahku sejenak, kemudian maju mengecup bibirku kilas.
“Meskipun aku ragu, tapi aku tetap percaya padamu”
Aku mengangguk, merasa pengendalian diriku mulai rapuh. Kyuhyun
menarikku ke dalam pelukannya, sementara aku berpikir dengan apa yang ia
lakukan padaku sekarang. Hari yang sangat melelahkan ini sepertinya akan terus
berjalan, terus dan terus. Entah sampai kapan akan berakhir. Tapi, meski ini hari ini
berlalu dengan lambat, ini bukanlah hari terburuk dalam diriku. kuhibur diriku
dengan kenyataan itu. Dan, setidaknya aku tidak sendirian, ada Daehyun. Itu sangat
menghiburku. Butuh waktu lebih lama daripada yang kukira bagi sebagian hati
kecilku untuk selesai berlindung dalam pelukan Kyuhyun.
“Bisakah aku tidak dianggurkan?”
Tanganku buru-buru mendorong tubuhnya menjauh. Ini lebih konyol dari
apapun bahwa aku justru lupa dengan keadaan sekitar. “Tidak bisa” jawab Kyuhyun.
“Oppa, jangan begitu...” tegurku.
“Memangnya siapa yang menyuruhmu kesini?”
“Kyuhyun... sopanlah sedikit! Aku ini kakak iparmu, brengsek”
“Aku hanya menikahi adikmu, kenapa harus terikat dengan yang lain?”
“Bajing—”
“Stop” ujarku cepat-cepat. Aku menggertakan gigi gemas. Seperti halnya
kakak beradik pada umumnya, aku tahu apa yang harus kulakukan. Selain merasa
terganggu, aku sempat merasa puas karena emosiku sedikit terabaikan oleh
keributan kecil yang mereka percikan. Aku menghela napas. Well..., satu pintu sudah
terbuka, dan aku hanya perlu menunggu, menunggu pintu yang lain. Pintu yang akan

120
121

Kyuhyun buka, dan saat itulah. Surga yang selalu kuinginkan untuk selamanya,
berakhir tanpa sisa.
“Song… tidak seharusnya kau membela orang ketiga di antara kita” sahut
Kyuhyun.
“Bajingan, siapa yang kau sebut orang ketiga he? Tidakkah kau punya urat
malu untuk mengatakan itu semua? Bagaimanapun aku jauh lebih dulu hadir
daripada kau…” sahut Daehyun tak kalah nyalang.
“Maniak”
“Mulutmu benar-benar…”
“Kenapa? Tidak terima?” tantang Kyuhyun.
“Aku ingin tidur, kalian boleh meneruskannya” jawabku seraya berdiri, tidak
memberikan ruang untukknya meneruskan. Tapi baru saja kedua kakiku menopang,
tangan Daehyun meraih tanganku dan ikut berdiri. “Bersamaku,”
“Bajingan!” teriak Kyuhyun menghempaskan tautan tangannya padaku.
Lengannya buru-buru memeluk pundaku erat, “Dasar tak tahu malu” ucapnya
sembari membawaku jauh dari hadapan Daehyun. Diam-diam aku tersenyum, tidak
terlalu memperhatikan ekspresi yang Daehyun tunjukkan pada kami berdua.

121
122

BAGIAN ENAM
Pagi hari membawa, walaupun bukan suasana hati yang lebih ceria,
setidaknya sedikit perasaan terkendali, perasaan bisa menerima. Secara naluriah aku
tahu luka baru di hatiku akan selalu terasa sakit. Itu akan menjadi bagian diriku
sekarang. Waktu akan membuat keadaan itu menjadi lebih mudah— begitulah yang
selalu dikatakan orang. Tapi aku tak peduli apakah waktu akan menyembuhkan aku
atau tidak, asal Daehyun bisa dikupercaya, aku bisa bahagia lagi. Waktu bangun, aku
tidak mengalami disorientasi. Kubuka mata—, akhirnya aku bisa melewati satu hari.
Mataku tertumbuk pada tatapan Kyuhyun yang meredung.
“Selamat pagi”
Sapaku, suaraku serak. Aku berdeham-deham, membersihkan tenggorokan.
Kyuhyun tidak menyahut, menungguku mengucapkan kata yang lain. Aku tampak
ragu, barangkali ini efek dari rajukannya tadi malam.
“Oppa marah padaku?” tanyaku pelan.
“Tidak”
Teramat singkat untuk menjawab pertanyaanku. Datar, terkesan ketus, dan
tidak bersahabat. “Kalau marah, juga tidak apa-apa”
Aku menarik lepas selimut yang menutup tubuhku.
“Song..., mau kemana kau?” aku menoleh. “Membuat sa, ra, pan” jawabku
sengaja memotong setiap dua suku katanya.
Tangannya bergerak menarikku masuk dalam pelukannya yang hangat.
Kedua kakinya mengunci tubuhku nyaman. Dadanya yang lebar menempel dengan
punggungku yang kecil, kemudian kepalanya menyeruak di potongan leher dan
bahuku yang telanjang, menyuarkan geli karena gerakannya yang bergerak disela-
sela rambutku yang kusut. “Aku tidak suka” ujarnya memulai.
Aku menyentuh telapak tangannya di atas perutku.

122
123

“Tidak suka sayur? Aku sudah tahu”


“Bukan itu”
Aku terkekeh, “Lalu apa?”
“Aku tidak suka jika kau harus dekat-dekat dengan Daehyun”
“Dekat-dekat bagaimana?”
“Berpegangan tangan”
“Lalu?” tantangku. “Pokoknya apa saja yang berkaitan dengan Daehyun, aku
tidak menyukainya”
Aku tertawa, aneh sekali. “Kenapa tertawa?”
“Daehyun oppa kan kakakku”
“Sekalipun itu kakak kandungmu, tetap saja aku tidak suka jika kau dekat-
dekat dengan pria selain aku. Segala apa yang melekat ditubuhmu itu milikku, dan
aku tidak suka berbagi kepada siapapun”
“Kalau aku tidak mau bagaimana?”
“Song...” jawabnya mengerang. Aku menarik tubuhnya mendekat ke arahku,
seraya berbisik. “Oppa masih ingat tidak?”
“Apa?”
“Semua yang ada dalam diriku, milikmu. Segala apa yang ada dalam dirimu,
itu milikku. Lalu apa lagi yang oppa khawatirkan?”
“Tapi ini rasanya seperti mimpi bagiku”
“Mimpi yang...?”
“Indah” jawab Kyuhyun. “Hingga aku takut ini akan berakhir”
“Jangan akhiri kalau begitu. Biarkan kita akan terus di sini, pun jika mati,
biarkan kita mati bersama dalam mimpi”
Bibirnya menemukan bibirku sementara aku merasakan tubuhnya yang
menegang dibelakangku. Tanpa menghentikan ciumannya, dengan gerakan cepat,
Kyuhyun berhasil mengayunkan tubuhku hingga aku berada dalam kungkunganya

123
124

dan mendapati ia sudah berada di atas tubuhku. “Bibirmu, nikmat sekali” ucap
Kyuhyun.
Kepalaku berputar, aku sampai harus mengingatkan diriku untuk menarik
napas, tapi baru saja aku selesai, bibirnya kembali menubrukku. Ciuman itu tidak
membuatku takut. Tidak seperti sebelumnya saat aku merasakan ketakutan, ketika
kepanikan menyusup di balik kendaliku. Bibirnya tidak cemas, melainkan antusias
sekarang, tidak seperti semangatku yang selalu berada jauh di bawahnya. Kyuhyun
terus menciumiku selama beberapa menit, tidak sehati-hati biasanya, bibirnya yang
dingin melumat bibirku dengan ganas.
Sambil terkekeh pelan, Kyuhyun mejauhkan dirinya dariku, dan berdiri
memberi jarak. “Orang bodoh mana yang mau mengakhiri mimpi indah ini?”
ucapnya, matanya cair dan hangat.
“Mungkin saja, karena saking indahnya” kataku terengah-engah.
“Sayang...”
“Hmm”
“Aku ingin bertanya padamu” kata Kyuhyun, nadanya santai.
“Oh?”
“Tidakkah sedikit dalam dirimu merasa menyesal menikahi pria sepertiku?”
Aku tersenyum dalam hati, bagaimana rasanya? Bisakah aku menjawab
dengan kata-kata yang bisa menyakitiku diriku sendiri?
“Tidak. Sedikitpun tidak”
Memang tidak. Itu jika aku harus menjawab dari sudut pandangku, dan
jawabanku tidak akan pernah sama dengan siapapun. Lagipula, apa alasan yang
paling tepat untuk menguatkan argumenku saat aku berani mengatakan iya? Untuk
pria yang menjadi incaran banyak wanita, apakah aku benar-benar bisa mengatakan
bahwa aku menyesal menikah dengannya?
“Aku merasa—”

124
125

“Jangan diteruskan...”
“Kenapa?”
“Karena, kurasa akulah yang seharusnya bertanya padamu”
“Mengenai?”
“Sesuatu yang baru saja kau tanyakan padaku. Kurasa, dengan
penampilanku, tubuhku yang tidak semampai, wajahku yang tidak cantik. Bukankan
aku yang berhak menanyakannya padamu? Kau pasti menyesal. Ada begitu banyak
perempuan di luar sana yang jauh lebih pantas berada di posisi ini, tapi kau justru
terjebak dalam hubungan suami istri dengan wanita sepertiku”
“Kau sedang melantur, ya?”
Aku mengerjapkan mataku cepat. “Melantur bagaimana?”
“Tadi yang kau bilang, tidak cantik”
“Jadi...?”
“Kau itu cantik, cantik sekali tahu...”
Aku memandanginya lama, sekitar dua menit tanpa terganggu oleh apapun.
Dagunya bersih, tanpa bulu-bulu kecil yang kadang mengganggu pengelihatanku
atau sekedar mengusikku saat kami berciuman. Wajahnya diam-diam mendekat ke
arahku, mencondongkan tubuhnya hingga aku mendapati diriku berada di antara
dinding kasur dan tubuhnya yang besar. Aku tahu apa yang akan ia lakukan padaku,
jadi aku hanya cukup diam dan menunggunya datang dan melakukannya. “Aku ingin
menciummu, lagi”
Bibirnya kembali melumat bibirku dengan gerakan lembut, tidak ingin
membuatku merasa terburu-buru mengikuti gerakannya. Setiap gerakannya
membuatku tidak sadarkan diri, dan aku seharusnya menolak saat ciumannya
berubah semakin menggila dalam mulutku. Tangan Kyuhyun mulai bergerilya
mengusap bagian bawah tubuhku, samar-samar aku mendengarnya mengerang
pelan. “Ada yang kuinginkan, darimu”

125
126

Kyuhyun nyengir lebar waktu melihatku kehabisan napas, lalu meraih dan
mulai memainkan jari-jariku. Sesekali meremas jari manisku kuat, lalu kembali
lembut untuk waktu yang cukup lama.
“Ap—a” jawabku susah payah.
“Aku tidak sadar ternyata ada hal lain yang kuinginkan, aku jadi penasaran”
Suaranya rendah dan lembut. Secercah nada gelisah dalam suara Kyuhyun
pasti sulit dideteksi kalau saja aku tidak begitu mengenalnya.
Aku diam sejenak, memandangi tangannya yang menggenggam tanganku.
Aku tidak tahu harus melakukan apa saat kesunyian mengikuti keterdiamannya, aku
merasakan matanya menatapku dan aku takut mengangkat wajah. Darah mulai
membakar wajahku. Tidak yakin dengan apa yang Kyuhyun inginkan dariku,
sekarang.
Kyuhyun side’s
Well..., aku mungkin sudah gila. Kurasakan tubuhku mengejang, tapi suaraku
tetap lembut dan sehalus beledu. Ada banyak hal yang kukhawatirkan tentang
sesudahnya. Jawaban terbata-batanya membuatku mengerti sesuatu tengah ia
takutkan dariku. “Oppa,” ujarnya gugup, memandangi setitik bercak di pergelangan
tanganku. Ada sesuatu yang ingin kulakukan dengannya, sesuatu yang kunantikan
sejak lama. Dan..., meski sesungguhnya aku tidak ingin merasainya sekarang, di pagi
terang ini, perasaan itu justru meradang kuat.
“Ada sesuatu yang ingin kucoba,”
“Apa?”
“Tapi sebelum aku menjawab, bisakah kau mengabulkannya?”
“Apapun yang oppa inginkan,” dorongnya, gelisah dan sama sekali tidak
mengerti. Barangkali terlalu gugup atau berbaik sangka dengan permintaanku yang
sedikit ekstrem, ia menjawab tanpa berpikir lebih jauh. Apakah ia benar siap atau
menyiapkan diri, sepertinya itu luput dari pikirannya.

126
127

“Kau janji?” bisikku, tahu upayaku menjebaknya dengan kata-katanya sendiri


tidak akan berhasil, namun tak sangup menolaknya.
“Ya,” jawabnya.
Aku mendongak dan melihat sorot matanya tulus bercampur bingung, gadis
bodoh. “Katakan apa yang kau inginkan, dan aku akan berusaha membuat oppa
mendapatkannya”
Sulit dipercaya betapa aku merasa canggung dan seperti orang tolol. Aku
justru terlihat bodoh untuk sesuatu yang menjadi keahlianku selama ini. Aku
meragukan diriku bahwa sejauh pengalamanku sebelum ini, aku tidak pernah
sedikitpun meminta izin untuk menyetubuhi seseorang. Aku akan mendapatkan
apapun yang kumau tanpa harus memohon, tanpa harus membubuhkan prolog yang
terlalu lama seperti yang sedang kulakukan sekarang. Aku sama sekali tidak tahu
bagaimana caranya merayu. Wajahnya yang memerah membuatku bimbang,
menimbang apakah ini pantas untukku lakukan.
“Kau,” gumamku, nyaris kacau.
“Aku milikmu,”
Ia tersenyum, masih belum sadar, berusaha membalas tatapanku sementara
aku malah memalingkan wajah. Aku merasa tidak tega mengatakannya, tapi sangat
ingin merasainya.
Aku menghelas napas dalam-dalam dan beringsut ke arahnya di bawahku.
Aku memeluk pinggangnya dengan dua tangan dan menciumnya, lagi. Tak peduli
sinar matahari yang mulai terik, tak peduli ada Daehyun, yang jelas aku harus
menuntaskan hasratku sebelum aku mati karena dibunuh rasa penasaran.
Ia membalas ciumanku, kaku, bingung, tapi bersedia. Bibirnya yang lembut
menempel di bibirku, dan aku tahu pikirannya sedang berkelana ke tempat lain—
berusaha memikirkan apa yang ada dalam pikiranku, menurutku itu butuh petunjuk
untuk dirinya yang lugu.

127
128

Kedua tanganku sedikit gemetar saat aku mulai menggerayangi tubuhnya.


Jari-jariku merayap naik ke lehernya, lalu kembali turun sampai ke kerah piyama
yang ia pakai. Tanganku yang gemetar menyulitkan upayaku untuk beregas
membuka kancingnya sebelum ia menghentikanku. Please..., jangan menolakku.
“Oppa...”
“Ya...” suaraku serak.
Ia mendorongku, wajahnya sangat tidak setuju.
“Kau sudah janji— apapun yang kuinginkan” aku mengingatkan tanpa
berharap.
“Aku..., belum siap”
Aku menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Dan saat
amarahku mereda. Aku merasakan sesuatu yang lain. Perasaan tertolak melandaku,
naluriah, dan kuat. Aku tahu itu tidak rasional, tapi harga diriku seperti diinjak-injak
karena penolakannya.
Ia mengeluh. Tangannya bergerak menyentuh daguku, dan ia mendongakkan
wajahku sehingga aku harus menatapnya. Ia mengamati wajahku lama sekali
sementara aku berusaha berkelit dari pandanganya, meski sia-sia. Alisnya berkerut,
eskperinya berubah ngeri.
“Apakah aku menyakiti perasaanmu?” tanyanya.
“Tidak” dustaku.
Begitu cepatnya sehingga aku bahkan tak yakin bagaimana itu bisa terjadi,
tapi tahu-tahu ia sudah berada di atasku, bertumpu di atas perutku, keduanya
kakinya menopang tubuhnya supaya tidak terlalu menindihku. Tangannya
menyentuh wajahku, dan ibu jarinya mengelus-elus pipiki dengan sikap memastikan.
“Oppa tahu kenapa aku harus menolak” bisiknya. “Kau tahu aku
menginginkanmu juga”
“Benarkah?” bisikku, suaraku penuh keraguan.

128
129

“Tentu saja, aku menginginkanmu, pria tampan dan kelewat sensitif”


Ia tertawa sekali, tapi kemudian suaranya berubah muram. “Bukankah
semua orang juga begitu? Aku merasa banyak yang antre di belakangku, berebut
posisi, menungguku membuat kesalahan cukup besar..., dan saat aku melakukan itu,
kau akan mendepakku dan menggantikanku dengan antrean yang banyak tadi”
“Kau bodoh, ya?”
Aku ragu seleraku menjadi begitu berubah seratusdelapan puluh derajat.
Canggung, minder, dan kikuk sekarang masuk dalam kategori menggairahkan dalam
pandanganku. “Bukankah aku yang harusnya mengatakan itu, padamu?”
Ia menggeleng di atasku.
“Apakah aku harus mengedarkan petisi supaya kau percaya? Haruskah
kuberitahu nama-nama yang berada dalam daftar teratas dalam menginginkanmu,
Song?”
Mulutnya diam. Aku membalikkan posisi hingga ia berada di bawahku
sekarang. “Fakta kau masih menjadi idola di luar sana adalah hal yang sangat benar.
Asal tahu saja... kau sangat menggairahkan”
Kuturunkan kepalaku untuk mengecup dahinya yang lebar. Ia menghela
napas dalam-dalam. Aku kaget juga karena kedengarannya ia sedikit goyah. “Kau
sendiri tidak akan bisa mengerti...”
“Mungkin...” dengusnya.
Kutatap matanya lama sekali. Tidak ada tanda-tanda ia mau berkompromi
denganku, tidak ada petunjuk ia tidak tegas dengan keputusannya. “Please..., Song”
bisikku, akhirnya tak punya harapan lagi. Hanya itu yang kuinginkan. Aku
memejamkan mata kalah, menunggu jawaban tidak yang final dan akan segera
terlontar. Aku yakin, jika itu benar-benar terjadi, aku tidak tahu bagaimana wajahku
setelahnya.
Tapi ia tidak langsung menjawab.

129
130

Aku ragu-ragu dengan sikap tak pecaya, terperangah mendengar tarikan


napasnya yang kembali memburu.
Kubuka mataku, dna ia tampak terkoyak.
Please..., batinku.
Debar jantungku semakin kencang. Kata-kata berhamburan dari mulutku
saat aku buru-buru mengambil kesempatan, selagi aku melihat sorot tak yakin
terpancar dari matanya. “Kau tidak perlu memberiku jaminan apa-apa. Kalau
memang tidak bisa, well..., tidak apa-apa. Tapi biarkan kita mencoba, hanya
mencoba. Dan aku akan memberikan apa yang kau inginkan”
Lengannya yang panas memelukku erat, dan bibirnya menempel di telingaku,
embusan napasnya yang panas membuat tubuhku gemetar. “Sungguh tak
tertahankan. Begitu banyak yang ingin kuberikan padamu— tapi justru ini yang kau
tuntut dariku. Tahukan kau betapa sakitnya ini, menolakmu yang memohon-mohon
padaku seperti ini?”
“Kalau begitu jangan menolak,” usulku, napasku terengah-engah.
Ia tidak menjawab.
“Oppa...”
Ia menggeleng lambat-lambat, tapi rasanya itu bukan penolakan karena
wajahnya dan bibirnya menjelajahi tenggorokanku. Rasanya seperti menyerah kalah.
Jangtungku, yang memang sudah berdebar keras, kini berpacu makin cepat.
Lagi-lagi aku memanfaatkan momentum itu sebisaku. Saat wajahnya
berpaling ke arahku dengan gerak lambat karena belum bisa memutuskan, aku
cepat-cepat menggeser kepala hingga bibirku menempel di bibirnya. Menyerbunya
dengan perasaan menggebu-gebu, secepat mungkin membuat momen. Kedua
tangannya merengkuh wajahku, dan aku sempat mengira ia aan mendorongku lagi
jauh-jauh.
Ternyata aku keliru.

130
131

Bibirnya tidak menciumku dengan kaku, sekarang ada hal baru berupa konflik
bercampur perasaan putus asa dalam ciumannya. Kupeluk erat-erat punggungnya,
dan di kulitku yang tiba-tiba panas, tubuhnya kurasakan lebih panas daripada
biasanya saat aku menyentuhnya. Tubuhnya gemetar. Aku tidak berhenti
menciumnya, aku memberinya jeda sebentar untuk mengambil napas, bahkan saat
itu aku tidak beranjak dari kulitnya, hanya beralih ke kerongkongan. Gairah
kemenangan melandaku, membuatku merasa semakin berkuasa. Berani. Ia terlalu
rupawan, istilah apa yang dipakainya barusan? Tak tertahankan— itu dia.
Kecantikannya sungguh tidak tertahankan.
Aku bergerak kembali menciumi bibirnya, dan sepertinya ia juga sudah
menerimaku. Satu tangannya masih merengkuh wajahku, tangan yang lain ia
gunakan untuk memegang pinggangku. Posisi ini lebih sulit meraih bagian depan
kemejanya, tapi bukannya tidak mungkin. Aku mengerang hebat dalam ciumanku
yang buru-buru. Semuanya menjadi begitu tak terkendali saat adik kecilku ikut andil
bereaksi.
“Kyuhyun...” suar seseorang dari arah luar.
Kurasakan Eunbi melepas ciuman kami dengan cepat, lalu buru-buru
menyembunyikan wajahnya dalam dadaku. Aku menghembuskan napas keras, beri
aku alasan mengapa aku tidak harus marah saat ini. Kudengar ia masih terengah-
engah, itu membuat perasaan frustrasi dalam diriku semakin menguat. Aku melirik
ke bawah, matanya mengejam erat, seketika wajahnya yang merah berubah
semakin memerah.
“Ini sudah siang, tidakkah kalian ingin turun?” aku mendengar suaranya
menyeringai. “Bajingan! Keluar bangsat!” teriakku segera bangkit dari objek
kesenanganku. Aku mengusap wajahku kasar, sedikit lagi, benar-benar sedikit lagi ia
akan menjadi milikku, ya Tuhan. Aku segera berjalan dan menutup pintu keras lalu
kembali duduk. Aku memejamkan mata saat kurasakan kedua tangannya

131
132

memelukku dari belakang. “Tidak pagi ini, oppa akan mendapatkannya lain kali.
Janjiku”
“Kau pasti sangat kaget barusan,” ucapku sangat frustrasi.
Aku mengangkat satu alisku. “Apa gunanya mengkhawatirkan sesuatu yang
telah terjadi?”
Ia mengiterupsi keresahanku. Tapi gambaran yang ia berikan boleh juga.
“Meski ini tidak seperti yang kau harapkan, aku berjanji akan menebusnya dengan
hal lain yang lebih membahagianmu, oppa”
Aku menghela napas pelan. Barangkali aku yang tidak sabaran.
“Tidak perlu, aku sadar. Hadirmu saja sudah sangat cukup
membahagiakanku” akui ku akhirnya menyadari, bahwa aku hanya terlalu terburu-
buru, mungkin jika aku bisa bersabar lebih lama, kejadiannya barangkali tidak akan
seperti ini jadinya. Aku menghembus napas pelan, merutuki segala napsuku yang
tidak dapat ditoleran.
“Tapi..., aku juga ingin menjadi istri yang sempurna, untukmu...” jawabnya,
kemudian melanjutkan. “Tapi, tidak untuk saat ini”
Aku mengangguk, tanganku menyentuh lembut lingkaran tangannya di
pinggangku. Tubuh bagian bawahku sudah cukup mereda dan aku cukup bersyukur
ia tidak kembali menegang. Aku tidak ingin menyalahkannya, karena barangkali lagi
aku yang terlalu memaksa kehendaknya.
“Maafkan aku. Aku sungguh ingin, tapi waktu tidak membiarkan kita untuk
melakukannya sekarang. Jadi…, selagi kita menunggu. Aku akan berlatih semampuku
untuk menyenangkanmu"
“Jangan meminta maaf untuk kesalahan yang tidak kau lakukan” jawabku.
“Aku mencintaimu, oppa. Sangat”
Mataku menyorot jauh ke dalam retinanya. Aku jauh lebih mencintaimu,
lebih dari apa yang kau bayangkan.

132
133

Eunso side’s
Seiring dengan berjalannya hari, aku mempertimbangkan beberapa cara
untuk mangkir dari entah acara apa yang akan dilangsungkan di perusahaan
Kyuhyun malam ini. Pasti akan sangat menyebalkan jika harus mengikuti perayaan
dengan penyamaranku. Tapi, yang lebih parah lagi pasti akan ada banyak perhatian
di sana. Well..., perhatian bukan sesuatu yang diinginkan untuk orang kikuk yang
gampang cedera seperti aku. Kurasa, tak ada yang ingin menjadi sorotan bila besar
kemungkinan kau bakal jatuh terjerembah dengan sepatu berhak tinggi atau lebih
gilanya lagi ada orang lain yang mengetahui siapa sebenarnya diriku.
Dan aku sudah terang-terangan meminta— well, memerintahkan, lebih
tepatnya agar aku tidak ikut seperti hari-hari sebelumnya. Aku bisa untuk berhenti
mengerang saat bayang-bayang wajahnya kembali masuk dalam pikiranku, berlari-
lari tanpa merasa bersalah atas dampak yang ia lakukan.
“Apa yang sedang kau pikirkan?”
Aku terkesiap kaget. Buru-buru menghampirinya, “Bisakah aku tidak hadir
malam ini?”
“Apa yang membuat—”
“Aku merasa tidak enak badan”
Tangannya menyentuh dahiku, “Demam?”
Aku menggeleng cepat, “Perutku nyeri, datang bulan”
Ia mengangguk, “Aku tel—”
“Tidak perlu, aku hanya perlu istirahat sebentar” potongku menyadari apa
yang hendak Kyuhyun lakukan. Aku tidak pernah berbohong, tapi kebohongan-
kebohongan yang kulakukan akhir-akhir ini membuatku tak percaya bahwa
semuanya bisa menjadi begitu nyata. Aku penasaran dengan eskpresiku sendiri, dan
mungkin aku perlu mengapresiasinya, nanti. Aku menatap kedua alisnya yang
berkerut, “Benarkah?”

133
134

“Oppa harus percaya padaku”


“Baiklah... aku juga tidak akan pergi,”
“Kenapa?”
“Bagaimana bisa aku meninggalkanmu?”
“Kalau begitu, jangan pergi” jawabku egois.
Malam itu rasanya benar-benar diluar dugaanku, aku berusaha menekan
bayangan Kyuhyun saat mencumbuku. Bukan tidak siap karena apa, bukan karena
masa depanku yang sudah lama hancur, aku justru memikirkan bagaimana
responnya setelah ia benar-benar mengerti siapa diriku. Aku bisa saja mengiyakan,
tapi apakah Kyuhyun bisa menerimaku setelah kami melakukan itu bersama? Bisa
saja semuanya akan semakin memburuk saat aku telah memberikan sisa-sisa yang
kumiliki nantinya. Tapi..., jika aku kembali mangkir, alasan apa yang bisa kuucapkan
saat ia memintanya lagi, nanti?
“Masih sakit?”
Aku menggeleng pelan. Tidak ada yang bisa kami lakukan sekarang selain
diam. Hembusan napasnya yang menerpa wajahku tidak berhasil melawan rasa
kantuk yang mulai menyerangku, seharusnya ini bisa lebih romatis jika aku bisa lebih
mengontrol sesuatunya. Tangannya mengelus pelan perutku, mencoba menurunkan
nyeri yang melanda perutku. Ini jauh diluar skenarioku, kukira Kyuhyun akan pergi
dan aku bebas dengan diriku sendiri, sebaliknya... yang kudapati justru ia merawatku
santai.
“Aku akan memelukmu, sampai kau terlelap”
“Tidak sampai aku terjaga?”
“Sampai kau terjaga, ralatku”
®®®
RASANYA aku tidur lama sekali— sekujur tubuhku kaku, seoalah-olah aku
tidak bergerak sama sekali selama itu. Pikiranku linglung dan lambat, berbagai

134
135

mimpi aneh— mimpi dan mimpi buruk berputar-putar dalam benakku. Semua
tampak jelas. Kengerian dan kebahagian, semua berbaur menjadi kebingungan yang
aneh. Ada perasaan tak sabar bercmapur ketakutan, keduanya bagian dari mimpi
penuh frustrasi saat kakiku tak bisa berlari cepat. Mimpi itu masih terpatri kuat—
aku bahkan masih ingat nama-namanya. Tapi bagian yang paling kuat dan paling
jelas dari mimpi itu adalah kengeriannya.
Mimpi itu tak mau disingkirkan begitu saja ke gudang mimpi yang tak ingin
kudatangi lagi. Aku melawannya dengan susah payah saat pikiranku mulai lebih
awas, terfokus pada kenyataan. Aku tak ingat hari apa ini, tapi aku yakin ada yang
menungguku, entah itu Kyuhyun, Daehyun, kematian, atau hal lain. Aku menarik
napas dalam-dalam, bertanya-tanya dalam hati bagaimana aku sanggup menjalani
satu hari lagi dalam lingkar dusta yang kuselami sendiri.
Sesuatu yang dingin menyentuh dahiku lembut sekali.
Kupejamkan mataku lebih erat. Rupanya aku masih bermimpi, tapi anehnya,
rasanya sungguh sangat nyata. Aku sudah hampir terbangun... beberapa detik lagi,
dan mimpi itu akan lenyap.
Tapi aku sadar mimpi itu terasa kelewat nyata, kelewat nyata sehingga tak
mungkin terjadi. Dengan keluhan menyerah, kubuka paksa kelopak mataku untuk
menghalau ilusi itu.
“Oh!” aku terkesiap kaget.
Well..., jelas aku sudah kelewatan. Salah besar membiarkan imajinasiku jadi
tak terkendali. Oke, mungkin membiarkan bukan istilah yang tepat. Aku
memaksanya menjadi tak terkendali— bisa dibilang aku dikuntit halusinasiku
sendiri— dan sekarang pikiranku meledak.
Dibutuhkan kurang dari setengah menit untuk menyadari bahwa, kepalang
basah sudah terlanjur sinting, ada baiknya kunikmati saja delusiku, mumpung
delisunya menyenangkan.

135
136

Aku membuka lagi mataku, dan Kyuhyun masih di sana, wajahnya yang
sempurna hanya beberapa sentimenter dariku. “Aku membuatmu takut, ya?”
Suaranya rendah. Ini bagus sekali, sebagai delusi. Wajahnya, suaranya,
aroma, tubuhnya, segalanya— semua jauh lebih baik daripada tenggelam dalam
mimpi burukku. Kilasan khyalanku yang rupawan itu mengawasi perubahan
ekspresiku dengan was-was. Matanya hitam pekat, dengan bayangan menyerupai
memar di bawahnya. Itu membuatku terkejut, Kyuhyun dalam halusinasiku bisanya
muncul dalam kondisi tanpa kantung mata.
Aku mengerjap dua kali, susah payah berusaha mengingat hal terakhir yang
aku yakin nyata. “Ada apa, Song?”
Aku mengerutkan kening pada Kyuhun, masih bingung. Wajahnya terlihat
cemas melihat responku. Pikiranku semakin jernih, mulai terlepas dari bayang-
bayang mimpiku barusan. Mataku berkelebat sebentar dari wajahnya— meski
sebenarnya enggan, ke jendela yang gelap dan terbuka, lalu kembali kepadanya.
Kupandangi dia sambil mengingat-ingat... dan aku merasakan rona merah yang
familier menjalari pipiku dengan hangat saat lambat lain aku menyadari bahwa
Kyuhyun sungguh-sungguh, benar-benar ada di sini bersamaku, tapi aku membuang-
buang waktu dengan menjadi idiot.
Aku menubruk tubuhnya dengan cepat. Menaikkan kedua lenganku untuk
memeluk lehernya yang panjang. “Jangan pergi dariku, oppa” renungku.
“Hei... aku tidak kemana-mana”
“Kau meninggalkanku...”
“Itu hanya mimpi, tidak perlu mengkhawatirkan apapun”
Aku diam, tapi sibuk mencerna perkataan Kyuhyun. Aku menggeleng pelan,
barangkali itu bukan sekedar mimpi belaka. Barangkali itu adalah pertanda
bagaimana nasibku di kemudian hari, aku hanya akan sendiri, tanpa cinta yang

136
137

Kyuhyun agung-agungkan padaku. Tangannya bergerak mengelus punggungku


lembut, menyalurkan gelayar-gelayar aneh di sekitar perutku.
“Tapi bagaimana jika itu terjadi padaku?”
“Aku tidak akan meninggalkanmu”
“Aku tetap tidak bisa mengerti oppa, ini mengerikan”
Kyuhyun memilih diam daripada menanggapi ucapanku. Aku tahu itu bentuk
dari pertahanannya supaya aku berhenti untuk panik. Tapi itu juga tidak membantu,
ia takkan pernah mengerti bagaimana aku takut akan sesuatu yang jelas akan
kulalui. Kyuhyun mungkin mengira ini hanya angin lalu, tapi bagiku... mimpiku
barusan begitu nyata, seolah tanda aku memang tak akan bisa bertahan lebih lama
lagi. Wajahku memanas, bukan karena rona pipi yang biasa kuberikan sebagai
respon terhadap Kyuhyun. Tetapi karena ketakutanku yang melonjak naik,
tenggorokanku sakit menahan tangis yang sedari kutahan. Mimpi itu benar-benar
membuatku takut, dan... apabila gambarannya semengerikan itu, lalu bagaimana
aku bisa menyikapinya di dunia nyata?
“Maafkan aku,”
“Untuk?”
“Semuanya, oppa”
®®®
Sabtu pagi, aku benar-benar sumringah. Walaupun hatiku masih sedikit
terluka karena mimpi-mimpi gilaku, meski jantungku masih sedikit tidak normal jika
harus mengingatnya. Masih kempot-kempot. Udara terasa lebih sejuk, ketika pagi-
pagi buta, aku sudah duduk manis memandangi cermin. Membaca beragam ekspresi
yang bernaung di sana. Ia terlihat seperti perempuan pada biasanya. Aku sama
seperti orang kebanyakan, ingin menunjukkan pada bumi yang sangat berbudaya,
menghormati keberadaan. Ekspresiku ingin menunjukkan eksistensinya sebagai

137
138

perempuan. Yang bisa dilihat dan diperhatikan karena otak dan pemikirannya,
bukan karena tubuhnya yang wangi atau kulitnya yang putih bak model iklan.
Aku menatap wajahku lama di depan cermin. Merenungi, apakah yang
tersisa di tengah usiaku yang semakin meninggi selain kemahiranku yang tak lagi
tertandingi? Juga beragam kebisingan yang selalu membuatku menjelma menjadi
perempuan yang banyak menggerutu. Banyak tidak puas, situasi hiup yang semakin
rumit dan tidak terkendali. Kebohongan yang beredar semakin menjadi-jadi.
Kecurangan yang memiliki ruang, dan kuciptakan dengan cara-cara halus.
Aku menggeleng pelan, menepuk-nepukkan tangan di kedua sisi wajahku.
Bukan saatnya meratapi betapa gilanya aku, bukan saatnya aku bersedih untuk hal-
hal yang sering kulakukan. Aku mendesah seraya tersenyum memandangi cermin.
Setidaknya, aku masih punya satu hal yang menyenangkan untuk kulakukan hari ini.
Perasaan puas membumbung tinggi saat rencana yang Daehyun berikan padaku
untuk dekat-dekat dengan Henry nyatanya menyenangkan. Meski kukira akan
awkward, kehadiran Henry selalu membuatku nyaman akan gangguan Kyuhyun.
Well..., pokoknya pria yang sedang menjalin kasih dengan sekretaris Kyuhyun ini
benar-benar unik.
“Sudah siap?”
Aku mengangguk cepat dan berdiri. “Sudah...”
Kyuhyun mengangguk pelan, mataku tidak bisa berhenti untuk terpesona
atau barangkali Kyuhyun-lah yang tak pernah menghentikan pesonanya. Butuh
waktu yang cukup lama hingga aku berhasil membujuk Kyuhyun untuk berkemah
bersama. Aku menghampirinya cepat, dan dia membuka tangannya lebar-lebar
menyambutku. “Kau cantik, sekali”
“Memang cantik” jawabku percaya diri.
Kyuhyun mendecak pelan, tidak terlalu setuju tapi selalu mengatakan itu. aku
cukup kaget melihat setelan yang ia pilih, bagaimanapun sekarang, Kyuhyun lebih

138
139

terlihat seperti remaja ketimbang pria paruh baya. Kaus oren cerah yang ia kenakan
semakin membuat tubuhnya bersinar di hadapanku, benar-benar seperti model
daripada pekerja kantoran tetap. Aku sangsi dengan mataku sendiri untuk berhenti
melihat ke arah Kyuhyun.
“Baiklah-baiklah, kau memang paling cantik, di hatiku” jawabnya.
Bibirnya menemukan bibirku lalu mengecupnya singkat. “Ayo” ajaknya lagi.
Makan waktu sekitar satu jam untuk bisa sampai dimana Henry berada.
Selama perjalanan, aku cukup tidak percaya jika Kyuhyun lebih interaktif daripada
biasanya ia lakukan. Ia menanyakan hal-hal yang tidak terlalu penting tapi tidak
membuatku merasa malas untuk menjawabnya. Ia menanyakan di rumah sakit mana
aku lahir, di umur berapa aku bisa berjalan, dimana sekolah masa kecilku, dan
banyak lagi. Aku tidak memungkiri, jika hal itu menyenangkan. Barangkali karena
Kyuhyun yang bertanya, aku jadi tidak merasa bosan sama sekali. Ini membuatku
bersyukur, setidaknya aku tidak pusing karena melihat jalanan terlalu lama.
“Sudah sampai”
“Oo...” takjubku.
Hijau dan lebat. Seperti itulah gambaran yang bisa kudeskripsikan saat kedua
kakiku benar-benar menapak di atas tanah yang berbatu. Udara terasa sejuk saat
aku menghirupnya kuat masuk ke rongga dadaku, rasanya benar-benar luar biasa
menakjubkan. Meskipun ini bukan kali pertama ia membawaku ke tempat seperti,
tetapi bukan berarti aku bisa merasa biasa saja saat kembali menemukan apa yang
kusukai. Aku menengadahkan wajahku memandang langit yang tertutupi kanopi di
setiap sisinya. Hijau biru yang mempesona.
Kyuhyun memberiku ruang untuk menikmati ini semua. Sudut mataku
melihatnya masih berdiri di samping mobil sembari menatapku. Aku tersenyum
sekilas lalu kembali menikmati aroma yang ia tawarkan. Lama aku terdiam, puas
menikmati semua yang hutan berikan untuk menyambut kehadiranku.

139
140

“Dimana Henry, oppa?”


“Oo nanti dia akan menjemput di tengah jalan” sahut Kyuhyun.
Ia berjalan mendekatiku, menyentuhkan tangannya di sela-sela jemariku lalu
menggandengnya lembut. “Ayo, jalan”
Aku mengangguk. “Terimakasih oppa”
“Terimakasih untuk apa?”
“Menuruti permintaanku”
“Well..., jika kau suka, kau bisa mendapatkannya dariku” jawabnya sembari
menyingkirkan ranting pohon saat keberadaannya menghalangi perjalananku.
Dibutuhkan beberapa saat untuk mencapai tujuan kami, tapi Kyuhyun tak
pernah merasa tidak sabar dengan gerakanku yang lamban. Kami sudah hampir
sampai di lapangan ketika aku terjatuh. Aku bisa melihat tanah lapang di depan, dan
mungkin karena itulah aku terlalu bersemangat dan tidak memperhatikan jalan.
Tahu-tahu aku terjerembab dan kepalaku membentur pohon terdekat, tapi sebatang
ranting kecil patah di bawah tangan kiriku dan menusuk telapak tanganku.
“Aw...” ringisku.
“Kau tidak apa-apa?”
Aku mengangguk cepat, “Aku baik-baik saja. Tidak perlu khawatir”
Kyuhyun mengabaikan laranganku. Ia sudah mendekat sebelum aku sempat
menyelesaikan kata-kataku. “Aku punya kotak P3K,” katanya, mengeluarkan benda
itu dari ranselnya. “Aku punya firasat aku bakal membutuhkannya”
“Tidak parah kok. Aku bisa membereskannya sendiri— kau tidak perlu
membuatmu merasa tidak nyaman”
“Siapa bilang aku tidak nyaman,” tukas Kyuhyun kalem. “Kemarilah, biar
kubersihkan”
Tanpa menatap darah aku bernapas lewat mulut, untuk berjaga-jaga siapa
tahu perutku kembali mengamuk, aku menekan tanganku ke batu di dekatku. “Apa-

140
141

apaan kau?” bengisnya segera menarik tanganku. Aku mencoba tersenyum meski
raut mukanya tidak bisa dikompromi. Kyuhyun menghembuskan napas, “Sudah
kubilang berapa kali, jangan pernah terluka” katanya.
“Aku tidak sengaja”
“Kau kan bisa lebih berhati-hati...”
Aku menunduk, “Maafkan aku oppa”
“Sekarang izinkan aku merawat tanganmu, lukamu jadi kotor, kan”
Kyuhyun meraih tanganku dan tersenyum saat mengamatinya. “Ini tidak lagi
membuatku terusik”
Kupandangi Kyuhyun lekat-lekat sementara ia membersihkan lukaku,
mencari tanda-tanda kekalutan. Ia tetap menarik napas dan menghembuskannya
lagi dengan sikap biasa-biasa saja, senyum kecil yang sama tersungging di bibirnya.
Saat itulah angin berembus kencang menerpa lapangan, menerbangkan rambutku
hingga mengelilingi wajah membuat tubuhku bergetar.
“Baiklah,” ujar Kyuhyun, merogoh ranselnya lagi. “Sudah selesai”
Ia mengeluarkan jaket musim dinginku yang tebal dan memakaikannya
padaku. “Sekarang, beres sudah. Ayo kita pergi berkemah!”
Aku tertawa mendengar nada pura-pura antusias dalam suaranya. Kyuhyun
meraih tanganku yang berplester, dan mulai berjalan ke sisi lain lapangan. Aku
mengamati sekitar, barangkali sudah sampai di tengah jalan, kami belum bisa
menemukan Henry. “Dimana kita akan bertemu Henry dan Hyejin?”
“Itu di sana”
Kyuhyun melambai ke arah pepohonan di depan kami. Dan pada saat itu
keduanya melangkah keluar dengan hati-hati dari balik bayang-bayang. Seharusnya
aku tidak perlu kaget saat melihatnya begitu serasi dengan Hyejin, tapi entah
mengapa aku melihat keduanya lebih dari kata serasi. Sama-sama konyol. Aku
kembali memandang Henry. Lagi-lagi ia terlihat lebih dewasa— tak diragukan lagi itu

141
142

karena aku memang mengharapkannya, tanpa sadar, diam-diam aku pasti


mengharap Henry yang kecil, yang ku ingat, temanku yang santai, yang tidak pernah
menjadi mata-mata Daehyun. Ia melipat kedua lengannya di dadanya yang tertutup
jaket tebal berwana senada dengan apa yang dipakai Hyejin. Barangkali baju
samaan, yang jelas itu membuatku sedikit iri.
Sudut-sudut bibir Kyuhyun tertarik ke atas. “Lihatlah, norak sekali”
“Itu terlihat bagus, tahu...” aku menggerutu.
Benar-benar tidak mengikuti trend.
Kyuhyun mendesah. “Kau ingin?”
“Jika iya, memang kenapa?”
“Song..., kau seharusnya mengatakannya padaku”
Aku tertawa, “Bercanda!”
“Halo eonni, sajangnim” Hyejin menyapa kami saat keduanya sudah lebih
dekat denganku. “Haii”
Kyuhyun tak peduli dengan basa-basi, sikapnya resmi. “Kita akan kemana
setelah ini?”
“Buru-buru sekali” gerutu Henry. Mulutnya bergerak-gerak tidak jelas.
“Henry...”
Ia mengeluarkan peta dari saku samping ransel dan menyerahkannya pada
Kyuhyun. Kyuhyun membuka lipatannya. “Sekarang kita di sini,” kata Henry,
mengulurkan tangan untuk menyentuh titik yang dimaksud. Kyuhyun melihat
petanya dengan seksama selagi aku bercengkerama dengan Hyejin. Aku tidak harus
mengerti bagaimana rute jalan yang akan kami lalui, selagi ada Kyuhyun, kurasa
yang perlu kulakukan hanya mengikut di belakangnya.
“Kira-kira satu setengah kilometer dari sini, kita akan sampai. Aku dan Hyejin
sudah menyiapkan tendanya”
“Terimakasih”

142
143

Kyuhyun sepertinya harus berusaha lebih keras untuk tetap bersikap sopan
di hadapanku. Henry mengangguk tapi bola matanya berputar jengah. Aku
menggandeng tangan Hyejin saat kembali memulai perjalanan dengan Kyuhyun di
belakangku. “Bagaimana kabarmu, hyung?” tanya Henry dari arah depan seraya
nyengir lebar.
Aku menengok ke arah Kyuhyun, bola matanya memutar malas.
“Biasa-biasa saja”
“Kalau hutan sesunyi ini, pasti akan terjadi sesuatu. Hebat juga kau memilih
hari ini untuk berkemah”
“Itu ideku sepenuhnya, oppa” jawabku ikut bergabung.
“Uhmm... kita masih akan jalan?” tanyaku lagi.
Hyejin mengangguk dan seketika itu membuatku mengerang. “Aku bisa
menggendongmu Song”
“Aku saja” jawab Henry cepat. Mataku menatap keduanya aneh, lalu
memandang ke arah Hyejin kikuk. Alisku mengerut terlalu kaget dengan reaksi yang
Kyuhyun berikan padaku.
“Aku hanya bertanya, kenapa berlebihan begitu” jawabku diikuti cengiran.
Aku menarik tangan Hyejin untuk berjalan bersamaku, mendahului para pria yang
kelewat berisik. Rute jalan yang di ambil Henry mulai mendaki dan semakin lama
semakin curam, tapi itu tidak membuatku merasa kelelahan atau menghambat kaki-
kaki Kyuhyun. Dengan enteng aku bisa melompat dari satu batu ke batu lain, seperti
tidak membutuhkan keseimbangan berlebih.
“Pelan-pelan saja, nanti kau lelah”
Aku mengetuk-ngetuk jariku di lapisan jaket yang tebal. “Iya oppa”
Kyuhyun membungkuk, menerobos ditengah-tengahku dan Hyejin. “Hoi,
bisakah aku dengan istriku saja?” bisiknya di telinga Hyejin.

143
144

“Opp...a” tegurku pelan. Belum sempat aku menolak, Hyejin sudah mundur
beberapa langkah dariku. Aku mendongak, memandang Kyuhyun sebentar. “Kenapa
di sini?” tanyaku.
“Aku ingin berjalan bersamamu. Apa itu salah?”
“Tidak”
“Ya sudah, seperti ini kan lebih baik” ucapnya seraya mengaitkan jemarinya
di sela-sela jariku.
“Jangan pernah lupakan ini, ya oppa”
“Tidak” jawabnya singkat.
“Hyung, jangan lupakan kami”
Aku menoleh ke arah belakang, lalu tersenyum mengerti maksudnya. Well...,
kehadiran Henry di tengah-tengah kami tentu bukan tanpa alasan. Ia sengaja
Daehyun kirim padaku untuk menjaga sesuatunya tetap aman. Aku tidak terusik,
tapi itu bisa membuat Kyuhyun naik pitam kapan saja. Bukan hal yang terlalu
mengganggu, tapi itu memang sedikit menyebalkan saat Kyuhyun mulai uring-
uringan hebat seperti sekarang.
“Memangnya ada masalah?”
“Tentu saja. Itu benar-benar menggangguku dan Hyejin”
“Jangan dilihat kalau begitu”
“Hyung!” teriak Henry.
“Ayolah, oppa hanya perlu mengalah” bisikku pada Kyuhyun.
Beberapa menit kemudian, setelah melesat mengitari sisi teduh puncak
berbatu, barulah kami bisa melihat dua tenda kecil berwarna hijau kuning merapat
di muka pegunungan. Di atas suasananya lebih diluar dugaanku, anginya kencang
dan salju mulai turun berjatuhan di sekeliling kami, tapi karena angin bertiup sangat
kencang membuat gumpalan salju tak bisa diam di satu tempat.
“Sepertinya kita harus segera masuk” sahut Henry.

144
145

“Punyaku yang mana?” tanya Kyuhyun. “Yang warna kuning” sahut Henry.
Kyuhyun tidak menyahut, tapi tangannya merangkul pundaku untuk segera
masuk ke tenda yang dimaksud. “Hyung, tidakkah kau seharusnya satu tenda
denganku?”
“Bajingan, kau gila ya?” desis Kyuhyun. Barangkali kelelahan, emosi Kyuhyun
menjadi tidak stabil. Aku melirik ke arah Henry, mencoba mengatakan aku akan
baik-baik saja.
“Aku hanya memberi opsi, tidak perlu marah-marah”
“Kau...,” ucap Kyuhyun menatap Hyejin. “Tidurlah satu tenda dengan si
toyboy ini” sambungnya. Aku tidak melihat bagaimana ekspresi yang Hyejin
tunjukan, barangkali perasaannya sama denganku bahwa tidur dengan pria dalam
satu tenda tanpa ikatan pernikahan memang mengerikan. Aku sudah masuk, di
dalam tenda suasananya lebih nyaman, hangat. Kyuhyun meletakkan ranselnya di
sudut tenda dan duduk berhadapan denganku.
“Kau baik-baik saja?”
“Ya” jawabku singkat.
Henry menunduk menatapku sambil tersenyum. Bagaimanapun kurasa aku
senang sekarang. Itu memang harus dilakukan, dan dapatkah aku memercayai orang
lain untuk melakukannya dengan benar? Lebih baik memastikannya sendiri. Aku
menatap Henry, merasakan kekaguman yang tak terduga-duga pada temanku ini.
ternyata ia lebih dewasa daripada yang kukira. Seperti Daehyun malam itu pada
acara api unggun, Henry juga memiliki keagungan yang tidak pernah kusangka ada
pada dirinya. Kini aku mulai menyadari, bahwa dibalik sikap konyolnya pada
Kyuhyun, ada banyak hal lain yang Henry simpan dengan baik.
Di dalam tenda suasananya lebih hangat. Kyuhyun buru-buru membuka tas
dan mengeluarkan kantung tidur tebal berwarna hijau pekat yang menarikku.
Tangannya yang lihai membuka bagian-bagian yang lain, aku tidak berdusta bahwa

145
146

itupun tak luput dari perasaan terpesonaku. Lama aku diam memperhatikan hingga
itu bisa segera kukenakan tanpa harus mempersiapkannya. “Masuklah, sayang”
“Kau juga,” sahutku.
Alisnya berkerut dan itu membuatku terkekik lucu. Aku melambaikan tangan
untuknya bergabung di sebelahku. “Kau serius?”
“Tentu saja, aku tidak ingin kau mati kedinginan dan menjadi janda yang
belia” sahutku bergurau. “Kau yang meminta ini, Song” jawabnya seraya ikut masuk
dalam kantung tidurku. Tubuh kami saling melekat, dan hangat.
“Ya Tuhan…”
“Kenapa?”
“Diluar salju, sedang disini ada kau”
“Lalu?”
“Aku tidak bisa berkonsentrasi untuk tetap berpikir jernih. Kau tahu?”
“Ooh…” desahku saat tangannya menyentuh bagian bawah tubuhku. Mataku
membelalak, tidak sampai berpikir jika Kyuhyun akan seberani ini padaku. Aku tidak
tahu bagaimana ekspresinya sekarang, tapi kuyakin wajahnya juga memerah sama
seperti yang kurasakan saat ini.
Aku menatap ke pintu tenda, di luar, ada dua orang yang siap memata-
mataiku. Ya Tuhan, jika ini adalah akhirnya, aku benar-benar tidak mempunyai
alasan untuk menolaknya lagi.
“Aku mengeras”
“Oo… apa ya—ng mengeras?”
“Sesuatu yang akan membuatmu mengerang hebat”
“Ah…, yah!” pekikku saat gerakan tangannya semakin kuat mengelus pusat
tubuhku di balik celana lapangan yang kukenakan. Kurasakan tubuhnya ikut
bergerak naik turun di belakangku, dan untuk sesuatu yang mengeras. Aku pantas
merutuki pertanyaanku yang kelewat tolol untuk dipertanyaakan. Kyuhyun

146
147

mengerang di sela-sela desahanku yang semakin mengeras, kuat. Bukan hal yang
mudang memang, bagaimana itu bisa membuatku tidak bisa berpikir jernih.
“Opp… pa”
“Tidak….” suaranya serak.
Aku mendelik hebat. “Tidak Song, aku tidak melakukan apapun, tapi biarkan
seperti sejenak eo. Aku butuh pelepasan”
Mataku merebak panas, memutusakn untuk diam dan mengikuti alur yang
Kyuhyun ciptakan. Terserah ini akan melukai Henry dan Daehyun, asal jangan
Kyuhyun yang merasa tersakiti, aku tidak perlu merisaukan apapun. Miliknya yang
mengeras terus bergerak, menggesek keras bagian luar pantatku. Sesekali
erangannya keluar, menyulut eranganku yang semakin mendebar.
“Oo…h” pekiknya keras.
Aku membuka kedua mataku saat lambat laun Kyuhyun mulai sedikit tenang.
Tanganku mengelus pelan punggung tangannya yang masih berada di area
kewanitaanku. “Sudah?”
“Ya, terimakasih” bisiknya lemah.
®®®
Sorenya aku benar-benar tidak bisa berpikir, hal dalam tanda kutip ‘dewasa’
barusaja kulakukan diluar bagaimana semestinya. Henry terdiam lama sekali. “Oppa
kau menakjubkan” bisikku, tersenyum mendengar pujianku.
Henry memutar bola matanya.
Saat itulah angin mengguncang pepohonan lebih keras di sekeliling kami, dan
rasanya seperti bertiup dari padang es. Bunyi pohon-pohon bergerak bergema dari
gunung. Walaupun cahaya menghilang ditelan awan-awan kelabu yang menutupi
langit, aku masih melihat bercak-bercak kecil putih berkelebat melewati kami. Henry
mempercepat langkah, matanya tertuju ke tanah sekarang saat ia berjalan dengan

147
148

cepat. Aku meringkuk pasrah di dadanya, berlindung dari salju yang tidak terlalu
kuharapkan kedatangannya.
“Eunso...”
“Ya, oppa”
Nadanya membuatku khwatir longsoran saljuku tidak datang cukup cepat.
Aku diam-diam meliriknya, dan benar saja, mata Henry nanar saat ia mendengarkan
sesuatu yang aku lebih suka mati saja daripada itu didengar olehnya. Aku
menundukkan wajahku kembali ke tanah. Aku terperangah saat Henry tertawa
enggan.
“Padahal kupikir akulah yang tidak bisa menjagamu dengan baik” katanya
dengan enggan menyatakan kekagumannya. “Dia membuatku seperti orang bodoh”
tangannya membelai bagian pipiku yang terlihat. “Aku tidak marah padamu, Eunso.
Ternyata Kyuhyun lebih unggul merebut hatimu daripada yang selama ini kukira.
Meskipun aku berharap kau juga menuruti permintaannya”
“Oppa,” aku berbisik ke arahnya. “Aku… aku…”
“Sstt” Henry mendiamkan, jari-jarinya menenangkan di pipiku. “Bukan itu
maksudku. Dia toh akan tetap menciummu, walaupun kau tak terpedaya olehnya—
dan sekarang aku tak punya alasan untuk meremukkan wajahnya. Padahal aku pasti
akan sangat menikmatinya”
“Terpedaya?” gumamku, nyaris tidak bisa dimengerti.
“Eunso, apakah kau benar-benar yakin jika Kyuhyun semulia itu? Bahwa
kedepannya ia akan tetap berbesar hati untuk memberi kesempatan padamu di
kemudian hari? Aku dan Daehyun sudah berusaha melindungimu, mungkin—itu tak
akan ada lagi artinya sekarang”
Perlahan-lahan aku mengangkat kepala untuk menatap matanya yang sabar.
Ekspresinya lembut, sorot matanya penuh pengertian, bukan jijik sepertu yang
pantas kulihat setelah apa yang kulakukan dengan Kyuhyun selepas di tenda. “Ya

148
149

aku benar-benar percaya” bisikku, kemudian membuang muka. Tapi aku sama sekali
tidak merasa marah kepada Kyuhyun karena memperdaya aku. Tak ada lagi ruang
dalam diriku untuk menyimpan hal lain selain kebencian yang kurasakan terhadap
diriku sendiri.
Lagi-lagi Henry tertawa lirih. “Kenapa kau tidak marah padaku?” bisikku.
“Kenapa kau tidak membenci aku? Atau mungkin kau belum mendengar seluruh
cerita yang kulakukan bersama Kyuhyun di tenda?”
“Kurasa aku sudah sangat memahaminya” jawab Henry dengan nada enteng
dan ringan. “Aku membayangkan dengan jelas, bagaimana suaramu dan— Kyuhyun
begitu terdengar hingga telingaku. Aku merasa tidak enak dengan Hyejin, nyaris
seperti aku merasa tidak enak dengan diriku karena tidak bisa menjagamu”
Aku memejamkan mata dan menggeleng-geleng sedih.
“Kau hanya manusia biasa, bukan superhero yang bisa menahan segalanya”
“Itu pembelaan paling menyedihkan yang pernah kudengar”
“Tapi kau memang manusia biasa Eunso. Ada bagian-bagian hatimu yang
sudah menjadi miliknya. Aku sangat mengerti itu”
“Seharusnya aku tahu kau pasti akan menyalahkan dirimu sendiri. Kumohon,
hentikan. Aku tidak tahan mendengarnya”
“Memangnya kau ingin aku bilang apa?”
“Aku ingin kau memaki-makiku sepuas hatimu, dalam setiap bahasa yang kau
tahu. Kau tidak perlu melakukan apa yang Daehyun perintahkan padamu. Aku ingin
kau mengatakan padaku kau jijik padaku karena lancang dengan mencintai suami
Eunbi eonni”
“Aku tidak bisa berbuat seperti itu”
“Setidaknya berhentilah berusaha menghiburku. Biarkan aku menderita. Aku
pantas kok menerimanya”

149
150

Henry terdiam sejenak, dan aku merasakan perubahan suasana, hal


mendesak yang baru.
“Kau tidak perlu mendalami peran”
“Eh, tidak juga”
“Sudah kukira kau pasti tidak memperhatikan. Pancaindramu terlalu tumpul
untuk menyadari perasaanmu”
Aku tidak menanggapi komentarnya, “Sudah lama sekali aku tidak melihatmu
merona malu” katanya menginterupsi dugaan-dugaan yang mengusikku.
“Benarkah?” dalihku. Henry meringis tidak menjawab pertanyaanku. “Kupikir
kau seharusnya tidak gampang dimaanfaatkan orang, dan aku yang mendendam”
Aku mengangkat bahu.
“Kau pasti sering memikirkan peristiwa ini, ya kan?”
“Tidak”
Aku tertawa. “Kalau kau tidak bohong, berarti kau orang paling keras kepala
yang pernah hidup”
“Entahlah kalau aku memang yang terakhir itu”
Aku tidak suka membicarakan hal itu dalam situasi seperti sekarang— ketika
lengannya yang panas memelukku erat-erat tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa
mengenainya.
“Orang cerdas memandang keputusan dari segala sisi”
“Aku sudah melakukannya,” dengusku.
“Beberapa orang memang rela melakukan apa saja untuk menipu diri
sendiri” ucapnya menyinggungku.
“Kadang-kadang memang begiu. Mungkin ivu karena aku yang salah”
Henry mengerucukan bibirnya dengan sikap berpikir. Lalu suasana sunyi
sebenvar, yang verdengar hanya suara varikan napasnya yang verukur angin yang
meraung-raung dipucuk-pucuk pohon di avas kami. Vebing vinggi menjulang di

150
151

sebelah kami, bavu kelabu kasar yang velanjang. Kami mengikuvi dasarnya yang
melengkung keluar dari huan. “Well..., ngomong-ngomong apakah ciumannya
memang sedasyat itu?”
“Aku tidak bisa menilainya, oppa. kyuhyun adalah satu-satunya pria yang
pernah menciumku”
Beberapa menit kemudian, setelah melesat mengitari sisi teduh puncak
berbatu, barulah kami bisa melihat tenda kecil itu merapat di muka pegunungan.
Semakin banyak salju berjatuhan di sekeliling kami, tapi angin bertiup sangat
kencang hingga gumpalan salju tak bisa diam di satu tempat.
“Song...!” seru Kyuhyun, nadanya amat lega. Kami mendapatinya sedang
mondar-mandir gelisah di sepanjang ruang terbuka kecil.
Ia melesat mendekatiku, nyaris terlihat kabur saking cepatnya ia bergerak.
Henry menjengit, lalu menurunkan aku dari gendongannya. Kyuhyun tidak
menggubris reaksinya dan langsung memelukku erat-erat.
“Kau darimana saja!” ucapnya frustrasi.
“Jalan-jalan sebentar dengan Henry oppa”
“Kenapa tidak mengajakku?”
“Kau kan tadi tidur” koreksiku. “Kau bisa membangunkanku, bagaimana bisa
kau meninggalkanku sendiri bersama gadis itu sedang kau bermain-main di
belakangku?”
Aku sedikit ngeri mendengarnya. Tidak merasa tersinggung atas ucapannya.
“Iya, maafkan aku”
“Kau… potong gaji” tunjuknya pada Henry. “WHATTT!? Me-memangnya apa
yang kulakukan?” teriak Henry. Aku memandanginya, dan tersenyum bahwa ia
benar-benar kembali dengan Henry yang menyebalkan di hadapan Kyuhyun.
“Tidakkah kau gila untuk membawa pergi istriku eo?”

151
152

“Ya Tuhan, hyung! Aku hanya pergi mengelilingi jalan setapak di bawah.
Lagipula dia juga teman kecilku, bagaimana bisa kau seposesif ini?”
“Tidak ada penolakan”
“Ya kau hendak kemana sayang?”
“Memasak, maka selagi aku dan Hyejin menyelesaikannya, silahkan teruskan
debat seru yang kalian senggelarakan”
®®®
AKU berbaring telungkup di kantong tidur, menunggu keadilan
menemukanku. Mungkin salju bakal longsor dan menimbunku di sini. Kalau saja
benar begitu, aku takkan pernah atau mau memandang wajahku lagi di cermin. Tak
ada suara yang memperingatiku. Tiba-tiba tangan Kyuhyun yang hangat sudah
membelai-belai rambutku yang sedikit kusut. Aku bergidik penuh rasa bersalah saat
ia menyentuhku.
“Kau baik-baik saja?” bisiknya, suaranya cemas.
“Baik-baik saja”
Angin kembali mengguncang tenda, dan aku ikut berguncang bersamanya.
Temperatur turun drastis. Aku bisa merasakannya menyusup ke dalam
kantong tidur, menembus jaketku. Aku berpakaian lengkap, kaus kaki masih utuh
menempel di kedua kakiku. Tapi, kurasa itu tidak cukup membantu. Setebal apapun
bahan yang kupakai, hawa dingin masih bisa menembus tulang-tulangku. Sesekali
aku merasakan tubuhku gemetar, gigiku saling beradu mencoba membuatku
teralihkan dari rasa dingin yang mematikanku. Kyuhyun sudah lusinan kali berusaha
membujukku untuk pergi secepat mungkin dari tempat ini, tapi aku takut
meninggalkan ideku sendiri. Mataku saling melirik, di tenda sebelah, tidakkah Hyejin
dan Henry juga merasakan apa yang kurasakan?
“Sayang...”
“Aku t-t-tidak aa-apa-apa”

152
153

Lidahku bajkan nyaris tergigit waktu mencoba bicara.


“Song...”
Suara Kyuhyun datar dan lembut. “Minggirlah sedikit, sayang...” perintah
Kyuhyun, tangan-tangannya membuka ritsleting kantong tidurku lebih besar. Aku
menggeleng keras, kupandangi wajahnya dengan memelas. Mataku sudah bisa
menyesuaikan diri dengan kegelapan sehingga bisa melihat bagaimana tangan-
tangan Kyuhyun melepas seluruh pakaian yang melekat padanya. Aku mencoba
bertanya apa yang sedang ia lakukan, tapi yang keluar dari mulutku hanya sekedar
uap-uap kecil, karena tubuhku yang berguncang hebat membuatku gagap tak
terkendali.
“D-d-dingin. T-t-t-tidak”
“Percaya padaku”
Kyuhyun menjejalkan tubuhnya ke ruang sisa yang sebenarnya tak ada,
memaksa menaikkan ritsleting sendiri.
Aku tak bisa menolak lagi— karena memang tidak mau menolak. Tubuhnya
hangat sekali. Kedua lengannya memelukku, mendekapku erat-erat di dadanya yang
telanjang. Panas tubuhnya sangat nyaman, bagai udara setelah terlalu lama berada
di bawah air. Ia meringis waktu aku menempelkan jari-jariku yang sedigin es dengan
penuh semangat di kulitnya.
“Sayang... kau membeku”
“M-m-maaf,” ucapku terbata-bata.
“Bukan masalah, cobalah untuk lebih santai”
Kyuhyun menyarankan saat tubuhku kembali bergetar hebat. Aku meringsut
jauh ke dalam tubuh Kyuhyun, tidak ingin kehilangan kehangatannya sedikitpun.
Tangannya bergerak naik turun di area pahaku, dan dengan tangannya yang lainpula
ia sesekali menyentuh payudaraku. “Sebentar lagi kau akan merasa hangat. Kau
ingin membuka baju?”

153
154

“Song...”
Kyuhyun mendesah. Tangannya naik menyentuh daguku, memutarnya
sedikit lalu setelahnya dapat kurasakan bibirnya sudah menemukan bibirku. Bisa
kurasakan kemarahannya saat bibirnya mendapati dinginnya bibirku, satu tangannya
meraih tengkukku, lalu meremas rambutku. Tangan yang lain menyambar pundakku,
lalu menarikku untuk lebih dekat kepadanya. Tangannya terus meluncur menuruni
lenganku, sampai ke pinggang, lalu melingkarkan tanganku ke lehernya. Kubirakan
tanganku di sana, masih mengepal erat, tak yakin sampai mana aku bisa tetap sadar
supaya bisa terus hidup. Sementara itu, bibirnya, yang lembut dan hangat, berusaha
memaksakan respon dariku.
Sejenak bibirnya berhenti menciumku, tapi aku tahu ia belum selesai.
Bibirnya menelusuri garis rahangku, kemudian menjelajahi leherku. Ia menggeraikan
rambutku, meraih tanganku yang lain untuk dikalungkan ke lehernya seperti tadi.
Aku tidak sempat memikirkan setiap gerakannya yang merasa tak terganggu dengan
kantong tidurku.
Kemudian kedua lengannya melingkari pinggangku, dan bibirnya menempel
di telingaku. “Bibirmu biru” bisiknya.
Aku gemetar saat merasakan giginya menyap daun telingaku. Kyuhyun
kembali mendaratkan bibirnya ke bibirku, jari-jarinya meremas pinggangku dengan
ganas. Sentakan bayang-bayang Eunbi membuat pengendalian diriku yang memang
rapuh jadi kehilangan keseimbangannya. Lalu saat aku mulai bergerak memberi
respon, Kyuhyun tiba-tiba melepas tautan kami. “Aku harus berhenti,”
“Kau tahu kenapa aku harus berhenti?” bisiknya lagi. “Kau tahu aku
menginginkanmu, aku ragu apakah canggung, minder, dan kikuk masuk dalam
kategori menggairahkan dalam anggapan orang lain.
“Maafkan aku”
Akhirnya aku bisa berbicara dengan lancar.

154
155

Bagian dalam kantong tidur kini sudah hangat dan nyaman. Panas tubuh
Kyuhyun seakan terpancar dari setiap sisitubuhnya— mungkin itu karena tubuhnya
yang sangat besar dibanding aku. Kakinya bergerak menyelinap di sela kakiku. Aku
sedikit terlonjak, tapi kemudian menengadah saat Kyuhyun menempelkan pipinya
yang panas ke telingaku yang kebas.
Kusadari kulit Kyuhyun memancarkan aroma seperti kayu— sangat cocok
dengan suasana alam sekitarnya, di tengah hutan sini. Badai mengamuk sepeti
lengkingan binatang menyerang tenda, tapi itu tak lagi membuatku khawatir.
Kyuhyun tidak lagi berada di luar di hawa yang dingin, begitu pula aku. tambahan
lagi, aku terlalu lelah untuk khawatir tentang hal-hal lain, capek karena sudah selarut
ini belum juga tidur, dan sekujur tubuhku sakit-sakit karena otot-ototku menegang.
Tubuhku lambat laun menjadi rileks saat kebekuan mulai mencair, sedikit demi
sediki, kemudian berubah lemas. Barangkali ini juga efek dari ciumannya yang
menggebu-gebu.
“Song”
Kyuhyun berkata lambat-lambat.
“Aku mencintaimu”
“Sekarang, aku tidak bisa meceritakan bagaimana perasaanku. Tidak ada
kata-kata yang bisa mengungkapkannya, terlalu indah”
Lengan Kyuhyun yang memelukku mengejang.
“Kyuhyun, sejak detik pertama aku sadar bahwa aku mencintaimu, aku sudah
tahu hanya akan ada tiga kemungkinan. Alternatif pertama, yang terbaik untukmu,
adalah kalau cintamu padaku tidak lerlalu besar, kalau kau bisa melupakanku dan
bisa melanjutkan hidupmu, aku akan menerimanya, walaupun itu takkan pernah
merubah perasaanku”
“Lalu?”

155
156

“Alternatif kedua, yang kupilih. Adalah tetap bersamamu seumur hidupmu,


sebagaimanapun perasaanmu akan berubah nantinya, aku tetap akan berada
disisimu. Yang ketiga, aku akan memilih keluar dari duniamu”
“Aku suka opsi yang kedua” sahut Kyuhyun.
Aku diam saja.
“Karena dengan aku memilih yang kedua, aku merasa itu akan jauh lebih
aman daripada melihatmu menghilang dari pandanganku”
Suasana akhirnya sunyi, setidaknya di dalam tenda. Di luar, angin memekik-
mekik mengerikan di sela-sela pepohonan. Tenda yang bergoyang-goyang
membuatku sulit tidur. Tali pasak bisa tiba-tiba tersentak dan bergetar,
menyentakkanku kembali dari tepian ketidaksadaran sebelum benar-benar
tenggelam.
Pikiranku berkelana saat aku menunggu diriku tertidur. Ruangan kecil hangat
ini membuat ingatanku melayang ke hari-hari awal pertemuanku dengan Kyuhyun,
dan aku mengenang bagaimana ia menjadi matahariku, kehangatan yang tak pernah
kurasakan selama hidupku.

156
157

BAGIAN TUJUH
London, 21.00.
“Maafkan aku dan Kangin oppa hiks. Please…, kali ini saja” mohon Eunbi.
Nadanya memilukan, bahkan untuk siapapun yang mendengarnya. Tubuhnya
bergetar, entah karena tangisnya yang menggelegar atau ketakutan yang
mendobrak pertahananya.
“Tidak”
“Maafkan a—”
“Akulah yang salah disini hyung”
“Tid—tidak! Aku yang salah, Kangin oppa tidak bersalah sedikitpun”
Kangin memilih diam, mengabaikan ekspresi yang ditunjukkan Eunbi
padanya. Sudah cukup, untuk segala pengorbanan yang gadis itu lakukan untuk jiwa
pengecutnya, semuanya sudah cukup. Sudah bukan waktu baginya untuk berdiam
diri tanpa melakukan apapun.
“Hyung..., aku tahu. Dari segala sisi, dirimulah yang paling mengerti Eunbi
dibanding aku. Eunbi mungkin sering kali bertindak reprensif, tapi... ia juga tidak
akan berbuat hingga sejauh ini tanpa perintahku. Akulah akar dari semua ini. Akulah
yang menyuruhnya untuk meninggalkan Kyuhyun-ssi dan memaksanya untuk
menemaniku disini”
“Tidak oppa! Apa yang kau katakan!”
Kangin menatap Eunbi, memintanya untuk percaya.
“Aku bukanlah pria dengan segudang kekuasaan, sebaliknya aku justru
memiliki sejuta kekurangan. Aku mengaku salah... atas ketidakberdayaanku. Tapi
aku tidak bisa menyalahkan perasaanku untuknya, walaupun itu membuatku gelap
mata untuk melakukan ini semua. Kesalahanku jelas fatal, maka dari itu aku tidak
memintamu untuk memaafkan aku hyung...—” Kangin berhenti sejenak “—Kau bisa

157
158

limpahkan seluruh amarahmu padaku. Karena, dilihat dari sudut manapun yang
pantas disalahkan atas kejadian ini adalah diriku. Maafkan Eunbi, dia hanyalah gadis
yang begitu tidak ingin menolak permintaanku”
Daehyun menggeram marah, giginya saling berkelatuk menimbulkan bunyi-
bunyian yang memekikkan. Rahangnya mengeras tajam. Urat-urat menyembul di
pelipisnya membentuk relief yang menakutkan. Tangannya mengepal kuat,
menahan keras untuk tidak melakukan bentuk kekerasan apapun. Hatinya ingin
sekali memaafkan..., mencoba memahami jalan pikirannya masing-masing. Tapi ia
selalu gagal. Sejak awal hatinya sudah ditutupi emosi yang membara.
“Oppa... hentikan! Jangan menyalahkan siapapun, kumohon jangan. Akulah
yang salah. Akulah yang pergi meninggalkan Kyuhyun-ssi dan meminta Eunso untuk
menjadi penggantiku. Kangin, Kyuhyun, Eunso semuanya tidak berhak mendapat
amarahmu! Kumohon jangan apa-apakan mereka” teriak Eunbi.
Eunbi berteriak marah..., tangisnya sudah menderu-deru, memilukan.
Semuanya menjadi begitu rumit, membingungkan. Sejak awal dirinya sudah mengira
bahwa tak ada akibat dari apa yang telah ia perbuat melewatinya, tapi rasanya tidak
tahu jika akan semenyakitkan ini.
“CUKUP” teriak Daehyun.
Eunbi terkengkit kaget. Matanya menatap nanar Daehyun dengan marah,
well..., jika Daehyun tidak bisa ia hadapi dengan ketulusannya, maka ia juga tidak
akan sudi untuk memintanya lebih. Nafasnya naik turun, dirinya tak akan pernah
takut.
“Berdiri kau” ujar Daehyun.
BUGH
“BRENGSEK”
Dan sekali lagi.
BUGH

158
159

“La—kukan hingga kau puas, hyung” ucap Kangin. Tak ada satu katapun yang
pantas ia lontarkan selain menerima semuanya dengan terbuka. Jikapun ada,
memang apa yang mampu ia katakan? Mencari pembelaan? Tak ada pembenaran
yang bisa menutupi semuanya.
“Berhenti memukulinya, kau bisa membuatnya mati!” teriak Eunbi menarik
kasar tangan Daehyun yang kembali menghatam wajah Kangin. Dadanya naik turun,
perasaan bersalah tidak mampu membuatnya pasrah begitu saja melihat Kangin
diberlakukan tidak adil. Baginya, bahkan untuk hal paling terburuk sekalipun tidak
seharusnya Daehyun bertindak tanpa mendengar penjelasan darinya.
“Aku benar-benar tidak mengerti” pasrah Daehyun.
“Lama aku merenung, barangkali ini adalah karma yang Tuhan berikan
padaku. Aku mungkin terlalu angkuh, menganggap semua yang kulakukan takkan
berimbas pada apapun. Aku bebas bermain kesana kemari tanpa benar-benar
paham jika itu akan membuat kalian menjadi gila untuk mempermainkan Kyuhyun”
“Aku akan bertanggung jawab untuk apapun”
“Apa yang bisa kau tangguhkan di hadapan Kyuhyun, Song? Aku tidak
mengerti bagaimana kalian bisa melakukan ini dibelakangku, yang jelas banyak
pertanyaan muncul ingin memastikan bahwa semuanya bisa berjalan sampai sejauh
ini. Bagaimana ide mengerikan ini mempengaruhimu, dan… bagaimana bisa kau tega
membuat Eunso menangkap singa yang kau keluarkan dari sarangnya?”
Eunbi diam. Tidak tahu tentang hal apa yang harus ia katakana.
“Jelaskan…, jelaskan padaku bagaimana kau bisa meyakinkan Kyuhyun
tentang ini? Jelaskan padaku bagaimana kau bisa menepati janjimu untuk menjaga
Eunso baik-baik saja? Tidak…, kau tidak bisa melakukan itu Song…”
“Aku memang tidak bisa, tapi bisakah kau beri kesempatan untukku
memperbaikinya?”
®®®

159
160

Eunso side’s
“Hari ini apa saja yang kau lakukan?” tanya Kyuhyun.
Tangannya bergerak mengusap rambutnya yang basah. Aku cukup tertegun
dengan penampilannya sekarang, lebih segar daripada sebelum ini. “Tidak ada yang
spesial, aku membersihkan rumah seperti biasa”
Kyuhyun duduk di sampingku, hampir menempel karena saking dekatnya.
Darinya aku bisa menghirup aroma sabunnya yang memabukkan, well... meski kami
menggunakan produk yang sama, bukan berarti hasilnya juga bakal sama jika harus
dibandingkan. Aku merasa..., pembawaan orang akan mempengaruhi apa saja yang
ia kenakan. Aroma Kyuhyun kadang selalu memabukkanku, aku harus menjaga
pikiranku supaya tetap waras untuk tidak berhambur ke dalam pelukannya.
“Song...”
Panggilnya pelan, nadanya lembut menghanyutkanku.
Aku tertegun untuk waktu yang cukup lama saat nama itu keluar dari mulut
Kyuhyun. Song..., itu namaku, walaupun sekedar marga, itu tetap menunjukkan
identitasku.
“Ya... oppa”
Kyuhyun mendekatkan wajahnya ke arahku, tidak terburu-buru tapi cukup
membuatku tidak siap saat menerima ciumannya. Tangannya melingkari pinggangku
yang kecil dan butuh beberapa waktu untuk menyadarkanku bahwa aku sudah
berbaring di ranjang utama. Ciumannya memabukkanku, well..., itu cukup
membuatku malu bahkan berpindah tempat saja aku merasa tidak sadar.
Manik mataku menatap Kyuhyun penuh tanya, darinya aku berusaha
mencari penjelasan atas perubahan atmosfer yang tengah kurasakan. Well..., ini
menggangguku karena terlalu cepat, tidak seharusnya suasana berubah menjadi
seawkward ini. Tidak seharusnya aku menatap Kyuhyun dengan tatapan paling
bodoh yang pernah kumiliki. Keadaannya menjadi begitu berbeda dan kurasa

160
161

memang tak ada alasan bagiku untuk tetap baik-baik saja. Tangan Kyuhyun
bergerak, dengan gelayar yang dibuat-buat di sekitar kewanitaanku. Aku bukan tidak
memaklumi tentang hal-hal yang biasa seperti hasrat yang menggerayanginya
sekarang, tapi..., ini bukan kewajibanku. Gila saja kalau aku benar-benar
menurutinya.
Tubuhku sedikit bergetar, bahkan aku bisa merasakan betapa kerasnya
jantungku berdetak tak karuan. Ini jelas gelayar aneh, lebih kepada pertanda bahwa
ada sensasi baru dalam tubuhku. Sensasi asing yang tak pernah kurasakan akibat
sentuhan pria. Dan boleh jadi, aku memang benar-benar lugu. Well..., aku tidak akan
bereaksi seberlebihan, jika saja atau seandainya saja elusan yang Kyuhyun berikan
hanya sekedar di pucuk kepala atau sebatas kedua lengan tangannku. Aku bisa
memaklumi itu, asal itu memang bisa di maklumi oleh pola pikir logikaku. Secara
umum, seharusnya aku merasa dilecehkan, atau setidaknya aku bisa mengumpulkan
setiap emosi dari kemarahanku untuk menyingkirkan tangannya sejauh mungkin. Itu
seharusnya jika aku memang wanita normal, tapi... akal sehat memang selalu
menjauhiku.
Aku terkesan diam, membiarkannya mengekploitasi lebih jauh tanpa harus
terhalangi oleh reaksiku. Aku sadar..., sejak awal logikaku sudah kalah, mau aku
diberlalukan seperti apapun, asal Kyuhyun senang..., aku juga hanya akan diam.
Menurutinya.
Lama aku terdiam, ini...
Lembut dan terkesan kasar.
Aku mencoba menyimpulkan bagaimana rasanya. Tangannya yang besar
membuatku berpikir bahwa itu bisa menangkup semua bagian tubuh bawahku.
“Kyuhyun!” pekikku.
Aku akan mati, sekarang.

161
162

Sebenarnya aku juga tidak bisa dibilang terlalu lugu untuk hal-hal semacam
ini. Sedikit banyak aku mengertinya sebagai pengetahuan, bukan sebagai
pengalaman yang pernah menderaku. Toh lagipula sebelum ini Kyuhyun juga sempat
menggerayangiku meski itu cenderung gagal. Hanya ada teori di sana, tanpa paham
bagaimana aku harus memuaskan pria dewasa seperti Kyuhyun. Aku tidak bisa
untuk merasa bahwa ini adalah jalan takdirku, waktu dimana aku harus kehilangan
semuanya.
“Jariku, sayang”
Alisku mengernyit tajam, mencoba menerima jemarinya yang panjang untuk
memasukiku. Tangannya yang satu ia gunakan untuk melucuti beberapa pakaianku
tanpa membuatku merasa terusik. Entah itu karena aku yang terlalu fokus terhadap
rasanya atau memang gerakan Kyuhyun yang lihai, yang jelas aku tak merasa
terganggu sedikitpun. Atau bisa jadi itu karena kinerja otakku yang mendadak
lambat hingga tidak mampu merasakan ada gerakan lain selain gerakan tangannya
yang menusukku.
Rasanya..., aneh.
Aku mengerti, tidak mungkin aku merasa nyaman saat sesuatu yang asing
memasukki bagian tubuhku, tapi... aku juga tidak tahu jika akan seaneh ini.
“Sakit... pelan sedikit” usulku saat kurasa dua jari panjang itu mulai bergerak.
Ada gelayar yang baru lagi, aku tidak bisa mengatakannya sama, karena keduanya
berbeda dari apa yang ia lakukan sebelum ini.
“Ini jalan yang sedang kubuat”
“Jalan apa?”
Kyuhyun memilih diam daripada menjawab pertanyaanku. Aku menatap jauh
ke arah retinanya saat ucapanku benar-benar di abaikan. Kyuhyun tidak berhenti,
dan aku mungkin tidak bisa mentoleril gerakannya yang justru semakin cepat di
bawah sana.

162
163

Aku benar-benar dibuat tak berdaya.


Aku...,
Sejak awal aku tidak pernah mengerti bahwa gerakan jari di bawah sana akan
terasa semenyenangkan ini. Walaupun aneh, aku tetap tidak bisa memungkiri jika
aku menikmatinya. Aku mencoba menggigit kedua bibirku, berusaha membuat
keduanya tetap tertutup, tapi aku sering kali gagal. Suara-suara bernada yang
membingungkan keluar dari sudut-sudut bibirku dengan intonasi rendah, tinggi, dan
seterusnya,
“Oo... mendesah yang keras sayang”
Aku menatap eskpresi yang Kyuhyun tujukkan padaku, matanya sayu sesekali
kedua alisnya mengernyit tajam, “Tidak apa-apa?”
“Oo, Tidak ada yang melarangmu”
Sesuatu semacam gelombang besar datang padaku..., aku tidak tahu ini apa
tapi sensasinya mampu membuat sekujur tubuhku mengang hebat. Sesuatunya
menjadi tak terkendali, begitupun gerakan jari Kyuhyun yang semakin tak karuan.
Tanganku turun menggapai pergelangan tangan Kyuhyun, memintanya untuk
berhenti sejenak supaya aku bisa lebih tenang.
“Keluarkan, sekarang”
Mataku terbelalak, bukan karena tubuhku yang semakin bergetar hebat.
Tetapi lebih karena ucapannya yang seolah mengerti dengan apa yang kurasakan.
Jadi..., gerakannya yang cepat ia gunakan untuk menolongku?
“Kyuhyun! Ti—dak”
Aku berteriak keras, tanganku meremas kuat di bawah sana saat sesuatu
yang cair keluar dari pusat tubuhku, sangat banyak. Well... ini saatnya serangan
panik menderaku bertubi-tubu, aku tidak sempat waktu untuk menikmati sisa-sisa
cairan yang masih keluar. Aku bangkit dan menarik dua jemarinya keluar dari
tubuhku, “Maafkan aku, aku... tidak tahu akan mengotori jemarimu oppa”

163
164

Ekspresinya sukar kubaca. Bibirnya bergerak membentuk senyum lebar yang


mengagumkan. “Kenapa minta maaf?”
“Jarimu basah, karenaku”
Kyuhyun tertawa keras, sedang aku mengernyit bingung. Hidungku
mengernyit, berusaha mencari-cari alasan di balik tawanya yang meremehkanku.
Aku menunduk untuk melihat seberapa banyak cairan yang keluar, dan itu berhasil
membuatku kaget saat mengetahuinya. Warna spreinya yang hijau pekat
membuatnya semakin terlihat jelas. Mataku kemudian beralih ke dua jarinya yang
tadi memasukkiku, basah... berkilauan.
Aku meneguk ludah susah payah.
“Itu..., biar ku bersihkan oppa”
“Mau membersihkan?”
Aku mengangguk cepat, mendekatakan tubuhku yang telanjang ke arahnya.
“Tapi, aku ingin membersihkannya sendiri”
“Ba—baiklah oppa”
Well... jika itu yang ia inginkan, aku tidak bisa memaksa. TAPI...
Aku mundur beberapa senti, “Oppa...,”
“Nikmat, sayang” ujarnya. Pikiranku buntu, ingin menanyakan lebih jauh tapi
aku juga tidak ingin terlihat terlalu bodoh di hadapan Kyuhyun. Mulutnya menghisap
kuat, seolah hanya ada tetesan saus di jemarinya, bukan sesuatu yang keluar dari
tubuhku. Aku tidak membenarkan, tapi mungkin juga ini memang biasa dilakukan
sebagai permulaan.
Kyuhyun mendorong tubuhku untuk kembali telentang. Tangannya mengelus
pelan sesuatu di balik celananya yang hitam, aku tidak ingin melihat, lalu berbisik
pelan di telingaku, "Sayang" panggilnya.
Aku diam...
Tahu akan ada beberapa kalimat lain setelahnya.

164
165

“Bolehkah aku meminta hakku?” tanya Kyuhyun.


Petir menyambar tepat di jantungku. Langit seolah hancur berkeping-keping
di atasku. Ini lebih mengerikan daripada perang dunia ke satu, dua, atau bahkan
lebih mengerikan dari phobiaku. Terserah dengan permintaan Kyuhyun, sungguh
demi apapun ini membuatku tercengang. Jika aku menang, aku bisa menolak
Kyuhyun dengan alasan rasional, tapi jika aku kalah, aku akan jatuh kepada lubang
neraka yang kubuat sendiri. Aku sudah mewanti-wanti ini akan terjadi, dan
sepertinya aku harus mengatakan iya untuk percobaan ke enam kalinya.
“Aku menginginkanmu, sayang”
Aku..., tidak mungkin mengorbankan masa depanku untuk Kyuhyun.
Aku..., tidak mungkin menyerahkan semuanya pada sesuatu yang tabu.
Tapi...,
Mendengar permintaannya yang bernada lembut, membuatku mampu
menyerah bahkan sebelum bertanding. Benteng pertahananku hancur. Aku merasa
tidak pantas menolaknya yang sudah membuang harga diri seperti ini. Well..., aku
mungkin bodoh tapi aku meyakinkan diri untuk tidak menyesal atas keputusanku.
Aku mungkin terkesan murahan, tapi... untuknya yang ku cintai, aku bisa melakukan
apapun. Bahkan untuk menghancurkan diriku sendiri.
“Jika kita benar-benar melakukannya, apakah aku benar akan menjadi
milikmu?”
“Sedari awal kau memang milikku”
Aku buru-buru mengganti pertanyaanku.
“Kau akan jadi milikku?”
“Selamanya aku akan menjadi milikmu”
Maafkan aku...
“Bolehkah...?”
“Oo. Kita akan melakukkannya”

165
166

Aku tidak akan menyesal. Untuk apapun yang akan terjadi nantinya, aku
benar-benar tidak boleh menyesal. Ini keputusan terakhirku, bulat.
Eonni, akhirnya aku menyerahkan semuanya.
Kau bilang aku tak perlu berkorban apapun, kau bilang ia tak akan melaukan
ini padaku. Well..., aku tak akan menyangkal. Aku akan mengikuti apa yang harus
kulakukan, entah aku akan meanng atau kalah. Setelah ini, akupun tak akan
membiarkannya pergi dariku. Tidak peduli dengan status yang mengikat kalian, aku
benar-benar akan membuatnya jadi milikku.
“Benarkah?”
“Ya..., tapi... ini pengalaman pertamaku, oppa”
“Aku tahu...”
“Well..., karena ini pertama bagiku. Bolehkah aku bertanya?”
“Apapun itu”
“Selagi kita melakukannya, apa yang harus aku lakukan?”
“Meniduri daun muda memang sepolos ini ya?” jawabnya balik bertanya.
Aku cukup tersinggung, meski keadaannya memang seperti itu.
“Jawab saja...”
“Teknisnya, tidak perlu melakukan apapun. Cukup terima setiap sentuhanku”
Aku mengangguk mengerti, setelahnya tak ada lagi obrolan yang keluar. Aku
mengikuti arah pandanganya yang tertuju ke bagian depan dadaku.
“Jangan melihatnya seperti itu. Aku malu”
“Tidak perlu malu, sayang”
Aku mengerang, memilih menutup mata dan merasakan bagaimana
tangannya mengelus pelan sesekali meremas dadaku. Tangannya yang besar, terasa
berlebihna jika harus dibandingkan dengan milikku yang kecil. Tapi..., kurasa
Kyuhyun tidak terlalu mempermasalahkannya. Aku menggeleng pelan, aku tidak

166
167

harus memikirkannya lebih jauh, karena... kupikir aku seharusnya memikirkan diriku
sendiri akan bahayanya suar-suar yang keluar dari sudut bibirku.
“Kyuh—hyun!”
Aku tidak bisa berhenti, bahkan ketika aku menahannya kuat, suar-suar itu
semakin keras terdengar. Aku menatap wajah Kyuhyun, tapi ekspresinya masih tetap
sama.
“Aku tidak bisa diam, oppa... Apa memang seperti ini?”
“Keluarkan saja, tidak apa-apa”
Aku mengatupkan mata rapat-rapat, bukan karena gerakannya di dadaku
yang semakin tak berturan. Ada alasan lain lebih mendorongku untuk tidak
membuka mata lebar-lebar, well..., aku tidak siap. Itu terlihat mengerikan untukku.
Bagian tubuh Kyuhyun, lebih mengerikan dari apa yang kubayangkan. Dan... jika
jemarinya yang kecil saja sudah bisa menyakitiku, bagaimana rasanya jika miliknya
yang besar juga ikut masuk?
“Buka matamu...”
Aku diam, bahkan suaranya yang serak juga terdengar mengerikan sekarang.
“Tatap aku Song, aku akan memasukimu”
“Kyuhyun...”
“Ini akan sakit, terlebih untukmu yang masih perawan”
Aku menelan liur paksa, aku ingin mundur... tapi ini juga keputusanku sendiri.
“Iya, sa—kit”
“O... tahan sebentar. Ini sudah setengah jalan, akan lebih sakit jika aku
menariknya mundur. Jadi bertahan sebentar ya?” bujuk Kyuhyun.
Matanya menatapku lekat yang menahan perih, dari tatapannya aku isa
merasa Kyuhyun sedang mencoba menyalurkan kekuatannya padaku.
Aku... memekik keras dalam bungkaman ciuman Kyuhyun.
Ini, menyakitkan.

167
168

Sesuatu telah robek di bawah sana dan aku bisa merasai sakitnya hinga ke
kepalaku. Muka mataku memanas, aku tidak ingin menangis, tapi... aku juga tidak
bisa menahan air mata keluar dari sudut mataku. Ini terlalu menyakitkan, sungguh.
“Terimakasih” bisik Kyuhyunnya saat semuanya telah masuk memenuhiku
dengan sepenuhnya.
Aku tidak memperhatikannya lebih lanjut.
“Song..., jangan menangis sayang. Kumohon...”
Aku menatapnya nanar, emosi mendadak menyerangku dengan perasaan
marah dan egois. Perasaan ingin memiliki Kyuhyun berubah menjadi boomerang
hebat dalam benakku. Aku menjad begitu egois untuk menyimpannya secara
pribadi. Lagipula..., Eunbi tidak lagi mencintai Kyuhyun, lalu untuk apa aku tetap
bertahan baik memerankan peran?
Aku menghembuskan napas keras, “Aku sudah memberikan semuanya
padamu. Hatiku, kehormatanku, semuanya tanpa sisa. Lalu... dengan
pengorbananku yang seperti ini, bisakah kau juga melakukan hal yang sama
untukku?”
“Kau akan mendapatkan semuanya, hatiku, jiwaku, bahkan bisa memiliki
seluruh duniaku. Bahkan jika aku tidak bisa memberikan dunia beserta isinya, aku
tetap bisa memberikan duniaku padamu”
“Aku ingat janjimu. Saranghae”
“Aku lebih mencintaimu”
Aku mengangguk menjawab isyarat matanya. Aku tak lagi ragu untuk
memulainya kembali, aku tak lagi ragu untuk mencintai Kyuhyun dengan segala
dayaku. Ini mungkin menyalahi aturan, tapi... sejak awal semuanya sudah di luar
batas normal, jadi... kurasa membelokkannya sekali lagi juga bukan suatu masalah
besar.
®®®

168
169

Kyuhyun side’s
Ketika aku terbangun, aku berusaha berkonsentrasi menyesuaikan mataku
dengan sinar-sinar di sela-sela tirai. Aku sama sekali tak menanti-nantikan fajar, dan
ini melebihi sesuatu yang tidak kuharapkan. Tentu saja ada alasan-alasan tentang
penolakanku ini, malamku... bisa berlalu lebih cepat, dan aku tidak terlalu setuju.
Lampu kamar masih menyala, aku menggulingkan tubuh dan berbaring telentang,
dengan ia tak berkutik dalam lenganku. Aku tersenyum simpul, malam itu aku tidur
tanpa mimpi meski aku kelelahan karena suatu hal yang kulakukan bersama nona
Song. Aku tidak bisa menyangkal, bahwa itu adalah malam terindah dari sekian
banyak malam indah yang menyelamiku.
Pikiranku berputar-putar dipenuhi bayangan yang tak bisa kuhilangkan, dan
beberapa yang kucoba enyahkan. Semuanya terlihat jelas, dan itu berakibat fatal
untuk sarafku. Ada tiga hal yang kuyakini kebenarannya. Pertama, ia adalah duniaku,
semestaku. Kedua, ada sebagian dirinya, dan aku tak tahu seberapa kuat bagian itu,
yang membuatku kadang bertanya-tanya. Dan ketiga, aku jatuh cinta padanya,
tanpa syarat, selamanya. Aku tidak ingin menyangkal jika aku telah diperbudak oleh
kehadirannya. Bagiku..., itu hal yang wajar jika kami saling mencintai.
Aku berdebat dengan bagian diriku yang yakin bahwa semalam bukanlah
mimpi. Logika tak berpihak padaku, ataupun akal sehat yang mampu membuatku
berhenti memikirkannya. Aku bergantung pada bagian tubuhnya yang tak mungkin
cuma khayalanku— seperti aroma tubuhnya. Aku yakin takkan pernah bisa
melupakannya dengan usahaku sendiri.
Diluar jendela cuaca gelap dan berkabut, benar-benar sempurna. Cuaca di
luar berkabut lebih dari biasanya, udara nyaris tertutup kabut. Aku menarik selimut
lebih tinggi, setinggi leher untuk menjaganya tetap hangat. Aku memutuskan untuk
membersihkan diri selagi menunggunya bangun. Kakiku berayun di lantai, dan
bangkit sepelan mungkin. Saraf-sarafku terasa hidup setelah lama mati tanpa

169
170

sentuhan. Well..., ini memang bukan pertama kalinya bagiku... tapi aku bisa
menjamin bahwa ini adalah hal yang paling menakjubkan seumur hidupku.
Tubuhnya bagai candu, dan aku tidak akan berhenti di kali pertama. Ini mungkin
bukan yang pertama bagiku tapi aku berani jamin jika ia adalah yang terkahir bagiku.
Sesudahnya aku membersihkan diri, kuoutuskan untuk membuat enchiladas
ayam untuk sarapan. Masaknya lama, dan itu membuatku sedikit kesulitan dan
bosan. Ketika aku sedang menumis bawang dan cabe, aku merasa dorongan kuat
untuk menyelesaikannya dengan cepat. Aku nyaris saja membuatnya asal, tapi... aku
mengurungkannya kembali.
Aku berusaha berkonsentrasi membuat sesuatunya se ideal mungkin,
terutama saat mengiris daging ayamnya tipis-tipis. Tanganku memasukkan beberapa
peracik ragu, mencoba meyakini bahwa keputusanku untuk memberikan sesuatunya
sesuai takaran adalah benar. Butuh waktu sekitar limabelas menit saat enchiladas
ayamku benar-benar matang di oven. Aku menatapnya lama, sembari
membandingkan hasil dengan apa yang menjadi pedomanku. Well..., aku
sebenarnya sedikit ragu. Tapi saat aku mencoba mencicipinya, rasanya tidak terlalu
buruk.
“Selesai...”
Aku menaiki tangga dengan perlahan.
“Sayang...” panggilku.
Aku melirik jam dan mendapati jarumnya yang menunjuk pukul sembilan
KST, keadaan di luar benar-benar mengelabuhiku. Aku berjalan dan duduk
menyamping seraya menyentuh kakinya yang tertutupi selimut. Seharusnya..., ia
sudah harus bangun. “Hei... bangun dulu”
Aku tidak tahu mimpi apa yang sedang menderanya hingga ia mampu
melewatkan paginya lelang. Aku mencoba tetap tenang saat kepanikan mulai
menyerangku. Aku merasakan sekelumit perasaan ngeri saat tanganku menyentuh

170
171

potongan lehernya, panas. Aku bangkit sedikit berlari menuju walking closet dan
menemukan apapun yang bisa aku kenakan untuk menutupi tubuhnya yang
telanjang. Tanganku gemetar, bukan karena sensasi seperti dimana aku mengejang
karena memandangi tubuhnya yang terbuka, aku tahu ini adalah bentuk dari
ketakutaku semata.
Pikiranku kacau, panik, semuanya menjadi satu tanpa bisa kusortir satu per
satu. Aku mungkin bisa saja berbuat tanggap, tapi... aku sendiri dilanda kepanikan
hebat.
“Ya Tuhan, sayang. Bangun ya?”
Aku menepuk pipinya pelan. Lama aku menyadari, barang kali ini hanyalah
tipuan, tapi ia terlihat pucat, tidak sehat. Kulitnya yang cantik, being nyaris
transparan menjadi tak berwarna. Well..., aku terpaksa untuk membohongi diri
bahwa keadaannya sekarang hanya efek dari kelelahan karena percintaan kami
semalam. Bukan secara psikis saja aku mengakui itu, dan aku benar-benar tidak akan
memaafkan diriku jika memang kesenanganku berdampak fatal.
Barangkali tidak akan begini akhirnya jika aku lebih menahan hasratku untuk
berhenti. Tapi... secara fisik saat itu aku juga tidak sadar. Aku terlena tanpa mengerti
apa yang kuyakini akan menyenangkan justru akan berakhir menyakitkan.
Oo shit!
Aku menyambar ponsel di atas nakas dengan cepat. Mencari sesuatu yang
bisa membantuku dan segera mendialnya buru-buru. Nada dering yang berbunyi
membuatku tidak sabaran.
Yeobseyo
Oo
Hyung..., aku butuh bantuanmu
Aku bisa mendengar suaraku gemetar.
Siapa yang sakit?

171
172

Istriku.
Ada masalah apa?
Cepatlah, aku tidak ada waktu. Duapuluh menit, tidak! Sepuluh menit kau
tidak ada dihadapanku, maka... aku tidak janji untuk membuat rumah sakitmu baik-
baik saja
Aku menekan tombol merah tanpa perlu mendengar keluhannya lebih jauh.
Tidak ada waktu... aku tidak tenang, dan demi membuatku sedikit lupa akan
kepanikanku, aku berlari-lari kecil sembari menatap jendela beberapa kali. Pikiranku
buntu..., aku seperti orang sinting.
“Apa yang kau lakukan?”
“Hyung!”
Aku bangkit dari gerakanku, “Periksalah...”
Siwon hanya diam sesekali tersenyum simpul. Well..., ekspresinya
membuatku menggeram marah. Dokter waras mana yang senang melihat pasienya
terkapar lemah? Aku mencoba menghembus napas kasar, memegang kedua
jemariku erat-erat menahan untuk tidak menghantamnya sekeras mungkin. Emosi
begitu, aku tetap tidak mampu untuk tidak berdekatan dengan Siwon. Mataku
mengawasi gerak-geriknya yang takut menyimpang.
Dokter cabul!
“Cantik sekali”
“Bajingan mulutmu!”
“Hei..., mulutmu yang kotor!”
Aku mengabaikannya, bisa gila jika aku terus-terus berdebat. Aku melihat
napasnya naik turun, dan mendesah lepas. “Ada apa?”
“Kalau mau bercinta juga yang biasa saja”
“Bagai—mana kau tahu?”

172
173

Siwon mengangkat bahu pelan, ekspresinya benar-benar meremehkan. Jelas


itu sebuah bentuk penghinaan untukku.
“Kasurnya yang kusut..., noda darah pekat di ujung selimut, sisa aroma
bercinta yang mendebarkan... bukti apa lagi yang harus kuberikan padamu?”
“Sinting”
“Lengannya yang memar, itu pasti karena cengkeramanmu yak an?”
Aku menelan ludah kasar.
“Banyak mulut! Cepat katakan padaku apa yang terjadi?”
“Well..., aku tahu kau pria dengan libido yang tinggi. Tapi tidak seperti ini
juga. Di pengalaman pertamanya, tidak seharusnya kau bisa memborbadirnya
semalaman suntuk, itu benar-benar hal yang mengerikan untuk seorang gadis, kau
tahu!”
“Apa... apa itu berdampak buruk?”
“Aku tidak tahu seberapa lama kalian melakukannya, yang pasti gadis itu
kelelahan Cho Kyuhyun”
“Iya... maafkan aku! Lalu bagaimana kondisinya bajingan!”
Jawabku tidak sabar.
“Tidak sabaran sekali!”
“Aku tidak ada waktu bermain-main”
“Baiklah... baiklah. Apakah ia tidur dengan keadaan telanjang? Kalau iya,
berarti sebab itulah yang membuatnya demam”
“Ya”
“Well... jika benar seperti itu, kusarankan... setelah selesai. Jika ia ketiduran,
pakaikan baju padanya”
“Perlukah dia dirawat di rumah sakit?”

173
174

“Tidak. Ia hanya demam, nanti malam atau besok bisa segera pulih. Jadi kau
tenang saja oke? Tidak perlu khawatir. Tapi jika kau ingin aku merawatnya, aku bisa
senang hati menurutimu”
“Cabul”
“Kau lebih cabul dariku”
Aku mengembus napas kasar. Orang waras..., harus mengalah, Kyuhyun.
“Igoo, aku berikan vitamin. Berikan ketika sesudah makan”
Aku mengangguk dan menerima obat yang Siwon berikan dengan patuh.
Membacanya sekilas meski aku tidak berakhir dengan kepahaman.
“Terimakasih”
“Tumben berterimakasih padaku...”
“Please... aku sudah menahan untuk tidak membunuhmu sejak tadi”
“Mukamu seperti anjing ketika marah”
“Bajingan, cabul!”
Siwon tertawa lepas. Aku tidak benar-benar merasa marah padanya. “Well...
aku tidak bisa berlama-lama disini, jam sebelas nanti ada jadwal operasi. Jadi,
berikan obat itu”
Aku mengangguk. “Ya sudah sana pergi”
“Lagipula siapa juga yang ingin berlama-lama di sini” nadanya menggelegar.
Aku acuh, mungkin hubungan kami terlihat aneh di sebagian besar orang.
Untuk hubungan darah yang melekat di antara kami, apapun tentu bisa ditoleransi
lebih jauh. Aku tidak menampik bahwa sesuatunya memang terlihat konyol, di lihat
dari sisi manapun interaksiku dengan Siwon tetap tergolong aneh. Itu yang
kupikirkan, lain lagi dengan Siwon, dan aku tidak tahu. Di usia kami yang hampir
memasuki empatpuluh tahun, dimana usia itu benar-benar memuakkanku karena
terlalu tua. Hubungan kami tidak jauh beda dengan pergaulan anak belasan tahun,
tidak pernah akur, tapi saling meyayangi mungkin.

174
175

Bajingan...
Aku menggeleng kepalaku keras. Aku bergidik ngeri membayangkan betapa
jijiknya diriku barusan. Tetapi sesudahnya aku tertawa pelan. Aku meletakkan
obatnya di atas nakas dan kembali duduk menyamping. Mataku mengamati setiap
inici dari tubuhnya yang putih, kemudian fokus pada kedua lengannya.
Siwon benar...
Itu memar.
Aku menghembuskan napas pelan, sadar akan kebodohanku yang melebihi
batas. Hanya karena napsu binatangku, aku tidak seharusnya berbuat hingga seperti
ini. Well..., aku hanya terlalu mengedepankan ego dibandingkan perasaanku.

175
176

BAGIAN DELAPAN
Kyuhyun side’s
Suara napas yang tersengal-sengal memenuhi ruang dimana aku bisa
mendengarnya dengan jelas. Aku menyadarkan kepala dipunggung sofa sembari
menahan napas untuk tidak terdengar menggebu keras. Tanganku memegang
lembut pinggang ramping miliknya, memandunya bergerak sesuai apa yang
kuharapkkan. Aku menggeram keras dengan sensasi yang baru saja kudapatkan,
milikku, dengannya ada di atasku, membuatku mampu mencapai batas akhir
pencapaianku. Aku tidak bisa memungkiri bagaimana kenikmatan ini
membelungguku, membuatku sinting, tak bisa berpikir selain apa yang kurasakan
sekarang. Pun..., jika sedari awal aku mengetahui posisi ini begitu menakjubkan, aku
akan memintanya lagi. Lebih lama sampai aku benar-benar merasa terpuaskan.
Dadanya yang tak terutup apapun menggantung indah di hadapanku,
sesekali rambutnya yang panjang memang menutupinya. Aku seperti hilang akal,
kenikmatan ini sungguh mematikanku. Milikknya menghimpitku dengan sensasi
yang mendebarkan, terlebih saat gerakannya maju menubrukku hingga rasanya
kepalaku ingin pecah. Aku tidak tahu... milikku yang lugu, terlebih polos mampu
membuatku mabuk kepalang. Tangannya sesekali mencengkeramku saat milikku
menembus titik terdalamnya. Nafasnya menderu, menyapu bahuku dengan kasar.
Dan... ini menimbulkan rangsangan lain, rangsangan baru untukku.
Perasaan ini benar menekankan bahwa pepatah usaha tak pernah
mengkhianati hasil bukanlah kata-kata belaka. Bayang-bayang bagaimana sulitnya
aku membawanya dalam pangkuanku melesat di hadapanku. Aku harus
membujuknya lebih, meyakinkan bahwa tak ada sesuatunya yang mampu membuat
ia tidak nyaman. Aku perlu mengerahkan usahaku berlebih hanya untuk
mendapatkan apa yang ku inginkan. Dan... aku tak menyesal. Dengannya...

176
177

kenikmatan menghampiriku dengan perasaan yang menggebu-gebu. Untuk apapun,


untuk ocehannya, untuk rengekannya, terbayar sudah dengan perasaanku.
Aku mendongak untuk melihat ekspresinya, matanya sayu, pipinya merona
merah, dan gerakan bibirnya yang sesekali tergigit oleh gigi depannya. Intinya
keseluruhan dari wajahnya selalu membuatku terpesona. Sexy..., mendebarkan, aku
merasa tak ada yang bisa memalingkan tatapanku sekarang. Tanganku menyentuh
bahunya yang halus, lalu naik menyurukkan di sela-sela rambutnya yang hitam.
“Lelah?” tanyaku lebih kepada pertanyaan retoris tanpa jawaban.
Ia mengangguk pelan, tapi tetap tidak berhenti karena tuntunanku. Aku
mencondongkan wajahku, mengecup ujung dadanya yang merah menegang. “Ja—
ngan”
Aku memilih untuk meneruskan daripada harus menuruti satu dari kata yang
ia ajukan. Mataku menatap ke arah dimana pusat tubuh kami saling menyatu.
Gerakannya menimbulkan suara bernada yang memabukkan. Aku mengangkat
tubuhnya lalu menjatuhkannya lagi dengan gerakan cepat saat sadar pelepasan akan
menghampirinya. Menghampiriku untuk kesekian di sesi sore ini. Perutku
mengejang, kupu-kupu seakan bertebaran di atas sana. Aku mencoba meredam
desahanku meski sering kali itu gagal.
“Tahan, tahan sebentar sayang” pintaku.
Ia mengangguk pelan seraya tersenyum. “Eo... aku tunggu”
Aku tertawa disela-sela gerakanku. Ucapannya secara implicit tidak bisa
dikontradisikan dengan keadaanku sekarang. Kalimatnya lebih terkesan ke hal-hal
yang memang pantas ditunggu, ditunggu kepulangannya atau apapun itu, kalimat
aku tunggu bukanlah hal yang pas untuk diinterpretasikan. Well..., tetapi aku selalu
menghargainya. Aku menghargai kepolosan dan keluguannya yang rupawan.
Kami melenguh hebat saat pelepasan itu akhirnya bisa dibebaskan tanpa
halangan. Nafasku naik turun, sesekali menghelanya panjang sebagai pertanda

177
178

bahwa ini adalah pelepasan yang hebat. Meski tak ada pelepasan yang tidak hebat,
aku tetap menganggap ini adalah pelepasan yang paling hebat. Aku perlu mencoba
beberapa posisi lain untuk menggeser puncak kenikmatan dari posisi sebelumnya.
Dirina lebih parah. Napasnya lebih naik turun dari apa yang kurasakan. Aku
menariknya agar jatuh dalam pelukanku. Tanganku bergerak membenarkan helaian-
helaian rambutnya yang berantakan, lalu mengikatnya tinggi-tinggi.
“Kau memang hebat”
“Itu karena oppa tidak berhenti mengajariku”
“Aku tidak ingin menyangkalnya”
“Lelah sekali”
“Oo, istirahatlah sebentar” usulku.
Aku melirik jam dinding di atas rak, dan tersenyum kemudian. Keputusanku
untuk mangkir dari kantor seawal mungkin bukanlah hal yang merugikan.
Dengannya..., aku bisa merasai dirinya lebih lama, aku bisa menghabiskan waktu
jauh lebih lama daripada aku harus berkutat dengan pekerjaan kantor sampai
malam. Well..., ini membuatku merasa ingin lebih memajukan jam kepulangku.
Masih dengan ia di pangkuanku, tubuhku maju mengambil ponsel di atas meja.
Eunso tidak terusik, atau lebih tepatnya malas untuk melakukan pergerakan lain.
Jariku dengan cepat mengetikkan beberapa kata di sana.
Belikan beberapa makanan untukku.
Aku menekan tombol send sesegera setelah selesai. Aku harus cepat
bertindak sebelum Eunso benar-benar sadar akan kelelahannya.
“Sayang..., pakai baju dulu baru tidur. Aku akan membangunkanmu untuk
makan malam”
“Aku tidak tidur”
“Tapi... kau akan kedinginan. Ayo bangun dulu, nanti boleh diteruskan”
ucapku sembari mendorong bahunya menjauh.

178
179

“Oppa mau makan apa?”


“Aku sudah meminta Henry untuk ke sini” aku ku. Eunso mengangguk pelan.
Tangannya menyentuh kedua bahuku dan bangkit, melepas penyatuan kami. Aku
memungut setelah bawahnya selagi ia memakain yang atas. Tanganku membuka
lebaran rok dan memakaikannya. Aku menarik naik celanaku, pakaianku tak ada
terlepas dari tubuhku, sehingga aku lebih mudah untuk membenarkan sesuatunya.
Eunso kembali bergerak maju dan kembali naik ke pangkuanku. Well..., ini
sesuatu yang asing, sesuatu yang baru untuk ia lakukan, seolah-olah ada hormon
yang memacunya bertingkah seperti ini. Aku menyambutnya suka cita, secara
keseluruhan ini membahagianku. Aku mengelus punggunya lembut, membenarkan
sedikit posisi duduknya supaya lebih nyaman, untuku.
“Lelah?”
Ia mendongak memandang wajahku. Bibirnya mengerucut gemas, entah apa
yang ia pikirkan, itu sungguh membuatku penasaran. “Oppa..., aku ingin makan
ramyeon”
“Oo tidak nasi?”
Kepalanya menggeleng. “Ramyeon saja, yang pedas”
“Setahuku kau tidak suka ramyeon”
“Entahlah, aku juga bingung...”
“Kau hamil?” tanyaku cepat.
Mungkin saja, keinginannya pada sesuatu yang tak pernah ia inginkan
menjadi pertanda kehamilan awalnya. Dan, jika dugaanku ini benar... tak ada hal lain
yang membahagiakan selain kenyataan itu.
“Mungkin saja seperti itu” jawabnya tersenyum.
Aku mengecup bibirnya pelan, sebelum memeluknya lebih erat.
“Apa oppa suka? Jika aku benar-benar hamil nantinya?”
“Kenapa bertanya...”

179
180

“Jawab saja oppa”


“Bahagia..., lebih dari apapun. Jadi cepatlah hamil” ujarku.
“Baiklah” jawabnya seraya tertawa.
Itu membuatku bisa melihat deretan giginya yang rapih. Matanya seperti
hilang saat bibirnya terbuka lebar, dan aku menyukainya. Kedua tangannya
menangkup wajahku, menekannya hingga membuat bibirku ikut mengerut seperti
yang ia lakukan sebelumnya.
“Aku akan benar-benar hamil”
“Itu yang kuharapkan”
Ia mengecup bibirku pelan, rasanya dunia benar-benar ada dalam
genggamanku. Ia mendorong jauh kepalaku ke belakang saat dirasa aku mulai tak
terkendali. Tapi bukan aku juga namanya jika aku bisa kalah begitu saja. Aku meraih
tengkuknya dan mulai menjelajahi isinya lebih jauh. Baru setelah puas, aku benar-
benar bisa melepasnya.
“Aku tidak bisa bernapas”
“Kau harus banyak berlatih kalau begitu”
“A N I Y O” ucapnya menggeleng. Tangannya menyilang di depanku sebagai
pertanda penolakannya. Aku hanya tersenyum, dilihat dari sudut manapun istriku
memang terlihat masih seperti anak kecil. Aku menatap ponsel sembari menekan
tombol dial, suara terhubung berdering nyaring di antara kami.
Yeobseyo, sahutku.
Henry, aku ingin ramyeon.
Tapi aku sudah hampir sampai! angkuhnya di seberang. Baru saja aku akan
mengomel, tangannya menutup bibirku dengan telapak tangannya.
Tapi aku ingin ramyeon...
Baiklah baiklah, aku akan kembali. Tunggu sebentar.
Terimakasih oppa.

180
181

Jawaban Henry yang kontras dengan apa yang ia lontarkan padaku benar-
benar mempunyai makna yang kontradiktif. Ia menutup sambungan sesegera
mungkin saat keinginannya terpenuhi. “Kenapa?”
“Aku rasa, aku memang berlebihan”
“Berlebihan untuk?”
“Cemburu padamu” ujarku.
“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, cintaku hanya untukmu”
®®®
Pagi datang lebih dingin dari biasanya. Meski penghangat di dalam kamar
menyala dengan baik, tetap saja aku bisa merasakan hawa atis yang ikut mengekori
musim dingin. Tidurku semalam nyenyak tanpa mimpi, lebih dari itu ada dirinya
dalam pelukanku membuat malam berlalu lebih cepat dari apa yang kurasakan
sebelum menikah dengannya. Aku merasa jika malamku benar-benar terjaga dari
apapun, dari mimpi buruk, atau dari cuaca yang mengusikku. Aku mengerjapkan
mata dan mulai membiasakan dengan pagi yang menyongsong cepat. Aku menoleh
pelan ke samping, meski sudah tahu jawabannya aku tetap melakukan itu setiap kali
aku bangun.
Kaki berayun menyentuh lantai dan perlahan bangun dari peraduanku.
Menggosok gigi, mencuci muka, dan melakukan ritual pagiku secepat mungkin. Aku
melirik ke arah jendela sebelum benar-benar keluar kamar. Well... alasan mengapa
pagi ini begitu dingin terjawab sudah karena butiran salju mulai berguguran. Aku
menaikkan suhu ruangan supaya bisa lebih hangat saat aku kembali nanti.
“Sayang...” seruku di balik tembok.
“Aku di dapur” teriaknya.
Aku berjalan cepat, suaranya menghentak-hentak di telingaku.
Sesampainya, aku segera memeluk tubuhnya dari belakang, membuatnya
mau tidak mau menghentikan gerakannya mengaduk kuah. Aromanya yang khas

181
182

membuatku merasa nyaman untuk segala kondisi. Ia menolehkan kepalanya padaku,


membuatku ikut menoleh hingga membuat hidung kami bersentuhan.
“Tidak boleh memelukku saat memasak” serunya memperingati.
"Memangnya kenapa?”
“Nanti masakanku akan hangus seperti sebelumnya”
“Baiklah baiklah... aku akan menunggumu”
Aku mengalah dan memilih untuk duduk di corner dapur. Mataku mengawasi
setiap gerak-geriknya yang menawan, dari dia mengaduk, menuangkan, mengiris,
semuanya tak luput dari pengawasanku. “Aku tidak tahu jika akan turun salju,
secepat ini”
“Oo..., Jongmun oppa harus berhati-hati menyetir”
“Kenapa harus Jongmun?” ujarku penasaran sebelum mengerti apa yang ia
maksudkan.
“Kalau dia tidak hati-hati, bagaimana oppa bisa selamat nantinya”
“Betul juga...” setujuku. “Kau juga harus pakai pakaian yang tebal, sayang”
“Siap!”
“Kau memang sumber kebahagiaan untukku”
®®®
23 Februari, angin berhembus sedikit keras malam itu, seolah-olah
berempati, dengan mewakili perasaan yang tengah kurasakan. Raut wajahku
mengeras, alisku saling menyatu, dan kurasa itu adalah dua buah petunjuk yang
cukup untuk menandakan bahwa aku dalam emosi yang tidak baik. Dadaku naik
turun, berusaha sekuat mungkin untuk memperlambat gerakan darahku untuk
sampai ke otak lebih lama. Sungguh, ini jelas takdir. Jika tidak, apa lagi memangnya?
Dari awal aku bukanlah tipe orang yang peduli dengan apapun, keacuhan selalu
mengelilingiku untuk segala macam kondisi kecuali dirinya. Ini jelas takdir saat tiba-
tiba langkahnya mendadak berhenti saat secara tidak sengaja menangkap sesuatu

182
183

yang begitu menarik perhatianku. Dan aku benar-benar tak pernah mengira, lebih-
lebih tak menyangka dengan apa yang seharusnya ku pahami sejak dulu.
Di halaman pertama, aku tidak terlalu paham dengan apa yang dimaksud
penulis. Hanya ada tanggal sekian, sekian, dan beberapa kalimat yang membuatku
bingung.
Kyuhyun oppa baik.
Sangat baik.
Aku tersenyum, lalu beralih ke halaman berikutnya. Kebingungan yang
sempat menderaku, mendadak sirna saat mengetahui siapa pemilik buku yang
sedang kubaca ini. Sayang..., aku memang baik.
Di halaman kedua, bibirku semakin merekah membentuk senyum lebih lebar.
Aku mencintai Kyuhyun oppa...
Kuharap ia juga begitu...
Aku akan sangat mencintaimu sayang, jawabku. Halaman demi halaman
semakin kubaca dengan menggebu-gebu. Ini mungkin salah atau tidak bisa
dibenarkan, tapi aku juga tidak bisa berhenti. Lama aku membaca hingga aku
menyadari ada sesuatu yang ganjil saat aku membaca halaman ke duapuluh tujuh.
Mataku membaca nanar.
Semuanya sudah kuberikan pada Kyuhyun oppa.
Mahkotaku...
Hatiku...
Semuanya kuberikan tanpa tersisa.
Tapi...
Eunso tidak menyesal.
Aku mengernyit, menggaris bawahi kata Eunso yang tertera di sana. Nama
itu membuatku penasaran, dan membawa dugaanku akan pemilik sebenarnya.
Bahwa nyatanya bukan Eunbi yang memiliki ini. Aku buru-buru membalikkan

183
184

halaman, mencoba memastikan jika Eunso adalah nama lain dari Eunbi, istriku.
Bahwa Eunso hanyalah panggilannya yang lain, bukan pertanda lain.
Malamnya, saat Eunbi eonni meneleponku...
Itulah dimana aku kehilangan mahkotaku yang berharga.
Aku menggeram marah, saat menyadari apa dan siapa yang sedang kubaca.
Nafasku naik turun, jantungku bergemuruh hebat merasakan sensasi yang begitu
berapi-api. Eunso...
Meski hanya sebatas menggantikan eonni.
Hidup bersama Kyuhyun oppa, mungkin itu adalah hal paling indah
dalam hidup Eunso.
Jadi..., selama ini?
Aku mencengkeram kuat kertas itu di tangannya.
Dadaku mendidih karena marah. Aku menggenggam buku itu dengan
perasaan campur aduk. Kakiku sedikit berlari dan semakin membara saat melihat
punggungnya di balik sofa ruang tengah. Ya Tuhan, kami baru saja bercinta sore tadi.
Tidakkah ini begitu menyakitkan untukku?

Eunso side’s
“Terkejut?” ujarnya sengaja dengan nada dipotong-potong. Satu alisnya
mengerut naik, membuatku hampir tak mengenali ekpresi jenis apa yang sedang
Kyuhyun tunjukkan padaku.
Kyuhyun maju selankah lagi, sampai jaraknya tinggal beberapa senti saja
dariku. Tangannya terlulur untuk mengangkat beberapa helai rambutku dan
mencengkeramnya kuat, tapi itu tak bisa membuatku merasa terluka. Kemudian
perlahan-lahan, Kyuhyun mengembalikannya lagi di tempat semula, dan aku bisa
merasakan ujung jarinya yang panas menyentuh pelan leherku. Kyuhyun
mengangkat tangannya dan mengelus pipiku sekilas dengan ibu jarinya, wajahnya

184
185

penasaran. Aku ingin sekali menjauhkan diri darinya, tapi tubuhku membeku. Aku
bahkan tak bisa beringsut.
Aku tak pernah bisa mengenali dengan siapa aku berbicara sekarang.
Wujudnya mungkin Kyuhyun, tapi seratus persen aku mampu meyakini bahwa ada
jiwa lain yang sedang merasukinya. Dia bukan Kyuhyunku..., bukan Kyuhyun yang
akan selalu berbuat baik padaku. Ada sebagian darinya yang membuatku merasa
yakin bahwa kesimpulanku ini mendekati benar. Well..., jika benar ia memang
Kyuhyun, jika ia benar-benar pria yang saat ini lebih berharga dari apapun yang
kumiliki..., matanya tidak fokus. Ini tentu bukan gayanya, seribu persen aku bisa
menjamin. Kalau ia benar Kyuhyun adanya, ia takkan pernah melepas tatapannya
padaku, dalam kondisi apapun.
Dan..., meski sepkulasiku mampu membangun keberanian dalam jiwaku, aku
tetap mencoba untuk tidak terpancing melakukan hal-hal sembrono. Walaupun...,
nantinya dugaanku bakal salah, aku akan tetap merasa bahwa ini semua tidak
pernah terjadi. Bahwa aku hanya perlu bertahan, menebalkan muka, melihat
semuanya baik-baik saja. Ya... aku hanya perlu melakukan hal itu, karena kuyakin...
Kyuhyun akan mengenali dengan siapa ia berbicara sekarang.
“Siapa..., siapa, siapa gadis cantik di depanku ini?” gumamnya pada diri
sendiri, lalu menjatuhkan tangannya, “Aku tak mengerti,”
Kyuhyun mendesah, nadanya membuatku meradang pilu. Aku dilanda
penasaran hebat akan ekspresinya yang berubah-ubah. Bahwa sekarang aku takut,
akan pradugaku yang bisa melenceng jauh dari jawaban semestinya. Aku ingin sekali
mengatakan Eunso. Apa saja. Tapi aku tak bisa mengucapkannya barang satu kata
sekalipun.
“Aku bertanya sekali lagi, siapa kau?” ulangnya, kesedihan, amarah
mendalam memenuhi suaranya yang sempurna.

185
186

Suarnya yang memilukan, membuatku menggeleng keras bahwa ia tak perlu


menjadi seterpuruk ini untuk semua kesalahan yang kubuat. Malaikat sepertinya tak
seharusnya jatuh, itu tidak benar. Aku mencoba menemukannya, ingin
memberitahunya semua akan baik-baik saja, tapi keadaan juga tidak bisa dikata
baik-baik saja, dan itu turut membuatku tak bisa bernapas. Aku..., tidak tahu apa
yang harus kulakukan.
Untuk jawaban yang kulontarkan, aku tahu itu bakal sulit.
“Aku..., aku Eunso... Song Eunso”
Kyuhyun tertawa sumbang, gelagarnya membuatku sedikit ngeri. Ada
kepedihan dalam suara tawanya. Aku tahu mataku terpejam saat pengakuan muncul
dari sudut bibirku, lalu membukanya, begitu putus asa saat menemukan ekspresi
wajahnya.
Wajah Kyuhyun tampak lelah. Aku memperhatikan matanya saat
kebimbangan itu tiba-tiba berganti menjadi tekad yang membara. Rahangnya
mengeras. Aku merasakan jemarinya yang kuat dan panas mencengkeram kedua sisi
lengaku, menahannya. Aku ingin menjerit dan meronta-ronta dari genggamannya
yang menahanku. Dan detik itu juga aku menyadari, jiwa lain Kyuhyun, emosinya
sudah begitu pekat. Aku menyadari bahwa penderitaanku akan segera dimulai,
penebusan atas semua dosaku akan segera dilakukan. Bahwa..., aku salah menilai,
jika sesungguhnya perasaan pilu yang Kyuhyun miliku tak bisa membuatku lantas
merasa bahwa aku akan baik-baik saja.
“Please..., jangan berbohong padaku brengsek!”
Cengkeraman tangannya semakin menguat hingga dapat kulihat buku-buku
jarinya memutih. Aku meringis menahan tangis sebisa mungkin, harusnya... cukup
aku saja yang menderita karena apa-apa yang kulakukan. Biar aku saja yang
menerima pesakitan atas apa yang sudah kuperbuat, Kyuhyun... tidak perlu
merasakan apa yang harusnya kurasakan. Aku tidak sanggup melihatnya terluka,

186
187

meskipun aku mencoba membohongi diri, bahwa dampak yang kutimbulkan tidak
hanya mencakup satu dua orang.
“Mianhae...” tukasku.
Walaupun aku ingin menjawab tidak, meskipun aku ingin mengatakan bahwa
aku mencintainya, akhirnya hanya kata maaf yang bisa ku sampaikan.
Kyuhyun melangkah mundur dan mulai mengelilingiku, dengan wajar,
seakan-akan mencari sudut pandang yang lebih baik untuk mengulitiku. Aku tahu ini
takkan berakhir cepat seperti yang kuharapkan. Lututku gemetaran, dan aku
khawatir aku bakal jatuh.
“Kau begitu membuatku kecewa”
Petir menyambar bagai badai dalam jantungku. Menghunus tepat dimana
aku bisa merasakan sesak yang tak dapat kujabarkan. Kata-katanya menusukku,
mempertajam siapa diriku sebenarnya. Itu lebih buruk daripada ungkapan marah
yang seharunya Kyuhyun lontarkan padaku. Aku tidak ingin melihatnya seterpuruk
ini, aku ingin dia marah, meluapkan segala emosinya padaku daripada harus merasa
begitu pilu. Suarnya yang menyedihkan, rasanya lebih mematikan daripada
amarahnya padaku.
“Eunso... Eunso bisa jelaskan”
Langit, duniaku seakaan hancur, roboh. Pria yang selama ini kujaga
perasaanya, justru hancur berkeping-keping oleh ulahku sendiri. Ia yang selalu
kulindungi rasanya, sekarang... jatuh karena kebodohanku yang tak bisa diterima.
Aku mengerang keras, apa sebenarnya yang telah kulakukan... apa yang sebenarnya
aku perbuat disini?
“Apa yang ingin kau jelaskan padaku?”
Ya...
Apa yang sebenarnya ingin aku jelaskan pada Kyuhyun?

187
188

“Dengar... aku tahu pasti ada alasan kau bisa melakukan ini padaku. Tapi...,
kau juga tidak perlu sampai mempermainkan hatiku sebegini jauh. Uang? Rumah?
Atau apapun itu, kau bisa memintanya padaku. Sebagai adik iparku... kau bisa
memintanya baik-baik, tapi tidak sepantasnya, tidak seharunya kau menipuku
seperti ini. Brengsek!”
Aku menggeleng keras, tanganku bergerang membuat penolakan atas apa
yang baru saja ia tuduhkan padaku. Demi apapun, aku sungguh tidak menginginkan
apapun dari apa yang ia miliki. Air mukaku berubah drastis, bukan ini yang aku
inginkan keluar dari sudut bibirnya. Mataku memanas, dan kurasakan wajahku
basah oleh tangisan yang tak lagi bisa kubendung.
Well,
Ini... menyakitkan.
“Please... JAWAB AKU SONG EUNSO!” sentak Kyuhyun. Tangan kanannya
bergerak mengangkat daguku, lalu mencengkeramnya kuat. Aku tak menyahut.
Nyaliku benar-benar ciut. Aku punya firasat sebentar lagi ia akan mencapai
tujuannya yang sebenarnya. Tapi aku tidak takut, aku siap menerima apapun, hanya
saja aku memang tidak bisa berbicara gamblang. Lagipula, jika ia benar akan
menghabisiku, kemenangan yan ia rasakan bukanlah kepuasan dalam mengalahkan
diriku, manusia lemah ini. Tetapi, kepuasan dalam memenangkan emosi.
“Kau bisu? Kau tidak bisa berbicara padaku?”
“Eunso tidak menginginkan apapun” akuiku tak sepenuhnya jujur.
Dari awal aku memang tidak menginginkan apapun, tapi saat itu aku mulai
menyadari. Ada banyak hal yang kuinginkan, salah satunya kebahagiaan Kyuhyun.
Aku tidak perlu melontarkannya lebih jauh, kurasa...
“Brengsek” umpat Kyuhyun keras.
Maafkan aku, tapi aku juga takkan mampu menahan diri untuk tidak
membuatmu terluka setelah menyaksikan kenyataan ini. Dan aku tak ingin kau

188
189

merasakan kecewa yang berlebih atas apa yang telah Eunbi rencanakan untukmu.
Tentu saja, ini semua karenanya. Kau hanya manusia, yang sayang sekali berada di
tempat yang salah, pada waktu yang salah, dan tak diragukan lagi, boleh
kutambahkan, menikah dengan orang yang salah.
“Kenyataan macam apa ini?” tahannya, matanya terpejam sebelum kembali
melanjutkan, “Aku dibodohi olehmu, dan disaat yang sama aku juga mencitaimu?”
Aku menggeleng hebat. Jangan..., jangan pernah mencitaiku Kyuhyun. mata
Kyuhyun berubah hitam, dingin, dan aku yakin apabila aku menanggapi, pernyataan
cintaku juga tak akan pernah ia percayai, tapi aku juga harus mencoba.
“Eunso lebih mencintaimu”
Lubang hidungnya kempas-kempis, ia memandangku marah dan
melanjutkan.
“Eunso... aku akui, aku pria brengsek, bajingan, lebih keparat atau apapun itu
terserah bagaimana kau akan mengira. Tapi aku tidak bodoh... Eunso, aku tidak
selugu yang kau kira untuk terus diam. Aku pikir..., kau benar polos, kupikir kau
benar suci. Tapi..., aku belum siap menerima siapa sebenarnya dirimu”
Aku mencoba diam, menunggu kata-katanya kembali. “Jalang...”
Deg
Deg
Deg
Aku tidak menyakini bahwa telingaku masih benar-benar berfungsi untuk apa
sesuatu yang baru kudengar. Meski ia tak mengerucut dengan menyebut namaku,
aku tidak bisa memungkiri jika kata itu bukanlah kata umpatan yang kebas. Itu
bukan sebuah ujaran kasar tanpa tujuan, itu murni ditunjukkan padaku. Aku
mencoba untuk tidak terpengaruh, tapi sering kali itu gagal karena aku tidak bisa
menyangkal bahwa itu benar menyakitkan ulu hatiku. Aku tidak siap, tubuhku
gemetar hebat, untuk kata-kata sayang dan pujian yang selalu ia agung-agungkan

189
190

kini terhempas begitu saja, terganti dengan sumpah serapah yang begitu
menyesakkan hatiku.
Aku tiba-tiba merasakan sebuah emosi, marah yang melingkupiku. Untukku
yang tak pernah merasa marah, tiba-tiba merasakan itu sebagai sesuatu yang baru.
Bukan karena perkataan Kyuhyun, tapi lebih kepada diriku sendiri. Aku marah,
karena cinta yang kuberikan, untuk cinta yang kukorbankan, untuk semua yang telah
kutorehkan. Aku marah. Bahkan karena perasaan itu, aku tidak memiliki daya
sedikitpun untuk melawan Kyuhyun.
“Kyuhyun op—pa”
Aku menggeram tertahan, kehabisan kata-kata. Well..., memang apa yang
seharusnya kukatakan? Aku sudah sangat tertangkap basah. Tak ada hal yang perlu
kujelaskan untuk membuatnya percaya. Karena..., untuk pertahanku yang terakhir...
aku benar-benar tidak bisa mengenali Kyuhyun.
“Kenapa? Tidak terima dengan ucapanku? Tubuh indahmu ini,—” Kyuhyun
menatapku jijik, “Kau berikan dengan sukarela padaku, aku tidak akan pernah lupa
bagaimana kau meneriakan namaku tanpa malu. Kau mendesah hebat di bawah
kuasaku, di bawah kuasa kakak iparmu, lebih parah lagi, aku berucap kau
mencintaiku? Well..., Eunso. Bukankah jalang adalah julukan yang amat pantas
kulabelkan pada tubuhmu ini?” sinis Kyuhyun.
Aku terkesiap, tangaku saling mengepal berusaha menyembunyikan
bergetarnya tubuhku. Aku mencoba membujuk, merasakan mataku kembali
berkaca-kaca. Aku sungguh nyaris tak mengenalnya, namun bagaimanapu juga, tidak
menget ahui kapan aku bisa bertemu lagi dengannya setelah ini. “Hyun oppa...
bagaimana bisa kau berkata seperti itu?”
Ia mengernyit.
“Oh?”

190
191

“Tentu, sangat bisa, bahkan untuk ungkapan-ungkapan yang lebih


menyakitkan untukmu, aku teramat bisa. Well.., jangan karena selama ini aku selalu
berbuat baik, jangan karena aku yang tolol mencintaimu, kau bisa mengira bahwa
aku tidak akan melakukan apapun terhadapmu. Atau jangan mengira karena kau
adalah adik iparku, aku akan bermurah hati. Aku tahu apa yang kau pikirkan, dan
kurasa itu adalah pemikiran yang amat konyol”
Kyuhyun mundur selangkah, tapi kemudian kembali berjalan mendekat, dan
berhenti tepat dihadapanku. Aku benar-benar tidak sanggup, ada perasaan sakit
yang mendekatiku, dan aku bisa melihat di matanya. Aku tahu ia takkan puas hanya
dengan memakiku, aku tahu, dan aku siap menerima apapun. Wajahnya yang tajam
membuatku kehilangan daya hanya untuk membalas tatapan Kyuhyun. kemudian, ia
mencondongkan tubuh, dan senyumannya yang menawan tiba-tiba muncul,
perlahan melebar, semakin lebar, hingga tidak menyerupai senyuman sama sekali
melainkan deretan gigi, terpapar jelas dan berkilauan.
Jemarinya menarik daguku untuk menatapnya. Membuat mataku
berseborok dengan kedua mata Kyuhyun yang berkilat marah. Aku bergerak mundur
saat dirasa tangannya meraih sejumpal rambutku lalu menariknya kebelakang.
“Kau tahu? Sakitmu ini takkan pernah bisa mengganti apa yang kurasakan.
Tidak... tidak. Kau mana tahu..., gadis pembual sepertimu mana tahu rasa sakit?”
Ia diam, “Aku benar bukan?”
Tak ada yang kuinginkan selain lari. Aku tidak bisa menahan gejolak rasa sakit
yang menghantam dinding hatiku, ini terlalu bertubi-tubi, hingga rasanya mau mati.
Benteng pertahananku yang telah hancur semakin hancur berkeping-keping tanpa
sisa. Aku tak lagi kuat untuk beradu pandang dengan tatapannya menyiratkan
kebencian, marah, dan murka terhadapku. Tak ada yang bisa kuharapkan lagi selain
mati di sini. Aku kelewat terkejut untuk bisa merasakan sakit. Aku tak bisa bernapas,
aku hancur. Aku tak lagi bisa melihat tatapannya yang iba padaku, pun saat bulir-

191
192

bulir air membasahi pipiku, Kyuhyun tak akan pernah luluh. Tapi..., aku juga tidak
bisa jika harus menyalahkan Kyuhyun.
“Jangan menangis dihadapanku, Eunso!”
“Kyuh—”
“Jangan juga memanggil namaku” potong Kyuhyun gamblang.
Ia tak pernah memberiku kesempatan. Aku menatapnya jauh ke dalam
matanya, mencoba mencari-cari keberadaan namaku di sana. Kyuhyun menghela
napas kasar, lebih panjang. Kepalanya menoleh ke arah lain, tapi sedetik kemudian
kembali menatapku, matanya terpaku padaku, ekspresinya masih hampa, marah.
Aku merasakan kebimbangan hebat di dalam dirinya.
Aku mengesampingkan ketakutanku sebisa mungkin.
“Ini keputusanku. Segera angkat kaki dari rumah ini”
Saraf-sarafku menegang hebat, darahku mengalir deras menuju otakku
hingga membuatku pusing. Sendi-sendiku kaku karena keputusannya yang amat
sulit kuterima. Aku tak dapat meregangkan jemariku yang saling menyatu. Aku tahu
aku harus berpikir, tapi kepalaku dipenuhi suara-suara penyerahan. Detik demi detik
berlalu saat aku berjuang mengendalikan diri. perlahan, amat perlahan, pikiranku
mulai menembus dinding sakit. Serangan panik menyergapku lebih dari yang ku kira.
Aku tidak akan pergi.
Tidak.
Aku tidak akan pergi dari rumah ini, bahkan jika pria itu mengusirku, aku
tetap tidak akan pergi. Bukan tentang ketiadaan harga diriku untuk meminta tinggal,
tetapi aku sedang berbicara tentang janji yang lama dan harus kutepati.
“Tidak. Jangan lakukan itu oppa. Eunso bisa jelaskan”
“Kenapa? Tidak cukup dengan apa yang kau terima?”
“Bukan itu..., demi apapun tidak ada satupun pemikiranmu yang melekat
padaku. Aku tidak pernah meminta apapun, aku tidak menginginkan apapun. Aku

192
193

hanya menginginkanmu mendengarkanku. Kumo...hon dengarkan penjelasanku,


dengarkan sebentar saja, kumohon...”
“Entah apa yang akan kau jelaskan padaku Eunso... hatiku sudah terlanjur
kecewa. Aku tak ingin lagi percaya bahwa semuanya akan terlihat sama di mataku
sekarang. Dirimu..., istriku, atau siapapun yang ada di belakang kalian, aku tetap
tidak akan diam”
“Terserah dengan apa yang ingin kau lakukan padaku. Aku tetap tidak akan
pergi”
Keputusasaan mencengkeramku, tak ada cara untuk bernegosiasi, tak ada
lagi yang bisa kutawarkan atau hal lainnya. Tapi aku juga tidak punya pilihan. Aku
tidak akan pergi bahkan jika aku akan berakhir di sini, detik ini juga aku tetap akan
mecoba untuk bertahan. Itulah satu-satunya hal yang mampu membuatnya kembali
percaya padaku bahwa aku benar-benar menepati janji. Ada satu hal yang
membuatku tidak terlalu bersalah karena tak ada hal lain yang bisa kulakukan selain
keburukan.
“Kau yang meminta ini dariku”
Dalam sekejap sudah mengangkat tubuhku paksa. Aku mencoba
berkonsetrasi pada rencana yang akan ia lakukan padaku. Aku kembali menekan
ketakutakunku dan kekhawatiranku saat tubuhku terhempas, setengah terbanting
tubuh di ranjang. Aku tak boleh takut sekarang, apapun yang terjadi aku tidak boleh
keluar dari rumah ini secara sadar. Aku segera bangkit dan meringkuk mundur ke
arah headbord ranjang. Butuh waktu jauh lebih sedikit dari apa yang kuduga—
semua ketakutan, keputusasaan, kehancuran hatiku tak boleh menggoyahkan
prinsip yang kupegang sejak awal.
Aku tidak melihat apakah ia menggunakan tangan kiri atau kanan saat
mencengkeram tanganku, terlalu cepat. Entakan bibirnya yang keras menubruk
bibirku dengan gerakan yang sukar kuimbangi. Ini bukan ciuman seperti apa yang

193
194

biasa ia berikan padaku, ini bukan ciuman selamat pagi yang hangat, ini bukan
ciuman dimana kami bertengkar, melainkan ciuman yang nyaris terasa menyakitkan,
seperti ciuman perpisahan, meski aku juga tidak yakin. Dalam ciumannya aku
merasa emosi yang meluap-luap dalam diri Kyuhyun, dan aku harap melalui ciuman
ini aku bisa sedikit menenangkan kondisinya. Meski itu terkesan mustahil.
Rasa anyir mulai kurasai melalui gerakan bibirnya yang keras. Dan aku benar-
benar mual.
Dalam sekejap ia melepas tautan bibir kami. Entakkan keras menghantam
dadaku— mataku menutup secara cepat saat kurasa kepalan tangannya bergerak
menghantamku. Aku bisa mendengar suara dua benda yang beradu, tapi aku tidak
bisa untuk merasakan sakit. Aku buru-buru membuka mata dan mendapati lengan
Kyuhyun terulur di belakangku. Kepalaku menoleh dan langsung dilanda panik akan
jemari-jemarinya yang berdarah. Aku tak bisa bernapas tenang, aku tak ingin jika ia
harus melukai dirinya sendiri.
“Itu efek yang sangat menyenangkan” katanya mengamati tangannya yang
terluka.
Aku mengabaikannya. Bukan saatnya peduli dengan omongannya sekarang.
“Aku bertanya sekali lagi, apa yang kau inginkan dariku?” suaranya kembali
ramah.
“Tidak ada satupun yang kuinginkan”
PLAK
“Kau... dari awal kaulah yang memilih ini, Eunso. Aku sudah menahan untuk
tidak menamparmu sejak tadi. Tapi sifat keras kepalamu benar-benar membuatku
muak”
Awalnya aku merasa sakit, tapi itu tidak lebih parah dari ucapannya yang
mengerikan. Pipiku mati rasa, seiring hilangnya sengatan terbakar yang sempat
kurasakan.

194
195

“Tidakkah kau mengerti? Itu yang membuktikan bahwa aku masih punya
nurani untukmu. Akulah yang paling peduli, karena seandainya aku bisa
melakukannya—” Kyuhyun menggeleng, mencoba melawan pendapat itu—
“seandainya membunuhmu adalah sesuatu yang harus kulakukan, akan kusakiti
diriku sendiri demi menjagamu agar tidak terluka, supaya kau tetap aman. Tapi...,
inikah balasan yang kau berikan padaku Eunso?”
“Maafkan Eunso, oppa” gumamku marah. “Sungguh maaafkan aku”
“Kau tidak mengerti,” Kyuhyun mengerang frustrasi. Aku belum pernah
mendengar suaranya selantang ini, begitu memekakkan di dalam ruang kamar yang
sempit.
“Apa yang tidak kumengerti? Aku memintamu waktu, aku ingin
menjelaskannya padamu oppa... Kau tidak harus kalah dengan emosimu, kau tak
perlu merasa marah untuk mendengar penjelasanku”
“Baiklah... apa yang ingin kau jelaskan padaku?”
“Aku tidak akan pergi. Janjiku..., aku tak akan pernah lari darimu barang satu
jengkalpun, bahkan saat kau mengusirku. Aku tahu perbuatanku tidak bisa
dibenarkan, tapi kau juga harus paham tentang alasanku. Dengan janjiku..., aku
sebisa mungkin ingin meninggalkan kesan yang baik”
Kyuhyun tertawa keras, lebih terdengar seperti penghinaan untukku.
Menurut kepercayaan, kau tak bisa melangkah ke dalam sungai yang sama
dua kali. Mungkin itu masalahnya, atau mungkin arusnya begitu kencang sehingga
mampu menghanyutkan tumpukan batu yang ditinggalkan sebagai suatu penanda.
Dan apabila itu bisa dianalogikan, mungkin saja, seseorang tidak melulu harus
bertahan dalam lingkar dusta yang menyesakkan. Itu jika harus dianalogikan.
Bagiku, pengharapan adalah bagian patologis pubertas, seperti halnya
jerawat dan luapan hormon. Mungkin dunia menganggapku sinis, tapi itu hanyalah
mekanisme pertahanan, lapisan untuk menutupi jerawat. Karena akan sangat

195
196

memalukan untukku mengaku bahwa, walaupun terus-menerus mendapat


perlakuan buruk, aku belum benar-benar menyerah.
“Kau tak tahu apa yang kurasakan,” teriak Kyuhyun. “Jadi, jangan berdiri
seolah kau hadir dan berpura-pura kita akan menghadapinya bersama-sama. Kau tak
benar-benar ada untukku, yang ada hanya aku”
“Kau harus percaya padaku”
“Aku tidak bisa percaya padamu bajingan”
“Atau... alasanmu tetap tinggal karena ingin merasakanku?”
Awalnya aku tak langsung memahami. Aku terus menatapnya hampa saat
kata-katanya satu per satu tersusun dalam benakku bagai kepingan puzzle
mengerikan. Aku nyaris tak menyadari detak jantungku yang semakin memburu,
meskipun, saat napasku semakin liar, aku merasakan nyeri di dadaku. Kyuhyun
bergerak menarik kakiku, membuat tubuhku ku benar-benar telentang sepenuhnya
di bawah Kyuhyun.
“Kau menginginkan ini, bukan?”
Author side’s
Baginya, balas dendam adalah sesuatu yang perlu digaris bawahi,
menggelikan. Kau akan menginginkan kepuasan ketika mengetahui hal itu telah
dilakukan. Tapi kau tak pernah berkeinginan untuk benar-benar mendengar kata-
kata itu diucapkan keras-keras, karena nantinya kau harus mengakui pada diri
sendiri bahwa yang sebenarnya ia inginkan hanyalah merasakan kulit Eunso di
bawah kepalan tangannya, membenturkan kepala ke dinding, dan menakut-
nakutinya hingga Eunso menyesali perbuatan tanpa terkecuali.
“Tidakkah kau seharusnya menjawab, mengapa diam saja?”
Kyuhyun mencari jawaban atas pertanyaan yang sama pada dirinya sendiri
ratusan kali dalam beberapa menit ini. Hatinya terus berpura-pura, bahwa ia
sungguh tak pernah melihat sosok lain hadir menjadi ujud wanita yang telah ia

196
197

tangguhkan hak dan statusnya dibawah saksi Tuhan, karena jika tidak, dirinya akan
terpaksa memutuskan. Bisakah kau mencintai orang yang mampu membuatmu
jatuh bahkan untuk hal yang tidak bisa kau renungkan?
Tapi, dalam hubungannya dengan Eunso, pernah ada suatu masa ketika
dirinya tak terselamatkan dan Eunso yakin Kyuhyun mampu berubah. Jika itu bisa
menjadi sebuah alasan untuknya tetap tenang, jika ia membiarkan kemarahan dan
rasa malu menguasai dirinya dan mengusir Eunso dari rumah, tidakkah ia bertindak
berdasarkan adrenalin, seperti yang dulu biasa ia lakukan ketika hilang kendali?
Hanya sesederhana itu, jika ia tak mampu memaafkan Eunso— jika saja ia
membiarkan dirinya dikuasai kemarahaan— ia bersikap seperti jenis manusia yang
adalah dirinya di masa lalu. Eunso memejamkan mata rapat-rapat ketika tangan
Kyuhyun meraih rahangnya, mencengkeramnya dengan kuat.
"Tidak masalah jika ini yang sebenarnya kau inginkan”
“Oppa sadarlah! Kumohon” sergah Eunso terbata-bata.
Eunso menggeliat dalam cengkereman rasa sakit yang kuat akan genggaman
tangan Kyuhyun. Matanya menyalang saat dengan kebas Kyuhyun menarik keras
piyama yang ia kenakan tanpa sisa. Eunso memandang ngeri Kyuhyun, ragu-ragu
dengan apa yang akan ia lakukan.
“Aku menguasaimu, meneriakkan namamu”
Kyuhyun diam.
“Bukankah itu yang kau inginkan dariku?”
“Tidak!” teriak Eunso.
Eunso side’s
Aku mendorong sekuat mungkin supaya Kyuhyun bisa berhenti
mengintimidasiku. Kepanikan menguasaiku dan aku melesat turun saat doronganku
berhasil membuat jarak yang cukup untukku bisa kabur. Mataku tertuju pada satu

197
198

pintu yang terbuka lebar dan benar-benar berharap aku bisa mencapainya dan
menutup daun itu dari luar.
Aku mati.
Dalam hitungan detik Kyuhyun sudah berdiri di hadapanku. Aku tidak bisa
melihat apakah ia menggunakan tangan kanan avau kakinya, terlalu cepat. Entakkan
keras menghantam tubuhku sebelum aku benar-benar sampai— tubuhku melayang
ke belakang, dan aku mendengar suara pecahan saat kepalaku menghantam dinding
cermin di bagian kiri. Kacanya hancur berantakan, serpihan-serpihannya berserakan
dan bertebaran di lantai, di sampingku.
Aku kelewat terkejut untuk bisa merasakan sakit.
Aku tidak bisa bernapas.
“Aku tidak memintamu untuk pergi,” katanya, mengamati kaca-kaca yang
berserakan, suaranya kembali terdengar mengerikan. “Kupikir, dinding-dinding kaca
itu hanya sebagai kesenanganku belaka, aku tidak tahu jika itu cukup dramatis untuk
sekarang. Sempurna, ya kan?”
Aku mengabaikannya, dengan tangan dan lutut aku tetap merangkak ke arah
pintu. “Kau akan menyesal oppa”
Kyuhyun menghadangku, kakinya menginjak kakiku kuat. Aku mendengar
suara keretak itu sebelum merasakannya. Tapi kemudian aku merasakan itu, dan
aku tak dapat menahan jeritanku. Aku berbalik untuk meraih kakiku, dan kudapati ia
berdiri menjulang di atasku, tersenyum.
“Aku akan memaafkanku, aku akan memaafkanmu. Berhentilah kumohon”
rengekku parau.
Selain sakit di kakiku, aku merasakan robekan tajam di kulit kepalaku, di
tempat pecahan kaca itu menusukku. Cairan hangat mengalir deras di antara helai
rambutku. Aku bisa merasakannya membasahi bagian bahu piyamaku,

198
199

mendengarnya menetes-netes di lantai di bawahku. Aromanya benar-benar


membuatku mual.
Dalam keadaan pusing dna mual, aku melihat sesuatu yang tiba-tiba
memberiku secercah harapan terakhir. Matanya, yang sebelumnya penuh nekad,
kini membara dengan hasrat tak terkendali. Darah yang mengalir— meninggalkan
noda kemerhan di piyamaku yang putih, dengan cepat menggenang di lantai. Biarlah
segera berlalu sekarang, hanya itu yang bisa kuharapkan saat aliran darah dari
kepalaku mulai membuatku tak sadarkan diri.
Aku harus menerima kenyataan, bahwa jika aku mati, aku takkan bertemu
Kyuhyun lagi. Takkan ada pertemuan terakhir saat jiwa pergi meninggalkan ragaku
sekarang. Aku takkan menyakitnya lagi.
Kubiarkan gelombang penyiksaan menyapu diriku sebentar sebelum mataku
terpejam.

199
200

BAGIAN SEMBILAN
Author side’s
Henry dan Eunbi mencoba tenang perihal hasil yang sebentar lagi akan
keduanya terima. Dua manusia itu menunjukkan ekspresi yang cukup seragam.
Khawatir, cemas, dan perasaan semacamnya menyerbu mimik keduanya bak buku
yang terbuka.
“Dokter, sepertinya apa yang akan kau sampaikan sangatlah penting” ujar
Henry mencoba berbasa-basi, meskipun itu tak bisa membuatnya menjadi lebih
rileks.
“Begitulah!” sahut dokter Kim seraya menyunggingkan senyumnya.
“Begitu bagaimana?” sarkas Henry tidak sabar.
“Apakah terjadi sesuatu yang buruk dengan Eunso? Ah, maksudnya adikku
itu baik-baik saja bukan?”
Ia menunduk sebentar, mengaitkan kedua tangannya gugup, matanya
menerawang jauh menembus lantai lebar dengan nuasa putih. Tak ada yang bisa
menebak bagaimana perasaannya sekarang, yang jelas untuk apa yang baru saja
menimpa Eunso, dirinya belum siap. Perasaan bersalah yang menggelayutinya sejak
awal menjadi semakin terpampang melihat bagaimana keterlambatan yang ia
lakukan. Seandainya..., jika saja ia bisa lebih cepat. Seandainya saja pergulatan
hatinya tidak menunda keputusan yang dibuat, semuanya tentu tidak akan separah
ini. Semuanya mungkin bisa lebih dikontradisikan dengan rencana yang telah ia
siapkan matang.
Eunbi menggeleng keras dalam lamunannya. Bukan salahnya ia terlambat,
pun apabila ia menyesal, semuanya akan percuma, karena kesalahan justru hadir
jauh sebelum ini. Jika saja ia bisa lebih sabar, seandainya ego tidak pernah
menguasai hatinya..., Eunso mungkin tidak akan berkorban hingga sejauh ini. Well...,

200
201

penyesalan nyatanya tinggal kata-kata belaka. Kalimat-kalimat seandainya sudah tak


lagi bermakna lagi berarti. Pun..., jika ia harus merasa bersalah dan menyesalinya
seumur hidup, itu tak akan pernah bisa menjamin kehidupan macam apa yang akan
menghampiri keduanya nanti. Tentang reaksi Kyuhyun, tentang hal-hal apa yang bisa
pria itu lakukan kepadanya.
“Eunbi-ya...”
Suara Henry menariknya jauh dari lamunan pangjangnya. Matanya berair,
tenggorokannya sakit menahan tangis. Dunianya, akan benar-benar menjadi neraka
sekarang. Bukan..., buka ia takut mengenai apa yang akan menimpanya sekarang.
Bukan itu, demi apapun bukan. Dunia Eunso, tentang bagaimana kehidupannya
setelah ini, dan mengenai perasaan gadis itulah yang membuatnya merasakan
pesakitan berlebih. Tidak masalah jika Kyuhyun harus mencaci makinya, tidak
masalah jika apa yang ada pada dirinya akan hilang begitu saja, asalkan itu bisa
mengobati apa yang Eunso rasakan. Asalkan itu bisa menjamin kebahagiaan untuk
saudarinya, ia sungguh tidak apa-apa.
Dokter Kim kembali menyunggingkan senyumnya ragu-ragu. Bingung dengan
reaksi yang ditimbulkan oleh dua orang yang berada dihadapannya. Baginya...,
ekspresi Henry dan Eunbi sungguh tidak bisa dikorelasikan dengan kabar baik yang
ingin disampaikannya. Entah apa itu, sesuatu pasti telah terjadi. Dokter Kim melirik
hasil pemeriksaannya, well..., itu membuatnya semakin yakin bahwa hal baik yang ia
kira baik akan diterima berlawanan dengan apa yang akan diterima oleh lawan
bicaranya.
“Tidak, dia hanya terluka di beberapa bagian saja. Meski terlihat begitu parah
tapi sebenarnya itu hanya luka yang tergolong ringan. Hanya saja nanti, luka itu akan
membekas dalam waktu yang lama”
Henry menghela napas lega, tapi tidak untuk Eunbi. Untukknya, ada sesuatu
yang lebih besar dari apa yang baru saja dokter Kim sampaikan. Entah ini hanya

201
202

sekedar firasatnya belaka, atau hanya tebakkannya semata, ada hal lain yang masih
harus ia dengar. Sesuatu yang mungkin akan menjembatani setiap hal yang telah
menjadi boomerang saat ini.
“Jika memang seperti itu, kenapa dirinya belum juga sadar dok?”
“Aa soal itu. Aku sengaja memberikannya obat supaya nona Eunso bisa
istirahat”
Henry mengernyit tajam, alisnya menyatu. Pikirannya jauh berkelana
mengenai alasan apa yang bisa mendasari ucapan yang baru saja ia dengar.
Untuknya, dengan Eunso yang didiagnosa hanya sebagai luka ringan, rasanya tidak
ahsan untuk memberinya dosis tambahan penenang. Atau mungkin ada hal lain
yang bisa menjawabnya atau memang keterbatasan ilmu yang ia miliki tidak cukup
sampai untuk memahami itu semua.
“Tuan dan nona. Begini..., menilik dari hasil lab yang keluar, tentang masalah
jenis apa yang tengah terjadi, kurasa nona Eunso tetap tidak baik jika harus dipukuli
seperti ini. Sebagai dokter, aku memang tidak berhak untuk mengorek lebih jauh
apa dan siapa yang melakukan ini semua” ucapnya.
Henry dan Eunbi mengangguk kikuk tapi tetap menyetujui apa yang
dikatakan dokter Kim.
“Tapi sebagai sesama manusia aku juga sangat geram. Aku sudah sering kali
mendapat korban kekerasan seperti nona Eunso, tapi wanita ini benar-benar
membuat hatiku tersentuh. Jadi tolong sampaikan pesanku pada suami nona Eunso.
Sebagaimanapula kalian dipersatukan Tuhan dalam ikatan cinta yang nyata, tidak
seharusnya kau mengikuti emosi sesaatmu saat kau berhasil mendapatkannya. Itu
sungguh tidak dibenarkan, terlepas dari akar permasalahannya”
Eunbi hanya mengangguk pelan, seebisa mungkin untuk tidak
memperpanjang atau berniat untuk menjelaskan kejadian yang sebenarnya.
Baginya, itu bukan sesuatu hal yang perlu dibahas lebih lanjut.

202
203

“Terlebih untuk kandungannya sekarang”


“Kandungan?” Eunbi memekik keras bersamaan dengan gebrakan meja yang
ia timbulkan.
“Iya. Tidakah kalian tahu?”
“Maksudmu, Eunso hamil? Wanita itu benar-benar hamil? Kau yakin?”
“Ya”
Henry menelam ludah paksa. Satu kata itu seakan mampu meledakkan bom
dalam dirinya. Apa yang kita khawatirkan belakang ini benar-benar membuahkan
hasil. Itu bukan hal yang mampu ia tolak, semenjak dirinya tak sengaja memergoki
Kyuhyun dan Eunso di perpustakaan, pria itu tak pernah berhenti memikirkan
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi kedepannya.
Eunbi meringis pelan. Sudut matanya bergerak, melirik Henry dan dokter Kim
bergantian. “Aku akan memberikan beberapa resep vitamin untuk menjaganya tetap
dalam kondisi baik. Jika besok kondisinya sudah lebih baik, dia sudah boleh pulang.
Kalian berdua boleh keluar sekarang” lanjutnya.
“Oo... terimakasih banyak uisanim” ujar Henry. Tangannya memeluk kuat
bahu Eunsbi, mencoba menguatkan gadis itu yang sudah tak berdaya. Tentang
perasaannya, ia paham betul kondisi apa yang sedang menyelimutinya.
“Oppa...” ucap Eunbi mulai terisak.
“Apa yang harus kulakukan?”
Henry diam sejenak, bingung memilih jawaban tepat dari semua jawaban
yang ia punya.
Hidupnya semakin hancur, untuk kenyataan sepahit ini. Dalam bayang-
bayang angannya, kehamilan Eunso harusnya menjadi kabar yang begitu
membahagiakan. Dunianya seakan runtuh, saraf-saraf dalam tubuhnya seolah tak
berfungsi. Terlebih saat matanya menangkap punggung besar duduk dalam pikiran
yang menggelanyut. Matanya tajam, menakutkan bagi siapa saja yang melihatnya.

203
204

Daehyun berdiri cepat saat menyadari kehadiran sosok lain selain dirinya. ia
memberanikan diri, bagaimanapun juga ia butuh Daehyun, ia butuh kekuatan.
“Apakah Eunso baik-baik saja?”
Henry diam, tapi bibirnya membentuk gerakan yang mengisyaratkan kata
maaf tanpa suara.
“Apa yang terjadi pada saudari kembarmu Eunbi-ya!”
Daehyun menjadi tidak sabar. Tangannya menarik keras bahu Eunbi hingga
membuat gadis itu terguncang. Mencengkeramnya sampai buku-buku jarinya
memutih. Persetan dengan rasa sakit yang ia timbulkan, sesuatu harus menjadi
pelampiasannya.
“Eunso. Eunso baik-baik saja oppa. Hanya sajaa...”
“Hanya apa? Jangan membuatku khawatir seperti ini”
“Dia hamil” jawab Henry.
"H... hamil kau bilang?” timpal Daehyun lirih. Tangannya terkulai jatuh,
kedua kakinya terasa meleleh bagai lilin. Petir seakan menyambarnya dengan kilatan
yang menggelegar. Dunianya hancur, janjinya untuk menjaga apa yang pantas ia jaga
hanya berbuah omong kosong belaka. Ia tak pernah benar-benar bisa menjaga, janji
tinggalah janji. Dan..., untuk keadaan semacam ini, perasaan gagal menyelimuti
hatinya.
“Bagaimana bisa dia hamil?” tanya Daehyun lirih.
Ia bingung hendak senang atau sedih. Calon keponakannya akan segera lahir,
tapi nasib ibunya baru saja dimulai. Bayangan perkelahiannya dengan Kyuhyun tiba-
tiba masuk kedalam pikirannya. Perasaan menyesal, marah, bercampur jadi satu.
Terlebih dengan keadaan Eunso sekarang, haruskah ia benar-benar meminta
Kyuhyun untuk bertanggung jawab? Apakah pria itu benar-benar mau bertanggung
jawab? Daehyun menggeleng keras, kepalan tangannya meninju tepat tembok
dimana ia bisa menghantamnya.

204
205

Jika saja. Ya Tuhan jika saja Kyuhyun tahu lebih lambat. Semuanya tidak akan
seperti ini, batinnya berkelakar.
“Maafkan aku hyung. Aku benar—”
“Tidak apa-apa. Ini bukan salahmu” potong Daehyun.
Ya. Daehyun tidak ingin menyalahkan siapapun, semua kesalahan pada
dasarnya berasal dari dirinya sendiri. Jika saja dirinya lebih peka, jika saja dirinya
tidak menyetujui pernikahan Eunbi dan Kyuhyun. Jika saja dirinya tidak egois untuk
hal-hal yang hanya membuatnya puas. Semuanya tidak akan pernah terjadi. Lalu jika
sudah seperti ini, tegakah ia untuk memisahkan Eunso dengan Kyuhyun? Tegakah ia
memisahkan anak yang tengah dikandung Eunso dengan ayahnya?
®®®
Eunso side’s
Aku mengerjap pelan, perasaan pusing menyergapku saat mataku mulai
menyesuaikan diri dengan cahaya terang. Mataku menyusuri tiap sudut ruangan
dengan seksama, mencoba mengenali dimana aku berada, tapi seringkali aku gagal
memahami. Ini bukan rumahku, bukan juga rumah Kyuhyun. Cat-cat putih
mendominasi seluruh ruangan, dan aku mulai menyadari bahwa keberadaanku
adalah tempat dimana aku bisa mencium bau-bau obat yang menyengat indera
penciumanku. Simpulanku diperkuat saat kulihat jarum-jarum infuse menancap
sempurna di pergelangan tangan kiriku.
“Eunso..., kau sudah sadar sayang?”
Aku menyambar sumber suara dengan cepat lalu tersenyum saat mendapati
Daehyun duduk manis di sampingku. Kehadirannya bagai oase baru untukku, seperti
tameng penyelamatku. Aku mengangguk pelan, menunjukkan bahwa aku memang
baik-baik saja. Senyumku semakin melebar saat dirasa hangatnya tangan Daehyun
menggenggam tanganku. Aku tak ingin berpikir lebih jauh ataupun menghayalkan

205
206

yang lain, meski dalam genggamnya aku bisa merasakan emosi yang coba
disampaikan olehnya.
“Eunso baik-baik saja”
“Ada yang ingin oppa bicarakan padamu”
Aku mengangguk, memainkan jemarinya yang panjang. Ruas-ruasnya lebar,
persis seperti apa yang Kyuhyun punya. Aku berjingkat ngeri, sesuatu yang
mengerikan kembali merasuki pikiranku.
“Apapun yang terjadi, kau masih ada oppa. Masih banyak orang yang
menyanyangimu”
“Eunso percaya...”
Daehyun diam untuk beberapa waktu yang lama selagi aku menunggu.
Matanya melirik Henry dan Eunbi bergantian lalu kembali menatapku. “Apa yang
ingin oppa katakana padaku?”
“Sayang, kau hamil. Anak Kyuhyun”
Aku tersenyum, “Jangan bercanda oppa, itu tidak lucu”
“Bayi dalam kandunganmu sudah masuk usia 2 minggu” jawab Daehyun.
Aku membeku, mataku menatap jauh kedalam matanya, berusaha mencari
kebohongan yang menguntungkanku. Tapi..., tak ada sesuatupun yang kudapat
selain kejujuran. Pun ketika aku menatap Henry, tak ada reaksi yang bisa ia berikan
selain anggukan yang memperkuat kehancuranku.
“Aku hamil?”
“Tidak apa-apa. Tidak apa-apa sayang” ucap Daehyun menangkap kengerian
yang aku rasakan.
Satu kata itu benar menggangguku. Semuanya menjadi berputar memenuhi
pikiranku yang kalut. Mataku memanas, air mukaku meninggi, bukan karena
kehailanku, tetapi lebih kepada kebodohanku yang tak pernah sempat
memikirkannya. Aku menangis, untuk sesuatu yang tak pantas kutangisi. Harusnya

206
207

aku bisa bahagia, banyak orang tak pernah diberi kesempatan untuk merasakan apa
yang tengah kurasakan. Tapi aku juga tidak bisa memungkiri, aku tidak siap untuk
mengandung terlebih dalam kondisi seperti ini. Tanpa status pernikahan, dan yang
lebih parah aku hamil anak dari iparku.
Dengan keadaanku yang tak memiliki apapun sebagai pegangan,
kemungkinan-kemungkinan buruk seakan siap menerjangku. Aku takut, rasanya
hampir mati. Aku gelisah tentang apa yang bisa kulakukan kedepannya. Tentang
masa depan, aku tak berani menebak. Yang jelas, aku tidak siap untuk melihat
bagaimana dunia memandangku.
Aku memejamkan mata kuat-kuat, membuat lelehan air mata semakin deras
membasahi pipiku. Kyuhyun..., pria itu bahkan tak akan pernah peduli. Sosok yang
seharusnya mendampingiku dan bertanggung jawab atas apa yang telah
menimpaku. Aku mengerang keras, hebat. Aku tidak bisa untuk diam, perasaanku
kalut. Aku lelah, bahkan sebelum kehancuran paling fatal benar-benar
menghampiriku. Biasanya dalam keadaan mencekik seperti ini, seseorang akan
memilih untuk mengakhiri hidup, dengan gantung diri, menyayat nadi atau
menjatuhkan diri ke sungai, jurang dan semacamnya. Hanya saja, bagiku itu konyol.
Itu sangat tidak elegan.
Mataku menatap satu per satu wajah yang kusayangi. Bukan hal yang mudah
untukku berucap. Ribuan maafpun rasanya tidak cukup untuk menutup rasa kecewa
yang mereka rasakan. “Tidak apa-apa, oppa ada disini, kau kuat”
Aku kuat, selamanya akan kuat.
®®®
23 Agustus 2018
Aku menatap lurus ke depan, namun hanya kekosongan yang berhasil
kudapat. Tak ada hal berarti yang benar-benar ku perhatikan. Aku hampa, sekaligus
merasa kekacauan berlebih dalam hatiku. Aku tak bisa berhenti untuk mengerang.

207
208

Aku tak bisa berhenti menangis, dan ini membuatku benar-benar merasa frustrasi.
Semenjak kepergian Daehyun, aku benar-benar merasa tak ada lagi yang bisa
menopangku. Pun kalau aku menyadari, sebenarnya aku memang benar-benar
sendiri.
Aku mengusap carian bening yang terus menetes dari pelupuk mataku.
Bukan, bukan karena aku tidak bahagia atas kenyataan ini, bukan. Memang wanita
mana yang tidak bahagia jika sebentar lagi ia akan menjadi seorang ibu? Aku senang.
Tapi percayalah, bukan itu yang menjadi pokok permasalahannya. Aku bagaimana
bisa bertahan, calon bayiku bagaimana bisa tegar tanpa kehadiran Kyuhyun?
Bagaimana aku bisa kuat hidup tanpanya jika hatiku saja sudah sangat bergantung
pada kehadiran pria itu? Well..., aku paham. Dengan pengharapanku yang semacam
ini, aku tetap tidak bisa kembali.
“Sayang. Tidak apa-apa yaa? Walaupun tanpa appa, eomma akan berusaha
memberikan semuanya untukmu”
Pertanyaan bernada lirih itu terdengar menyedihkan.
Aku bahkan sudah mengorbankan segalanya, mahkotanya, hatinya.
Semuanya kuserahkan tanpa tersisa, dan dengan secercah janji yang kita sematkan,
pantaskah ia melakukan ini padaku? Ia sudah berjanji untuk memperlakukanku
seperti ini. Ia bilang mencintaiku. Tapi kenapa? Kenapa? Hanya untuk sekedar
memberiku kesempatan untuk menjelaskan kenapa pria itu begitu enggan?
Aku menoleh pelan, dan segera mengusap sisa-sisa air mataku yang masih
membekas saat seseorang masuk. Aku mencoba tersenyum saat melihat siapa
gerangan yang datang, dan langsung dibalas senyuman yang tak kalah lebar.
Tangannya membawa satu buket besar bunga tulip putih. “Aku membawa sesuatu
yang kau suka” ucap Eunbi telaten memasukkan satu-satu kedalam vas yang sudah
ia sediakan.
“Terimakasih eonni”

208
209

“Bagaimana soremu? Baik-baik saja bukan?” tanyanya.


“Baik, sangat baik dari sebelumnya” jujurku.
“Aku juga membawa bubur untukmu, ayo makan”
“Baiklah”
“Ingin kusuapi?”
Aku mengangguk setuju. Aku merindukan momen kebersamaan semacam
ini. “Cha. Makanlah, nona Eunso yang manja” ucap Eunbi membuatku tertawa. Aku
mengunyahnya, tidak sesulit dengan apa yang kubayangkan. Entah karena lapar
atau suapannya yang menakjubkan, yang jelas aku memang menikmati ini. Kami
makan dalam diam, diam yang menenangkan. Aku dan dia sama-sama tidak ingin
menghancurkan kesunyian yang telah tercipta. Bahkan hingga di suapan terakhir,
aku benar-benar tidak ingin membuka suara.
“Selesai...”
Ucapnya sepihak. Ia meletakkan bekas piring itu di atas nakas dan kembali
duduk di sampingku. “Eunso...”
Suaranya mendadak serius. “Ya...”
“Besok adalah hari persidanganku dengan Kyuhyun” ucap Eunbi hati-hati.
Hatiku berdesir. Tangannya menggenggam tanganku lembut. Aku bisa
merakan emosinya yang membuncah, meski aku tahu ia berniat untuk
menguatkanku, tapi aku tetap tidak merasa dikuatkan.
“Eonni maafkan aku”
“Tidak! Jangan pernah menyalahkan dirimu. Akulah yang salah. Jika aku tidak
sepengecut ini, semuanya pasti tak akan pernah terjadi” ucap Eunbi. Suaranya serak,
dan aku tahu ia juga sedang menahan tangis seperti apa yang sedang kulakukan.
“Aku yang mengumpankanmu untuk Kyuhyun. Aku yang memintamu untuk
menggantikanku. Akulah orang yang membuatmu seperti ini. Kau... kau pasti sangat
kecewa padaku kan?” erang Eunbi.

209
210

“Tidak eonni. Eunso justru berterimakasih”


“Terimakasih untuk apa? Untuk semua yang kulakukan?”
“Aku mencintai Kyuhyun oppa” akuiku jujur.
"Maafkan aku. Maaf untuk kelancanganku karena telah berani menaruh hati
pada suamimu. Aku mencintainya lebih dari apapun, tidakkah itu menyakitkan
bagimu? Dan kenyataan terbesarnya, aku bahkan mengandung anak suamimu”
Aku mencoba mengeluarkan segala hal yang membuatku berada dalam
bayang-bayang kesalahan. Terlepas dari perjanjian diawal, aku tidak seharusnya
mencintai Kyuhyun, itu jauh dari rencanaku.
“Eunso...” teriak Eunbi.
“Kumohon jangan pernah meminta maaf padaku. Aku sangat tidak pantas.
Marahlah padaku, caci makilah aku jika perlu bunuh aku Eunso-ya!! Jangan
membuatku merasa sesakit ini karena mendapat pengampunan darimu” erang
Eunbi.
“Eonni...”
®®®
Malamnya, aku susah untuk tidur atau hanya sekedar memejamkan mata.
Meski aku sudah mencobanya keras, hal itu tak membuahkan hasil. Yang ada hanya
kengerian dalam gelap mataku. Aku menatap langit-langit kamar, sunyi. Cahaya
remang-remang cukup membantuku menutupi tangisanku yang kelewat pelan dan
sukar berhenti. Aku tidak bisa melihat sudah pukul berapa aku masih terjaga, tapi
kuyakin..., sebentar lagi pagi akan hadir. Aku menarik napas pelan, aku tidak bisa
menghentikan waktu, bagaimanapun aku tidak siap untuk menyambut esok, pagi
akan tetap menyongsong.
Kyuhyun...
Kyuhyun...
dan Kyuhyun...

210
211

Aku tersenyum getir menyadari bahwa aku tak pernah bisa lepas darinya.
Nama itu membuatku menyadari sesuatu, sesuatu yang membuatku merasa seperti
orang yang tak punya pemikiran. Aku mencintainya..., mencintai pria yang
seharusnya kuhormati sebagai kakak iparku. Aku tidak seharusnya berbuat
menyimpang dengan merasa bahwa ia adalah satu-satunya milikku tanpa sadar
dengan kepemilikan yang sebenarnya. Well..., ini mungkin konsekuensinya. Aku tak
seharusnya hanyut dalam pernyataannya cintanya yang semu. Pun..., jika aku harus
mengakui kekalahanku. Kyuhyun tidak benar-benar menginginkanku, yang ia cintai
bukanlah diriku, melainkan Song Eunbi. Karena dalam sudut pandangku, Kyuhyun
hanya sedang terjebak. Pria itu hanya kurang sabar menunggu.
Sejak awal, aku hanyalah wanita yang terikat janji.
Well..., aku mungkin tidak akan pernah bisa bersamamu, tapi aku akan selalu
mencintaimu sampai akhir hayatku. Aku tidak akan lagi mendengar suaramu, tapi
aku akan selalu mengenang suara beratmu.
Kyuhyun side’s
Aku meringkuk dalam diam, pikiranku jauh berkelana tentang keputusan
yang akan kuambil. Kemarahan mempengaruhiku kuat, semuanya bisa saja kuhabisi
dan itu akan terjadi sesaat lagi. Aku menyusun banyak cara supaya dendamku tidak
akan sia-sia. Aku ingin membuktikan bahwa..., Cho Kyuhyun bukanlah ajang untuk
main-main. Seseorang harus disadarkan akan konsekuensi yang harus diterima
karena telah berani bermain api denganku. Tidak. Aku tidak akan pernah bisa marah
pada Eunso, bukan wanita itu yang mampu membuat emosiku semeledak ini. Meski
di awal aku terkesan biadab, aku tak pernah berniat untuk menyalahkan Eunso.
Sama sekali tidak. Aku mencintai wanita itu.
Aku tidak seharusnya membuat Eunso merasa ketakutan dalam ancamanku.
Aku seharusnya bisa lebih bijak untuk mengatasi problema ini, atau setidaknya aku
membiarkannya menjelaskan padaku. Dan seharusnya... seharusnya...

211
212

“Hyung...” tegur Henry membuyarkan lamunan panjangku. Aku menatapnya


sekilas, dan dari kilasan itu aku mampu mengenali bekas pukulan Song Daehyun.
Henry mengamati kantong infus yang ada disamping nakas.
“Kantong infusnya harus diganti” ucap Henry. Aku meliriknya, “Tidak perlu”
“Bagaimana hasilnya?”
“Igo. Surat perceraianmu dengan Eunbi. Sekarang kau sudah resmi bercerai”
Aku memandanginya seksama sebelum benar-benar membacanya. Ini
menyenangkan, tidak ada yang bisa menghalangiku. Satu per satu akan kulalui dan
langkah awal baru saja dimulai.
“Dimana Euns”?" tanyaku.
“Di rumah sakit Seoul”
“Bagus. Besok pagi antarkan aku kesana”
"U-untuk apa? Kau-kau tidak akan membunuhnya bukan? Please... aku sudah
menjelaskan semuanya padamu hyung!!” panik Henry.
“Tidak perlu ikut campur”
“Hyung..., kurasa ada baiknya jika kau tetap tinggal. Aku sudah menceritakan
semuanya, mengenai akar alasan yang mendasari. Aku berani bersumpah, Eunso
tidak bersalah. Kenapa kau masih berniat untuk membunuhnya eo? Tidakkah cukup
untuk membuat Eunbi dan Jongin hancur?” pekik Henry.
“Aku tidak pernah berkata ingin membunuhnya brengsek”
®®®
Paginya aku bergegas menuju rumah sakit. Turunan salju tak membuatku
mengulur jam pemberangkatanku. Aku melaukan ritual pagiku cepat tanpa benar-
benar menikmatinya. Celana panjang hitam, sweater biru navy kupilih sebagai
pakaian casual untuk menemui Eunso. Well..., aku harus terlihat dalam kondisi baik-
baik saja dan yang terpenting aku tidak terlihat menakutkan. Aku mengendari mobil
secepat yang kubisa dijalanan bersalju. Aku perlu sesuatu yang bisa melengkapi

212
213

penampilanku, maka itu aku membawa sebuket bunga yang paling Eunso senangi.
Aku harap..., dan aku benar-benar berharap bahwa aku bisa memperbaiki
semuanya.
Rumah sakit masih terlihat ramai meskipun langit dipenuhi oleh awan
bersalju. Aku segera keluar dari mobil sesampainya. Dari telingaku, aku bisa mencuri
dengar suara langkah kakiku yang mengetuk-ngetuk lantai. Aku menjadi penuh
dengan ketidaksabaran, langkahku panjang-pangjang sesekali berlari.
203.
203.
Got it.
Kyuhyun menghembuskan nafas sebelum benar-benar membuka pintu
kamar. Mataku semu, kelu, dan aku mungkin salah kamar, tapi nyatanya tidak sepeti
itu. Well..., “Eunso...” panggilku.
Aku mencoba untuk tidak percaya akan hal yang bisa membuatku
mengernyit ngeri. Aku tidak ingin meski aku mulai bisa membaca situasi apa yang
sedang terjadi. Darahku berdesir karena serangan panik yang mendadak. Kamar itu
kosong, tak ada apapun yang mampu membuatku lega, tak ada Eunsoku.
“Eunso,” panggil Kyuhyun panik.
Ini tidak benar, dan memang tidak bisa dibenarkan. Aku mencoba sebisa
mungkin untuk tenang, tapi aku juga selalu gagal. Aku tak bisa terima untuk hal yang
melewatiku begitu saja...
“Sayang... ini aku” teriakku sekian kali. Kakiku sudah seperti lelehan lilin yang
tak berbentuk. Aku tidak ingin mengakui keterlambatanku ini sebagai awal dari
nerakaku. Aku bisa saja kalah, tapi aku tidak siap. Aku tidak sanggup untuk apa-apa
yang seharusnya tidak menyerangku secepat ini. Selagi aku kalut, aku tidak bisa
berpikir jernih, dan disaat itulah aku menemukan sesuatu yang membuatku
mengerang ngeri. Aku yakin..., itu sebuah petunjuk bagiku. Tapi..., itu juga bisa

213
214

menjadi gerbang ketakutanku. Dalam kengerian yang semakin menekanku, aku


tetap tidak bisa mengabaikan apa isi dari pesan yang ia tulis meski aku setengah
meyakini dengan apa yang ada dalam benakku.
Aku harap..., ini hanyalah surat.
Cho Kyuhyun
Maafkan aku. Sungguh bukan maksudku membohongi,
memanfaatkan, atau semacamnya. Aku mungkin tak termaafkan.
Aku sudah menetapkan pilihan...
Pergi, atau tinggal
... dan beruntungnya aku tidak bisa memilih pilihan kedua. Memangnya
bagian mana dari diriku yang bisa membuatku tetap tinggal?
Begini...
Aku tahu sikapku ini menyebalkan, tapi sungguh tak ada jalan lain...
Keadaan akan lebih susah kalau aku terlalu sering memikirkanmu,
jadi... biarkan aku pergi dengan sejuta rasa bersalahku.
Biarkan aku mati...

Yeah, aku mencintaimu. Sangat. Tapi, itu tidak mengubah keadaan.


Maaf.
Song Eunso.
Aku meraba kertas itu, merasakan lekukan-lekukan tempat Eunso menekan
bolpoinnya begitu kuat sampai kertasnya nyaris saja sobek. Aku bisa membayangkan
bagaimana ia melukiskannya, menggoreskan kalimat-kalimat bernada penuh
emosial dengan tulisannya yang tegas. Aku bisa membayangkan perasaan frustrasi
membuat alis hitamnya bertaut dan keningnya berkerut, pun dengan lingkar-lingkar
kecil yang kuyakini sebagai jatuhan bahwa emosinya benar-benar mencemaskanku.

214
215

Seandainya aku di sana, aku pasti ingin segera menghapus agar tak ada lagi saksi
bagaimana ia bisa merasa seterluka ini.
Jantungku bergetar hebat, saat kembali membaca kata-kata yang sudah
kuhafal di luar kepala itu. Aku sudah tahu inti surat ini sebelum membukanya, tetapi
tetap tidak bisa tidak mengejutkanku. Yang mengejutkan adalah betapa besarnya
setiap kata-kata itu melukai hatiku, sekan-akan setiap hurufnya tajam-tajam. Lebih
lagi, di setiap permulaan katanya, tersimpan perasaan sakit hati, kepedihan Eunso
mengoyak-ngoyak hatiku lebih dalam daripada kepedihanku sendiri. Tenggorokanku
tercekat saat aku mencengkeram kertas itu menjadi serpihan-serpihan kecil. Aku
menggeleng-geleng seraya mundur.
“Kyuhyun?”
Seseorang menginterupsiku, tapi aku lebih memilih untuk berkutat pada
duniaku. Dan kupikir..., kalau aku seharunya lebih cepat merasa yakin akan masa
depan yang kuinginkan bersama Eunso, yakin aku bisa bersamanya selamanya, maka
aku tidak akan merasa seterlambat ini. Dan apabila ini adalah awal dari
kebodohanku, aku tidak akan pernah lupa bahwa aku pantas mati untuk ini. Aku
sungguh merasa bersalah memikirkan situasi saat ini, karena dugaanku, kepergian
Eunso jelas adalah salahku. Dan dalam banyak hal, aku tidak berani membayangkan
dimana wanita kecil itu akan bertahan hidup diluaran sana.
“Kyuhyu—”
“Cari Eunso!” potongku panik. Aku tidak ingin percaya bahwa Eunso sudah
berada jauh dari sini, tapi sisi jiwaku yang lain juga terlihat muram.
“Apa maksudmu Kyuhyun?”
“Dia pergi”
Sedetik, kenangan terakhirku bersama Eunso membanjiri otakku dan
membuatku seketika merasa marah. Kemarahanku berubah menjadi kengerian. Aku
bisa melihatnya dengan jelas, ucapanku yang kasar, tanganku yang menganiaya, aku

215
216

menggeleng keras. Seolah ingin menepis kenangan buruk itu jauh-jauh dan berusaha
mencerna apa yang harus kulakukan sekarang. Ekor mataku melirik pergerakan
Daehyun, ekspresinya sama ngerinya dengan apa yang kurasakan, bagaimanapun
pria itu juga merasa gelombang panik yang mengerikan saat menyadari tidak adanya
wanita yang ia cintai ini.
“Eunso, ini oppa sayang” panggil Daehyun.
“Cari dimanapun, kumohon cari Eunso... aku,” perintahku memohon. Aku tidak
mencoba meneruskan, aku kalut meninggalkan Daehyun. Aku berlari sebisaku, tidak
memerhatikan kemana aku bisa mencari Eunso di tempat sebesar ini. Aku hanya
berlari tak tentu arah, menyusuri setiap lorong rumah sakit yang bisa kujangkau.
Kalau saja aku bisa merasa kebas lagi, tapi aku ingat betul bagaimana aku dulu bisa
membuat diriku merasa semengerikan itu. kejadian itu menggayuti pikiranku dan
membuatku semakin merasa sedih disela-sela pencarianku.
Waktu aku sadar, aku sudah memutari lorong-lorong ini dua kali. Aku menatap
Daehyun dan mencoba berharap disisa-sisa harapanku. Tapi ekspresinya tak bisa
membohongiku bahwa ia juga tak menemukan apapun. Tak ada Eunso, dan saat
itulah teriakanku dimulai. Aku sadar tidak ada apa-apa, tidak ada Eunso yang kucari,
tidak ada apa-apa kecuali kehampaan.
Aku membentur-benturkan kepalaku ke tembok terdekat berusaha
mengalihkan diriku dari kepedihan yang teramat sangat. “KYUHYUN!” teriak
Daehyun. Ia mendekapku erat, mencoba menahan hal-hal buruk kembali kulakukan.
Dan jika kepedihan ini bisa cukup mereda hingga membuatku bisa berpikir, aku
yakin akan merasa bersyukur atas waktu yang pernah ia berikan padaku. Lebih dari
yang kuminta, lebih dari yang pantas kuterima, mungkin suatu saat nanti aku bisa
melihatnya seperti itu.
Aku mengerang hebat, air mata merebak melewati sudut-sudut mataku dan
hal ini mampu membuktikan bahwa kepergian Eunso menjadi racun yang

216
217

mematikanku. Aku memandang sekeliling dengan ngeri. Aku menggeleng, berusaha


memahami, aku tahu ia tidak ada disana, namun tetap saja ia terasa begitu dekat,
dekat untuk pertama kalinya sejak... sejak yang terakhir itu. Nada sedih dalam
tulisannya merupakan ungkapan keprihatinan, amarah yang dulu pernah sangat
familiar, sesuatu yang sudah lama tak pernah kudengar lagi, sepertinya sudah
selamanya.
“Daehyun...,”
Aku memanggilnya seperti suara radio yang volumenya dikecilkan.
“Cari milikku. Kumohon cari Eunso, aku..., aku tak bisa hidup tanpanya”
ucapku lelah. Saraf-saraf tubuhku bagai energi yang tak dimanfaatkan dengan baik.
Pikiranku yang kalut membuatku seperti orang yang berbeda. Aku telah diubah,
bagian dalam diriku diubah hingga nyaris tak bisa kukenali. Seharusnya, dan
seharusnya, aku tidak pernah mengulur waktu untuk sekedar bertemu dan
menurunkan egoku. Atau, seandainya saja aku bisa lebih manusiawi, Eunso mungkin
masih ada disini.
Aku tertawa meski pikirku itu tidak lucu, aku menghirup, masih megap-megap
memasukkan pasokan udara dalam tubuhku. Semunya sirna, dan jika waktu akan ini
akan mempunyai rentetan dampak yang panjang, maka aku hanya bisa menyesal
dan mengutuk diriku sendiri.
®®®
Waktu berlalu.
Bahkan rasanya mustahil, waku tetap terus berjalan. Bahkan di saat setiap
detik pergerakan jarum jam terasa menyakitkan, bagaikan denyut nadi di balik luka
memar. Waktu seakan berlalu di jalan yang tidak rata, bergejolak, dan diseret-seret,
namun terus berjalan.
Dua bulan semenjak kepergian Eunso membuatku seperti bulan tersesat—
planetku hancur dalam scenario film tentang kepedihan hati yang menimbulkan

217
218

perubahan besar— yang tetap, walau bagaimanapun, bergerak dalam orbitnya yang
kecil dan sempit mengitari ruang angkasa yang kini kosong. Setiap kali aku membuka
mata dan melihat cahaya matahari, aku menyadari bahwa aku telah selamat
melewati satu malam tanpa dirinya. Dan itu cukup membuatku terkejut,
bagaimanapun juga aku masih bisa bertahan hidup meski tidak lama lagi.
Kyuhyun menatap kosong beberapa berkas dihadapanku. Meski begitu,
bukan berarti aku fokus dan tidak memikirkan hal lain diluar ruangan ini. Aku sadar,
aku seperti idiot dalam menghadapi fakta-fakta mengerikan. Eunso... masih saja
tidak bisa kutemukan. Tidak ada satu orangpun mampu memberitahu dimana
keberadaannya padaku, dan aku tidak mengerti sama sekali. Bagaimana wanita itu
benar-benar menghilang tanpa jejak, tanpa tanda sedikitpun. Aku tahu ini konyol,
dan takdir juga tidak akan membiarkanku menemukannya dengan mudah.
Kenyataan yang mampu membuatku marah. Aku benar-benar dibuat tak berdaya
sama sekali.
Aku benar tidak bisa menemukan Eunso. Dan di dunia seluas ini, dengan
dirinya yang begitu kecil, hal itu membuatku tertohok akan kesempatan yang
semakin menyempit. Eunso menghilang tanpa jejak, mendorongku jauh ke dalam
lubang penyesalanku. Bahkan, hal ini membuatku ragu mengenai keberadaannya
Eunso, apakah dirinya benar-benar nyata atau hanya sebatas khayalannyaku saja.
Tetapi setelahnya aku menyadari, dengan cintaku yang melebar, Eunso bukanlah
sekedar halusinasiku belaka, wanita itu nyata dan memang ada untukku.
“Song Eunso” bisikku lirih.
Well..., tidak ada yang bisa menggambarkan tentang bagaimana aku
merindukan Eunso selain diriku sendiri. Aku tidak menuntut orang lain untuk
bertanggung jawab atas diriku, karena... bagaimanapun ini terjadi karena
kesalahanku sendiri. Berpuluh-puluh tahun lamanya aku mempertimbangkan untuk
menciptakan pendamping untuk hidupku. Dan..., ketika aku berhasil

218
219

menemukannya, aku justru melakukan hal yang mampu membuatku sekarat. Setiap
malam, aku selalu terbangun bukan karena lapar ataupun haus seperti
kebiasaannya, tapi lebih karena tubuh melalui alam bawah sadarku begitu
merindukan Eunso. Aku ingin terbangun dengan Eunso berada disebalahku. Aku
ingin memeluk Eunso sepuas aku mau.
Dan..., ilusi hanya sekedar ilusi. Seberapa aku menderita, ia tak akan pernah
datang padaku. Lubang di dadaku kini semakin parah. Kusangka aku bisa
mengendalikannya, tapi aku mendapati dirku meringkuk setiap hari, seraya
menecengekeram pinggang dan megap-megap kehabisan udara.
Aku tak mampu menghadapi kesendirian dengan baik.
Ini ironis.
Kepalan Henry meninju meja. “Baiklah, hyung! Aku sudah muak denganmu!”
Aku mendongak dari tumpukan berkas, yang sejak tadi hanya kupandangi
tanpa pernah kubuka, dan menatapnya dengan penuh tanda tanya. Biasanya aku
akan marah saat seseorang mengangguku, tapi sekarang aku lebih memilih diam,
semua ekspresiku mendadak hilang bersamaan dengan hilangnya Eunso dari jarak
pandangku.
“Ada apa?” gumamku bingung.
“Benar bukan, bersikaplah seperti orang normal. Marah, senyum, tertawa,
apapun itu, please... lakukan!”
Henry memandang putus asa saat aku lambat laun mencerna maksudnya.
“Tidak ada gunanya”
Kurasakan wajahku mengernyit. Benar-benar tidak adil jika ini harus
dipermasalahkan. Kelakuanku selama dua bulan terakhir juga tanpa cela. Aku tak
pernah minum atau bermain-main dengan hal lainnya. Aku tak pernah melanggar
hal buruk sama sekali.
Henry merengut.

219
220

“Kau tidak melakukan apa-apa. Justru itulah masalahnya. Kau tidak pernah
melakukan apa-apa, kau lebih seperti orang mati daripada presdir segala
perusahaan”
Perkataanya sedikit menyinggung perasaanku. Padahal aku sudah berhati-
hati untuk menghindari segala bentuk kesedihan. Tapi, tuduhan yang Herny buktinya
tepat mengenai sasaran. Aku menghela napas dan berusaha memperdengarkan
nada ceria.
“Maafkan aku, Henry”
Permintaan maafku terdengar datar, bahkan di telingaku sendiri.
“Aku tidak ingin kau meminta maaf”
Aku mendesah. “Kalau begitu, katakana apa yang kau ingin aku lakukan”
“Hyung...”
Henry ragu-ragu, dengan cermat menelaah reaksiku terhadap kata-kata
selanjutnya. “Kau bukan orang pertama yang mengalami hal semacam ini”
“Aku tahu”
“Dengar hyung..., menurutku—mungkin... mugnkin kau butuh bantuan”
“Bantuan?”
Henry diam sejenak, kembali mencari kata-kata yang tepat. “Mungkin, well,
mungkin kalau kau bicara dengan orang lain tentang masalah ini. Seorang
professional”
“Kau ingin aku berkonsultasi ke psikiater?” suaraku terdengar tajam saat aku
menyadari maksudnya.
“Mungkin itu bisa membantu”
“Tak ada yang bisa membantuku, kecuali Eunso”
Aku tidak begitu paham soal psikoanalisis, tapi aku sangat yakin itu bakal
efektif kecuali subjektifnya relatif jujur. Tentu, aku bisa mengatakan hal

220
221

sebenarnya— kalau aku ingin menghabiskan sisa hidupku di sel untuk orang gila
yang dindingnya dilapisisi busa pengaman.
“Hyung..., aku ingin kau bahagia— tidak bahkan tidak perlu sedrastis itu. Aku
hanya ingin kau tidak merana lagi”
Aku pura-pura bodoh, dan bangkit meninggalkan Henry. Aku segera keluar,
karena begitu terburu-buru ingin secepatnya menyingkir dari hadapannya.
Keuntungannya aku bisa menghindar dari pertanyaan menyesakkan, tapi sayangnya
aku juga jadi punya banyak waktu untuk hal yang lebih menyesakkan lagi. Well..., ini
menyedihkan menyadari diriku bukan lagi tokoh utama, bahwa kisahku sudah
berakhir.
Aku tidak menggubrisnya, aku melangkah pelan-pelan tanpa pernah
memutuskan secara sadar untuk menggerakkan kakiku ke arah mobil. Aku tidak
mengerti mengapa tetapi aku tetap masuk dan duduk di kursi kemudi. Jam masih
menunjukkan pukul 2.03 KST, waktu yang terlalu pagi untukku pulang dan memang
kepada jiwaku yang tidak ingin pulang ke rumah. Disana..., rasanya lebih mengerikan
daripada yang kubayangkan. Semua bayangan menjadi terlihat begitu jelas dan itu
benar menyakitkanku. Sungguh..., untuk alasan yang lebih rasional aku merasakan
takut yang berlebih dibanding hal-hal yang bisa membuatku mengerang keras.
Aku terdiam cukup lama sebelum akhirnya menyalakan mesin dan mulai
melaju. Sesuatu yang asing berdesir dalam pembuluh darahku selagi menyusuri
jalanan yang kian sepi. Aku mulai menjauh meninggalkan hiruk pikuk kota yang
menyesakkan. Aku tidak memperhatikan kemana aku mengendarai mobilku— hanya
berjalan tak tentu arah, menyusuri jalanan yang mulai kosong dan basah karena aku
sengaja menghindari jalan-jalan menuju rumahku— karena aku memang tak tahu
mau pergi kemana.
Ucapan Henry mengingatkanku pada mimipi buruk yang menggayuti
pikiranku dan membuatku memikirkan hal-hal yang membuatku sedih. Aku tak ingin

221
222

mengingat rumah. Bahkan saat aku bergidik dan menepis bayangan-bayangan itu,
aku merasa air mataku merebak dan kepedihan mulai merayapi tubir lubang
dadaku. Kulepas satu tangan dari kemudi dan memeluk tubuhku agar tetap utuh.
Janjiku, apapun yang terjadi, hadirku selalu ada untukmu.
Kata-kata itu berkelebat di benakku, tak lagi terdengar jelas dan sempurna
seperti halusinasiku sebelum ini. Sekarang itu hanya kata-kata, tanpa suara, seperti
tulisan yang tercetak di buku. Hanya kata-kata, tapi justru begitu mengoyak lubang
dadaku hingga terbuka lebar. Aku menginjak rem keras-keras, tahu konsekuensi
yang kudapat apabila menyetir dengan kondisi seperti ini.
Aku membungkuk, menempelkan wajahku ke kemudi dan mecoba bernapas
lebih leluasa. Aku bertanya-tanya sampai kapan aku bisa mengalami kengerian ini.
Mungkin suatu saat nanti, bertahun-tahun dari sekarang, atau akan berakhir
selamanya, namun bila kepedihan itu mereda hingga ke tahap aku sanggup
menanggungnya— aku akan bisa mengenang kembali beberapa bulan pendek yang
akan selalu menjadi masa-masa terindah dalam hidupku. Dan, jika kepedihan ini bisa
cukup mereda, hingga membuatku mampu lebih baik, aku yakin akan bersyukur atas
waktu yang pernah Euso berikan padaku. Atas kebahagiaan yang ia berikan padaku
dalam jangka waktu yang lama, untuk semua bentuk perhatian yang ia torehkan
padaku tanpa dikekang waktu.
Tapi bagaimana jika lubang itu takkan pernah membaik?
Bagaimana jika lubang itu justru akan semakin menganga?
Bagaimana jika kerusakannya permanen dan tak bisa diperbaiki lagi?
Kudekap diriku lebih erat lagi. Janjiku, apapun yang terjadi, hadirku selalu
ada untukmu, pikirku merana. Janji yang sungguh tolol dan mustahil untuk ditepati.
Janji yang takkan pernah bisa ia tepati, janji yang dilanggar segera setelah ia
membuatnya. Aku membentur-benturkan kepalaku ke kemudi, berusaha
mengalihkan diriku dari keadaan yang menyayatku.

222
223

Itu membuatku merasa tolol, karena berpikir untuk selalu menepati janjiku.
Dimana letak logisnya, menepati kesepakatan yang sudah dilanggar pihak satunya?
Siapa yang akan peduli kalau aku melakukan perbuatan yang tolol dan ceroboh? Tak
ada alasan menghindar dari kecerobohan, tak ada alasan mengapa aku tak boleh
melakukan hal konyol seperti bunuh diri misalnya.
Lama sekali aku memandang ke luar kaca depan, pikiranku bergerak lambat,
sepertinya aku tak bisa membuat pikiranku berkelana ke tempat lain. Kumatikan
mesin lalu turun ke tengah hujan yang mengguyur. Hujan dingin menetes-netes dari
rambutku, kemudian mengalir menuruni pipi bagai air mata. Air hujan membantu
menjernihkan kepalaku, aku mengerjap-ngerjapkan air dari mataku, menatap
kosong ke seberang jalan.
Setelah memandang selama beberapa menit, barulah aku menyadari dimana
diriku berada. Aku berdiri tepat dimana Eunso tersipu malu akan ungkapan cintaku
dulu. Salah besar berkeliaran tanpa tujuan seperti ini, pikiran melantur dan linglung,
ternyata membawaku ke tempat dimana aku tidak ingin datang.
Kebetulan? Atau memang sudah ditakdirkan seperti ini? Karena sejauh aku
berjalan, tak peduli kemana aku melangkah, nyatanya aku akan selalu kembali
dimana kenangan-kenanganku bersama Eunso terbentuk. Entahlah, aku benar-benar
tidak mengerti, ada banyak janji yang belum kutepati, sayangnya... kau sudah
terlanjur pergi.
®®®
Setiap malam aku selalu terbangun, bukan karena aku merindukan Eunso,
tapi karena mimpi buruk itu kembali menderaku. Aku memang selalu bermimpi
buruk, dan mimpiku selalu sama, karena selalu mimpi buruk yang sama. Kau pasti
mengira aku akan bosan setelah sekian bulan berlalu, menjadi imun terhadapnya.
Tapi mimpi itu tak pernah gagal membuatku ngeri, dan baru berakhir saat aku
menjerit terbangun seperti sekarang.

223
224

Mimpi burukku mungkin tidak menakutkan bagi orang lain. Bukan mengenai
sesuatu yang tiba-tiba melompat dan berteriak mengagetkan, bukan mengenai
hantu, ataupun psikopat. Yang ada hanyalah kehampaan. Hanya ada aku dan tanah
lapang sejauh mata memandang. Begitu sunyi hingga kesunyian itu menekan
gendang telingaku. Suasananya gelap, seperti senja di hari berawan, hanya ada
seberkas cahaya tertinggal untuk melihat bahwa tidak ada yang bisa dilihat. Dalam
mimpi aku bergegas menembus keremangan, mencari, mencari, dan semakin panic
saat tak menemukan Eunso didekat cahaya. Kemudian aku sampai dititik dalam
mimpiku, dan aku bisa merasakannya sekarang, tapi rasanya aku tak pernah bisa
mengingat apa yang sebenarnya kucari. Bahwa tak ada apa-apa yang bisa kucari, dan
tidak ada apa-apa yang bisa kutemukan. Bahwa tak pernah ada apa-apa kecuali
tanah yang sepi kosong, dan tidak akan pernah ada apa-apa lagi untukku... tidak ada
apa-apa kecuali kehampaan...
Aku memandangi langit-langit kamar dan menangis diam. Menyedihkan dan
naas adalah dua kata favorit untuk menjulukiku. Aku berusaha mengendalikan diri,
memberi penjelasan yang masuk akan untukku. Hal paling buruk apa yang bisa
terjadi? Aku tersentak. Jelas itu pertanyaan keliru. Sulit rasanya bernapas dengan
benar.
Oke, aku berpikir lagi. Hal buruk apa yang sanggup kuterima? Well..., aku
juga tidak menyukai pertanyaan itu. Tapi aku memikirkan berbagai kemungkinan
yang kupertimbangkan. Ilham menyambarku bagai sambaran petir. Dan saat itulah
sebuah ide muncul di kepalaku. Aku ingin melakukan hal yang tolol dan ceroboh,
dan aku ingin melanggar janji. Jika aku janjiku tetap tidak bisa menghadirkan Eunso,
lalu mengapa aku harus tetap melakukannya? Hanya sampai sejauh itu aku
memikirkannya. Aku mendesah tak sabaran— itu sudah bisa kusimpulkan. Aku
berkonsentrasi pada rencana penuh harapan itu untuk mencegah pikiranku terbawa

224
225

lagi ke kenangan yang menyakitkan. Melakukan hal ceroboh tentu membutuhkan


kreativitas tinggi— mungkin lebih dari yang kumiliki.
Tapi aku juga berharap bisa menemukan jalan... menemukan Eunso...
perasaanku bakal lebihb baik jika aku tidak berpegangan erat-erat, sendirian, pada
kesepakatan yang sudah ia langgar.
Aku tidak memiliki alasan untuk takut. Aku tidak bisa membayangkan ada hal
lain yang perlu kutakuti selain kepergian Eunso.
Bunuh diri?
Pertanyaan itu menarik perhatianku. Tidak, aku tidak ingin bunuh diri. Aku
tidak bermaksud bunuh diri. Bahkan pada awalnya, saat kematian tak diragukan lagi
akan mendatangkan kelegaan, itu tidak pernah terpikir olehku. Karena..., entah
kenapa aku yakin bahwa suatu saat ia akan kembali padaku. Entah kapan, yang pasti
aku tidak ingin mati dulu.
Wine.
Wine.
Aku bisa membuatku ceroboh dengan hal itu, dan mungkin aku bisa sedikit
lupa akan sakit yang kurasakan. Aku memutuskan untuk tidur kembali dan rasanya
tidak sesulit yang kubayangkan. Keesokan paginya, perasaanku benar-benar lebih
baik. Aku bisa tidur nyenyak tanpa mimpi yang kedua, dan aku sangat siap untuk
melakukan apa-apa yang telah kupikirkan semalaman. Aku bisa melakukan ini
sampai batas akhir yang takdir tentukan untukku. Kalau aku beruntung, hal ini akan
membawa Eunso datang padaku, dan jika aku kalah, maka hanya kematianlah yang
akan menghampiriku. Well..., seimpel itu.
Aku melakukannya dengan bergegas. Aku melewatkan sarapan, terburu-buru
ingin meninggalkan rumah secepat mungkin. Toh lagipula sarapan tetap tidak akan
membuatku hidup seperti manusia normal pada umumnya. Aku bersusah payah
menahan diri saat mengendarai mobil dan melaju menuju kantor, dan melakukan

225
226

segala sesuatunya dengan seperti biasa. Tidak ada yang bisa menghalangiku, hingga
saatnya tiba aku harus mencobanya. Sesuatu tidak akan bisa kutahu jika belum
mencobanya bukan?
Waktu rasanya berlangsung sangat lambat, entah karena ketidaksabaranku
menunggu waktu itu tiba atau memang semuanya terasa membosankan. Aku melirik
arloji dan memutuskan untuk menuju BlackSuit lebih awal. Selama perjalanan aku
benar-benar menyakinkan diriku, toh ini bukan suatu hal yang pantas
kupermasalahkan. Dari awal aku bukanlah pria baik-baik, hanya karena janjiku pada
Eunso..., aku tidak harus merasa takut melanggar agar hidupku tetap berada dalam
jalan yang lurus. Toh..., sejak awal bukan aku yang melanggar janji. Jadi..., alasan apa
yang patut kupertahankan jika Eunsopun tak pernah ada lagi disiku? Aku lemah...,
dan aku tak tahu bagaimana aku bisa mengobati ini semua.
Setelah sampai, aku segera memarkir mobilku tepat dimana Heechul
memintaku. Aku membiarkan mesim mobil tetap menyala sembari memegang keras
kemudi kuat-kuat saat suara Eunso tiba-tiba masuk melewati indera pendengarku.
Oppa
Aku tersenyum dan menghembuskan napas.
Ya? Aku menjawab dengan lirih, bahkan aku tak bisa mendengarkannya
sendiri. Aku takut, suara besarku akan menghancurkan ilusi indah itu. Eunso
terdengar sangat nyata, sangat dekat, seolah-olah ia memang berada tepat di
hadapanku.
Jangan lakukan apapun, pulanglah. Pintanya.
Datang dan hentikan aku. Sekarang!
Aku tersenyum dan segera keluar secepat mungkin. Aku ingin mendengar
suara lebih lama, lebih dekat, sebagaimana ia memperhatikan aku. Dan..., jika aku
tahu ini akan mendatangkan Eunso padaku, aku sungguh akan melakukan jauh-jauh

226
227

hari sebelum depresi menghampiriku. Meski..., hanya dalam bentuk ilusi. Itu sudah
sangat membantuku merasakan bukti kehadirannya memang ada.
“Hyun”
“Oo... berikan aku yang paling tinggi kadarnya” ucapku cepat. Aku merasa
bersyukur untuk tidak menjelaskannya lebih jauh tentang alasanku kemari. Heechul
melesat pergi dan kembali padaku secepat kilat. “Aku tidak akan bertanya sekarang,
tapi setelahnya kau tidak akan lolos” ucap Heechul. Aku tersenyum lebar, banyak
cakap!
“Panggil aku kalau kau berubah pikiran” ujarnya lagi sembari pergi
meninggalkanku dengan perasaan penuh tanya. Aku memandangi satu wine
bertuliskan Screaming Eagle Cabernet (1992).
Aku akan minum, datang dan hentikan aku, sayang.
Itulah kata-kata terkahirku sebelum aku benar-benar merasa jatuh dalam
pusaran yang kutemukan sendiri. Aku menyesapnya pelan, lalu menenggaknya
menjadi lebih banyak. Sensasi panas menjalar dalam tubuhku cepat, bahkan rasanya
bisa menggetarkan detak jantungku. Rasanya... menakjubkan, sekaligus melegakan.
Kurasa... ini bukan kali terakhirnya aku meminumnya.
Pulanglah, oppa. Please... demi Eunso.
Aku tersenyum seraya menuangkan kembali. Aku..., menemukan obatku.
®®®
Aku bisa merasakan hari lagi-lagi masih terlalu dini ketika aku terbangun. Aku
tahu siang dan malamu perlahan-lahan terbalik. Aku berbaring di tempat tidur
seraya mendengarnya detak jarum jam yang terasa mencekam. Jam di atas nakas
menunjukkan baru lewat pukul dua pagi, tepat lima bulan kesendirianku. Aku diam
tak bergerak kemudian mendesah. Tanganku mencari-cari ponsel kecilku, dan
membuka segera setelah berhasil menemukannya. Cahayanya terasa

227
228

menyilaukanku, aku buru-buru meredupkannya, mencari-cari gambarnya yang


kuabadikan. “Aku terbangun lagi” aduku pada foto dua dimensinya.
Aku berguling hingga kaki panjangku menyentuh lantai dan bangkit menuju
tempat yang akhir-akhir ini menjadi tempat favorit bagiku. Aku berjalan dengan
merauk-rauk tanpa benar mengangkat kaki tinggi-tinggi. Di ujung lorong aku melirik
Henry yang masih terlelap, well..., aku tidak melarangnya untuk tidur di rumahku.
Selebihnya aku justu merasa berterimakasih, setidaknya dengan hadirnya... rumah
tidak semengerikan ketika aku sendiri.
Aku membuka rak dan mengambil satu botol wine yang sudah seperti candu
bagiku. Tak peduli aku harus minum di tengah malam seperti ini, atau dalam
keadaan bangun tidur sekalipun, selagi itu bisa meringankan sesakku, aku akan
dengan senang hati meminumnya.
Aku mulai menyesappnya sekali memikirkan tentang janji-janji yang kubuat
bersamanya lalu tertawa didetik berikutnya. Aku mempertanyakan untuk apa, jika
itu harus diingkari, untuk apa janji kubuat dengan sepenuh hati? Tentang janji
bagaimana ia akan terus bersamaku, tentang janji bahwa semua tak akan lekang
oleh waktu. Kau bilang tidak akan pernah meninggalkanku. Tak peduli apapun yang
kulakukan, kau bilang tak akan pernah pergi. Kau sudah janji padaku Eunso. Kenapa
kau mengingkarinya.
Aku terus menenggak tanpa peduli aku harus berhenti, bahkan ungkapanku
aku tidak ingin bunuh diri, kini seolah-olah berlawan balik dari apa yang semestinya.
Aku benar-benar ingin mati sekarang, terlebih ketika bayang-bayang kelam seperti
bersekongkol untuk membunuhku. Kyuhyun mendengus kasar, berkali-kali
menggerutu juga.
Aku sudah terpuruk sampai begitu dalam, tidakkah kau datang padaku?
BRAK

228
229

Aku berjingkat pelan. Suara memekikkan menggetarkan tubuku hingga


mampu membuatku mengakkan tubuh cepat. Aku melirik mengikuti sumber suara,
di depan sana, dapat kulihat Henry menatap nyalang ke arahku, seolah-olah hendak
meluapkan semua amarah kepadaku. Aku tersenyum pelan, sekaligus jengkel. Bukan
karena kesunyian menghancurkan segala, tetapi lebih kepada halusinasiku tentang
Eunso akan sampai menjadi buyar sudah.
Aku memilih untuk kembali menenggaknya satu gelas sekaligus.
Mengabaikan tatapan nyalang yang ia berikan padaku. Pun... aku rela menjadikan ia
sebagai saksi dari indikasi aksi bunuh diriku.
“Hyung”
“Jangan seperti ini kumohon. Bagaimana bisa kau menemukan Eunso jika
saja terus seperti ini hum? Eunso pasti juga tak akan menyukai ini” nasihatnya
lembut.
“Diamlah. Tau apa kau tentang apa-apa yang terjadi padaku”
PLAAK
Satu tamparan kerasa mendarat tepat di sisi kanan wajahku. Tak ada aba-aba
maupun upayaku untuk mempertahankan diri dari keseimbanganku. Kurasakan
tubuhku terjerembab ke lantai parquet dibawahnya. Aku tidak marah ataupun ingin
membalas balik, sudah kubilang... semua eskpresiku hilang bersamaan dengan
hilangnya Eunso. Aku tak memiliki apapun kecuali perasaan sedih dan kekecewaan.
“Henry-a. Aku harus seterpuruk apalagi supaya dia datang padaku?” tanyaku.
“Rasanya sakit sekali”
“Hyung”
“Sakit. Padahal tidak ada luka sebelumnya. Hanya saja ini sangat sakit Henry-
a. Itu pertanda bahwa aku sudah melewati batasku bukan? Sudah saatnya aku mati
jadi jangan menghalangiku. Aku ingin mengakhiri semuanya. Hidupku tanpa Eunso
sungguh tak berarti apa apa” lirihku.

229
230

Mungkin aku memang sudah seharusnya mengalah pada takdir. Bukan


karena tidak percaya bahwa Eunso akan kembali, melainkan memang tak aka nada
jalan takdir yang seperti itu. Tak ada yang tahu dimana keberadaan Song Eunso, tak
ada yang tahu bagaimana wanita itu hidup diluar sana. Kedua hal itu ada karena
memang jalannya seperti ini, aku saja yang terlalu besar hati.
“Kau sudah melewati titik batasmu kau bilang? Sakit? Maka menangislah,
dadamu terasa sakit karena kau menahan tangismu. Kau tak perlu mati, kau hanya
perlu menangis. Keluarkan semuanya hyung. Jangan biarkan rasa penyesalan
menghantuimu. Bangkitlah, kita cari Eunso bersama-sama. Kau harus kuat, karena
kuyakin pasti Eunso sedang menunggumu disuatu tempat”
“Apakah jika aku menangis sakitku akan berkurang? Atau Eunso akankah
datang padaku?” ujarku sembari memegang dadanya yang terasa sesak. Aku ingin
memastikan meski aku sudah mengerti dengan apa jawabannya.
“Menangis memang tidak dapat merubah keadaan, tak dapat membuat
Eunso datang kemari. Tapi dengan menangis, setidaknya beban yang ada dalam
hatimu sedikit terangkat. Kau tidak seharusnya seperti ini hyung”
“Song Eunso. Lihatlah aku yang terpuruk ini. Tidakkah kau ingin menemuiku?
Haruskan aku mati dulu baru kau ingin menemuiku?” lirihku bermonolog.
Aku membanting gelas wine jauh ke depan. Dan pada detik bersamaan, aku
juga menangis keras. Aku merasa sangat kesakitan. Antara kecewa dan menyesal.
Semua itu melebur menjadi satu dalam derai air mataku. Yang lebih membuatku
sakit, aku tidak bisa menyalahkan siapapun. Semuanya berasal dariku, dan saat aku
melakukan hal-hal yang mampu memuaskanku, aku tetap merasa sakit. Aku pikir,
saat aku mencoba memberi Eunbi dan Jongin pelajaran berat, aku akan merasakan
puas. Tapi aku salah.
Bukan balas dendam yang membuat hatiku membaik. Bukan karena aku
membuat mereka tak memiliki apapun hatiku bisa membaik. Tidak. Karena kusadar,

230
231

aku tak membutuhkan itu semua. Aku hanya butuh Eunso untuk membuatnya lebih
baik dan sangat baik.
“Laki-laki seperti apa aku ini?”
“Hyung. Belum terlambat untuk memperbaikinya”
Song Eunso, aku mungkin pernah mengatakan bahwa tak akan ada
penyesalan di masa depan. Tapi pada kenyataannya aku menyesal. Aku menyesal
karena aku telah melepaskanmu. Aku menyesal karena aku telah mencampakanmu.
Aku sungguh menyesal hingga rasanya ingin mati.
Hey sayang. Ayolah datang. Tepati janjimu padaku.

231
232

BAGIAN SEPULUH
Author side’s
Mimpi seorang perempuan pada umumnya memiliki rata-rata yang sama.
Menjadi seorang istri sekaligus ibu yang sempurna, menjalin asa bersama keluarga.
Menjadi pendamping dalam membina bahtera kehidupan, merasakan lika-liku roda
bersama. Nalurinya... kebanyakan perempuan pasti seperti itu, meski terkadang ada
sebagian perempuan yang memilih untuk hidup sendiri tanpa kehadiran seseorang.
Tidak bisa dipungkiri memang, ada begitu banyak alasan mendasari, well... entah itu
trauma akan masa lalu atau trauma akan kembali tersakiti untuk kedua kali atau
bahkan seterusnya. Perempuan pasti selalu punya dasar untuk itu, terlepas dari apa
yang melewati titik roda hidupnya. Yang jelas, selalu ada alasan dan pertimbangan
atas apa yang diputuskan.
Dan apabila ditarik benang merahnya, semua alasan itu nyatanya memang
melekat pada diri Eunso, tanpa terkecuali. Akan traumanya, akan pesakitan yang ia
rasakan, dua hal besar itu memang menjadi momok besar. Miris, dalam duapuluh
satu hidupnya..., untuk pertama kali merasa jatuh cinta dan untuk pertama kali pula
hatinya jatuh dalam pusaran yang menyakitkan dan menyesakkan. Ini mungkin
terdengar pilu, tapi apa mau dikata. Takdir sudah menggiring roda kehidupannya
jauh melesat dalam poros hidup Cho Kyuhyun. Dirinya tenggelam tanpa tahu
bagaimana cara berenang ke permukaan. Dan... untuk seseorang seperti Eunso,
mengelak adalah hal paling tidak rasional dan tak ada sesuatupun yang mendasari
kenapa ia harus melakukannya. Cinta yang ia miliki tak lagi bermakna, semuanya tak
lagi sama, dan tak lagi berguna sama sekali.
Lalu... jika harus ditanya apakah dirinya menyesal, jawabannya akan tetap
sama. Tidak, bahkan jika ada kata yang bisa menggambarkan perasaannya saat ini, ia
akan memilihnya. Perasaan kecewa memang menyelimuti tapi itu bukan alasan

232
233

untuknya harus menyesal dengan apa yang telah terjadi. Atas cintanya, atas buah
hatinya bersama pria itu, Eunso tidak akan pernah merasa bahwa setiap inci
peristiwa yang melewatinya adalah sebuah kesalahan. Penyesalan menjadi sebuah
emosi yang tenggelam dalam ribuan perasaan cinta yang ia miliki, terlepas
bagaimana Kyuhyun memperlakukannya.
Pikirnya, daripada harus mati dalam penyesalan... mengapa perasaan itu
tidak ia digunakan untuk mensyukuri setiap nikmat yang ada. Kesempatannya untuk
mendapatkan Kyuhyun mungkin sudah pupus, tapi dirinya telah memiliki sosok yang
lebih dari itu. Ia masih bisa mendapat duplikat seorang Kyuhyun selagi dirinya tak
lagi mampu mendapat pria itu dalam wujud aslinya. Well... itu sudah lebih dari
cukup untuk menyalurkan cinta kasihnya yang masih tersisa. Buah hatinya nanti...
perempuan atau laki-laki, pasti akan begitu mirip dengan Cho Kyuhyun terlepas dari
diterima atau tidaknya ia, kelak. Terlepas bagaimana dunia akan menerima atau
tidak, dirinya akan membukakan pintunya setiap saat. Lebar-lebar.
Eunso side’s
Keputusanku untuk pergi meninggalkan semuanya bukanlah perihal yang
mudah. Lebih dari itu, begitu runyam hingga membuatku pusing dan terasa
menyesakkan. Melepas diri dari hiruk pikuk permasalahan pelik yang mendera roda
kehidupanku, tentu bukan pilihan yang gampang untuk kulakukan. Sulit iya, but...
jika aku harus melihat dari sisi manapun, kehidupan yang seperti ini jauh lebih
menenangkan. Menenangkan sekaligus menyakitkan. Well... langkahku sudah jauh
melebihi ini, maka tak akan kubiarkan seorangpun berhak mengaturku, lagi.
Kehidupanku yang sebelum ini, orang-orang yang pernah menjadi naungan hidupku,
biarlah menjadi cerita cinta masa lalu. Aku tak harus susah payah membuatnya
terlihat indah, karena... sesuatu yang menjadi takdirku tak akan pernah
melewatkanku, dan sesuatu yang memang bukan menjadi takdirku, juga tak akan
pernah melewatiku.

233
234

Bentuk pengasingan yang kulakukan tentu tidak bisa dikorelasikan dengan


kadar keberanianku dalam menyelami roda kehidupan. Aku mencoba bertahan,
menebalkan wajahku sekali lagi dengan meminta space di balik sandiwara yang
kulakukan. Dan... nyatanya aku memang tidak mendapatkan apapun dari upaya
terakhirku ini selain penolakan telak yang Kyuhyun bumbungkan. Aku sudah sangat
lelah dengan permainan takdir yang menggerusku, dan kurasa inilah titik dimana aku
harus mengakui kekalahanku. Tak ada alasan untukku bertahan. Lagipula...
keberadaanku di mata Kyuhyun sudah tak lagi berarti. Jadi... kurasa, memilih
bertahan di samping Kyuhyun adalah hal paling bodoh dari sekian banyak hal yang
masih bisa kupikirkan.
Hidup seorang diri membuatku semakin mengerti, memahami bahwa tak ada
sesuatupun yang dapat menolongku selain diriku sendiri. Aku menerimanya tegar,
meski diwaktu-waktu tertentu aku juga bisa terlihat rapuh. Walaupun disela-sela
senggangku aku merindukannya. Well... aku tidak bisa menyalahkan hormon
kehamilanku. Hidup hanya bersama Chocho terkadang juga membuatku lelah dan
merasa sesuatunya begitu tidak adail. Aku iri dengan kehidupan manusia normal
lainnya, aku iri melihat kenyataan bahwa, kelak anakku nanti mungkin saja tidak
pernah memiliki kesempatan untuk merasai kehidupan seperti anak-anak diluar
sana. Ia takkan pernah bisa merasakan bagaimana rasanya cinta kasih seorang ayah.
Dan yang jelas, dari semua itu. Hidupku tidak lebih baik dari kehidupan orang
semesetinya.
Tak hanya berhenti disitu, perasaan tidak senangku itupun kemudian
berkembang menjadi pertanyaaan-pertanyaan yang begitu membuatku kalut dan
takut. Perasaan itu selalu menyelinap masuk dalam emosiku yang membara.
Anakku, haruskah ia mengalami dampak atas kesalahan yang kuperbuat? Haruskah
hidupnya yang suci ternodai oleh perilakuku yang di luar akal? Benarkah ia harus
menanggung semua beban yang telah kulakukan tanpa pikir panjang? Ribuan

234
235

pertanyaan serupa terus saja membanjiri pikiranku tanpa henti. Atas kesalahanku,
aku akan memberikan seluruh hidupku untuknya. Aku harus mampu membuatnya
menjadi kuat. Ia tak boleh lemah hingga mudah terpedaya sepertiku. Ia tak boleh
menjadi bodoh seperti ibunya. Sama sekali tidak boleh. Bukan untuk membuatnya
bisa membalas semua perasaanku, tapi lebih untuk menunjukkan pada dunia bahwa
ia juga berhak bahagia.
Stigma-stigma buruk mencuat melalui aliran darahku. Menjauhkan ia dari
Kyuhyun, mendoktrin dirinya bahwa kehadiranku saja sudah sangat cukup,
semuanya justru semakin membuatku sulit untuk menghapuskan kenyataan yang
ada. Bagaimanapun juga, sekuat apapun aku mencoba. Chocho, anak ini pasti akan
begitu membutuhkan sosok pria yang akan selalu mendukung dan melindunginya. Ia
pasti akan membutuhkan sosok yang akan menjadi panutannya dalam bertindak, ia
akan membutuhkan Kyuhyun dalam segala hal... karena sejatinya Chocho dan pria
itu pasti akan saling membutuhkan. Terlepas dari problema yang sedang menderaku
kali ini. Keduanya berada digaris keturunan yang sama.
Tidak... tidak!
Aku... aku juga membutuhkan Kyuhyun. Hatiku juga membutuhkan Kyuhyun.
Membutuhkannya untuk selalu berada disisiku, membutuhkannya sebagai tempatku
berkeluh kesah. Aku membutuhkan Kyuhyun sebagai tambatan hatiku,
membutuhkan hati pria itu untuk meletakkan segala cinta yang ku punya. Sungguh,
demi Tuhan, aku selalu membutuhkan Kyuhyun untuk menggantungkan segala
angan dan impian yang selalu menjeratku. Dan... seandainya saja Kyuhyun tahu,
tidak ada keraguan sekalipun dalam anganku ini. Aku membutuhkannya terlepas
dari ia yang tidak membutuhkanku.
Enam bulan bukan waktu yang pendek, tak mungkin semuanya terlewati
begitu saja. Hal-hal sakral mungkin bisa saja terjadi. Eunbi eonni dan Jongin juga
pasti bahagia disana. Dan... aku juga harus bahagia bersama Chocho. Dan mungkin

235
236

Kyuhyun oppa juga sudah menemukan tambatan hatinya yang baru. Semuanya
berakhir bahagia, dengan aku sebagai kuncinya. Aku tidak menyesal..., selagi
keduanya bahagia, aku tidak akan menyesal. Well..., setidaknya dalam hidupku ini
aku pernah menjadi penyelamat banyak orang.
Meski banyak luka yang ia torehkan dalam hatiku, tak ada alasan untuk
membuatku tidak bahagia. Aku bahagia bisa melihat Kyuhyun, aku bahagia bisa
merasakan cinta yang ia miliki. Untuk waktu yang tidak lama, aku bahagia memiliki
Kyuhyun meski aku hanya sekedar bayangan untuknya. Bayangan yang tak akan
pernah Kyuhyun anggap.
Aku setia seperti bayangan, mengikutimu dengan cintaku. Seperti itulah aku,
bayangan yang selalu mengikutimu.
STOP.
Aku menghela napas keras, bosan akan situasi yang selalu menggelayutinku
seperti ini. Enggan dengan suasana hatiku yang terus saja merindukan Kyuhyun. Aku
memutuskan untuk berhenti memikirkan sesuatu yang menjadi halusinasiku, dan
sejatinya perasaan ini akan menjadi begitu berbahaya jika terus dilanjutkan. Well...
pertahananku memang berhasil. Tapi, sesaat kemudian hatiku kembali meradang
ngilu. Aku tetap dipaksa kalah akan situasi ini. Bagaimanapun juga perasaan rindu itu
terlalu besar memenuhi segala pikir dan hatiku, membuat rasa rindu yang selama ini
ku pendam semakin menguak ke permukaan tanpa bisa kutahan. Aku hanya
manusia biasa, tak bisa untuk setegar apa yang kuinginkan.
Tanganku meraih sesuatu di atas nakas, sesuatu yang selalu menarik akal dan
jiwaku. Mataku menyusuri setiap objek disana tanpa cela. Memperhatikan bingkai
persegi empat berisikan foto berwarna ukuran 4 R dengan penuh takjub. Bibirku
tertarik mengulum senyum, mengamati ekspresi Kyuhyun yang ada disana.
Senyumnya lebar, memamerkan gigi-giginya yang putih. Rambutnya yang biasa
rapih, terlihat seperti tumpukan jerami karena terkena terpaan angin. Tanganku

236
237

terulur, mengusap bingkai itu dengan penuh penghayatan. Well... setidaknya...


dengan cara seperti inilah rinduku akan sedikit terobati. Pun dengan Chocho, ia pasti
akan selaras dengan pikirku.
Aku menghela napas pelan-pelan seraya mengelus pelan perutku. Mataku
memandang langit-langit kamar, warnanya yang cokelat mengingatkanku akan
warna kesukaan Kyuhyun. Dan hal-hal sepele semacam ini nyatanya begitu
menyesakkanku.
Hidupku sudah sangat sulit, tinggal jauh dari hingar bingar ibu kota
membuatku merasa susah mendapatkan pekerjaan yang layak. Terlebih untuk
wanita hamil tua sepertiku, mencari pekerjaan adalah hal yang mampu diibaratkan
dengan pencarian jarum dalam tumpukan jerami. Ijazah S2 yang ku miliki seakan tak
lagi berarti apa-apa. Pun kalau memang itu dibutuhkan... aku juga tetap tidak bisa
berbuat apapun. Lembaran-lembaran yang mampu menjaminku nyatanya masih
tersimpan dalam tumpukan dokumen milik Kyuhyun tanpa dapat ku sentuh
sedikitpun.
Atas latar belakang itu, kehidupanku menjadi begitu pas-pasan. Penghasilan
yang mampu kudapat hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dan...
dengan bermodalkan perasaan empati, pekerjaan yang benar-benar bisa kulakukan
hanyalah berkebun sembari berjualan benih-benih bunga. Setiap minggu akan ada
ahjussi Kim atau Donghae-sii yang mengambil beberapa tangkai bunga, lalu
menjualnya ke kota dan akan memberikan uangnya di kemudian hari. Well...
terlepas dari semua kekurangan yang ada, dilihat dari sisi manapun kegiatan ini
begitu menyenangkan. Perasaan ini mengingatkanku pada kenangan-kenangan
manis beberapa bulan silam.
Aku menghembus napas pelan. Waktu rasanya sudah tak lagi berarti bagiku.
Berjam-jam berlalu, tapi rasanya baru beberapa detik. Aku membaringkan tubuhku
di kasur, supaya bisa bernapas lebih leluasa dan rileks. Sementara aku berbaring di

237
238

sana, aku merasa waktu terus berjalan tanpa aku menyadarinya. Aku tak ingat
berapa lama aku telah memikirkan Kyuhyun.
Aku melirik ke arah jendela. Malam ini langit hitam pekat, aku sedikit
gemeteran meski tidak kedinginan. Dan aku memutuskan untuk tidur, meski banyak
aku rasa aku tidak benar-benar tertidur, aku hanya terhanyut dalam kondisi tidak
sadar dan tidak bisa berpikir, bertahan dengan segenap kekuatan ke perasaan kebas
yang membuaku tak bisa menyadari apa yang tak ingin kuketahui. Dalam kejaman
mataku, aku mencoba meyakinkan diri. Apapun yang terjadi, aku harus siap
menyambut hari-hariku yang terdengar membosankan sejak hilangnya pria itu dari
sisiku.
®®®
Paginya lebih baik, aku merasa aku tidak harus digentanyangi oleh
halusinasiku seperti malamnya. Aku tersenyum lebar, menyedihkan, bagaimana
imajinasiku menjadi begitu tak terkendali. Malam yang normal-normal saja kubuat
sedemikian rupa sehingga terlihat seolah-olah Kyuhyun menemaniku. Aku segera
bangkit dan keluar untuk mengerjakan sesuatu yang bisa kukerjakan. Aku
mengambil beberapa keperluan mandiku dan menuju kamar mandi untuk
membersihkan diri. Aku memandang wajahku di cermin, sambil menyisir rambutku
yang lembab dan hitam panjang. Barangkali itu adalah tipuan cahaya, tapi aku
terlihat pucat.
Memandangi pantulan wajah pucatku di cermin, aku terpaksa mengakui
bahwa aku sedang membohongi diriku sendiri. Aku seperti melihat sesuatu yang
berbeda dari dalam diriku, tak ada raut bahagia disana, mataku cenderung kecil
dengan kantung mata berwarna hitam. Pipiku tirus, tidak seperti kebanyakan orang
hamil pada umumnya. Penampilanku lebih mirip orang buncit dibanding wanita
hamil. Kadang-kadang membayangkan apakah aku akan melihat hal yang sama
seperti yang dilihat orang lain di dunia ini. mungkin ada masalah dengan otakku.

238
239

Tapi penyebabnya tidak penting, yang penting adalah akibatnya. Dan ini hanyalah
sebuah permulaan.
Setelah ritual pagiku selesai, aku kembali menuju bagian utama dimana aku
tinggal. Tanganku menarik pelan kursi dan menaruhnya di ujung jendela, selebihnya
aku memandang ke luar danlam diam. Pemandangannya indah, aku tak bisa
menyangkalnya. Semua hijau, pepohonan dengan batang-batangg tertutup lumut,
kanopi di antara cabang-cabangnya memenuhi sisi kanan rumahku. Dihalaman
depan, penuh dengan bibit-bibit bunga yang menyejukkan. Bahkan, udaranya
tersaring antara dedaunannya yang hijau.
Well... berbicara tempatku tinggal. Ini sama seperti wilayah suburban Korea
Selatan pada umumnya. Tak ada alasan apapun untuk merasa jenuh berada di
lingkungan seperti ini. Myeongdong adalah tempat yang sempurna, dan bila ada
tempat yang pantas disebut sebagai surga dunia, kurasa Myeongdong adalah
tempatnya. Ia memberikanku suasana yang benar-benar jauh diluar nalar.
Bagaimana alamnya bisa sebegitu menakjubkan ditambah dengan orang-oragnya
yang menyenangkan. Dan diusiaku yang masih terbilang muda dibanding yang lain,
aku merasa begitu disayangi. Dugaanku untuk merasa dikucilkan dan dihujani
banyak cibiran menguap bersama perasaan kecewa yang kumiliki. Yang jelas, aku
diterima dengan baik tanpa harus menilik bagaimana kondisi yang melekatku
sekarang.
Gubuk yang kutinggali jauh dari lingkup yang semestinya tapi masih berada
dalam lingkaran yang sama. Dari tempatku duduk, aku bisa melihat orang paling
kuhormati dan kusayangi. Ahjumma Kim, sosok yang sudah kuanggap sebagai ibu
kedua bagiku. Darinya aku banyak belajar banyak hal untuk memaknai hidup.
Darinya aku banyak belajar tetang bagaimana mendidik seorang anak kedepannya.
Bagiku..., jika aku diberi kesempatan, aku ingin berbalas budi dengan balasan yang
lebih atas segala bantuan yang ia berikan padaku. Dari ramuan tradiosional yang ia

239
240

berikan padaku. Well... ini adalah suatu kebetulan yang menguntungkan.


Pertemuanku dengannya mampu membuatku tenang, membuatku tak lagi merasa
sendiri di tengah-tengah keramaian dunia. Aku tersenyum lebar mengakui satu hal
penting bahwa Tuhan tidak akan pernah membiarkanku berjuang sendirian.
Menilik jauh ke sisi kehidupanku yang lain. Rumah yang kutinggali ini juga
bisa kubilang sebagai keberuntungan selanjutnya. Meski awalnya terlihat tidak
terawat dan terkesan minimalis tapi aku patut bersyukur. Dengannya, aku mampu
bernaung untuk jangka waktu yang tidak bisa kutentukan. Dengannya aku bisa hidup
tanpa harus merepotkan lebih banyak orang lagi. Well... aku tak pernah mengira jika
rumah yang kupertanyakan keberadaannya akan menjadi begitu berguna untuk saat
ini. Berguna menjadi saksi kepengecutanku yang meraung.
Lama aku menyelami hidupku, yang bisa kulakukan setelahnya hanya
tersenyum, lalu memejamkan mataku. Aku menggeleng pelan, tak ingin
memikirkannya lebih jauh lagi. Aku meletakkan tanganku ke perutku yang besar, aku
tahu jalan yang kupilih ini bakal sulit. Dan, bagaimanapun aku memikirkan scenario
terburuk, yang paling buruk yang bisa kuterima.
Aku mengusapnya, sembari merasakan perkembangan apa yang ia berikan
padaku. Dan perubahan memang datang, dan aku bisa merasakan bagaimana ia
menendangku. Bukan prospek yang menyenangkan, tapi lebih kepada takjub yang
menggetarkan.
“Eunsoo!” teriak seseorang membuyarkan lamunanku. Aku sedikit
terperanjat dalam dudukku saat Janghyuk secara tiba-tiba menyembul di balik
jendela. “Keluarlah,” ucapnya lagi seraya menunjukkan beberapa selebaran di
tangan kirinya.
Aku segera bangkit dan mencoba menemuinya. Saat sudah berada
dihadapannya, aku keheranan, alisku bertaut saking bingungnya. Aku berusaha
keras memperhatikan selebaran yang Janhyuk sodorkan di hadapanku. Janhyuk

240
241

menyunggingkan senyum bersahabat yang masih terlihat sedikit ragu saat melihat
ekspresiku. Aku agak terlambat membalas senyumnya, tapi kupikir itu tidak
masalah.
Aku memandangnya seraya tersenyum. Kami hanya berjarak beberapa meter
saja, dan dari sana aku bisa melihat bahunya naik turun dengan cepat. Pertanda jika
sebelum ini ada perjalan atau belarian saat menemuiku. Aku mengamati penampilan
Janhyuk, meski sudah mengenal lama, aku masih saja terpana. Bukan terpana dalam
artian lain, melainkan terpana mengenai bagaimana ia bisa begitu nyetrik sebagai
seorang pria Myeongdong. Aku bersyukur selama beberapa bula ini aku merasa aku
banyak berlatih untuk mengendalikan diri, berkat kehadiran Janhyuk tentunya.
“Eunso! Lihatlah ada begitu banyak lowongan kerja disini. Kau bisa
memilihnya dengan bebas” seru Janhyuk. Aku tidak mengerti kenapa aku
menggelengkan kepala bingung. Atau aku mungkin berlebihan akan ekspresi yang
tidak harus kutunjukkan. Janhyuk membalas tatapanku dengan sama bingungnya.
Aku cukup mengenali wajahnya, untuk mengetahui bahwa di balik ekspresinya yang
tenang, tersimpan tunggu yang menggelora.
Aku mengulurkan tangan untuk menerimanya. Aku bisa saja melihat itu dan
bertanya-tanya selagi Janhyuk berada di hadapanku. Aku ingin mencoba terlihat
akrab dengan sosok yang sudah membersamaiku. Tapi..., adrenalinku menyusut
bahwa ada benteng-benteng yang menyekatku dengan dirinya. Aku tidak bisa untuk
benar-benar dekat, sebagai teman. Entah karena aku memang tidak pernah terbiasa
berdekatan dengan pria, atau ada perasaan-perasaan yang sedang kujaga. Ada satu
nama yang terlintas dalam benakku. Satu nama yang akan selalu memilikiku, bukan
orang lain. Nama yang magis, penuh rasa. Orang yang hanya pernah kulihat sekali
dalam hidupku, orang yang bisa membuatku merasa kupu-kupu bertebaran dalam
hatiku.
Kyuhyun.

241
242

“Terimakasih” akhirnya hanya kata-kata itu yang bisa keluar dari sudut
bibirku. Janhyuk menanggapiku hanya dengan anggukan pelan. Sesudah itu kami
lebih banyak berdiam diri. Kentara sekali Janhyuk berusaha untuk tidak terlihat
merasa bahwa ini bukan hal yang perlu ia khawatirkan. “Oo... kalau begitu..., aku
pergi dulu”
Aku ikut mengangguk. Janhyuk bersiul-siul riang, lagunya tidak kukenal,
sambil mengayun-ayunkan kedua lengannya. Dia berjalan setenang mungkin
meninggalkanku sendiri. Aku mungkin sudah bersalah karena telah bergantung
terlalu lama atas keberadaan Janhyuk, atau bukan itu yang bisa membuatku merasa
bersalah sebenarnya. Reaksiku..., aku benar-benar tidak berpengalaman. Aku tidak
tahu bagaimana aku bisa menjalin hubungan pertemanan yang lebih baik dari ini.
Tapi aku tidak tahu...
Ada batas-batas yang kujaga...
Kyuhyun side’s
Aku memakai piama lalu merangkak naik ke tempat tidur. Hidup saat ini
sudah terasa cukup gelap hingga kubiarkan diriku melanggar janjiku sendiri. lubang
itu— sekarang memang sudah menganga, sekarang lebih dari satu lubang— toh
sudah terasa menyakitkan, jadi mengapa tidak? Kutarik keluar kenanganku— bukan
kenangan sesungguhnya yang pasti akan terlalu menyakiti, tapi kenangan palsu
tentang suara Eunso yang ada dalam benankku sore tadi— dan memutarnya berulang
kali di kepalaku sebagai pengantar tidur.
Aku berbaring di tempat tidur, pikiranku berputar. Aku terlalu letih, lebih
terlalu sedih. Kupejamkan mata, berusaha mencerna semuanya, tapi detik
berikutnya ketidaksadaran menelanku begitu cepat hingga terasa mengagetkan.
Bukan tidur damai tanpa mimpi seperti dambaanku yang kudapatkan— tentu saja
bukan. Lagi-lagi aku melihat diriku berada di tanah lapang, dan mulai berkeliaran
seperti yang biasa kulakukan. Aku merasa terperangkap dalam mimpi buruk

242
243

mengerikan. Dalam mimpi itu aku terus berlari, berlalu terus sampai paru-paruku
rasanya mau pecah. Tapi...
Aku dengan cepat bisa menyadari ini bukan mimpi yang sama seperti
biasanya. Mimpiku baru mala mini. Pertama, karena aku tidak merasakan dorongan
untuk berjalan tak tentu arah atau melakukan pencarian, aku hanya berlarian tanpa
ada hal lain yang membuatku merasa bertanya-tanya. Sebenarnya ini bukan tempat
yang sama, meski terlihat persis, aromanya berbeda, begitu juga cahayanya. Aku tak
bisa melihat langit, meski begitu, matahari pasti bersinar, dedaunan di atasku
berwarna hijau pekat. Samar-samar aku bisa mendengar deburan ombak, berbau
asin.
Aku tahu bila aku menemukan pantai, aku pasti bisa melihat matahari. Maka
aku mempercepat langkah, mengikuti suara debur ombak yang samar-samar
terdengar dari kejauhan. Awan-awan didorong ke bawah oleh beban tak kasat mata
hingga tidak membuat perasaan terperangkapku mereda. Anehnya, tanah lapang yang
biasanya berisik kini terkesan kosong saat aku berjalan menuju pantai. Tak terdengar
satupun aku mampu menangkap kicauan burung. Keheningan itu terasa mengerikan,
bahkan desiran angin menerpa pepohonan pun tak ada.
Aku tahu, meski dalam mimpi, aku tahu semua itu hanya karena cuaca, namun
tetap saja aku gelisah. Tekanan atmosfer yang berat dan dingin bisa dirasakan bahkan
oleh pancaindera manusiaku yang lemah, dan hal itu kurasa menandakan bakal
terjadinya badai besar. Kondisi langit semakin menguatkan dugaanku, awan
bergulung-gulung hebat padahal di daratan tidak ada angin. Awan terdekat berwarna
abu-abu gelap, tapi disela-selanya aku bisa melihat lapisan awan lain yang berwarna
lebih hitam. Kondisi seperti ini mungkin bisa menjadi alasan mengapa tak ada
satupun mahluk hidup yang berani keluar menantang maut.
Begitu sampai di pantai...
Aku meyakini apa yang ada dibenakku, aku salah. Mimpiku sama, tak ada
yang berbeda sama sekali. Aku terseok-seol menghampiri driftwood, lalu duduk di

243
244

ujungnya supaya bisa bersandar di akarnya yang saling membelit. Dengan muram aku
menengadah ke langit yang murka, menunggu tetesan hujan pertama memecah
keheningan.
“Arghhh!” aku mengerang, lalu melompat turun dari batang kayu. Aku tak
sanggup duduk diam, itu lebih parah daripada berjalan mondar-mandir. Pun... jika
saja delusi Eunso hadir, aku mungkin akan lebih mempertimbangkannya. Well..., itu
adalah satu-satunya hal yang mampu membuatku bertahan melewati mimpi ini.
Lubang di dadaku belakangan ini mulai bernanah, seolah-olah membalas dendam
untuk waktu-waktu ketika kehadiran Eunso menjinakkannya.
Ombak semakin menggelora saat aku berjalan, mlai menghempas bebatuan,
tapi tetap belum ada angin. Aku merasa ditekan oleh tekanan badai. Segalanya
berpusar-pusar di sekelilingku, tapi di tempatku berdiri, udara justru diam tak
bergerak.
Di tengah laut, ombak lebih ganas daripada sepanjang tepi pantai. Kulihat
gelombang menghantam garis tebing, menyemburkan awan putih buih tinggi ke
angkasa. Aku masih mencoba berpikir tentang makna dari mimpiku ini. aku menatap
jauh kemana tebing-tebing menghadap ke lepas pantai. Aku membayangkan perasaan
bebas saat jatuh melewati tebingnya yang curam. Aku membayangkan bagaimana
suara Eunso dalam pikiranku— mungkin gadis itu akan marah, sehalus beledu,
sempurna...
Panas di dadaku semakin menjadi-jadi.
Aku tahu titik dimana mimpi ini akan berakhir. Pasti ada cara untuk
memuaskan dahagaku itu. Mungkin dengan cara seperti ini aku akan tenang,
kepedihan di dadaku semakin lama semakin tak bisa ditolerir lagi. Kupandangi
tebing-tebing serta gelombang yang mengempas bebatuan.
Aku tahu jalan terdekat ke tebing-tebing, tapi aku harus mencari jalan kecil
yang bisa membawaku sampai ke bibir tebing. Saat menyusuri jalan, hujan tiba-tiba
turun. Badai bergerak semakin cepat sekarang. Angin akhirnya mulai menyentuhku,
awan-awan semakin mendekat ke lantai bumi. Saat langkahku dirasa hampir sampai,
244
245

aku melihat Eunso ada disana, disampingku. Ia berjalan tanpa suar di sampingku,
meski di bawah kakiku tanah yang kuinjak bergemeretak seperti kerikil kering. Tapi
ia bukan Eunso-ku, ia Eunso yang baru, masam, dan anggun. Aku tak bisa untuk
berhenti tersenyum, gaya jalannya yang anggun dan mantap mengingatkanku pada
diriku sendiri, dan saat kuperhatikan lebih dekat, kulitnya yang lembab memudar,
meninggalkan seraut wajah putih pucat bagai tulang. Matanya berubah warna menjadi
emas, kemudian biru, kemudian emas lagi. Rambutnya yang panjang begitu
memesonaku tertiup angin, dan wajahnya yang ayu berubah menjadi dua kali lipat
cantiknya hingga membuat hatiku hancur berkeping-keping.
Berbaliklah...
Aku diam dan tersenyum lebar..., bayangan inilah yang kutunggu-tunggu
hadir dalam kepalaku. Tidak sulit untuk menyakinkan diriku bahwa aku tidak akan
mundur, aku ingin melompat dari puncak tebing. Aku ingin terjun bebas yang akan
terasa seperti terbang. Pun... apabila aku tidak bisa kembali ke alam sadarku, aku rela
untuk tidak bangun selamanya.
Oppa...
Aku tersenyum dan mengangkat kedua lenganku lurus-lurus ke muka,
mencoba ancang-ancang hendak terjun, seraya menengadahlan wajahku ke hujan.
Aku mencondongkan tubuh ke depan, membungkuk agar bisa meloncat lebih jauh.
Dan aku melemparkan tubuhku dari tebing.
Aku menjerit saat tubuhku melayang di udara terbuka seperti meteor, tapi
jeritanku bukan jerit kegembiraan, bukan takut, melainkan pesakitan yang selama ini
kupendam. Mati. Kata itu bergema di benakku begitu tubuhku membelah permukaan
air. Air terasa seperti es, lebih dingin dari apa yang kuperkirakan, namun kedinginan
itu justru menambah kenikmatan yang kurasakan.
Dan, saat itulah arus air menangkapku.
Aku hanya tahu bagaimana cara mengundang delusi Eunso muncul dalam
benakku, hingga sama sekali tak memikirkan air gelap yang menanti. Tak pernah

245
246

terbayangkan olehku bahwa bahaya yang sesungguhnya mengintai jauh si bawah


tubuhku, di bawah ombak yang bergulung-gulung.
Ombak seperti melawanku, melempar-lemparkan tubuhku bolak-balik di
antara mereka seolah-olah mereka bertekad membagiku dengan cara mencabik-cabik
bagian tubuhku. Aku tahu cara yang benar menghindari air pasang-surut yang saling
bertabrakan, seperti berenang parallel dengan garis pantai, bukan berjuang sekuat
tenaga menuju pantai. Tapi pengetahuanku ini tak menjadi pilihan ampun untukku,
aku benar-benar memilih untuk hancur semakin dalam.
Tak mengherankan bila delusiku ini menghadirkan Eunso di sana. Sudah
sepantasnya, mengingat sebentar lagi aku bakal mati. Aku tenggelam, sedang
tenggelam dan herannya aku tidak kunjung bangun.
Oppa... berenanglah terus.
Eunso memohon dengan panik dalam pikiranku.
Tapi..., aku tak ingin berjuang lagi. Dan bukan karena kepalaku terasa ringan,
atau karena kedinginan, atau karena otot-otot lenganku gagal berfungsi karena
kelelahan yang membuatku merasa cukup senang dengan kondisiku sekarang. Aku
nyaris bahagia karena semuanya akan berakhir. ini kematian yang lebih mudah
daripada kematian-kematian lain yang pernah kuuji coba.
Aku sempat berpikir tentang hal-hal klise, tentang bagaimana aku mampu
melihat perjalanan hidupku. Aku menatap wajah Eunso, dan aku tidak ingin lagi
berjuang. Begitu jelas, jauh lebih nyata daripada kenangan manapun. Alam bawah
sadarku menyimpang kenangan akan Eunso dalam detail yang sempurna,
menyimpannya untuk momen terakhir ini. Aku bisa melihat wajahnya yang ayu
seolah-olah ia memang ada disana, terjun bebas bersamaku. Well..., untuk apa
berjuang jika aku sudah merasa sangat bahagia dalam keadaanku sekarang ini?
Bahkan saat paru-paruku seperti dibakar karena membutuhkan asupan udara dan
kakiku mulai kejang karena air yang sedingin es, aku justru bahagia. Aku sudah lupa
bagaimana rasanya kebahagiaan yang sesungguhnya.
Kebahagiaan. Itu membuat kematian jadi bisa dihadapi dengan lapang dada.
246
247

Arus semakin menang, mendorongku kasar membentur sesuatu yang keras,


batu yang tak kelihatan dalam gelap. Benda itu menghantamku keras di bagian dada,
membenturku seperti batang besi, dan udara melesat keluar dari paru-paruku,
meledak dalam bentuk gumpalan gelembung besar. Batang besi itu seperti
menyeretku, menarikku menjauh dari keberadaan Eunso, membawaku semakin dalam
ke dasar samudera yang gelap.
Eunso hamil...
Mimpiku melenceng jauh, seperti kereta yang keluar dari rel.
Aku terbangun sambil menjerit sekeras-kerasnya. Tidak berharap ada
seseorang yang datang untuk mengecek keadaanku. Ini bukan jeritanku yang biasa.
Kubenamkan kepaku di bantal dan berusaha meredam jeritan histeris yang hendak
keluar dari kerongkonganku. Kutekan bantal kuat-kuat ke wajahku, bertanya-tanya
dalm hati apakah aku juga bisa membungkam fakta yang baru saja kualami. Saat aku
terbangun, aku tidak bisa mengingat dengan jelas dua kata terakhir yang Eunso
ucapkan sebelum aku benar-benar dipaksa bangun.
Itu membuatku sadar, ada hal yang mungkin ingin Eunso tunjukkan padaku,
tapi aku tidak tahu.
®®®
Rabunya aku pergi ke kantor seperti biasanya. Mataku terasa berat karena
malam-malam kuhabiskan untuk hal-hal yang tidak penting. Melamun... berdiam diri.
Pekerjaan kantor semakin terasa membosankan, aku tertawa pelan. Bukan hanya
masalah kantor, setiap gerak kehidupanku juga sangat membosankan.
Kamis malam aku kembali diam.
Entah apa yang kulakukan disini.
Apakah aku berusaha mendorong diriku kembali kekeaaan seperti zombie
karena berhalusinasi dengan Eunso? Apakah aku sudah berubah menjadi masokis—
yang senang disiksa? Seharusnya aku pergi, aku merasa jauh lebih baik bila diluar
rumah. Berdiam diri bukanlah hal yang sehat untuk kulakukan.

247
248

Tapi aku juga ingin tinggal...


Mataku menatap sendu kearah langit yang tak berbintang itu. Gelap, hanya
itulah yang tergambar jelas disana. Gelapnya ia seolah menggambarkan bagaimana
perasaan yang sedang kukeluhakan. Ironis, tapi aku juga tidak. Aku menyesap
kembali cerucu yang mulai habis diburu api. Aku tahu sebagian alasanku melakukan
ini karena mimpi buruk itu, sekarang setelah benar-benar terbangun, kehampaan
mulai menggerogoti saraf-sarafku. Ada sesuatu yang harus kucari. Tak bisa diraih
dan mustahil, tidak peduli dan tidak diperhatikan... tapi delusi Eunso ada di luar
sana, di suatu tempat. Dan aku mempercayai itu.
Aku terus mengulangi bagaimana rasa penyesalan supaya selalu hinggap
pada diriku. Aku membohongi diri sendiri dengan membagi alasan keterdiamanku
menjadi dua bagian. Merasa perih... aku menggigil walaupun tahu itu hanya karena
tekanan udara yang sangat besar. Saat sesapan terakhirku, aku tidak ingin berhenti,
itulah sebab aku kembali menyulutnya.
Well..., aku ingin menghancurkan diri, tapi rasanya selalu gagal. Alkohol,
cercucu... tak mampu membuatku benar-benar mati. Masih dengan cerucu di sela
jariku, aku melangkah keluar rumah tanpa ekspresi. Aku menyadari, dugaanku
memang selalu benar. Terlalu lama berada di mansion membuat hatiku semakin
meradang ngilu, darisana ada banyak sekali bayangan Eunso yang tak mampu
kugapai. Aku harus pergi... mencari ketenangan hatiku yang lain.
Aku menembus jalanan Seoul, dan jika takdir masih menolongku..., aku bisa
saja selamat dijalan. Kematian yang sedari dulu kuhindari kini kukejar tanpa henti
kucari. Aku menginjak gas kuat-kuat, sebisa mungkin untuk mencoba sampai dimana
tempat yang kuyakini bisa menenangkanku dengan cepat. Keadaan jalan sudah jauh
berbeda dibanding sebelum ini. Aku hanya bisa menatap beberapa kendaraan yang
masih melintang bersamaku. Butuh beberapa menit untukku bisa sampai, well...,
aku selamat. Dan itu suatu anugerah bagiku.

248
249

Aku tersenyum saat merasakan bau khas yang selama ini memabukkanku.
Aroma daun basah, ditengah temaram malam benar-benar membuat malamku
semakin sempurna. Kelam. Aku terus berjalan sembari mengenang hal-hal yang
biasa kulakukan bersama Eunso. Tempat ini..., sangat spesial bagiku, tempat yang
menjadi saksi bagaimana Eunso melontarkan cintanya padaku. Aku tak perlu berpikir
lebih jauh tentang kebenaran dari ucapannya, pun jika itu hanya buaalan semata,
aku tetap tidak peduli, aku masih tetap akan mencintai Eunso.
Aku terus berjalan, tanpa menyadari sudah seberapa jauh aku meninggalkan
mobil. Sesuatu menarik perhatianku untuk berhenti sejenak. Bibirku terangkat
membentuk senyuman tipis. Aku menatapnya nanar, disana aku bisa melihat
bayanganku. Bagaimana aku bisa melakukan pergumulan yang tak sedikitpun
pernah kupikirkan.
Aku duduk. Kakiku rasanya sudah tak lagi berfungsi. Saraf-sarafku terasa
nyeri, aku hancur luluh dan tak bisa diperbaiki lagi, dan kurasa aku akan mati di
menit selanjutnya. Aku memandang jauh, tak ada bintang, bulanpun seakan malu,
yang ada hanya gelap dan kelam. Kupandangi mereka secara bergantian sementara
menit-menit berlalu. Sepuluh, duapuluh, bahkan kalau terus dibiarkan aku bisa
melakukannya lebih lama lagi.
“Eunso...” panggilku
Kekecewaan nyaris datang seperti kilat yang menyambar. Aku
menghembuskan napas kasar, mulai merasa terengah-engah. Apa gunanya aku terus
memanggil lebih keras lagi? Tak ada apapun di sini. Tidak ada apapun kecuali
kenangan yang bisa kupanggil kembali setiap kali aku menginginkannya, asal aku
rela menanggung kepedihan yang menyertainya— kepedihan yang kurasakan
sekarang, yang membuatku menggigil. Aku menyadari, tak ada yang istimewa
dengan tempat ini bila tidak ada Eunso. Aku tak yakin benar apa yang kuharap akan
kurasakan di sini, tapi semuanya hampa oleh atmosfer, hampa oleh segalanya, sama

249
250

seperti tempat-tempat lain. Sama seperti mimpi burukku. Kepelaku berputar-putar,


pusing sekali.
Aku benar-benar bodoh.
Keparat.
Brengsek.
Bajingan. Kenapa tidak mati saja aku ini?
Sebenarnya, aku hanya ingin mendengar suaranya lagi, seperti delusi aneh
yang kualami sebelum ini. Untuk waktu yang singkat itu, ketika suaranya datang dari
bagian lain selain ingatan sadarku, ketika suaranya terdengar sempurna dan semanis
madu, bukan gaung lemah seperti yang biasa dimunculkan dalam kenanganku, aku
bisa mengingatnya tanpa merasa sedih. Tapi itu juga tak berlangsung lama,
kepedihan nyatanya kembali menyerangku. Tapi momen-momen berharga saat aku
bisa mendengarnya lagi bagaikan rayuan yang tak bisa ditolak. Aku harus mencari
cara untuk mengulangi pengalaman itu... atau mungkin istilah yang tepat adalah
episode.
Aku berharap déjà vu adalah kuncinya. Itu sebabnya aku pergi ke tempat
yang bisa mempertemukanku dengan ilusinya, tempat yang tak pernah kuinjak lagi
sejak kepergian Eunso.
Itu
Tak
Membantu
Aku memandang jauh sudut-sudut yang pernah membuatku merasa menjadi
orang yang paling dicintai. Tak ada yang berubah, tapi apakah tidak lebih buruk jika
bila semuanya tetap sama? Bila bunga-bunga itu masih berada di tempat dimana
kami terakhir kali mengunjunginya, rumput-rumput masih terlihat sebagai
pengganggu, bahwa semua itu masih sama, tak tersentuh dan dilupakan,
ditinggalkan pemiliknya.

250
251

Sama seperti aku.


Well..., setidaknya aku datang sendirian. Aku merasakan serbuan perasaan
syukur saat menyadari hal ini. Kalau aku datang dengan yang lain, aku tak mungkin
bisa menyamarkan lubang tak berdasar tempatku jatuh sekarang. Bagaimana aku bisa
menjelaskan keadaanku yang hancur berkeping-keping, kondisiku yang meringkuk
seperti bola untuk menjaga agar lubang kosong itu tidak mencabik-cabik tubuhku?
Jauh lebih baik apabila tidak ada orang lain yang melihatku.
Dan aku juga tak perlu menjelaskan pada siapapun mengapa aku begitu
menjadi tergesa-gesa meninggalkan tempat ini. terlalu banyak kesedihan yang harus
kutanggung di tempat kosong ini—
Untung saja aku sendirian!
Sendirian, aku mengulangi kata itu dengan kepuasan muram sambil memaksa
diriku bangkit, kalau perlu aku bahkan tidak keberatan jika harus merangkak, meski
hatiku sakit sekali.
Aku berbalik memunggungi kekosongan yang menyayat hati itu dan bergegas
kembali ke mobil. Hampir saja aku berlari. Aku ingin secepatnya pergi dari sini,
kembali ke dunia manusia. Aku merasa diriku hampa, dan aku ingin bertemu dengan
seseorang yang bisa menghiburku. Mungkin ada penyakit lain yang berkembang
dalam diriku, kecanduan lain, seperti kebebasan yang kurasakan sebelum ini. Aku
tak peduli. Kuinjak pedal gas dalam-dalam, memacu mobil sekuat mungkin,
menggelinding menuju sesuatu yang tak kuketahui.
Ayo Eunso. Bawa aku pergi bersamamu. Bawa aku pergi ke tempat dimana
hanya ada dirimu dan diriku. Aku... aku tidak tahan jika harus seperti ini. Aku sakit,
tidakkah kau tau itu? Tidak adakah yang memberitahumu bahwa aku... sekarang
rapuh tanpa hadirmu?
Aku tau jalan yang ku ambil ini salah. Aku mungkin tak punya harapan lagi
untuk bisa memilikimu, tapi bolehkan aku bertahan? Eunso datanglah, harus
bagaiamana lagi aku untuk bisa menemukanmu? Aku pemilik segalanya, tapi hanya
251
252

untuk menemukanmu saja aku tak bisa. Tuhan pasti benar-benar sedang
menghukumku bukan? Eunso datanglah, aku hanya ingin kau tau bagaimana aku
mencintaimu. Kehilangan bukanlah hal yang baru bagiku, tapi kehilangmu aku
benar-benar merasa tak ada kehidupan membahagiakan setelah ini. Aku terpuruk,
dalam pusaran cinta tanpa ujung.
Sesampainya di rumah, aku mulai menormalkan mikik mukaku. Meski
kembali adalah hal yang cukup mengerikan, aku harus ada di sana. Langkahku pelan-
pelan, mencoba selambat mungkin untuk bisa sampai pada pesakitanku. Ini memang
tidak cukup membantu, tapi setidaknya ini bisa membuatku berlama-lama. Aku
membuka engsel pintu tanpa menimbulkan suara apapun. Dan..., keterkejutan
menghampiriku sesaat mataku melihat sesuatu yang bisa membuatku berharap lebih.
Ruangan yang tadi kutinggalkan berubah drastis dari apa yang terkahir
kulihat. Tak ada gelas-gelas berserakan, tak ada kerta-kertas bertumpukan, semuanya
terlihat bersih dan rapi. Aku melangkah cepat menuju dapur, ruangan itupun tak
jauh beda dengan ruangan sebelumnya. “Eunso...”
“Kaukah itu?” teriakku.
Aku berusaha mencari keberadaannya yang kuyakini sedang berada dalam
atap yang sama denganku. Aku membuka setiap kenop pintu dengan perasaan
menggebu-gebu, mendorongnya cepat, dan siap untuk memeluknya dengan
kerinduan yang tak dapat ia utarakan dengan kata-kata. Aku terus mencari sampai
menemukan bahwa semuanya hanyalah ilusiku semata. Aku hanya berharap terlalu
jauh tanpa peduli bagaimana aku bisa menahannya.
“Oppa...” tegur Hyerim dari arah pintu sembari membawa beberapa kantung
berisi makanan. Tanganku terkulai lemas. Bukan. Bukan Eunso, bukan ia yang
kuinginkan di sini melainkan Eunso.
“Oo” a
Aku hanya mampu membeo.

252
253

“Tidak ada Eunso di sini” ujarnya memperjelas kekecewaanku.


Aku hanya diam, harapan hanya tinggal harapan.
“Hyung!”
“Ada apa oppa?” tanya Hyerim.
Aku tetap diam tanpa ingin menjawabnya. Aku baru saja akan menjauh saat
empat kata yang Henry koarkan membuatku tertegun sejenak. Jantungku
bergemuruh, saraf-sarafku sekaan dibangkitkan lagi dari tidur panjangnya.
“Janhyuk... dia menemukan Eunso” adunya.
Itulah kata-kata terakhir yang kudengar sebelum ketidaksadaaran
menghampiriku. Kumohon..., jangan mati.

253
254

BAGIAN SEBELAS
Eunso side’s
Pria itu bergerak dan menyadarkanku bahwa sosoknya benar-benar nyata,
hadir dihadapanku. Kilasan kebersamaan kami berkelabat bersama aromanya yang
masih begitu bisa mempengaruhiku. Saraf-sarafku menegang, merasakan canggung
yang begitu mendera disekujur tubuhku. Aku memberanikan diri untuk menatap
secara luas pada diri Kyuhyun. Ada banyak perubahan yang melingkupinya, ia
terlihat kurus, pakaiannya terlalu santai untuk kategori pekerja yang baru pulang
kerja, tapi juga terlalu lusuh sebagai turis. Ketika ia mendekat, aku benar-benar
menyadari dimana letak jenjang keberantakannya. Aku menggeleng dan meneguk
liur, memaksanya untuk masuk begitu saja tanpa melalui proses yang semestinya.
Kyuhyun..., sekarang. Tidaklah terlihat seperti saat dimana ia begitu
menginginkanku, dulu.
Aku pun memandanganya, lalu cepat-cepat mengalihkan pandangan dan
berjalan mundur sejauh yang aku bisa. Kibasan sejarah lama melintas di depan
mataku, begitu jelas, tentang memori bagaimana dia memukuliku, tentang
bagaimana ia mengamukiku, dan bagaimana ia menjadikanku terdakwa yang
keberadaannya memang harus dimusnahkan secepat mungkin. Well..., aku tidak
menolak, karena kurasa dengan perbuatanku, aku bisa menerimanya, bahkan jika
semesta ini menendangku, aku akan tetap bisa menerima setiap konsekuensinya.
Bahkan untuk perasaan yang masih tertinggal, aku sudah tidak mampu mengubah
apapun. Cinta sejatiku baru saja hilang atau mungkin telah hilang selama-lamanya.
Sang pangeran takkan pernah kembali untuk mengecupku dan membangunkanku
dari tidur yang panjang. Lagipula, aku juga bukan seorang putri, yang keberadaannya
bisa mempengaruhi banyak orang. Jadi apa protokol cerita dongeng untuk kisah-
kisahku yang lain?

254
255

Mungkin akan mudah— seperti mengenggam tangannya atau dirangkul


olehnya. Pertemuan lama semacam ini mungkin akan juga akan terasa
menyenangkan. Itu jelas bisa saja terjadi, jika saja... perjumpaanku dengan Kyuhyun
menjadi lebih di kontradisikan atau lebih terkesan manusiawi saja. Mungkin kami
akan memiliki akhir yang menyenangkan, jika pengkhianatan tidak pernah terjadi
pada diriku. Aku tersenyum tipis. Lagipula, memangnya aku mengkhianati siapa?
Hanya diriku. Secara logika aku memang mengkhianati diriku menjadi orang lain,
tapi diatas asusila, diriku benar-benar tidak bisa diampuni.
Sambil tetap menatap wajahku, Kyuhyun mulai mendekatkan dirinya padaku
beberapa langkah. Kakiku terjengkit pelan merasakan tendangan hebat dalam
perutku, well, itu cukup ampuh untuk membuatku berhasil keluar dari kungkungan
rindu yang baru saja menderaku. Tanganku bergerak maju mengelus si jabang bayi.
Well..., banyak kurasa ia juga menyadari kedatangan pria yang sempat kutunggu
jauh-jauh hari saat hormon kehamilanku benar-benar tak terkontrol. Alisku
mengerut, jika kedatangannya ini benar akan menghabisiku, maka dalam kondisi
seperti ini aku benar-benar menyerah pada takdir.
Hey itu appa, kau senang? Eomma juga senang, tapi sepertinya appa tidak
begitu, ucapku mencoba bermonolog dengannya. Itu yang dapat kusimpulankan dari
ekspresi yang dapat kulihat. Kyuhyun berdiri dihadapanku dengan tatapan
membara. Matanya merah, seperti menahan tangis atau menahan amarah. Aku
menertawai diriku atas dua pilihan prediksi yang kubuat. Mana mungkin dia
menangis dihadapanku. Sorotan matanya seakan menggambarkan dua hal, antara
mendamba pertemuan dan amarah untuk menghancurkan. Well..., tentu saja opsi
kedua adalah jawaban yang paling tepat dan meyakinkanku. Atas perilakuku yang
terlampau melanggar norma asusila, memangnya ada alasan lain untuknya
membiarkanku tetap hidup?
“Eunso...”

255
256

Serunya sarat penuh pesakitan, well..., aku cukup tertegun mendengarnya


saat menyadari ada sesuatu yang salah di sini. Harusnya nada suaranya tidak seperti
ini, seharusnya ia meneriakiku dengan keras. Seharusnya intonasinya tidak selembut
ini atau minimal sama dengan apa yang pernah aku dengar sebelumnya. Aku
menghembus napas kasar, meski aku tidak bisa menyangkalnya, aku tetap mencoba
menolak kenyataan dengan apa yang baru saja kudengar. Suarnya parau, seolah ada
sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya. Jakunnya naik turun tidak teratur.
Jantungku bergemuruh hebat hanya dengan mendengar suaranya yang memanggil
namaku. Well..., jika harus jujur. Salah jika aku tak merindukan suara beratnya, salah
jika aku tidak mengharap kedatangannya, aku jelas merindukannya dan itu adalah
kenyataan terbodoh yang mampu kusimpulkan.
Well..., untuk nama Eunso yang keluar dari bibirnya.
Benarkah ia mengenaliku? Jantungku berdetak kencang, bukan karena aku
merasa senang atas panggilannya. Aku... demi apa aku ketakutan. Dengan hadirnya
di sini, banyak kemungkinan yang dapat terjadi. Dan dari sekian banyak
kemungkinan itu, pasti kemungkinan terburuklah yang bisa menimpaku. Ia takkan
mencariku dalam waktu dekat jika tak ada alasan kuat. Dan aku tidak mungkin
berharap lebih, karena yang kutahu... ini bukanlah drama yang biasa ditonton oleh
anak-anak remaja dengan akhir bahagia dengan intro menderita. Well..., ini nyata,
dengan aku sebagai tokoh utamanya. Tak ada sutradara yang bisa menolongko saat
tokoh pria memukuliku di luar jalan skenario.
Aku mencoba memberanikan diri menatap mata Kyuhyun. Bukannya aku
tidak senang bertemu dengan Kyuhyun, aku senanng, tapi ada perasaan lain yang
membawaku tetap berada dalam taraf kehati-hatianku. Tanganku saling bertaut,
sesekali memandang sekitar. Aku berharap ada seseorang selain aku dan Kyuhyun.
Entah siapapun itu, aku benar-benar membutuhkan setidaknya sebagai penguatku.
Kurasa Kyuhyun sudah nyaris tahu akan emosiku. Dan di tempat seterbuka ini

256
257

kupikir ia juga tak berani melakukan apapun. Tapi, itu juga tidak membantu, bayang-
bayang kengerian masih begitu jelas tersimpan di memori kelamku. Dan kurasa...
traumaku ini memang tidak bisa disembuhkan dalam jangka waktu yang singkat. Aku
belum bisa terbiasa untuk apapun yang menyangkut Kyuhyun.
Well..., aku tidak bisa berdalih, alih-alih menjamin jika Kyuhyun tidak akan
melakukan tindakan yang sama untukku. Aku mengerjapkan mata beberapa kali.
Berusaha menormalkan mimik mukaku yang ku yakini terlihat kaget dan bodoh
secara bersamaan. Aku tidak bisa memikirkan cara lain untuk menghindar, putar
arahpun kurasa percuma, aku tidak bisa berlari jika sewaktu-waktu Kyuhyun
memburuku. Namun, aku juga tahu aku takkan mau menjauhinya, bagaimanapun
juga, jika keberanian menyergapku tanpa syarat, aku membutuhkannya, dan aku
akui aku memang egois.
“Eunso, benarkah ini dirimu?" suara merdu Kyuhyun mengalun lembut
begitu menghentikan langkahnya tepat di hadapanku.
Dalam jarak sedekat ini, dengan aromanya yang menjadi candu untukku, aku
benar-benar tidak diberi kesempatan untuk menghidar sedikitpun. Aromanya yang
bagai feromon bagiku menyergapku, menyelinap di antara aliran darah hingga
sampai ke pusat jantungku. Pikiranku mendadak buntu, hanya untuk masalah
sesepele ini. Mataku tidak lagi bisa diajak kompromi, aku jatuh dalam pesonanya
yang bisa mempengaruhiku cepat. Pun ketika wajahnya hanya berjarak beberapa
centi saja dengan wajahku, aku tetap tidak bisa bergerak atau sekedar mengedipkan
mata. Aku... lupa akan siapa yang ada dihadapanku. Aku bahkan lupa dengan diriku
sendiri, dengan pantangan yang kubuat pribadi.
“Eunso...” panggilnya membuyarku. Well..., aku beruntung untuk
panggilannya. Satu nama itu mampu membuat jiwa kembali dalam ragaku. Lalu
dengan gerakan yang sangat cepat, tubuhnya menubrukku, memelukku erat. Aku
ingin mengerang saat ia menarikku lebih dalam.

257
258

“Kyuhyun-ssi!” pekikku.
“Dengar Eunso. Ini benar-benar kau” ucap Kyuhyun.
Dan dua hal yang mampu membuatku bereaksi keras, yang pertama... pria
itu memelukku sangat erat, bahkan terasa begitu menekan perut enam bulanku.
Yang kedua..., kita berada dalam kondisi dimana tidak ada hubungan apapun yang
mampu memberikan alasan untukku menerima. Pun selain itu, aku belum
sepenuhnya mengerti dengan apa yang sedang Kyuhyun rencanakan. Dan jika aku
mau berpikir lebih jauh, mungkin saja. Ini adalah salah satu awal baginya untuk
menyingkirkanku.
Aku mencoba mendorong pinggangnya menjauh, tapi seringkali aku gagal.
Aku tidak mengerti bahwa ini akibat tenagaku yang tidak sebanding atau lebih
kepada keinginkanku untuk terus berada dalam kungkungan tubuhnya.
“Kau meme—”
“Ssssttt,” Kyuhyun membelai pipiku lalu menyambar bibirku cepat,
membuatku tak bisa berkutik lebih jauh atau sekedar memberiku kesempatan untuk
menyelesaikan beberapa kalimatku. Sulit dipercaya betapa aku merasa canggung
dan seperti idiot. Aku terlalu lugu— aku sama sekali tidak tahu bagaimana aku harus
bertindak. Bibirnya yang lembut menempel di bibirku, dan dari ciumannya ini aku
tahu pikirannya sedang berkelana memikirkan hal lain— berusaha memikirkan apa
yang ada dalam pikiranku. Menurutku ia butuh petunjuk. Kedua tanganku sedikit
gemetar, menyulitkan upayaku untuk bergegas membuatnya menjauh dariku.
Perasaan takut kembali menderaku cepat, mataku memanas. Aku menggigit
keras bibir Kyuhyun sebagai usaha terakhirku. Well..., aku tidak ingin merasa
terlecehkan untuk kedua kalinya. Bukan hal yang mampu kuhindari, tapi nyatanya
usahaku ini menghasilkan sesuatu yang menyenangkanku. Kyuhyun berhasil
mundur. Matanya menatap wajahku lekat-lekat sementara aku susah payah
berusaha menjelaskan. Jika aku ingin menjagaku tetap aman, ciuman semacam ini

258
259

tidak seharusnya kulakukan, terlebih di ruang terbuka, siapa saja bisa melihat dan
membuat banyak spekulasi. Untuk diriku yang tengah hamil tanpa status
pernikahan, obrolan tentangku pasti akan menjadi hal yang begitu menarik untuk
diperbincangkan. Orang-orang disekitarku tentu akan banyak menduga, well...
Aku merasa tidak nyaman, untuk hatiku, dan untuk kenyamanan calon
bayiku karena dihimpit terlalu keras. Well..., jika ini harus diteruskan, tidak hanya
aku yang tidak akan selamat, calom bayiku mungkin demikian. Tanganku kembali
bergerak untuk mendorong tubuh Kyuhyun. Tak peduli seberapa aku merasa sesak,
sepertinya Kyuhyun tetap tidak berniat membebaskanku. Bahkan dengan
penolakanku ini, bukan kelonggaran yang kudapatkan melainkan semakin erat pula
aku merasa di tekan.
“Jangan pergi, kumohon” ucap Kyuhyun.
“Kyuhyun-sii kau memelukku terlalu erat—” aku menjeda beberapa detik
untuk kalimat selanjutnya. “Sesak. Kumohon lepaskan sebentar saja” pintaku.
“Aku akan melepaskanmu. Jika saja kau berjanji tak akan pernah pergi lagi
dariku, aku benar akan melepasmu” serak Kyuhyun. Matanya menatap jauh ke
dalam mataku.
Aku mengangguk cepat, merasa tak ada waktu lagi untuk bermain kata
bersama Kyuhyun. Kyuhyun mundur beberapa langkah menuruti perintahku. Aku
menghelas nafas panjang. Kalau saja keberanianku terkumpul sedikit saja, rasanya
aku ingin berteriak sekeras-kerasnya ke langit kosong dan berlari menjauh. Aku
berusaha memikirkan bagaimana aku bisa melakukan hal itu— memaksa
keberanianku untuk muncul pada diriku saja. Well..., itu adalah hal yang seharusnya
kulakukan. Kalau berhasil aku akan menang, dan jika aku kalah aku akan menyerah
untuk kembali dalam pelukannya.
Aku tahu, aku tak memiliki pengendalian diri yang kuat dan tak tergoyahkan.
Dan kesimpulan itu membawa ke pilihan yang sempat aku ajukan, antara menang

259
260

dan kalah. Well..., dua detik berikutnya membuatku sadar, bahwa aku tak punya
pilihan lain selain kalah pada takdirku. Melenyapkan sebagian harga diriku untuk
melebur dalam kondisi Kyuhyun. Gerakanku akhirnya menarik perhatian Kyuhyun.
Kuamati wajahnya dengan seksama, melihat kalau-kalau ada perubahan ekspresi.
Mata Kyuhyun sedikit mengeras. Hati, naluri, dan otakku tidak berada dalam jalur
yang sama, aku mungkin bisa memungkiri, tetapi bahasa tubuhku selalu ingin
menang sendiri.
“Eunso?” ujarnya, suaranya tegang tapi terkendali.
“Ya?” suaraku masih parau. Diam-diam aku berusaha berdeham.
Kyuhyun menatapku, wajahnya terlihat bimbang. Aku tahu ia khawatir, takut
akan respon yang hendak kuberikan setelah ini. Butuh beberapa menit bagiku untuk
memutuskan, karena saat ini pikiranku sedang tertuju pada hal lain. Aku tidak benar-
benar mengamati ekspresinya, aku jauh lebih kalut memikirkan situasi yang Kyuhyun
alami daripada kemungkinan jawaban yang ia lontarkan. Sepanjang pengamatanku,
kurasa ada banyak hal yang kulewatkan. Dan aku sempat merasakan secercah
perasaan bersalah saat menyadari bagaimana perasaan Kyuhyun sebelum ini.
Well..., mustahil memang melihat bahwa Kyuhyun masih persis sama seperti dulu.
Kurasa sungguh tolol dan manusiawi sekali mengharapkan ada semacam perubahan
dari hari ke hari. Tapi memang ada sesuatu... aku tak tahu persis apa itu.
“Eunso...” panggil Kyuhyun, sekali lagi, kali ini tampak lebih terperangah dari
sebelumnya.
Kyuhyun nyengir. “Aku tidak mengira akan bertemu kau di sini”
Ia hampir melenggang kembali menghampiriku, ekspresinya kembali takjub,
tapi aku tidak siap untuk itu. Jadi yang kulakukan hanyalah mundur disaat kakinya
melangkah maju.
Kyuhyun berdiri kira-kira satu meter dariku, menelengkan kepala ke satu sisi.
Wajahnya adalah wajah paling buruk untuk kurun waktu yang rasanya seperti

260
261

berabad-abad. Kuamati garis-garis wajahnya dengan perasaaan lega yang rakus. Ini
dia orang kepada siapa aku tidak perlu berpura-pura— seseorang yang sudah tahu
setiap hal yang tak pernah bisa kuungkapkan. Aku ingin memulai, menanyakan
kenapa keberadaannya bisa terpampang mataku, tapi aku lalu hanya menggeleng-
gelengnkan kepala.
“Oh” aku menggigit bibir ketika merasakan gerakan keras menendang bagian
kiri perutku. Butuh sedikit waktu untuk menenangkan diri.
Kyuhyun side’s
Air mukaku berubah. Tanpa sengaja aku mundur selangkah, dan mata
merahku yang gelap dan penuh keingintahuan itu mengikuti gerakan tangan Eunso.
Saat itulah aku sadar mengapa ada sesuatu yang tak sama— butuh semenit untuk
menyadari kenapa aku menunduk lagi— kenapa hatiku terasa tidak nyaman, kenapa
mataku basah, kenapa aku tiba-tiba ingin membunuh diriku sendiri.
“Eunso kau hamil?” tanyaku, nadanya masih biasa-biasa saja, tapi tubuhku
bergerak cepat ke arah Eunso. Aku tahu ini tidak rasional, dalam kesempatan-
kesampatan lain, kenapa harus ini yang kulewatkan? Aku mengeluh, tangan di atas
mulutku bergerak ke bawah dagu. Aku mengamati wajahnya lama sekali sementara
aku berusaha berkelit dari pandangannya, meski sia-sia. Alisnya berkerut,
ekspresinya berubah bingung.
“Ya,” suara beledu indah itu berbisik cemas dalam benakku.
Aku terkejut mendengar suaranya, tapi seharusnya itu tidak membuatku
merasa kaget. Aku tidak perlu bertanya lebih jauh tentang siapa pria brengsek yang
membuatnya seperti ini. Lagipula, sejauh aku mengenalnya, Eunso bukanlah wanita
sembarangan, aku bisa menjamin, hanya aku yang tidur dengannya, hanya aku yang
bisa memuaskan wanita itu, dan hanya benihkulah yang bisa membuahi sel telur
miliknya. Lagipula bukankah saat ini diriku memang berada dalam tragedi yang tak
terbayangkan? Pertemuanku dengan Eunso seolah menjadi puncak kebahagiaan

261
262

berlebih jika dibandingkan dengan ini. Dan..., aku semakin percaya, Eunso adalah
sumber kebahagiaanku yang tak dapat dimiliki oleh siapapun.
“Ya Tuhan, kau hamil?” ulangku.
Eunso menjawab sama persis dengan sebelumnya. Begitu cepatnya sehingga
aku bahkan tak yakin bagaimana itu bisa terjadi, tapi tahu-tahu aku sudah berada
dihadapannya dengan kenyataan sebesar ini. Aku menggeleng.
“Kau hamil dan aku tak mengetahui kenyataan ini? Berapa bulan? Katakan
sudah berapa bulan Eunso-ya?” tanyaku beruntun. Kata-kata berhamburan dari
mulutku saat aku terburu-buru mengambil kesempatan, selagi aku melihat sorot tak
yakin terpancar dari matanya. Aku berusaha tetap terdengar ringan, rileks, tapi itu
juga selalu gagal.
“Enam bulan” jawab Eunso.
Aku mencoba. “Seharusnya... kau bisa memberitahuku kalau kau hamil”
Aku berusaha menutup mulut untuk tidak mengumpat keras. Aku menggigit
bibir saat bayangan itu kembali masuk ke alam bawah sadarku. Membuat luka
basah kembali berdarah. Aku membayangkannya, meski aku jarang memikirkannya,
aku tetap saja merasa sakit saat ingatan itu kembali melandaku. Well..., jujur.
Kenyataan ini seolah kembali menamparku keras. Aku ingin sekali memeluknya erat,
tapi aku cukup paham dengan kondisiku sekarang.
“Kau mengusirku...”
Eunso memutar bola mata dan melambaikan tangan dengan lagak cuek,
seolah-olah itu semua adalah sejarah lama, tapi dapat kulihat ada secercah nada
histeris dalam suaranya. Jantungku yang memang sudah berdebar keras, kini
berpacu semakin cepat.
“Dan... kurasa, kau tak pernah ingin mendengarnya”
Mulutku ternganga dan napasku mengeluarkan suara terkesiap kaget. Aku
membeku di tempat, tertusuk oleh kata-katanya yang setajam pisau. Kepedihan

262
263

mengoyak tubuhku dalam pola familier, lubang basah itu terkoyak dari bagian dalam
ke luar, tapi itu belum apa-apa dibandingkan berbagai pikiran kalut yang
berkecamuk dalam benakku. Aku tak yakin pendengaranku benar. Tidak sedikitpun
tampak tanda-tanda keraguan di wajahnya. Hanya amarah. Tapi..., sesakit aku, aku
tetap tidak bisa menyalahkan ucapan Eunso karena ulahku sendiri.
Aku tak sanggup menelan ludah. Ucapannya menyinggung perasaanku, aku
meringis, dan terpejam untuk beberapa detik. Aku seperti ditodong mati tanpa bisa
menjawab apapun.
“Eunso!”
Bagian ini lebih sulit, seseorang yang lain nyaris dua meter berada dalam
jarak pandangku.
“Oo... Donghae-ssi” sahutnya.
Aku memandang Eunso dengan tatapan penuh tanya, dan walaupun
terkesan kurang ajar dan tak punya malu, kuharap ia mampu menjelaskannya
sesuatu yang tidak kumengerti. Meski hasilnya nihil, setidaknya aku sudah berusaha
mencoba.
“Aku mencarimu, ayo!” sahutnya.
Aku menatap keduanya bingung. Rasanya seperti menyerah kalah, perasaan
tidak dianggap hinggap menyelimuti hatiku. Tanganku saling bergelut saat menatap
gerakan Donghae menyentuh tangan Eunso singkat. Well..., ini jelas menyulut
amarahku. Apapun itu, milikku tak pantas sembarangan di sentuh orang. Amarah
menjalari tubuhku. Hal itu membuatku teringat pada siang tak menyenangkan ketika
ia lebih memilih pria tengil itu ketimbang aku, dan aku merasakan daguku terangkat
dengan sikap defensif sebagai respons.
“Eo... benarkah?”
“Iya. Ahjumma memintaku untuk mengambil benih bunga. Ayo!”
“Baiklah...”

263
264

“Jangan—, kumohon jangan pergi!” ucapku lagi-lagi berusaha memanfaatkan


momentum itu sebisaku. Saat wajahnya berpaling ke arahku dengan grak lamban
karena canggung, aku cepat-cepat menghampirinya. Aku tidak bisa untuk merasa
terabaikan seperti ini. Toh..., aku memang berhak untuk marah.
Donghae menatapku kilas, dan balik memandangi Eunso.
“Siapa dia?” bisiknya yang masih dapat kudengar. Eunso terlihat berpikir
sejenak. Dan... kurasa aku pantas merasa penasaran dengan jawaban yang akan ia
lontarkan. “Teman...” jawabanya sebelum memandang ke arahku.
Aku tertegun, meski aku ingin ia mengakui sebagai seseorang yang ia cintai,
tapi tidak apa-apa. Aku akan tetap berterimakasih dan bersyukur. Well..., hubungan
teman bukan sesuatu yang buruk untukku, setidaknya itu lebih baik jika
menganggapku berada di pihak lawan.
“Oo... perkenalkan, aku Donghae. Pria paling tampan di Myeongdong”
serunya sembari menjabat tanganku.
Aku menghela napas dalam-dalam, tidak berniat untuk membalasnya
sedikitpun. Aku mungkin terlalu berlebihan dalam menunjukkan sikap bermusuhan,
tapi aku tidak mau jika Eunso melihat keangkuhanku. Aku tahu, ini akan
menyulitkan.
“Kyuhyun. Cho Kyuhyun” singkatku.
“Well..., kita berteman sekarang”
Jangan harap.
“Donghae-ssi..., ayo” ujar Eunso, mencoba mengalihkan perhatiannya
padaku. Eunso melirikku, dari sudut matanya dapat kulihat perasaan tidak enak ia
tujukan padaku. Aku terdiam dan tersenyum miris untuk beberapa detik, suara
langkahnya yang menjauhiku terdengar begitu menyakitkan. Rasanya..., aku benar-
benar tidak mempunyai kesempatan lagi. Gelombang kepedihan menghampiriku
cepat, dan aku tidak bisa membohongi diri bahwa aku benar-benar merasa sakit.

264
265

Aku menarik napas dalam-dalam mencoba menenangkan diri. Sejak awal aku
tak pernah terbiasa ditinggalkan, jadi..., melihatnya perlahan meninggalkanku
sungguh seperti membakarku hidup-hidup. Aku tidak ada apa-apanya dibangingnkan
pria yang mungkin baru beberapa bulan dikenalnya.
Tapi, ternyata aku keliru.
Eunso tidak benar-benar meninggalkanku sendiri. Gairah kemenangan
melandaku, membuatku merasa berkuasa. Empat kata yang ia lontarkan mampu
membuatku merasa hidup kembali dengan tingkat kepercayaan yang melimpah. Aku
tidak ditinggalkan. Dan darinya, aku cukup bisa menyimpulkan arti perasaannya
padaku.
“Oppa..., juga ikut denganku. Ayo” ajaknya.
Aku bergerak tanpa ia memintanya dua kali. Kami melangkah ke selatan,
entah Eunso akan membawaku kemana, asal bersama dia saja, aku sudah merasa
tenang. Aku melewati beberapa rumah dan kebun, sesuatu yang jarang kutemui di
Seoul. Kusisir rambutku dengan jemari dan menarik naps dalam-dalam sebelum
berbelok di sudut jalan. Aku menelusuri jalan demi jalan yang padat karena
rimbunnya pohon. Aku tidak terlalu memerhatikan arah langkahku, tapi kurasa,
mudah bagiku untuk mengingat sisi-sisi jalannya. Di ujung aku menemukan satu
rumah, dan kuyakin itu menjadi tempat tujuanku. Jendelanya penuh kristal,
penangkap mimpi, dan dikelilingi banyak bunga. Lewat jendela kaca aku bisa melihat
seisi ruangan dominan cokelat.
“Eo...,” mulai Donghae.
“Sebanyak ini?” lanjutnya.
Eunso mengangguk seraya tersenyum lebar diikuti tatapanku.“Tidakkah
ahjumma mengatakannya padamu?”
Donghae menggeleng cepat, “Tidak ada perbincangan apapun”

265
266

“Kau bisa mengambilnya satu-per satu jika itu menyulitkanmu” ujar Eunso.
Alisku mengerut marah, lalu mencoba lebih santai ketika akhirnya mengerti. Selama
ia masih tidak menyulutkan api cemburuku, aku masih bisa merasa marah saja.
“Tidak, sudah akan turun hujan. Aku akan mengambilnya semua” tolak
Donghae. Rasa Maluku lebih kuat daripada perasaan senang melihat sorot di
matanya saat ia mengatakannya. Aku langsung mengingat tentang argumentasiku
sebelumnya.
“Bye, Eunso” ujar Donghae meninggalkan kami.
Kepergiannya meninggalkan kesunyian diantara aku dan Eunso. Kutatap
matanya, berusaha menerka-nerka emosi apa yang sedang ia rasakan di balik
permukaannya. Eunso membalas tatapanku dan kepura-puraannya mendadak
lenyap. Kulihat Eunso ragu-ragu, tangannya pada pegangan pintu, mencoba
mengulur-ulur waktu.
Langit tiba-tiba menggelap, dan aku berharap memang demikian. Bila perlu
hujan turun secepat dan selama mungkin. Aku ingin sekali menyelinap masuk dan
berbagi kehangatan bersamanya, meskipun mustahil aku benar-benar berharap.
Rumah itu, lebih terlihat manusiawi dibanding istana yang kosong.
Rintik-rintik hujan mulai turun membasahiku, menepuk-nepuk pelan bagian
pundaku. Aku berusaha memasang ekspresi sememelas mungkin lalu tersenyum di
belakang.
“Tidakkah aku bisa masuk?”
“Oo... masuklah” ujar Eunso kemudian.
“Terimakasih, Eunso”
Bagian dalam rumah Eunso lebih membuatku terpana. Bukan karena
desainnya yang terkesan minimalis atau seadainya, melainkan keterkejutanku
datang karena susasa yang ia ciptakan. Temboknya mungkin tak sekokoh rumahku,
lantainya mungkin tak sehalus lantaiku, tapi..., seratus persen ini tak mampu

266
267

dikalahkan oleh kemegahan yang mampu dimiliki. Well..., aku menyadari.


Bagaimanapun kondisinya, jika ada Eunso didalamnya, semua akan terasa
membahagiakan untukku.
Eunso berjalan meninggalkanku dan hilang di sudut pintu.
“Minum,” Eunso menyuruhku.
Kusesap kopinya dengan patuh, lalu minum lagi lebih banyak. Aku terkejut
menyadari betapa hausnya aku. Aku baru sadar telah menenggak habis minumanku
ketika ia mendorong gelasnya ke arahku.
“Terimakasih,” gumamku, masih haus. Rasa kopi yang panas itu masih terasa
di dadaku, membuatku gemetaran. Suara deru hujan di luar bertalu-talu keras,
bahkan bisa kudengar decitan sisi-sisi jendela akibat angin yang ditimbulkan. Aku
memandang Eunso yang duduk tidak jauh dariku.
“Kau kedinginan?” tanyaku.
“Sedikit, tapi tidak apa-apa”
“Kau tidak punya jaket?” tanyaku merasa tidak puas dengan jawabannya.
Eunso menggeleng pelan. Aku memandangi kursi kosong di sebelahku, jika aku bisa
menjadi tidak tahu diri, ingin sekali aku datang dan memberikan kehangatan
untukknya.
Aku bergerak menanggalkan jas hitamku, mencoba menjaga tatapanku agar
tidak terlihat mengerling ke arahnya.
Eunso side’s
“Kau tidak punya jaket?” suaranya tidak puas dengan penjelasanku. Aku
menggeleng pelan, tapi ini juga bukan masalah yang besar. Aku terbiasa dengan ini,
pun jika badai mulai meloloskan rintik-rintik hujan di ruang tengah, aku bisa
menahannya. Kyuhyun menanggalkan jaketnya. Tiba-tiba aku menyadari tak
sekalipun aku pernah memperhatikan pakaian yang dikenakannya— bukan hanya
mala mini, tapi sejak awal. Sepertinya aku tak bisa berpaling dari wajahnya. Namun

267
268

sekarang, aku melihatnya, dalam jarak sedekat ini, benar-benar memperhatikannya.


Ia menanggalkan jaket kulit warna hitam, dibalik jaketnya ia mengenakan sweter
cokelat muda.
“Ini benar-benar tidak perlu...” tolakku menjelaskan. Bagiku, dari hatiku yang
terdalam, sesuatu yang hangat lebih Kyuhyun butuhkan ketimbang diriku. Well..., di
Myeongdong yang hampir tak pernah terlihat matahari, suasana itu pasti sulit untuk
Kyuhyun.
“Tidak apa-apa, aku lebih kuat daripada yang kau kira” ujarnya sambil
mengenakkan jaketnya padaku. Rasanya sejuk, seperti ketika pertama kali
menghirup udara di pagi hari. Aku kembali gemetaran, dan tersenyum di balik
wajahku menyadari bahwa Kyuhyun lebih mengerti tubuhku ketimbang aku sendiri.
Diam-diam aku menghirupnya, mencoba mengenali kembali aroma itu. Tidak seperti
aroma kolonye.
“Warna hitam itu kelihatan indah di kulitmu,” kata Kyuhyun memperhatikan.
Aku terkejut, lalu menunduk, wajahku memerah tentu saja. Ia menatap ke dalam
mataku, dan aku melihat betapa matanya terang, lebih terang daripada yang pernah
kulihat, cokelat keemasan. Dari situ, aku benar-benar merasa sangat aman.
Kyuhyun menyorongkan keranjang roti dari tasnya ke arahku. Lama kami
terdiam, aku mengambil roti dan menggigit ujungnya, sambil menebak ekspresi
Kyuhyun. Aku bertanya-tanya kapan saat yang tepat untuk memulai percakapan.
Aku bingung untuk hal-hal tertentu, haruskan aku memulai dengan yang paling
sederhana? Tapi..., pada akhirnya dua kata yang ia ucapkan menggagalkan
kebingunganku.
“Bagaimana kabarmu?”
Aku menunduk, perlahan-lahan melipat tanganku di atas pangkuanku. Meski
menunduk, bisa kulihat matanya berkilat menatapku dari bulu matanya,
menandakan ketidaksabaran akan jawabanku.

268
269

“Eunso... baik” jawabku singkat.


“Berikutnya?”
Aku menunduk, bingung. Pelan-pelan aku memasukkan lagi roti ke dalam
mulut, masih menunduk, mengunyah seraya berpikir mengenai jawaban apa yang
bisa kulontarkan lagi. Kyuhyun tersenyum ironis. Sepertinya ia bergidik, disiksa
dilema yang berkecamuk dalam batinnya. Kami bertatapan, dan kurasa ia sedang
membuat keputusan, mengatakan yang sejujurnya atau tidak.
“Kau... tidak ingin tahu bagaimana kabarku?” tanya Kyuhyun.
Aku mengerutkan kening keras hingga kuyakini keduanya bisa saling
menyatu sama lain. Aku merasakan sekelumit perasaan ngeri mendengar kata-
katanya, ditambah dengan ingatan akan tatapan kelam matanya yang sekonyong-
konyong hari itu... tapi perasaan aman yang sangat hebat berkat kehadirannya
mengenyahkan semuanya. Ketika ia mendongak untuk menatap mataku, tak ada
secercah rasa ragu di dalamnya.
“Eunso...” wajahnya yang tampan berubah serius.
Ia mengulurkan tangannya ke arahku, mengabaikan ketika aku mencoba
menariknya— dengan hati-hati menyentuh punggung tanganku. Kulitnya dingin dan
keras, seperti batu.
Ketegangan di wajahnya sedikit mencair.
“Ini kali pertamanya,” katanya, suaranya sulit didengar. Aku menatapnya
terpana, tapi ia menundukkan kepala. “Takdir membiarkanku bertemu denganmu”
“Ya,” sahutku tenang.
“Aku buruk Eunso, meski sekarang kau duduk di sini” Ada secercah keraguan
dalam suaranya, satu alisnya terangkat. Aku masih diam, mencoba memahami tema-
tema pembicaraan yang diajukan. Kyuhyun mengatupkan bibirnya erat-erat,
matanya menyipit menatapku, kembali menimbang-ninmbang. Ia memandangi
perut besarku, lalu menatapku lagi.

269
270

“Kyuhyun oppa...” panggilku tanpa sadar menghilangkan keformalanku.


“Sssttt...”
Kyuhyun cepat-cepat memotongku. “Menemukanmu, lebih sulit daripada
seharusnya. Biasanya, aku akan mudah mencari siapapun dengan apa yang kupunya.
Aku bisa dengan mudah menemukan apapun itu”
Ia menatapku was-was, dan aku menyadari tubuhku mematung.
“Secara tidak hati-hati aku mengutus semua orang untuk mencarimu,
London, Tokyo, manapun itu aku ingin mencarimu. Aku tidak pernah bisa berpikir
bahwa sejauh mataku memandang, aku menadari kalau kau hanya berada dalam
satu space yang sama denganku. Aku tak punya alasan untuk tidak menyalahkan
apapun, kejadian seperti ini. Jelas Tuhan sedang menghukumku”
Kyuhyun melamun, tatapannya menembusku, melihat hal-hal yang tak bisa
kubayangkan.
“Tapi kau berhasil menemukanku” ucapku berusaha membuat emosinya
tetap stabil. “Ya, disinilah aku duduk... berkat dirimu”
Aku terdiam sebentar. “Karena entah bagaimana aku bisa menemukan
dirimu”
Aku duduk diam, kepalaku pening, pikiranku campur aduk. Tanganku masih
berada dalam genggamannya yang semakin erat mengikuti nada bicaranya.
“Sulit... sekali— kau tak bisa membayangkan betapa sulitnya aku
menemukanmu” suaranya tidak jelas.
“Oppa..., menangis?”
Ia terkejut. “Maafkan aku” ucapnya tidak sadar jika air matanya menetes.
Aku mengulurkan tangan kananku, lalu menghapusnya pelan.
“Eunso... maafkan aku”
Suaranya sarat penyesalan. Aku tahu ia tidak sekedar meminta maaf atas
kata-katanya yang membuatku sedih. Kegelapan menyusup di antara kami.

270
271

“Katakan,” Kyuhyun bertanya setelah beberapa menit, dan aku bisa


mendengarnya berusaha lebih ceria.
“Ya?”
“Apa yang kau pikirkan mala mini, setelah bertemu denganku, sebelum aku
muncul? Aku tak bisa mengerti ekspresimu— kau terlihat setakut itu, kau seperti
sedang berkonsentrasi keras pasa sesuatu”
Aku menggeleng lalu menghela napas sama sekali tidak tahu apa yang harus
kuucapkan. Aku mempertimbangkannya beberapa saat, “Jangan memangis,” dan
dua kata itu yang bisa keluar. Aku tidak ingin memikirkan hal lain, perasaanku tidak
bisa berpura-pura tidak peduli pada Kyuhyun.
“Apakah besok kita bertemu?” tanyanya.
“Ya—”
Kyuhyun tersenyum. “Aku akan kembali lagi, besok”
“Eunso?” panggilnya dengan nada berbeda— serius, tapi ragu. “Maukan kau
berjanji padaku?”
“Ya,” kataku, dan langsung menyesali kesepakatan tanpa syarat itu.
Bagaimana kalau ia memintaku menjauhinya? Aku tak bisa menepati janji itu.
“Kumohon, jaga dirimu sebelum aku datang”
Aku menatapnya bingung. “Kenapa?”
Dahinya mengerut, tatapannya tegang ketika menerawang melewatiku, terus
menembus jendela. “Aku ingin kau tetap aman, selagi aku tidak berada disini”
Aku sedikit gemetar mendengar suaranya yang tiba-tiba dingin. Ini,
setidaknya bukan janji melainkan kata romantis yang Kyuhyun berikan padaku. Aku
cukup mempertanyakan diriku tentang apa yang membuatku menjadi begitu
terbuka karena kehadirannya.
“Terserah apa kata oppa”
“Sampai ketemu besok”

271
272

“Tidur nyenyak ya” katanya. Napasnya menyapu wajahku, membuatku


terpana. Aku ingin sekali menamparku, mengkhawatirkan jiwaku yang gampang
dibuat terbang olehnya. Aku masih mencoba acuh di saat Kyuhyun mulai
menghilang dibalik pintu kemudian menghembus napas lega.
Malam itu aku tidur tanpa mimpi, kelelahan karena telah memulai hari itu
sangat awal ditambah dengan pertemuanku dengan Kyuhyun, padahal malamya aku
kurang tidur. Satu hal yang aku yakin, kalau memang yakin. Gambaran kelam yang
menyelimtiku hanyalah cerminan ketakutanku terhadap pengulangan yang bisa saja
terjadi, bukannya karena Kyuhyun sendiri. Tetapi tetap saja aku merasa ketakutan
karena belum siap. Dan dari situlah aku mungkin mendapatkan jawabanku. Aku
benar-benar tidak tahu sebelumnya juga ada pilihan.
Aku sudah berpikir terlalu jauh. Sekarang, setelah tahu— seandainya aku
benar-benar tahu, tak ada alasan kuat yang mengharuskanku pergi menjauh. Karena
ketika aku memikirkan Kyuhyu, suaranya, matanya yang menyihir, daya tarik
kepribadiannya, aku tak ingin menginginkan yang lain kecuali berada didekatnya
saat ini. meskipun... tapi aku tak bisa memikirkannya. Tidak disini, kala aku sendiria
bersama kesunyian Myeongdong. Tidak ketika hujan membuat suasana teramat
temaram bagai langit di bibir malam di bawah payung dedaunan, berderai-derai
bagaiakan langkah-langkah kaki melintasi lantai bumi.
®®®
Aku menatap makanan tanpa benar-benar ingin menyantapnya.
Pertemuanku dengan Kyuhyun beberapa hari silam sungguh membuat kinerja
otakku melemah hingga batas yang tak mampu kutoleran. Pun dengan permohonan
maafnya yang terkesan berlebihan. Bukan maksudku untuk mempermainkan
Kyuhyun atau mengajukan balas dendam padanya. Bukan, sama sekali bukan. Pun
jika aku bisa memaafkannya dihari pertama Kyuhyun mengajukan maaf, aku ingin
sekali segera mengiyakannya. Tapi..., rasanya aku memang belum benar-benar siap.

272
273

Ada perasaan-perasaan lain yang masih membelengguku. Entah apa itu yang pasti,
begitu berpengaruh.
Aku hanya belum siap...
Aku mengangkat bahu dan memalingkan wajah. Sebenarnya aku yakin,
bahwa ada sesuatu yang tidak bisa diterima oleh pikirku. Kedatangannya, tanpa
kusadari atau tidak, itu membawa pengaruh pada kinerja jantungku. Berdetak tak
beraturan, membuatku dibuat bingung sendiri oleh dentumannya. Saat aku
berkonsentrasi pada sesuatu, yang baru saja lewat menjadi tidak penting.
Perasaanku, rupanya tak lelang dimakan waktu dan well... aku merasa bahagia,
mendengar kenyataannya. Aku menyadari aku tersipu malu, aku menatap sekeliling
untuk menormalkan mimik mukaku yang terkesan sinting karena senyam-senyum
sendiri.
Eh..., oppa masih saja tampan.
Aku menggelang keras saat pikiran itu kembali muncul. Dan itu keajaiban
yang patut aku syukuri, aku bisa menutupi segala perasaanku yang sebenarnya di
hadapan Kyuhyun. Aku bisa bersikap bahwa aku memang tidak memiliki perasaan
apapun. Sejenak aku berpikir, mengesampingkan jiwa gadis remajaku, rasa
penasaran tiba-tiba melingkupi otakku, memaksaku bertanya-tanya tentang
hubungan macam apa yang mengikat Janhyuk dengan lelaki itu? Dari tatapannya,
kuyakini ada hubungan lebih dari angin lalu yang melekat diantara keduanya.
Bagiku...,
Janhyuk sama baiknya dengan Kyuhyun. Meski aku jarang
memperhatikannya, aku tetap tidak bisa memungkiri jika pria itu memang baik
padaku. Pribadinya elok, dan jika saja aku bisa menjadi sepertinya yang mudah
bergaul, ia tentu akan menjadi teman akrab untukku. Dan jika aku mudah merasa,
aku mungkin akan jatuh cinta dengannya bahkan untuk bulan-bulan awal dia datang
padaku. Itu jika aku merasa demikian. Well..., tapi itu bukan keputusan yang salah.

273
274

Disaat Janhyuk memberikan semua apa yang kau butuhkan, menjagamu selama
yang kau inginkan, semua itu bukan alasan tepat untuk membuatmu tidak jatuh
cinta padanya.
Aku tertawa pelan seraya menggeleng cepat, menyadari pikiranku yang
semakin melayang. Kuharap..., ia memang benar-benar bisa menjadi temanku.
Ketukan pintu membuyarkan lamunanku sekali lagi. Mataku melirik ke arah
jam dinding, sudah pukul delapan malam. Well..., siapa pula yang mengujungiku
selarut ini? Aku tak ingin ambil pusing dengan membuka kenop pintu sesegera
mungkin. Tanganku mengambil payung yang tersampir di belakang pintu, kurasa...
berjaga-jaga bukanlah hal yang salah.
“Kyuhyun-ssi” pekikku. Sadar dengan siapa yang berada dihadapanku. Aku
menoleh ke arah jam dinding dan jendela, memastikan itu benar-benar jam delapan
malam.
“Kenapa belum makan hum?” seru Kyuhyun sembari berjalan ke arah meja
makan diikuti dibelakangnya.
“Kyuhyun-sii. Apa yang kau lakukan disini?” ucapku hati-hati.
“Menemui anakku dan menemanimu. Memang apalagi?” sahut Kyuhyun.
Aku mundur darinya, menatapnya nanar. Buru-buru mengubah ekspresi
penuh kagumku. Aku tidak melihatnya melompat ke arahku— terlalu cepat.
Sekonyong-konyong aku mendapati diriku berada dalam pelukannya. Lengannya
membentuk sangkar baja di sekeliling tubuku— nyaris menyentuhku. Tapi aku toh
terengah-engah saat mencoba memperbaiki posisiku.
Kyuhyun tak membiarkanku. Digulungnya tubuhku menyerupai bola ke
dadanya, dicengkeramnya diriku lebih erat daripada rantai besi. Aku menatapnya
ngeri, tapi sepertiya ia dapat mengendalikan diri dengan baik, rahangnya melemas
ketika ia tersenyum, matanya berkilat-klat penuh canda.
“Kemari. Duduk. Aku akan menyuapimu”

274
275

Aku menganga lebar-lebar, berusaha menyesuaikan situasi yang terlalu cepat


untukku.
“Ti-dak perlu... Eunso sedang tidak nafsu makan” jujurku.
“Itu akan berbeda jika kau makan dari tanganku. Kemarilah” perintah
Kyuhyun.
“Tidak perlu Kyuhyun-sii” tolakku sopan. Tapi bukan aku namanya jika
berhasil menolak Kyuhyun.
Selama beberapa menit aku makan dalam diam. Namun diam yang nyaman.
Tak satupun dari kami terusik keheningan itu.
Aku memberanikan diri membuka mata, dan cukup yakin, dengan apa yang
baru saja kulakukan. Kyuhyun tersenyum sedih dan tubuhnya merosot ke lantai,
menyatukan lututunya di bawah kakiku. Aku menatapnya tak percaya, jelas-jelas tak
yakin apakah Kyuhyun benar melakukannya untukku. Tapi ekspresiku yang
kebingungan tidak membuatnya berkutik sama sekali.
“Oppa...” jangan seperti ini”
Aku merasakan lengannya memeluk pinggangku.
“Eunso...” bisiknya, mengingatkanku pada suasana hatiku yang kelam yang
menjauhkannya dariku, yang selalu kuinterpretasikan sebagai perasaan frustrasi
yang rasional, frustrasi akan kelemahanku, kelambananku, dan reaksi manusiaku
yang tak terkendali.
Hati-hati ia meletakkan tangannya di kedua sisi wajahku. “Aku
membangkitkan kemarahanku sendiri,” katanya lembut. “Karena selalu membuatmu
sedih. Eksistensiku sendiri membahayakanmu. Kadang-kadang aku benar-benar
membenci diriku sendiri. Aku harus kuat, aku harus bisa—”
“Sekarang, setelah mengabaikanku. Kumohon beri aku kesempatan,” ia
melanjutkan dan memandang jauh ke dalam mataku.

275
276

“Aku mencintaimu,” kata Kyuhyun. itulah pertama kalinya ia menyatakan


cintanya padaku— pada Song Eunso dalam begitu banyak kata-kata. Ia mungkin
tidak menyadarinya, tapi aku tentu saja menyadarinya.
Perlahan, tanpa mengalihkan pandangan dariku, ia mencondongkan wajah
ke arahku. Lalu tiba-tiba, namun dengan teramat lembut, ia menempelkan pipinya
yang dinging di relung leherku. Aku tak bisa bergerak, bahkan bila menginginkannya.
Aku mendengarkan suara napasnya yang teratur. Dengan kelambatan disengaja,
tangan-tangannya meluncur menuruni leherku. Aku bergetar, dan mendengarnya
terengah. Tapi tangannya tidak berhenti ketika dengan lembut ke bahuku, kemudian
berhenti.
“Song Eunso”
Ia mengucapkan nama lengkapku dengan hati-hati. “Eunso, aku tidak akan
memaafkan diriku sendiri jika aku sampai menyakitimu. Itu janjiku dulu, dan aku
benar merasakannya sekarang. Tapi..., bagaimanapun itu. Aku membutuhkan
maafmu”
Kyuhyun menunduk. “Kau yang terpenting bagiku sekarang. Terpenting
bagiku sampai kapanpun” sambungnya. Kepalaku berputar karena betapa cepatnya
pembicaraan Kyuhyun yang berubah-ubah. Semuanya ia ucapkan dalam curahan
kata-kata yang hanya berlangsung beberapa detik. Aku mendengarkan dengan
seksama dan menangkap sebagian besar maksudnya, meskipun aku masih belum
begitu paham.
Mata kami kembali bertemu, dan aku terkejut melihat betapa lembut
tatapannya.
“Aku tahu, aku brengsek. Hanya untuk menahanmu saja aku tak mampu. Hari
ini aku malu, terlebih malu pada diriku sendiri. Aku gagal untuk semua hal hingga
menyebabkan semua ini terjadi. Jika saja, jika saja aku lebih bijak. Kau pasti tidak
akan seperti ini. Kita pasti tidak akan seperti ini”

276
277

Ia mengangkat tangannya yang bebas, dan menaruhnya dengan lembut


dileherku. Aku duduk diam tak bergerak, sentuhannya yang dingin bagai peringatan
alami, bahwa Kyuhyun tidak dalam kondisi baik-baik saja. Darahku mengalir deras,
dan aku berharap bisa memperlambatnya, sadar ini pasti akan membuat segalanya
lebih sulit, detak jantung dalam nadiku. Pasti ia bisa mendengarnya.
Kedua tanganku mencengkeram erat dress selutut yang ku kenakan. Aku
mencoba berani, mendongakkan mata dan menyesal sedetik kemudian. Kyuhyun
menangis. Tubuhku gemetar di hadapannya, ingatanku akan hal-hal yang jauh
kulupakan kembali lewat dimataku, hanya saja sekarang aku tidak turut merasa
ketakutan.
Aku tak sanggup berkata-kata.
“Seminggu setelah kau pergi, aku mengakui betapa pengucutnya diriku. Aku
tidak bisa kembali ke rumah, meski aku sangat merindukanmu. Aku benci karena
telah mengecewakan banyak orang, mengecewakan yang lainnya, keluargaku. Setiap
malam, aku mencoba menyakinkan diriku, bahwa kepergianku saat itu menunjukkan
betapa lemahnya diriku. sebelumnya aku juga tidak pernah menghadapi cobaan, aku
tak pernah merasakan perasaan semacam ini. Siapa kau ini, gadis kecil tak
penting”— tiba-tiba Kyuhyun nyengir. “Tapi, siapa sangka gadis kecil sepertimu bisa
begitu mempengaruhiku”
“Kyuh—”
“Dengarkan aku,”
“Aku mungkin egois. Tapi aku juga tidak mengerti apa yang harus kulakukan.
Aku bisa saja tidak datang, tapi itu tentu akan berimbas buruk pada kinerja hidupku.
Bagimu..., ini mungkin tidak mudah. Aku ingin kau melupakan sikapku pada hari
dimana kau pergi dariku. Bagimu..., ini mungkin juga tidak mudah. Tapi aku ingin kau
benar-benar memaafkanku, aku ingin kau tahu bahwa aku benar-benar menyesal.
Dan yang terpenting dari setiap ucapanku, aku mencintaimu”

277
278

Kyuhyun memejamkan mata, larut dalam pengakuannya yang menyiksa. Aku


mendengarkan, lebih antusias daripada rasional. Akal sehatku mengingatkan
seharusnya aku berhati-hati untuk tidak gampang percaya. Tapi sebagai ganti, aku
lega akhirnya isa mengerti. Aku sangat simpati atas penderitaannya, bahkan untuk
sekarang. Aku menarik diri, dan ia membeku, dan aku tak lagi mendengar suara
napasnya. Aku berusaha untuk setenang mungkin sebelum memulai.
“Well..., oppa. Kita mungkin hidup bersama, dan dalam beberapa waktu itu,
kau berada dalam kondisi tak mengenaliku. Kau menyatakan cintamu padaku. Tapi...
tidakkah aku ragu bahwa yang sebenarnya kau cintai bukanlah aku melainkan Eunbi
eonni?” ucapku menyisihkan tanda tanya dibelakang, ragu.
“Eunso..., semudah itukah kau meragukanku? Aku mencintaimu, dan well...,
wajah kalian mungkin sama. Tapi demi apapun, dari sudut pandanganku, kau
berbeda. Kaulah yang membuat hatiku bergetar hebat untuk pertama kali, kaulah
wanita yang membuatku cemas ketika jauh dari pandanganku. Kaulah yang
memberikan semua rasa ini Eunso-ya, lalu... kenapa aku harus mencari orang lain
jika dirimulah yang harus bertanggung jawab atas semua rasa yang menderaku?”
Suara paraunya yang tak asing mengirimkan gelombang kesedihan di hatiku.
Ribuan kenangan berputar cepat di kepalaku, saling membelit— rumah lantai kayu
dengan pepohonan driftwood disana-sini, garasi beratap plastik, minuman soda
hangat dalam kantong kertas, ruangan kecil dengan sofa loveseat. Tawa yang
terpancar dari mata hitamnya yang dalam, panas membara yang terpancar dari
tangannya yang besar saat melingkari tubuhku, secercah warna putih dari sederet
giginya yang tampak kontras dengan rambutnya yang gelap, wajahnya yang
merekah oleh senyum lebar yang seolah-olah selalu menjadi kunci menuju pintu
rahasia yang hanya dimasuki jiwa-jiwa sejenis.
Semua kenangan itu saling mengisi satu sama lain, rasanya nyaris seperti
pada kerinduan pada kampung halaman, kerinduan terhadap tempat dan orang

278
279

yang telah melindungiku melewati malam tergelap dalam hidupku. Aku berdeham-
deham, menyingkirkan gumpalan di tenggorokanku.
“Kau sudah t ahu bagaimana perasaanu, tentu saja,” katanya pada akhirnya.
“Aku ada disini... yang secara kasar berart I aku lebih baik mat I daripada harus
menjauh darimu”
Aku memandanga tangannya yang dingin dan halus, lalu matanya. Mata itu
lembut, penuh penyesalan. Aku kembali menatap tangannya, kemudian dengan
sengaja menelusuri garis tangannya dengan ujung jariku. Aku memandangnya dan
tersenyum gugup.
“Ya” sahutku kemudian.
Jujur, untuk semua yang telah Kyuhyun lontarkan padaku. Penderitaan
Kyuhyun selalu berhasil membangkitkan sisi protektifku. Itu sangat tidak rasional jika
aku harus mengira bahwa akulah yang paling menderita di sini. Aku tak perlu
mengaku padanya betapa sulitnya bagiku saat ia tidak ada— bagaimana itu selalu
memunculkan kembali mimpi-mimpi buruk saat aku ditinggalkannya dulu. Karena
semenderitanya aku, aku masih mendapat orang-orang yang menyayangiku. Sedang
Kyuhyun, bagaimana pria itu bisa bertahan hidup dengan kesendiriannya? Dan
seandainya Kyuhyun tahu, itu hanya akan membuatnya merasa semakin menderita.
Jadi konsekuensinya adalah, aku harus melupakan fakta bahwa semuanya telah
terjadi. Pun sejak awal aku memang tak pernah memendam rasa benci sedikitpun
pada Kyuhyun.
“Oppa... berdirilah”
Aku benar-benar berusaha, dan anehnya ini tidak seburuk dengan apa yang
kukira sebelumnya.
“Eunso memaafkan oppa” putusku.
Malam ini, ingatan masa laluku jelas sekali. Aku bisa melihat setiap kesalahan
yang kuperbuat, setiap kerusakan yang kuakibatkan, hal-hal kecil maupun besar.

279
280

Setiap kepedihan yang kutimbulkan di hati Kyuhyun selama aku pergi, setiap luka
yang kuberikan pada Kyuhyun dan untukku sendiri, semuanya bertumpuk dalam
tumpukan rapi yang tak mungkin kuabaikan atau kusangkal. Dan selama ini aku
sadar, aku keliru. Ternyata aku sendiri yang membentengi diriku.
Mata Kyuhyun berbinar meneteskan kembali air matanya saat mendengar
maaf keluar dari bibirku. Meski rasanya tampak tidak adil baginya, aku akan
membuat semuanya jauh lebih mudah. Aku tak harus merasa membohongi diri
bahwa tak ada satupun dendam yang kusematkan pada Kyuhyun. Cintaku...
nyatanya jauh lebih besar dibanding apa yang ia lakukan padaku. Dengan gerakan
cepat dan pasti, ia bangkit dan segera membenamkan bibirnya di atas bibirku.
Ciumannya menggebu-gebu, seolah mengisyaratkan padaku tentang seberapa besar
cinta yang ia bubuhkan, darinya aku bisa merasakan bahwa aku adalah hidupnya,
dunianya, segalanya baginya dan tak ada yang menempati posisi itu selain aku.
Butuh beberapa detik untuknya menciumku, dan aku tidak berusah payah
untuk menghentikannya. Kyuhyun berhenti sejenak, wajahnya merenung. Matanya
menatapku lembut, dan aku tak bisa tidak bangga diri melihat pancaran cinta saat ia
memandangku.
“Aku memaafkanmu...” ulangku.
“Dan aku juga mencintaimu...” sambungku.
Aku tahu itu membuatnya terperangah, hingga kembali membenamkan
bibirnya ke arahku.
“Aku takkan pernah merasa bosan untuk meminta maaf padamu.
Terimakasih Eunso” aku diam-diam meliriknya, dan benar saja, mata Kyuhyun nanar
saat ia mengucapkan itu. Tangannya membelai bagian pipiku yang terlihat.
“Meski kau sudah memaafkanku, aku benar-benar tidak akan memaafkan
diriku sendiri”
“Oppa...” aku berbisik. “Eunso...”

280
281

“Sstt,” Kyuhyun mendiamkan, jari-jarinya menenangkan di pipiku. Perlahan-


lahan aku ikut menempelkan tanganku di atas tangannya.
“Kau manusia biasa Eunso, dan kuyakin. Ada lubang-lubang dalam hidupmu
yang menganga karenaku, aku mengerti itu”
“Tapi itu tidak benar. Tidak ada lubang apapun. Justru Eunso yang membuat
oppa seperti ini”
Setiap sel dalam tubuhku benar-benar ingin menyangkalkan.
“Eunso mencintaimu”
“Ya, aku tahu. Tapu waktu aku meninggalkanmu Eunso, aku meninggalkanmu
berdarah-darah. Mungkin aku sudah dimaafkan, tapi tidak berarti aku bisa lepas dari
segala konsekuensinya. Kupikir..., rasanya akan sangat sulit sekali bagiku jika kau
menolakku atau tidak ada lagi cintamu untukku”
“Seharusnya Eunso tahu, oppa pasti akan menyalahkan dirimu sendiri. eunso
mohon, hentikan. Eunso tidak ingin mendengarnya lebih jauh”
“Kau baik sekali, padaku yang brengsek ini”
“Memangnya oppa ingin aku tidak memaafkanmu?”
“Tidak, sama sekali tidak. Well..., aku sungguh tidak mengira jika kau benar-
benar seperti malaikat untukku. Aku ingin kau memaki-makiku sepuas hatimu,
dalam setiap bahasa yang kau tahu. Aku ingin kau mengatakan padaku, kau jijik
padaku dan kau akan meninggalkan aku sehingga aku bisa memohon-mohon dan
menyembah-nyembah, memintamu tidak pergi”
“Maafkan Eunso”
Aku menghela napas. “Eunso tidak bisa berbuat begitu, lagipula tidak
penting”
“Setidaknya berhentilah berusaha menghiburku. Biarkan aku menderita. Aku
pantas kok menerimanya”

281
282

“Tidak” gumamku. “Oppa— kau tidak mengerti, aku tidak sedang menghibur
perasaanmu. Tapi aku sungguh-sungguh memaafkanmu. Kita bisa memulai
semuanya kembali”
Mata Kyuhyun membelalak kaget. Aku mengulurkan tubuhku untuk
menariknya duduk disampingku. “Eunso bisa bersikap mulia, aku tidak akan pernah
bisa untuk membuatmu merasa lebih menderita lagi dan lagi. Berbahagialah, dan
kau bisa memiliki bagian apa saja dariku yang kau inginkan, atau tidak sama sekali,
kalau itu memang lebih baik. Jangan biarkan rasa bersalah yang menurutmu kau
rasakan terhadapku, mempengaruhi keputusanmu. Yang jelas, aku, Song Eunso...,
ingin hidup bersamamu”
“Bagaimana caranya?” tanya Kyuhyun, matanya sorot akan kesedihan.
Aku cepat-cepat naik ke pangkuannya, memeluk lehernya. Tak peduli ini
melanggar prinsipku, seseorang harus menyadarkan Kyuhyun. “Eunso tidak peduli,
mulailah dengan memaafkan dirimu oppa, buat kau lupa betapa kelamnya masa
lalumu, buat kau akan bayang-bayang itu. Lawan!”
Aku tak menunggunya memutuskan— atau memiliki kesempatan untuk
mengatakan kepadaku. Aku mencondongkan wajahku dan melumat bibirnya ke
bibirku yang bergetar. Aku tahu ini bukan diriku, tapi aku harus melakukannya.
“Hati-hati, sayang” gumamnya saat aku menciumnya kaku.
“Tidak”
Dengan lembut Kyuhyun mendorong beberapa sentimeter dari wajahnya.
Senyum mengembang lebar di wajahnya yang rupawan dan itu menular padaku
dengan mudah. “Eunso..., bisakah kau percaya padaku sekali lagi?”
“Aku mengangguk cepat.
“Eunso...” panggilnya dan aku menunggu tidak sabar.
Aku mungkin pernah menjadi bagian dari keluargamu, menjadi kakak iparmu
lebih tepatnya. Lalu, sekarangpun begitu. Berikanlah aku kesempatan untuk kembali

282
283

menjadi bagian darimu. Berikanlah seluruh hatimu untukku, jadikan aku akhir dari
harapanmu. Aku mungkin tak bisa memberikanmu dunia, tapi aku bisa memberikan
semua duniaku padamu”
Aku menahan napas keras. Ingin sekali menghentikan waktu, menyimpan
bahagiaku ini untuk jangka waktu yang sangat lama. Aku percaya, seratus persen
percaya bahwa Kyuhyun adalah takdirku. Aku percaya dan akan selalu percaya
bahwa Kyuhyun akan melindungiku, tak peduli apapun, aku akan selalu percaya.
“Ya. Eunso percaya”
®®®
Kyuhyun tidak berkata-kata, dikeluarkannya CD yang ada di atas nakas lalu
dimaskukkannya ke CD player di sampingnya. Tangannya menekan tombol play dan
kami menunggu dalam kesunyian. Lalu musik mulai mengalun. Aku mendengarkanm
tak mampu berkata-kat a, mataku terbelalak lebar. Aku tahu ia menunggu reaksiku,
tapi aku tak sanggup bicara. Air mataku menggenang, dan aku mengangkat tangan
untuk menyekanya sebelum jatuh menetes di pipi.
“Eunso... ada yang salah?” tanya Kyuhyun was-was.
“Tidak, ini bukan karena apapun. Indah sekali, oppa. Tak ada kado lain yang
bisa kau berikan yang lebih kusukai daripada ini. Eunso tak percaya.” Lalu aku diam,
supaya bisa mendengarkan.
CD itu berisikan rekaman musiknya, kompisisinya. Musik pertama di CD itu
adalah lagu nina boboku.
“Kupikir kau tidak akan membiarkanku membelikanmu piano supaya aku bisa
memainkannya untukmu disini” Kyuhyun menjelaskan.
“Oppa benar”
“Perutmu bagaimana?”
“Baik-baik saja,” sebenarnya aku mulai merasa nyeri, tapi kurasa itu hanya
akan membuatnya khawatir.

283
284

“Apa yang kau butuhkan?”


“Aku tidak membutuhkan apa-apa,” protesku, ia tersenyum tapi Kyuhyun
sudah menurunkan aku dari pangkuanku dan berjalan ke arah pintu. “Ahjumma,”
desisku. Ahjumma tidak tahu Kyuhyun sering menginap di rumahku. Sebenarnya,
bisa-bisa ia terserang stroke jika mengetahui kenyataan yang sesungguhnya. Tapi
aku tidak merasa terlalu bersalah telah memperdaya ahjumma. Soalnya, kami toh
tidak melakukan apa-apa yang dilarang atau melanggar norma susila. Kyuhyun dan
aturan-aturannya...
“Dia tidak akan menagkap basah aku,” janji Kyuhyun sebelum lenyap tanpa
suara di balik pintu... dan kembali sejurus kemudian, memegangi pintu sebelum
sempat menutup kembali. Ia memegang gelas berisikan susu yang diambilnya dari
dapur serta sebotol kop di tangan satunya.
Aku menerima gelas yang disodorkannya tanpa membantah— aku tahu
paling-paling aku bakal kalah berdebat dengannya. Dengan alasan apapun, meski
amis dan terkesan membuatku mual, Kyuhyun selalu mempunyai cara apapun itu.
Lagu nina bobiku terus mengalun, lembut dan lirih, di latar belakang.
“Sudah malam,” kata Kyuhyun setelah menengguk habis kopi yang ada
digelasnya tanpa sisa. Ia meraup dan menggendongku dengan satu tangan,
sementara tangan lainnya membuka penutup tempat tidur. Lalu ia membaringkanku
dengan posisi kepala di atas bantal, kemudian menyelimutiku. Kyuhyun berbaring di
sebelahku— di dalam selimut agar aku tetap merasa hangat— dan meletakkan
lengannya di atas tubuhku.
Aku menyandarkan kepala di bahunya dan mengembuskan napas bahagia.
Jujur... ini adalah malam paling memuaskan dari malam-malam buruk yang
menderaku selama ini. Aku benar-benar merasa aman, terlindungi dari bayang-
banyang yang menyakitkanku. Pelukan Kyuhyun, ibarat atap yang melindungiku dari
hujan badai, ibarat matahari yang mengusir jauh mendung meradang.

284
285

“Terimakasih sekali lagi” jawabnya.


“Terimakasih kembali”
Sejenak suasana sunyi sementara aku mendengarkan lagu ninaboboku
berakhir. Lagu lain dimulai. Aku tidak terlalu mengenalinya, tapi jika didengarkan
lebih jauh... musik itu dapat diterima baik oleh telingaku.
“Kau sedang memikirkan apa?” bisiknya.
Aku ragu-ragu sebelum menjawab. “Sebenarnya, Eunso sedang berpikir
tentang apa yang terjadi sekarang. Awalnya seperti khayalan, tapi adanya oppa
disini menyadarkanku bahwa semua yang terjadi sekarang benar-benar nyata”
Aku merasakan sekujur tubuhnya bergidik.
“Well..., aku juga sedang berpikir, karena sekarang kau masih ragu, aku ingin
kau menciumku lagi” jawabnya.
“Oppa serakah sekali”
“Ya memang— tapi please, jangan lakukan apapun yang tidak ingin kau
lakukan,” tambahnya kesal. Aku terkikik lucu, kemudian mendesah.
“Semoga surge mencegahku melakukan hal-hal yang tidak ingin kulakukan,”
kataku dengan nada putus asa yang aneh saat aku meletakkan tanganku di bawah
dagunya dan mendongakkan wajahku.
Ciuman kami diawali seperti biasa— aku tetap sehati-hati biasanya, dan
seperti biasa pula, jantungku mulai bereaksi berlebihan. Kemudian sesuatu
sepertinya berubah haluan. Tiba-tiba saja bibir Kyuhyun melumatku lebih ganas,
tangannya menyusup masuk ke rambutku dan mendekap wajahku erat-erat. Dan,
walaupun tanganku juga menyusup masuk ke rambutnya, dan meski jelas aku mulai
melanggar batas kehati-hatianku, namun sekali ini aku tidak bisa menghentikankku.
Tubuhnya memanas di balik selimut tipis, membuatku menempelkan tubuh erat-
erat ke tubuhnya.

285
286

Aku berhenti begitu saja, mendorong Kyuhyun dengan kedua tanganku,


lembut tapi tegas dan untungnya ia mau menghargaiku. Aku terenyak ke atas bantal,
terengah-engah, kepalaku berputar. Sesuatu menarik-narik ingatanku, tapi aku tak
kunjung meraihnya.
“Maaf,” kata Kyuhyun, napasnya juga terengah-engah hebat.
“Eunso yang harusnya meminta maaf. Itu tadi sungguh tidak sopan”
“Aku tidak keberatan, sayang” katanya megap-megap.
“Well..., rasanya. Entah mengapa, Eunso ingin oppa menciumku”
“Kau menilai pengendalian diriku kelewat tinggi”
“Tidakkah seperti itu?” tanyaku terbelalak.
“Ya. Dan aku sungguh tergoda karenamu”
Kyuhyun nyengir sekilas, meski sebenarnya tak ingin, lalu kembali serius.
“Sekarang, sebelum semuanya berubah dan terjadi hal-hal yang ku inginkan,
berhentii untuk mempertaruhkanmu dan pergi tidur”
“Baiklah,” aku segera setuju, meringkuk lebih rapat padanya, membuat
ruang teraman untuk kehadiran Chocho. Aku benar-benar lelah. Aku sudah hampir
tertidur, mungkin malah sudah setengah terlelap, waktu mendadak aku sadar
Kyuhyun kembali menciumku. Ciuman sepihak yang terasa lembut dan hangat,
seraya berkata, “Aku mencintaimu, Cho Eunso”

286
287

BAGIAN DUA BELAS


"Kumohon, berhentilah meminta maaf”
“Tetapi aku bersalah padamu”
“Well, teknisnya mungkin begitu. Dalam pandangan orang lain besar
kemungkinan oppa memang tertampang sebagai tersangka atas apa yang
menderaku. But..., mereka juga tidak pernah tahu, bahwa akulah sebenar dalang
atas kejadian yang menimpaku. Bukan karena oppa, tapi lebih kepada konsekuensi
yang pantas kudapat. Jika saja, Eunso tidak pernah hadir, jalan—”
“Kebahagiaan tak pernah datang menyambutku, tanpa hadirmu”
Eunso terkekeh pelan. Beberapa silam, kemampuan dalam hal rayu-merayu
rasanya menjadi meningkat secara signifikan. “Awalnya memang seperti itu” sahut
Eunso kemudian. “Bagaimanapun oppa menyangkal, kenyataan tetap tidak akan
berubah. Oppa mungkin bersalah, tapi aku jauh lebih salah karena memulai
semuanya dengan sengaja”
“Terlepas dari bagaimana awal pertemuanku denganmu, tidak seharusnya
aku menggali nerakaku sendiri dengan berbuat tidak manusiawi padamu. Harusnya
aku lebih mendengarkanmu, untuk hal diluar kendaliku, harusnya aku tetap
mengenali bahwa kau adalah pemilik hatiku, Eunso-ya”
“Tapi bagi Eunso, dengan adanya ini. Kurasa semuanya menjadi lebih
terbuka, terlepas dengan rasa sesak sebelumnya, Eunso senang dengan hadirmu,
Eunso senang menjadi diriku”
“Tapi—”
“Dengarkan Eunso. Perasaan bersalah adalah naluri yang tak dapat dihindari,
tapi... akan menjadi bencana jika berlangsung terus menerus. Terlebih disaat Eunso
jauh sudah memaafkanmu. Jadi untuk perasaan kecewa yang kau rasakan, kupikir itu
adalah hal wajar yang mampu dilakukan setiap insan”

287
288

“Tapi aku mencintaimu, bagaimana bisa aku melakukan hal yang bahkan
tidak pantas dilakukan seorang pria?”
“Eunso juga mencintaimu”
“Eunso...”
Kyuhyun menggenggam erat tangan Eunso dalam tautannya yang basah
sekaligus dingin. Rasa gugup menggerayangi sekujur tubuhnya cepat, mengalirkan
efek yang mampu membuatnya tercekat. Sepanjang hidupnya, kata maaf,
bagaimanapun keadaannya, itu adalah kata laknat yang tak pernah ia lontarkan.
Mungkin dengan alasan inilah mengapa, dirinya yang arogan menjadi begitu gagu
dan bertele-tele atas niat baik Eunso. Kyuhyun bergerak, mengikuti nalurinya yang
entah kapan menjadi hidup, turun menghadap Eunso. “Heii... jangan seperti ini
oppa. Eunso mohon”
“Eunso... entah kebaikan apa yang kulakukan sebelum ini. Yang jelas, untuk
apapun itu, aku benar-benar bersyukur atas lautan maaf yang tiada kira kau
bubuhkan padaku. Kesalahanku bahkan tidak bisa kumaafkan untukku sendiri. Lalu
bagaimana bisa kau sama sekali tak membenciku?”
“Oppa tidak melakukan kesalahan apapun”
“Sebagai pria, aku seperti kehilangan mukaku. Tapi, jika aku tetap tidak
menemuimu, maka neraka adalah tujuan utamaku. Well... kau tau aku mencintaimu,
tapi justru apa yang telah kulakukan padamu? Bahkan di saat kau begitu
membutuhkanku, di saat Chocho membutuhkan kasihku, aku tidak ada Eunso. Lalu...
dengan keadaanku yang seperti ini, aku mungkin tidak pantas menghadap maafmu,
tapi... aku juga tidak akan bosan untuk mengharap empatimu”
“Semua kebaikan yang oppa lakukan untukku, tak akan pernah hilang hanya
karena satu hal sepele. Untuk titik bahagia dalam hidup, kurasa ada baiknya jalan
yang kita tempuh begitu berduri dan menyesakkan. Tapi, kita sudah melewatinya,
teknisnya begitu. Lagipula sekarang oppa berada disini bersamaku. Hanya dengan

288
289

oppa mencariku saja, hanya mendengar bahwa kau juga mencintaiku. Eunso sudah
bahagia” sahut Eunso.
“Aku salah”
“Eunso tahu oppa merasa bersalah. Tapi jika oppa ingin tahu, permintaan
maafmu justru menyakitiku. Hal ini menggiring opiniku untuk berkata bahwa sikapku
jauh dari kata pantas. Lupakan semua dukamu oppa, masih ada begitu banyak
kebahagiaan yang pantas kita dapatkan”
“Ya Tuhan. Aku bahagia”
“Lelaki sepertimu memang pantas bahagia”
“Eunso, di awal, kita mungkin jauh dari apa yang biasa disebut dengan
kenormalan dalam berhubungan. Pertemuanku denganmu juga bukan sebuah jalan
kesengajaan. Tapi oppa janji, demi semua yang kumiliki, bahagia akan selalu
menyelimutimu, aku, dan keluarga kita nantinya. Tetaplah hidup bersamaku, untuk
melihat semua janjiku ini terpenuhi untukmu”
“Eunso, akan selalu bersama oppa”
Kyuhyun menjulurkan jari kelingkinganya kea rah Eunso. “Janji padaku,”
ujarnya.
Eunso tersenyum. Mengaitkan jari kelingkingnya di jari Kyuhyun. Tanda ia
setuju untuk selalu berada, menjadi bagian dari hidup Kyuhyun. Sejauh ini, ia tidak
pernah merasa keberatan untuk apapun. Secara naluri, ia mematuhi pria yang
menjadi pemilik hatinya utuh. Kyuhyun mengusap pipi Eunso, sembari berujar.
“Janji”
“Aku ingin melihatmu terus berada di dekatku, bahkan jika aku bisa, aku
ingin membeli isi dunia ini agar kau selalu tersenyum”
“Bahkan jika Eunso memiliki dunia dan seisinya, tanpa ada oppa di dalamnya,
kebahagiaan juga tak akan pernah menghampiri hidupku”
“Terimakasih, poros hidupku”

289
290

“Aku akan membuatmu bangga, sudah mencintaiku, oppa”


“Aku sudah bangga”
Kyuhyun menarik tengkuk Eunso, sembari mendekat ke wajah manis
rupawannya. Mencium bibir wanita itu dengan satu kali tarikan nafas. Menyesapnya
dengan lembut lalu melumatnya dengan perlahan. Rasanya... entah karena ia adalah
Eunso yang sesungguhnya, perasaan puas menyelimuti bersamaan gemuruh tak
beraturan di setiap detak jantungnya.
“Aku mencintaimu” ucap Kyuhyun.
“Eunso lebih mencintaimu”
... Kyuhyun, baginya, setiap terjal dalam hidup tentu tidak akan berakhir
menyesakkan. Analoginya, selama dirinya hidup, penderitaan terbesar pertama yang
ia rasakan adalah hilanganya Eunso bersama perasaannya yang mendamba. Di awal
mungkin terasa begitu menyesakkan, tapi... kini ia mendapat hadiah yang bahkan
tak ada orang lain yang bisa memberikan padanya kecuali Eunso. Tak ada yang
mampu mengerti dirinya melebihi apa yang wanita itu mengerti. Dunianya, nafasnya
kini kembali berada digenggamannya, dan itu adalah titik terbesar dalam
pencapaian hidupnya.
Nuansa roman dan rindu yang tercipta nyatanya tak mampu dirasakan oleh
orang lain. Tatapan penuh tanda tanya justru muncul beradu dengan rasa sendu
yang mencuat hebat. Ada kilatan perbandingan yang jauh, tapi bagaimanapun juga,
rasanya tidak akan sampai. Dalam benaknya, Janhyuk... tanpa perlu disadari oleh
siapapun, hatinya bergejolak, memaksa emosi keluar melawan benteng pengandilan
yang telah ia bangun kuat. Tiga kata yang Eunso keluarkan, tentu tidak
semenyenangkan apa yang dirasakan Kyuhyun. Perasaannya pilu... untuk semua
pesakitan yang ia ciptakan. Bukan salah Eunso, tapi lebih karena keberaniannya
membiarkan rasa itu semakin mengembang.

290
291

Di balik serpihan keewanya, Janhyuk kembali menatap interaksi hebat yang


menyesakkan. Logikanya, sebagai salah seorang kepercayaan Kyuhyun, apapun yang
harus ia laksanakan, hatinya tetap tidak boleh digunakan. Syaratnya seperti itu, dan
baginya, membuang perasaan bukanlah pekerjaan yang mengharuskan ia dirinya
untuk berusaha lebih jauh. Semuanya bisa ia lakukan tanpa kendala apapun. Well...
awalnya mungkin seperti itu, perasaannya jauh tenggelam seiring tugas keji yang
Kyuhyun perintahkan. Jalannya seperti itu. But... takdir siapa yang akan pernah
mengira. Bahwa hati yang selama ini ia tinggalkan justru mencuat, memberontak
keluar, ingin merasakan terpaan kebaikan seorang Eunso.
Wajah pria itu mengernyit. Kemudian, pertanyaan retoris menyeruak
memenuhi pola pikir dan sistem perasaan yang ia miliki. Ia tidak ingin menyalahkan
takdir, tapi apakah ini benar-benar adil untuknya? Dalam pespekif hidup Janhyuk,
jika harus dibandingkan, hidup Kyuhyun jelas sempurna. Kekuasaan, kekayaan,
bahkan dengan otaknya yang gemilang, tidakkah itu dirasa cukup untuk membuat
takdir terus menyurgakan dunianya? Semua itu tak ada satupun yang bisa ia miliki,
... bahkan untuk wanita yang sempat ia inginkan, untuk wanita yang sempat menjadi
alasannya untuk hidup, pun kembali menjadi milik Kyuhyun. Tanpa penangguhan
apapun, ia menerima Kyuhyun terlepas dengan apa yang pernah pria itu lakukan.
Janhyuk menghela napas berat, enggan menerima sesuatu yang terasa
timpang untuk kehidupannya. Ia meringis pelan, well... dari awal ia menemukan
Eunso, wanita itu bahkan tak pernah membiarkan siapapun menginap, entah untuk
alasan apapun... seseorang tak pernah ia biarkan mendekati hatinya. Dan untuk
kesalahan fatal yang Kyuhyun lakukan, bagaimana bisa ia membiarkan Kyuhyun
tetap tinggal? Tidakkah ini lelucon besar dalam hidup, untuk dirinya yang selalu ada
di saat wanita itu terpuruk, benarkah tidak ada tempat untuknya? Untuk hadirnya,
untuk pelindungnya, benarkah wanita itu benar tidak peka atau memang dirinya
yang tidak bisa mengekpresikan cinta yang sebenarnya?

291
292

Well... ini jelas pertanyaan bodoh yang mampu ia simpulkan malam ini.
Janhyuk kembali menghela napas, lebih pelan dibanding sebelumnya. Jika dipikir-
pikir, itu memang pertanyaan retoris yang mampu ia jawab sendiri tanpa harus
bertanya lebih jauh.
Kyuhyun, sekalipun pria itu tidak memiliki apapun. Hyung akan tetap
mendapatkan Eunso lebih jauh dibandingkan apapun. Dan sedang diriku, bahkan
jika dunia dan isinya berada dalam genggamanku sekalipun, Eunso tak pernah bisa
bersanding denganku. Karena..., terlepas dari apa yang Kyuhyun lakukan, ia
mengantongi hati Eunso. Sedang kau, ya Tuhan siapa dirimu Janhyuk-a.
Janhyuk melangkah mundur.
Well... perasaannya tidak salah, entah akan berakhir bahagia atau
menyakitkan seperti sekarang, cintanya untuk Eunso tak pernah menyalahi aturan,
selagi wanita itu tetap dalam perasaan bahagia, baginya sudah cukup. Karena, dari
prespektifnya, definisi mencintai sesungguhnya bukan bagaimana cara untuk saling
memiliki, tapi bagaimana cara untuk mempertahankan rasa bahagaia tetap ada pada
Eunso, terlepas wanita itu akan jatuh di tangan siapa. Itu prinspipnya, dan jika ia
mau mengakui kekalahannya.
Kakinya berjalan menyusui jalan setapak yang menjadi saksi dimana cintanya
tumbuh. Jalan dimana ia bisa menyaksikan senyum kembang manis Eunso saat
keluar rumah. Well... jalan kenangan indah yang menyesakkan. Lama ia berjalan,
sampai akhirnya sampai pada tempat awal di menjadi pengawal seorang Eunso.
Janhyuk menghembus napas pelan sembari duduk di atas batu peraduannya. Ada
begitu banyak warnah yang ia taburkan, dan secepat ini warna itu akan memudar.
Awalnya, dengan ia mengulur penemuannya pada Kyuhyun, ia pikir akan ada banyak
kisah yang bisa ia gapai bersama Eunso. Menabur benih cinta selagi Kyuhyun sibuk
dalam pencariannya. Well... bagai mengukir di atas air, usahanya juga tak akan
berhasil.

292
293

Janhyuk menatap langit sembari menertawakan dirinya sendiri. Hidup lama


bersama Kyuhyun membuat hatinya ikut mati mengikuti sisi keji seorang Kyuhyun.
Dengan pencapaiannya, pribadi Kyuhyun tentu tahan untuk segala bentuk terpaaan.
Dari awal bermimpi sajapun tidak, pekerjaan yang ia dapat mampu menggiring
opininya untuk mempunyai suatu hubungan menyenangkan yang umum dilakukan
orang. Janhyuk menarik napas pelan, menarik cerucu dari sakunya. Ia harus sadar,
atau dipaksa sadar mengenai identitas yang melekat dalam dirinya. Meski secara
hukum ia adalah sah sebagai adik seorang Cho Kyuhyun. Tapi dalam kehidupan
nyata... ia juga tak dapat melupakan bahwa status yang benar melekat pada dirinya
hanyalah salah satu kaki tangan Kyuhyun.
Hidupnya menjadi lebih berarti berkat Kyuhyun. Akan menjadi lelucon besar
nantinya, jika ia harus menginginkan wanita milik pria itu. Janhyuk menggigit
bibirnya berusaha unuk mengeluarkan apa yang ada di dadanya. Eunso memang tak
pernah bisa ia miliki, tapi dirinya mempunyai banyak cara untuk wanita itu tetap
merasa bahwa ia adalah wanita istimewa yang pernah dilahirkan.
Well... Eunso, aku mungkin kaki tangan Kyuhyun, tapi... dengan segala cinta
yang kupunya untukmu. Aku bersumpah, untuk apapun aku bekerja padamu dengan
seluruh dedikasiku. Bahagiamu adalah bahagiaku, sakitmu adalah sakitku. Maka...
janjiku, tak akan kubiarkan siapapun mampu melukaimu lagi, bahkan untuk
Kyuhyun. Sekalipun.

®®®
Kyuhyun side’s
Waktu tidak pernah membuatku kebal terhadap kesempurnaan wajahnya,
dan aku yakin tidak akan pernah menganggap sepele aspek apa pun yang ada dalam
dirinya. Mataku menyusuri garis-garis wajahnya yang putih kemerahan, rahang
perseginya yang lembut, lekuk bibir tipisnya, bibir itu sekarang menekuk

293
294

membentuk senyuman, dahinya yang mulus seperti marmer, agak tersembunyi di


balik rambut hitamnya yang gelap akibat terpaan angin... Menilik ke bagian
kesempuarnaan lain, enam bulan berlalu, satu halpun tak bisa merubah apa yang
bisa Eunso miliki. Entah memang karena aku yang terlalu bertekuk padanya, atau
pesonanya yang memang menghanyutkan, yang jelas kecantikan Eunso tak lelang
dimakan waktu.
Tubuhnya yang mengembang, bukan suatu masalah yang patut
diperselisihkan untukku. Bahkan jika harus jujur, aku lebih menginginkan hal itu
berada secara permanen dalam tubuhnya. Well... itu sialan sexy. Melihat Eunso
dengan pakaian kebesaran benar-benar membuatku sakit bukan kepalang. Rambut
hitam yang tergurai, bukankah itu adalah rintangan hebat yang memang harus
kulalui untuk kunikmati? Seks dan seks, itu jika aku harus bepikir dari sudut pandang
kebejatanku. Entah rasanya akan jauh lebih nikmat, yang jelas menggempurnya
dengan penuh kehati-hatian adalah sensasi nikmat yang mampu kurasakan. Well...
sebagian besar laki-laki memang seperti itu. Dan untukku, dihadapkan dengan gadis
lugu Eunso, adalah hal paling melemahkan titik sarafku.
Well... jauh sebelum itu. Kesempurnaan fisik dari Eunso hanyalah bonus lebih
yang telah kudapatkan. Kalau harus ditelisik lebih jauh, sejatinya, bukan sensasi
gairah yang membuatku merasa jatuh cinta kepada wanita yang mungkin tak pernah
kumimpikan sekalipun. Bukan kecantikan Eunso yang mampu membuat hatiku
menghangat dan sengsara tanpa hadirnya. Bukan karena sensasi menggetarkan yang
mampu membuatku betah untuk berlama-lama dengannya. Tapi, hatinya... adalah
alasan utama mengapa aku bisa jatuh tanpa syarat dalam pelukannya. Hatinya tulus,
bahkan untuk kesalahanku, hatinya tetap tanpa pamrih. Ia, bagiku tak akan
menggantikan apapun atau bisa digantikan dengan siapapun.

294
295

Ku raih tangannya, dan mendesah ketika jari-jarinya yang hangat turut


menggenggam tanganku. Sentuhannya membawa kelegaan yang menggetarkan,
seolah-olah aku merasa kesakitan dan perasaan sakit itu mendadak lenyap.
“Oppa...” aku tersenyum mendengar sapaannya yang anti klimaks.
Aku mengangkat tangan kami yang saling bertaut dan membelai pipinya
dengan punggung tanganku. “Bagaimana soremu?”
“Menyenangkan”
“Begitu juga aku”
Aku kembali menatap matanya. Lebar, hangat seperti emas cair, dan
dibingkai dengan bulu mata hitam tebal. Menatap matanya selalu bisa membuatku
merasa luar biasa, seolah-olah tulangku berubah menjadi spons. Kepalaku juga
sedikit ringan, tapi bisa jadi itu akrena aku lupa menarik napas lagi. Aku benar-benar
belum bisa mempercayai bahwa dengan kesalahanku yang tak bisa kumaafkan,
wanita ini justru tak pernah merasa kecewa akan perilakuku. Mungkin... itu hanya
benteng pertahanan yang sengaja ia bangun untuk meleganku saja. Bahwa
kenyataan, selepas peninggalanku. Sesuatu mungkin terjadi, dan itu pasti
menyesakkan.
Pria manapun di dunia ini, pasti rela menukar jiwanya untuk mendapatkan
Eunso sebagai sebaik-baik teman hidup, dan itu juga berlaku untukku. Tentu saja,
bisa jadi memang itulah harga yang harus di bayar. Aku menarik pergelangan
tangannya dan ke wajahku, tangan kami bahkan masih bertaut. Mataku terpejam
sementara hidungku menjalari kulit tangannya, dan tersenyum lembut tanpa hars
membuka mata. Menikmati hidangan, begituu aku mengistilahkannya.
Aku tahu, aku mungkin tidak bisa bertahan lebih lama lagi, dibandingkan
waktu selain ini, ini benar-benar seperti anggur disandingkan dengan air bagi
pencandu alkohol, membuatku tersiksa dahaga luar biasa. Eunso menatap ngeri
seolah-olah bisa membaca pikiranku, pasti karena ekspresiku menyiratkan

295
296

kemesuman yang berlebih. Aku tersenyum, kemudian secercah ekspresi licik


tersemat dari sudut mataku. Aku menarik Eunso dalam dekapanku, mengubur
wajahku dalam helaian rambutnya yang kelewat wangi. Bisa ia rasakan embusan
napasku yang panas membasahi helai-helai rambutnya saat aku menghembuskan
napas, well... bulu kuduknya meremang. Itu seperti membuat gelayar aneh
merambat tubuhku dengan gerakan cepat tanpa bisa ku persiapkan sebelumnya.
“Kau harum” ucapku, kemudian tertawa keras-keras, seolah-olah baru saja
melontarkan lelucon yang lucu sekali.
“Apa yang lucu?”
Aku memutar bola mataku, “Memabukkan”
Seru napas Eunso yang selembut beledu melukiskan gambaran itu di
kepalaku sebelum aku sempat mencegahnya. “Semakin lama, aku semakin sulit
untuk menahan diri”
Aku menghela napas dalam-dalam dan menghitung pelan-pelan sampai
sepuluh sampai, Eunso terdengar memekik pelan, pandangannya turun pada usapan
tanganku di area lengan hingga tengkuknya. Meski aku sudah berusaha menepis
bayangan mesum dari kepalaku. Well..., aku benar-benar tidak bisa menahan untuk
tidak berbuat sesuatu padanya. Dan aku sudah memutuskan, setelah berdebat
dengan diriku sendiri, setan menguasai jiwaku secara terstruktur di setiap
bagiannya. Aku tidak bisa menjelaskan alasannya. Tak seharusnya orang-orang
normal sepertiku dihadapkan dengan malaikat tanpa cela.
“Hmm”
Gumamku pelan menyahut pekikan Eunso. Pikiranku membeku untuk
sesuatu yang tak mampu lagi ku kontrol. Tanganku bergerak memeluk pinggangnya
tanpa harus membuat keduanya merasa tidak nyaman. Well... aku rasa aku memang
tidak bisa menahan diri untuk sisi kebejatanku yang lain. Ini tentu bukan hal baik,
jika aku harus menyingkirkan akal sehatku, kehamilan Eunso bukanlah suatu hal

296
297

yang mampu menghalangi gairahku. Terlepas dari apa yang baru dan akan
kulakukan, Eunso tetap akan menjadi bagian dari tubuhku. Dan itu adalah bentuk
hukuman baru yang sedikit lebih berat daripada hukuman sebelumnya yang kudapat
karena menghilang selama beberapa bulan tanpa penjelasan dan satu kejadian
ketika aku menelantarkannya.
Aku menyerah, tak mampu lagi menyelamatkan Eunso dari sisi kengerianku
yang lain. Dan memutuskan untuk menghidangkannya, sebagai menu utamaku.
“Oppa. Kenapa?”
“Entahlah” jawabku, berusaha memfokuskan pikiran sementara tanpa saja
nada suaranya mengacaubalaukan pikiranku. Kuletakkan tanganku di atas tangannya
yang memegang tengkukku.
“Lepaskan aku” titah Eunso.
“Kenapa harus dilepas, hum?” tanyaku acuh. Analoginya, jika memang itu
harus kuanalogikan menjadi hal yang lebih sepele. Permintaan Eunso justru
terdengar seperti angin lalu tanpa perhatian. Dan satu yang dapat kukenali jika dia
adalah benar-benar Eunso, sesuatu benar tidak bisa kupingkiri bahwa intensitas
berkicau di saat-saat seperti ini, hanya ia yang bisa melakukannya.
“Oppa...” ulang Eunso.
“Ada apa?”
“Oppa ingin apa?”
“Kau jelas tahu mauku apa. Kenapa harus bertanya?”
Eunso terkesiap. Mencoba meraba-raba alur pembicaraanku yang kian
merucut tajam.
“Ini masih sore”
“Justru karena sore, malam perutmu akan terasa kram” timpalku.
Demi apapun, sesuatu seperti mengendalikan jiwaku. Atau kebanyakan pria
memang mempunyai sisi lain untuk ia pakai dalam hal-hal wajar tapi justru dianggap

297
298

tabu oleh kebanyakan perempuan. Aku benar, dan sisi jiwaku yang lain harus
meminta maaf untuk sisi jiwa yang lain karena telah rancu dalam mengartikan segala
hal tentang Eunso. Karena telah bernapsu bahkan dalam keadaan tertutup atau
tanpa rangsangan sekalipun, aku tetap bergairah hebat. Aku mungkin salah, tapi
tidak juga bisa dikatakan sepenuhnya bersalah karena hadirnya Eunso. Well..., ini
lebih kusebut dengan pembenaran atas tindakku yang kelewat menyimpang.
“Eunso-ya”
“Ya—”
“Well..., kuharap. Kau mampu mengerti apa yang sedang kupikirkan”
Kurasa, ekspresi dari alam bawah sadarku menekan hebat hingga mengubur
segala rasa malu yang sempat hadir memperingatiku. Melihat Eunso seperti ini,
benar-benar membuatku mendamba sebuah pelepasan.
Eunso mengernyit sesaat, bimbang untuk mengiyakan.
“Aku menginginkanmu”
“Apakah tidak apa-apa? Maksud Eunso, apakah tidak apa-apa jika Eunso
melakukannya dengan oppa seperti dulu?”
“Tidak apa-apa. Kau milikku, jadi tidak apa-apa” ucapku tidak sedang
berusaha memonopoli Eunso.
“Tapi kita belum menikah dan lagipula Eunso sedang hamil”
“Sayang. Dia akan baik-baik saja. Trust me”
Come on Eunso. Cukup katakana iya untukku atau diammu adalah bentuk
dari penyerahan dirimu. Well... berbicara mengenai norma, ujaranku jelas
menyimpang jika harus kembali beradu didalam Eunso diluar hubungan pernikahan
yang seharusnya. Namun jika dilihat dari sisi perasaanku, ujaranku justru bukan hal
yang mampu ditangguhkan oleh apapun. Toh. Sebelum ini, terlepas dari
pengetahuanku, kami sudah melakukannya berulang kali. Lalu, kenapa hal ini harus
dipertimbangkan lebih lanjut?

298
299

“Chocho akan baik-baik saja” ucapku.


“Bagaimana oppa bisa tahu jika Chocho akan baik-baik saja?”
“Ya Tuhan, dia darah dagingku. Aku Cho Kyuhyun, sangat tahu bagaimana
cara supaya kita sama-sama menikmati ini tanpa harus mengganggu
kenyamanannya”
Dari sudut mataku dapat kulihat, gerakan matanya yang menutup saat kedua
tanganku meremas kuat sesuatu yang selalu membuatku bangkit. Membesar, entah
itu karena kandungan asinya atau efek dari bekas remasanku.
“Keduanya membesar” kelakarku.
“Be-narkah?”
“Iya”
“Ba-akh bagaimana o-oppa tahu?” jawab Eunso disela-sela desahannya.
Well... untuk kicaunya ini aku benar-benar lepas tangan. Bahkan jika Eunso
harus berteriak atau membahas hal-hal yang kurasa jauh dari kata penting, aku
tetap tidak merasa terganggu. Karena.... jelasnya kenikmatan Eunso selalu
membuatku merasa hilang akal hanya untuk memperhatikan hal selain Eunso.
“Tentu saja. Kau ini milikku. Apapun yang ada pada tubuhmu aku jelas tahu”
“Eunso ti—dak tahu”
“Eunso, diam sebentar” ucapku. Sibuk menyentuh titik Eunso dibalik celana
dalam yang ia kenakan. Well..., lipatannya mmebuatku sesak untuk segera
membukanya dengan gerakan cepat supaya bisa mempercepat gerakannya.
“He-h” rintih Eunso.
“Eunso, sempit”
“Jang—an cepat-cepat”
“Tapi nikmat, jariku dihimpit”
Tangan Eunso mencengkeram pergelanganku, menahannya untuk tetap
tenang dalam gerakanku yang semakin brutal. Bibirnya mengadu, tapi terdengar

299
300

begitu sulit karena desakan nada lain yang memaksanya berhenti. Dalam kondisi
apapun, aku benar-benar tidak bisa merasa bahwa ada kenikmatan lain selain apa
yang ada dalam dirinya.
“Eunso, oppa akan memasukimu”
“Oo... sekarang?”
“Ya”
®®®
Dalam naungan gelap, aku menatap luas bagaimana keadaan ini bisa
terbentuk dalam fase yang cukup lama. Rumah Eunso, nyatanya lebih mirip seperti
miniatur dari bangunan yang sempat dulu ku tinggali. Hamparan bunga, atau
sesuatunya yang memang bernuansa hijau seperti warna kesukaannya. Well..., ada
banyak kesamaan memang, tapi bukan berarti kenyamanan keduanya dapat
digeneralisasikan dengan gamblang. Tempat ini mungkin jauh dari reputasiku yang
melejit, bahkan secuilpun tak mampu menggambarkan bagaimana sosok sepertiku.
But..., bukan itu poinnya. Lambat laun aku mulai menyadari hingga ingin sekali
menukarnya dengan apapun supaya sesuatu yang membuat tempat ini nyaman bisa
kubeli.
Eunso, wanita yang bahkan tidak pernah kumimpikan sedikitpun pernah
hadir dalam hidupku, nyatanya, mampu membuatku merubah jalur hidupku. Tak
seorangpun bisa membuatku jatuh hingga seperti ini. Tak seorangpun mampu
membuatku merasa bersalah atas kesalahan yang memang pernah kulakukan. Atau
merasa kehilangan yang bisa begitu menyesakkan karena kehilangan. Tapi Eunso,
keajaiban benar melingkupinya hingga mampu meruntuhkan pertahananku yang
sekeras batu. Aku tidak mengatakan Eunso merubahku menjadi baik, tapi setidaknya
kehidupanku menjadi lebih baik. Jujur, untuk masa laluku sebelum ini. Aku tidak
pernah menyesal karena terlalu menyimpang, well..., dengan kondisiku yang baik-
baik saja, takdir tentu tidak akan menggiring Eunso masuk dalam kehidupanku.

300
301

Aku mengedarkan kembali mataku padanya yang masih terjaga. Aku


mungkin memasukinya keras, tapi kurasa Eunso jauh lebih kuat dari apa yang
kubayangkan. Wanita itu kuat dalam peringainya yang lemah lembut. Well..., jika
dibandingkan Eunbi... wanitaku ini jauh bahkan tidak pantas untuk disandingkan.
Aku membuktikannya, Eunso teguh untuk hatinya yang selalu terpaut padaku,
terlepas dari keadaan yang sempat kutorehkan padanya. Hatinya kokoh, bahkan
untuk keberadaan Janhyuk yang menggecarnya habis-habisa. Well..., jangan pernah
mengira bahwa seorang Kyuhyun luput dengan apa yang sudah Janhyuk lakukan
padaku. Delapan bulan keterdiamannya, bukanlah rahasia yang mampu ia
sembunyikan. Well..., untuk ikatannya denganku, aku memaafkannya. Aku sama
sekali tidak merasa marah kepada Janhyuk karena memperdayaku. Tak ada lagi
ruang dalam diriku untuk menyimpan hal lain selain kebencian yang kurasakan
terhadap diriku sendiri.
Sebaliknya, mungkin aku patut berterimakasih atas segala yang pernah
Janhyuk lakukan untuk Eunso. Well..., bagaimanapun juga Janhyuk, pria itulah yang
menjahit luka Eunso disaat aku meninggalkannya berdarah-darah. Itu, dan kuyakin
pasti akan meninggalkan bekas, di diri Janhyuk. Aku tidak yakin bekas jahitan itu bisa
hilang sendiri. Aku tidak bisa menyalahkan salah satu darinya untuk sesuatu yang
kulakukan sendiri. Itu jika aku harus berpikir jernih, tapi emosiku juga enggan untuk
diam menerima kenyataan bahwa sejatinya dia mencintai Eunso. Padahal kupikir
akulah yang bersaing secara kotor, tapi Janhyuk membuatku terlihat seperti orang
suci. Tanganku membelai lembut bagian pipi Eunso yang terlihat. Perlahan-lahan aku
mengangkat dagunya untuk menatap wajahnya yang sabar. Ekspresi tidurnya
lembut, dan ketika matanya terbuka, dapat kulihat sorot matanya penuh pengertian,
bukan jijik seperti yang pantas kulihat.
Aku menggenggam erat ujung selimut, bagaimanapun Janhyuk. Aku harus
bersyukur karena dihadiahi wanita setia yang hanya menyimpan namaku di hatinya.

301
302

Mataku menyapu ke arah jam, pukul tiga pagi dan rasanya ini memang terlalu pagi
untukku terjaga. Pandanganku beralih, tepat pada beberapa kain yang berserakan di
lantai. Aku tersenyum simpul sembari memandanganya miris. Lama aku
membayangkan tak pernah lagi ada suara robekan di sela-sela desahan Eunso.
But..., semalam adalah saksi panjang bagaimana suara itu kembali terdengar
riuh dalam telingaku. Dan mungkin itu juga menjadi gerbang pembuka, awal
terbentuknya hubunganku dengan Eunso yang sebenarnya. Aku menemukan sosok
lain dalam diriku saat memasukinya dengan penuh kehati-hatian, well... rasanya
seperti saat dimana kita melakukannya pertama kali. Tapi ketika aku mulai
menggagahinya, aku dipaksa mengakui bahwa jiwaku yang lain kembali
menguasaiku brutal. Kupikir, dengan tempat yang sekecil ini, pergerakanku akan
sedikit terhambat atau terganggu karena alasnya yang keras. Tapi, tebakanku
melenceng jauh, aku cenderung nyaman tanpa harus terusik oleh apapun. Entah itu
karena ruangannya yang sempit ataupun kasurnya yang sekeras batu. Aku masih
begitu menikmatinya. Well..., sudah kubilang. Kenikmatan Eunso mampu
membuatku lupa akan keadaan sekitar, bahkan jika kami harus bercinta di atas meja
dapurpun aku masih tetap merasa dimabukkan.
Aku kembali menatap Eunso seolah kegiatan ini tak pernah membosankanku
dan tersenyum kemudian. Aku sudah menghafal dan menyamakan semua ceritaku
dengannya. Aku mencondongkan tubuh dan mengecup pipinya dengan lembut,
“Aku mencintaimu Eunso”
®®®
Paginya, aku mulai menyusun berbagai strategi tentang cara membuat Eunso
mau kembali. Ini mungkin sulit, terlebih untuk beberapa orang yang sudah
mengenalnya dekat. “Selamat pagi, oppa”
“Oo... selamat pagi. Bagaimana tidurmu?”
“Baik, lebih baik dari sebelumnya”

302
303

Ekspresi Eunso biasa-biasa saja, sepertinya ia bertekad untuk tidak


membesar-besarkan hal itu. “Well..., Janhyuk sudah menyiapkan sarapan”
“Oo... dimana dia sekarang?”
Aku ragu-ragu sejenak. Perasaan tidak suka tetiba menyelimutiku hanya
karena pertanyaan Eunso yang kutebak sebagai bentuk perhatiannya. Aku menggigit
bibir dan membayangkan hal yang tidak-tidak. Dalam persprektifku, harusnya Eunso
hanya perlu menjawab iya tanpa harus balik bertanya. “Eunso... Janhyuk, bagaimana
menurutmu?”
“Baik”
Aku tahu jawabannya, ia akan menemukan cara untuk menyelamatkanku
sebelum aku menduga lebih jauh. Kemudian Eunso tersenyum, senyumannya tulus,
kecuali sorot matanya yang mendadak berubah defensif. “Dia tidak berbuat buruk
padamu bukan?”
“Tidak, Eunso rasa... Janhyuk memang benar-benar menuruti perkataan oppa
untuk selalu menjagaku. Terimakasih oppa”
Kupandangi Eunso dengan sikap ragu, memilih untuk membenarkan
perkataan Eunso yang menguntungkanku. “Masalahnya, well, mengapa tetiba
bertanya seperti itu?”
“Sudahlah, tidak usah dipikirkan” kataku, kemudian tertawa renyah.
Gelombang kesedihan tiba-tiba melandaku lagi saat aku menyadari mungkin ini
analogi yang tepat untuk menggambarkan bagaimana Janhyuk terlihat di mata
Eunso. Aku mengangkat dagunya supaya bisa menatap wajahnya. Dengan satu jari
aku mencoba mendorong sudut mulutnya ke atas.
“Aku takkan sanggup mengimbangi ketulusanmu” bisikku.
“Eunso yang akan mengimbangimu, oppa”
“Tapi rasanya takkan menyenangkan bagimu”
“Tentu menyenangkan, kalau kita bersama-sama”

303
304

Aku menggigit bibir membayangkan sejenak, memberi jarak untuk bertanya.


“Eunso, kalau menurutmu aku tidak akan pernah datang, atau semacamnya,
apa yang akan kau lakukan?”
Eunso ragu-ragu sejenak, kentara sekali berusaha menemukan jawaban yang
tepat. Dan satu kata darinya benar-benar mendebarkanku hingga mau mati rasanya.
“Menunggumu”
“Jika aku memang tidak benar datang?”
“Karena itu bukanlah hal yang pasti terjadi, well... alasan terbesar kenapa aku
masih menunggumu adalah karena Eunso yakin, oppa akan kembali kapanpun itu.
Entah cepat atau lambat, kau pasti akan kembali padaku”
“Eunso, aku...”
Eunso memotong perkataanku dengan ciuman cepat. “Sudah Eunso bilang,
tidak usah dipikirkan. Tapi, maukah oppa melakukan sesuatu untukku?”
“Apapun yang kau butuhkan,” aku buru-buru berjanji.
“Aku tak pernah meminta apapun sebelumnya, dan Eunso harap bisa benar-
benar mempertimbangkan pintaku ini”
“Jangan memintaku untuk menjauh”
“Tidak”
“Lalu apa?”
“Bisakah oppa memang benar-benar selalu ada untukku? Please?” pinta
Eunso, memamerkan senyum miring yang selalu mampu mengenyahkan
penolakanku. Aku tersenyum sembari menghela napas dalam-dalam. Kusibakkan
rambutnya ke belakang. “Bahkan tanpa kau minta sedikitpun, aku benar-benar akan
selalu berada untukmu sayang”
Aku memeluknya dan menarik dalam pelukanku. “Permintaan konyol ini,
kurasa itu bagian dari pesonamu. Walaupun harus ku akui, seharusnya akulah yang
meminta ini padamu Eunso”

304
305

Eunso tertawa dan aku terhanyut masuk dalam pesonannya yang kelewat
sempurna. Aku terang-terangan mengatakannya, bahwa Eunso memang ajaib.
“Mengapa memandangiku seperti itu?”
Menggairahkan.
“Jujur saja, Eunso jelek sekali, ya?”
Aku mundur beberapa senti dan mengerucutkan bibir.
“Sejelek itukah?” beonya.
“Tidak, tidak Eunso. Sebenarnya...” aku menunda berusaha keras mencari
kata yang tepat. “Kau terlihat... seksi”
Eunso tertawa keras-keras. “Yang benar saja”
“Seksi sekali, sungguh”
“Daripada seksi, Eunso justru merasa sangat gendut”
“Pegang ini sayang, kalau kau masih tidak bisa percaya atas ucapanku. Ia
berdiri”
“OPPA!”
Aku mendesah dan membungkuk ke arah Eunso. Menengadahkan wajahnya
untuk memberinya ciuman kecil, tapi reaksi Eunso benar-benar membuatku kaget,
ia mendekapku erat-erat, menarikku ke dadanya dan menciumku dengan sangat
antusias seperti apa yang kulakukan semalam tadi. Dan dalam sekejap, dirinya sudah
megap-megap kehabisan napas.
Eunso tertawa pelan, menertawakan sesuatu, kemudian melepasku.
“Eunso”
“Hum”
“Besok... kita kembali ke Seoul ya?” tawarku tiba-tiba.
Eunso side’s
“Besok... kita kembali ke Seoul ya?”

305
306

Aku terdiam cukup lama merasa tidak siap untuk perubahan atmosfer yang
begitu ketara. Di barat laut kota Seoul, sebuah kota kecil berdiri di bawah langit yang
nyaris jauh dari hiruk pikuk suasana kota, nyaris selalu tertutup awan. Di kota ini,
hujan turun lebih sering dibandingkan tempat lainnya di Korea Selatan. Dari kota
inilah, dan dari bayangannya yang kelam dan kental, aku melarikan diri bersama
Chocho ketika badai menerjang kehidupanku tanpa ampun. Di kota inilah aku telah
dipaksa menghabiskan sisa hidupku untuk hidup tanpa harus bergantung pada
perasaanku.
Ke Myeongdong-lah, aku mengasingkan diri, keputusan yang kuambil dengan
ketakutan yang amat sangat. Bagaimanapun juga dulu, usiaku masih begitu muda.
Dengan rasa cintaku yang besar, aku benci kota ini dengan segala pesakitan yang
kumiliki. Well..., itu dulu. Sekarang, aku mencintai Myeongdong. Aku mencintai
suasana dan orangnya yang ramah. Aku mencintai kotanya yang tenang dan
menenangkan. Lalu..., bukankah akan disayangkan sekali jika harus meninggalkan
tempat sedamai ini? Dan terlepas dari itu, bahkan aku benar-benar belum siap untuk
berada di Seoul dan menyapa beberapa orang disana. Well..., itu menyesakkanku.
“Eunso.... ada yang kau pikirkan hum?”
“Tidakkah kita untuk tetap tinggal disini?” tanyaku mencoba berdiskusi meski
aku yakin, dengan pribadinya.... tempat sekecil ini tidak akan pernah cocok untuk
Kyuhyun. “Kau tidak perlu melakukan ini”
“Tapi Eunso suka dengan tempat ini”
“Oppa rasa, kita bisa berkunjung kesini kapanpun kau mau” tawar Kyuhyun.
Aku diam, jika alasan nyaman tidak mampu membuatnya percaya padaku,
maka... yang memang harus kulakukan adalah mencari alasan lain yang bisa
menundaku lebih lama. Sejatinya, dan jika diharuskan untuk jujur, selain karena
Myeongdong terlalu menenangkan, ekspresi eomma, appa, Daehyun, bahkan Eunbi
eonni akan begitu membebani perasaanku. Tentang alasan yang harus kulontarkan

306
307

tanpa harus membuat semuanya menjadi runyam. Well..., entah apa yang telah
Kyuhyun lakukan. Informasinya tak pernah sampai padaku seujung jaripun.
Kyuhyun mendesah pelan, banyak kurasa, sesuatu dalam dirinya membaca
maksud lain yang kusembunyikan. Aku menahan diri untuk tidak ikut mendesah. Aku
hanya akan menyingung perasaannnya kalau mengatakan yang sebenarnya— walau
itu tidak penting, hanya beberapa derajat lebih buruk daripada yang lainnya.
“Well..., maukah kau berbagi pikiranmu denganku?”
Aku terkikik. “Kedengarannya boleh juga”
“Katakan, apa yang sebenarnya kau pikirkan sayang? Aku benar tidak bisa
membaca pikiranmu sekarang”
“Eunso hanya ingin di sini”
“Ya. Dengan alasan apa kau bisa menguatkan keinginanmu ini?”
“Hmm....” aku pasti susah menahan diri untuk tidak membuka rahasiaku, tapi
gagal. “Sebenarnya, Eunso hanya belum siap. Terlepas dengan pesona Myeongdong,
Eunso benar-benar belum siap”
“Betul kan” ucap Kyuhyun seraya tersenyum. “Semua pasti bisa
dikompromikan”
“Dalam waktu dekat ini, kurasa itu akan sulit”
“Tidakkah kau lihat ada aku disini? Sesulit apapun itu, well..., tidak ada hal
yang perlu kau khawatirkan Eunso. Tak ada seorangpun yang bisa mengusikmu”
Hidupku memang bagaikan permainan ular tangga sekarang ini— apakah aku
akan tangga keberuntungan atau dapat ular saat dadu berikutnya dilemparkan?
Bagaimana kalau benar-benar terjadi sesuatu pada diriku nanti? Rasanya aku lebih
dari sekedar picik jika aku membiarkan Kyuhyun merasa bersalah atas apa yang
dikatakan tadi.
“Oppa,...”
“Apa yang kau takutkan? Kita bisa melewatinya bersama”

307
308

Degub jantungku keras, empat kata yang diucapkan orang paling sempurna
di seantero planet ini benar-benar membuatku merasa hidup kembali. Aku langsung
lupa akan rahasiaku, aku bahkan lupa namaku sendiri. Kyuhyun tidak memberiku
kesempatan untuk menyimpan keluh kesahku sendirian. Bibirnya yang tebal sesekali
bergerak kecil, melihat itu, tak ada pengalaman lain dalam hidupku yang setara
dengan indahnya merasakan bibir Kyuhyun yang dingin, sekeras marmer, tapi selalu
sangat lembut, bergerak bersamaku. “Aku bisa merasai bibirmu. Nanti, please
Eunso. Jangan membuatku menduga-duga”
“Bag...” Kyuhyun menyela cepat. “Pipimu merona, dengan ada aku
dihadapanmu, memang apalagi hal yang mampu membuatmu seperti ini hum?”
“Oppa...” pilihan terakhir ada ditanganku, sebelum pikiran kotor kembali
mempermalukan diriku sendiri.
“Ya. Aku menunggumu”
“Untuk kehidupan setelah ini, apakah Seoul masih benar-benar menyisakkan
ruang untukku? Oppa memang ada, tapi, apakah yang lainnya juga berpikiran sama?
Dalam kondisiku sekarang, aku membuat api tanpa tahu bagaimana cara
memadamkannya. Karena rasa egois dan sisi pengecutku, aku meninggalkan
semuanya tanpa peduli keadaan macam apa yang kutinggalkan. Lalu, dengan kondisi
semacam ini, bagaimana mukaku seharusnya jika harus berhadapan dengan
keluargaku? Terlebih eonni....” aku berhenti sejenak.
“Bagaimanapun, seberapa jatuh cintanya aku padamu. Eunso tetap tidak bisa
menampik kenyataan bahwa sebelum ini, oppa bukanlah milikku. Lebih lagi bukan
milik orang lain, melainkan milik saudariku sendiri. Apakah tidak aneh jika kita
sekarang bersama? Bagaimana tanggapan orang-orang diluar sana? Jujur, spekulasi-
spekulasi ini membuat Eunso takut”
“Eunso, bisakah kau percaya padaku? Tentang hal-hal yang membuatmu
kalut, bisakah kau mempercayakannya padaku?”

308
309

Aku memandang lurus ke dalam matanya, hatiku diliputi perasaan bimbang


hanya untuk memutuskan. Seharusnya, aku tidak harus bersikap seperti ini.
Menyaksikan Kyuhyun tersiksa karena harus berusaha sampai tahap ini, tak peduli
aku sudah berusaha memperjelas posisiku, aku tetap harus berpikir rasional. Kalau
kita masih ada harapan, meskipun sedikit, untuk mengubah hubungan ini menjadi
lebih dari sekedar mencintai, atau katakanlah aku ingin mengikatkatnya dalam
sebuah pernikahan. Aku tidak seharusnya mempunyai sisi keegoisanku yang lain.
Aku mencintai Kyuhyun, tapi aku juga tidak bisa memintanya untuk tetap tinggal
disini. Well..., Myeongdong tidak akan pernah benar-benar cocok untuknya.
“Tentu, tentu”
Kyuhyun mengerutkan kening, balik memandangku lurus, dan menggigit
bibir. “Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu, Eunso... tapi kurasa ini akan
terdengar seperti rayuan”
Aku mendesah. Ini pasti kelanjutan dari jawabanku yang terdengar ambigu.
“Begini, aku tahu kau sering merasa tidak bahagia. Dan mungkin ini tidak
membantu apa-apa, tapi aku ingin kau tahu aku akan selalu mendampingimu. Aku
tidak akan mengecewakanmu— aku berjanji kau akan selalu bisa mengandalkanku.
Sebagai penebusan atas kesalahanku, aku berjanji untuk tidak sekapipun,
menyakitimu lagi”
“Yeah, oppa. Eunso tahu itu. Dan Eunso memang sudah mengandalkanmu,
mungkin lebih daripada yang kau tahu”
Senyum merekah di wajahnya, seperti matahari terbit merekah merah di
awan-awan, dan aku ingin memotong lidahku sendiri. Semua yang kukatakan
memang benar, tapi seharusnya aku sedikit berbohong untuk menjaga sikapku tetap
sopan. Mengatakan yang sebenarnya adalah salah, itu hanya akan membuatku malu
bukan kepalang. Bahkan jika aku dapat membukanya lebih jauh, dapat kulihat
pipinya memerah karena ucapanku. Ini terlalu tidak pantas kulakukan.

309
310

Mimik aneh melintas di wajahnya. “Kurasa aku benar-benar harus


membawamu pulang” katanya.
®®®
Keesokan paginya, perasaanku benar-benar kacau. Aku tidak bisa tidur
nyanyak, lenganku nyeri, kepalaku sakit. Perasaan itu menjadi semakin kacau saat
drama perpisahanku dengan orang-orang di Myeongdong terdengar begitu pilu.
Aku takut membayangkan apakah aku benar-benar bisa berpisah dengan mereka
dan kembali menyambut suasana Seoul yang telah lama kulupakan. Dan kurasa, pagi
ini memang berlalu lambat, aku sungguh tidak sabar untuk meninggalkan
Myeongdong, satu detik saat perpisahan berlalu. Aku tak ingin menambah
kesedihan dengan air mataku yang semakin membuncah. Aku benci ini, well..., meski
Kyuhyun menjanjikan kebahagiaan untukku. Tetap saja aku masih merasa, darahku
ada di sini.
Dalam mobil, Janhyuk memutar beberapa lagu kesukaanku dulu. Well..., aku
tidak harus berusaha keras untuk mengabaikan musiknya. Karena bahkan untuk
sesuatu yang kusukai sekalipun, aku tetap bisa mengabaikannya. Walaupun
pikiranku, sekali ini, tidak kebas dan kosong, tapi banyak hal lain yang kupikirkan
selain menyimak lirik lagu.
Kutunggu perasaan kebas itu kembali, atau kepedihan itu. Karena kepedihan
itu pasti datang, dan aku memang sudah melanggar aturanku sendiri untuk kembali
ke Seoul. Alih-alih menghindar dari kenangan, aku malah maju dan menyapanya.
Aku sudah mendengar suara-suara, begitu jelas, di kepalaku. Ada harga yang harus
kubayar, aku yakin itu. Apalagi kalau aku tidak bisa lagi mendatangkan kabut untuk
melindungi diriku. Aku merasa terlalu sadar, dan itu membuatku takut.
Tapi bagaimanapun itu, kelegaan masih merupakan emosi terkuat dalam
diriku— kelegaan yang berasal dari lubuk hatiku yang terdalam.

310
311

Meski berjuang keras untuk tidak memikirkan apapun, aku juga tidak
berjuang untuk melupakan. Aku khawatir— di larut malam saat kelelahan karena
kurang tidur mematahkan pertahananku— semua itu berangsur-angsur lenyap.
Bahwa pikiranku berlubang-lubang seperti saringan. Aku tidak bisa memikirkannya
lebih jauh, well..., ini akan berimbas pada emosiku yang naik turun nantinya.
Pokoknya, selagi ada Kyuhun, yakinku akan baik-baik saja.
Tapi kalau aku kembali pindah ke Seoul, atau ke tempat lain, sejujurnya,
seharusnya itu bukan masalah, semua hanya imbas dari ketakutanku belaka.
“Nyonya...”
“Oo... Janhyuk” aku kaget dalam lamunanku. Alisku mengerut menyadari
nada dan jenis panggilan yang ia sematkan padaku. Terlalu asing untuk kudengar,
tapi aku juga refleks mengiyakan. Dalam pandanganku, sesuatu yang berbeda telah
ada pada dirinya. Pakaiannya formal, lengkap dengan kemeja hitam, jauh dari apa
yang selama ini kulihat. Ini, untuk ketidaktahuanku. Aku bahkan tak pernah bisa
mengenali bahwa Janhyuk bukanlah seseorang yang hadir dalam hidupku dengan
suatu kebetulan semata. Seharusnya aku lebih menyadari, dari tutur bicaranya,
seorang Janhyuk memang berbeda dari kebanyakan orang Myeongdong.
“Jangan menangis” petuahnya. Aku tertegun, menyadari wajahku telah
basah. Aku buru-buru menyela kemudian tersenyum. Dari awal aku memang kagum
atas empati dalam dirinya saat mengenali situasi. Aku melirik Jongmun yang berada
di balik kemudi mobil, rahangnya tegang, entah apa yang ia pikirkan, yang jelas...
dari reaksinya, kurasa ada sesuatu yang ia rahasiakan padaku.
“Well..., kau juga akan kembali ke Seoul?”
“Jika bos membutuhkanku, aku akan datang”
“Well..., aku tidak terlalu paham bagaimana sisem kau bekerja untuk
Kyuhyun oppa. Eunso pikir, kau akan sama seperti Jongmun yang dapat tinggal
bersama kami sesering mungkin”

311
312

“Aku berbeda, aku harus selalu menjaga penyamaranku tetap aman


nyonya...”
“Kurasa, aku harus mengoreksi panggilanmu. Siapa yang sedang kau sebut
nyonya eo?” Janhyuk tersenyum kemudian menyahut. “Tentu saja dirimu”
“Tapi aku lebih nyaman dipanggil Eunso”
“Kau adalah istri tuanku, bagaimana bisa aku memanggilmu secara tidak
sopan seperti itu hum?”
“Tidak, kurasa tidak kebe—”
“Eunso...” panggilan Kyuhyun cepat memotong beberapa kata yang hendak
kusampaikan. “Lama menunggu?”
“Tidak” jawabku singkat. Aku mengamatinya singkat sebelum Kyuhyun
masuk ke dalam tanpa melalui sisi pintu mobil lainnya. “Bagiamana aegy?”
“Baik, sebaik setelah melihat oppa”
Aku melihat Kyuhyun tersenyum, tetapi bukan ke arahku. Pandangannya
lurus pada seseorang di belakangku. Aku cukup tidak mengerti apa maksud dari
senyumannya hingga membuatku berpaling untuk memastikannya. Janhyuk
menyunggingkan senyum bersahabat, namun terlihat ragu sebelum beranjak pergi
tanpa berucap apapun padaku atau Kyuhyun. Aku memandang punggungnya yang
mulai menjauh, bahunya sedikit mengendur, well..., itu seperti bahasa tubuhnya
yang meyuarkan kekalahan. Dari segimanapun, dirinya mungkin misterius tapi
kupikir itu bukan sekedar menutupi perangainya sebagai mata-mata seorang
Kyuhyun. Aku tidak ingin berspekulasi lebih jauh hingga membuat kesimpulan-
kesimpulan semu.
Untukku pribadi, Janhyuk lebih dari sekedar apa yang Kyuhyun lontarkan
padaku. Delapan bulan hidup dalam lindungan Janhyuk membuat ikatan kami
terbentuk dalam kurun waktu yang lama. Hanya karena diriku yang tidak terbiasa
dekat dengan pria selain Kyuhyun, hubunganku dan Janhyuk terkadang terkesan

312
313

seperti orang saling menjaga jarak. Well..., kurasa jika aku memang diberi
kesempatan untuk bisa bertemu dan berteman, aku ingin menjadi teman yang baik
untuk Janhyuk. Atau setidaknya meminta Kyuhyun memberikan waktu untuknya
menjadi manusia biasa.
“Kenapa memandinya begitu?” ujar Kyuhyun seraya memasangkan selfbelt
yang sempat kulupakan. “Eunso hanya penasaran...”
“Tentang?”
“Kehidupan seorang Janhyuk”
“Bagian?”
“Janhyuk, apakah ia benar-benar hidup untuk oppa? Maksud Eunso, tidak
adakah orang yang mampu membuatnya merasa hidup selain bekerja untukmu?”
“Ada”
Aku terkejut setelahnya menarik napas lega. Well..., untuk orang sebaik
Janhyuk kurasa akan sangat disayangkan jika harus hidup seorang diri.
“Siapa oppa?”
“Seseorang” jawab Kyuhyun. Aku mengangguk setuju, dari jawabannya
kurasa memang ada sesuatu yang tidak seharusnya aku ketahui. Aku tidak bertanya
lebih jauh lagi, yang terpenting, rasa penasaranku terbayar bahwa Janhyuk
memanglah manusia biasa. Terlepas dari siapa yang menjadi bunga hidupnya,
biarlah itu menjadi rahasia antara Kyuhyun dan Janhyuk.
®®®
Author side’s
Gerimis baru saja mulai saat Jongmun berbelok menuju jalanan rumah
Kyuhyun. Jongmun sama sekali tidak ragu untuk terus menemani Kyuhyun
sementara pria itu menghabiskan waktu sebentar di dunia nyata. Sesekali sudut
bibirnya tertarik naik melihat bagaimana ekspresi bahagia begitu kental melekat
pada adik sekaligus bos besarnya itu. Well..., jika ada orang yang paling bahagia

313
314

melihat Kyuhyun sekarang bisa jadi itu adalah Jongmun. Dari lamanya ia bersama,
selama delapan bulan berlalu, ialah saksi atas keterpurukan dari pria paling
berpengaruh di Korea Selatan. Darinya banyak orang ia berdayakan, dan... tidak adil
rasanya jika sumber keajaiban Korea harus merasa kehilangan hingga jiwa berasa tak
lagi dalam raganya. Lalu... disaat matahari kembali menyinari hatinya yang kelabu,
tak ada alasan baginya untuk tidak merasa bahagia.
Pun selama perjalanan, Kyuhyun tidak terlalu memerhatikan jalan yang
berkilau basah tertimpa matahari. Ia sibuk menatap seseorang sembari mengelus
beberapa bagian tubuhnya untuk menjaga Eunso tetap nyaman dalam tidur. Bahkan
dalam fokusnya, ia terus menyelipkan beberapa kata cinta, tanpa peduli bagaimana
Eunso mampu mendengar atau sekedar peduli akan keberadaan Jongmun.
Baginya... dalam pandangan matanya, meski ada ribuan orang di hadapannya, hanya
Eunso yang mampu terlihat jelas. Makan waktu kurang lebih lima jam untuk bisa
sampai dengan perjalanan normal. Jongmun sempat merasakan secercah perasaan
berharap saat menyadari bagaiamana perasaan Kyuhyun terhadap Eunso. Pokoknya
ia tidak bisa hanya diam membiarkan keduanya kembali seperti dulu. Well..., jika
Janhyuk saja bisa seberkorban itu, rasanya juga tidak adil kalau dirinya cukup
berdiam diri.
Sudah cukup kebodohan mengusik dirinya, dan sebagai upaya penebusan
yang ia gencarkan, menjaga Kyuhyun dan Eunso adalah janjinya.
Beberapa menit kemudian mereka sudah berada di jalan masuk yang
mengarah ke tempat tertentu. Matahari pudar tergantikan malam yang merudung
dingin. Lampu-lampu terang menyambut kedatangannya tepat di ujung jalan.
Well..., ini membutuhkan waktu yang lebih lama dari biasanya ia menyetir. Setelah
memarkir mobil di tempat biasa, Jongmun segera berujar, “Sudah sampai Hyun”
Ini tempat yang sama, tidak terlalu mempesona tanpa cahaya matahari,
namun tetap sangat indah dan tenang. Sekarang bukan musimnya bunga-bunga liar,

314
315

membuat permukaan jalan tertutup rumput tebal yang mengayun tertiup angin
sepoi-sepoi, bagaikan riak air di permukaan danau. “Oo... selagi aku membangunkan
Eunso, bisakah kau turun mengambilkan jaket?” pinta Kyuhyun.
“Tentu”
Temperatur menjadi turun drastis. Kyuhyun bisa merasakannya menyusup ke
dalam mobil, menembus kemeja putihnya. Penghangatpun rasanya seperti tidak
membantu. Dalam pakaian lengkapnya, pria bermarga Cho ini masih mampu
merasakan hawa yang menusuk hingga tulang betisnya.
“Sayang...”
Suarnya selembut beledu, lebih mirip drama melakonis ketimbang upaya
membangunkan orang. “Hey... kurasa sudah saatnya kau bangun” tegurnya. Ia
menunggu beberapa menit, menunggu reaksi timbal balik yang akan Eunso berikan
padanya. Bibirnya tersenyum saat ekor matanya menangkap gerakan lain dari apa
yang seharusnya Eunso lakukan. Wanita itu diam, mengerut sejenak sembari
mendekatkan tubuhnya ke arahnya. Tangannya naik memeluk leher Kyuhyun, well...,
dalam setengah sadarnya ini, alam setengah sadarnya benar-benar mencari
kehangatan disela-sela dingin yang melandanya cepat.
“Kedinginan?” tanya Kyuhyun, merangkul pundak Eunso sebelum wanita itu
sempat menjawab. Eunso mengangguk pelan di antara cerucuk lehernya seraya balik
bertanya, “Oppa, tidak?”
Kyuhyun menggeleng.
“Kau pasti demam atau sebangsanya,” gerutu Kyuhyun. Kyuhyun menyentuh
kening Eunso dengan jari-jarinya, dan kepalanya memang panas.
“Astaga Eunso, —badanmu hangat”
“Eunso baik-baik saja”
Eunso mengangkat bahu. “Sehat walafiat”

315
316

Kyuhyun mengerutkan kening dan menyentuh kepalanya lagi. “Tangan oppa,


dingin” ujar Eunso tapi enggan menjauh. “Oo..., aku akan melepaskanmu”
“Jangan...”
“Tapi aku dingin Eunso”
Eunso side’s
“Badan oppa panas, Eunso suka. Tapi tidak untuk tangan” ujarku jujur. Meski
kedua tangannya terasa dingin, tapi tubuh bagian depan Kyuhyun sungguh
menyalurkan hangat berlebih untukku. Aku mengelus pelan perutku, entah karena
dingin atau perjalanan jauh yang kutempuh, rasanya kedua hal itu benar
membuatku merasa sedikit kram dan tidak nyaman untuk beberapa hal. Sesekali aku
bergerak pelan untuk mencari posisi paling apik dalam pelukan Kyuhyun bahkan jika
urat kemaluanku sudah putus, aku ingin sekali berada dalam pangkuannya.
Memeluk bara api dalam es di tubuhku. Dan kurasa..., pikiranku ini memang terlalu
mudah ditebak. Selamanya aku akan menjadi buku yang terbuka bagi Kyuhyun. Buku
yang bebas ia baca, tanpa susah membalik tiap halamannya.
“Seperti ini”
“Terimakasih oppa” tulusku saat inginku menjadi ujud nyata sekarang. Aku
jarang meminta sesuatu, dan kurasa... itu adalah kelebihanku jika kutahu sekalinya
aku meminta akan seperti ini jadinya. Kepalaku menempel erat dalam dentuman
jantungnya yang bak alunan pengantar tidurku. Lembut, memabukkan, dan mampu
membuatku lupa akan rasa dingin yang tengah menyergapku. Hembusan nafasnya
yang panas, terasa begitu kuat menerpa bagian atas kepalaku. Dan..., aku benar-
benar hangat meski tangannya tak bisa memelukku. Kyuhyun mencium bibirku
lembut, seolah ingin menyalurkan panas berlebih untukku. Well..., aku akui. Ini
memang berhasil untuk menyulut api dalam mobil. Gerakan bibirnya hati-hati,
mencoba sekuat mungkin agar usahanya benar-benar berhasil.
“Oo sebentar lagi Jongmun datang”

316
317

Dari sudut mataku, dapat kulihat Kyuhyun memandang ke luar kaca depan,
tangannya terangkat memberi isyarat cepat atas langkah Jongmun yang dirasanya
terkesan lambat. “Oo hyung cepatlah. Berikan sarung tanganmu” perintah Kyuhyun.
Jongmun membuka cepat pintu sebalah kanan untuk menahan angin supaya
tidak masuk, sebisa mungkin untuk tidak menerpa bagian tubuhku, meski tidak
cukup membantu kurasa setelah ini aku benar-benar harus berterimakasih. Kyuhyun
memakai sarung tangan dengan cepat, lalu menarik selimut menyelimutiku. Apapun
berlalu serba cepat hingga aku menyadari bahwa aku telah sampai pada tangga
pertama menuju kamar utama. “Eunso berat”
“Bukan masalah untukku”
“Eunso ingin tidur lagi, setelah ini” ujarku, punggungku rasanya benar mau
patah. “Ya apapun yang kau inginkan” setujunya.
“Pelan-pelan” ucap Kyuhyun saat membaringkanku di kasur.
“Apakah perlu berganti baju?”
Aku menggeleng cepat. Mataku menelisik setiap lini kamar, merasa tidak
familiar dengan keadaaan sebelumnya. But..., ini memang kamar yang sama, aku
menyadari dengan cepat, perabotannya saja yang ditata ulang. Sofa dipindahkan ke
dinding utara dan stereo diletakkan menempel ke rak CD yang memenuhi dinding—
untuk memberi tempat bagi ranjang besar yang kini mendominasi tengah-tengah
ruangan. Aku menatap Kyuhyun, pipiku memanas saat dengan biasanya ia membuka
kemeja putih sembari berjalan ke arah kamar mandi. Aku benar-benar tidak terbiasa
bahkan ketika itu berulang kali terjadi, meski mataku lebih sering ternodai, aku
selalu tidak bisa membiasakan diri.
Kyuhyun terkikik.
Aku mengalihkan pandanganku pada warna ranjang yang senada dengan
perabot lain di kamar ini. Penutupnya berwarna emas buram, sedikit lebih terang
daripada warna dinding-dindingnya, rangkanya hitam, terbuat dari besi tempa

317
318

dengan pola yang rumit. Mawar-mawar yang dibentuk dari besi melingkar-lingkar di
tiang ranjang yang tinggi dan membentuk semacam tirai yang menjuntai di atas
kepala. Dari arah dinding, dapat kulihat tembok yang sudah berganti kaca,
memantulkan oemandangan itu seperti cermin, membuatnya tampak dua kali lebih
indah untukku. Dari sana aku dapat melihat bagian luar rumah yang meneduhkan di
bawah sinar rembulan.
“Selamat datang kembali, sayang”
Aku tersenyum, menarik Kyuhyun untuk turut berbaring di sampingku. Ada
begitu banyak pertanyaan dalam benakku, rasanya ingin meledak jika tidak harus
kutanyakan detik ini juga.
“Oppa...”
“Oo... ada yang kau butuhkan?”
“Tidak” jawabku cepat tapi kembali menimpali. “Eunso hanya ingin bertanya”
“Apa yang ingin kau tanyakan hum?” aku menutup mata geli saat bibirnya
menjelajah mengecupi area wajahku. Hembusan napasnya memabukkan dan aku
benar-benar harus menjada diri jika ingin bertahan. Atau setidaknya memenangkan
pertandingan. “Dekorasinya, terlihat asing untukku”
“Oo”
“Kenapa cuma oo?”
“Panjang ceritanya”
“Eunso bisa mendengarkan”
“Baiklah... seperti yang kau lihat, banyak beberapa barang yang kubuang dan
menggantinya dengan sesuatu yang baru. Ranjang ini, kuganti seminggu setelah
kepergiannmu”
“Mengapa diganti?”
“Rasanya menyakitkan jika harus memandangnya. Disana aku memukuli
tanpa ampun, jadi—”

318
319

“Oo, tidak perlu diteruskan” potongku merasa bersalah atas pertanyaanku.


Seharusnya aku lebih merasa puas untuk diam daripada harus bertanya yang
mungkin bisa saja membuat perasaan Kyuhyun kembali merasa bersalah. “Karena
kau sudah bertanya, kurasa ada baiknya aku juga harus menjelaskan”
“Setelah kepergianmu, aku benar terpuruk untuk jangka waktu yang lama.
Aku tak bisa menemukanmu dimanapun, sesuatu tak bisa membuatku puas. Rumah
menjadi boomerang hebat dalam hidupku kala itu. Selain penuh dengan kenangan
baikmu, beberapa sudut rumah justru berbalik mengerikan untukku”
Aku diam, berusaha menahan emosiku.
“Jika aku beruntung, aku akan melihat bayangmu tersenyum padaku. Tapi
jika aku celaka, dan itu lebih sering terjadi, kilasan tangisanmu selalu datang
mengampiri. Seolah itu adalah balasan dari apa yang telah kulakukan terhadapmu.
Aku tidak sanggup untuk berada dalam kondisi ini terus-menerus, lalu dengan
Jongmun dan Henry, aku merombak segala apa yang bisa membuatmu menangis
dulu, kusingkirkan jauh-jauh”
“Eunso senang desainnya” ujarku mencoba mencairkan suasanya yang
sepertinya gagal. “Aku takut, dengan adanya kenangan-kenangan burukmu disini
menjadi alasan terbesar bagimu untuk tidak kembali padaku”
“Terimakasih. Untuk semua bentuk perhatian yang oppa berikan untukku.
Bagi Eunso, semengerikan apapun rumah, rumah tetaplah rumah. Kita mungkin
menodainya, tapi kita juga punya kesempatan untuk memperbaikinya”
“Akulah yang seharusnya berterimakasih padamu”
“Aku mencintai oppa”
“Akul juga yang seharusnya berkata seperti itu padamu”
Aku terkikik pelan. “Tidak ada yang berani melarangku untuk berkata
apapun. Kita saling mencintai, jadi Eunso rasa. Kita bebas untuk menunjukkan
bagaimana perasaan masing-masing”

319
320

“Aku tahu, tapi itu tidak menghapus perasaan terimakasih yang kurasakan.
Kurasa kau perlu tahu. Seandainya ada yang bisa kulakukan untukmu, selama itu
masih dalam kekuasaanku...”
Aku mengangkat sebelah alisku yang hitam.
Kyuhyun menunduk menatapku. “Kuasanya. Aku cepat belajar, Song Eunso,
jadi aku tidak akan melakukan kesalahan yang sama dua kali. Aku akan tetap di sini
sampai kau menyuruhku pergi”
Sejenak aku terhanyut dalam tatapan mata emasnya, “Tidak akan”
Kami saling berbalas senyum, aku tidak tahu bahwa kembali ke Seoul akan
semembahagiakan ini. Kyuhyun benar, ada ia di sini, dengan kedua lengannya
memelukku. Aku sanggup menghadapi apapun juga, selama ada dia. “Ooh”
“Ada apa?” paniknya.
“Tidak apa-apa, hanya nyeri sedikit”
“Apakah sakit? Haruskah aku memanggil dokter?” aku terkekeh pelan
mendengar cerocosan Kyuhyun. Atmosfer romantis yang baru saja terbentuk
berubah kilat karena ulah seorang Cho Kyuhyun. Sedikit disayangkan memang,
tapi..., kurasa Chocho juga tak ingin ketinggalan untuk bergabung bersama kami.
Dan, satu hal yang harus aku garis bawahi, selain bisa menjadi perayu ulung,
Kyuhyun juga terlampau paranoid jika menyangkut hal-hal keselamatan anak
pertama kami. Well..., bukankah ini terlalu membahagiakanku?
“Eunso hanya kelelahan saja oppa. Tidak perlu khawatir" ucapku sembari
mengusap kerut yang menghiasi dahi Kyuhyun.
Kyuhyun memicingkan kedua matanya, merasa sangsi mendengar
jawabanku. Ia mungkin menggapku bergurau atau berbohong, tapi itu memang yang
kurasakan. Nyeriku ini bukanlah sebagai indeks ketidaknyamananku, melainkan
lebih kepada tanda ingin bergabungnya Chocho di tengah-tengah pembicaraan
kami.

320
321

“Sayang. Apakah tidak apa-apa?" lanjut Kyuhyun masih tidak percaya.


“Oo” jawabku mengibaskan telapak tangannya di depan Kyuhyun.
“Apakah tidak ada cara yang lain? Maksudku, dengan vitamin atau apa. Aku
haruskah... aku menghubungi dokter kandunganmu? Aku benar-benar khawatir”
“Eunso baik-baik saja. Lagipula kalau Eunso kram, biasanya juga oppa
mengusap perut Eunso lalu kenapa menjadi begitu panik kali ini?”
“Ya Tuhan. Seharian ini kau dan aku ada di jalanan. Bagaimana aku tidak
sekawatir ini? Aku pikir seharusnya kita pergi ke rumah sakit saja” usul Kyuhyun.
Aku kembali terkikik. “Tidak ada yang lucu, Eunso”
“Ada..., Eunso benar-benar merasa terhibur karena oppa”
Kyuhyun menggeser tubuhnya, kemudian berbaring miring ke arahaku.
Matanya menatap tengkukku sejenak, lalu dengan perlahan namun pasti, tangan
Kyuhyun mulai bergerak, menyentuh pinggangku, merambat hingga berhenti tepat
di atas dimana Chocho berada. Sejenak aku juga merasa ini adalah dejavu atas
mimpi-mimpiku di Myeongdong. Aku tidak harus merasainya sendirian, dan itu
membuat bunga-bunga bertebaran dalam hatiku.
“Bagaimana rasanya sekarang? Masih kram?” tanya Kyuhyun sembari
mengusap dengan gerakan yang begitu memabukkanku.
“Ya. Sedikit membaik saat oppa mengusapnya”
Aku mendesah pelan.
“Sepertinya Eunso memang sangat kelelahan" ucapku disetujui Kyuhyun.
Kyuhyun mengalihkan pandangannya dariku. Aku bisa melihat matanya turun
jatuh pada perutku. Aku ikut bergerak, menumpu di atas tangannya.
“Apakah kau yakin hanya dengan cara diusap seperti itu kram-nya bisa
hilang?”
“Oppa...”
Tahanku sebelum memulai.

321
322

“Dia mempunyai appa yang kuat. Jadi logikanya, dia pasti akan sama kuatnya
denganmu. Lagipula kalau dipikir-pikir, perjalan Myeongdong-Seoul tidak lebih
melelahkan dibanding bercinta denganmu” cerocosku tanpa sadar.
Ya Tuhan.
Butuh beberapa detik untukku bisa mengenali kata demi kata yang baru
kuucapkan. Aku menutup bibir rapat-rapat sembari mengalihkan pandangan dari
pria itu. Kemana saja asal jangan memandang Kyuhyun. Pipiku memanas menahan
malu. Ini jelas bukan gayaku, untuk apa pula aku berbicara tidak senonoh seperti itu
bahkan dalam keadaan tidak sadar sekalipun.
“Oo benarkah? Jika lelah kenapa terus saja memintanya lagi?” goda Kyuhyun.
“Eunso tidak seperti itu" serakku. Situasi ini benar-benar membuatku terjepit
antara malu dengan sikap ketidaksiapanku. Emosiku menjadi tak terkontrol bahkan
karena kesalahanku sendiri. Well..., aku seharusnya mungkin tidak bersikap seperti
ini, tapi aku juga tidak bisa menampik bahwa aku juga kurang bisa mengerti akan
hormone kehamilanku.
“Sayang. Tidak apa-apa. Maafkan oppa. Jangan menangis” bujuk Kyuhyun.
“Oppa jahat! Eun-so tidak seperti itu”
“Iyaa. Eunso tidak seperti itu. Jangan menangis, kumohon”
Aku menggigit bibirku pelan, mencoba menuruti perintah Kyuhyun dan
mensugesti bahwa aku tidak bersalah atau ucapanku tidak menimbulkan dampak
apapun. Tenggorokanku terasa sakit, bagaimanapun juga nyeri sekali menahan isak
tangisku.
“Eunso ingin tidur” ujarku.
Aku menyadari perubahan suasana dari mendebarkan hingga semua kini
terasa sangat berantakan. Aku ingin sekali tertawa jika saja keadaanku memang bisa
diajak untuk berkompromi lebih jauh. Well..., situasi seperti ini mungkin akan sangat
kurindukan nantinya. Bagaimana perubahan ekspresi Kyuhyun saat menghadapiku

322
323

sekarang, tentu bukan perkara yang mudah untuk kutemukan dilini masa
selanjutnya. Dan aku patut bersyukur atas kekonyolanku malam ini. “Baiklah, aku
akan di sini, dan menemanimu” ucap Kyuhyun lagi. “Aku juga akan menjagamu,
melindungi, membuatmu bahagia bersamaku”
Aku juga akan menjagamu, Kyuhyun.
®®®
DESEMBER

JANUARI

FEBRUARI
21 Februari, tepat di 14.32 KST, semuanya benar-benar selesai untukku,
untuk segala sesuatu yang mengusik malam-malamku. Gaun putih panjang menjadi
saksi dimana aku benar-benar menjadi bagian dari seorang Cho Kyuhyun,
menyematkan namanya dalam nama depanku sebagai pertanda bahwa statusku
sah di mata agama dan hukum negera ini. Aku tak akan meragukan apapun, karena
hal itu sudah jauh Kyuhyun lenyapkan. Tak ada hal selain ini yang bisa
membahagiakanku dan Chocho, tak ada cemas atas masa depanku bersamanya.
Well..., pernikahanku dengan Kyuhyun adalah hal yang bisa membuatku bangkit dan
berdiri tegak dengan jalan takdir yang mengikutiku. Pria itu benar, janjinya tak perlu
lagi kuragukan, bersamanya, aku benar-benar bisa menggantungkan semua angan
dan impian. Da... kedepannya, aku akan menagih janji untuk kebagiaan kami
selanjutnya.

323
324

®®®
Kyuhyun side’s
Eunso tersenyum puas saat usahanya dalam mengikat dasiku sesempurna
dengan apa yang ada dalam pikirnya. Ia mundur selangkah, berusaha memastikan
sekali lagi bahwa keahliannya ini memang patut untuk diapresiasi. Aku tersenyum
lebar, dalam sudut pandangku, apapun yang Eunso lakukan selalu terlihat menawan
untukku. “Sempurna, terima kasih sayang” sahutku.
“Sama-sama” ringisnya.
Menggemaskan, seperti biasa.
“Bagaimana Chocho? Apakah pagi ini dia baik-baik saja?”
Well..., aku melanggar janjiku sendiri dan aku benar-benar meminta maaf
tapi juga tidak menyesal atau berhenti untuk menuntaskan. Sejatinya, aku tak
pernah bisa bertahan untuk tidak menggagahi Eunso di bulan-bulan kehamilannya.
Tetapi, kurasa, itu naluriah, pun... dalam teknisnya, aku mengantongi izin dokter.
Jadi kurasa itu aman selagi aku bergerak perlahan.
“Eo. Sangat baik” ucap Eunso dengan semangat.
Aku berjalan maju dan melumat bibirnya pelan. Bahkan dari sudut mataku,
masih bisa kulihat sisa gigitanku malam tadi. Merah dan dimana-mana. Aku
menggeleng pelan seraya menutup mata, aku hanya harus fokus pada bibirnya jika
ingin pagiku berjalan normal seperti kebanyakan orang.
“Jam berapa nanti jadwal chek up mu?”
“Jam dua siang oppa. Oppa akan mengantarku lagi?”
“Tentu saja. Apa yang tidak untuk kesayanganku ini hum?” jawabku balik
bertanya. Aku menatap jauh ke dalam mata kecokelatnya yang rupawan. Darinya,
aku merasa ada hal besar yang melandaku, sebentar lagi. Sesuatu seperti
menahanku untuk tetap tinggal, entah ini firasat atau sekedar alibiku saja untuk
terus bersama Eunso, yang jelas perasaan ini terlalu kuat untuk kurasakan.

324
325

“Sayang..., bagaimana jika aku absen lagi? Aku benar-benar ingin tinggal”
“Tidak. Eunso benar-benar menolak”
Aku mengangkat bahu pelan, berusaha menjaga emosi Eunso tetap stabil
dalam kendaliku. Ini bukan masalah besar, hari ini mungkin aku bisa sedikit
mengalah, tapi kujamin setelahnya aku benar-benar akan memindahkan kantorku di
rumah. Well..., dengan kondisinya sekarang, rasanya jauh sedikit saja dengannya
seperti membunuh nyawaku sendiri karena tekanan cemas akan aba-aba
kehamilannya.
“Baiklah... baiklah”
Aku mengulurkan tangan, memegang tengkuknya, dan menempelkan
kulitnya ke kulitku. Kulitnya terasa halus sekaligus rapuh— lebih menyerupai serpih
dari pada granit— dan lebih hangat daripada yang kukira. Matanya yang berkelabut
tersenyum memandangiku, dan mustahil bagiku untuk mengalihkan pandangan.
Matanya memesona dengan cara yang ganjil dan sangat menyenangkan. Rasanya
jiwaku benar terjebak dalam remaja belasan tahun yang hanya mengenal cinta dan
rasa.
“Kalau terjadi apa-apa, hubungi aku segera”
“Tentu”
“Aku benar akan merindukanmu”
Eunso mengangguk, berusaha menahan obrolan lain yang mungkin saja bisa
lebih panjang jika ia harus menjawab. Aku merengkuh wajahnya dengan kedua
tanganku. Menciumnya lembut sebagai penyalur semangatku beberapa jam ke
depan. “Aku pergi dulu” ucapku sebelum benar-benar meninggalkan Eunso.
®®®
Benar bukan. Firasatku untuk tidak meninggalkan Eunso adalah hal yang
seharusnya ku turuti sejak awal. Bukan karena telah terjadi sesuatu, kesimpulan ini
kuambil justru lebih karena perasaanku yang tak pernah lepas dari bayang-bayang

325
326

yang bahkan aku sendiripun tak mengerti. Ketenangan menjauhi jiwaku untuk waktu
yang lama, bahkan dalam suasana rapat perusahaan semacam ini, aku tetap tidak
bisa fokus atau sekedar menghargai beberapa staff perusahaanku. Aku sesekali
melirik Henry, berharap melalui tatapanku, aku berusaha meminta supaya
semuanya selasai secepat mungkin kalau perlu..., aku benar-benar walking out dari
rapat semembosankan ini. But..., jika itu memang benar terjadi..., alasan macam apa
yang bisa kulontarkan untuk Eunso?
Aku diam sembari memainkan jari-jemariku. Memandang lurus sembari
mendengarkan sanggahan, usulan, bahkan kritikan yang bahkan terdengar seperti
buih dalam telingaku. Selama terjun dalam dunia ini, hal-hal biasa seperti sekarang
justru terasa membosankan, selain karena sudah melewatinya jauh sebelum ini,
akhir dari diskusi panjangpun sudah bisa kutebak pasti. Kakiku saling mengetuk,
seperti menghitung detik-detik bom waktu akan meledakkan ruangan ini.
“Sajangnim...”
“Oo... wae?”
“Ada panggilan untukmu” bisik Henry.
Aku segera merampas benda hitam tipis itu tanpa harus bersikap sembunyi-
sembunyi. Alisku mengerut kuat, well..., nama Song Eunso tertera jelas dimataku.
Aku menatapnya sekilas sebelum benar-benar menjawab, dari adanya sambungan
panggilanku, telepon Eunso kenapa harus masuk lewat ponsel Henry? Aku
memutuskan untuk tidak ambil pusing, ibu jariku bergerak alus menggeser warna
hijau di sebelah kiri.
“Hallo” ucapku memulai.
Aku mengerut hebat. Menarik kembali ponselku mencoba memastikan
bahwa nama yang tertera adalah Song Eunso. Sebuah nada khawatir tak pernah
kukhayalkan sekalipun melayang pada sambunganku. Dan... ini bukan Eunso. Aku
bergerak menjauh dari meja rapatku, mendadak pikiranku tertuju penuh pada suara

326
327

yang sedang menginterupsiku. Aku tak perlu meminta izin untuk apapun, terlebih
untuk peduli dengan reaksi beberapa direktur perusahaan disini.
“Ya, ahjumma” sahutku begitu menempelkan layar ponsel pada telingaku.
“Nyonya Eunso—”
“Eunso. Ada yang terjadi?” potongku cepat.
“Nyonya baru saja masuk unit gawat darurat. Air ketubannya pecah.
Sepertinya dia akan segera melahirkan” ujar Kim ahjumma turut panik dan hal itu
justru semakin membuatku kalang kabut.
Urutan kata demi katanya mampu menghentakku seolah petir yang
menyambar keras. Menghunus tepat dalam jantungku. Tubuhku melemas, bibirku
bergetar, mataku membasah. Jutaan saraf bertabrakan di otakku. Aku benar-benar
merasa gagal mengendalikan emosiku. Aku melirik Henry, ekspresinya bertanya-
tanya tapi tak juga mampu menebakku. Dan untuk pertama kalinya... aku merasa
unsur rasa menyatu dalam pikiranku.
“Aku akan datang ahjumma” putusku.
Aku berlari keluar tanpa lagi peduli dengan pandangan beberapa orang di
sana, entah aku akan kehilangan beberapa juta won atau apapun itu, yang jelas saat
ini. Aku harus ada disamping Eunso. Lagipula kekayaanku tak habis hanya karena
meninggalkan rapat tahunan seperti ini. Koridor yang biasanya senggang kulalui kini
terasa begitu jauh dan menyesakkan. Gerak kakiku semakin cepat saat mataku
menangkap keberadaan Jongmun dari arah selatan.
“Jongmun. Antar aku ke rumah sakit. Sekarang”
Syukurnya dan aku patut berterimakasih untuk keberadaan Jognmun dan
sikap cepat tanggapnya seperti biasa tanpa harus bertanya. Aku tidak ingin
mengambil risiko untuk menyetir dalam kondisi kalut dan didesak kecemasan
berlebih. Well..., pikiranku mundur memilah hal-hal yang seharusnya bisa
membuatku lebih peka untuk tetap tinggal di rumah. Tapi..., nasi sudah menjadi

327
328

bubur. Aku benar tidak memahami bahwa rasa nyeri Eunso malam tadi menjadi
pertanda besar untuk hari ini. Bisa kudengar napasku memburu semakin cepat, tapi
aku tak kuasa mengendalikannya. Aku mulai terengah-engah.
“Aku bersumpah, Eunso akan baik-baik saja,” Jongmun berjanji. “Eunso tidak
akan mengingkari janjinya untukmu, mereka... akan baik-baik saja”
Aku tidak memprotes penjelasannya. Konsentrasiku tercabik-cabik perasaan
takut. Mereka akan baik-baik saja..., begitu katanya tadi. Bangunan-bangunan
melesat begitu cepat dan kabur hingga aku tampak seperti dikelilingi air berawarna
hijau zambrud. Entah harus mencapai spidometer berapa, aku harap perjalanan ini
bisa dipercepat.
“Jongmun.” Susah payah kukeluarkan suara dari tenggorokanku yang
tercekat. “Mereka akan baik-baik saja bukan?”
“Ya. Kyuhyun, percayalah padaku”
Kupandangi dia selama satu detik yang panjang. Jongmun menatapku dan
memantapkan hatiku, kemudian mempercepat laju mobil sebisa mungkin.
“Kita sudah hampir sampai”
Otomatis, mataku memandang sekeliling. Tanganku memegang erat pintu
mobil sebisa mungkin keluar saat Jongmun sudah bisa berhenti. Aku berlari, menuju
satu-satunya ruang yang mampu membuatku merasakan serangan panik yang luar
biasa hebat. Fokusku hanya satu, bagiaman caranya aku harus segera sampai disana.
Well..., menemani Eunso adalah janjiku. Dan aku benar-benar tidak ingin merasa
terlambat meski kenyataannya seperti itu. Seraya berlari, tanganku membuka
kancing-kancing jas hitam dan menentengkan di sebelah kiri. Dan... keterlambatanku
memang memalukan saat kudapati Taehwa dan Songhae sudah berada disana lebih
dulu dariku.
“Kyuhyun”
“Eo dimana Eunso?” tanyaku cepat.

328
329

“Cha masuklah. Eunso pasti membutuhkan dukunganmu”


Aku mengangguk paham lalu menghampiri Eunso. Sedetik setelahnya,
mataku menyalang ngeri melihat kondisi Eunso. Nyeri menggerayangi ulu hatiku
kuat saat melihat kondisi Eunso yang jauh berbeda saat terakhir kalinya. Tanganku
terulur memegang tangan Eunso dengan lembut. Di sana, suara teriakan Eunso
menjadi begitu menggema dalam gendang telingaku. Entah karena ini pengalamann
pertamanya atau apa, yang jelas itu terasa menyakitkan untukku.
“Sayang, ini aku” bisikku.
Airmata Eunso yang sejak tadi terkumpul kini tumpah tanpa sisa. Andai dan
jika aku harus bersujud, ingin sekali rasanya aku menggantikan apa yang sedang
Eunso rasakan. Aku tak benar-benar sanggup untuk melihatnya menangis lebih
lama, well..., itu ibarat membakar diriku sendiri.
“Ya Tuhan, sayangku kau kuat. Jangan menangis”
“Kyuhyun oppa sakit” adu Eunso.
Aku menggenggam jari-jemarinya kuat. Mencium telapak tangannya
beberapa kali. Pun... itu begitu terasa dingin dalam genggamanku panas.
“Oppa tahu. Oppa ada disini, menemanimu" ujarku.
Dalam titik terlemahku, aku mencoba memandangi satu per satu petugas
medis yang menangani Eunso. Mencoba bertanya melalui sorot mataku yang kelam,
mencoba mencari alasan mengapa wanita sesuci Eunso bisa jatuh merasakan hal
semacam ini.
“Bayinya belum mau keluar, jika dipaksakan akan membuat nyonya Cho akan
mengalami pendarahan yang hebat” sahut salah satu diantaranya.
“Please... Bisakah kau mengurangi rasa sakitnya?” lemahku.
“Maafkan kami tuan Cho”
“Apa... apa kau tega melihatnya seperti ini?”
“Lakukan sesuatu please... lakukan” ulangku lagi.

329
330

Aku menghembus napas kasar, mencoba menekan sisi emosi yang luar biasa
hebat. Aku kalut. Jeritan, teriakan dan erangan Eunso membuatku bergidik nyeri
merasakan betapa sakitnya penderitaan Eunso. Lalu di bawah sana, entah apa yang
tengah dokter lakukan, aku tidak tahu, aku tak ingin tahu apapun selain membuat
Eunso bisa sedikit tenang.
“AARGH”
Eunso menjerit tertahan merasakan kontraksi berikutnya. Tautan jari kami
semakin kuat. Dengan sisi tanganku yang lain, aku berusaha menghapus peluh-peluh
di sekitar wajahnya. Meniupkan napas di sekitar dahinya yang selalu mengerut.
"Baiklah nyonya Cho, kita akan mencoba untuk mengeluarkan bayi ini sekali
lagi, aku ingin kau mendorong dengan kuat”
Eunso menuruti perintah dokter dan mendorongnya dengan kekuatan
penuh.
“Sayang. Kau pasti bisa. Kau tidak akan menyerah, aku yakin"
“Aku mohon, satu dorongan lagi, eoh?”
Airmata jatuh melalui sisi wajah Eunso ketika bertatapan dengan mataku.
Eunso menganggukkan kepalanya, lalu mengatur napasnya agar kembali normal dan
menarik napas panjang untuk terakhir kalinya siap untuk mendorong keluar bayinya.
Aku mengusap permukaan perut Eunso dengan sayang, lalu menunduk di atasnya
berbisik mencoba berbisik.
“Cukup appa yang membuatmu menderita dan merasa penyesalan yang luar
biasa hebat. Chocho, appa mohon, keluarlah sayang. Bantu eomma dan appa”
Eunso side’s
Aku masih mengangguk satu kali, berusaha mendorongnya sekali lagi di sisa-
sisa tenagaku yang kian menipis. Tanganku menggenggam dalam balutan jemari
Kyuhyun yang hangat sembari memaksa kontraksi selagi ia datang. Pikiranku sudah
kalang kabut, perasaan cemas melandaku dengan berlebih antara ketidak becusanku

330
331

melakukan ini semua. Tubuhku bergetar seiring perasaan cemas yang menyandera
pikiranku. Nafasku mulai putus-putus dan dapat kurasa genggaman Kyuhyun
semakin mengerat, menguatkanku.
“Eunso..., tetap sadar ya?” bujuk Kyuhyun pelan.
Aku menggigit keras bibirku, tak berani menjawab atau mengiyakan
permintaannya di detik-detik kesadaranku. Kepalaku terasa begitu pening, pun
dengan cengkeramanku yang tak sekuat di awal. Aku takut, benar-benar merasa
takut dan semuanya berubah menjadi gelap gulita.
PERTAMA-tama aku sadar ada tangan-tangan hangat yang menyentuhku.
Tidak lebih dari satu pasang. Lengan-lengan memelukku, telapak tangan merengkuh
pipiku, jari-jari membelai keningku, dan jari-jari menekan pelan pergelangan
tanganku. Berikutnya aku mendengar suara-suara. Awalnya hanya berupa
gumaman, kemudian volumenya menjadi keras dan jelas, seperti orang yang
menyalakan radio.
“Siwon... sudah lima menit” suara Kyuhyun, nadanya cemas.
“Dia akan siuman kalau sudah siap, Kyuhyun”
Suara yang kuyakini milik pria bernama Siwon, terdengar lebih tenang dan
yakin. “Terlalu banyak hal yang dialaminya hari ini. Biarkan pikirannya melindungi
dirinya sendiri”
Aku ingin sekali bangun, tapi sesuatu menahanku untuk tetap berada dalam
kondisi yang semestinya. Aku merasa seperti tak terhubung dengan ragaku. Seakan-
akan terperangkap di sudut kecil dalam kepalaku, tak lagi bisa mengendalikan
apapun. Tapi aku tak bisa melakukan apa-apa untuk mencegahnya. Aku tak bisa
berpikir. Aku tidak bisa meloloskan diri dalam perangkap ketidaksadaranku.
Chocho.
Chocho.
Tidak, tidak, tidak, tidak, tidak...

331
332

“Harus berapa lama aku menunggu?” tanya Kyuhyun, suaranya masih


tegang, kata-kata Siwon yang bernada menenangkan ternyata tidak membantu.
“Eunso, sayang?” Itu suara eomma, yang lembut dan menentramkan. “Kau
bisa mendengar suaraku? Semuanya aman sayang, kau dan bayimu aman”
Kemudian bibir panas menempel di telingaku, dan Kyuhyun mengucapkan
kata-kata yang membuatku ingin segera bangkit dan mengatakan, aku baik-baik saja.
Ketika kepedihan dn ketakutan itu mereda, aku menemukan jalan kembali ke
tubuhku. Kelopak mataku menggeletar.
“Oh, sayang”
Kyuhyun mendesah lega, dan bibirnya menyentuh bibirku.
“Oppa,”
“Ya, aku di sini”
Aku membuka kelopak mataku, dan menatap sepasang bola emas yang
hangat.
“Chocho..., tidak apa-apa?”
“Ya”
Kupandangi matanya lekat-lekat untuk mencari tanda-tanda bahwa ia hanya
berusaha menenangkanku, tapi tak menemukan apa-apa. “Aku menjadi saksinya”
dokter Kim membuka pintu ruang rawatku dengan membawa seorang bayi mungil di
gendongannya, pria berjas putih itu menyunggingkan senyumnya, membuatku ikut
tersenyum.
“Kalian pasti ingin melihat dan menggendongnya. Jadi aku membawanya”
ucap sang dokter menunjukkan bayi dalam gendongannya.
“Kau ingin menggendongnya?” tawarnya pada Kyuhyun.
"Aaa~ anak appa hum. Tampan sekali” ucap Kyuhyun.
Dari mataku dapat kulihat pancaran bahagia begitu jelas tercipta di wajah
Kyuhyun, bahkan untuk semua orang yang berada dalam ruangan ini. Meski masih

332
333

terlihat begitu kaku saat menggendong Chocho, tapi aku cukup memakluminya.
Perasaan takut dan cemas yang sempat datang, kini beralih pada rasa bahagia yang
begitu menyenangkan.
Banyak hal yang mampu membuatku merasa jatuh cinta pada Kyuhyun lagi
dan lagi. Melalui hal-hal kecil, perasaanku ikut tumbuh memumuk, menjulang tinggi.
“Oppa. Eunso juga mau lihat”
“Chaa. Bersama eomma chaa” ucap Kyuhyun sembari menyerahkan Chocho
padaku. Semuanya berkumpul membentuk setengah lingkaran, menghadap kami
dengan senyum yang begitu memuaskan.
“Siapa namanya hum?” tanya appa.
“Cho Hyunno”
Well..., Hyunno. Selamat datang.

333
334

BAGIAN TIGA BELAS


Paginya lebih baik karena hujan tidak turun seperti hari-hari sebelumnya.
Dari peraduannya, matahari mulai beranjak menampakkan diri dari balik awan
sebagai pertanda pencakar langit. Memaksa masuk diantara sela sudut kamar,
membuatnya terang karena harus tersisipi cahaya yang ia pancarkan. Well…
menyenangkan. Eunso berlalu seraya menyikap tirai, mengizinkan seserbik sinar
untuk menjamah kamarnya lebih luas. Memberikannya terpaan hangat disisa-sisa
malam yang dirasa terlalu dingin. Bulu kuduknya meremang akan sensasi yang ia
rasakan, sementara di ranjang, prianya justru dibuat terusik karena sinar yang
berhasil menembus retinanya.
Kedua matanya mengerjap beberapa kali sedang tangannya menutupi lubang
besar diantara aktivitasnya dalam menguap. Well... ini bukanlah pemandangan baru
bagi Eunso, tapi rasanya tidak kalah menggetarkan seperti kala pertama. Wanita itu
tersenyum lembut, saat matanya menangkap temu ekspresi Kyuhyun yang langka.
Ekspresinya yang hanya bisa ia nikmati secara pribadi. Rambutnya berantakan dan
matanya yang masih menahan kantuk terlihat seperti hal yang mustahil jika harus
disandingkan dengan pribadinya yang arogan. Ibarat busur seratus delapan puluh
derajat, well... ia tampan. Intinya, dilihat dari beberapa sisi, Kyuhyun selalu terlihat
tampan dalam keadaan apapun. Kakinya saling beradu, melangkah pasti
menghampiri Kyuhyun dan duduk di tepi ranjang.
“Oppa. Bangun...” suarnya lembut, bahkan nyaris terdengar seperti bisikan.
“Humm” sahut Kyuhyun.
Kelopak matanya bak dua kutub magnet yang saling beradu, saling menarik
kuat, mencoba membentengi diri akan rasa kantuk yang masih begitu mendominasi.
Tidak dipungkiri, rutinitas bangun pagi merupakan hal yang mampu membuat

334
335

sebagaian orang meradang, terlebih jika olahraga malammu dirasa terlalu


kelewatan.
“Sebentar saja oppa, please wake up! Eunso pergi keluar sebentar”
Kyuhyun menatap Eunso penuh tanda tanya, alisnya mengerut tajam hingga
membuat Eunso segera menambah beberapa kalimat penjelas di belakang. “... kita
kehabisan bahan makanan, hanya ada beberapa sayur disana, dan kurasa oppa juga
tidak akan suka. Jadi bangun! Wake up!” ulang Eunso, sesekali sembari menarik
tubuh Kyuhyun hingga terbangun duduk.
“Ayolah”
“Tapi aku masih mengantuk”
“Tapi Eunso juga harus memasak”
“Ya Tuhan, sayang... tidakkah kita bisa meminta Jongmun untuk mengantar
seperti biasanya?” tanya Kyuhyun serak.
“Tidak, tidak! Bagaimana bisa kita terus merepotkan mereka di saat-saat
seperti ini? Lagipula... di trimester pertamanya, kurasa eonni juga tidak ingin ada
seseorangpun yang mengganggu Jongmun oppa. Jadi jangan ganggu mereka untuk
satu bulan kedepan” sangkal Eunso. Tangannya membentuk tanda silang besar di
depan Kyuhyun.
“Ya sudah aku antar saja”
“Tidak”
“Tidak”
Kyuhyun menimpali dengan jawaban sama, lebih keras dan lebih bisa
mempengaruhi daripada Eunso.
“Oppa... Eunso bisa berangkat sendiri” ucap Eunso.
Matanya menatap Kyuhyun dengan harapan penuh pria itu akan luluh
dengan nada suaranya ini. “Jika terjadi sesuatu denganmu bagaimana?”
“Tidak akan terjadi apapun pada Eunso”

335
336

“Apa yang bisa kau janjikan padaku?”


“Eunso akan pulang dengan selamat, tanpa cela. Apa itu cukup?”
Kyuhyun menarik napas pelan, keraguan menyelimuti hatinya dengan
gerakan cepat hingga terasa begitu menyesakkan. Jiwa otoritas untuk menyimpan
Eunso dalam pengawasannya pun menyembul tanpa bisa ia tahan. Well... berpisah
lama dengan Eunso membuat Kyuhyun merasakan hal yang paling menyesakkan jika
harus membiarkan wanita itu melakukan sesuatunya sendiri.
“Please... jika oppa ikut, bagaimana dengan Hyunno?”
Kedua alisnya mengerut lupa. Lama ia merenung, seraya berkata, “Baiklah...
hadiahku dulu, baru kuijinkan pergi”
“Ya Tuhan oppa! Kenapa perhitungan sekali!”
“Aku antar kalau begitu”
“Tidak perlu”
“Ya sudah hadiahku”
“Baik... baik. Nanti malam Eunso berikan seberapapun oppa mau! So... selagi
Hyunno belum bangun... oppa bisa bersiap-siap dan jangan terlambat”
“Bersiap-siap untuk?”
“Berangkat ke kantor” beo Eunso.
“Ini masih jam berapa Eunso” tegur Kyuhyun.
“Nanti oppa bisa terlambat”
“Pun kalau aku terlambat, tidak akan ada yang berani menegurku”
“Well... hanya karena kau menjabat posisi penting dalam perusahaan, bukan
berarti oppa bisa bebas berangkat kapan saja. Bangunan yang kokoh berawal dari
hal-hal kecil yang mengharuskan. Jadi... oppa juga harus memberi contoh yang baik
bagi karyawanmu. Lagipula itu bukan sesuatu yang buruk. Orang-orang akan
semakin menyeganimu”
“Jika mem—”

336
337

“Sudah sudah! Sudah ya. Eunso berangkat" potongnya cepat sebelum benar-
benar meninggalkan Kyuhyun.
Pria itu menarik napas pelan, mengerutkan kedua alisnya hingga saling
bertaut. Pikirannya berpacu menangkap makna dari ucapan Eunso yang kelewat
tidak masuk akal. Bagaimanapun juga, wanita itu selalu berucap tanpa
mengindahkan prosesnya di akhir. Baginya... yang penting. Ia bisa pergi secepat
mungkin tanpa harus berdebat lebih banyak dengannya. Urusan tepat atau tidak
tepat janjinya, itu adalah urusan belakang dan bodohnya Kyuhyun... selalu tertarik
untuk menghabisinya.
Eunso... kau memang menawarkan padaku seberapa aku ingin
menggaulimu. But... tidakkah itu relevan dengan aksimu di ranjang jika saja kau
selalu tertidur di saat aku masih menggerakannya begitu cepat?
Ia masih tersenyum, sulit dipercaya rasanya seseorang seperti Eunso bisa
begitu membahagiakan hatinya. Kyuhyun duduk dan menatap jam dinding lalu
memalingkan wajah menghadap box besar di ujung nakas. Mengumpulkan pundi-
pundi nyawa, lalu berdiri dan berjalan mendekati hasil peraduanya dengan Eunso.
Well... meski tidak bisa dikatakan seperti itu, tapi tetap saja, Hyunno adalah hasil
dari pergulatannya bersama Eunso dua tahun lalu. Ia adalah hasil dari cinta kasihnya
yang meliku bersama sosok yang selalu ia sebut mataharinya.
“Hyunno-ya... appa masih mengantuk. Semalam tadi appa benar-benar tidak
tidur hanya untuk menemani eommamu. Jadi... abaikan petuah eomma dan mari
kita tidur bersama Hyunno-ya”
Kyuhyun mengangkat tubuh mungil Hyunno perlahan mungkin, lalu
memindahkannya di atas ranjang yang sama dengan dirinya. Menyelimuti bayi itu
dengan selimut hijau putih yang meneduhkan. Matanya menyelami segala apa yang
ada dalam diri Hyunno, appa mungkin tidak ada disaat kau mengalami masa-masa

337
338

sulit tapi, appa janji akan selalu bersamamu, melindungimu, memberikan apapun
yang appa punya untukmu tetap bahagia.
Baru saja kedua kelopak matanya menutup, sesuatu yang lembut menepuk-
nepuk bagian pipi luarnya hingga ke area rahang, pelan dan ringan. Kyuhyun
beragumen dalam hati, mencoba menggiring opini bahwa itu adalah gerakan
alamiah yang biasa Hyunno lakukan, dan bukan gerakan tanda bahwa bayi itu
tengah lepas dari alam bawah sadarnya. But... lama ia menyadari, opininya yang
biasa tepat nyatanya sekarang jatuh tanpa bisa di debat. Matanya terbuka seiring
tepukan yang dirasa semakin keras dibarengi dengan gumaman yang sulit ia
mengerti.
“Selamat pagi” ucap Kyuhyun pada akhirnya.
Bayi itu tersenyum lebar seolah merasakan kemenangan mutlak karena
berhasil membangunkan Kyuhyun.
“Senang karena berhasil membangunkan appa?”
Kyuhyun mengecup lembut beberapa bagian wajah Hyunno. Lalu
mengangkat bayi itu tinggi-tinggi sebelum meletakkannya kembali untuk berbaring
di atas tubuhnya. Tangannya menepuk pantat sintal milik Hyunno. Wajahnya saling
bertatapan, dan pria itu yakin. Beberapa tahun kedepan, Hyunno adalah cermin
yang nyata baginya.
“Jadi apa yang akan kita lakukan sekarang hum?” tanyanya.
Bayi menggemaskan itu memasang wajah kosongnya pada Kyuhyun. Tapi
setelahnya ia tertawa hingga membuat Kyuhyun ikut tertawa dibuatnya.
“Anak appa, wajahmu lucu sekali” ucapnya sembari mengecupi kembali
seluruh wajah Hyunno dengan perasaan cinta yang tumpah ruah. Well... pria kejam
dan tak kenal ampun sepertinya juga bisa berbuat hal yang manis. Kyuhyun kembali
berpikir, pertanyaan singkat tetiba menghampirinya, seusia Hyunno, pantaskah jika
ia memiliki adik?

338
339

Lama melakukan interaksi ayah dan anak yang dirasa membosankan. Hyunno
mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Manik matanya bergerak seolah
sedang mencari sosok yang begitu ingin dilihatnya di pagi hari.
“Kau mencari eomma?” tanya Kyuhyun menangkap maksud yang tengah
bayinya tanyakan. Tawa yang sempat melekat padanya, terganti dengan ekspresi
kesedihan yang nyata. Bibirnya bergerak kecil hampir menangis tetapi sama sekali
tak ada suara yang keluar dari sana.
“Hey... tidak apa-apa. Appa bersamamu di sini”
Kyuhyun berdiri, dengan Hyunno dalam gendongannya. Pria itu tidak ingin
mengambil risiko lebih jauh untuk terus berbaring dan membuat bayinya menangis
keras. Akan menjadi neraka hebat untuknya jika harus menenangkan tangisan
Hyunno, well... sejatinya ini bukanlah keahliannya. Tubuhnya bergerak ke kanan
sesekali kekiri, mencoba mengimitasi gerakan yang biasa Eunso lakukan saat
anaknya mulai merajuk menangis. Matanya menatap jauh ke dalam bola mata
Hyunno dan menemukan sesuatu yang ia miliki juga berada disana.
“Jangan menangis ya. Bukan Hyunno saja. Appa juga merindukan eomma”
dirinya mencoba mengajak bayi berusia delapan bulan itu bercengkerama, berharap
kuat perlakuannya ini mampu membuat Hyunno lupa akan ketiadaan Eunso. Appa
mohon jangan menangis...
®®®
Akhir pekan, pemandangan pagi nampak begitu cerah, tampak berbeda dari
pagi-pagi sebelumnya yang digelayuti awan kelabu, disusul hujan rintik hingga deras.
Sinarnya yang tak begitu terik membuat banyak orang memilih untuk menghabiskan
waktunya dengan berlibur di luar atau sekedar berjalan-jalan dibanding harus
berdiam diri di dalam rumah. Semua berhambur keluar, tak terkecuali sesosok
wanita dengan pakaian kasualnya yang nampak begitu sopan. Wajahnya berseri
memancarkan rasa bahagia yang bahkan terlihat begitu berkobar. Ekspresinya itu,

339
340

membawa pesan bahwa ia adalah wanita yang paling bahagia di antara kebahagiaan
yang ada di pagi ini.
Rambutnya tak lagi panjang, membuat perawakannya terlihat jauh lebih
muda dari batas umur yang seharusnya ia dapatkan. Banyak orang salah mengira,
hingga sebagian juga tak akan percaya akan status yang tengah ia sandang sejak
beberapa tahun lamanya. Kedua tangannya saling bertautan erat, seolah memberi
tanda jika memang ada seseorang yang tengah ia tunggu. Kedua kakinya mengetuk-
ngetuk pelan sesekali kepalanya menoleh ke arah kanan lalu ke kiri secara
bergantian. Disampingnya, ada seonggok jake tebal berwarna cokelat tua, senada
dengan apa yang ia kenakan.
Menit demi menit berlalu, orang-orang mulai silih berganti dan ia masih setia
menunggu. Keterdiamnya seolah menunjukkkan pesan bahwa orang yang sedang
ditunggunya itu memanglah sosok yang pantas ditunggu kedatangannya, lebih dari
siapapun. Dan jika harus menabak, wanita itu tak akan bosan jika harus menunggu
untuk waktu yang lebih lama lagi. Dirinya bukanlah menunggu ketidakpastian diatas
ketidakpastian, sama sekali bukan. Yang ia tunggu adalah sosok malaikatnya, pemilik
hatinya. Cho Kyuhyun dan Cho Hyunno, dua laki-laki yang begitu ia prioritaskan dari
apapun. Dua sosok yang begitu ia lindungi dengan segenap daya yang ia miliki, yang
ingin selalu ia kasihi dengan seluruh raga yang mampu ia korbankan.
Helaan nafas lega terdengar begitu lembut mengalir diantara lubang
pertukaran udaranya. Bibirnya tersungging, membuat wajahnya yang cantik menjadi
semakin mempesona karena senyum indah yang baru saja ia ciptakan. Tentu bukan
sembarang ia menyuarakan, kehadiran sosok yang kini sedang berjalan kearahnya
menjadi alasan pasti senyumnya bisa begitu mengembang. Merasa, tidak ingin
memperlambat titik temu, Eunso segera berdiri menghampiri Kyuhyun dengan
langkah pasti, bahkan dengan detupan jantung yang tiada henti. Well...
penantiannya terbayar sudah.

340
341

“Hyunno... kau lihat itu? Appa rasa, baru beberapa menit tak bertemu, tapi
sepertinya eomma memang sudah sangat merindukan appa” ucap Kyuhyun yang
ditanggapi dengan gumaman khas bayi usia delapan bulan, tertawa seolah
menyetujui praduga yang sedang ayahnya lontarkan. Kyuhyun, matanya menangkap
sosok yang kini berada di hadapannya dengan pacaran cinta kasih yang tak ditutup-
tutupi.
Eunso terlihat menggemaskan tapi juga tampak menggairahkan bagi sisi
jiwanya yang bajingan. Alih-alih terlihat seperti wanita paruh baya pada umumnya,
Eunso justru lebih terlihat seperti gadis remaja. Well... kenyataan ini terkadang
memang membuatnya sebal disesekali waktu. Bagaimana tidak. Diusianya yang
sudah menginjak tigapuluh tujuh, dan lebih parah dari apapun, angka tujuh itu akan
segera terganti dengan dua angka nol yang saling menyatu. Dia tua, dan istrinya ini
justru masih begitu muda. Kenyataan yang menyesakkan, sungguh.
“Aku pasti membuatmu menunggu begitu lama” ucap Kyuhyun saat matanya
kembali beradu dengan Eunso.
Hampa, tak ada sahutan disana, meski bibir Eunso bergerak mengeluarkan
suara bukan berarti gadis ini juga menjawab ucapannya. Matanya menyipit tajam
dengan kedua alisnya yang mengerut menjadi satu.
“Oo pakai jaketnya dulu”
“Hyunnooo” teriak Eunso riang, membuat bayi bermarga Cho itu tertawa
memamerkan gusinya yang masih begitu lapang.
Bahasa tubuhnya mendekat, berusaha menyuarakan keinginannya untuk
segera berada digendongan Eunso. Kyuhyun... dadanya naik turun, napasnya
menjadi sempit, ia tidak bisa memungkiri, bahwa kenyataan Hyunno –buah
hatinya— selalu saja bisa mengalihkan dunia Eunso adalah hal yang pasti. Bayi itu
selalu bisa membuat poros fokus wanitanya berpindah begitu saja darinya tanpa
bisa ia tahan.

341
342

Acuh dengan ekspresinya yang sudah seperti atom meledak, Hyunno terus
saja mengeluarkan berbagai macam ekspresi hingga membuat Eunso jatuh semakin
dalam pada pesona yang ia pancarkan. Well... hatinya juga terpesona but... apapun
itu ia harus mengenyahkan perasaannya yang sudah hampir meleleh. Pria itu benci
saat dimana keduanya mulai menghiraukan dirinya seperti ini. Ini mungkin konyol.
Kenyataan jika dirimu justru cemburu terhadap anakmu sendiri itu memang kondisi
yang tidak masuk di akal. Well... tapi itu juga alamiah, bagi Kyuhyun.
Entah dengan alasan apapun, suasana yang seharusnya terasa menyangkan
baginya, berubah menjadi mendung merundung. Ini mungkin efek besar atas puber
keduanya yang semakin melejit hingga moodnya benar-benar naik turun. Tapi,
untungnya itupun juga tidak berlarut-larut lamanya.
Bibirnya tiba-tiba tersenyum, menggantikan raut musam yang terpatri di
wajah tampannya sejak tadi. Tangan kanannya terasa hangat dan lembut karena
genggaman seseorang, dan ia tidak perlu melihat untuk memastikan tangan siapa
yang sedang menggenggamnya aman. Hangatnya genggaman Eunso menyalur cepat
kedalam hatinya. Bagi Eunso... ini mungkin merepotkan, but... ini adalah satu-
satunya cara untuk membuat Kyuhyun berhenti merajuk. Cara bagaimana membuat
kedua cintanya tetap mendapatkan perhatiannya tanpa terkecuali.
“Hyunno-ya... kau tidak akan pernah menang dari appa” sahut Kyuhyun
kekanakan seraya mengangkat tautan tangannya tinggi ke hadapan bayi yang
bahkan untuk membedakan sendok dan garpu saja belum bisa.
Eunso menghembus napas kasar sembari memutar bola matanya jengah.
“Kenapa selalu ingin bersaing dengan Hyunno eo?”
“Tentu saja, dia selalu saja bisa membuatmu hilang fokus. Dan well... kalau
aku boleh jujur, itu adalah hal yang tidak kusukai” aku Kyuhyun dengan nada
merajuk.

342
343

“Tapi jika oppa lupa, Hyunno itu darah dagingmu. Tidak ada perebutan sengit
antara ayah dan anak” sahut Eunso, meremas tangan Kyuhyun yang berada dalam
genggamannya. Matanya memutar malas, mendengar nada permusuhan yang
keluar dari bibirnya.
“Teknisnya begitu. Tapi sayang... kau juga harus tahu, aku dan Hyunno
memiliki gender yang sama. Jadi kurasa... harga diriku akan jatuh jika aku harus
kalah dalam mendapatkan perhatianmu” jawab Kyuhyun.
“Well... jika seperti itu teknisnya. Daripada mengurusi anak kecil seperti
oppa, Eunso lebih memilih Hyunno untuk apapun. Yakan sayang” jawab Eunso acuh.
Secara teknis pula, setiap kata yang keluar dari mulut Eunso memang tidak ada yang
salah.
“Serius kau mengataiku anak kecil Eunso-ya?”
“Ya. Memangnya kenapa?” tuntut Eunso. “Dengan sikap oppa yang seperti
ini, bukankah itu sudah cukup menandakan bahwa oppa memanglah masih kekanak-
kanakan?”
“Jika aku memang kekanakan seperti apa yang dalam pikiranmu. Lalu...
bagaimana bisa aku yang masih kecil ini membuatmu merintih setiap malam?
Bagaimana bisa kau bisa merasa terpuaskan dengan milikku yang jantan eo? Dan
bahkan lalau kau ingin... aku bisa membuatmu merintih kembali. Mendesahkan
namaku bertubi-tubi tanpa henti” bisik Kyuhyun di telinga Eunso. Tangannya yang
masih berada dalam genggamannya ia gerakan untuk meraba sedikit miliknya yang
menyembul dari balik jaket yang ia kenakan.
“OPPA!!! Apa yang sedang kau bualkan eo?”
“Membicarakan kenyataan dan meluruskan opinimu yang tidak masuk akal”
“Tapi tidak dengan berkata kotor seperti itu di depan Hyunno!!” teriak Eunso
seraya menarik kembali tangannya jauh. Wajahnya memerah hebat, karena dua hal
tidak senonoh yang Kyuhyun lontarkan.

343
344

“Tidak apa-apa ya... Hyunno-yaa. Eommamu ini memang harus diberi


pelajaran” ucap Kyuhyun sembari menatap bayi delapan bulan itu dengan senyum
manis merekahnya.
Mata bulatnya menatap mata Kyuhyun, lalu bayi itupun tertawa lebar seolah
mengerti apa yang tengah Kyuhyun bicarakan. Bagaimanapun Eunso memilih, ikatan
antara ayah dan anak ini sangat kental ternyata. Mereka mungkin berselisih, tapi
ikatan batinnya lebih kuat.
“Hei... kau lihat? Kurasa Hyunno juga setuju dengan ucapanku. Jadi kenapa
eomma cantik ini tidak setuju? Dua lawan satu, dan itu berarti kau memang selalu
kalah jika harus berdebat denganku sayang”
“Benar-benar tidak masuk akal”
“Terlepas dari itu, intinya aku mendapatkan satu poin di sini. Kau kalah
berarti itu sama artinya dengan kepemimpinanmu di atas ranjang" ucap Kyuhyun.
“Tidak! Kau sendiri dan aku akan tidur di kamar Hyunno” ucapnya sembari
menjulurkan lidahnya ke arah Kyuhyun.
Gerakan Eunso justru ditangkap lain, pria meneguk ludahnya pelan karena
perasaan gairah yang muncul dengan tiba-tiba. Ia tak pernah berpikir jika akan
merasakan ereksi cepat dalam kondisi seperti ini. Namun, dorongan besar dalam
dirinya benar sangat mudah untuk dipantik dengan hal-hal yang bagi sebagaian
orang terlihat sangat sepele. Pertahanannya hancur hanya karena melihat lidah
Eunso yang menjulur.
“Tidak apa. Kita bisa melakukannya di samping Hyunno jika kau mau. Tapi...”
“OPPA!! Berhenti menggodaku seperti ini!” rengek Eunso merasa tidak tahan
dengan obrolan yang semakin mengarah ke hal-hal tidak senonoh. Dirinya harus
berhenti, apapun itu ia harus mengalah, akan berbahaya jika ini terus dilanjutkan.
Anak pertamanya harus steril. Ya bayinya harus bersih dari segala bentuk ucapan
Kyuhyun yang tidak senonoh!

344
345

“HAHAHAHHAHAHA”
Perasaan bungah menghiasi emosi Kyuhyun secara berlebih. Rasanya ada
molekul-molekul atom yang saling menderu seperti ini. Kyuhyun mengambil Hyunno
dalam gendongannya. Mengangkat tinggi-tinggi bayi itu seraya berkata, “Hyunno.
Ayo petik bunga untuk eomma yang sedang merajuk”
“Aku bukan gadis remaja yang akan luluh dengan hal-hal semacam ini”
“Tentu saja, kau wanita dewasa yang hanya luluh dengan pergulatanku di
ranjang”
Sekali lagi, Eunso harus menahan napas. Sekali lagi.
®®®
Malam menyerbu dengan cepat, menggantikan terangnya mentari dengan
rembulannya yang meneduhkan. Suara bising silih berganti dengan kesunyian yang
perlahan mulai mendominasi. Angin sepoi berubah menjadi lebih besar membawa
udara dingin yang menembus kulit. But... sedingin apapun itu, nyatanya tidak
mampu menembus benteng pertahanan rumah Kyuhyun. Rumah itu hangat dengan
kehadiran Eunso yang seperti bara di tengah tumpukan es. Jika kau berada dalam
jarak yang cukup, kau akan terhangatkan dan jika kau mendekatinya... kau akan
sangat terpanaskan.
“Eunso-ya, Hyunno sudah selesaikah?” tanya Kyuhyun seraya merebahkan
tubuhnya di samping Eunso yang membelakanginya.
“Belum...” jawab Eunso singkat dan pelan.
Tangannya menepuk pelan punggung Hyunno. Akhir-akhir ini bayinya itu
memang sukar tidur, entah karena cuaca yang kurang baik atau karena
pertumbuhan gigi serinya yang terkadang membuat bayi usia delapan bulan menjadi
kurang nyaman. Kyuhyun memandang bayi itu dengan tatapan iba, well...
seandainya saja ia bisa menggantikan setiap rasa sakit yang Hyunno rasakan. Tentu

345
346

saat ini juga ia siap untuk merasainya, menukarkan emosinya pada bayi itu hingga
merasa baik-baik saja.
“Hyunno... ini sudah malam, kenapa belum tidur juga hum?” bisik Kyuhyun.
Matanya menatap intens gerakan bibir Hyunno yang gencar menyusu pada
Eunso. Ludahnya ia telan dengan susah payah, hingga menimbulkan nyeri yang
berlebih, Matanya menghunus tajam seolah menyalurkan sebuah pesan.
Kyuhyun menghela napasanya pelan, lambat laun dirinya dipaksa paham.
Ternyata... berbagi hal yang paling disukai adalah sesuatu yang tidak mengenakan.
Rasanya sulit bahkan dengan anakknya sendiri. Matanya menatap wajah Hyunno
dengan seksama sembari menyentuh pipi Hyunno dengan gerakan yang dibuat-buat.
Well... dalam pandangannya. Ia yakin, anaknya ini pasti akan tumbuh menjadi pria
yang tampan, dan cenderung mempengaruhi. Ia bisa saja menjadi persis seperti
dirinya, jika saja tatapan teduh milik Eunso tidak melekat dalam diri Hyunno.
Tatapan itu memberi arti beda daripada miliknya yang cenderung tajam dan
menyeramkan.
“Jangan mengganggunya, oppa membuat Hyunno semakin terjaga” protes
Eunso berbanding terbalik dengan respon yang Hyunno berikan.
Ekspresi kantuk yang hinggap di wajah Hyunno menghilang seketika
digantikan dengan tatapan penuh minat yang ia tujukan pada Kyuhyun. Well... ia
menyesali tindakannya. Merutuki gerakannya barusan, korelasinya adalah jika
Hyunno lama tidur seperti ini, bukankah waktu yang ia gunakan untuk olahraga
bersama Eunso juga akan semakin singkat? Kyuhyun meringis. Tangannya perlahan
mundur, pergulatan hatinya dibuat kuat antara pesona Hyunno yang
menggemaskan atau potongan waktu yang Eunso berikan.
“Maafkan aku” bisiknya pelan.
Kyuhyun menarik napas pelan, memilih menutup mata berusaha
mengelabuhi Hyunno dengan aksi kepura-puraannya yang berujung kesia-siaan

346
347

belaka. Pun bahkan jika Eunso tidak membangunkan, pria itu akan berakhir sampai
esok hari.
“Oppa” bangunnya pelan. Tidak benar-benar membangunkan, setidaknya ia
sudah melakukan perintah pria itu di awal. Jika benar Kyuhyun tetap terjaga, itu
berarti ada begitu banyak malam yang akan ia lewatkan begitu saja.
“Sudah tidur hum?” ucap Eunso sedikit menggoyang lengan Kyuhyun yang
berada di pinggannya.
“Tentu saja belum” sambungnya “Penantianku akan sia-sia jika aku tertidur”
ucap Kyuhyun. Matanya menatap tajam Hyunno yang sudah terlelap. Senyum hebat
mengulas wajahnya kuat.
Kyuhyun... merasa tidak tahan dengan penantiannya, dengan segera menarik
Eunso lebih dekat, memberikan space antara Hyunno supaya tidak mengusik
duninya. Kyuhyun bangkit dan memposisikan tubuhnya di atas wanita itu. Bibirnya
turun menuju puncak dada Eunso yang masih basah karena kuluman Hyunno.
Menghisapnya kuat hingga bisa merasakan nikmatnya sampai ke tulang. Rasanya
memang menjadi sedikit aneh karena air liur Hyunno yang masih menempel, tapi itu
tetap nikmat, pikirnya.
“Oppa! Sudah kukatan berapa kali? Ini milik Hyunno, jadi... berhenti.
Mengalahlah pada anakmu”
Tangannya berusaha menarik jauh kepala Kyuhyun yang berada di dadanya.
“Well... aku sudah menikmati ini sejak lama, lalu... kenapa aku harus
mengalah dengan anak kemarin sore hum?” tanya Kyuhyun seduktif.
"... opp—pah”
“Se..setidaknya tung—gu Hyunno tertidur" jawab Eunso susah payah.
Nafasnya tercekat, dadanya bergemuruh hebat. Anakmu baru saja menyusu
dan sekarang justru ada sosok lain menggantikannya dengan gerakan yang begitu
kontras dari yang pertama.

347
348

“Eunso... Hyunno sudah tertidur, kau tidak lihat itu hum?” tanya Kyuhyun
tanpa harus menatap wajah Eunso yang kini sudah memerah karena rasa malu dan
amarah yang tengah ia rasakan. Wanita itu menatap jauh langit-langit kamar,
mencoba membaca situasi macam-macam seperti ini. Sekarang dirinya paham,
menikah dengan Kyuhyun, itu sama saja menyerahkan dirinya pada pria
menyebalkan dan mesum!
Tangan Kyuhyun merayap turun mencari lubang Eunso yang menggoda.
Gerakannya lembut, membuat objek kenakalannya merasakan sensasi kupu-kupu
terbang di area perutnya yang rata. “Oo—”
Jemarinya yang lihai menyusup di antara celah-celah celana dalam Eunso
yang ketat, dan menyentuhnya ketika menemukan pintu yang tepat. Bulu-bulunya
sedikit banyak beradu dengan telapak tangannya yang kasar. “Ah— op— pah”
desahnya semakin nyaring saat dirasa telunjuk Kyuhyun mulai masuk bersamaan
dengan jari tengahnya yang panjang.
“Ekspresimu ini... benar-benar membuatku panas Eunso-ya”
“Uh—”
“Aku mulai” ucap Kyuhyun mengaba-aba. Matanya menatap Hyunno dan
Eunso secara bergantian sebelum benar-benar menggerakan jarinya cepat. Lengan
kirinya mengangkat kepala Eunso untuk bersandar disana, mengulurkan ibu jarinya,
seraya berkata, “Hisap Eunso-ya”
Kepalanya bergerak menerima jemari Kyuhyun dengan pasrah. Bahkan ia
harus menghisapnya kuat untuk memberikan sensasi nikmat pada Kyuhyun. Dan jika
ia mampu berpikir, ini bukanlah hal yang mampu membuatnya tertegun untuk hal-
hal semacam ini.
Desahan Eunso tercekat hisapannya sendiri. Di bawah sana, Kyuhyun
bergerak cepat mengoyak kemaluan Eunso dengan jemarinya. Mengeluar masukan
benda itu dengan sekuat mungkin, mencari kerapatan Eunso yang tidak pernah

348
349

mengecewakan. Matanya beradu dengan mata Eunso yang sayu, pancaran gairah
yang ia tampakkan begitu membuatnya hilang akan untuk beberapa detik, “Sialan”
“Eun—so, nikmat” rintih Kyuhyun.
“Hisap terus sayang” erangnya sekali lagi. Pandangannya merabun
merasakan gairah berlebih yang tak kunjung memulih. Sejauh menikah dengan
Eunso, rasanya ini bukanlah hal yang patut dilakukan oleh seorang pria dewasa
sepertinya. Gairahnya tak pernah layu meski hampir ia rasai tak kenal waktu.
“Opp—”
“Ya... pegang juga Eunso ya. Seperti ini uh—” tangannya memberikan pola
gerakan lembut di bawah pusat tubuhnya yang membeku. Mata Eunso mengerjap
kaget, lebih kepada kengerian yang menggelayutnya hebat, well... ini adalah kali
pertamanya ia memegang ‘alat’ sakral milik Kyuhyun. Untuk ekspresi apapun, Eunso
berhak merasainya. Keras tegang, dan terasa lebih nyata ketika benda itu berada di
genggamannya sekarang.
“Euh...”
Eunso menengadah, mencoba memperhatikan bagaimana pria itu menjadi
begitu berbeda dari biasanya. Matanya terpejam, bibirnya terbuka untuk beberapa
detik dan kembali menutup setelahnya. “Eunso, lebih cepat”
“Eo... seperti ini?”
“Ya... OH” pekik Kyuhyun keras. Matanya menilik Hyunno dan mendesah lega
sesudahnya. Daerahnya berkedut hebat merasa dilepaskan dengan sesuatu yang
baru. “Jika kutahu tanganmu senikmat ini, sejak dulu sudah kurasakan jalan keluar
saat tamu bulanmu datang”
“Maksud oppa?”
“Tidak perlu memikirkannya lebih jauh. Mau disini atau di kamar kita hum?”
tanyanya.
“Ka-mar kita oppa” jawab Eunso terbata-bata.

349
350

“Tidak disini?”
“Tii— dak. Opp—ah”
Kyuhyun tersenyum sendiri seraya memandangi wajah cantik Eunso yang
terangsang. Ia menarik lepas jemarinya dan menjilatinya hingga tak tersisa lalu
bangkit dan berdiri mengitari kasur, membiarkan Eunso sebentar meresapi
perbuatannya barusan. Tangannya menarik selimut menutupi Hyunno,
mengecupnya lembut, seraya berkata “Appa... pinjam eomma sebentar”
Malam ini ia akan kembali memasuki wanitanya, akan kembali menaburkan
benih yang kuat juga. Bagaimanapun itu, malam masih begitu panjang yang pasti
janjinya akan ada hal baru yang akan ia rasakan.
®®®
Deru nafasnya mulai memburu, bibirnya membentuk seringai nakal saat
manik retinanya melihat Eunso tengah berusaha keras menarik nafas dalam-dalam
untuk mendapatkan pasukan udara yang telah menipis. Sejak keduanya bangun,
Kyuhyun segera mengangkat Eunso ke dalam gendongannya dan membawa wanita
itu masuk ke dalam kamar mandi. Dan disanalah, mereka, saling menghimpit satu
sama lain di antara dinding-dinding kaca yang lembab. Menyalurkan panas yang
berlebih hingga membuatnya saling beruap.
“Pegangan yang erat, aku tidak ingin kau terjatuh”
“Susah”
“Pegang pundaku sayang... aku akan masuk dengan kuat dan cepat" ucap
Kyuhyun seraya membenarkan pegangan Eunso di bahunya. Nyawanya belum
sepenuhnya terkumpul tapi tubuhnya sudah dibabat habis-habisan.
Kyuhyun, perlahan kejantanannya mulai masuk, menembus lubang kecil milik
Eunso yang masih terasa sempit meski wanita ini sudah berulang kali dibobolnya
dengan gairah yang kuat, dengan gerakan yang cepat.
“Ah—oh”

350
351

Eunso mendesah pelan saat dirasa milik Kyuhyun semakin dalam memasuki
miliknya. Perasaan canggung melingkupinya meski Kyuhyun sudah berkali-kali
memasukkannya dengan gaya seperti ini. Eunso menggigit bibir bawahnya kuat,
berusaha melampiaskan kenikmatan luar biasa yang tengah melanda dirinya dengan
sebegitu hebatnya. Kyuhyun meremas dan memainkan payudaranya yang sudah
membesar dengan lihai. Tidak membiarkan kedua benda itu hanya menjadi
pemandangan indah belaka.
“Jangan... diremas op—pah... milik Hyunno” protesnya yang justru membuat
remasan itu semakin kuat. Pria itu sama sekali tidak mengindakahkan segala bentuk
protesnya. Yang ia tahu hanyalah, di saat seperti ini... tubuh Eunso adalah mutlak
miliknya tanpa terkecuali.
Tangan Kyuhyun terulur meraih putaran shower yang berada tak jauh dari
tempatnya berdiri. Hingga air hangat mulai membasahi keduanya. Memabukkan,
itulah yang Kyuhyun rasakan. Tangannya memeluk erat tubuh Eunso, menariknya
supaya lebih menempel dengan tubuh atletisnya. Satu tangannya ia gunakan untuk
meremas pantat sintal yang Eunso miliki.
“Kenapa dinyala-kan...”
“Bukankan ini menyenangkan?”
“Tapi rasanya begitu aneh. Jik...jika harus se-perti inih..." ucap Eunso payah.
Sudah bukan menjadi rahasia lagi baginya, bahwa pergumulan yang ia
lakukan tidak hanya dihiasi dengan desahan-desahan hebat milik Eunso. Kegiatan itu
ditunggangi dengat kicauan yang membuyarkan. Dan akan sangat mengganggu
nantinya jika ia terus saja meladeninya.
“Du..duuk”
Kyuhyun menghiraukan permintaan Eunso.
Pria itu memilih fokus pada gerakan miliknya yang keluar masuk dalam
lubang wanita itu. Desahan dan erangan erotis yang Eunso keluarkan sungguh

351
352

membuat hatinya senang, hingga mampu meningkatkan gairahnya. Tubuh Eunso


semakin menggeliat tak karuan disela-sela gerakan Kyuhyun yang semakin
membuatnya mabuk dan mungkin... ketagihan. Desahan Kyuhyun tak kalah
menyahut seperti tak ingin kalah satu sama lain. Bercinta di bawah guyuran air
seperti ini benar-benar memuaskan. Dan... ini harus mencobanya lagi esok hari.
“Eunso, pegangan. Oppa bilang pegangan” ingat Kyuhyun ketika Eunso mulai
lupa diri hingga membuatnya pasrah begitu saja. Ia terlena, akan kenikmatan yang
sedang pria itu berikan padanya. Keduanya berpelukan dalam diam saat mencapai
pelepasan mereka yang pertama. Merasakan betapa hangat cairan yang keduanya
keluarkan. Kyuhyun menatap Eunso dengan perasaan bahagia. Mengecupi wajah
Eunso karena saking bahagianya.
“Aku mencintaimu Eunso” ucap Kyuhyun.
“Eunso ingin dudu...k”
“Lagi?”
“Tidak”
“Lalu kenapa meminta duduk?”
“Lelah”
®®®
Sore hari cuaca senja dan sejuk, benar-benar sempurna. Kyuhyun tidak
memiliki alasan untuk tidak menikmati itu bersama keluarga kecilnya di space
belakang rumahnya. Angin sepoi hangat menerpa kulit leher dan wajahnya yang
telanjang. Jantungnya berdetak cepat, berhenti, lalu berdebar lagi dua kali lebih
cepat. Ia tidak bisa memikirkan hal lain, selain menakjubkannya hidup yang tengah
ia jalani. Matanya menatap Eunso, ekspresinya berubah-ubah mengikuti bayi mungil
kesayangan marga Cho. Ia ingin sekali mencondongkan tubuh, tapi yang bisa pria itu
lakukan hanya memegangi leher. Hatinya terus mengingatkan dirinya bahwa ia
nyaris saja gila akan pesonanya yang mematikan.

352
353

Angin sepoi-sepoi tampak menerpa wajahnya, membuat helaian demi


helaian rambut Eunso mulai menari indah.
“Kau melakukannya lagi” bisik Kyuhyun pada akhirnya.
Mata Eunso membelakak terkejut, “Apa?”
“Membuatku terpesona,” aku Kyuhyun, mencoba berkonsetrasi untuk
menatap Eunso lagi.
“Oh” desah Eunso singkat, tidak ingin melanjutkan pembicaraan ini lebih
jauh. Wanita itu berusaha berpikir jernih, tak peduli seperti apa Kyuhyun
merayunya, dan mencari cara untuk mengusiknya... dirinya tetap tidak boleh kalah
untuk hal-hal semacam ini.
Kyuhyun memandangi tangannya, mengaitkan jemarinya sendiri lalu
tersenyum. Rayuannya... seperti tertinggal zaman karena berhasil diabaikan. Well...
itu adalah kesimpulan terbaik dari sensasi sedih yang telah ditimbulkan oleh reaksi
Eunso.
“Hyu—” panggilnya terpotong oleh sesuatu yang memekikkan.
Alisnya mengerut marah sesaat, lalu mencoba santai lagi saat tatapan Eunso
menghunus ulu hatinya keras.
“Hyuuung!" teriak Henry. Tangan kanannya membawa selembar kertas dan
menjungjungnya tinggi-tinggi. Kyuhyun berdecak sebal. Tiba-tiba suasana hatinya
yang tidak bisa ditebak berubah menjadi ekspresi sengit dan menyeramkan muncul
di wajahnya. Baginya... kedatangan pria bermarga Lau ini benar-benar tidak ada
keuntungannya sama sekali. Tingkahnya yang diluar batas normal membuat sisi
rasionalitas Kyuhyun bekerja lebih cepat mengenai cara menyingkirkan pria itu
sejauh mungkin. Well... asal dia tidak pernah mendapat perlindungan Eunso...
siasatnya akan selalu berhasil.
“Henry oppa” sahut Eunso senang.
“Hallooo”

353
354

Baru saja dirinya ingin berdiri, sepasang tangan Kyuhyun segera menahannya
untuk tetap duduk tepat di samping pria itu. Wanita itu tampak was-was sekaligus
bingung, benaknya berpikiran kotor, “Biarkan ia yang kemari, Eunso”
“Eunso... hyung! Ya Tuhan. Aku benar merindukan kalian”
"Kami juga merindukan kalian. Bagaimana kabar oppa?" sahut Eunso
mencoba seantusias mungkin.
“Baik. Sangat baik setelah bertemu denganmu”
Kyuhyun memutar bola matanya jengah. Dirinya tidak bisa membantah, baik
tatapan maupun maksud hatinya, emosinya selalu meledak-ledak. Bahkan jika ia
bisa, sudah dari awal ia ingin menghabisi seluruh marga yang melekat padanya. Itu
jika hatinya memang benar-benar merasa yakin bahwa kebencian memang telah
merasukinya.
“Henry”
"I’m just kidding!”
“Well, terlepas dari kenyataannya, aku tetap tidak suka jika mulutmu merayu
Eunsoku” mata Henry mengerjap, terperanjat. “Aku tidak percaya...” gumamnya
pada dirinya sendiri.
“Hei... tidak baik bertengkar di depan Hyunno” tengah Eunso.
“Tidak tahu itu hyung, aku kan hanya menyapamu saja” belanya. Kyuhyun
memandang sekeliling, memastikan tak ada sesuatu barang yang bisa ia lemparkan
ke wajah tak berdosa ini.
“Sudah...” tengah Eunso sekali lagi. Matanya memandang Kyuhyun dengan
sedikit kedipan penuh makna, mencoba menyampaikan pesan tersirat berbahaya
melalui matanya. Well... entah apa maksudnya. Tindakan itu justru ampuh untuk
membuat Kyuhyun mengerut takut. “Well... ngomong-ngomong apa yang ada di
tanganmu itu oppa?”
“Ooo... hayo coba tebak” jahilnya.

354
355

“Tidak perlu banyak cakap, cepat katakan” ucap Kyuhyun kembali arogan.
“Eee... jangan terburu-buru. Kalau kau bisa, kenapa tidak coba untuk
menebak lebih dulu”
Eunso menggeleng pelan, enggan mencampuri lebih jauh urusan pria dewasa
di depannya ini. wanita itu memilih untuk beradu pandang dengan mata manik
Hyunno yang menenangkan seraya berkata pelan, “Meski darahnya menyatu kuat
denganmu, jangan tiru appa dan samchonmu yaa”
“Henry... aku sudah bersabar akan kedatanganmu ini, jadi kurasa ada baiknya
jika kau tidak membuatku benar ingin mencincangmu”
“OKE! Jika maumu seperti itu” diam lalu kembali melanjutkan.
“Tadaaa!!! Lihat ini baik-baik! Aku membawa dua tiket penerbangan ke
Tokyo” ucap Henry. Henry menatap seolah ada sesuatu yang harus keduanya
lakukan dengan apa yang ada di tangannya ini.
“Lalu?” ernyit Kyuhyun.
“Tentu saja untuk keberangkatanmu ke Tokyo hyung!”
“Untuk apa?”
“Ya Tuhan, serius kau menanyakan hal itu kepadaku?” ucap Henry mulai
mendramatis keadaan.
Suaranya menggelegar persis seperti kilatan petir yang menyala-nyala. Mata
Eunso mendelik, melirik ke arah Kyuhyun mencoba meminta pertanggung jawaban
atas apa yang baru saja ia lakukan. Jika dibiarkan seperti inipun tidak akan baik
untuk kesehatan telinganya. Matanya menatap Kyuhyun dengan tatapan –kau tidak
akan mendapatkanku malam ini—
“Ya ya. Maafkan aku”
“Kumaafkan”
“Jadi apa?”
“Eomma ulang tahun, jadi kuwajibkan kau harus datang bersamaku”

355
356

“Well... kurasa kau harus menyimpan kembali harapanmu dalam-dalam. Aku


pria gila kerja jika kau ingin tahu”
"Gila kerja apanya! Seharian ini saja kau mangkir dari rapat penting dari
perusahaan Lee. Tidak ada alasan apapun hyung! Apapun yang terjadi kau harus
tetap datang. Lagipula aku juga sudah membelikan tiket untuk kalian berdua.
Tidakkah kau lihat uangku yang terbakar percuma jika mengabaikanku eo?”
“Aku bisa menggantinya sepuluh kali lipat jika kau mau”
“Ya Tuhan, hyung! Bukan seperti itu maksudku! Eunso... bujuklah suamimu
ini, kumohon”
“Tidak”
“Oke... Kita akan kesana" jawab Eunso dan Kyuhyun bersamaan.
Kyuhyun menggeleng sedih seraya berkata, “Eunso...”
“Benarkah?”
Henry menggeleng tak percaya, tapi kemudian senyum lebar kemenangan
menghiasi wajahnya. Tak ada yang lebih menyenangkan daripada melihat bentuk
takluk dan tunduk yang Kyuhyun pancarkan di hadapan Eunso.
“Tentu saja. Itu bukan masalah” Ia terdengar yakin. Tahu Kyuhyun akan
memprotes, Eunso segera menyela pertanyaan sambungan di belakang. “Sudah
sepantasnya”
“Tapi kau belum mendapat izin dariku Eunso”
“Selama kata ‘kita’ dilibatkan, Eunso tak peduli dengan yang lainnya”
“Eunso-ya... kau memang benar malaikat penolongku”
“Jangan sungkan, aku dan oppa pasti akan datang. Dia hanya ingin
menjahilimu saja, tidak lebih”
Dengan perasaan senang, Henry mengamati wajah Kyuhyun sementara
menyiapkan beberapa kata untuk kembali diucapkan. Kyuhyun menahan napas dan

356
357

ia tersenyum mencemooh. “Well, karena aku sudah mendapat izinmu. Aku benar-
benar menanti kedatangan kalian” ucap Henry.
“Tentu saja”
“Kalau begitu, aku pergi dulu ya! Hyejin sudah menungguku dirumah” ujar
Henry, menciptakan daerah jangkauan sejauh mungkin. Sepeninggalannya,
kesunyian menyesapi di antara Eunso dan Kyuhyun, tidak membuat canggung tetapi
terlihat aneh saat kehangatan yang tercipta berubah menjadi kehengingan belaka.
“Aku tetap tidak ingin pergi”
“Eunso bisa pergi bersama Henry oppa, jika oppa memang benar-benar
sibuk”
“Sayang... aku tidak pergi itu berarti kau juga akan tetap tinggal bersamaku”
“Oppa...”
Ia mengulurkan tangan, ragu-ragu, matanya sarat pergumulun, dan dengan
lembut ia membelai pipi Kyuhyun dengan ujung jemarinya. Kulitnya hangat seperti
biasanya menyalurkan panas pada Kyuhyun yang dingin. “Eunso tahu... penolakan
yang oppa berikan semata-mata terbangun karena rasa khawatir yang oppa ciptakan
untukku dan Hyunno. Well... aku menghargai itu dan berucap ribuan terimakasih.
Tapi... memilih untuk tinggal di saat saudarimu menginginkan kedatanganmu juga
bukan hal yang pantas untuk dilakukan”
“Jika itu membahayakanmu, hubungan darahpun sudah tak lagi berarti
untukku” sangkalnya tetap. Entah firasatnya mencoba menguarkan bahwa, Eunso
mungkin tidak baik-baik saja sesampainya di sana.
“Aku dan Hyunno akan baik-baik saja karena dirimu. Oppa tidak akan pernah
membiarkan kami terluka barang sedikitpun dan itu adalah kesimpulan yang selalu
aku tanamkan”
Kyuhyun diam, mempertimbangkan, dan memutuskan barangkali itu tawaran
terabik yang mampu Eunso janjikan padanya. “Setuju” sahutnya.

357
358

®®®
Ketika dirinya mendarat, suhu kota Tokyo 23 derjat Celcius, langit cerah biru
tanpa awan. Makan waktu satu jam untuk terbang dari Seoul ke Tokyo. Senyum
Eunso merekah saat seluruh bagian tubuhnya merasai kehadiran jiwanya di sana.
Bibirnya tersungging sama lebarnya dengan bibir Hyunno yang berada dalam
rengkuhannya. Bahu kanannya di apit oleh rangkulan Kyuhyun erat seraya
menuntun jalannya beriringan menuju pintu keluar. Situasinya yang ramai tidak
lantas membuat wanita itu merasa berdesak-desakan dengan yang lain.
“Hyunno... sebentar lagi kita akan bertemu dengan grandma. Eomma yakin
kau pasti akan sangat senang nanti” ucap Eunso.
Perasaan senangnya tulus, ketika mengucapkan kata demi katanya. Eunso
menoleh ke arah kanan sesekali ke kiri bergantian memperhatikan setiap orang
berlalu lalang disana. Secara keseluruhan pemandangan di sini tidak jauh berbeda
dengan apa yang biasa ia lihat di Seoul, hanya saja karena ini adalah kali pertamanya
kesini, perasaan takjub menyelimuti hatinya dengan cepat. Seolah hal yang Ia
saksikan tidak pernah ia lihat sebelumnya di Seoul.
“Lelah?”
“Tidak, sama sekali tidak”
“Benarkah?”
“Iya. Sangat kuat bahkan Eunso masih bisa berlarian kesana kemari”
“Jika melayaniku di atas ranjang setelah ini... apakah masih kuat?”
“Tidak mau menjawab”
“Kuputuskan itu adalah bentuk dari persetujuanmu”
“Oo... ngomong-ngomong oppa, Henry oppa dan Hyejin?” tanya Eunso.
“Pesawatnya baru saja take-off. Tidak perlu mengkhawatirkan mereka” ucap
Kyuhyun.

358
359

Bibirnya mengulas senyum penuh arti. Baru saja ia menggunakan


penerbangan pribadi tanpa sepengetahuan Henry. Meninggalkan pria itu dengan
segudang kebingungan yang ia jamin sedang menyelimutinya. Membuang jauh dua
lembar tiket yang telah pria itu berikan sebagai ucapan terimakasih yang terkesan
tidak tulus. Tangannya menggeser layar ponsel, membuka beberapa notif dari balik
kacamata hitamnya yang lebar, lalu tercengang karena harus melihat ratusan pesan
yang Henry kirimkan padanya.
Senyumnya tertarik ke atas, menangkap satu kalimat yang dirasa cukup
menggelikan baginya.
HYUUNGG!! AKU AKAN BALAS DENDAM PADAMU!!!
“Wae?” tanya Eunso lebih kepada penasaran.
“Pesawatnya mengalami masalah teknis, jadi ia meminta kita untuk jalan
lebih dulu”
“Benarkah?”
“Ya Eunso”
Beberapa orang sudah menunggu di depan limosin panjang. Yang inipun
tidak pernah ada dalam dugaan Eunso. Eunso melihatnya sebagai pertanda –ini
adalah bentuk arak-arakan yang Kyuhyun berikan padanya—
“Mobilnya sudah siap tuan”
Kyuhyun memapah Eunso masuk dan duduk tepat di sampingnya. Bagian
dalam mobil lebih tidak dapat di prediksi oleh pikiran Eunso. Awalnya ia mengira
bahwa sesampainya di Tokyo, dirinya akan lepas dari perlakuan lebih yang Kyuhyun
berikan. Pikirannya mendominasi bagiamana ia bisa kembali merasakan mencari
angkutan umum atau apa. Well…, harapannya sirna dan satu hal yang ia sulit terima.
Dimanapun tempatnya, ia akan selalu berada dalam pengawasan anak buah Cho
Kyuhyun.

359
360

"Well... ini perjanjiannya Eunso. Kau ingin ke Tokyo. Akupun bebas


melakukan apapun untuk menjaga kau tetap aman”
“Alih-alih membuatku tetap aman, ini lebih terlihat seperti kau sedang
membuang-buang uang”
"Membuang-buang uang bagaimana?”
“Ya ini. Menyiapkan semua ini juga butuh uang”
“Sayang, jika kau lupa. Cho Kyuhyun ini pemilik semuanya, jadi kurasa tidak
ada gunanya jika kau harus mengkhawatirkan hal-hal sepele seperti ini” ucap
Kyuhyun.
“Tapi... Eunso berterimakasih untuk itu”
“Kau tahu jelas bagaimana cara berterimakasih padaku”
Eunso menatap ke samping jalan mencoba menghindari ucapan Kyuhyun
dengan mengamati sesuatu yang baru. Matanya menangkap pepohonan dengan
batang-batang tertutup lumut, kanopi di antara cabang-cabangnya, tanahnya yang
tertutup daun yang berguguran. Bahkan udaranya nayris bisa tersaring di anvara
dedaunannya yang hijau. Tentu saja pemandangan indah, dan ia tidak bisa
menyangkalnya.
“Hum... kenapa sayang? Lapar ya?" tanya Eunso merasakan sesuatu
mengusik bagian tubuh depannya. “Oppa... Hyunno akan menyusu”
“Lalu?”
“Tidak apakah jika Eunso membukanya? Rasanya benar tidak nyaman jika
ada orang selain oppa di sini”
“Well... aku tersanjung. Tapi demi apapun, Ya Tuhan, sayangku. Pun kalau
kita bercinta di sini tidak akan ada orang yang bisa melihat kita”
“Benarkah?”
“Ya aku jamin itu” jawab Kyuhyun.Eunso diam memilih untuk membuka dua
kancing atas kemejanya. Tangannya dengan lihai mengeluarkan satu gundukan

360
361

berisikan ASI penuh, lalu menyodorkannya pada Hyunno. “Pelan-pelan, tidak akan
ada yang merebutnya dari Hyunno” bisik Eunso.
“Well... aku bisa saja”
“Dan aku juga tak akan membiarkan”
“Tapi sungguh Eunso, aku bisa merasai yang satunya sekarang”
“Dalam mimpimu saja tuan Cho!”
®®®
Bising terdengar seruan-seruan penuh kebahagiaan mewarnai ruang tamu
kediaman rumah keluarga Lau. Warna cat hitam putuh yang mendominasi ruangan
tersebut tidak lantas membuat obrolan mereka menjadi kaku. Well... karena
sejatinya obrolan wanita tidak akan pernah terbatas pada hal-hal sepele apalagi
pada urusan warna cat. Di sana, Eunso, Eunbi, Hyejin serta Ny. Lau yang tak ingin
kalah, turut andil dalam percakapan yang begitu mengasikkan versi mereka. Raut
dan nada bahagia tidak terlepas, seakan tak mampu membendung rasa bahagia saat
Eunso membawa seorang bayi yang begitu tampan.
“Eunbi-ya, lihatlah. Bukankah ia telihat begitu tampan seperti Kyuhyun?”
tanya bibi Lau tak mampu menutupi rasa terkejutnya. Wanita itu bahkan sesekali
melihat Kyuhyun dan Hyunno yang ada dalam pangkuannya secara bergantian.
Berusaha menemukan satu titik mendasar yang membedakan keduanya. Tapi... ia
selalu gagal.
Eunbi mengangguk keras tanpa bisa berkata lebih. “Hyunno kita memang
sangat tampan. Tapi kurasa ia lebih tampan daripada Kyuhyun oppa. Benarkan
eonni?” ucap Hyejin tak mau kalah.
“Ya... Hyejin-a! Anak kita pasti akan lebih tampan dari Hyunno! Tidak perlu
memujinya berlebih” timpal Henry dari arah dapur.
“Tentu. Tentu saja. Anakku nanti akan menjadi yang paling tampan dari
siapapun. Bahkan lebih tampan dari appanya sendiri” ucap Hyejin mengundang

361
362

gelak tawa semua orang. Sikap bar-bar yang menonjol pada dirinya seakan
membuat setara pada apa yang ada dalam diri Henry.
Sungguh tak membutuhkan waktu yang lama bagi Hyunno untuk menjadi
sosok yang begitu disayang. Terlebih ia adalah cucu pertama bagi keluarga Lau.
Kehadirannya seoalah membawa kebahagiaan yang menelusup ke dalam hati setiap
orang. Eunso tertawa pelan saat bayinya itu tertawa lebar karena candaan yang Ny.
Lau berikan. Dugaannya benar, Hyunno anaknya akan merasakan bahagia berlebih di
sini, terlepas dari bagaimana perasaan bayi besar satunya. Semuanya merasa
senang, seolah tidak ada kata lain yang menggambarkan perasaan hangat yang
menyelimuti ruang minimalis itu.
But... jika harus di telisik lebih jauh, di tengah-tengah bahagia yang
membuncah, ekspresi lain justru Kyuhyun tampilkan. Tidak ada senyum yang
mengembang sedikitpun dalam wajahnya, pun jika ada yang bertanya dirinya hanya
akan menjawab dengan singkat tanpa ingin menanggapi lebih jauh. Mata elangnya
fokus, memandang wajah Eunso tanpa harus membohongi diri sendiri. Ia pucat,
bahkan matanya sesekali tidak fokus. Well... orang lain mungkin tidak menyadari,
tapi pria itu. Tentu tidak akan salah mengenali miliknya yang begitu berharga.
“Halmoni, Eunso pergi ke kamar mandi sebentar” ucap Eunso.
“Oo” sahut Ny. Lee
Eunso membuat gerakan senormal mungkin, dan segera berlari secepatnya
ketika mencapai bilik terdekat. Perutnya tiba-tiba bergejolak hebat hingga
membuatnya merasakan mual yang sangat luar biasa parah. Melihat gelagat Eunso,
tanpa membuat Kyuhyun berpikir lebih lama, langkah kakinya beradu pasti
mengikuti Eunso tanpa harus merasa canggung karena terlihat terang-terangan
membuntuti wanita bermarga Song itu. Instingnya tak pernah salah, bahwa sesuatu
pasti telah terjadi.
Hoek... hoekk...

362
363

Gerakan langkahnya semakin cepat, bahkan ia mungkin bisa berlari. Sesuatu


yang menyakitkan pasti ada dan itu bisa saja karena efek penerbangannya yang
kurang nyaman.
“Sayang... kenapa? Sakit?”
Eunso diam, tidak menjawab.
Kyuhyun mengelus pelan tengkuk Eunso. Membantu wanita itu untuk
memuntahkan isi perutnya. Bahunya naik turun menahan emosi berlipat yang ia
rasakan. Well... dengan keadaan Eunso, inilah alasan kenapa dirinya tidak akan
pernah setuju jika harus melakukan perjalanan jauh. Ia memandang pantulan wajah
pucat Eunso di cermin dan meradang kemudian saat menatap temu.
“Perutmu merasa tidak nyaman?”
“Tidak apa-apa, Eunso baik-baik saja” ucap Eunso seraya mencoba
tersenyum.
Ucapan baik-baik saja yang ia suarkan nyatanya terpatahkan karena gejolak
yang kembali keluar. Cairan bening pekat kembali menyuar membekas di antara
sudut-sudut bibirnya. Tanpa segan, tangannya terulur membasuh bekas muntahan
di sekitar mulut Eunso dengan hati-hati. Firasatnya tak pernah salah, kenyataan jika
Eunso tidak baik-baik saja itu memang benar adanya. Pikirannya berkutat keras
memikirkan sebab hal apa yang membuat Eunso menjadi tidak seberdaya ini.
“Kau sedang tidak baik-baik saja Cho Eunso!” tegas Kyuhyun.
Tubuh Eunso lemah, karena terus mengeluarkan cairan dalam tubuhnya.
Bibirnya sudah tak sanggup untuk mendebat Kyuhyun. Peluh-peluh kecil menghiasi
wajahnya yang semakin pucat.
“Opp...pa”
“Katakan apa yang kau rasakan”
“Sakit, tapi tidak mau berhenti”
“Tidak apa-apa, keluarkan, oppa akan membantumu di sini” ucapnya.

363
364

“Sayang...” kepanikan melanda hatinya cepat, tapi ia juga tidak ingin


bertindak gegabah. Eunso jatuh lunglai dalam dadanya yang keras. Matanya
melebur remang-remang sampai pada akhirnya membuat wanita itu tidak sadarkan
diri. Kyuhyun... dengan cekatan membawa Eunso ke dalam kamar tanpa harus
repot-repot memberi peringatan pada yang lainnya. Urusannya hanya dengan Eunso
dan seseorang yang akan datang sebentar lagi. Jemarinya cepat mendial Jaehyun,
dokter pribadi yang sengaja ia bawa.
“Alamat sebelumnya, kuharap lima menit kau sudah sampai”
“Baik”
Dalam perjalanannya, entah apa yang terjadi di luar, Kyuhyun tak akan
pernah mau peduli untuk hal-hal yang tidak berada dalam sangkut pautnya. Yang ia
tahu, bagaimanapun itu, seseorang harus tiba sesuai apa yang diperintahkan. Itu
konsekuensinya. Karena dengan kau mendapat gaji dengan lipatan yang tidak
pernah kau bayangkan, maka kau juga harus siap apapun yang Kyuhyun butuhkan.
Jadi, dengan ada banyak semacam Jaehyun yang berada dalam naungannya.
Jongmun, Janhyuk, dan sebagainya... tentu kekayaan seorang Kyuhyun bukanlah hal
yang mampu untuk dipermainkan.
®®®
“YA TUHAAN!! KYUHYUN!! EUNSO HAMIL LAGI?”
"Entah apa yang ada dipikiranmu Cho. Bahkan Hyunno saja belum genap satu
tahun dan benihmu sudah kembali bersarang?”
Well... seperti itulah kehebatan Kyuhyun.

364
365

EPILOG
Eunso side

Aku bangun lebih cepat dari biasanya aku tersadar, semalaman tidurku
benar-benar nyenyak tanpa kegiatan rutin yang selalu menderaku. Ekor mataku
menatap ke arah Kyuhyun, memastikan bahwa pria itu masih benar beradu dengan
alam bawah sadarnya. Well... ini kenyataan yang cukup menyenangkan, karena
setidaknya dengan itu, waktu tidak banyak terbuang untukku dimandikan Kyuhyun.
Dengan merayap, aku mendekati jendela dan mengintip keluar. Satu kesimpulan
menggerayangi pola pikirku cepat, kurasa... ini adalah pagi sempurna, dari
kesempurnaan yang selalu ia tunjukkan padaku.
Desir angin pagi mulai pudar, berbagi tempat dengan sinar matahari yang
mulai menyembul di balik awan. Aku membiarkan jendela-jendela tetap tertutup,
bukan bermaksud menyalahi hasil simpulanku. Kyuhyun... biarlah tetap beradu
tanpa perlu diganggu. Sejenak, kutatap ia yang tertidur di sampingku, kemudian
bergegas turun dari tempat tidur tanpa menimbulkan hal yang mampu
menimbulkan dampak besar nantinya. Well... meski cukup beristirahat, hal itu tak
membuatku berhenti untuk tidak tergesa-gesa dalam rutinitas pagiku. Aku buru-
buru menyiapakan semuanya tanpa terkecuali. Membereskan rumah hingga tak ada
satu halpun yang dapat kulewatkan. Ini hari baik, dan sudah sepantasnya kejaiban
ini disambut dengan penuh cita.
Aku menyiapkan semua hal yang kemungkinan akan Kyuhyun dan anak-anak
butuhkan, tanpa benar-benar terlewat satupun. Sebisaku. Aku mengintip ke jendela
lagi, tapi tak ada yang berubah. Butuh waktu satu jam lamanya untuk memastikan
bahwa semuanya benar sudah selesai. Aku meluncur ke arah pintu dengan cepat,
tanpa ingin memikirkan hal lain. Bukan sekedar bahaya, bahkan neraka bisa saja
sedang menungguku. Alarmku jelas mengingatkan apapun kondisinya, bagimana

365
366

akhir alasan yang kubuat nantinya, aku harus sampai di sana sebelum Kyuhyun
bangun. Seandainya ini adalah kondisi yang ku inginkan, maka itu adalah keputusan
mutlak. Demi apapun, aku, Song Eunso, hanya ingin merasakan makna mandi yang
sebenarnya.
...Well
Kurasa takdir memang tak benar-benar selaras dengan anganku. Semua
kegelisahanku nyatanya terbayar kosong segera setelah aku melihat peringainya
yang terjaga. Bibirku terkulas canggung menyambut senyum khas pria berusia
empatpuluh dua tahun di hadapanku yang justru selalu terlihat menawan dan
menggetarkan hatiku. Well, Kyuhyun memang setua itu tapi aku masih tidak bisa
berpikir dengan jernih jika harus menatapnya lebih dari satu menit. Entah itu adalah
suatu bentuk dari kelemahanku atau sisi kelebihan yang ia miliki dalam
menjeremuskan wanita-wanita muda seusiaku. Yang jelas, aku tetap tidak bisa
menang.
"Selamat pagi sayang" ucapnya sambil tergelak.
Aku mendesah lega, ketakutan konyolku sudah tak lagi berarti. Rambut
cokelatnya sudah seperti tumpukan jerami, layak seperti orang bangun tidur pada
umumnya. Berantakan, tapi justru itu yang membuatnya terlihat lebih mempesona
lagi dan lagi untuk wanita seusiaku atau bahkan untuk gadis-gadis remaja diluaran
sana.
“Kenapa tidak membangunkanku?”
Aku berjalan mendekatinya dengan gerakan senormal mungkin sembari
memikirkan alasan tepat dari beberapa pilihan yang bisa menyelamatkanku. “Tidak
apa, kurasa oppa cukup kelelahan”
Butuh waktu dua menit lamanya untuknya merespon beberapa kata dustaku.
Dan dari sudut prespektifku yang lain, kurasa aku memang benar-benar kalah untuk
ini. Aku memilih enggan ambil pusing untuk gerakan alisnya yang mengerut seakan

366
367

tidak percaya atas alasanku yang terdengar tidak meyakinkan. “Baiklah, cium aku
kalau begitu”
“Eunso akan mandi” ucapku.
“Eo, itu lebih menyenangkan. Ayo” sahutnya cepat, bahkan tepat setelah aku
menyelesaikan kata demi katanya.
“Tapi kita hanya mandi” aku masih berusaha mengingatkan dan aku
mencoba berharap lebih bahwa ini benar-benar hanya mandi dengan definisi
membersihkan tubuh di bawah guyuran air.
“Iya, hanya mandi” ucapnya.
“Terdengar tidak meyakinkan”
“Aku berjanji, sayang”
Aku mendesah lega, setidaknya untuk tiga kata yang menjanjikanku.
Hanya mandi.
Well... seharusnya aku jauh lebih pintar untuk hal semcam ini, harusnya lagi
aku sudah sangat paham dengan dua kata paling tidak dapat kupercaya. Ungkapan
dua kata di atas nyatanya hanyalah sebuah bualan atau sekedar mitos yang ia
janjikan untuk menenangkanku. Mulutnya tidak seharusnya ku anggap serius,
karena sekarang... dia tak akan pernah melewatkan sedikitpun setiap inci dari
tubuhku. Aku menutup mata bosan saat merasakan tangannya menyabuni tubuh
bagian depanku dengan gerakan yang dibuat-buat, sesekali meremas sesuatu titik
lemahku. Dan... beberapa sudah kubilang, hanya mandi adalah kata-kata paling tak
bermakna dalam kamus hidupku. Bodohnya... aku justru selalu terjebak untuk
kesalahan yang sering kali kuperbuat.
“Ma-ndi oppa!” tegurku sedikit tersendat.
“Kita tidak sedang bergulat di area pertandingan, sayang. Jadi kenapa terus
merengek eo?” suaranya terdengar serak. Entah itu efek dari kebangun tidurannya
atau karena gairahnya yang sudah memuncak. Aku tidak bisa dan tidak cukup berani

367
368

untukku memutuskan, meski paham akan apa yang selanjutnya dilakukan, kunci dari
semua ini adalah kegiatan setelah ini. Kita akan benar-benar mandi atau hanya
sekedar mandi.
“Oh” desahku sesaat merasakan sesuatu mulai memasukiku dari arah
belakang. Sesak dan ...
Kurasa aku tak perlu melihat untuk memastikannya, instingku sudah jelas
menebak dengan sesuatu apapun itu. Kedua telapak tanganku bertumpu pada
dinding yang ada dihadapanku. Sedikit membayangkan jika dinding itu benar-benar
hidup dan mampu berbicara, mungkin ia akan memilih untuk pergi, membuang
perasaan bosan karena selalu melihatku dalam kondisi ini. Pun apalagi jika ia mampu
mendengar, telinganya mungkin panas akan desahanku yang kelewatan. Well... ini
tentu bukan suatu rahasia lagi bagiku atau Kyuhyun, kenyataan bahwa aku bukanlah
tipe gadis yang diam dan berpengalaman dalam kegiatan semacam ini adalah
sesuatu yang memalukanku. Aku tidak pernah bisa piawai, meski Kyuhyun selalu
mengajariku lihai.
“Apa yang mengganggu pikiranmu hum?” ucapnya masih terus bergerak
dengan rintik-rintik shower mulai membasahiku, meluluhkan sisa-sisa busa yang
masih membalutku.
“Tidak! Ayo, anak-anak ak-an bangun ah!” desahku.
“Masih ada waktu satu jam sampai mereka bangun” ujarnya juga
mengingatkan.
Gerakannya menusukku hingga rasanya mampu membuatku jatuh sampai
titik darah penghabisan. Panas dan dingin mencampur satu menyerbu tubuku secara
bersamaan dengan sensasi yang memabukkan kurasa. Awalnya... bercinta dalam
posisi ini akan membuatku merasa tidak nyaman. But... hebatnya Kyuhyun, dan aku
memang harus mengakui kemampuannya, ia selalu bisa membuatku tetap nyaman
dalam kondisi sekisruh apapun.

368
369

“Jangan meremasnya oppa, itu milik Gyumi!” protesku berulang-ulang. Demi


Tuhan yang menciptakan pria ini, sungguh tidakkah rasa berbagi ada dalam dirinya
bahkan untuk sedikit saja? Bukan, bukan karena Kyuhyun tidak dermawan, tapi
untuk hal-hal tertentu, pria ini tidak pernah ingin berbagi. Terlebih untuk sesuatu
yang memang sudah menjadi hak patennya sedari awal. Gerakan tangannya yang
lihai, memutar, meremas kedua dadaku, hingga membuat air susu itu keluar dengan
percuma. Sangat percuma.
“Tapi kau menyukainya”
“TIDAK”
“Benarkah? Bagaimana kalau ini?”
“Eun—so akan marah jika oppa terus melakukannya”
“Oke, oke. Maafkan aku”
“Op-pa bilang hanya mandi” sangkalku, bagaimanapun juga masih belum
terima.
“Hey, aku ini pria normal dan ada kau seperti ini mana bisa aku
melewatkannya begitu saja?”
“Tapi oppa sudah janji pada Eunso" ucapku yang hanya dibalas gumamam
pelan dari Kyuhyun.
Aku diam untuk beberapa saat, mencoba membiarkan Kyuhyun menikmati
tempo yang ia ciptakan tanpa terganggu oleh rengekanku. Tapi demi apapun, ini
tidak berlangsung lama. Aku tetap tidak bisa diam. Gelombang besar mendorongku
kuat untuk apapun itu yang jelas aku ingin sekali mengoceh dan terus mengoceh.
“Jangan berdiri, kaki Eunso seperti lilin. Mau meleleh” ucapku kemudian.
Prinsipnya... aku menarik kesimpulan, kurasa bagi orang awam, terlebih
untuk manusia bodoh sepertiku, berbaring adalah posisi yang paling menyenangkan
dari segala bentuk posisi bercinta yang Kyuhyun ajarkan padaku. Dari sana, aku
hanya cukup berbaring dan menerima, tidak harus berdiri dan bertumpu seperti ini.

369
370

Kadar kelelahan yang menderaku juga tidak terlalu besar jika harus dibandingkan
dengan posisi menjengkelkan semacam ini.
“Tahan sebentar sayang, ini akan sangat menyenangkan” bisiknya dengan
nada sensual.
“Oppa...” tusukan Kyuhyun semakin berat menubrukku.
Mendorong keras dibawah sana hingga menimbulkan suara paduan yang
sama kerasnya.
“Duduk saja...”
“Eunso, diam” seru Kyuhyun memperingatiku.
"Eomma appa?" terdengar panggilan lembut dan keras dengan iringan
desahanku bersamaan. Mataku mengerjap sejenak, jantungku berderu hebat
menatap horor ke arah pintu dengan perasaan jauh lebih tegang dari sekedar
menghadapi Kyuhyun. Well... pintunya sudah dikunci bukan? Tamatlah, jika ini
hanya disekat penghalang tak berkunci. Aku hilang fokus, bagaimana tidak Ya Tuhan,
Hyunno didepan dan aku justru telanjang dan bercinta dengan ayahnya.
“Oppa, sepertinya Hyunno sudah bangun?” ucapku dominan bertanya
dengan susah payah.
“Eunso, tidakkah kau diam sebentar menikmati ini. Kenapa senang sekali
berkicau hum?”
“Tidak! AH!” tolakku mentah-mentah.
Tidakkah konyol jika aku harus diam dan membiarkan Hyunno merengek -
menunggu orang tuanya bercinta- didepan sana? Ya Tuhan, otakku masih sangat
waras untuk tidak meladeni ucapan Kyuhyun.
Dug. Dug... Dug.
“Ku-mohon oppa, Hyunno ada diluar. Please oppa, berhentilah" mohonku.
“Biarkan saja, Hyunno pasti akan mengerti”
“Mengerti apanya?”

370
371

“Mengerti jika aku sedang sangat terangsang”


Aku meneguk ludah dengan sisa-sisa daya yang masih kumiliki. Hidup
bersama Kyuhyun untuk jangka waktu yang lama tidak benar-benar membuatku
mengerti bagaimana cara jalan pikirnya.
“Tap—”
“Hush, diamlah. Tidakkah ini begitu menggairahkan Eunso-ya? Ka—u nikmat
sekali” perintahnya keras.
“Tidak! Kita lanjutkan nanti malam saja ya oppa? Eunso...,”
Aku diam sejenak hingga akhirnya memberanikan diri untuk melanjutkan.
“Eunso yang akan memimpin, nanti malam” finalku. Entah ini keputusan baik
atau justru akan menenggelamkanku sendiri, yang pasti cara ini terbukti ampuh
menghentikan Kyuhyun.
“Aku suka sekali idemu” jawabnya mempercepat.
“Hyunno!”
“Ya appa!” teriaknya semangat.
“Bangunkan Hyunso dan segera mandi eo? Appa segera menyusul
secepatnya”
“Benarkah?”
“Iya”
“Kalau begitu... eomma dimana?”
“Eomma sedang di atas, tidak! Eomma sedang mandi”
“Apakah kalian mandi bersama?”
“Ya”
“Bolehkan aku ikut?”
“Tidak”
“Kenapa?”
“Lelaki tidak banyak bertanya! Sudah pergilah Hyunno” perintah Kyuhyun.

371
372

Aku menggeram pelan mendengar setiap kata demi kata yang keluar dari
mulut Kyuhyun. Memfokuskan beberapa pertanyaan yang patut kucari jawabannya.
Benarkah nada itu benar-benar ia gunakan untuk menjawab putra kecilku?
“Oke appa. Hyunno akan ke kamar Hyunso” teriak Hyunno diikuti hentakan-
hentakan yang kian menjauh.
“Sudah. Aku gerakkan lebih cepat ya”
“Eunso tidak suka dengan—”
“Diamlah, aku akan segera selesai. Dan, jangan lupakan janjimu tadi”
Aku mulai menyakini, bahwa neraka dan surga memang tengah
menghampiriku secara bersamaan.
®®®
Aku mengunci pintu rumah sementara Kyuhyun dengan Hyunso dan Hyunno
berjalan ke arah mobil. Pria itu menunggu di pintu penumpang dengan ketampanan
yang tak mampu ku jabarkan lebih jauh. Aku baru menyadari bahwa ia tengah
mengenakkan sweater lengan panjang warna cokelat tua, dengan kerah putih
mengintip dibaliknya, dan jeans warna hitam pekat. Aku tertawa pelan,
menyembunyikan sekelumit kekecewan yang selalu menderaku, kenapa ia terlihat
seperti model peragaan busana sementara aku tidak?
Aku menunduk untuk memastikan bagaimana bentuk penampilanku. Dress
selutut bermotif daun dengan lengan pendek. Dress yang cantik, tapi tetap tidak
membuatku terlihat cantik. Well... sekalipun kami memakai pakaian yang sama,
penampilan yang terlihat akan selalu timpang dengan aku yang terlalu kuno
tentunya. Sehebat apapun aku dirombak, hasilnya akan selalu kalah dari Kyuhyun.
Bibirku terangkat bebas, menikah bukanlah soal menang dan kalah, tapi lebih dari
itu. Tapi... berbicara mengenai kalah dan menang, tetap saja umurku jauh lebih
muda darinya. Setidaknya aku memiliki poin yang mampu kubanggakan, kekehku
pelan.

372
373

“Cantik” opini Kyuhyun sembari membukakan pintu untukku masuk bersama


Hyunso dan Gyumi. Aku mencoba tak terpengaruh dengan satu kata yang kapan saja
bisa memperanjatku.
“Kenakan sabuk pengamanmu, Hyunno” aku menatapnya dengan
kekaguman berlebih ketika Hyunno melakukan perintahnya. Well... Kyuhyun selalu
bisa mengimbangi perilakuku yang memanjakan anak-anak. Ia selalu mempunyai sisi
tegas dalam pembentukan karakter seorang Hyunno. Dan kurasa... apa yang terjadi
pada anak pertamaku tidak cukup jauh berbeda dengan apa yang Kyuhyun turunkan
padanya. Tentu dengan beberapa pengurangan dari sifatnya yang kelewat tidak baik
untuk ditiru.
“Dulu setiap kali kita pergi jauh, kau akan tertidur”
“Jika sekarang Eunso tidur, siapa yang akan mengurus anak-anak hum?”
jawabku.
“Benar juga” katanya membenarkan.
Beberapa tahun silam... kami lebih sering menikmati perjalanan dalam diam,
bukan karena kekurangan topik pembicaraan ataupun Kyuhyun yang tidak ingin
diganggu. Situasi itu justru tercipta karena aku tak pernah terbiasa untuk terjaga
saat berkendara, sekalipun itu bersama Kyuhyun. But... sekarang semuanya tentu
berbeda, setidaknya ada anak-anak yang tak pernah kehabisan akal untuk
membuatku tetap sadar. Tak lama kemudian kami mulai meninggalkan kota. Aku
menyadari, kami melewati jembatan di sungai Han, jalanan membentang ke utara,
rumah-rumah dan gedung tinggi yang kami lalui semakin jarang, dan semakin besar.
Aku mencoba memutuskan untuk bertanya atau tetap bersabar, ketika mobil tiba-
tiba membelok ke jalanan dengan suasana yang terlihat asing bagiku. Jalanan itu
tidak bertanda, nyaris seperti jalanan pribadi. Hutan baru mulai menyelimuti kedua
sisinya, hingga jalanan di depan kami hanya terlihat seperti ular yang mengelilingi
pepohonan kuno. Pemandangan yang menakjubkan.

373
374

“Apakah kita hampir sampai?”


“Jangan khawatir. Sebentar lagi sampai sayang” ucapnya ketika aku hendak
bertanya.
Aku tidak menyahut, supaya Kyuhyun tidak mendengar rasa penasaran
dalam suaraku. Dari kaca spion mataku bisa melihat kaus putihnya tanpa lengan dan
ia tidak mengancingkannya, sehingga kulit putihnya yang mulus terpapar dari leher
hingga ke dada, otot-ototnya yang sempurna tak lagi nampak samar dari balik
pakaian yang membalutnya. Ia terlalu sempurna, pikirku masih menatap tajam
pemandangan hebat yang tengan disodorkan dihadapanku. Masih belum percaya
jika makhluk yang menyerupai dewa ini ditakdirkan untukku. Ia menatapku,
keheranan melihat ekspresiku yang terlihat konyol.
“Mencuri kesempatan di saat anak-anak tetidur?” tanyanya tenang.
“Tidak” sangkalku.
“Tidak perlu malu, aku sudah tahu sejak kau memulainya. Memandangiku
dengan penuh minat”

Author side’s
Eunso mencapai ujung cahaya dan melangkah mengikuti Kyuhyun
menembus tumbuhan pakis terakhir, menuju tempat terindah yang pernah ia lihat.
Padang rumput itu kecil, melingkar sempurna, dan ditumbuhi bunga-bunga liar
keunguan, kuning, dan putih lembut. Tak jauh dari tempatnya berdiri, telinganya
mampu mendengar senandung sungai. Matahari bersinar tepat di atas mereka,
menyinari lingkaran itu dengan kabut kekuningan. Eunso berjalan pelan, melintasi
rumput halus, bunga-bunga yang melambai, serta udara hangat dan keemasan.
Benar-benar jauh dari hingar bingar kota yang membisingkan.
Ibu dari ketiga anak itu setengah membalikkan badan, berniat ingin berbagi
ini semua dengan sosok yang selalu bisa membuatnya jatuh cinta lagi dan lagi.

374
375

Langkahnya kembali menghampiri Kyuhyun dengan Hyunno yang ada di gandengan


tangan kiri dan Hyunso -anak kedua- yang masih betah berada dalam
gendongannya. Kemudian, setelah beberapa langkah hutan mulai menipis, dan tiba-
tiba dirinya sudah berada di padang rumput kecil mirip seperti halaman belakang
rumah. Bukan seperti lagi, itu memang halaman rumah, simpulnya pada akhirnya.
Eunso mempercepat langkah, hingga membuat hasrat dalam tubuhnya
semakin bertambah di setiap iringan langkahnya. Kyuhyun membiarkan Eunso
berjalan di depan, dan mengikutinya dalam diam tanpa suara. Mulutnya menganga
lebar, dan terus akan seperti itu jika saja Gyumi -anak ketiga mereka- tidak
merengek ingin menyusu sembari mengucap bla-bla, khas anak kecil. Masih dengan
keterpesonaannya, tangannya dengan lihai terulur membuka satu kancing dan mulai
menyusui Gyumi. Yang tersuguh disana bukanlah gunung ataupun pantai hingga
membuat wanita itu lupa diri, melainkan sebuah rumah minimalis yang tengah
Kyuhyun tampakkan padanya.
“Appa! Rumah siapa itu?” tanya Hyunno mewakili rasa penasaran yang
tengah mendera hati Eunso.
“Rumah Hyunno” jawab Kyuhyun.
“Kita punya rumah baru?” tanyanya bersemangat sembari melompat-lompat
senang.
“Ya. Sayang. Hyunno menyukainya?” Mata Eunso mengerjap lebar, alisnya
terangkat memastikan bahwa kata-kata yang baru saja Kyuhgyun ucapkan adalah
sebuah kebenaran.
“Tentu saja appa! Aku bisa bermain bersama Hyunso dan Gyumi disana”
jawab Hyunno sembari menunjuk halaman luas yang terbentang dihadapan mereka
dengan telunjuknya yang mungil. Eunso mengikuti arah pandang putra pertamanya
dan memekik pelan. Sesuatu telah menggetarkan hatinya lagi.

375
376

“Tidak hanya Hyunso dan Gyumi, kau juga bisa mengajak Daehan untuk
bermain disana” saran Kyuhyun memberitahu. Mendengar nada petuah dari
Kyuhyun, anak lelaki berusia tiga tahun itu mengangguk riang sembari menarik lepas
genggaman sang ayah dan memilih untuk berlari mendahului Kyuhyun dan Eunso.
“Lalu, kau menyukainya sayang?” ulang Kyuhyun pada Eunso sembari
tersenyum.
“Cantik” hanya dua suku kata itu yang dapat Eunso suarkan. Bahkan jika ia
bisa menciptakan kata baru yang bisa mengungkapan betapa menakjubkannya ini, ia
akan memilih kata tersebut untuk dipadukan dengan pertanyaan Kyuhyun.
“Tidak ada apa-apanya dibanding dirimu” ucap Kyuhyun seraya
menggenggam tangan Eunso yang bebas dengan luwes, tanpa ragu.
Mereka berjalan menembus bayangan pepohonan menuju teras rumah.
Rumah itu tampak abadi, elegan, dan yang pasti akan begitu nyaman untuk
ditempati. Cat warna hijau yang membalutnya begitu serasi dengan suasana yang
mengelilingi seisi rumah. Jendela dan pintu-pintunya entah merupakan struktur asli
atau hasil pemugaran, yang pasti rumah itu begitu mengagumkan bagi siapa saja
yang melihatnya. Lampu-lampu taman terselip disetiap sudut, membuat rasa
penasaran Eunso mencuat akan keindahan macam apa yang akan benda itu
tampakan di kala malam. Anak-anak sungai melintas tepat di tengah halaman
dengan palung air -sumber gemericik yang begitu khas dan menenangkan- Kyuhyun
membukakan pintu dengan pelan, mempersilahkan para malaikatnya masuk.
Bagian dalam rumah itu bahkan lebih mengejutkan lagi, lebih tak bisa
diramalkan, daripada bagian luarnya. Sangat terang, dan luas seolah rumah ini
sengaja di desain untuk menampung banyak orang. Di samping kiri, dinding yang
menghadap selatan seutuhnya berbalut kaca, hingga menampakkan beberapa tajuk
pohon dan hamparan rerumputan luas hingga ke arah sungai. Dinding-dindingnya,
langit-langitnya yang tinggi, lantainya terbuat dari kayu, dan karpet tebal, semuanya

376
377

merupakan gradasi warna hijau dan putih. Hingar bingar bahagia tak dapat
tersamarkan terkuak dari wajah Eunso. Rumah ini memang sengaja Kyuhyun bangun
untuk Eunso, sebagai hadiah ulang tahun wanitanya yang ke duapuluhenam
sekaligus menjadi tanda cintanya untuk Eunso, pusat rotasi hidupnya.
“Selamat datang, Eunso-ya” ucap Kyuhyun sembari memeluk Eunso dari
belakang. Matanya fokus ke depan, penuh dengan kehati-hatian. Tidak ingin
mengambil resiko dengan melihat mulut kecil Gyumi yang bergerak mungil
menghisap sesuatu di bawah sana.
“Hai sayang. Jangan berlari, nanti terjatuh” teriak Eunso sepenuhnya
mengabaikan sambutan yang Kyuhyun lontarkan. Pupil matanya tertuju menatap
Hyunno dan Hyunso yang tengah berlarian di area tengah itu dengan cepat, hingga
membuat hatinya nyeri karena perasaan takut akan kemungkinan-kemungkinan
yang akan terjadi nantinya. Kyuhyun memang cintanya, tapi bukan berarti seluruh
poros hidupnya ia tujukan untuk pria itu seperti dulu. Ada sesuatu yang lebih
mendominasi perhatiannya. Ya -setidaknya untuk saat ini-, ketiga buah hatinya.
“Selalu saja seperti itu” ulangnya lagi. Nafas Eunso naik turun dengan pelan,
mencoba bersabar atas segala bentuk protes yang Kyuhyun ajukan. Pria itu selalu
saja ingin menjadi yang pertama untuk Eunso, sukar berbagi dengan siapapun tapi
juga tak berniat untuk berhenti membuat saingan untuknya.
“Oppa... Jangan mulai dan... terimakasih”
Kyuhyun tertawa pelan mendengar itu, ia pun segera memegang pinggang
Eunso. Tidak marah atau tersinggung. Senyum justru mengembang lebar di sudut
wajahnya, menatap wanita itu dengan takjub. Muda dan dewasa di saat bersamaan
adalah titik yang selalu membuat Kyuhyun semakin tunduk dan takluk atas
keberadaan Eunso. Terkadang, wanita itu justru bisa menjadi jauh lebih dewasa
dibanding dirinya yang bahkan sudah sangat-sangat melebihi batas usia paruh
bayanya.

377
378

“Kau tahu? Aku tidak menerima ucapan terimakasih”


Eunso memutar matanya jengah.
“Kamar kita” ucap Kyuhyun memberitahu, membuka dan menarik Eunso
masuk bersamanya.
Kamarnya menghadap ke selatan, dengan jendela seluas dinding seperti di
area tengah. Pemandangan di sini menyajikan aliran sungai yang meliuk melintasi
halaman belakang. Dinding sebelah barat tertutup rak demi rak buku dengan satu
set meja kerja di ujungnya. Eunso melangkah mendekati satu-satunya kasur
berukuran besar yang tersaji disana -merebahkan Gyumi- dan duduk mengamati
warna cat yang memenuhi seluruh dindingnya. Kemudian menepuk pelan ruang
kosong disebalahnya, menyuarakan Kyuhyun untuk ikut duduk disana, tepat berada
di sampingnya.
“Kapan oppa menyiapkan semua ini?” tanya Eunso memulai.
“Well... tidak perlu menanyakan apapun, yang penting kau suka dan aku
senang melihatmu” jawab Kyuhyun.
“Aku senang, terimakasih oppa” gumam Eunso tersedak air mata yang tetiba
merebak membasahi pelupuk matanya.
Melihat ada sesuatu yang tidak diharapkan, Kyuhyun segera menyentuhnya,
menyeka titik-titik air mata yang ada. Pria itu mengangkat jarinya, mengamati tetes
air itu lekat-lekat. Kemudian dengan gerakan yang begitu cepat, Kyuhyun
meletakkan jarinya ke mulutnya untuk merasakannya. Eunso menatapnya bertanya-
tanya, dan pria itu balas dengan memandangnya lama sekali sebelum akhirnya
tersenyum.
“Jangan menangis”
Keterdiaman mengikuti dua kata Kyuhyun setelahnya, tanpa jawaban.
“Aku menangis bahagia, oppa selalu bisa membuatku seperti wanita yang
paling beruntung. Rasanya sangat tidak pantas”

378
379

“Kau cintaku, duniaku, dan lebih dari itu, kau adalah hidupku. Sudah
sepantasnya jika Eunso menerimanya” ujar Kyuhyun mengakui betapa dirinya
membutuhkan sekaligus mendamba seorang Song Eunso. Kyuhyun meletakkan
tangannya di kedua sisi wajah Eunso dan mulai mengikis jarak yang terasa
menyesakkan. Matanya lebar dan memancarkan perasaan memiliki untuk sosok
yang selama ini ia kasih dan cintai. Akhirnya bibir mereka bersentuhan, lembut
dengan hisapan-hisapan yang keduanya ciptakan.
“Kau ingin melihat ruangan lainnya?”
“Tentu oppa” jawab Eunso cepat.
“Kamar mandi dominan cokelat, kau tahu? Aku suka itu dan rasanya semakin
membuatku semangat untuk menggagahimu disana. Kau tidak perlu malu jika harus
menatap dinding, karena aku akan membuatmu merasakan hamparan hijau yang
kau sukai di saat kau menikmati gempuranku”
Eunso enggan mendengarkan, matanya fokus melihat deliniasi hutan pinus
yang menjulang tinggi.
“Kamar Hyunno... kamar Hyunso... dan kamar Gyumi”
Kyuhyun menunjuk sembari menuntun Eunso melewati petak demi petak
tanpa terkecuali. Tidak seperti kebanyakan rumah pada umumnya, dapur itu justru
terletak di ruang tengah dengan meja panjang berukuran besar tanpa kursi.
Perabotan di sana lengkap, benar-benar memanjakan Eunso yang gemar memasak.
“Eunso menyukai desain dapurnya”
“Tentu. Semuanya aku buat sesuai impianmu. Rumah satu lantai dengan ubin
kayu, halaman rumah yang luas untukmu menanam bunga, dapur yang kau sukai,
warna hijau sesuai seleramu, semuanya tentang dirimu. Bahwa rumah bukanlah
sekedar bangunan berlindung, tapi ia adalah tempat kepulanganku” ujar Kyuhyun.
Nadanya, entah pembawaannya yang memang seperti itu atau apa, nyatanya
ucapan Kyuhyun ampuh membuat perasaan Eunso mengharu dan luluh.

379
380

“Oppa, empat ruang kosong itu untuk apa?” tanya Eunso mendadak berhenti
dan terperanjat di satu deret ruang yang belum Kyuhyun jelaskan.
Empat ruang itu melingkari ruang tengah dan berhadapan langsung dengan
kamar anak-anak sebelumnya. Kyuhyun tergelak, menertawai ekspresi Eunso yang
terlihat bingung.
“Aku tidak pernah bilang untuk berhenti di anak ketiga”
Wanita itu tertegun, alisnya terangkat. Jelas-jelas tidak percaya dengan apa
yang baru saja Kyuhyun lontarkan. Eunso tak pernah yakin ekspresi apa yang mampu
menutupi keterkejutan yang tengah melandanya.
“Oppa ingin aku hamil lagi?”
Bibir Kyuyhyun menyunggingkan senyum tipis, dan ia mengangguk.
Kemudian ia tersenyum lebar dan tipis.

Eunso side’s
Melihat Kyuhyun dibawah sinar matahari sungguh membuatku terpesona.
Aku takkan pernah terbiasa meskipun aku telah memandanginya seharian penuh.
Aku takkan pernah terbiasa dengan ini, meski kenyataannya aku telah melahirkan
tiga anak untuknya. Kulitnya putih, meski agak sedikit memerah karena
cengkeraman tangan-tangan Hyunno barusan. Urat-uratnya menyembul di sekitar
telapak tangannya hingga ke siku, menandakan betapa ia adalah sosok yang pekerja
keras, untukku. Tubuhnya ia sandarkan di balik pohon mape, dengan Gyumi -anak
ketiga kami- berada di pangkuannya.
Kausnya tersingkap dan memamerkan dada bidangnya yang lebar, terlebih
jika tangan-tangan mungil Gyumi bermain disana. Kelopak matanya yang
kecokelatan dan berbinar terus saja menantap anak-anak secara bergantian.
Manusia sempurna, dengan perangai tegas tapi lembut didalamnya. Ya, dialah
suamiku. Pria yang seharusnya menjadi kakak iparku ini, justru sekarang menjadi

380
381

pria sekaligus ayah untuk ketiga anakku. Meski ada beberapa hal yang begitu kelam,
tapi... memilikinya adalah sebuah kebahagiaan terbesar bagiku dan tak dapat
tergantikan oleh apapun.
Terkadang bibirnya bergerak-gerak, mengeja beberapa kata untuk Gyumi
yang baru berusia satu tahun. Sesekali meniupkan angin ke arah rambutnya hingga
membuat bayi perempuan itu tertawa pelan. Aku berusaha mengalihkan
pandanganku dari kesempurnaannya sebisa mungkin, tapi sering kali akupun gagal
melampauinya. Buru-buru aku menjaga ekspresiku ketika sadar Kyuhyun tengah
mengamatiku yang tengah menyimaknya penuh minat. Aku sudah sangat paham
ekspresi apa yang tengah ia tangkap dari wajahku, terkesan bodoh.
Aku beringsut mendekat, menyerah atas rasa gengsi yang menghinggapiku.
Masih dengan ekspresi malu-malu, langkah demi langkahku terukur pasti mendekati
Gyumi dan Kyuhyun, ingin menikmati udara kering bersama mereka berdua. Angin
bertiup pelan, membelai rambutku dan rerumputan yang menari-nari di sekitar
tubuh Kyuhyun dan Gyumi. Padang rumput yang awalnya sangat mengangumkan
bagiku, kini nampak pudar karena keberadaan Kyuhyun yang menawan. Tidak
mencoba melebih-lebihkan betapa mempesonanya pria itu, tapi beginilah
kenyataannya. Pria berusia empatpuluh dua tahun ini memang selalu
mengagumkan, milikku yang ingin dimiliki oleh banyak orang.
Ia tersenyum sembari menatap mataku yang sudah berada di samping
tubuhnya. Gyumi, bayi itu nampak tenang sesekali bibirnya terangkat. Mataku
mengikuti arah pandangnya, yang menatap Hyunno dan Hyunso dari kejauhan.
Matanya bergerak-gerak pelan seperti menyiratkan keinginannya untuk bergabung
dengan saudaranya yang lain. Pilihan Kyuhyun untuk memiliki halaman yang luas
rupanya bukanlah keputusan yang salah. Tempat itu bisa menjadi ruang bermain
anak-anak diluar, seperti saat ini.
“Katakan apa yang sedang kaupikirkan hum?” bisiknya.

381
382

Aku melihat dan mendapatinya menatapku, mendadak begitu lekat.


“Tidak ada” ucapku pelan sepenuhnya berbohong.
“Kau tahu, kemampuan berbohongmu sangatlah buruk sayang”
“Maaf” gumamku seraya mendongak tepat saat matanya yang berwarna
keemasan juga sedang menatapku teduh. Dengan lembut tanganku menyusuri otot
lengannya yang sempurna, mengikuti jejak samar nadinya yang kebiruan menuju
lipatan sikunya. Kemudian tawa pelan keluar dari kami, melihat tidak hanya
tanganku saja disana, tapi tangan mungil itu turut bergabung mengikuti langkahku.
“Oppa, kau seperti matahari” kata-kata itu terlontar begitu saja dari bibirku.
Aku tahu Kyuhyun tampak terkejut saat mendengar kata demi katanya. Aku bisa
merasakannya saat genggaman tangannya padaku menjadi sedikit lebih erat.
“Benarkah?”
“Dan Eunso seperti bunga yang selalu menatap matahari, kearahmu”
wajahku merah, tapi aku harus menepis perasaan ini. Aku hanya ingin Kyuhyun tahu
bahwa ia sangat berharga lebih dari apapun. Ia harus tahu bahwa bukan hanya
dirinya yang menginginkanku, tapi akupun merasakan hal itu jauh lebih besar.
Ia pria baik, meski aku tahu dia tidak sebaik itu. Aku ingin berterimakasih
padanya. Semuanya berlangsung begitu cepat hingga aku tidak melihat gerakannya
yang sudah menggenggam tanganku pelan. Wajah tegasnya hanya berjarak
beberapa senti dariku. Aku mungkin saja -seharusnya- menjauh dari kedekatannya
yang tak disangka-sangka, tapi tubuhku tak bisa bergerak. Naluri keremajaanku
menyuruh untuk tetap diam dan menerima semuanya dengan tenang. Matanya
yang kecokelatan begitu mempesonaku hingga aku lupa ada Gyumi di antara kami,
menatapku dan Kyuhyun secara bergantian dengan tatapan polosnya yang begitu
menggemaskan.
“Meski aku tahu apa yang tengah kau pikirkan, tapi rasanya jauh dari apa
yang kubayangkan setelah lebih mendengarnya darimu” bisiknya sungguh-sungguh.

382
383

“Oppa, jangan terlalu dekat. Gyumi melihat kita” bisikku menekan dadanya
yang kian mendekat.
“Ayolah satu menit lalu kau begitu romantis, kenapa sekarang kembali
seperti gadis polos yang biasanya” desakknya.
Kyuhyun merebahkan tubuhnya di atas rumput dengan Gyumi diatasnya.
Menatap langit biru yang membentang menaungi kami lalu kembali menatapku.
Perasaan hangat yang familiar kembali hadir menyusup relung hatiku, hangat seperti
matahari. Kyuhyun membawa tanganku ke atas dadanya, membiarkanku merasakan
talu demi talu jantungnya.
“Eunso”
“Bagiku, kurasa kau bukanlah bunga yang selalu bergantung pada matahari.
Kau adalah langit, satu-satunya tempat yang dapat menaungiku. Bukan kau yang
bergantung padaku, tapi akulah yang akan selalu bergantung akan keberadaanmu.
Dari awal akulah yang membutuhkanmu, kau bisa berdiri tanpaku, tapi aku...
sedetikpun hancur tanpa hadirmu. Dan kau harus percaya itu” untuk pertama
kalinya aku merasa begitu senang hingga rasanya ingin mati. Hampir saja aku
menangis jika saja suar yang Gyumi lontarkan kembali menarik fokusku dari
Kyuhyun.
“Pa-ppa” sesuatu menyelut diantara kami, membuat mataku seketika
membulat, membuat suasana romantis pecah menjadi kebahagiaan yang lebih
menyesakkan dada.
“Hey. Dengar oppa! Gyumi memanggil appa!” jawabku tergopoh-gopoh tidak
tenang dan terkesan ceroboh.
“Katakan sekali lagi sayang, appa aa..ppa” Kyuhyun akhirnya berbicara.
Kedua mata Kyuhyun membulat, sama terkejutnya sepertiku. Punggungnya ia
tegakkan, kemudian mengangkat Gyumi tinggi-tinggi. Matanya memandang penuh
takjub pada bayi perempuan kami.

383
384

“Pa-ppa” ulangnya lagi. Meski belum terlalu lancar dan sempurna dalam
pelafalannya, tetap saja hal itu membuat dadaku sesak. Perasaan menghangat
mengalir di sekujur nadiku, menyebar bagai percikan listrik yang mencipta luapan
bahagia dari sana. Tak ada alasan untukku menyangkal, satu per satu perkembangan
Gyumi adalah hal yang paling mengharukan bagiku. Dan kuyakin, itu juga tengah
dirasakan oleh Kyuhyun.
“Oppa, Gyumi kita sudah bisa berbicara. Ya Tuhan” ucapku terharu, benar-
benar terharu.
“Kau memang bayi ajaib” ucap Kyuhyun.
Seolah paham atas pernyataan yang baru saja Kyuhyun lontarkan, Gyumi
tertawa dan memukul-mukul pelan wajah Kyuhyun. Terlebih ketika Kyuhyun
mengangkat tubuhnya dan memutar-mutarnya lalu menciuminya dengan gemas.
Malam menyerbu dengan cepat hingga menampakan rona kegelapan dari sisi-sisi
rumah karena lampunya yang masih padam. Udara dingin mulai menghinggapi, turut
berhambur ditengah-tengah kebersamaan yang kami ciptakan.
“Anginnya besar” ucap Kyuhyun.
“Oo, oppa masuklah bersama Gyumi. Eunso akan memanggil Hyunno dan
Hyunso”
“Hyunno, Hyunso. Masuk nak, saatnya mandi” teriakku.
Kegiatan berlangsung dengan cepat tanpa dapat kusadari. Aku memandang
lembut Gyumi yang masih betah terjaga, kedua matanya menatap lebar sesekali
juga terlihat sayu karena rasa kantuk.
“Hey, oppa dan eonni sudah tetidur. Kenapa Gyumi belum tidur juga hum?”
tanyaku tanpa ada sahutan. Bibirnya enggan bergerak karena sibuk menyusu.
Mataku menerawang jauh ke dalam wajahnya yang ayu. Dari ketiga anak kami,
hanya Gyumi yang mempunyai tatapan setajam Kyuhyun. Pria itu menurunkannya
dengan sempurna tanpa cela, menampilkan sosok tegas dibalik matanya yang

384
385

berwarna sedikir biru. Menit demi menit berlalu, dan hisapan itu mulai mati rasa
kemudian berhenti bersamaan dengan lepasanya hisapan dari bibir mungilnya.
“Selamat tidur sayang, meski tatapan itu menurun padamu. Berjanjilah pada
eomma, untuk tetap meneruskan yang baik” bisikku pelan sebelum memberi
kecupan di dahi putihnya. Udara semakin dingin, menembus hingga ketulang-
tulangku. Suara decitan pohon akibat peraduannya dengan angin membuat malam
semakin sempurna. Langkah demi langkah semakin mendekatkanku dengan
Kyuhyun meski teramat pelan dan sangat pelan.
“Sayang” sapanya.
“Oppa belum tetidur?” kagetku.
“Aku tak bisa tidur tanpamu” lidahku kelu.
Aku tak bisa tidur tanpamu adalah kalimat yang bisa dianlogikan dengan dua
kata ampuh hanya mandi.
Ada alasan yang begitu besar, dan aku tahu itu. Kyuhyun mengangkat
daguku, mengamati wajahku. Perlahan-lahan ia menundukan wajahnya tepat di atas
wajahku, meletakkan pipinya untuk beradu dengan milikku yang sudah sangat-
sangat bulat. Tubuhku sama sekali tak bisa bergerak. Saat dia menyentuhku, sangat
sulit untuk memikirkan hal lain, konsentrasiku buyar.
“Kau wangi sekali” gumamnya, hidungnya meluncur ke sudut rahangku. Aku
merasakan tangannya, lebih ringan dari sayap ngengat, menyibak rambut basahku
ke belakang hingga dapat kurasa bibir tebalnya menyentuh lekukan di bawah daun
telingaku.
“Benarkah?”
“Mmm” desahku memulai. Kebiasaanku tak pernah hilang, sudah kubilang.
Mengoceh adalah kesenanganku.
“Aku mencintaimu” katanya. Itu bukanlah yang pertama kalinya ia
menyatakan cintanya padaku, dalam begitu banyak kata-kata. Tapi tetap saja

385
386

rasanya begitu mendebarkan seperti pada awalnya. Ia membungkuk untuk


menyapukan bibirnya dengan lembut di bibirku. Membuatku diam tak bergerak, lalu
mendesah.
“Eunso juga”
“Aku tahu. Ayo, aku tidak sabar kau memimpin” ucapnya kemudian.
Benar bukan? Ada alasan yang lebih mendasar ketimbang kalimat aku tidak
bisa tidur tanpamu.
®®®
“Kau tidur sangat pulas semalam, dan untuk pertama kalinya aku mendengar
kau menggigau. Adakah sesuatu yang kau rasakan?” tanyanya.
“Apa yang oppa dengar? Pasti itu sesuatu yang memalukan” jawabku sedikit
menggerutu. Sepemahamanku, menggigau adalah sesuatu yang memalukan,
kemungkinan aku mengeluarkan sesuatu hal aneh mempunyai peluang yang besar.
Mata keemasannya melembut.
“Kau bilang, kau mencintaiku” jawabnya pelan dan lugas.
Setidaknya aku bisa bernafas sedikit lega.
Kusembunyikan wajahku dibahunya dengan perasaan malu. Wajahku
memanas, sudah pasti. Kenyataan bahwa dia begitu mempengaruhiku hingga ke
alam bawah sadar bukanlah hal yang tabu, atau sesuatu yang patut untuk
dirahasiakan, setidaknya untuk sekarang.
“Oppa sudah sangat tahu itu” jawabku mengingatkan.
“Tapi toh aku senang mendengarnya, bahwa kenyataan aku masih bisa
mempengaruhimu di alam bawah sadarmu”
"Eunso mencintai oppa" bisikku. Keberanian datang menyergapku tanpa aba-
aba, hingga kata demi kata itu keluar dengan begitu lugas tanpa terbata-bata dari
bibirku.

386
387

“Kau hidupku sekarang” jawabnya sederhana dan mengandung banyak


makna. Tak ada lagi yang perlu dikatakan saat itu, ia kembali bergerak maju-mundur
sementara ruangan semakin terang karena sinar mentari yang mulai menyelinap
disela-sela bilik jendela.
“Saatnya sarapan” akhirnya ia berkata.
Dan untuk ketiga kalinya aku kembali yakin, bahwa arti sarapan yang ia
pikirkan bukanlah sarapan dengan makna yang tertera dikamus-kamus besar Korea.
Lebih dari itu, kata itu mempunyai sejuta makna yang hanya mampu didefinisikan
oleh dirinya seorang. Dan untuk pagi ini, definisi menu makanan yang ia maksud
adalah tubuhku.
“Anak-anak akan segera bangun” ujarku mengingatkan.
“Sebentar saja, akan kulakukan dengan cepat”
“Tidak!” ulangku tegas sambil mengikat rambutku supaya menjadi lebih rapih
dan enak dilihat. Cepat secepat apapun Kyuhyun melakukannya, kegiatan itu akan
banyak menguras waktuku di pagi hari. Meski menyenangkan, hal ini sungguh
sangat beresiko. Sudah cukup Hyunno, aku tidak ingin anak-anakku yang lain turut
memergoki kami dalam hal ini.
“Kau salah lagi” gumamnya di telingaku.
“Kau tidak pantas, tak seorangpun boleh terlihat begitu menggoda, itu tidak
adil. Terlebih jika kau tidak ingin kusentuh pagi ini. Itu sungguh menyiksaku, jika kau
ingin tahu”
“Menggoda bagaimana?” tanyaku.
Ia mendesah, menggeleng-gelengkan kepala. Dengan sangat lembut ia
menempelkan bibirnya yang sejuk di dahiku, dan ruangan seolah berputar. Ya,
meskipun kami sering melakukan ini, tetap saja aroma napasnya membuatku
mustahil untuk berpikir jernih.

387
388

“Haruskah aku menjelaskan bagaimana kau membuatku tergoda dan tersiksa


dalam waktu bersamaan?” tanyanya. Jelas pertanyaan retoris. Jemarinya perlahan
menelurusi tulang belakangku, napasnya semakin menderu di permukaan kulitku.
Kyuhyun memiringkan kepala perlahan, dan menyentuhkan bibir dinginnya ke
bibirku, kemudian denan sangat hati-hati membukanya.
“Oppa, sebentar lagi Gyumi bagun” peringatku sekali lagi.
“Eunso-ya, terus saja seperti ini, maka aku akan semakin banyak memberi
anak untukkmu”
“Tidakkah terlalu cepat jika harus memberikan Hyunno adik lagi? Berikan
mereka kesempatan, atau setidaknya tunggu ketiganya besar” tolakku.
“Mereka mendapat kesempatan yang sama, aku adil membaginya. 50 %
untukmu dan sisanya untuk Hyunno, Hyunso, dan Gyumi. Aku ingin mempunyai
banyak anak, terlebih denganmu. Toh dengan banyaknya saudara, mereka menjadi
tidak manja dan mudah berbagi” ucapnya.
“Mana bisa begitu?”
“Tentu saja bisa”
“Semakin banyak anak, itu berarti akan ada pengurangan di setiap
presentasinya. Well... bagaimana jika aku memakai alat kontrasepsi saja?” ucapku
tetiba meski sudah sangat paham dengan jawaban yang ia berikan nantinya.
“Tidak” jawabnya tegas -sesuai dengan tebakanku- Kyuhyun tak pernah
sekalipun memberiku kesempatan, tapi pria itu juga tak ingin memberikan solusi
dengan memakai kontrasepsi pria. Katanya, tidak nyaman dan diapun tak mau
mengeluarkannya diluar.
“Atau mungkin kita harus mengurangi jadwal bercinta kita?”
“Itu adalah saran terkonyol dari sekian banyak hal konyol yang kau ajukan”
aku mengangkat bahuku polos.
“Uraikan rambutmu”

388
389

Kyuhyun berkata dengan nada suara rendah dan datar tapi masih terdengar
lembut untukku.
“Wae?”
“Ayolah sayang, uraikan jika tidak ingin aku menghisap lehermu itu”
Aku mematuhinya, melepas ikat rambutku dan mengibaskan rambutku
hingga tergerai. Selagi itu bukan permintaan yang aneh, aku akan dengan senang
hati menurutinya. Aku menghembuskan nafas pelan. Hal itu membuat tubuhku
berhadapan dengan tubuh Kyuhyun. Sungguh, sampai detik inipun aku masih sulit
untuk mempercayai semua ini. Menjadi seorang nyonya muda dari keluarga chaebol
Cho Kyuhyun adalah hal yang tak pernah terpikirkan sedikitpun oleh pikiran
bodohku.
“Eunso sayang”
“Hum” jawabku cepat.
“Ada kabar tak menyenangkan untukmu”
“Jangan membuatku cemas. Cepat katakan oppa”
“Sore nanti Henry akan kemari, well... demi kenyamaan kita bersama, kurasa
mengusir keduanya bukan ide yang buruk” opininya membuatku terkekeh.
“Dan Eunso rasa, menghargai tamu adalah ide baik jika dibandingkan dengan
ide yang kau usulkan” jawabku sembari tersenyum.

Author’side
Terdengar seruan-seruan penuh kebahagiaan mewarnai ruang tamu
kediaman Cho Kyuhyun. Sejak pertama kali Hyejin dan Eunbi menginjakkan kakinya
di rumah ini, keduanya terlihat begitu asik menggoda nona rumah atas dedikasinya
bersama sang suami dalam meneruskan keturunan. Mereka seakan tak mampu
membendung ledakan tawa ketika melihat Eunso salah tingkah atas beberapa
pertanyaan yang dirasa sangat terbuka dan tidak senonoh jika harus

389
390

diperbincangkan. Eunso memejamkan matanya sejenak seraya berharap penuh


malaikatnya datang untuk sekedar menolongnya.
“Hey, jangan mengeroyokku seperti ini” desisnya.
“Ah wae? Ayo, ceritakan padaku. Well... ini benar-benar berbanding dengan
bisnis suamimu. Gaya-gaya apa saja yang kalian lakukan hingga sukses seperti ini
hum?” todor Eunbi sarkatis.
“Eoh benar eonni, ceritakan padaku. Apa Kyuhyun oppa memang begitu
hebat di atas ranjang? Dari kita bertiga, tidakkah itu sangat menyesakkanku”
“Tapi, aku benar tidak bi—”
“Eunso-ya, kau itu masih muda, sampai kapan dirimu akan hamil dan tidak
bisa menghabiskan waktu bersama kami” usul dan protes Eunbi bersamaan.
“Pardon me, please?”
“Bukankah kau bisa meminta Kyuhyun untuk membelikan pengaman?”
“Eonni, kami tidak memakai pengaman jenis apapun”
“What the... are you kidding on me?”
“Tunggu... tunggu. Henry dan aku juga tidak pernah memakainya, lalu
kenapa ia tak kunjung datang eonni. Rasanya ini benar-benar tidak adil” cecar
Hyejin. Eunso dan Eunbi menatap perempuan itu dengan sendu. Eunso memang tak
bisa merasakannya, tapi besar kemungkinan ia mampu merasakan apa yang tengah
Hyejin rasakan.
“Hey, tidak perlu bersedih seperti itu”
“Kau tidak boleh seperti ini Hyejin-a. Dan... jangan khawatir, eonnimu ini
punya solusinya!” bisik Eunbi menyadari keberadaan Jongin yang tidak jauh darinya -
menatapnya seduktif seolah mengingatkan untuk tidak berbicara sembarangan.
“Kita paham betul siapa yang paling berpengalaman disini. Adanya Hyunno,
Hyunso, dan Gyumi tentu tidak lepas dari usaha Ky—”
“Eonni!”

390
391

“Diamlah eonni/Eunso” potong Hyejin dan Eunbi bersamaan.


“Adanya mereka tentu tidak lepas dari usaha ahjussi mesum, dalam artian
Kyuhyun untuk menggauli Eunso. Nah, berangkat dari situ, kurasa kau bisa meminta
tips-tips yang mungkin saja bisa kau terapkan di kegiatan malammu dengan Henry
nantinya. Ajari suamimu yang konyol itu untuk mencoba hal yang baru” usulnya tak
kalah konyol.
Kelegaan benar-benar menghampiri Eunso dengan cepat.
“Sayang” tegur Kyuhyun tetiba membuat ketiga wanita itu segera saling
menjauh, berusaha menyembunyikan obrolan mereka yang begitu sensitif sedalam
mungkin. Eunso menarik napas lega, untuk kedatangan malaikat yang selalu hadir
membantunya hebat.
“Gyumi, mencarimu” todornya memberikan bayi perempuan cantik dalam
gendongannya. Eunso menerima dengan senang hati, lalu gemas menciuminya
dengan penuh kasih dan sayang.
“Cukup lakukan setiap hari, dan ajari suamimu, sesekali kau juga harus
memimpin seperti Eunso. Well... kurasa itu adalah cara yang ampuh” bisik Kyuhyun
di telinga Hyejin sambil melenggang pergi menarik Eunso untuk ikut bersamanya.
“Yaya... Hyejin. Apa yang baru saja pria itu katakan?”
“Katanya, aku harus memimpin permainan” ucap Hyejin pelan. Kedua wanita
itu saling bertatapan, mencoba memaknai kata demi kata yang Kyuhyun lontarkan.
“Eunso memimpin?” pekik keduanya.
®®®
“Eunso, kau bisa bermain piano?” tanya Henry oppa sembari menunjuk
piano dengan kepalanya.
Aku menggeleng pelan, “Tidak sama sekali, oppa tahu itu bukan keahlianku”
“Lalu mengapa ada benda itu disini?” kagetnya terheran.

391
392

“Hey oppa, Kyuhyun oppa tidak memberitahumu jika dia pandai bermain
musik?”
“Tidak” jawabnya cepat. Kedua alisnya yang tebal terangkat, heran
mendengarnya.
“Eonni, aku pinjam Gyumi dan Hyunso sebentar ya?” ucap Hyejin menyeru
dari balik pintu.
“Kenapa tidak Hyunno sekalian?”
“Hyunno dan Daehan ada didekat sungai. Aku akan membawa dua ponakan
perempuanku saja untuk membeli daging untuk pesta nanti malam. Ayo oppa!”
Selepas kepergian Henry dan Hyejin, Eunso kembali menatap instrumen
indah itu dari sudut ruangan. Warnanya hitam pekat dan terlihat mewah.
Menegaskan siapalah pemilik sebenarnya benda itu.
Flashback
Eunso side’s
“Oppa, aku ingin mendengarmu bermain piano” sahutku.
Kyuhyun menarikku bersamanya, mendudukanku di ruang kosong tepat
disampingnya. Dari sini aku bisa melihat lapisan salju yang sempurna menutupi
halaman, melapisi sisi-sisi jendela dan membuatnya menjadi putih. Hujan yang turun
kemarin telah membeku-melapisi pepohonan membentuk jarum dalam pola yang
sangat indah.
Puas menikmati pemandangan yang tiada habisnya.
“Aku tidak pernah tahu jika oppa bisa memainkan ini” ucapku.
“Jika kau ingin tahu, aku bisa melakukan apapun sayang”
“Kalau begitu, bermainlah untukku”
Matanya menatapku dalam, sebelum beralih pada tuts-tuts piano. Kemudian
jari-jarinya yang lincah mulai menekan tuts-tuts, dan ruangan itupun dipenuhi irama
yang begitu rumit, begitu kaya, dan seperti mustahil jika hanya dimainkan dengan

392
393

sepasang tangan meskipun itu adalah kenyataan yang sebenarnya. Aku merasakan
mulutku menganga terkesima karena permainan yang Kyuhyun lakukan.
Masih dengan jemarinya yang beradu dengan tuts, Kyuhyun menatapku
santai tanpa mempengaruhi setiap alunan nada yang ia ciptakan.
“Kau menyukainya?”
“T-tentu saja. Oppa seperti pianis berbakat, Yiruma”
Irama musik memelan, berubah menjadi lebih lembut, dan aku terkejut atas
peralihannya.
"Kau yang menginspirasi ini" katanya lembut. Musiknya berkembang menjadi
sesuatu yang teramat manis hingga membuatku tak sanggup berkata-kata. Pria ini
memang tak lagi muda, meski kaku dan tidak pernah bisa membaca situasi, Kyuhyun
selalu tahu bagaimanan caranya membuatku tersentuh.
Flashback end

Aku tersenyum pelan, pria ku memang bisa melakukan apapun.


®®®
Aku memandang tubuhku di cermin sembari mengusap perutku yang terlihat
rata. Barangkali tipuan, mataku terus saja mengamati dua garis merah yang tercetak
di testpack pagi ini. Mencoba menyusun kata demi kata untuk akhirnya sampai pada
kesimpulan terakhir. Dua garis merah untuk hamil lagi? Dua garis merah untuk satu
lagi? Memandang pantulan wajah pucatku di cermin, aku terpaksa mengakui jika
sedang membohongi diri sendiri.
Aku mendesah dan menarik napas dengan cepat. Tanganku menjatuhkan
benda kecil itu di meja dan udara yang kuhirup sepagi ini terasa menyesakkan.
Tidakkah terlalu berlebihan jika Hyunno harus mempunyai adik lagi? Usianya baru
tiga tahun, terlebih Hyunso yang hanya berjarak delapan bulan darinya. Gyumi... Ya
Tuhan. Anak itu baru saja bisa berbicara dan aku sudah hamil lagi? Jika ditanya apa

393
394

yang kurasakan sekarang, entahlah lah. Aku benar-benar tidak tahu. Tapi, dibalik itu
semua sejujurnya ada kebahagiaan yang membuncah menyelubungi relung hatiku.
Bibirku terangkat keatas, aku harap ia laki-laki nantinya. Perutku bergejolak, oh.
Ucapan selamat datang yang sama dengan ketiga kakakmu ya?
Jantungku berdetuk kencang, suara langkah demi langkah mendekatiku
dengan pasti. Ia mengangkat tangannya yang bebas, dan menaruhnya dengan
lembut dileherku. Membuatku membungkuk diam tak bergerak, sentuhannya yang
lembut dan hangat bagai peringatan alami-peringatan yang menyuruhku untuk tidak
takut. Namun itu tak berhasil, alih-alih tenang. Aku justru merasa semakin mual. Aku
meneguk saliva dengan susah payah. Bibirku ku gigit secara bergantian untuk
mengurangi rasa gugup yang tengah mendera.
“Tidak apa-apa jika kau hamil lagi. Tidak apa-apa”
Darahku mengalir deras, dan aku berharap bisa melambatkannya. Ya Tuhan,
bagaimana pria ini tahu jika aku sedang hamil lagi?
“Oppa tahu?”
“Teknisnya begitu, aku hanya menebak”
“Kenapa begitu tepat?”
“Payudaramu membesar, ini juga” sebut Kyuhyun dengan gerakan yang
dibuat-buat sesekali meremasnya pelan.
“Sa...kit”
“Jadi kurasa, kau tidak perlu malu. Karena... aku juga tidak akan berhenti di
angka ketiga. Dan kuharap, kau siap untuk menerimanya lagi dan lagi”
“Oppa—”
“Semoga kebahagian kita, tersalurkan juga untuk Hyejin”
“Tentu, dan kurasa... sebentar lagi akan ada kabar baik juga”
“Bagaimana oppa bisa tahu?”
“Well... kusarankan supaya ia seperti dirimu”

394
395

“Seperti Eunso bagaimana?”


“Menggauliku, Eunso”
“OPPA!”
“Rona pipimu cantik” gumamnya.
Dengan lembut ia membalikkan badanku, menyalurkan energi yang berlebih
untuk membuatku kuat. Bibirnya yang dingin menyentuh keningku dengan lembut
seraya mengucap syukur yang tiada terkiranya. Pria itu bahagia, jauh dari dugaanku
selama ini. Ucapan lalunya yang tidak ingin berhenti di anak ketiga ternyata benar
adanya.
Oh siapa yang ingin meragukan kejantanan seorang Cho Kyuhyun jika seperti
ini? Hari-hari terlewati dengan begitu cepat, bahkan semuanya berjalan begitu
lancar hingga proses melahirkan.
Wajah Kyuhyun tampak lelah. Aku memperhatikan matanya saat rasa sakit
itu tiba-tiba berubah menjadi kekuatan yang membara untukku. Rahangnya
mengeras. Aku mampu merasakan cengkeraman jemarinya yang kuat dan sejuk
dalam tanganku yang berkeringat. Kemudian kepalanya menunduk ke arah wajahku
dan mengecupnya lembut.
“Aku tahu kau adalah wanita kuat” bisiknya lembut menyemangati. Awalnya
rasa itu terasa sama dengan sebelum-sebelum ini, tapi di menit-menit berikutnya ia
menjadi terasa begitu sakit dan parah. Aku mendengar dokter Kim, berusaha
menenangkanku akan rasa sakit yang semakin menjadi luar biasanya.
“Oppa” aku mencoba bicara, tapi tak ada bunyi-bunyian keluar dari sana.
Tapi Kyuhyun memahami itu, ia menatapku lekat dan membiarkan tangannya
menggenggam tanganku. Aku bukanlah langit, aku tetaplah bunga yang selalu
bergantung padanya. Untuk yang kesekian kalinya, aku merasa begitu senang dan
bersyukur karena bisa berada di sampingnya.

395
396

“Ya... sayang. Aku disini, bersamamu” suaranya tegang tapi terselip nada
yang menenduhkanku disana.
“Kau bisa mendorongnya sekali lagi?” ucapnya lagi. Ingin sekali aku
menjawab iya, tapi... keadaan sungguh tak memungkinkanku. Rasa sakit semakin
mengonyak, menyebar hingga keseluruh tubuhku yang sudah begitu tak berdaya.
Aku tersedak salivaku, menangis semakin keras.
“Cintaku, jangan menangis. Jangan membuatku takut”
Itulah kata-kata terakhir yang sempat kutangkap sebelum semuanya menjadi
gelap. Itulah kata terakhir yang ku dengar pada penghujung perjuanganku.
®®®
Ketika terbangun, aku melihat cahaya putih terang. Sesuatu yang asing dan
putih memenuhi ruang disekelilingku. Dinding disebalahku tertutup tirai yang
memanjang dari atas hingga bawah. Tangan-tanganku dipenuhi dengan infus, dan
ada sesuatu direkatkan di wajahku, dibawah hidung. Aku tak bisa mengingat dengan
jelas, dan pikiranku memberontak saat mencoba mengingatnya. Separah inikah?
Tanganku terulur pelan pada perutku yang telah rata. Hey bayiku?
“Bayinya baik-baik saja. Tidak perlu khawatir” syukurlah.
“Oppa” aku menoleh dan wajahnya yang rupawan hanya berjarak beberapa
senti dariku, ia meletakkan dagunya di ujung bantal.
“Ssst...” ia menyuruhku diam.
“Sekarang semuanya baik-baik saja. Cho Sungwan baik-baik saja”
“Maafkan Eunso oppa” ucapku tulus.
Tangannya mengangkat tanganku yang bebas dari infus, menggenggamnya
lembut dalam tangannya, berhati-hati agar tidak mengenai selang-selang yang bisa
membuatku pusing. Kyuhyun mencondongkan tubuhnya perlahan, hembus nafasku
menderu cepat bahkan sebelum bibirnya menyentuh bibirku. Pria itu berjalan
menjauh, menghampiri sebuah box disana.

396
397

“Selamat datang, ini eomma”


“Halo. Ini Eunso eomma, selamat datang Cho Sungwan” ucapku penuh haru
pada bayi laki-laki yang masih tertidur. Malaikatku, sumber kebahagiaanku. Cho
Kyuhyun. Aku mengusap lembut gelang yang bersemat manis di tangan kiriku,
gelang yang sempat kuragukan akan kumiliki, nyatanya benar-benar menjadi milikku
sekarang. Sungguh... aku tak pernah bermimpi akan menikah dengan seorang duda,
terlebih itu adalah mantan suami saudari kembarku sendiri.

THE END

397

Anda mungkin juga menyukai