SUBTITUSE
FOR MY WIFE
Song Eunso
1
2
BAGIAN SATU
Prolog
“Eonni…”
Aku mengintip ke arahnya melalui sudut mataku yang lebar, sejalan dengan
dugaanku... dan ia masih menatapku, bukan dengan tatapan heran seperti
kebanyakan orang —ekspresinya sedikit gelisah. Dan aku kembali menunduk,
menyembunyikan penolakanku yang seringan abu. Well, aku benar-benar tidak bisa
menahan diri, but… aku juga tidak seberani yang kuharapakan. Aku menyadari,
sebenarnya aku memang payah jika harus berdebat dengan dirinya yang kelewat
keras seperti baja. Entah itu aku yang memang tidak memiliki daya atau memang
eonni yang terlalu berkuasa, yang jelas… aku benar tidak bisa menang untuk hal
apapun. Aku mungkin saja berani, tapi itu juga tidak cukup membantuku. Barangkali
itu hanya penenangku belaka supaya bisa lebih kuat.
“Hmm… Tidakkah ini tidak terlalu beresiko? Maksud Eunso, umm… apakah
benar tidak ada jalan lain? Well… kita mungkin kembar tapi— bukan berarti
Kyuhyun-ssi buta mengenali bukan?”
Eunbi mengangka bahu.
“Tidak, tentu saja tidak”
Ia menjawab dengan ringan, tanpa beban, dan santai.
Aku menghembuskan napas pelan. Memutar keras bagaimana upaya yang
harus kulakukan kembali. Aku tahu jika aku tak akan pernah bisa merasa menang,
aku takkan pernah berhadapan dengan keputusan adil jika harus berhadapan
dengannya. Sekuat apapun itu, dan bodohnya… seperti yang bisa kurasakan,
penyesalan tak pernah datang menghampiriku. Ketika hidup menawarkan garis
takdir yang sebeginian rupa, melebihi akal pikirmu, rasanya tidak masuk akal untuk
menyesalinya bila impian itu berakhir. Entah akan berakhir sesuai dengan apa yang
2
3
kuharapkan, atau tidak... aku tetap tidak bisa merasa menyesal, setidaknya untuk
sekarang..., asalkan semuanya bisa cepat berlalu, asalkan ia bisa berhenti merengek
padaku, aku bisa saja. Aku bisa menuruti semua permintaannya, tapi jika ini masih
bisa dinegosiasikan... aku juga masih berharap semunya tidak akan terjadi.
“Tapi jika ketahuan bagaimana? Maksudku, kurasa… tidak hanya oppa,
keluarga kita... semua bisa saja terjadi eonni. Dan coba kau pikirkan lebih jauh,
dengan keadaanku yang tidak pernah bertemu dengan suamimu, dengan Kyuhyun-
ssi. Bukankah itu hal yang mengerikan?” cicitku pelan, sebisa mungkin
menumbuhkan sisi keberanianku yang lain. Di dalam keadaan cukup terang, dan
lebih hangat kuharap semua energi positif mampu menyokongku. Aku menatap
eonni tanpa bernapas, ke dalam mata cokelatnya yang teduh, dan ia balas
menatapku senang. Aku selalu tak bisa memahami jalan pikirannya yang sering
bertolak belakang denganku. Ini mungkin terdengar tidak rasional, seharusnya aku
lebih mempunyai pikiran yang sama.
“Well… bukankah itu ide bagus yang patut diapresiasi?”
Kedua alisku berkerut, kedua tanganku saling mencengkeram
kuat. Ketakutan mulai menghampiri relung hatiku dengan gerakan berlebih. Well...
ini bukan keputusan mudah, dan apabila memang garis ini yang aku harus lakukan,
akan ada banyak dampak yang mengikuti dengan sukarela, nantinya. Tentunya ini
adalah cara yang bagus untuk mati, menggantikan orang lain, orang yang seharusnya
kau cintai. Bahkan mulia. Mestinya itu berarti sesuatu.
“Bagus apanya?”
“Sejatinya, dari perspektifku yang lain, semakin minim interaksi yang
terhubung antara Kyuhyun dan dirimu… presmisnya bukankah pria itu juga akan
semakin sulit untuk mengenalimu eo?”
“Tidak ada presmis yang tidak masuk akal seperti itu”
Ia mendecak kecil.
3
4
4
5
kasat mata. Eunso..., aku sudah pernah mencoba. Dan akhirnya, aku benar tersiksa
atas apa yang Kyuhyun lakukan padaku”
Hatiku gelisah. Entah suatu kebenaran atau bentuk penyangkalan semata.
Aku benar-benar tidak bisa memahami seperti apa pribadi Kyuhyun. Tapi… melihat
matanya yang penuh pengorbanan di balik lini katanya, well… itu menggiring opiniku
bahwa Kyuhyun memang bukan pribadi yang baik. Itu jika aku harus menarik
kesimpulan dari sudut pandangnya sendiri. Dan secara keseluruhan, aku juga tidak
bisa menyalahkan sikap eonni yang terkesan menentang apa saja yang melewatinya,
karena memang… pernikahan ini hanyalah sekedar simbol janji masa lalu. Danpun
parahnya… dari ketersembunyian status pernikahanya, kuyakin ada satu hal yang
memang sengaja ditutupi oleh seorang Kyuhyun. Barangkali tipuan, itu bisa saja
benar atau salah. Dan untuk kebodohanku yang terlampau parah, aku bahkan tidak
bisa menghadiri upacara sakralnya.
“Eunso-ya, dengarkan aku. Ini tentu berisiko. Tapi dia juga tidak mungkin
mengamatiku sedetail yang kau kira. Terlebih lagi kita ini kembar, matanya tajam
tapi tidak benar berfungsi untukku. Bahkan jika aku mengganti wajahku sekalipun,
pria itu sedikitpun tak akan peduli”
“Benarkah...?” heranku saat ucapannya terkesan berlebihan.
“Ya, karena kau tidak pernah mengerti bagaimana Cho Kyuhyuh”
Ia menggenggam kedua jemariku yang saling bertaut. Mengelusnya pelan,
hingga aku turut merasakan nada mohon yang mengalir di setiap gerakannya. Aku
menatapnya lembut, tidak pernah benar-benar tega untuk melihat matanya yang
berkaca-kaca. Wanita yang lahir lima menit sebelumku ini, benar-benar memenuhi
ruang hatiku hingga tak tersisa. Aku tak bisa untuk mengusungkan permusuhan di
antara kami. Aku mencintainya lebih dari apapun, well… ikatan kami memang kuat
karena aliran darah yang sama.Kami sudah lama merasakan sesuatunya bersama,
tumbuh dan hidup bersama. Ia tumbuh menjadi gadis periang, mudah bergaul,
5
6
begitu kontras dengan pembawaanku yang cenderung pemalu. Kami hidup bahkan
seperti tak terpisahkan. Aku bahkan bisa merasa hampa yang berlebih saat ia jauh
dari pandanganku. Aku tahu ini sesuatu yang wajar bagi kembar seperti kami.
Well..., jika keputusannya akan berakhir seperti permintaannya. Aku harus
membuat rencana paling matang saat aku harus berperan menjadi nyonya rumah
Cho. Aku tertawa dalam hati, benarkah pertemuan pertamaku dengannya harus
melalui jalan yang semengerikan ini? Eunbi mungkin paham, tapi bagaimanapun
juga. Entah seacuh apapun pria itu, tetap saja instingnya akan lebih tajam dari apa
yang ia pikirkan. Kebayakan laki-laki memang seperti itu bukan?
“Aku mungkin bisa mengabaikan perasaanku. Tapi…, bagaimana dengan yang
lainnya? Tidakkah eonni juga memikirkan perasaan eomma, appa, Daehyun oppa?
Semuanya... bisakah kau menjamin keselamatan ada pada mereka bertiga?”
Aku menghembuskan napas sebelum kembali memulai.
“Sebagai upaya terakhirku. Kumohon... pikirkan baik-baik dan hiduplah
bahagia dengan Kyuhyun-ssi. Aku yakin, ia adalah yang terbaik untukmu. Terlepas
dari semua buruknya Kyuhyun sekarang… atau apapun itu. Yang jelas, kau hanya
butuh percaya bahwa Kyuhyun pasti bisa menjadi lebih baik. Kau hanya perlu
bersabar sebentar saja, setelahnya kau—”
“Tidak..., kau tak bisa berpikir seperti itu”
“Aku harus berpikir bagaimana lagi? Apa yang bisa kau janjikan padaku
eonni? Apa yang bisa kau janjikan untuk keselamatanku?”
“Aku bisa menjanjikan apapun untukkmu”
Aku mengerang. Jadi— barangkali inilah jawabanku sekarang. Lalu
pertanyaan paling penting dari semuanya adalah. “Tidakkah perasaan Kyuhyun-ssi
baik-baik saja? Pikirkan betapa sakit perasaannya jika tahu akulah yang sedang
menggantikanmu”
“Ia tidak akan pernah merasa tersakiti untuk hal apapun”
6
7
7
8
“Benarkah?”
“Ya Tuhan. Kecerdasanmu ini memang membutakanmu, ya? Untuk alasan
apapun, Kyuhyun bukanlah orang yang penuh dengan perasaan hangat. Ia jauh
dengan apa yang ada dipikiranmu. Dan kupikir… laki-laki dingin, tegas, dan hedonis
macam Kyuhyun, hanya cocok untuk gadis penurut sepertimu. Lagipula kau belum
mempunyai kekasih, jadi kurasa ini bisa menjadi ajang pembelajaran untukkmu”
“Eonn—”
“Apalagi?”
“Justru karena Eunso tidak pernah mempunyai pengalaman semacam itu.
Bukankah itu terdengar membahayakan? Well… Eunso bisa saja salah meyiapkan
barang sesuatunya. Untuk hal-hal yang biasa kau lakukan untuk Kyuhyun, itu sesuatu
yang tabu bagiku. Aku tidak bisa menjanjikan semuanya akan sesempurna
rencanamu”
“Tidak perlu memikirkan hal yang tidak perlu kau pkirkan. Kau hanya perlu
menjadi istri yang baik untukknya. Menyiapkan air hangat, menunggunya pulang
kerja, menyiapkan makan, dan... bagian paling mengasyikkannya, tentunya,
melayani Kyuhyun di atas ranjang”
Darahku bagai meledak-ledak dalam nadiku. Pembicaraan tabu semacam ini
benar tidak bisa membuatku berpikir jernih. Aku menatapnya dengan tuntunan
pertanyaan kuat. Well… untuk masalah ini aku memang tidak memungkiri bahwa
aku jauh berada di bawah Eunbi. Sikap introvert dalam diriku mengembang pesat
dengan dorongan jiwaku yang menguat. Sejauh ini aku memang dianggap terlalu
polos untuk hal-hal berbau seksualitas. Well..., itu kenyataannya dan aku tidak
merasa dipermalukan. Bagiku..., apa yang ada dalam diriku lebih penting. Jadi
kurasa… aku mungkin bisa saja dibohongi oleh sebagian orang jika saja lingkunganku
tak terkondisikan.
Menyedihkan, bagaimana imajinasiku begitu tak terkendali.
8
9
“Dengarkan aku baik-baik, aku yakin otak cerdasmu juga bisa memahaminya
cepat. Secara teknis… Kyuhyun hanya menganggapku sebagai seorang adik, tidak
lebih. Tak ada pancaran nafsu dari sudut matanya. Dan… mengingat kesamaan umur
yang kita miliki, logikanya ia juga harus bertingkah sama. Dalam dunia-dunia dengan
tanda kutip, lelaki dewasa seperti Kyuhyun juga tak mungkin tertarik pada gadis kecil
sepertimu”
“Benarkah?”
“Kau bisa pegang ucapanku. Meskipun aku tahu dia bajingan, bukan berarti
Kyuhyun juga orang yang ingin berbuat secara paksaan. Jangan pernah
mencemaskan apapun”cecar Eunbi.
“Aku penasaran”
“Apa?”
“Jika tahu akan berakhir seperti ini.., kenapa tidak diakhiri saja? Kenapa tidak
dibatalkan setidaknya, kurasa... pasti ada hal yang memang seharusnya dilakukan”
“Well… kalaupun aku bisa, sudah kugugat cerai pria itu satu menit setelah
pemberkatan. Ini hanya janji belaka, dan aku bisa apa melawan perintah abeoji?
Meski mereka mengharapkan banyak hal, aku tetap yakin, tidak akan pernah ada
cinta diantara kita. Please..., aku sudah sangat frustasi dengan pernikahan ini. Pria
itu tidak pernah berperilaku ramah sedikitpun padaku. Aku sudah berusaha
semampuku but tetap saja... ia hidup seolah-olah tak ada aku, dan kau tahu
bagaimana rasanya? Tersiksa”
“Lalu, jika akhirnya seperti yang kau harapkan..., berapa lama? Berapa lama
aku harus menjadi dirimu?”
“Sampai ia menyadari betapa pentingnya memiliki seorang istri”
“Setelah itu?”
“Semua keputusan ada di tanganmu”
Aku menarik napas panjang, menimbang keputusan yang paling tepat.
9
10
“Aku tahu. Ini pasti berat untukmu, tapi aku juga tidak sanggup untuk
bertahan. Well… kumohon, bantu aku sekali lagi. Aku akan melakukan apapun, jika
kau memintaku berlutut, akan kulakukan. Aku berjanji, ini adalah kali terakhirnya
aku meminta padamu”
Gelombang iba bergejolak dalam dadaku ketika menyadari tatapannya yang
menyesakkan. Dengan harapan yang masih menipis, hatiku mematangkan hasil
keputusan yang sempat ku ambil di awal. Meski harus tertatih-tatih… ia adalah
segalanya untukku. Bahagianya adalah milikku dan tangisnya adalah dukaku. Dan
seperti biasa mula-mula akulah yang akan mengalah untuk semuanya. Kemudian,
kegemberiaannya meningkat cepat ketika satu kata menakjubkan keluar dari
mulutku.
“Baiklah”
Aku tahu, awal hidupku akan bermula di sini, pada detik ini.
Story begin.
Well… tak ada yang perlu kusesali. Mulai, jalani, dan akhiri. Semudah
sesimpel itu pikirku, tapi itu tentu tak akan berjalan semestinya. Iya jika itu memang
diakhiri dengan semudah menjentikkan jari, kalau sebaliknya? Aku menelah ludah
kasar, dan aku tidak bisa menyalahkan siapapun. Aku tahu ini juga pilihan yang sulit
untuknya, tapi... jika alasannya hanya untuk seorang Kangin... lelaki yang kutahu
sebagai sunbaeku di sekolah menengah itu, ia mungkin tampan, tapi setampan
apapun itu bukankah Cho Kyuhyun lebih lebih dan lebih tampan dari seorang
Kangin? Itu jika kulihat dari kacamata bingkai berukuran kecil di balik layar ponselku.
Entah jika ia melihatnya dari sisi yang mana hingga bisa begitu percaya bahwa
Kangin adalah pria dimana ia bisa menambatkan segala sesuatunya.
Bahwa..., aku percaya.
Fisik bukan satu-satunya kriteria.
10
11
Aku tidak terlalu paham dengan apa yang seharusnya terjadi. Pun dengan
permasalahan pelik sebelum ini, tentang pernikahannnya, atau tentang sebuah
kesepakatan. Aku tahu ini hanya sebatas pernikahan klasik belaka, tapi setiap
alurnya juga tidak harus disamakan dengan drama-drama Korea bukan? Ini mungkin
saja berakhir bahagia, hanya saja aku menjadi ragu untuk menduga. Jujur..., aku
percaya rencana Tuhan sejalan dengan hukumannya yang berlaku. Tidak ada
perbuatan yang tak pernah membawa pengaruh, dan jika aku selamat, aku akan
selamat. Dan jika aku mau mengiyakan, aku akan bertolak belakang dari itu.
Aku menghela napas kasar, menimang-nimang berada di tahun berapa aku
hidup. 2019..., dan tipe-tipe perkenalan semacam perjodohan ternyata masih begitu
eksis di era globalisasi ini. Aku tahu, penolakan menjadi momok utama yang tak
dapat diselesaikan. Pergelakannya mungkin sukses, lancar dari apa yang
diperbincangkan. Tapi, apa itu masih berarti jika kebahagiaan justru saling berlari?
Iya jika saling berlari mencari, kalau berlari saling menjauhi seperti sekarang? Tak
ada pendekatan, apalagi pertemanan. Yang ada hanyalah benteng permusuhan dan
titik kepalsuan. Aku bergidik heran, jika tahu akhirnya akan seperti ini, bagaimana
bisa abeoji terus memaksa Kyuhyun untuk menikahi salah satu diantara kami?
Di usiaku yang baru duapuluhsatu tahun, aku yakin ini bukanlah keputusan
yang mudah. Sama halnya dengan Eunbi. Semuanya tak ada yang berubah. Jarak
usia kami yang relatif jauh, membuat segalanya nampak menjadi lebih kacau.
Lagipula..., benar katanya, sungguh sangat tidak adil rasanya jika pria dewasa seperti
Kyuhyun harus menikahi gadis belia seperti kami. Aku terdiam, kemudian tertawa
sumbang. Hari pertamaku buruk, tapi baik. Baik karena aku tidak harus bertemu
dengan Kyuhyun, dan sangat buruk karena itu membuatku semakin lama merasa
terbiasa. Aku merasa sesuatunya menjadi serba salah untuk kulakukan, dan well...,
ini sama sekali bukan gayaku. Aku tidak pernah merasa terlalu memperhatikan
seseorang yang tidak terlalu dekat denganku.
11
12
Lambat laun aku mulai menyadari sesuatu, aku tidak bisa untuk tidak merasa
terusik. Bahkan saat hari demi hari membawaku kedalam penantian belaka, aku
tidak bisa tidak merasa semuanya akan baik-baik saja. Aku melirik ke arah jarum
jam, lalu mendesah. Pukul satu malam, dan tandanya aku harus benar-benar tidur
tanpa harus menunggu kepulangan Kyuhyun lebih lama lagi. Aku mulai paham,
kegiatan seperti ini ternyata tidak berlangsung untuk sehari, duahari, atau tiga hari,
aku terus melakukannya sampai ia benar-benar datang menemuiku.
®®®
Paginya matahari menerpa kulitku hangat melewati celah-celah yang mampu
menyilaukan mataku. Tidurku gelisah, bukan karena mimpi buruk yang menderaku,
bukan, ini lebih kepada tidur tapi tidak benar-benar terlelap. Aku tahu ini hanya
dampak dari kegelisahanku yang tiada ujung. Well..., aku harus memahami, dan
hatiku berperan apik tanpa aku sadari. Aku tidak ingin menduga atau membuat
kesimpulan bahwa alasan terbesar dari malam-malam gusarku adalah, aku sedang
menunggu. Bahwa sebenarnya aku sedang menunggu Kyuhyun, untuk kembali
pulang dan menjalankan status sebagaimana mestinya. Alisku mengernyit, batinku
bertalu-talu bertanya mengapa, tapi aku juga tidak memiliki jawaban yang bisa
membuatnya luruh.
Aku menarik napas dalam-dalam. Kalender kecil di sudut permukaan jam
menginformasikan padaku hari ini tanggal duapuluh tiga September. Aku beralih
menatap jauh ke arah jendela, matahari yang sempat membuatku mengernyit
berubah menjadi cahaya kelabu muram, tersaput mendung. Semoga ini bukan
pertanda yang buruk. Kakiku sedikit sempoyongan saat melangkah dimana aku bisa
membuat diriku menjadi orang normal.
Ketika aku meggosok gigi, aku nyaris terkejut karena bekas di bawah mataku
membuatku benar-benar yakin hidupku sudah jauh dari apa yang seharusnya
melekatiku. Sepanjang musim dingin yang sempurna, musim dingin paling
12
13
13
14
Japchae yang kubuat sama sekali tidak menarik perhatianku. Aku duduk di
kursi, melipat lutut, dan memeluk kedua kakiku di balik rok. Ada yang tidak beres,
mungkin lebih parah daripada yang kusadari. Aku mencoba mengendalikan diri,
memberi penjelasan masuk akal pada diriku. Hal paling buruk apa yang bisa terjadi?
Aku tersentak, menggeleng keras. Itu jelas pertanyaan keliru. Sulit rasanya bernapas
dengan benar.
Baik, aku mencoba berpikir untuk mengubah sedikit pertanyaan barusan, hal
paling buruk apa yang sanggup kuterima saat ia kembali? Atau hal paling buruk apa
yang sanggup kuterima saat semuanya selesai? Aku lagi-lagi menggeleng, aku juga
tidak terlalu menyukai pertanyaan itu. Tapi aku memikirkan berbagai kemungkinan
yang dulu kupertimbangankan. Sulit rasanya mengingat alasan dari semua
kekacauan ini. Tapi aku tak bisa bergantung pada hal itu. Aku sudah memutuskan
kalau aku tak bisa bertemu dengan Kyuhyun hari ini, benar-benar bicara, aku akan
menemui Eunbi besok. Aku harus melakukan sesuatu.
Aku tak bisa memastikan jawabannya.
Aku meletakkan pipiku ke lutut, memandangi benda-benda asing dari
pengelihatanku. Aku tahu jalan yang kupilih ini bakal sulit. Dan, bagaimanapun, aku
memikirkan skenario terburuk— yang paling buruk yang bisa kuterima. Aku terkekeh
sendiri saat semua beputar bagai roll film yang menghanyutkanku. Tawaku berhenti.
Begitu merasa sedikit pusing, seakan-akan aku berdiri di tepi tebing curam yang
sangat tinggi. Dari sana, aku tidak memiliki pegangan apapun, aku bisa saja terjatuh
dan mati.
Siang hari itu lewat dengan cepat, pikiranku terfokus pada bagaimana malam
nanti bisa kulalui. Bagaimanapun, kemarin tidak terjadi apa-apa. Tidak terjadi apa-
apa. Dari pengalaman sebelumnya aku tahu, aku hanya perlu menunggu tanpa
penantian yang berarti. Kabut tebal yang mengaburkan hari-hariku kini terkadang
terasa membingungkan. Aku sedikit terkejut saat mendapati diriku sudah di sofa
14
15
panjang di ruang bagian tengah, tidak begitu mengingat perjalananku dari kamar
menuju tempatku sekarang. Tapi itu sebenarnya bukan masalah. Aku justru
bersyukur bila waktu berjalan tanpa bisa kusadari.
Aku tidak melawan kabut yang menyelubungi pikiranku saat berpaling
menghadap pintu utama. Ada tempat-tempat tertentu di mana perasaan kebas itu
dibutuhkan. Mataku melirik ke penjuru arah, menyadari jika aku benar-benar
menyukai tempat ini. Temboknya yang berwarna putih tidak membuatnya merasa
menyeramkan untuk rumah yang besarnya dua kali lipat dengan apa yang sudah
kubayangkan. Kusentakkan kedua tanganku di atas kedua pahaku, dan saat itulah
aku mendengar suara mesin mobil, makin keras, makin keras dan akhirnya berhenti.
Kulirik diriku di cermin ruang depan sebelum menyiapkan jiwaku, hati-hati mengatur
ekspresiku dengan bersikap biasa dan berusaha mempertahankannya.
Sejenak aku ragu, mendadak aku merasa sangat ketakutan sampai-sampai
tanganku gemetar. Kutempelkan kedua tanganku ke perut untuk menyembunyikan,
dan memandangi ruang dimana aku bisa mematahkan rasa penasaranku. Tapi
selanjutnya aku berhasil menabahkan diri hingga sanggup berdiri dan melangkah.
Aku tahu, aku sangat bisa. Aku hanya cukup mengelabuhi diriku sendiri hingga
semuanya berakhir dan selesai. Aku menatap, memandangi arah jarum jam lama-
lama sambil berdebat dalam hati berapa persen dari kesiapanku yang berdurasi
tujuh malam suntuk yang bisa kugunakan untuk menyambut Kyuhyun. Tapi ini
memang ironis, kalau dipikir-pikir, bahwa pada akhirnya, justru tak ada satu
bagianpun yang bisa menguatkanku.
Sungguh menyedihkan menyadari diriku adalah tokoh utama, bahwa aku
adalah watak antagonisnya.
Jantungku menjadi bergetar hebat. Aku mulai tidak fokus dalam dudukku.
Bagaimanapun juga, Kyuhyun bukanlah hantu atau sesuatu yang menyeramkan,
jelas aku masih satu ras dengannya..., itu tak cukup membantu. Kakiku saling
15
16
16
17
Suarku mencoba. Dan..., aku tidak tahu jika feromonnya akan begitu terasa
dalam jarak sedekat ini. Matanya menatapku, kemudian beralih dan mendapati
tanganku dengan lancang menyentuh pergelangan tangannya. Aku buru-buru
melepasnya, dan segera merutuki kebodohanku. Aku menunggunya untuk
merespon, yang hanya membuatku semakin terlihat konyol.
“Maksudku..., itu... kau ingin makan atau mandi dahulu?”
Aku tidak tahu pertanyaanku ini benar atau tidak.
“Aku tidak lapar”
Jadi? Aku bertanya pada diriku sendiri, alisku mengernyit, jika aku
mengajukan dua premis dengan jawabannya yang ia tawarkan, maka premis yang
seharusnya kusimpulkan adalah ia memilih mandi daripada makan.
“Mandi" satu kata berhasil Kyuhyun keluarkan.
“Baik oppa..., aku sudah siapkan airnya”
Kyuhyun mengangguk dan kembali menjauhiku, tapi juga kembali berhenti,
saat aku bertanya, “Ingin kubantu bawakan?”
“Urus saja dirimu”
Aku tertawa sumbang, mataku menatap nanar ke punggungnya yang kian
menjauh. Perkataan Eunbi berlarian di hadapan benakku, dan aku benar-benar bisa
membuktikannya sekarang. Aku semakin percaya untuk racun-racunnya yang
menyerangku. Eunbi benar, Kyuhyun memang jauh dari ekspektasiku. Alasan
terbesar kenapa Eunbi bisa berani menaruhku di tempat ini, kini aku tahu, paham
dan sangat paham. Rasanya seperti di neraka, gurun yang gersang. Aku menengadah
ke atas, seraya bertanya-tanya, mana ada hubungan pernikahan semacam ini, lebih-
lebih romantis, saling menyapa saja sudah sangat bersyukur.
Terserahlah...
Aku tidak akan peduli.
Selagi dia tidak bermain tangan padaku, aku masih baik-baik saja.
17
18
®®®
Semakin malam, udara terasa semakin dingin, menusuk tulang-tulangku
hingga membuatnya nyeri. Aku melirik ke arah jendela, dan menyesal cepat saat
gerakan kanopi pohon begitu menakutiku. Hujan mungkin akan segera turun, dan
bisa jadi semakin mengalutkan malamku. Bukan hal yang bisa membuatku
menangis, tapi ini benar menyesakkan hatiku. Mataku beberapa kali melirik arah
jarum jam yang menyulitkanku. Bisa jadi Kyuhyun sudah selesai, tapi... bisa jadi aku
juga yang terlalu lama menunggunya. Lama aku berpikir hingga aku menemukan
keberanian yang telah mengecil, menyusunnya keping demi kepingnya untuk
kumelangkah.
Langkahku sempat berputar-putar. Kekanan... sesekali kekiri, maju sesekali
mundur dengan perasaan ragu. Mataku menyalang horror mendapati diriku sudah
berada dimana hanya ada dan ia disebalik pintu yang menghalangiku. Ini agak sulit
bagiku. Eunbi tidak pernah menjelaskan padaku lebih detail bagaimana aku harus
bersikap, bagaimana aku harus mengurusi Kyuhyun disaat aku juga tidak paham apa-
apa yang telah mereka lakukan bersama. Jadi..., kurasa... jika ini normal, berarti apa
yang kulakukan selanjutnya juga tidak akan salah.
Nafasku tertarik pelan.
Aku bisa.
Kalaupun tidak bisa, aku juga tidak bisa mundur.
Tanganku membuka pintu tanpa suara, lalu segera menemukan dimana aku
bisa menjangkau sosoknya tepat dihadapanku. Kakinya bersila, tangannya sibuk
mengetik, matanya tertuju tanpa menyadari hadirku. Aku kembali menguatkan hati,
bahwa aku tak akan diperlakukan tidak senonoh olehnya. Kakiku terseok-seok pelan,
belum sepenuhnya berani untuk mengeluarkan bunyi-bunyian apapun yang mampu
membuat konsentrasinya buyar.
But...
18
19
Aku juga tidak bisa jika harus berdiam diri. Napasku naik turun tak teratur,
aku percaya... akan keputusanku sekarang bahwa aku hanya cukup menebalkan
mukaku untuk bergabung bersamanya.
Datang,
sapa,
dan tidur.
Kyuhyun side’s
Dalam bayangku, ini adalah kali pertamanya aku mengenali ada yang
berbeda dengan apa yang biasa kulihat. Tidak secara menyeluruh, tapi aku mengerti
akan adanya perubahan itu meski aku tidak tahu dimana letaknya. Aku mengakui,
pernikahanku dengan Song Eunbi tidak sebaik dengan apa yang seharusnya
dilakukan banyak orang dalam status pernikahan. Aku tahu hubunganku dengannya
sangat buruk, tapi bukan berarti apa-apanya juga luput dari pengawasanku.
Bagaimanapun, untuk seseorang yang kunikahi satu tahun silam, untuk
kesahariannya bersamaku, aku tentu bisa mengenali. Entah itu dari kebiasaannya,
gaya bicaranya, aku bisa cukup memahami meski sulit. Jadi..., jika memang ada yang
berubah dengannya, aku pasti mengerti.
Well..., pertemananku dengan Eunbi tidak sepenuhnya memburuk sejauh ini.
Tapi, jika dilihat dari sudut pandang pernikahan, itu jelas diluar batas kewajaran. Aku
tidak seharusnya menikah atau menikahi gadis manapun. Sejauh ini aku memang
tidak mempercayai pernikahan, cinta, kasih, dan sejenisnya. Hidupku sudah terlalu
cukup dengan apa yang kumiliki. Dan..., hanya dengan alasan yang begitu sepele,
gadis yang seharusnya juga menjadi adikku, adik dari Daehyun, justru berakhir tragis
dengan menikah denganku. Aku tidak bermaksud menyimpulkan atau menakut-
nakuti. Menikah denganku bukanlah jaminan untuk bahagia, lebih parah dari itu,
menikah denganku mungkin bisa dianalogikan seperti menggali lubang kematianmu
sendiri.
19
20
Aku tidak menyukai segala macam status, tidak mempercayai ikatan yang
bisa membuatmu merasa tidak ada orang lain yang bisa membuatmu bahagia selain
dirinya. Jauh-jauh hari aku sudah meninggalkan tradisi semacam itu. Pun..., kalau
aku ditakdirkan menikah nantinya, untuk usia tigapuluhtujuh tahunku, aku benar-
benar tidak akan menikahi seorang gadis muda semacamnya.
Tentu saja...
Gadis kecil, muda tak berpengalaman tentu tidak seimbang untuk mencukupi
kebutuhan biologisku yang timpang.
Mataku kembali berlaih menatap layar putih kosong saat menyadari
kehadirannya. Dari sudut mataku dapat kurasai segala perasaan gugup
menyelimutinya. Well... aku mencoba tenang dalam kepura-puraanku. Menunggu
hal yang akan ia lontarkan padaku.
“Selamat malam... oppa”
Aku mendongak..., menatapnya was-was. Mataku menatap penuh tanya saat
mendapati ia turut naik bergabung bersamaku. Benar-benar berada di tempat yang
sama denganku. Seratus persen aku meyakini, sesuatu pasti telah terjadi hingga ia
berani melanggar kesepakatannya sendiri. Well..., bukannya aku keberatan jika ia
harus tidur bersamaku, tapi... bukan itu yang menjadi masalahnya sekarang. Sejauh
ini aku sudah lama menempatinya sendirian, lalu dengan alasan apa ia bisa dengan
gampangnya mendatangi kamarku? Toh lagipula sejak awal ia yang membuat
semuanya menjadi seba salah.
“Oo... tidur di sini?” tanyaku.
Berbasa-basi.
Ia mengangguk pelan, matanya menelisik ragu, dan mencoba berbaring
sejauh mungkin membuat jarak denganku. Aku ingin sekali menanyakan kenapa
alasannya, tapi kurasa itu tidak penting, jadi kuurungkan cepat-cepat. Aku diam,
kembali fokus dengan layar putih di depanku. Mengetikkan beberapa kata yang
20
21
sempat tertunda tanpa harus merasa terusik oleh apapun. Namun aku tahu aku
takkan mampu fokus, bagaimanapun juga ada dia di sampingku, tatapannya,
gerakan tangannya yang mengetuk-ngetuk kasur membuatku sedikit terganggu. Bisa
saja, jika pikiran kotor menggerayangiku, aku bisa menyimpulkan gerakan tangannya
sebagai undangan terbuka untukku.
“Oppa... apa yang kau kerjakan hum?”
Double shit. Iya kan?
Beberapa kata itu mengiang-ngiang di kepalaku tanpa henti. Aku diam,
merenung, membiarkan pikiranku menelisik lebih jauh dengan apa yang ia gunakan
untuk mengganti nama Kyuhyun dalam memanggilku. Panggilan yang cukup
romantis, menurutku. “Membalas email”
Jawabku. Kentara sekali jika aku berbohong.
Lama aku terdiam, kesunyian nyatanya mengikuti dua kata terakhirku. Tak
ada yang bisa kulakukan, dan situasi seperti ini membuatku canggung.
Bagaimanapun, tidur dengan adikmu sendiri bukan hal yang menarik, lebih dari itu
ini terasa tidak mengenakkan. Ada hal-hal yang harus kami obrolkan, tapi aku juga
bukan tipe orang pembuka obrolan.
“Oo... dingin sekali”
“Hoo”
Aku menoleh ke arah dinding kaca di samping kiri, lalu menatap ekspresinya,
kemudian menyetujui ucapannya, well... tak ada alasan untuk mengatakan panas
disaat angin diluar begitu kuat meliuk-liukkan setiap bagian pohon yang
menghambat lajunya. Entah itu bentuk nyata dari kedinginannya, atau alasan
untukknya membuka obrolan denganku. Yang jelas itu mampu membuat tanganku
terulur, meninggikan suhu di antara kami. Aku sedang mengingat-ingat bagaimana
cara menghadapi serangan empati, aku bermaksud mengabaikan, tapi aku justru
mendorong diriku sendiri, menghancurkan pertahananku hingga melesak ke kepala.
21
22
Aku tidak seharusnya melakukan itu pada Eunbi, tapi... hal itu juga bukan hal yang
salah.
Aku melihatnya hendak mengulurkan tangan kanannya, ragu-ragu ingin
menyentuhku, tapi kemudian mengurungkannya dan pelan-pelan meletakkannya
lagi di samping bantal.
“Terimakasih, oppa” ucapnya seraya memamerkan senyumnya yang
memukau, membuatku sesaat terpana. Aku memutuskan untuk kembali diam dan
mencari-cari kesibukan di layar laptopku, membuka beberapa folder, menggulirnya,
melihatnya sebentar lalu menutupnya. Jariku bergulir ke ikon pencarian, entah apa
yang kucari, tapi akhirnya ku tutup juga saat mulai loading ke halaman utama.
Kemudian, setelah beberapa detik aku mendapati jemariku mengeklik tulisan shut
down dengan cepat. Layarnya berubah menjadi biru, berputar-putar, lalu hitam,
mati. Aku mengerang, menjatuhkan diri ke tempat tidur dengan wajahnya yang
masih memperhatikanku. Lampu kamar masih menyala, dan aku bingung untuk
memutuskan itu tetap hidup atau kumatikan.
Well..., aku menyadari sikapku berlebihan. Sesuatu di luar pembenaran
rasional telah terjadi di depan mataku yang tidak percaya. Entah itu karena efek dari
lamanya perjumpaan kami atau teoriku sendiri, ini bukanlah... Aku. lebih dari itu.
Aku bahkan tak mempercayai diriku sendiri, bahwa aku pasti sedang bergurau.
“Sudah selesai?”
“Ya”
Jadi—
Barangkali, inilah jawabanku sekarang. Aku tidak memaksa diriku memikirkan
apa yang harus kulakukan sekarang. Dan sepertinya, hanya ada satu pilihan, aku
mengikuti kebiasaanku, mengabaikannya sebisaku, lalu tidur secepat mungkin. Aku
berbaring memunggungi tubuhnya yang menghadapku, aku tak peduli, berpura-pura
ada kaca tebal tak bisa bisa tembus di antara kami. Tapi..., saat aku berhasil
22
23
menjauh, tiba-tiba aku merasa sangat putus asa memikirkan tindakanku ini apakah
patut dibenarkan atau justru sepenuhnya salah. Pikiranku menolak untuk diam, dan
bergegas tidur sebelum kelewat panik. Tapi penyebabnya tidak penting, yang
penting adalah akibatnya. Dan esok baru permulaannya.
Aku menarik selimut tua itu menutupi tubuhku, kemudian menambahkan
bantal-bantal.
“Selamat malam, mimpi indah oppa”
Adalah kata-kata terakhir yang kudengar.
Aku tak sadarkan diri.
®®®
Paginya, saat sarapan, ia sepertinya bersemangat mengenai kebutuhanku.
Aku duduk di tempat seharusnya aku makan, menunggu-nunggu aroma masakannya
yang membuatku bingung. Aku tidak mengerti mengapa, sampai ia benar-benar
dihadapanku, aku menjadi semakin bertanya-tanya. Rasanya mustahil berada di
rumah ini, dan menyadari bahwa Eunbi juga ada bersamaku dan menyiapkan
semuanya. Ini sesuatu yang baru, asing, bahwa ketika aku sadar sudah lama sekali
kami tidak makan bersama. Biasanya..., jika aku tidak kembali, ia akan kembali, lalu
sebaliknya, kita jarang sekali berpapasan. Rumah yang seharusnya kami tinggali
nyatanya berubah menjadi tempat persinggahan belaka. Aku tahu..., dan aku juga
tidak memaksa untuk alasannya yang tak pernah pulang ke rumah.
Sesuatu mungkin telah terjadi.
Kangin..., pria yang sedang ia cintai. Kurasa lebih berhak untuk
menungguinya daripada ia harus terus tinggal denganku. Aku tidak masalah, lebih
lagi tidak ambil pusing. Dari awal..., hubungan kami memang tidak ditakdirkan untuk
berada dalam status pernikahan. Aku membebaskannya, entah ia akan pulang atau
terus bermadu kasih dengan Kangin, aku tetap tidak merasa aku sedang dikhianati
oleh istriku sendiri. Tentu saja..., lagipula... aku juga tidak sebersih yang dikira, jadi
23
24
rasanya tidak adil ketika aku bermain diluar, lalu Eunbi harus duduk diam menunggu
kepulanganku. Itu benar-benar tidak dibenarkan dalam kamusku, intinya jika aku
bebas bermain dengan wanita manapun, itu berarti Eunbi juga kubebaskan untuk
mencintai pria manapun.
Sesimpel itu.
Tapi kini...
Rumah yang selalu sepi menjadi terlihat begitu berpenghuni karena
kehadirannya. Pagi yang biasanya sunyi kini penuh suara-suara peralatan dapur yang
saling bertalu, bunyi rebusan air yang mendidih, nada dari irisan bawangnya...,
semuanya membuat dapur benar-benar terasa hidup sekaligus aneh. Aku
mengamatinya dari tempatku duduk, jari-jemarinya yang panjang bergerak luwes...,
sesekali ia juga tersenyum ke arahku dan membuatku mau tidak mau harus
membalasnya kikuk, lebih canggung.
Dari apa yang bisa kulihat, semuanya berhasil membuatku merasa ragu.
Tentang kehadirannya yang tiba-tiba terasa begitu berbeda. Caranya berjalan,
gayanya berpakaian, nada bicaranya yang lebih lembut, semuanya berubah
sependek pengetahuanku. Rok panjang selutut berwarna hijau kelam dengan atasan
putih, ia pilih sebagai pakaian paginya. Rambutnya hitam panjang, tergerai tanpa
membuatnya risih karena terlalu panjang melebihi bahunya. Itu penampilan asing...
seperti bukan dirinya. Aku mengerut kening keras, menepis pikiranku yang semakin
melantur jauh. Atau mungkin aku bisa menanyakannya kepada Daehyun, tentang
keanehan yang menyergapku. Tapi... itu akan semakin membuat semuanya menjadi
tambah kacau. Aku tidak ingin kekonyolanku diketahui banyak orang.
Biasanya.
Aku tidak pernah peduli dengan apapun.
Tanpa terkecuali.
“Silahkan makan oppa”
24
25
25
26
26
27
27
28
BAGIAN DUA
Kyuhyun side’s
Malamnya aku memilih untuk tidak kembali.
Aku menatap jauh ke arah balkon, kurasa aku harus membuat ini menjadi
sebiasa mungkin, itu jika aku masih ingin tetap waras. Angin sepoi-sepoi menerpa
wajahku yang telanjang, satu hal yang kusukai di sini, nyaman, membuatku sendirian
untuk menikmati hidupku. Aku memandang pantulan wajahku di cermin,
hubunganku dengan orang-orang sebayaku tidak pernah bagus. Barangkali
sebenarnya hubunganku dengan orang-orang memang tak pernah bagus. Bahkan
orang tuaku, orang yang seharusnya paling dekat dengaku dibandingkan dengan
siapapun di dunia ini, tak pernah selaras denganku, tak pernah benar-benar
sepaham. Kadang-kadang, dulu..., aku pernah membayangkan apakah aku melihat
hal yang sama seperti yang dilihat orang lain di dunia ini. Barangkali memang ada
masalah di otakku.
Tapi..., lama aku mencari, tak ada tanda-tanda atau petunjuk yang
membuatku merasa seperti orang normal. Dan selama itu pula aku akhirnya
mengakui bahwa aku sedang membohongi diri.
Aku cukup memaklumi kondisiku, dengan didikan tanpa ekspresi, tanpa rasa
kasih, sayang, atau perhatian yang sejenisnya. Aku tak pernah mengenal bagaimana
masa kecilku yang menyenangkan seperti kebanyakan orang. Yang ada diingatanku
hanyalah cara bagaimana aku bisa berada di atas, menguasai semuanya. Tidak ada
orang yang benar-benar peduli, apapun caranya aku harus menjadi berkuasa. Aku
tidak di didik untuk menjadi orang yang mudah perasa... dan dari situ aku mulai
paham mengapa sifatku menjadi keras seperti ini. Dingin, keji, tidak berperasaan,
hedonis, kaya raya, dan sebagainya. Aku tidak bisa memungkiri dan berlebihan jika
aku mengakui bahwa julukan-julukan itu melekat padaku.
28
29
29
30
tengah saat deringnya semakin memekikkan telingaku, tapi jika aku tak kunjung
membalas, itu akan menjadi hal yang tidak mengenakkan lagi.
Jam sembilan ada rapat, jangan lupa hyung!
Tulisan dengan susuan tujuh kata itu membuatku nyaris terkejut.
Bahwasanya mendadak aku merasa hal itu akan terlihat membosankan.
Balas pesanku.
Jari-jariku segera membasnya, segera.
Aku tidak lupa.
Aku kembali memandang ke arah jendela, tahu jika kedepannya akan jauh
lebih sulit jika aku harus berdiam diri dalam lubang pertanyaanku. Langkahku sedikit
sempoyongan saat memulai ritual pagiku, seperti biasa. Aku menggosok gigi dan
segera berganti baju. Aku tahu sikapku konyol, tapi aku tidak peduli. Kumatikan
lampu-lampu saat semuanya berhasil kuselesaikan. Pukul delapan pagi aku sudah
siap berangkat dan menyambut hariku dan mencobanya untuk terus monoton tanpa
harus terusik dengan perubahan yang Eunbi tawarkan padaku.
Suasana kantor setidaknya lumayan membantuku untuk mengenyahkan
segala pemikiran yang mengganjalku. Aku menyusuri lobi, lorong, dan mendapati
semua orang tersenyum menyambutku. Aku tidak ambil pusing mengenai alasan
yang mereka pegang, entah itu karena benar-benar menghormatiku sebagai pemilik
perusahaan atau hanya sekedar mencari muka untuk kenaikan jabatan. Langkah
kakiku mengetuk-ngetuk tegas, memperkuat ekspresiku yang dingin dan tak kenal
ampun.
Aku mencoba memusatkan pikiranku dengan apa yang sedang kukerjakan.
Barangkali memang ada yang salah dengan diriku, akalku tak bisa benar-benar fokus
meski kupaksa. Aku lalu menyadari dimana titik kesalahanku, dugaanku melebur
dalam angan-angan belaka bahwa nyatanya, ini juga tidak membantuku untuk
mengenyahkan semuanya. Dan yang hanya kulakukan sekarang, hanya pasrah.
30
31
31
32
Bayangan pepohonan yang menaungi sisi kiri dinding rumah yang berdiri di
antaranya, membuat serambi yang mengitari lantai dasar tampak kuno. Aku
mengernyit bingung, tidak menyadari berapa lamanya aku tidak terlalu peduli
dengan setiap sisinya hingga aku tak mengenali rumahku sendiri. Sudut-sudutnya
nampak berubah, mungkin sisa dari aktifitasnya barusan. Aku berdeham, mencoba
mengalihkan perhatiannya sebisa mungkin tanpa harus membuatnya merasa aku
sedang bersandiwara.
“Oo... oppa pulang?” tanyanya lembut, menenangkan detak jantungku.
Aku menyadari, saat aku mengemudikkan mobil meninggalkan pusat kota,
aku sama sekali tidak mempersiapkan hatiku. Aku mengangguk pelan, cukup
menjawab pertanyaannya.
“Aku merombaknya..., kau menyukainya?”
Lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk.
“Cantik ya?”
“Iya”
Untukmu, lanjutku dalam hati.
Ia tersenyum lebar, giginya yang putih terlihat begitu menggemaskan di
mataku, tersusun rapih tanpa cela. Tapi terlepas dari tawa dan keceriaan itu, ada
sesuatu yang berbeda, dan aku tak dapat mengatakan dengan pasti apa itu. Aku
diam-diam mulai mengamatinya dengan seksama. Warna kulitnya yang putih
terlihat memerah, barangkali akibat aktivitasnya di luar, lingkaran di bawah matanya
juga tidak kentara seperti dulu. Aku memikirkannya lagi sambil memandanginya,
berusaha menemukan perubahan itu. Aku tidak ingin terburu-buru mengenali,
kurasa, ini bisa kujadikan alasan tinggal di sini lebih lama. Itu membuatku sedikit
percaya diri, bahwa ada alasan yang benar-benar terlihat, setidaknya aku tidak
terlihat seperti orang sinting. Lagipula..., ini memang rumahku, jadi kenapa aku
harus takut?
32
33
®®®
Eunso side’s
Aku agak gemetar mendengar suaranya yang dingin. Semacam deheman
atau aku memang tidak terlalu mendengarnya. Aku tak bisa bergerak hingga otakku
mengurai dengan sendirinya. Lalu dengan cepat aku melangkah canggung ke
arahnya, sampai harus menyeimbangkan kakiku karena saking terburu-burunya,
untungnya aku tidak terjatuh konyol Kupikir aku mendengarnya tertawa, tapi
suaranya terlalu pelan membuatku jadi aku tak yakin. Ia menungguku hingga aku
sampai di pintu, kemudian mulai berpikir apa yang harus kuucapkan untuk
menyapanya.
“Oo... oppa pulang?”
Kugigit bibirku, lega karena ia tidak bisa mengetahui betapa gugup begitu
menderaku. Kyuhyun mengangguk pelan, itu semakin membuatku tak yakin apakah
aku sanggup bicara. Tapi bagaimanapun juga aku tidak bisa hanya diam. Kurasakan
tatapannya di wajahku, tapi aku tetap memandang lurus ke muka. Aku mengetuk-
ngetukkan kaki pelan, kami sama-sama diam hingga kesunyian menyelimuti di
antara jarak yang kubentuk.
Aku harus bagaimana?
Aku bergidik ngeri, disiksa dilema yang berkecamuk dalam batinku. Kami
bertatapan, dan kurasa ia juga sedang menunggguku bicara. “Kau ingin makan
sesuatu?” cengirku tahu ini salah, tapi responnya membuatku tersenyum lebar. “Aku
akan menyiapkan makanan”
Aku buru-buru melesat, meninggalkan Kyuhyun yang masih berdiri di
belakangku. Aku senang bisa meninggalkannya cepat, itu berarti aku bisa bebas
mengeluarkan ekspresiku dan mengasihani diriku sebelum bertemu dengannya
kembali. Yang berarti hanya tinggal sedikit hal untuk mengalihkan perhatian. Aku
membumbui ikan untuk makan siang, dan menyiapkan salad dan kimchi sisa
33
34
semalam, jadi tak ada apa-apa yang bisa kukerjakan selagi aku menormalkan detak
jantungku. Aku menghabiskan setengah jam untuk membuatnya benar-benar
selesai, dan berhasil menyelesaikannya dengan cepat diluar dugaanku. Kuperiksa
sesuatunya, mungkin Kyuhyun akan menyukai ini.
Aku menghela napas dan berlari ke arah kamar. “Oppa..., ayo makan”
Kyuhyun tidak menyahut, tidak pula mengangguk tapi gerakan kakinya yang
mendekatiku sudah cukup menjawab apa yang kupikirkan. Aku mencoba tersenyum,
menyambut hadirnya sebahagia yang bisa kulakukan. Perasaan was-was yang
merambati punggungku membuat gelombang panik bergejolak dalam perutku tanpa
alasan. Aku berjalan tertatih-tatih di belakangnya, sama sekali tak repot-repot
berpura-pura untuk menyamarkan ekspresiku. Sepertinya kami memang benar-
benar tidak cocok. Bibirnya bergerak tidak jelas.
“Kau memasak apa?”
“Ayam..., salad”
Lagi-lagi Kyuhyun hanya mengangguk, dan itu membuatku risih. Selama aku
hidup, diriku tidak begitu biasa melihat ada orang yang lebih pendiam dariku, dan ini
mampu membuatku berpikir dua kali untuk memulai obrolan. Aku menyadari
sejatinya aku hanya akan terkesan konyol akan gerbang obrolanku.
“Kyuhyun oppa...” panggilku.
Tanpa berpikir panjang, aku mengulurkan tanganku dan menyentuh tangan
kanannya yang menggantung, tapi ia langsung menariknya, begitu juga aku. “Maaf”
suaraku nyaris seperti bisikan. Benar-benar merutuki kebodohanku yang gampang
sekali dibentuk.
Raut wajahnya berubah dingin, tanpa ekspresi. Kyuhyun segera menarik
tangannya dan menaruhnya di saku celananya, tapi ia mecondongkan tubuhnya ke
arahku. Aromanya sejuk, tidak seperti aroma kolonye, atau barangkali itu bebauan
khas Kyuhyun yang memabukkan.
34
35
“Ada apa?”
“Hari yang bagus untuk berada di luar”
“Lalu?” tanyanya memperhatikan. Aku terkejut, lalu menunduk, wajahku
memerah tentu saja.
“Aku ingin makan di luar, di halaman belakang”
“Mmm—” ia bingung sejenak, matanya mengerjap. Ia memiringkan
kepalanya, sorot matanya penasaran, membuatku buru-buru menyela. “Jika oppa
tidak ingin, kita—”
Gilirannya menyelaku. “Oke,”
Kyuhyun memamerkan senyumannya yang memukau. Aku mengangguk
senang, terlalu bersemangat mendenar satu katanya menyetujui ideku. Rasanya
seperti keajaiban. Dalam perjalanan turun aku menyambar selembar selimut tua
dari lemari di tangga teratas. Kami berjalan pelan, masih berhati-hati agar tidak
saling bersentuhan. “Oppa duluan saja...” ujarku mengingatkan.
“Kenapa?”
“Aku akan mengambil makanannya”
Kyuhyun diam, “Begini, aku bawa selimutnya, kau bawa makananya,”
usulnya.
Aku cepat-cepat menyerahkan apa yang ada dalam tanganku dan berlari
menuju dapur. Kyuhyun membukakkan pintu untukku dan menunggu sampai aku
keluar, lalu menutupnya dengan lembut. Aku memerhatikannya, masih
menganggumi keanggunannya. Barangkali seharusnya aku harus lebih terbiasa
dengan itu kedepannya— tapi kurasa aku tidak siap. Firasatku mengatakan tak
seorangpun akan pernah terbiasa dengan Kyuhyun. Ketamapananya bisa membuat
siapapun hilang akal.
Di luar, di halaman rumah Kyuhyun yang berbentuk persegi, selimutnya ia
lipat dua lalu dihamparkan di bawah pepohonan, di atas rumput tebal yang kering.
35
36
Diam-diam aku tersenyum, cukup terkejut tentang impianku bersama Eunbi dan
Daehyun yang justru terealisasikan bersama Kyuhyun. Kami duduk berhadapan
dengan ayam, selada sebagai penengah diataraku. Tangannya menarik lengan
bajunya sampai siku bergantian. Aku tidak memikirkan apa pun kecuali kehangatan
yang kurasakan pada kulitku, ujarku pada diri sendiri. Aku terus merasai bagaimana
kehangatan itu menyentuh kelopak mata, tulang pipi, hidung, bibir, lengan bawah,
leher, menembus kausku. Angin masih sepoi-sepoi, tapi mampu meniup bulu-bulu
halus di wajahku, dan rasanya agak geli. Kutarik rambutku ke atas, membiarkannya
mengering dan kembali berkonsentrasi dengan apa yang ada dihadapanku. Kyuhyun,
salad yang menggiurkan.
Matanya menyipit. “Kau memasak salad?”
“Mm...hm”
Aku mengunyahnya, berusaha terlihat cuek. “Aku tidak suka sayur, baunya
juga tidak terlalu”
Aku tak sanggup berkata-kata. Kyuhyun memejamkan mata, larut dalam
pengakuannya yang membuatku mengerut. Aku mendengarkan, lebih antusias
daripada rasional. Tapi sebagai ganti aku lega akhirnya bisa mengetahui satu hal
yang bisa ia keluarkan padaku. Diam-diam, entah itu disadarinya atau tidak, ia
terbuka padaku. Aku sangat bersimpati, bahkan sekarang, tanganku dengan cepat
menyingkirkan saladnya di belakang punggung.
Matanya berkilat-kilat menatapku. “Sudah lebih nyaman?”
“Kuharap kau lebih kreatif setelah ini...” senyumnya mengejek, namun
tatapannya selembut kapas, menenangkanku. “Well..., aku benar-benar tidak tahu
kau alergi atau semacamnya” aku mengakui.
Matanya menatapku heran, sadar aku telah mencondongkan tubuhku ke
tengah. Aku menunduk, kuambil sumpit dan dengan hati-hati mengambil beberapa
potongan ayam. Pelan-pelan aku memasukkannya ke mulut, masih menunduk,
36
37
mengunyah sambil berpikir. Ayamnya enak. Aku menyantap semuanya dengan ceria,
memerhatikan debu-debu beterbangan di antara sinar matahari yang menyelinap
masuk di antara kanopi-kanopi pohon.
Aku menelan dan minum lagi sebelum menatapnya kembali.
“Katakan..., apa lagi yang tidak oppa sukai?”
“Apakah itu menjadi begitu penting untukmu, sekarang?”
“Tentu saja, aku tidak ingin kejadian ini terulang kembali”
“Hanya itu?”
“Well..., aku ingin makan bersamamu tanpa saling merasa tidak enak”
Tiba-tiba suasana hatinya yang tak bisa kutebak berubah lagi. Ia balas
tersenyum, mata cokelatnya berkerut di sudut-sudutnya. Ketika Kyuhyun
tersenyum, sangat mudah memahami kenapa ia bisa begitu mempesona di mataku.
Aku seharusnya cukup menahan diri— aku tahu aku tidak semestinya merasa
terpana, tapi aku tak bisa merasakan rasa pertahananku yang seharusnya. Rambut
hitamnya yang ikal, jika bukan teksturnya, warnanya sama dengan rambutku—
bedanya aku hanya lebih tipis. Tapi ketika ia tersenyum, aku bisa melihat sedikit
bagian dari pria yang telah menikah dengan Eunbi, ketika umunya masih dua tahun
lebih muda dari umurnya sekarang.
“Ayo katakan”
“Segala jenis sayur, dan makanan pedas”
“Oo.., benarkah?”
“Ya”
“Aku benar-benar terkejut, kukira oppa menyukai pedas. Tapi aku
menyukainya” sahutku. “Kenapa?”
“Itu berate ada hal yang membuatku sama denganmu, oppa”
Kyuhyun tersenyum.
“Terimakasih”
37
38
38
39
berada di dapur tanpa melakukan apa-apa, jadi ia pergi ke ruang tamu dengan
langkah diseret lalu menonton TV, sementara aku bekerja di dapur. Ini lebih nyaman
buat kami berdua. Selesai melakukannya, aku sesegera mungkin menuju kamar
mandi untuk membersihkan diri. Aku tidak bermaksud buru-buru, tapi juga tidak
ingin memperlambatnya juga. Kugosok gigiku keras-keras, berusaha menyeluruh,
menyingkirkan sisa-sisa makanan yang kumakan.
Air panas dari pancuran cukup membuatku lebih rileks. Siramannya
melemaskan otot-otot punggungku, menenangkan denyut nadiku. Aroma khas dari
sampoku membuatku merasa aku mungkin bisa cukup percaya diri sekarang. Aku
mencoba tidak memikirkan Kyuhyun, masih menonton TV atau sudah duduk di
kamar, mengerjakan sesuatu. Karena jika aku memikirkannya, aku harus mengulangi
proses menenangkan diri dari awal lagi. Aku sudah berusaha membuatnya selambat
mungkin, tapi akhirnya aku tak bisa menundanya lagi. Jemariku menekan tombol
merah, kucur-kucur air mulai berhenti menerpa tubuhku.
Aku mengenakan handuk sekenanya, masih tidak buru-buru untuk keluar.
Kukenakan kaus lusuhku dan rok panjang selutut warna cokelat muda, lembut dan
aku menyukainya. Kukeringkan rambutku lagi dengan handuk, mataku memandang
wajahku di cermin sambil menyisir rambutku yang lembab dan tipis. Barangkali
tipuan, aku benar-benar terlihat mirip, persis Eunbi. Tapi aku terlihat sedikit pucat,
kulitku bisa saja cantik— bening, nyaris transparan— tapi semua itu tergantung
warna. Aku kembali memandang pantulan wajahku di cermin, aku memaksa
mengakui sedang membohongi diri sendiri bahwa dari sisi manapun aku tidak benar-
benar sama dengan Eunbi. Mataku lebih gelap, begitu kontras dengan warna
rambutku. Well..., rasanya begitu mustahil berada di rumah ini tanpa merasa
dicurigai. Dan itu membuatku sedikit nyaman.
Tanganku menyentuh gagang pintu dengan perasaan kalut. Berusaha untuk
tetap tenang, sebelum kembali memakai topengku kembali. Jantungku bergemuruh
39
40
hebat, Kyuhyun sesuai dengan apa yang ada di benakku, dalam opsiku yang kedua,
duduk manis di kamar dengan barang elektronik dalam genggamannya. Aku
tersenyum dan bibirnya sedikit bergerak-gerak. Matanya mengamatiku, rambutku
yang basah, pakaian yang kukenakan. Salah satu alisnya terangkat. “Bagus—”
Aku nyengir, memilih untuk tidak menanggapi dengan kata-kata.
“Sungguh, pakaian itu tampak bagus padamu”
“Benarkah?”
Kyuhyun mengangguk.
“Terimakasih oppa” bisikku.
Aku berjalan ke arahnya, duduk di sisi ranjang yang lain. Aku memandang
sesuatu dilayar ponselnya yang kuyakini sebagai urusan perusahaan yang tidak
kupahami. Aku berpaling untuk memandanginya, menatapnya dengan pandangan
kritis. Tangannya mengambil laptop yang berada di atas nakas lalu memangkunya
dengan gerakan sensual. Lagi-lagi Kyuhyun duduk dan berpangku laptop
“Memangnya oppa benar-benar tidak bisa lepas dari laptop ya?” tanyaku.
Diam-diam aku curiga apakah ada hal lain yang ia lakukan di kantor, hingga
membuatnya harus sesibuk ini di rumah. Kyuhyun melarikan jemarinya di
rambutnya yang hitam, tak mampu meraih dahinya yang lebar.
“Begini lebih mudah”
“Apanya yang lebih mudah?”
Kyuhyun tersenyum sinis. “Ini membuatku lebih santai”
Keningku berkerut, “Kau ini bicara apa, oppa?”
Ekspresi Kyuhyun menyiratkan kemenangan, seolah-olah aku luput
memperhatikan sesuatu yang sudah sangat jelas. Itu cukup membuat ku merasa
malu jika aku memang salah. “Aku sangat sibuk, jadi sebisa mungkin aku
menyempatkannya sebelum tidur”
Wajahku merah padam. “Itu sama sekali tak terpikir olehku,” gumamku.
40
41
41
42
42
43
aku menyikat piring yang kupegang. Satu-satunya suara yang terdengar hanyalah
bunyi sikat plastik menggesek-gesek permukaan keramik. Aku memasang telinga,
berusaha mendengarkan suaranya dari telepon. Barangkali Daehyun, tapi aku tidak
mendengar apa-apa seiring langkahnya yang menjauh dariku. Sadarlah aku bahwa
aku sudah menyikat piring yang sama lebih lama daripada seharusnya, jadi aku
berusaha memusatkan perhatian pada apa yang sedang kukerjakan. Mencoba fokus
meski seringkali aku gagal.
“Brengsek!” seru Kyuhyun, beberapa sentimeter di belakangku, lagi-lagi
membuatku melompat kaget.
“Aduh, oppa, jangan mengagetiku terus!”
“Maaf, ayo...”
Kyuhyun meraih lap dan mengeringkan tumpahan air. “Aku akan meminta
maaf atas kesalahanku. Kau mencuci, aku yang membilas dan mengeringkannya”
“Baiklah,”
Kusodorkan piring itu kepadanya.
“Song..., ini sesuatu yang baru bagiku”
Kyuhyun tertawa. “Kita seperti pasangan suami istri pada umumnya,
setidaknya untuk sekarang”
Aku mengangguk, baru menyadari, barangkali aku yang terlalu banyak
membawa perubahan. Selama beberapa menit berikutnya, aku mencuci dan
Kyuhyun mengeringkan sambil berdiam diri.
“Boleh aku tanya sesuatu?”
Aku mengulurkan piring lagi padanya. “Tergantung pada apa yang ingin oppa
tanyakan padaku”
“Bukan maksudku ikut campur, atau bagaimana— aku benar-benar ingin
tahu” Kyuhyun berusaha menyakinkanku.
“Baik. Apapun, tanyakan saja”
43
44
44
45
45
46
terlalu pusing untukku melihat. Dalam diamku, kudengar langkah kakinya menjauh.
Tapi aku tidak peduli. Aku kembali menarik napas dalam-dalam, sibuk menenangkan
diriku. Saat aku membuka mata, seisi ruangan mulai tampak berpendar-pendar dan
kabur di sisi-sisinya. Benakku terus meyakinkan diriku untuk tetap sadar.
“Coba kulihat”
Tangan kiriku semakin menggenggam ujung sofa erat, berjaga-jaga agar tidak
jatuh pingsang kalau nanti luka itu membuatku pusing lagi. Kyuhyun mengambil
perban dari kotak yang ia bawa dan melilitkannya dengan longgar ke telapak
tanganku yang terluka. “Oppa..., jangan dilihat”
“Pokoknya beri aku kesempatan untuk memutuskan apakah aku harus
mengamuk atau tidak untuk mengobati lukamu”
Aku mengernyitkan wajah dengan sikap ngeri. “Jangan, jangan mengamuk”
Kyuhyun kembali menghembuskan napas dalam-dalam, dihadapanku,
kemudian menghembuskannya dengan suara keras. Tangannya telaten mengolesi
lukaku dengan alkohol, lalu membalut lukaku sempurna. Dibutuhkan beberapa detik
untuk melihat semuanya selesai. Aku bahkan sampai melupakan genggamanku yang
sia-sia. Kyuhyun menarik tangannya, matanya menatap mataku, tenang dan kalem.
“Sudah selesai”
Aku melihat tanganku dan membolak-balikkannya. Lukaku tertutup rapih,
tanpa sisa. Padahal aku tadi melihat luka yang panjang itu dengan jelas, melihat
darah yang mengalir ke bak cuci. Bau darah seperti karat bercampur garam bahkan
nyaris membuatku pingsan. Aku menatapnya tersenyum, aku pasti terlihat konyol
sekali. Bibir Kyuhyun berkerut, membentuk senyuman separo.
“Terimakasih Hyun oppa...” ucapku sembari memperbaiki posisi dudukku
menjadi lebih sopan dihadapan Kyuhyun. Dari sudut pandangku sekarang, Kyuhyun
tidak lagi semenakutkan saat pertama kali kami bertemu. Aku mulai mulai nyaman
dengan permainan ini.
46
47
47
48
48
49
tentang riwayat hidupnya, hanya bahwa ia berasal dari satu garis keturunan dengan
Daehyun sebelum aku menikahinya. Entah mengapa, perubahan terjadi begitu cepat
menyerbu hatiku. Dan aku merasa terintimidasi oleh perasaan ini. Aku tidak pernah
lagi melihatnya sebagai adik bagiku, yang ada hanya sosok wanita sempurna, yang
baru mendatangiku.
Dalam duniaku, aku sudah dewasa. Aku tidak mencari cinta— tidak, saat itu
aku terlalu bersemangat untuk mengusasi apapun hingga tidak peduli dengan
perasaan sejenis itu, aku tidak memikirkan yang lain selain betapa mulianya terjun
ke dalam dunia perang seprti tentara yang mendaftar. Tapi seandainya aku
menemukan..., seandainya aku menemukan seseorang, seandainya aku
menemukannya, benteng pertahananku runtuh. Dan sekarang aku menemukanya,
tidak ada keraguan dalam pikiranku bagaimana aku memulainya. Dan jika waktu
memang bisa diulang kembali, aku ingin begitu aku mengetahui ia adalah orang yang
kucari— aku ingin langsung berlutut dan melamarnya dengan cara yang lebih
manuasiawi. Aku pasti akan sangat mengininkannya untuk selama-lamanya, bahkan
saat kata itu tidak memiliki arti yang sama.
Aku menarik napas. Aku ingin menikmati momen itu kembali. Dan sejenak
aku bisa. Aku melihat dirinya dalam balutan gaun panjang dan blus renda-renda
berleher tinggi, dengan rambut yang disanggul tinggi juga. Wajahnya cantik, dengan
polesan sedikit. Aku melihat diriku tampak tampan dalam setelan jas warna terang,
memgang buket bunga-bunga liar, duduk berdampingan dengannya di ayunan teras.
Aku menggeleng dan menelan ludah. Aku menyadari telah jatuh cinta dengannya,
dengannya yang baru dan jikapun ia kembali berubah, aku tetap akan mencintainya
seumur hidupku.
Teorinya, aku sangat ingin, bahkan bersemangat menukar apapun dengan
keabadian bersamanya. Bagaimanapun itu adalah kunci agar aku bisa bersamanya
selamanya, teorunya itu masuk akal. Praktiknya... yang kutahu aku hanya perlu
49
50
menjadi manusia yang lebih normal. Masa depan di luar sana ibarat dalam dan gelap
yang takkan kuketahui dasarnya sampai aku melompat ke dalamnya. Barangkali
seperti itulah kehidupanku bersamanya kelak, aku tidak tahu kapan ia akan kembali
seperti dulu dan berpulang dalam pelukan Kangin. Dan aku tahu apa yang
kulakukan, tidak akan ada yang pernah kubiarkan ia menjadi milik siapapun. Sudah
cukup aku berbaik hati membiarkanya hidup bebas bersama Kangin. Sudah saatnya
aku mengambil apa yang seharunya menjadi milikku.
Waktu terus berjalan terlalu cepat.
Malam itu berlalu tanpa diganggu mimpi, barangkali aku memang tidak
pernah bermimpi semenjak kami berbagi ranjang berdua, tiba-tiba saja sudah pagi
dan hari selanjutnya membayang di depan mata. Ada setumpuk hal yang harus
kupelajari untuk mengajakknya berkencan seperti kebanyakan orang, dan aku tahu
aku bahkan tidak akan bisa menguasai setengahnya. Aku tersenyum, tidak ingin
menyebut siapa namanya, aku mencintainya. Aku mempunyai perasaan yang baru
selama ku hidup, bukan berarti aku tidak tertarik pada perempuan, sungguh bukan.
Hanya saja, jika ditarik benang merahnya, itu hanya akan kembali pada larangan
keras ayahku untuk tidak memberikan hatiku untuk siapapun.
Mungkin ini terlalu mendadak, tapi perasaan orang juga tidak bisa ditebak.
Aku perlu menyiapkan sesuatunya, aku perlu memperbaiki sikapku, menebus dosa-
dosaku semasa dulu. Aku ingin mengimbangi perubahannya yang drastis, bisa jadi
semuanya dan akhirnya aku memang ditakdirkan untuk terus bersamanya, sampai
kapanpun.
50
51
BAGIAN TIGA
Eunso side’s
SEMUA SUDAH SIAP.
Aku berkemas-kemas untuk menginap dua malam bersama Kyuhyun,
semuanya sudah ia siapkan di mobil, yang hanya perlu kulakukan hanya mengikuti
intruksinya. Diam selagi ia sibuk menyiapkan sesuatu yang nantinya, mungkin akan
kami perlukan. Aku sudah memberikan banyak pilihan untukku sendiri, memilih
bertahan atau terbawa arus bersama Kyuhyun. Aku diam menyadari bahwa dua
pilihan itu terasa tidak pantas untuk di sejajarkan. Aku mungkin bisa saja memilih,
tapi pilihan pertama menjadi tak terlihat olehku. Toh... lagipula aku juga tidak
terpaksa untuk memilih yang kedua, memilih terbawa arus bersama Kyuhyun. Aku
sudah melakukan semua bentuk pertahananku yang kubisa. Aku berusaha
menerima itu dengan senang hati walaupun akhirnya aku juga tidak akan
mendapatkan apapun selain kekecewaan.
“Untuk malam ini saja, bisakah kita mencoba melupakan hal-hal lain kecuali
kau dan aku?” pinta Kyuhyun, mengeluarkan segenap pesona lewat sorot matanya
yang tertuju padaku. “Sepertinya aku tak pernah bisa punya cukup waktu seperti itu.
Aku perlu berduaan denganmu. Hanya denganmu”
Ini bukan permintaan yang sulit untukku setujui, walaupun aku tahu jauh
lebih mudah untuk mengatakan akan melupakan ketakutanku daripada
melakukannya. Aku tidak terlalu mengerti apa yang Kyuhyun katakan, jika benar ia
ingin berduaan denganku, bukankah di rumah juga sama saja? Ada banyak hal yang
kupikirkan sekarang, tapi mengetahui kami hanya akan berdua malam ini, itu
mungkin membantuku. Aku sudah menyerah, dan barangkali aku memang
ditakdirkan untuk ini, aku siap.
“Baik...”
51
52
Aku menyadari.
Ada hal-hal yang sudah berubah.
Misalnya aku sudah siap.
Aku sudah siap dengan segala konsekuensi yang bisa menyerangku kapan
saja. Perasaan takut, bersalah, dan gelisah yang kurasakan sekarang telah
mengajariku. Tentang bagaimana aku harus membahagiakan diriku sendiri. Aku
sudah mendapat kesempatan untuk berkonsentrasi memikirkan hal ini, saat aku
memandangi bulan di balik awan-awan sambil bersandar pada bahunya aku tahu
aku tidak akan panik lagi. Aku tak harus memilih, karena sebenarnya memang tak
ada pilihan untukku selain mengikuti hatiku. Lain kali, jika aku dihidupkan kembali,
aku takkan pernah harus memilih antara Kyuhyun dan Eunbi. Aku hanya perlu
memilih dan melakukan bagianku sendiri, dan berharap aku benar-benar akan
bahagia.
Biarpun sudah mantap dengan keputusanku, aku tidak kaget saat perasaan
gugup masih bisa menyerangku saat melihat jalanan mulai sepi. Kyuhyun duduk di
kursi pengemudi, menyusuri jalan panjang menuju mansionnya. Ia tersenyum,
mengemudi dengan lambat. Dari remang-remang, aku masih bisa menikmati pesona
wajahnya yang tampan. Sudut mataku tidak bisa memungkiri, sekalinya aku selalu
merasa jatuh saat berada didekatnya. Hari sudah gelap saat kami sampai. Meski
begitu padang rumput terlihat terang benderang akibat cahaya lampu yang
terpancar di setiap jendela. Begitu mesin mobil dimatikan, Kyuhyun segera keluar
dan sudah berada di samping pintuku, membukakannya untukku. Tangannya
menarikku turun dengan satu tangan, menyambar tasku di sisi belakang lalu
menyampirkannya di pundak dengan tangannya yang lain.
“Selamat datang” ucapnya, matanya cair dan hangat.
“Kedengarannya menyenangkan” kataku.
“Aku punya sesuatu untukmu,” kata Kyuhyun saat kami masuk ke rumah.
52
53
“Oppa, aku tidak suka diberi sesuatu” tegurku mengingatkan. Bagiku, itu
menghamburkan uang. Tapi bagi Kyuhyun, uang hanyalah hal sepele. Ia punya
banyak uang— aku bahkan tidak ingin membayangkan jumlahnya. Uang hampir tak
ada artinya untuk Kyuhyun, jauh berbeda denganku.
“Barang yang dulu menjadi milik orang lain, kurasa kau mau menerimanya”
Aku berpikir sejenak.
“Apa tidak apa-apa jika diberikan padaku?”
“Memangnya ada yang melarang?”
“Mm... maksudku apakah tidak apa-apa jika pemberiannya padamu justru
kau berikan padaku, oppa?”
“Kurasa tidak masalah”
“Mengapa begitu yakin?” aku terus bertanya. “Karena itu adalah
permintaannya padaku”
Kyuhyun menggenggam tanganku lembut, sorot matanya mengingatkanku
untuk tetap tenang, rileks. “Barangnya ada di kamar. Bagaimana kalau kita
mengambilnya?”
Aku sempat ragu, tapi menjadi sangat yakin saat ia menautkan jemarinya di
sela-sela jemariku. “Ayo kita kesana”
Kyuhyun pasti benar-benar ingin memberiku benda bukan hadiah. Barangkali
tidak sabar dengan langkahku yang lamban, Kyuhyun meraupku dalam
gendongannya, nyaris membuatku berteriak karena reflkesku yang mendadak. Ia
menurunkanku di depan pintu, lalu melesat masuk menuju lemari.
Ia sudah kembali sebelum aku sempat maju selangkah pun. Tapi aku
mengabaikannya dan tetap berjalan menghampiri kursi panjang di sudut ruangan,
menghempaskan tubuhku di pinggir dan bergeser ke tengah. Kyuhyun tertawa.
Kemudian ia ikut duduk di sebelahku, tak berjarak, sangat dekat hingga aromanya
membuatku merasa mau mati. Detak jantungku langsung berantakan, mudah-
53
54
mudahan Kyuhyun mengira itu karena aku gugup hendak diberi hadiah bukan
karena kehadirannya yang memabukkanku.
“Barang yang pernah dimiliki orang lain”
Kyuhyun mengingatkan dengan nada tegas.
Ditariknya pergelangan tangan kiriku, dan disentuhnya gelang perak itu
sekilas. Lalu ia melepaskan lenganku kembali.
Aku mengamatinya hati-hati. Di sisi yang berseberangan, aku melihatnya
begitu kontras dengan warna kulitku yang pucat. Aku terkesiap pelan, berusaha
tidak membohongi diri bahwa itu benar-benar cantik dan terasa tidak pantas
diberikan padaku.
“Dulu itu milik ibukku”
Kyuhyun mengangkat bahu dengan sikap seolah-olah itu hanya masalah
sepele. Air mataku seakan menerbak, aku merasa sangat tidak pantas untuk apapun.
Bagaimana bisa barang yang begitu berharga diberikan padaku?
“Ia memberikannya padaku, dan aku memberinya padamu”
Aku tersenyum sendu mendengarnya.
“Aku..., kurasa aku tidak bisa menerimanya...” ucapku berhati-hati sekarang.
“Kenapa?”
Kenapa? Karena aku bukan Eunbi yang dimaksud hatimu. Aku bukan
seseorang yang telah disatukan denganmu dimata Tuhan. Well..., aku bisa saja
menerima, tapi... aku juga tidak ingin menyiksa diriku lebih jauh meski tawaran itu
begitu menggiurkan. Aku butuh pengendalian diri yang kuat. Aku mencondongkan
tubuh ke arahnya, merasa masa bodoh dengan tingkahku yang kelewat tidak sopan.
Aku hanya ingin menyampaikan sesuatu, “Aku sangat berterimakasih, untuk itu dan
untuk hatimu”
“Song...”
54
55
55
56
56
57
menanggungnya. Aku duduk diam tak bergerak, menyerap semua itu. “Jadi..., bukan
karena kau tidak suka dengan pemberianku, kan?”
Aku menghembuskan napas keras-keras.
“Kau khawatir aku tidak akan menyukai apapun darimu?” tuntutku.
Kemudian, sebelum ia sempat menjawab, tawaku meledak. “Oppa, itu hal yang tidak
mungkin”
“Aku kan hanya mengira,”
Ia menatapku sambil membelai pipiku, dan aku merasakan darah mengalir
cepat dan membuat kulitku merah padam. Kyuhyun ikut tertawa lembut.
“Tapi itu sangat lucu, menyenangkan”
“Lebih menyenangkan lagi, ketika aku mendengar detak jantungmu...”
sambungnya, lebih serius tapi tetap tersenyum. “Itu adalah suara paling signifikan di
duniaku. Aku sudah sangat terbiasa mendengarnya sekarang, dan aku bahkan bisa
merasakannya dari jarak beberapa kilometer.
“Jangan mendengarnya...”
“Tapi ini menyenangkanku”
“Kau terganggu, ya?”
Kyuhyun menggeleng, “Kurasa aku senang, dengan maksud detak
jantungmu”
Aku bergeming, pikiranku kusut memikirkannya. Aku menatap tangannya.
Waktu tidak akan membuatku kebal terhadap kesempurnaan Kyuhyun, dan aku
yakin tidak akan pernah menganggap sepele aspek apapun yang ada dalam dirinya.
Lama aku menyadari, ada satu hal yang benar-benar pasti dan kuyakini bahwa aku
telah jatuh, menyerah. Aku mencintainya, bukan karena dia tampan dan kaya. Tapi
karena jauh sebelum itu ia telah membuatku nyaman. Ini mungkin tidak pantas, tapi
aku juga tidak bisa menyangkal bagaimana cara untuk membuatnya berhenti.
Semuanya mengalir deras tanpa bisa kubendung dengan benteng pertahanku.
57
58
58
59
ada yang kuinginkan. Tapi aku tak bisa berkonsentrasi dengannya. Kedua tanganku
menekan lantai-lantai hitam, beringsut naik, tapi gerakannya yang turut duduk di
sampingku membuatku mengurungkan niat. Kurasa tidak ada salahnya. Tubuhnya
yang besar hanya berjarak beberapa senti saja dariku, kaki kanannya yang panjang
turut berayun disebelahku sedang kakinya yang lain ditekuk silang, membuat
Kyuhyun menjadi terlihat lebih berkharisma di mataku.
“Tidak turun?”
Aku menggeleng pelan, pertanyaan itu membuatku lebih tegang daripada
sebelumnya. Aku berusaha sebisa mungkin menggambarkan hal-hal abstrak seperti
apa saja yang bisa membuatku melupakan keinginanku untuk turun. Well..., kurasa
tidak baik jadinya jika aku harus turun dan berbagi kolam renang dengannya.
Bagaimanapun aku tetap harus berhati-hati akan hal yang bisa menjebakku di
kemudian hari. Aku menoleh ke arahnya, lalu membelalak lebar saat tiba-tiba ia
berdiri dan melepas pakaian atasnya. Napasku tercekat, jantungku berdebar
kencang seperti racun bagiku. Aku mengalihkan pandanganku sebisa mungkin,
kemana saja asalkan jangan ke tubuh Kyuhyun yang setengah telanjang.
Kinerja otakku menjadi tidak terkontrol, bukan karena aku berpikiran yang
tidak-tidak, tapi lebih karena ini adalah sesuatu yang baru bagiku. Darah mengalir
cepat hingga aku bisa merasakan wajahku memanas, merah. Benar bukan, aku tidak
bisa menjadi biasa untuk alasan apapun jika itu menyangkut Kyuhyun. Aku terlalu
mencolok.
BYUR
Tubuhku sedikit terjengkit ke belakang saat air mengenai sebagian depan
bajuku. Aku tidak bisa. Nuraniku mengingatkan, berpacu secepat mungkin bahwa
tidak seharusnya aku berada di sini untuk jangka waktu yang lama. Aku tidak harus
memandangi Kyuhyun yang kelewat rupawan, bahaya. Well..., melihat Kyuhyun
dalam keadaan seperti ini membuat pikiranku tidak fokus. Itu membahayakanku.
59
60
60
61
61
62
62
63
yang mampu membuatku lebih rileks dari apapun, well..., kalau dipikir-pikir ini
seperti perjalanan bulan maduku bersama Kyuhyun.
Pantai.
Bayang-bayang dari ulah cerobohku pagi tadi berkecamuk dalam pikiranku
sementara aku mencoba membayangkan hal yang menyenangkan untuk
dipikirkan.... desir angin pantai, wajah Kyuhyun, aku memikirkannya lama sekali.
“Sejak tadi kau diam saja,” komentar Kyuhyun saat kami sudah benar-benar
di luar mobil. Angin sepoi-sepoi menerpa wajahku yang telanjang.
“Apakah perjalanan ini membuatmu mual?”
“Tidak, aku baik-baik saja oppa”
“Kau sedih karena aku membawamu pergi?”
“Itu lebih tidak mungkin”
Kyuhyun mengangkat sebelah alisnya. Aku tahu tak ada gunanya dan
walaupun aku benci mengakuinya, tidak perlu memintanya untuk tetap
memperhatikan jalan di depan.
“Katakan padaku jika ada yang membuatmu kurang nyaman” ucapnya
memperingati. “Aku tahu oppa, dan aku akan menjaga diri”
Ia mungkin tak akan pernah mengerti bahwa titik dari ketidaknyamananku
justru terletak pada perhatiannya yang kadang membua tku terlena. Aku mendongak,
berniat melontarkan komentar sarkatis, tapi wajah Kyuhyun yang ternyata lebih
dekat daripada yang kuharapkan. Mata emasnya membara, hanya beberapa
sentimeter jauhnya, dan embusan napasnya sejuk menerpa bibirku yang terbuka.
Aku bisa merasakan aromanya di bibirku.
Aku langsung lupa dengan komentar pedas yang akan kulontarkan tadi. Aku
bahkan lupa namaku sendiri.
Kyuhyun tidak memberiku kesempatan untuk pulih dari kaget.
63
64
64
65
65
66
Aku bertanya-tanya dalam hati, apa yang akan ia lakukan seandainya Romeo
meninggalkannya, bukan karena dilarang menemuinya, tapi karena kehilangan
minat? Bagaimana seandainya, alih-alih menikahi Juliet, Romeo justru menghilang?
Kurasa aku tahu bagaimana perasaan Juliet.
Juliet pasti takkan kembali ke kehidupan lamanya, tidak terlalu. Ia tidak
mungkin melanjukan hidup, aku yakin itu. bahkan seandainya ia hidup sampai tua
dan keriput, setiap kali memejamkan mata, wajah Romeolah yang akan selalu
terbayang. Ia akan menerima kenyataan itu, pada akhirnya. Aku bertanya-tanya
apakah akhirnya Juliet akan menikah dengan pria lain, hanya untuk membahagiakan
orangtuanya, demi menjaga ketenangan. Tidak, mungkin tidak, aku memutuskan.
Tapi kisah itu memang tak banyak bercerita tentang Juliet dan pria lain. Ia hanya
peran pembantu— tempelan, ancaman, tenggat waktu untuk memaksa Juliet.
Bagaimana jika peran pria itu lebih dari yang ada dalam cerita?
Bagaimana seandainya itu adalah teman Juliet? Seandainya itu adalah
sahabatnya, bagaimana seandainya jika pria itu satu-satunya orang kepasa siapa
Juliet bisa mencurahkan keluh kesahnya tentang hubungan cintanya yang gagal
dengan Romeo? Satu-satunya orang yang benar-benar memahami Juliet dan
membuatnya merasa seperti manusia normal lagi. Bagaimana seandainya pria itu
sabar dan baik? Menjaga Juliet dengan baik-baik? Bagaimana seandainya Juliet tahu
ia tak mungkin bisa bertahan tanpanya? Bagaimana kalau pria itu benar-benar
mencintai Juliet dan ingin agar ia bisa bahagia?
Dan bagaimana bila Romeo tidak mencintai Juliet? Tidak sebesar cinta yang
telah Juliet berikan. Desah napas Kyuhyun yang lambat dan dalam adalah satu-
satunya suara manusia di sampingku selain angin yang menubruk pohon-pohon di
belakang kami. Suaranya seperti ninabobo yang digumamkan pada seorang anak,
seperti suara kursi goyang, seperti detak jarum jam tua di saat kau tidak perlu pergi
ke mana-mana. Pendek kata, suara yang membawa kedaiman.
66
67
67
68
68
69
69
70
bahagia? Tidakkah masih tersisa sedikit perasaan sayang sebagai saudari dalam
dirinya untuk menginginkan itu bagiku? Kurasa pasti masih. Eunbi tidak mungkin
marah padaku karena hai ini: memberikan secuil cintaku yang besar pada suaminya,
Kyuhyun. Lagipula, ia juga tidak mempunyai cinta yang sama denganku.
Kyuhyun menempelkan pipinya yang hangat ke puncak kepalaku.
Jika aku memalingkan wajahku ke samping— jika aku menempelkan bibirku
di area lehernya yang telanjang, aku tahu benar apa yang akan terjadi selanjutnya.
Mudah sekali. Tidak perlu ada penjelasan apa-apa malam ini untuk alasanku.
Tubuhku akan bergetar, memberi respon yang tidak seharusnya.
Tapi bisakah aku melakukannya? Mampukah aku mengkhianati Eunbi demi
menyelamatkan hidupku yang menyedihkan? Kupu-kupu menggelepar dalam
perutku saat aku berpikir untuk memalingkan wajah.
“Berbahagialah,” katanya. Matanya menatap jauh ke arahku, mencoba
mencari-cari. “Berbahagialah, denganku”
Aku langsung membeku.
“Bolehkah?”
Kyuhyun mengangguk, “Apa yang membuatmu yakin bahwa aku adalah
orang yang pantas kau bahagiakan?”
“Orang bilang, cinta tak akan perlu alasan. Tapi..., bagiku. Karena itu dirimu,
adalah alasan terbesarku untuk bertahan” jawabnya.
“Aku penasaran,”
“Penasaran untuk?”
“Jika..., kedepannya aku melakukan hal yang paling tidak kau sukai?
Apakah..., aku masih bisa menempati hatimu, oppa?”
“Ya,”
Aku merasa bahwa hidupku saat ini selalu ketinggalan zaman. Pergaulan
sosial begitu hiruk pikuk. Sering kali akua merasa gaya hidup zaman modern ini tidak
70
71
masuk akal. Bayangkan, seorang lelaki bernama Cho Kyuhyun bisa begitu percaya
pada semua hal yang akhirnya hanya akan membuatnya sakit. Well..., atau memang
dunia sudah separah ini? Atau udikku yang memang tidak ada habisnya? Atau,
apakah aku sekarang tidak lagi menjadi perempuan yang memiliki pikiran kritis?
Angin menampar pipiku. Siapa yang bilang jika teknologi bisa menuntaskan
beragam persoalan hidup pada abad ini?
“Ya, oppa. Dan aku akan benar-benar menagih janjumu, kemudian hari”
71
72
BAGIAN EMPAT
Seindah sandiwara, tentu akan berakhir. Cepat atau lambat, semuanya pasti
selesai –entah, dengan ending menyenangkan atau menyesakkan hati. Semua tentu
hanya soal waktu, lebih dari hati.
Eunso side’s
Setelah makan malam, aku melipat pakaian dan memindahkannya ke mesin
pengering. Sayangnya ini jenis pekerjaan yang hanya dapat menyibukkan tanganku
saja. Pikiranku jelas punya banyak waktu senggang, dan sudah mulai tak terkendali.
Pikiranku berpindah-pindah antara antisipasi yang begitu kuat hingga nyaris
menyakitkan, dan perasaan sangat senang yang membulatkan tekadku. Aku harus
terus mengingatkan diri bahwa aku telah membuat keputusan untuk jatuh cinta
pada Kyuhyun, dan tak akan mengubahnya. Aku hanya perlu berpegangan pada
diriku, aku hanya jatuh cinta, tanpa hasrat untuk merebutnya dari Eunbi. Dan atas
pilihanku yang lainnya— menyalahkannya dari hidupku? Tidak mungkin. Lagipula,
sejak awal kedatanganku di rumah ini, kelihatannya hidupku benar-benar tentang
dirinya.
Tapi suara kecil di relung benakku yang terdalam berkerut cemas, bertanya-
tanya apakah akan sangat menyakitkan bila semua ini berakhir buruk. Kalau aku
merasa tidak rela akan akhir semuanya.
Aku merasa lega ketika hari sudah cukup malam untuk tidur. Aku tahu aku
terlalu tegang untuk bisa tidur, meski aku sudah berusaha melupakan apa rencana
Kyuhyun esok hari. Aku mendorong pelan pintu kamar yang sepenuhnya tidak
tertutup dan tersenyum mendapatinya terjaga. “Lama sekali”
“Oppa bisa tidur lebih dulu”
Tapi..., aku memang tidak bisa tidur tanpamu”
Aku nyengir sejenak, “Sebelum ini oppa juga tidak pernah tidur denganku”
72
73
73
74
“Oppa...” panggilku.
“Kita sudah sepakat,” ia mengingatkanku, merasa puas. Lalu duduk dan
menyambut mangkuk kecil berisikan gyeran jjim dari tanganku. Aku menggigit bibir
pelan, “Aku kan hanya memangilmu”
“Kurasa, aku sudah cukup paham dengan makna dibalik panggilanmu itu”
Aku mengalihkan pandangan, hati-hati menyaduk gyeran jjim dan
memasukkannya dalam mulutku. Kyuhyun tertawa, sedikit ceria ketika melihatku.
Aku sengaja mengunyahnya pelan-pelan, mencoba mengulur waktu lebih lama. Bisa
saja, keberuntungan memihakku sebentar lagi. Sudut mataku melirik pakaian yang
Kyuhyun kenakan, kaus pendek cokelat muda, dengan kerah hitam mengintip
dibaliknya. Aku menunduk, mencoba memastikan aku benar-benar merasa cukup
untuk bersanding dengan Kyuhyun. Aku sedikit tertawa, lagipula..., aku tidak akan
lama di sini.
Kami menyantap sarapan dengan cepat, usahaku sekarang terlihat sangat
sia-sia. Kyuhyun buru-buru membereskannya ketika kami selesai. Aku mengintip ke
arah jendela lagi, tapi yang kulihat justru matahari sudah kian meninggi. Jantungku
berdetak kencang.
“Sayang...”
“Ya”
“Ayo”
Dan dia tampak berdiri di hadapanku, menggenggam tanganku lembut.
Semua kegelisahanku lenyap begitu melihat sorot matanya. Kini aku merasa tenang,
sekarang. Kami berjalan beriringan, aku mengunci pintu sementara ia berjalan ke
arah mobil. Tanganku sedikit gemetar saat pintu sudah benar-benar terkunci, dan
herannya itu dilakukan olehku sendiri. Aku melangkah pelan-pelan, keengganan
begitu ketara dalam ekspresiku. Sesampainya di samping, kulihat ia menungguku
dengan ekspresi yang tak berdosa yang mudah di tebak.
74
75
75
76
76
77
77
78
“Kemana? Oppa, cepat katakan hendak kemana kita?” aku terus mengulangi
setiap pertanyaannya sebisa mungkin. Tanganku meremas tangan Kyuhyun,
mencoba memaksanya mengaku. “Kau tahu jawabanku”
Aku berpura-pura tidak mendengar. Aku sepertinya sudah benar-benar
menyerah untuk menanyakannya kembali.
“Jangan marah” sahutnya saat aku mengabaikan kata-katanya.
Aku diam, pandanganku lurus ke jalan. Jika benar kemarahanku adalah
senjata ampuh untuk membuatnya luluh, aku menyesal tidak menggunakannya
sejak tadi.
“Tempat itu, sering kudatangi akhir-akhir ini”
Kepalaku dengan cepat menoleh, lebih penasaran lagi tentang apa yang dia
maksud. “Sebenarnya..., aku ingin mengatakannya nanti. Tapi kurasa itu tidak cukup
penting daripada menjaga moodmu tetap baik”
Tangan kananku bergerak menumpu punggung tangannya yang ada
digenggamanku. Tubuhku nyaris saja menempel bahunya jika tidak ada selfbelt yang
menghalangiku. “Bukan seperti itu oppa, aku tidak ada maksud lain selain
penasaran. Op—pa bisa menyimpannya nanti. Tidak perlu mencemaskan
ketidaksabaranku”
Kyuhyun mengangkat bahu pelan. Nadanya terdengar sendu di telingaku, itu
membuatku risih. “Aku sedih sekali”
Mataku membelalak lebar, merutuki sikapku yang keterlaluan.
“Kyuhyun oppa, jangan begitu. Maafkan aku ya?”
“Rasanya seperti ada yang menusukku, sakit”
“Opppaa... maafkan aku. Aku bisa sabar, aku janji”
Aku sudah hampir menangis, tapi Kyuhyun hanya diam tanpa menoleh ke
arahku. Lama aku memandangi ekspresinya yang aneh. Aku ragu itu asli atau
barangkali hanya sebuah tipuan. Aku bingung memutuskan hingga akhirnya aku
78
79
sadar dan kembali merutuki kebodohanku yang tak berujung. Aku buru-buru
mengganti ekspresiku dengan cepat lalu menatapnya nyalang.
“Kau memang menggemaskan”
Aku mengernyit.
“Oppa! Kau mempermainkanku?”
“Tidak”
“Kenapa tertawa begitu?”
“Memangnya ada yang melarangku tertawa?”
Aku mengerang jengkel, tidak berarti benar-benar marah. “Kau membuatku
takut tahu” gerutuku.
“Baiklah, baiklah... maafkan aku”
Dari tempat dudukku aku bisa melihat tarikan bibirnya, sebelum ini aku tak
begitu menyadari jika dilihat dari sisi manapun, Kyuhyun terlihat tampan. Selama
sisa perjalanan kami diam membisu. Aku bisa merasakan gelombang ketenangan
dan menenangkan dalam dirinya, dan aku tak tahu harus melakukan apa selain
menikmatinya.
Jalanan semakin menyempit, kemudian berakhir menjadi jalan setapak
dengan penanda kayu kecil. Sisi kanan kirinya terlihat rapi, jelas itu efek dari
pemugaran. Aku sedikit bertanya-tanya siapa dan apa motif dari semua ini. Jika
tempat ini benar sebuah objek wisata, well... tidak ada orang selain aku dan
Kyuhyun. Tapi jika ini milik pribadi, memangnya siapa yang rela menghabiskan uang
untuk mendesain ini semua?
Kyuhyun memarkir mobil di sisi jalan dan melangkah keluar, membukakan
pintu untukku. Sekarang di luar terasa hangat, lebih hangat dari apa yang kupikirkan
tadi pagi. “Lewat sini, sayang,” katanya sambil menoleh, sorot matanya tajam.
Jantungku berdebar, tidak pernah benar-benar terbiasa dengan sebutan
sayang. “Kemarikan tanganmu”
79
80
80
81
81
82
Aku menunduk menatap tangan kami yang saling bertaut, dan dengan
lembut menggerak-gerakkan tanganku di telapak tangannya yang besar. Kyuhyun
tersenyum, wajahnya tampak malu.
“Cantik sekali” ucapku, untuk Kyuhyun dan sesuatunya yang memukauku.
Kehadirannya membuat hamparan bunga putih kuning semakin terlihat mempesona
di mataku.
“Tidak ada yang lebih cantik dibanding dirimu”
“Jangan begitu...” ucapku malu, tapi sangat senang di dalam hati.
Kyuhyun melihatku, ragu-ragu sejenak untuk memulai. Ia membimbingku,
menyentuhkan lengannya yang besar untuk melingkar dipunggungku. Kami berjalan
lurus beberapa meter, dan berhenti tepat di bawah pohon. Sisi-sinya bergantungan
tanaman lain yang tidak ku mengerti. Kyuhyun mendudukkanku di batu besar,
kemudian menyusulku tepat tanpa jarak di sebalah kiri.
“Berapa umurmu, sayang?” tiba-tiba ia bertanya padaku.
Suaranya terdengar frustrasi karena alasan yang tak bisa kutebak atau
kubayangkan.
“Duapuluh dua tahun” jawabku sedikit bingung.
“Kau tidak seperti berada dalam rentang umur itu”
Nada suaranya sumbang, membuatku tertawa. “Kenapa, oppa?”
“Kau seperti gadis tujuhbelas tahun”
Aku menggeleng cepat. “Tidak...” jawabku memanjangkan huruf di akhir.
Raut wajah Kyuhyun berubah dan ia langsung mengganti topik pembicaraan.
“Baiklah...”
Mataku menatapnya bingung, tanganya meraih kedua tanganku untuk ia
genggam. Aku melihatnya, itu lebih terlihat seperti anak burung dalam sangkar. Kecil
dan terlindungi.
“Selamat bertambah usia, kekasihku”
82
83
83
84
84
85
tidak mengeluarkan hal-hal yang tidak kuinginkan. Barangkali aku nanti keceplosan.
Itu kan tidak lucu.
“Aku tumbuh menjadi gadis yang pemalu, selama dua tahun aku hidup aku
jarang mengalami hal-hal yang biasa orang lakukan. Aku tidak begitu mengingat
bagaimana masa kecilku, tapi dapat kujamin itu hal yang menyenangkan. Hidupku
sangat monoton, tidak terlalu memiliki banyak teman, barangkali aku memang tidak
mudah bergaul seperti Daehyun oppa atau saudaraku yang lain” putusku memilih
untuk tidak menyebutkan Eunbi.
Kyuhyun mendengarnya terksiap, meski bagiku sendiri nyaris tak terdengar.
Ia menunduk dan menatapku lagi. “Seperti yang kau tahu, aku suka hijau, gunung,
aku gemar memasak dan menanam bunga. Secara umum tak ada hal yang tidak
kusukai, tapi itu dulu... sebelum aku mengenalmu. Sekarang..., aku patut
berterimakasih atas perasaan yang kau berikan padaku. Atas perasaan
ketidaksukaan yang mendadak memenuhi hatiku, membuatnya terasa sesak akan
perasaan yang tidak menentu”
“Kau tidak menyukaiku?”
Aku menggeleng pelan, “Bukan aku tidak menyukaimu, tapi ada hal-hal yang
memang tidak suka kulihat”
“Contohnya?”
Beberapa detik berlalu sebelum aku menyahut. Aku memilih kata-kata
dengan hati-hati.
"Kelelahanmulah yang membuat hatiku resah. Dan aku tidak menyukai
perasaan itu. Aku tidak suka jika urusan perusahaan mulai membuat dahimu
berkerut. Aku tidak suka jika kau tidur membelakangiku, saat kau tidak
menghabiskan makananmu, aku sebenarnya tidak terlalu menyukainya. Itu mungkin
terdengar sepele, tapi itu adalah bentuk perhatianku padamu,”
“Kenapa?”
85
86
“Karena itu mengganggu kinerja hatiku. Aku ingin kau selalu baik-baik saja”
Aku kembali berujar, tanpa memberinya kesempatan untuk menyahut.
“Bagaimana dengan ibumu?”
Aku memandangnya, mengamatinya dengan tatapan penasaran. Bukankah
seharusnya Kyuhyun melihat ibuku saat pemberkatan? Aku ingin sekali bertanya tapi
kehangatan memeluk batinku saat sosok eomma melewati pikiranku.
“Dia sangat mirip denganku, bedanya dia jauh lebih cantik”
“Kau yang paling cantik”
Aku berhenti bicara. Membicarakan ibuk membuat hatiku tergores akan apa
yang telah jauh kulakukan. “Dia teman baikku”
Kyuhyun mengangguk. Tangannya mengelus pelan sisi bahuku sebelah kiri,
menyadari akan perubahan emosiku. “Kau baik-baik saja?”
“Ya” jawabku lembut.
“Ada yang ingin kau ceritakan padaku, lagi?”
“Belum...,”
“Baiklah, itu menenangkanku”
“Giliranmu”
“Maksudnya, Song?”
Aku tertawa melihat ekspresinys. “Aku sudah menceritakan sebagian
tentangku, tidakkah itu adil jika kau tidak menanggapinya dengan ceritamu?”
Aku duduk diam, memerhatikan wajahnya. Kutekan rasa penasaranku,
meskipun nyaris tidak mungkin. Kyuhyun menarikku untuk lebih dekat ke arahnya.
“Apakah itu sangat penting?” untungnya senyumnya masih tetap
mengembang.
“Sangat, bagiku”
Kyuhyun mendesah, kemudian menatap mataku.
“Aku Cho Kyuhyun”
86
87
87
88
88
89
89
90
mengerang keras dalam hati, “Jangan pernah pergi dariku,” timpalnya, tak mampu
menyembunyikan hasrat dalam suaranya.
“Setuju,” balasku, wajahnya berubah menjadi senyuman lembut.
“Kemarikan borgolnya— aku adalah tawananmu.”
Tapi tangannya yang panjang membentuk borgol di sekeliling pergelangan
tanganku saat aku selesaikan ucapanku. Kyuhyun mengeluarkan tawa merdunya
pelan.
“Kau tampak lebih... ceria dari biasanya,” kataku. “Aku belum pernah
melihatmu seperti ini sebelumnya”
“Bukankah seharusnya memang seperti ini?” Kyuhyun tersenyum.
“Keindahan cinta pertama, dan semuanya. Bukankah mengagumkan,
perbedaan antara membaca sesuatu, melihatnya di gambar, dan merasakannya
sendiri?”
“Sangat berbeda,” timpalku.
“Contohnya—” kata-katanya mengalir sekarang. Aku sampai harus
berkonsentrasi untuk menangkap semuanya. “Perasaan cemburu, aku terkejut
karena kemarahan, nyaris murka, yang kurasakan— awalnya aku tak menyadarinya.
Aku bahkan lebih jengkel daripada sebelumnya hanya karena kau mengabaikanku”
“Lalu semuanya mulai jelas,” ia tergelak. Aku menatapnya heran.
“Aku memang tidak ingin berbagi pada siapapun”
“Well..., aku juga tidak ingin membagi dengan siapapun”
“Kau tidak takut padaku?”
“Tidak, sama sekali”
“Itu kuanggap sebagai ujud penerimaanmu”
Matanya berkilat-kilat menatapku. “Aku kaget, sedikit tak percaya aku telah
mempunyai sebuah perasaan, menaruh diriku dalam kuasamu— dirimu. Aku tak
terbiasa merasakan ini, sangat menyebalkan”
90
91
91
92
untukku, dan aku menyadari jika aku menyukainya. Jauh sebelum kau menyukaiku,
kurasa aku sudah lebih dulu jatuh hati padamu”
Kyuhyun mengangkat tangannya yang bebas, dan menaruhnya dengan
lembut di leherku. Aku duduk diam tak bergerak, sentuhannya yang hangat
menenangkanku. Darahku mengalir deras, dan aku berharap sebisa mungkin untuk
memperlambatnya, sadar ini pasti akan membuat semuanya akan terasa lebih
sulit— detak jantungku pasti ia mendengarnya.
“Rona pipimu cantik,” gumamnya.
Dengan lembut ia membelai pipiku, lalu memegang wajahnya di antara
sepasang tangan pualamnya.
“Song... jangan bergerak”
Perlahan-lahan tanpa mengalihkan pandangannya dariku, ia mencondongkan
wajah ke arahku. Lalu tiba-tiba, namun teramat lembut, Kyuhyun menempelkan
pipinya yang dingin di cerucuk leherku. Dengan kelambata disengaja, tangan-
tangannya bergerak menuruni leherku. “Oppa...”
Tubuhku gemetar, dan aku mendengarnya terengah. Tapi tangannya tidak
berhenti ketika dnegan lembut beralih ke bahuku, kemudian berhenti. Wajahnya
bergeser ke samping, hidungnya menyusuri tulang selangkaku. Lidahku kelu untuk
menghentikannya. Barangkali karena aku terlalu rapuh untuk sekedar bergerak
menjauh darinya.
Ia berhenti, salah satu sisi wajahnya menempel lembut di dadaku. Dan saat
itulah duniaku seraya runtuh. Kyuhyun mendengarkan detak jantungku yang
semakin kacau. Aku tak tahu berapa lama kami duduk diam tanpa bergerak. Bisa jadi
bermenit-menit. Akhirnya detak jantungku memelan, tapi ia tidak bergerak atau
bicara lagi ketika memegangku.
Kemudian, ia melepasku.
Aku tersenyum.
92
93
“Kemarilah”
Ia meraih tanganku dan menaruhnya dipipunya.
“Kau hangat sekali, matahariku”
Aku tidak tahu perasaan saat menyentuh wajahnya bisa semenyenangkan ini.
“Katakan sekali lagi, Song...” desaknya. “Apa?”
“Katakan kau mencintaiku” lengkapnya.
Mataku menyipit kemudian tersenyum, “Aku, mencintaimu. Kyuhyun.
Bahkan ketika matahari pergi meninggalkan bumi, aku akan tetap setia denganmu”
Dengan gerakan manusiawi, Kyuhyun memelukku dan menekankan
wajahnya di rambutku. “Untuk urusan ini, kau lebih baik daripada yang kusangka”
Lama kami duduk seperti itu, aku bertanya-tanya mungkinkah ia sama
enggannya untuk bergerak seperti halnya diriku. Tapi aku bisa melihat cahaya mulai
memudar, bayangan pohon di atasku menyentuh kami, dan akupun mendesah.
“Buka matamu sayang” ujar Kyuhyun pelan.
Dan disanalah dia, wajahnya sangat dekat denganku. Ketampanannya
memukauku— terlalu berlebihan memang, kelebihan yang belum bisa membuatku
terbiasa.
“Aku berpikir ada sesuatu yang ingin kucoba”
Dan dia memegangi wajahku dengan tangannya lagi.
Aku tak bisa bernapas.
Ia ragu-ragu— tidak seperti biasanya, seperti cara manusiawinya.
Bukan seperti pria yang ragu-ragu sebelum mencium wanita, untuk mengira-
ngira bagaimana reaksinya, untuk melihat bagaimana wanita itu menerimanya.
Barangkali ia ingin mengulur-ulur waktu, saat penantian yang tepat terkadang lebih
baik daripada ciuman itu sendiri. Aku ragu untuk menguji diriku sendiri, untuk
mengetahui apakah ini aman, apakah ini akan baik-baik saja untuk jantungku, untuk
memastikan diriku masih dapat mengendalikan sesuatunya setelah ini.
93
94
94
95
95
96
BAGIAN LIMA
“Maaf membuatmu terlambat makan malam”
“Aku baik-baik saja, sungguh. Oppa pasti lapar ya?”
“Itu bukan masalah yang besar, aku ingin bersamamu”
Lebih mudah mendengarnya dalam kegelapan, mengetahui bagaimana rona
ekspresiku bisa mengkhianatiku dan kecanduanku akan dirinya bisa sedikit
tersamarkan.
Kami berjalan dalam kegelapan malam, begitu diamnya sehingga aku harus
terus-menerus melirik ke arahnya untuk memastikan bahwa Kyuhyun memang
berada di sampingku. Tetapi, ketika mendengar suaranya, aku tidak lagi khawatir.
Dalam gelap, ia masih tetap tidak bisa kehilangan kadar tampannya. Ia menggapai
pintu di depanku dan membukakannya untukku. Kami melangkah masuk,
menyalakan lampu, dan berbalik menghadapnya.
“Aku akan menyiapkan makanan, oppa bisa membersihkan diri dulu”
Untuk sementara aku mengabaikannya, buru-buru menuju dapur, menyusuri
lorong-lorong mewah untuk mencapainya.
Aku berkonsentrasi menyiapkan makan malam, mengambil bibimbap dari
dalam lemari pendingin, menempatkan sebagian di piring, kemudian
memanaskannya di microwave. Piringnya berputar, menyebarkan aroma telur ke
seluruh dapur. Mataku cukup terkejut saat Kyuhyun mengikuti pikiranku, memilih
untuk duduk di kursi yang sama dengan apa yang kubayangkan akan didudukinya.
Ketampanannya membuat dapur bersinar-sinar, lama baru aku bisa berpaling.
Setelah makan waktu kurang lebih limabelas menit, aku mengambil bibimbap dari
microwave dan menaruhnya di meja.
“Selamat makan oppa, yang banyak. Jika kurang aku bisa menambah
porsinya lagi” ucapku.
96
97
97
98
98
99
“Tergantung”
Kyuhyun menunggu. “Apa?”
“Apa-apa yang kau dengar” erangku.
Saat itu juga tanpa suara, tangannya meraih tanganku dengan hati-hati. Ia
menurunkan wajahnya hingga sejajar dengan mataku, membuatku merasa malu.
Aku mencoba memalingkan wajah, tapi seringkali aku gagal melakukannya.
“Kau merindukan Daehyun...,” bisiknya. “Kau mengkhawatirkan ibumu, dan
ketika hujan turun, igauanmu membuatmu gelisah. Kau juga seing mengigau tentang
rumah ini, tapi sekarang sudah jauh berkurang”
“Daehyun oppa?”
Kyuhyun mengangguk, “Awalnya... tapi sekarang sudah tidak pernah”
“Ada lagi yang oppa dengar?”
Ia tahu maksudku. “Kau memanggil namaku, Cho Kyuhyun. Kau
menyebutnya begitu jelas, hingga awalnya kukira kau terbangun”
“Seberapa sering?”
“Hampir setiap malam”
“Oh tidak, oppa...”
Ini terlalu memalukan untuk diakui. Kyuhyun menarikku lembut ke dadanya.
Gerakannya sangat alami, naluriah. “Jangan malu,” ia berbisik di telingaku.
“Seandainya kau tahu, aku juga memimpikanmu. Dan aku tidak merasa malu”
“Mimpi apa oppa?”
“Rahasia...”
“Aku tidak mengenal kata itu”
Kyuhyun tertawa dan mengusap-usap rambutku lembut.
“Kau tidak mengerti...”
Aku menguap tanpa sengaja. “Aku telah menjawab pertanyaanmu, sekarang
kau harus tidur,” sebenarnya aku ingin sekali menyangkal, tapi rasa kantuk
99
100
100
101
101
102
102
103
tetap yang utama. Daehyun menatapku jauh, alisnya berkerut bertanya-tanya, tapi
aku tak peduli. “Itu punya Eunso”
“Diamlah, nanti gampang kita carikan yang baru” ucapku jauh
meninggalkannya. Bagaimanapun juga, aku tidak ingin melihat Daehyun
memberikan apa yang tidak ia sukai. Bagiku..., hal-hal sepele semacam ini menjadi
begitu penting saat perasaan cinta menyelimuti relung hatiku. Aku mungkin
berlebihan, barangkali karena ini adalah pengalaman pertamaku, tapi kurasa juga
tidak juga. Atau mungkin ini adalah jawaban dari apa yang abeoji larangkan padaku,
bahwa jika aku melibatkan hatiku sedikit saja, tanpa memikirkan orang lain, tanpa
memperdulikan apapun, aku bisa memberikan apa saja untuk seseorang itu. dan
kini, untuknya, aku menyadari dan menemukan jawaban atas pertanyaanku. Dan
aku tidak menyesal.
“Cepatlah, dan pakai ini”
“Untuk apa?”
“Supaya..., aku juga tidak tahu. Sudahlah pakai saja” desaknya.
Tanganku menerima topi kertas berwarna biru dengan motif putih bulat
memenuhi bagaian utamanya. Aku tidak mengerti apa fungsinya, asalkan Daehyun
bisa berhenti mengoceh, kurasa juga tak ada masalah untuk mencoba memakainya.
“Oh ya, kau tidak memberitahu Eunbi jika aku akan datang bukan?”
“Tidak”
“Baiklah. Karena kau tidak memilih, maka, aku akan bawa rotinya, dan kau
bawa bunganya” putusnya, lalu menyambung. “Aku benar-benar tidak sabar melihat
ekspresi jeleknya saat melihatku yang tampan mengujunginya”
Aku melangkah pelan, di dalam lebih hangat daripada merasakannya di luar.
Langkah kakiku terdengar kasar, tapi tidak lebih keras dari Daehyun yang terkesan
menghentak-hentak. Aku memandang bunga berukuran besar dalam genggamanku,
warnanya yang putih, dan kuyakini akan membuatnya nampak seperti bidadari. Aku
103
104
104
105
“Baiklah, baiklah tuan besar kepala. Akupun tidak akan menang jika harus
mendebatmu. Tapi..., well..., aku menyukainya. Sangat. Terima kasih untuk
bunganya oppa”
“Well..., cium aku, itu kesepakatannya”
Eunso side’s
“Well..., cium aku, itu kesepakatannya”
Aku tersenyum pelan, tidak merasa terlalu terganggu dengan sikapnya. Sejak
memutuskan untuk mencintai Kyuhyun, aku tak lagi peduli apapun, selagi ia disisiku,
bersamaku, aku tidak masalah. Dada bidangnya yang bertubruk dengan punggungku
terasa hangat, keras tapi nyaman. Aku merasa pelukannya adalah tempat paling
aman dimana aku bisa berlindung. Wajahnya yang berada di samping kiriku bergerak
ke samping, napasnya yang kasar menerpa sebagian pipiku. Aku bergerak
berlawanan, jantungku bergemuruh, walaupun sudah sering kali melakukan hal
semacam ini. Aku tetap saja gugup, tidak terbiasa mencumbui suami orang.
Hidung kami bersentuhan, samar-samar terasa geli. Napasnya yang berat
semakin menubruk wajahku yang telanjang, pun kurasa begitu juga napasku. Aroma
tulip putih yang menyerbak di sekitar kami kadang juga membuatku tak fokus
dengan apa yang akan kulakukan sekarang. Tulip, dan ciuman Kyuhyun mungkin
harus ku urutkan menjadi ke satu dan dua untuk hal-hal yang bisa memabukkanku.
“Hallo...”
Aku mengernyit, membuat gerakanku seketika berhenti. Aku menggeleng
pelan, matanya menatapku bingung. Aku sebisa mungkin mencoba mengenali suara
yang baru saja ditangkap inderaku. Barangkali itu hanya dugaanku, tapi aku tidak
juga yakin.
“Ya Tuhan, aku lupa jika ada dia disini” ucap Kyuhyun malas.
Aku tidak fokus dengan apa yang Kyuhyun ucapkan. Semua dayaku tertuju
untuk seseorang yang Kyuhyun maksud. Jika itu sesuai dugaanku, maka aku akan
105
106
mati detik ini juga. Tangan Kyuhyun menarikku hingga aku bisa melihat dengan jelas
siapa yang akan menjadi jawaban dalam pertanyaanku.
“SAENGIL CHUKHAE HAMNIDA, EUN—”
Mataku terbelalak lebar, petir seolah menyambar tepat di tengah jantungku.
Menghunusku tanpa perlu memberiku kesempatan untuk menghindar. Aku tahu, dia
juga terkejut, dari ucapannya yang tak terselesaikan, aku jamin apa yang kurasakan
tidak ada apa-apanya dibanding apa yang tengah ia pilukan. Pria itu bukanlah Cho
Kyuhyun yang tidak mampu mengenaliku. Ia Daehyun, Song Daehyun. Kakakku,
pemilik hubungan yang sedarah denganku, orang yang hidup hampir di seluruh
usiaku, apa-apa yang tampak atau tidak tampak dariku, tak akan pernah luput dari
ingatan Daehyun. Aku sangsi bisa melarikan diri dari situasi ini, atau sekedar
mengucapkan satu kata aku mungkin juga takkan sanggup.
Kilatan matanya merah, marah.
... dan aku akan kalah.
“Daehyun oppa...” lirihku.
Aku menunggu reaksinya, was-was. Sedetikpun tak pernah menyangka jika
harus tertangkap basah secepat ini. Aku tidak siap. Ketakutan menggerayangi
tubuhku, ekspresinya ketara menuntut penjelasan membuat nyaliku menyiut
menjadi buih-buih. Detuk jantungku semakin tidak karuan, tak lagi bisa ku
kondisikan, rasanya ingin mati. Otakku mencoba berpikir cepat, berusaha
menemukan jalan diantara jeda jawaban Daehyun atas panggilanku. Aku tidak ingin
berakhir dengan skenario menyakitkan macam ini. Aku tidak ingin Kyuhyun tahu
melalui pembicaraan tanpa persiapan. Walaupun akhirnya juga akan sama, tapi
setidaknya ini membuatku tenang.
Apapun itu.
Kyuhyun harus pergi.
Buru-buru aku berbalik menghadap Kyuhyun.
106
107
“Oppa..., sepertinya airnya sudah panas. Bisa minta tolong dihabiskan untuk
mandi?” perintahku dengan konotasi tidak jelas. Tapi kurasa Kyuhyun memahami
itu. Aku menarik tubuh Kyuhyun, bersikap sebiasa mungkin. “Bagaimana dengan
Daehyun?”
“Oppa mandi dulu, bau sekali tahu”
“Benarkah?”
Aku mengangguk cepat, “Cepatlah. Rambutnya jangan dibasahi, sudah
malam. Aku tunggu di bawah bersama Daehyun oppa”
“Kau belum menciumku Song”
“Mandi dulu, nanti aku akan menciummu”
“Kau suka mengingkari janji, kurasa...”
“Tidak, untuk kali ini” ucapku.
Aku mendorongnya masuk dan menutup pintu kamar mandi agak keras. Aku
buru-buru kembali ke ruang utama, langkah kakiku keras sedikit berlari. Sekuat hati
aku berusaha meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Meski sulit
untuk menjamin kesimpulan itu, aku tetap percaya diri. Aku mencoba berbesar hati.
Daehyun, semarah apapun ia, itu tidak akan sampai membunuhku. Dengan gemetar,
tanganku meraih roti yang berada di tangan Daehyun, takut-takut jika pria itu akan
melemparkannya ke sembarang arah dan semakin membuat Kyuhyun bertanya-
tanya nantinya. Aku buru-buru meniup lilinnya hingga tak ada yang tersisa.
“Apa yang kau lakukan disini?” telisik Daehyun.
Aku tahu, ini hanya permulaan. Tidak seharusnya aku merasa segugup ini.
Mataku melirik ke segala arah, lidahku kelu bukan takut, tapi lebih karena bingung
tentang jawaban apa yang harus kuberikan atas pertanyaannya. Gigiku kadang-
kadang saling beradu, membuat nada yang bisa kudengar sendiri. Jika aku saja tidak
tahu apa yang kulakukan di sini, bagaimana bisa aku menjawab pertanyaan DAehyun
dengan jawaban serupa.
107
108
Daehyun menungguku, tapi aku juga menunggu alasan tepat dan rasional
dari benakku. “Apa yang kau lakukan disini? JAWAB OPPA EUNSO!” teriak Daehyun
sekali lagi melihat keterdiamanku.
“Oppa..., jangan seperti ini” bisikku.
Mataku menoleh ke belakang, memastikan Kyuhyun tidak benar-benar
mendegar teriakan Daehyun. Aku benar-benar tidak siap untuk ini, ibarat ujian tanpa
persiapan, aku juga. Hasilnya tentu akan mengecewakan, nol. Aku tidak siap
melihatnya marah, aku tidak siap saat ia menatapku dengan bengis, aku tidak siap
untuk apapun. Tanganku saling mengait, dan bisa kurasakan keringat dingin
diantaranya saat mereka bersentuhan. Kakiku saling mengetuk, mencoba
menyamarkan keduanya yang bergetar hebat. Aku ingin sekali maju dan memeluk
tubuhnya, mencoba menenangkannya dalam pelukanku. Tapi..., ekspresinya
membuatku sadar bahwa itu adalah hal yang tidak seharusnya kulakukan. Aku tak
mampu mendekat, aku tak mampu membuat kakiku bergerak, keduanya terpaku
menempel erat pada dinding-dinding lantai. Tapi aku mengawasi setiap ekspresinya
dengan seksama.
“Jangan seperti ini kau bilang? Lalu oppa harus seperti apa? Apa aku harus
diam saja melihatmu seperti ini?” tantang Daehyun.
Aku terlonjak, mundur selangkah kaget sekaligus takut. Mataku tiba-tiba
memanas, dan sesaat aku mulai merasakan alirannya di pipiku. Keduanya menyipit,
sakit hatiku bukan lagi sebatas terbukanya rahasiaku, tapi itu meluas ke bagaimana
Daehyun berteriak padaku. Aku seperti melihat Daehyun yang berbeda. Kata-kata
lembut yang selalu ia lontarkan padaku sirna, hingga aku enggan menduga.
Barangkali karena tingkahku yang keterlaluan, aku kembali membohongi diri bahwa
tidak seharusnya aku merasa marah atas sikap Daehyun.
“Maksud—ku hmmh”
Lidahku benar-benar kelu.
108
109
“Aku tanya apa yang kau lakukan disini Song Eunso? Kau— kau tidak
seharusnya di sini bersama Kyuhyun”
Aku tetap diam, tidak ada jawaban yang bisa kulontarkan.
“Jangan keras kepala, cepat jawab aku Eunso!” maki Daehyun.
“Daehy—”
“Jangan panggil namaku”
Aku sudah melakukan semua yang bisa kulakukan. Aku berusaha menerima
semua makiannya, dan melupakan hal-hal lain ang berada di luar kendaliku,
setidaknya untuk malam ini. Bagaimanapun hasilnya nanti, semua akan berakhir
dengan apa yang tidak kuharapkan. Aku mencoba rileks meski sulit karena rasa sakit
yang menderaku. Aku tak pernah bisa punya cukup waktu untuk menjelaskannya
sekarang. Ini bukan permintaan yang sulit untuk disetujui, walaupun aku tahu jauh
lebih mudah mengatakan akan melupakan ketakutanku daripada melakukannya. ada
banyak hal yang kupikirkan sekarang, tapi mengetahui kami hanya memliki mala
mini saja, aku harus siap.
Meski ada hal-hal yang sudah berubah.
Misalnya, aku sudah sedikit siap.
“Untuk malam ini saja, bisakah kita mencoba melupakan hal-hal lain kecuali
kau dan aku?” pintaku, mengeluarkan segenap daya yang kupunya.
“Apa?”
“Eunso bisa jelaskan”
“Bukankah itu memang yang seharusnya kau lakukan?”
Aku menghela napas pelan. Aku sudah siap bergabung dengan gerbang awal
penderitaanku. Perasaan takut, bersalah, dan gelisah yang kurasakan sekarang telah
mengajariku hal itu. Aku sudah mendapat kesempatan untuk menjelaskan karena
barangkali masaku memang sudah habis. Lain kali, kalau terjadi sesuatu padaku, aku
akan siap. Aku akan memilih aset daripada beban. Dehyun takkan pernah harus
109
110
memilih untuk mendukungku atau memburuku. Aku akan menjadi upik abu kembali.
Lain kali, aku akan sadar dengan bagianku. Aku akan menunggu bahaya itu
menerjangku, supaya Daehyun puas.
Tinggal satu bagian lagi yang akan hilang.
Satu bagian, karena ada beberapa hal yang tidak bisa berubah. Termasuk
caraku mencintainya. Aku punya banyak waktu untuk melanjutkan hidupku, itu jika
aku kuat. Jadi banyak sekali yang harus aku bereskan malam ini. Dari apa yang telah
kurasakan selama delapan bulan terakhir, bagiku tidak ada istilah tidak mungkin.
Biarpun sudah mantap dengan keputusanku, aku tidak kaget waktu masih merasa
gugup saat hendak memulainya. Aku tidak tahu bagaimana melakukan apa yang
akan kulakukan, dan itu jelas membuatku sangat gugup.
“Haruskah Eunso menjelaskannya... di sini?”
“Ya”
“Tapi, Kyuhyun oppa bisa saja mendengarnya”
“Apakah aku peduli pria itu akan dengar atau tidak?”
Aku mengamatinya dengan hati-hati, lalu ia menatapku curiga. “Kumohon
oppa...,”
“Kau..., berani membangkang padaku?”
“Tidak! Aniyo oppa. Eunso tidak seperti itu”
Aku mengerang keras dalam hati. Bukan ini yang kuinginkan. Daehyun sama
sekali tidak memberiku kesempatan. Rentetan pertanyaannya berlalu tanpa sempat
kujawab sedikitpun. Belum sempat melontarkan sepatah katapun, aku merasa
seolah-olah dilempar tinggi ke udara, dan seketika jatuh tanpa pegangan. Aku
mendapati diriku hancur.
“Jadi..., katakan apa yang sebenarnya kau lakukan di sini”
“Hmh...”
“Jawab, Eunso”
110
111
111
112
112
113
113
114
Suara Daehyun berubah lembut. “Bisa kulihat, kau tidak bisa hidup tanpa dia
sekarang, dan begitu juga dirinya. Padahal ada hal lain yang lebih sehat untuk kalian,
bukan candu, tapi seseorang bisa menjadi udara, matahari”
Sudut mulutku terangkat, membentuk senyum rapuh.
“Dulu aku tak perna menganggap bakal seperti ini jadinya. Tapi lambat laun
aku tak lagi membohongi diri, bahwa ia adalah matahari. Matahari pribadiku”
Daehyun mendesah, “Kalau awan-awan, aku masih sanggup menghadapinya,
tapi aku tak bisa melawan gerhana”
Daehyun maju mendekatiku, aku tahu suasananya membaik, aku ingin buru-
buru ia sampai dan memeluknya erat. Tangannya menyntuh wajahku,
menempelkannya pada pipi kananku. Daehyun menghembuskan napas, matanya
bertema mendung, aku mengerti bagaimana rasanya. Ini pasti sulit, terlebih rumit.
Suasana begitu hening. Sejenak aku bisa mendegar degup jantungnya, lambat, dan
mulai teratur. “Kau mencintainya, Song?”
“Maafkan aku oppa, ini pasti sulit bagimu untuk melihatku. Aku tahu,
kesalahanku mungkin tak termaafkan, tapi... beri aku waktu untuk memperbaikinya
oppa... Beri aku waktu untuk menjelaskannya sendiri pada Kyuhyun. Jangan katakan
apapun. Tetaplah berpura-pura” aku menjeda beberapa kalimatku, mengumpulkan
keberanian untuk menyambungnya. “Apapun yang terjadi biarlah aku yang
bertanggung jawab, kumohon, maafkan aku oppa”
Daehyun menggeleng pelan. “Tidak. Aku justru senang kau menceritakannya
padaku. Aku ingin mengetahui sebagaian detailnya. Tapi tidak sekarang kurasa.
Terimakasih”
Ia mengecup puncak kepalaku, kemudian menarik napas. Aku mendongak,
ragu menilai ekspresinya yang tiba-tiba terkesan balik mendukungku. “Oppa, tidak
marah padaku?”
“Marah juga tidak ada gunanya bukan?”
114
115
115
116
“Banyak hal”
Aku berusaha membuat suaraku terdengar lebih ringa, tapi tetap jujur.
“Eunso..., bukan orang yang suka menyiksa diri sendiri, jadi aku tidak suka
membayangkan sakitnya. Tapi..., sekarang menjadi begitu berbeda. Aku ingin ada
cara untuk menjauhkannya dariku, aku tidak ingin dia ikut menderita bersamaku,
tapi kurasa tak ada cara lain. Lalu hal-hal yang berkaitan dengan oppa, eonni,
Kangin... Kemudian sesudahnya, aku berharap mudah-mudahan aku bisa
mengendalikan diri”
Daehyun mendongak. “Aku akan selalu bersamamu, Eunso”
“Terimakasih oppa...”
Aku tersenyum. Mataku menatap lembut tanganku yang digenggamannya.
“Oppa akan selalu ada untukmu, Eunso. Jangan khawatirkan apapun” janjinya,
nadanya juga lebih ringan. Aku menarik napas pelan, bersyukur karena ini lebih
mudah dari apa yang kubayangkan.
“Apakah sebaiknya aku tinggal di sini? Atau kau lebih suka jika aku tidak
melakukannya?”
“Eunso akan langsung mengangguk untuk pertanyaan pertama. Tapi
Kyuhyun?” jawabku seraya balik bertanya. “Mungkin aku akan memikirkan cara lain
untuk mencegahnya berbuat sinting padaku”
Aku mencondongkan tubuhku dan mengecup pipinya lembut. “Kyuhyun
oppa tidak semenakutkan itu”
“Ngomong-ngomong, bagaimana Kyuhyun padamu?”
“Sangat baik, jauh dari dugaanku. Sejak awal Eunso sudah makan habis apa
yang eonni katakan mengenai Kyuhyun, Kyuhyun yang dingin, tak pernah bicara, tak
pernah berbuat baik, semuanya yang buruk-buruk menjadi titik ukurku untuk
menyetujui permintaan eonni. Eunso pikir, dengan Kyuhyun oppa yang cuek, lebih
memudahkanku untuk melakukan hal yang lain”
116
117
Aku diam, lalu melanjutkan. “Tapi itu dulu, sebelum aku benar-benar
mengerti apa sebenarnya yang ia butuhkan. Lama Eunso berpikir, bagaimana cara
supaya Kyuhyun bisa bersikap normal, aku berharap dengan usahaku, pernikahan
eonni bisa diperbaiki. Rencana hanya rencana, aku justru terjebak dalam pesonanya
yang memabukkanku, aku terpesona akan pribadinya yang baru, penuh kasih,
sayang”
“Kalian tidak tidur bersama bukan?”
“Tidur bersama?”
“Maksud oppa, kalian tidak berbagi tempat tidur kan?”
Aku menggeleng pelan sebagai jawabanku. “Kami tidur di tempat yang sama”
“Setiap hari?”
“Iya,”
“Dia tidak berbuat macam-macam, kan?”
“Macam-macam yang bagaimana?”
“Sentuhan tangan? Berpelukan?” jari telunjuknya membentuk jembatan kecil
di hadapanku. “Kau tahu, maksudku kalian berciuman kah?” nadanya terdengar hati-
hati. Aku ingin menjawab tidak atau menggeleng, itu yang ingin kukoarkan, tapi aku
juga tidak bisa berbohong di hadapan Daehyun. Kebohongan-kebohongan yang
pernah kulakukan seharusnya membuatku terbiasa untuk kembali berbohong
kepada Daehyun. Itu seharusnya. Atau barangkali pertanyaan ini seharusnya
disampaikan lebih awal sebelum kami sempat berciuman untuk pertama kali, tepat
di usiaku yang ke duapuluh satu.
Aku diam. Mencoba menjawab pertanyaannya lewat sudut mataku.
“Jawabanku akan sangat mengecewakanmu, maaf”
“Maaf untuk bagian yang mana Eunso?”
“Memeluk..., kami melakukannya setiap sebelum tidur. Banyak hal yang
membuatku menjadi begitu dekat dengan Kyuhyun. Dan..., untuk yang terakhir tadi,
117
118
Eunso juga tidak bisa bilang iya. Tiga poin yang oppa tanyakan padaku, meski aku
mencoba membohongi diri, tak ada satupun yang telah terlewat”
Daehyun mengernyit. Matanya yang menatapku nanar bergerak tidak fokus.
Aku tahu bagaimana rasanya, ketika jawabaku menjadi jauh dari harapannya, itu
tentu menyakitkan. “Kau mencintai Kyuhyun?” tanya Daehyun.
Bagiku, itu adalah pertanyaan retoris, ada nada penuntutan yang harus
kudengar dari suaranya. Ini lebih kepada penegasan atas praduganya padaku. Aku
mengangguk pelan menyetujui, tidak terlalu ingin untuk mengatakannya lewat kata-
kata. Itu seakan membuat nerakaku sendiri karena telah menantang maut dengan
mencintai suami Eunbi di hadapan Daehyun. Ia menghela napas pasrah, kurasa juga
tidak mengerti apa yang hendak ia lakukan.
“Aku mungkin kecewa..., atas apa yang kalian lakukan dibelakangku...,
perasaan marah menyulut benakku tanpa sempat kutahan. Aku mungkin kecewa,
tapi aku juga tidak bisa memarahimu. Bagaimanapun, kau dan Eunbi adalah adik
yang paling kusayangi”
“Oppa...”
“Jadi, lupakan semua yang telah melaluimu Eunso. Jangan biarkan hatimu
yang suci merasakan cinta yang seharusnya. Jangan pernah biarkan ia luluh, untuk
seseorang yang tidak seharusnya kau cintai. Aku tahu ini sulit bagimu, tapi kuharap
kau benar-benar memikirkan ucapanku barusan” aku diam. Menyadari maksud
perkataannya. Itu membuat hatiku seperti dibelah jadi dua, perih. “Aku tidak
menyalahkanmu karena mencintai Kyuhyun, bahkan Eunbi, akupun berharap bahwa
pernikahan ini tidak akan pernah terjadi”
“Kenapa?”
“Bagaimanapun, Kyuhyun bukan pria yang baik”
“Kyuhyun juga berkata padaku, tapi itu bukan masalah. Kalau benar itu
kesimpulannya, appa tidak akan mengusulkan pernikahan ini”
118
119
119
120
“Memangnya kenapa?”
Daehyun tidak menjawab. Tapi dapat kulihat matanya menampakan nada
jengkel dan sendu, membuatku kembali merasa sedang membunuh diriku sendiri.
kyuhyun menatap wajahku sejenak, kemudian maju mengecup bibirku kilas.
“Meskipun aku ragu, tapi aku tetap percaya padamu”
Aku mengangguk, merasa pengendalian diriku mulai rapuh. Kyuhyun
menarikku ke dalam pelukannya, sementara aku berpikir dengan apa yang ia
lakukan padaku sekarang. Hari yang sangat melelahkan ini sepertinya akan terus
berjalan, terus dan terus. Entah sampai kapan akan berakhir. Tapi, meski ini hari ini
berlalu dengan lambat, ini bukanlah hari terburuk dalam diriku. kuhibur diriku
dengan kenyataan itu. Dan, setidaknya aku tidak sendirian, ada Daehyun. Itu sangat
menghiburku. Butuh waktu lebih lama daripada yang kukira bagi sebagian hati
kecilku untuk selesai berlindung dalam pelukan Kyuhyun.
“Bisakah aku tidak dianggurkan?”
Tanganku buru-buru mendorong tubuhnya menjauh. Ini lebih konyol dari
apapun bahwa aku justru lupa dengan keadaan sekitar. “Tidak bisa” jawab Kyuhyun.
“Oppa, jangan begitu...” tegurku.
“Memangnya siapa yang menyuruhmu kesini?”
“Kyuhyun... sopanlah sedikit! Aku ini kakak iparmu, brengsek”
“Aku hanya menikahi adikmu, kenapa harus terikat dengan yang lain?”
“Bajing—”
“Stop” ujarku cepat-cepat. Aku menggertakan gigi gemas. Seperti halnya
kakak beradik pada umumnya, aku tahu apa yang harus kulakukan. Selain merasa
terganggu, aku sempat merasa puas karena emosiku sedikit terabaikan oleh
keributan kecil yang mereka percikan. Aku menghela napas. Well..., satu pintu sudah
terbuka, dan aku hanya perlu menunggu, menunggu pintu yang lain. Pintu yang akan
120
121
Kyuhyun buka, dan saat itulah. Surga yang selalu kuinginkan untuk selamanya,
berakhir tanpa sisa.
“Song… tidak seharusnya kau membela orang ketiga di antara kita” sahut
Kyuhyun.
“Bajingan, siapa yang kau sebut orang ketiga he? Tidakkah kau punya urat
malu untuk mengatakan itu semua? Bagaimanapun aku jauh lebih dulu hadir
daripada kau…” sahut Daehyun tak kalah nyalang.
“Maniak”
“Mulutmu benar-benar…”
“Kenapa? Tidak terima?” tantang Kyuhyun.
“Aku ingin tidur, kalian boleh meneruskannya” jawabku seraya berdiri, tidak
memberikan ruang untukknya meneruskan. Tapi baru saja kedua kakiku menopang,
tangan Daehyun meraih tanganku dan ikut berdiri. “Bersamaku,”
“Bajingan!” teriak Kyuhyun menghempaskan tautan tangannya padaku.
Lengannya buru-buru memeluk pundaku erat, “Dasar tak tahu malu” ucapnya
sembari membawaku jauh dari hadapan Daehyun. Diam-diam aku tersenyum, tidak
terlalu memperhatikan ekspresi yang Daehyun tunjukkan pada kami berdua.
121
122
BAGIAN ENAM
Pagi hari membawa, walaupun bukan suasana hati yang lebih ceria,
setidaknya sedikit perasaan terkendali, perasaan bisa menerima. Secara naluriah aku
tahu luka baru di hatiku akan selalu terasa sakit. Itu akan menjadi bagian diriku
sekarang. Waktu akan membuat keadaan itu menjadi lebih mudah— begitulah yang
selalu dikatakan orang. Tapi aku tak peduli apakah waktu akan menyembuhkan aku
atau tidak, asal Daehyun bisa dikupercaya, aku bisa bahagia lagi. Waktu bangun, aku
tidak mengalami disorientasi. Kubuka mata—, akhirnya aku bisa melewati satu hari.
Mataku tertumbuk pada tatapan Kyuhyun yang meredung.
“Selamat pagi”
Sapaku, suaraku serak. Aku berdeham-deham, membersihkan tenggorokan.
Kyuhyun tidak menyahut, menungguku mengucapkan kata yang lain. Aku tampak
ragu, barangkali ini efek dari rajukannya tadi malam.
“Oppa marah padaku?” tanyaku pelan.
“Tidak”
Teramat singkat untuk menjawab pertanyaanku. Datar, terkesan ketus, dan
tidak bersahabat. “Kalau marah, juga tidak apa-apa”
Aku menarik lepas selimut yang menutup tubuhku.
“Song..., mau kemana kau?” aku menoleh. “Membuat sa, ra, pan” jawabku
sengaja memotong setiap dua suku katanya.
Tangannya bergerak menarikku masuk dalam pelukannya yang hangat.
Kedua kakinya mengunci tubuhku nyaman. Dadanya yang lebar menempel dengan
punggungku yang kecil, kemudian kepalanya menyeruak di potongan leher dan
bahuku yang telanjang, menyuarkan geli karena gerakannya yang bergerak disela-
sela rambutku yang kusut. “Aku tidak suka” ujarnya memulai.
Aku menyentuh telapak tangannya di atas perutku.
122
123
123
124
dan mendapati ia sudah berada di atas tubuhku. “Bibirmu, nikmat sekali” ucap
Kyuhyun.
Kepalaku berputar, aku sampai harus mengingatkan diriku untuk menarik
napas, tapi baru saja aku selesai, bibirnya kembali menubrukku. Ciuman itu tidak
membuatku takut. Tidak seperti sebelumnya saat aku merasakan ketakutan, ketika
kepanikan menyusup di balik kendaliku. Bibirnya tidak cemas, melainkan antusias
sekarang, tidak seperti semangatku yang selalu berada jauh di bawahnya. Kyuhyun
terus menciumiku selama beberapa menit, tidak sehati-hati biasanya, bibirnya yang
dingin melumat bibirku dengan ganas.
Sambil terkekeh pelan, Kyuhyun mejauhkan dirinya dariku, dan berdiri
memberi jarak. “Orang bodoh mana yang mau mengakhiri mimpi indah ini?”
ucapnya, matanya cair dan hangat.
“Mungkin saja, karena saking indahnya” kataku terengah-engah.
“Sayang...”
“Hmm”
“Aku ingin bertanya padamu” kata Kyuhyun, nadanya santai.
“Oh?”
“Tidakkah sedikit dalam dirimu merasa menyesal menikahi pria sepertiku?”
Aku tersenyum dalam hati, bagaimana rasanya? Bisakah aku menjawab
dengan kata-kata yang bisa menyakitiku diriku sendiri?
“Tidak. Sedikitpun tidak”
Memang tidak. Itu jika aku harus menjawab dari sudut pandangku, dan
jawabanku tidak akan pernah sama dengan siapapun. Lagipula, apa alasan yang
paling tepat untuk menguatkan argumenku saat aku berani mengatakan iya? Untuk
pria yang menjadi incaran banyak wanita, apakah aku benar-benar bisa mengatakan
bahwa aku menyesal menikah dengannya?
“Aku merasa—”
124
125
“Jangan diteruskan...”
“Kenapa?”
“Karena, kurasa akulah yang seharusnya bertanya padamu”
“Mengenai?”
“Sesuatu yang baru saja kau tanyakan padaku. Kurasa, dengan
penampilanku, tubuhku yang tidak semampai, wajahku yang tidak cantik. Bukankan
aku yang berhak menanyakannya padamu? Kau pasti menyesal. Ada begitu banyak
perempuan di luar sana yang jauh lebih pantas berada di posisi ini, tapi kau justru
terjebak dalam hubungan suami istri dengan wanita sepertiku”
“Kau sedang melantur, ya?”
Aku mengerjapkan mataku cepat. “Melantur bagaimana?”
“Tadi yang kau bilang, tidak cantik”
“Jadi...?”
“Kau itu cantik, cantik sekali tahu...”
Aku memandanginya lama, sekitar dua menit tanpa terganggu oleh apapun.
Dagunya bersih, tanpa bulu-bulu kecil yang kadang mengganggu pengelihatanku
atau sekedar mengusikku saat kami berciuman. Wajahnya diam-diam mendekat ke
arahku, mencondongkan tubuhnya hingga aku mendapati diriku berada di antara
dinding kasur dan tubuhnya yang besar. Aku tahu apa yang akan ia lakukan padaku,
jadi aku hanya cukup diam dan menunggunya datang dan melakukannya. “Aku ingin
menciummu, lagi”
Bibirnya kembali melumat bibirku dengan gerakan lembut, tidak ingin
membuatku merasa terburu-buru mengikuti gerakannya. Setiap gerakannya
membuatku tidak sadarkan diri, dan aku seharusnya menolak saat ciumannya
berubah semakin menggila dalam mulutku. Tangan Kyuhyun mulai bergerilya
mengusap bagian bawah tubuhku, samar-samar aku mendengarnya mengerang
pelan. “Ada yang kuinginkan, darimu”
125
126
Kyuhyun nyengir lebar waktu melihatku kehabisan napas, lalu meraih dan
mulai memainkan jari-jariku. Sesekali meremas jari manisku kuat, lalu kembali
lembut untuk waktu yang cukup lama.
“Ap—a” jawabku susah payah.
“Aku tidak sadar ternyata ada hal lain yang kuinginkan, aku jadi penasaran”
Suaranya rendah dan lembut. Secercah nada gelisah dalam suara Kyuhyun
pasti sulit dideteksi kalau saja aku tidak begitu mengenalnya.
Aku diam sejenak, memandangi tangannya yang menggenggam tanganku.
Aku tidak tahu harus melakukan apa saat kesunyian mengikuti keterdiamannya, aku
merasakan matanya menatapku dan aku takut mengangkat wajah. Darah mulai
membakar wajahku. Tidak yakin dengan apa yang Kyuhyun inginkan dariku,
sekarang.
Kyuhyun side’s
Well..., aku mungkin sudah gila. Kurasakan tubuhku mengejang, tapi suaraku
tetap lembut dan sehalus beledu. Ada banyak hal yang kukhawatirkan tentang
sesudahnya. Jawaban terbata-batanya membuatku mengerti sesuatu tengah ia
takutkan dariku. “Oppa,” ujarnya gugup, memandangi setitik bercak di pergelangan
tanganku. Ada sesuatu yang ingin kulakukan dengannya, sesuatu yang kunantikan
sejak lama. Dan..., meski sesungguhnya aku tidak ingin merasainya sekarang, di pagi
terang ini, perasaan itu justru meradang kuat.
“Ada sesuatu yang ingin kucoba,”
“Apa?”
“Tapi sebelum aku menjawab, bisakah kau mengabulkannya?”
“Apapun yang oppa inginkan,” dorongnya, gelisah dan sama sekali tidak
mengerti. Barangkali terlalu gugup atau berbaik sangka dengan permintaanku yang
sedikit ekstrem, ia menjawab tanpa berpikir lebih jauh. Apakah ia benar siap atau
menyiapkan diri, sepertinya itu luput dari pikirannya.
126
127
127
128
128
129
129
130
130
131
Bibirnya tidak menciumku dengan kaku, sekarang ada hal baru berupa konflik
bercampur perasaan putus asa dalam ciumannya. Kupeluk erat-erat punggungnya,
dan di kulitku yang tiba-tiba panas, tubuhnya kurasakan lebih panas daripada
biasanya saat aku menyentuhnya. Tubuhnya gemetar. Aku tidak berhenti
menciumnya, aku memberinya jeda sebentar untuk mengambil napas, bahkan saat
itu aku tidak beranjak dari kulitnya, hanya beralih ke kerongkongan. Gairah
kemenangan melandaku, membuatku merasa semakin berkuasa. Berani. Ia terlalu
rupawan, istilah apa yang dipakainya barusan? Tak tertahankan— itu dia.
Kecantikannya sungguh tidak tertahankan.
Aku bergerak kembali menciumi bibirnya, dan sepertinya ia juga sudah
menerimaku. Satu tangannya masih merengkuh wajahku, tangan yang lain ia
gunakan untuk memegang pinggangku. Posisi ini lebih sulit meraih bagian depan
kemejanya, tapi bukannya tidak mungkin. Aku mengerang hebat dalam ciumanku
yang buru-buru. Semuanya menjadi begitu tak terkendali saat adik kecilku ikut andil
bereaksi.
“Kyuhyun...” suar seseorang dari arah luar.
Kurasakan Eunbi melepas ciuman kami dengan cepat, lalu buru-buru
menyembunyikan wajahnya dalam dadaku. Aku menghembuskan napas keras, beri
aku alasan mengapa aku tidak harus marah saat ini. Kudengar ia masih terengah-
engah, itu membuat perasaan frustrasi dalam diriku semakin menguat. Aku melirik
ke bawah, matanya mengejam erat, seketika wajahnya yang merah berubah
semakin memerah.
“Ini sudah siang, tidakkah kalian ingin turun?” aku mendengar suaranya
menyeringai. “Bajingan! Keluar bangsat!” teriakku segera bangkit dari objek
kesenanganku. Aku mengusap wajahku kasar, sedikit lagi, benar-benar sedikit lagi ia
akan menjadi milikku, ya Tuhan. Aku segera berjalan dan menutup pintu keras lalu
kembali duduk. Aku memejamkan mata saat kurasakan kedua tangannya
131
132
memelukku dari belakang. “Tidak pagi ini, oppa akan mendapatkannya lain kali.
Janjiku”
“Kau pasti sangat kaget barusan,” ucapku sangat frustrasi.
Aku mengangkat satu alisku. “Apa gunanya mengkhawatirkan sesuatu yang
telah terjadi?”
Ia mengiterupsi keresahanku. Tapi gambaran yang ia berikan boleh juga.
“Meski ini tidak seperti yang kau harapkan, aku berjanji akan menebusnya dengan
hal lain yang lebih membahagianmu, oppa”
Aku menghela napas pelan. Barangkali aku yang tidak sabaran.
“Tidak perlu, aku sadar. Hadirmu saja sudah sangat cukup
membahagiakanku” akui ku akhirnya menyadari, bahwa aku hanya terlalu terburu-
buru, mungkin jika aku bisa bersabar lebih lama, kejadiannya barangkali tidak akan
seperti ini jadinya. Aku menghembus napas pelan, merutuki segala napsuku yang
tidak dapat ditoleran.
“Tapi..., aku juga ingin menjadi istri yang sempurna, untukmu...” jawabnya,
kemudian melanjutkan. “Tapi, tidak untuk saat ini”
Aku mengangguk, tanganku menyentuh lembut lingkaran tangannya di
pinggangku. Tubuh bagian bawahku sudah cukup mereda dan aku cukup bersyukur
ia tidak kembali menegang. Aku tidak ingin menyalahkannya, karena barangkali lagi
aku yang terlalu memaksa kehendaknya.
“Maafkan aku. Aku sungguh ingin, tapi waktu tidak membiarkan kita untuk
melakukannya sekarang. Jadi…, selagi kita menunggu. Aku akan berlatih semampuku
untuk menyenangkanmu"
“Jangan meminta maaf untuk kesalahan yang tidak kau lakukan” jawabku.
“Aku mencintaimu, oppa. Sangat”
Mataku menyorot jauh ke dalam retinanya. Aku jauh lebih mencintaimu,
lebih dari apa yang kau bayangkan.
132
133
Eunso side’s
Seiring dengan berjalannya hari, aku mempertimbangkan beberapa cara
untuk mangkir dari entah acara apa yang akan dilangsungkan di perusahaan
Kyuhyun malam ini. Pasti akan sangat menyebalkan jika harus mengikuti perayaan
dengan penyamaranku. Tapi, yang lebih parah lagi pasti akan ada banyak perhatian
di sana. Well..., perhatian bukan sesuatu yang diinginkan untuk orang kikuk yang
gampang cedera seperti aku. Kurasa, tak ada yang ingin menjadi sorotan bila besar
kemungkinan kau bakal jatuh terjerembah dengan sepatu berhak tinggi atau lebih
gilanya lagi ada orang lain yang mengetahui siapa sebenarnya diriku.
Dan aku sudah terang-terangan meminta— well, memerintahkan, lebih
tepatnya agar aku tidak ikut seperti hari-hari sebelumnya. Aku bisa untuk berhenti
mengerang saat bayang-bayang wajahnya kembali masuk dalam pikiranku, berlari-
lari tanpa merasa bersalah atas dampak yang ia lakukan.
“Apa yang sedang kau pikirkan?”
Aku terkesiap kaget. Buru-buru menghampirinya, “Bisakah aku tidak hadir
malam ini?”
“Apa yang membuat—”
“Aku merasa tidak enak badan”
Tangannya menyentuh dahiku, “Demam?”
Aku menggeleng cepat, “Perutku nyeri, datang bulan”
Ia mengangguk, “Aku tel—”
“Tidak perlu, aku hanya perlu istirahat sebentar” potongku menyadari apa
yang hendak Kyuhyun lakukan. Aku tidak pernah berbohong, tapi kebohongan-
kebohongan yang kulakukan akhir-akhir ini membuatku tak percaya bahwa
semuanya bisa menjadi begitu nyata. Aku penasaran dengan eskpresiku sendiri, dan
mungkin aku perlu mengapresiasinya, nanti. Aku menatap kedua alisnya yang
berkerut, “Benarkah?”
133
134
134
135
mimpi aneh— mimpi dan mimpi buruk berputar-putar dalam benakku. Semua
tampak jelas. Kengerian dan kebahagian, semua berbaur menjadi kebingungan yang
aneh. Ada perasaan tak sabar bercmapur ketakutan, keduanya bagian dari mimpi
penuh frustrasi saat kakiku tak bisa berlari cepat. Mimpi itu masih terpatri kuat—
aku bahkan masih ingat nama-namanya. Tapi bagian yang paling kuat dan paling
jelas dari mimpi itu adalah kengeriannya.
Mimpi itu tak mau disingkirkan begitu saja ke gudang mimpi yang tak ingin
kudatangi lagi. Aku melawannya dengan susah payah saat pikiranku mulai lebih
awas, terfokus pada kenyataan. Aku tak ingat hari apa ini, tapi aku yakin ada yang
menungguku, entah itu Kyuhyun, Daehyun, kematian, atau hal lain. Aku menarik
napas dalam-dalam, bertanya-tanya dalam hati bagaimana aku sanggup menjalani
satu hari lagi dalam lingkar dusta yang kuselami sendiri.
Sesuatu yang dingin menyentuh dahiku lembut sekali.
Kupejamkan mataku lebih erat. Rupanya aku masih bermimpi, tapi anehnya,
rasanya sungguh sangat nyata. Aku sudah hampir terbangun... beberapa detik lagi,
dan mimpi itu akan lenyap.
Tapi aku sadar mimpi itu terasa kelewat nyata, kelewat nyata sehingga tak
mungkin terjadi. Dengan keluhan menyerah, kubuka paksa kelopak mataku untuk
menghalau ilusi itu.
“Oh!” aku terkesiap kaget.
Well..., jelas aku sudah kelewatan. Salah besar membiarkan imajinasiku jadi
tak terkendali. Oke, mungkin membiarkan bukan istilah yang tepat. Aku
memaksanya menjadi tak terkendali— bisa dibilang aku dikuntit halusinasiku
sendiri— dan sekarang pikiranku meledak.
Dibutuhkan kurang dari setengah menit untuk menyadari bahwa, kepalang
basah sudah terlanjur sinting, ada baiknya kunikmati saja delusiku, mumpung
delisunya menyenangkan.
135
136
Aku membuka lagi mataku, dan Kyuhyun masih di sana, wajahnya yang
sempurna hanya beberapa sentimenter dariku. “Aku membuatmu takut, ya?”
Suaranya rendah. Ini bagus sekali, sebagai delusi. Wajahnya, suaranya,
aroma, tubuhnya, segalanya— semua jauh lebih baik daripada tenggelam dalam
mimpi burukku. Kilasan khyalanku yang rupawan itu mengawasi perubahan
ekspresiku dengan was-was. Matanya hitam pekat, dengan bayangan menyerupai
memar di bawahnya. Itu membuatku terkejut, Kyuhyun dalam halusinasiku bisanya
muncul dalam kondisi tanpa kantung mata.
Aku mengerjap dua kali, susah payah berusaha mengingat hal terakhir yang
aku yakin nyata. “Ada apa, Song?”
Aku mengerutkan kening pada Kyuhun, masih bingung. Wajahnya terlihat
cemas melihat responku. Pikiranku semakin jernih, mulai terlepas dari bayang-
bayang mimpiku barusan. Mataku berkelebat sebentar dari wajahnya— meski
sebenarnya enggan, ke jendela yang gelap dan terbuka, lalu kembali kepadanya.
Kupandangi dia sambil mengingat-ingat... dan aku merasakan rona merah yang
familier menjalari pipiku dengan hangat saat lambat lain aku menyadari bahwa
Kyuhyun sungguh-sungguh, benar-benar ada di sini bersamaku, tapi aku membuang-
buang waktu dengan menjadi idiot.
Aku menubruk tubuhnya dengan cepat. Menaikkan kedua lenganku untuk
memeluk lehernya yang panjang. “Jangan pergi dariku, oppa” renungku.
“Hei... aku tidak kemana-mana”
“Kau meninggalkanku...”
“Itu hanya mimpi, tidak perlu mengkhawatirkan apapun”
Aku diam, tapi sibuk mencerna perkataan Kyuhyun. Aku menggeleng pelan,
barangkali itu bukan sekedar mimpi belaka. Barangkali itu adalah pertanda
bagaimana nasibku di kemudian hari, aku hanya akan sendiri, tanpa cinta yang
136
137
137
138
perempuan. Yang bisa dilihat dan diperhatikan karena otak dan pemikirannya,
bukan karena tubuhnya yang wangi atau kulitnya yang putih bak model iklan.
Aku menatap wajahku lama di depan cermin. Merenungi, apakah yang
tersisa di tengah usiaku yang semakin meninggi selain kemahiranku yang tak lagi
tertandingi? Juga beragam kebisingan yang selalu membuatku menjelma menjadi
perempuan yang banyak menggerutu. Banyak tidak puas, situasi hiup yang semakin
rumit dan tidak terkendali. Kebohongan yang beredar semakin menjadi-jadi.
Kecurangan yang memiliki ruang, dan kuciptakan dengan cara-cara halus.
Aku menggeleng pelan, menepuk-nepukkan tangan di kedua sisi wajahku.
Bukan saatnya meratapi betapa gilanya aku, bukan saatnya aku bersedih untuk hal-
hal yang sering kulakukan. Aku mendesah seraya tersenyum memandangi cermin.
Setidaknya, aku masih punya satu hal yang menyenangkan untuk kulakukan hari ini.
Perasaan puas membumbung tinggi saat rencana yang Daehyun berikan padaku
untuk dekat-dekat dengan Henry nyatanya menyenangkan. Meski kukira akan
awkward, kehadiran Henry selalu membuatku nyaman akan gangguan Kyuhyun.
Well..., pokoknya pria yang sedang menjalin kasih dengan sekretaris Kyuhyun ini
benar-benar unik.
“Sudah siap?”
Aku mengangguk cepat dan berdiri. “Sudah...”
Kyuhyun mengangguk pelan, mataku tidak bisa berhenti untuk terpesona
atau barangkali Kyuhyun-lah yang tak pernah menghentikan pesonanya. Butuh
waktu yang cukup lama hingga aku berhasil membujuk Kyuhyun untuk berkemah
bersama. Aku menghampirinya cepat, dan dia membuka tangannya lebar-lebar
menyambutku. “Kau cantik, sekali”
“Memang cantik” jawabku percaya diri.
Kyuhyun mendecak pelan, tidak terlalu setuju tapi selalu mengatakan itu. aku
cukup kaget melihat setelan yang ia pilih, bagaimanapun sekarang, Kyuhyun lebih
138
139
terlihat seperti remaja ketimbang pria paruh baya. Kaus oren cerah yang ia kenakan
semakin membuat tubuhnya bersinar di hadapanku, benar-benar seperti model
daripada pekerja kantoran tetap. Aku sangsi dengan mataku sendiri untuk berhenti
melihat ke arah Kyuhyun.
“Baiklah-baiklah, kau memang paling cantik, di hatiku” jawabnya.
Bibirnya menemukan bibirku lalu mengecupnya singkat. “Ayo” ajaknya lagi.
Makan waktu sekitar satu jam untuk bisa sampai dimana Henry berada.
Selama perjalanan, aku cukup tidak percaya jika Kyuhyun lebih interaktif daripada
biasanya ia lakukan. Ia menanyakan hal-hal yang tidak terlalu penting tapi tidak
membuatku merasa malas untuk menjawabnya. Ia menanyakan di rumah sakit mana
aku lahir, di umur berapa aku bisa berjalan, dimana sekolah masa kecilku, dan
banyak lagi. Aku tidak memungkiri, jika hal itu menyenangkan. Barangkali karena
Kyuhyun yang bertanya, aku jadi tidak merasa bosan sama sekali. Ini membuatku
bersyukur, setidaknya aku tidak pusing karena melihat jalanan terlalu lama.
“Sudah sampai”
“Oo...” takjubku.
Hijau dan lebat. Seperti itulah gambaran yang bisa kudeskripsikan saat kedua
kakiku benar-benar menapak di atas tanah yang berbatu. Udara terasa sejuk saat
aku menghirupnya kuat masuk ke rongga dadaku, rasanya benar-benar luar biasa
menakjubkan. Meskipun ini bukan kali pertama ia membawaku ke tempat seperti,
tetapi bukan berarti aku bisa merasa biasa saja saat kembali menemukan apa yang
kusukai. Aku menengadahkan wajahku memandang langit yang tertutupi kanopi di
setiap sisinya. Hijau biru yang mempesona.
Kyuhyun memberiku ruang untuk menikmati ini semua. Sudut mataku
melihatnya masih berdiri di samping mobil sembari menatapku. Aku tersenyum
sekilas lalu kembali menikmati aroma yang ia tawarkan. Lama aku terdiam, puas
menikmati semua yang hutan berikan untuk menyambut kehadiranku.
139
140
140
141
apaan kau?” bengisnya segera menarik tanganku. Aku mencoba tersenyum meski
raut mukanya tidak bisa dikompromi. Kyuhyun menghembuskan napas, “Sudah
kubilang berapa kali, jangan pernah terluka” katanya.
“Aku tidak sengaja”
“Kau kan bisa lebih berhati-hati...”
Aku menunduk, “Maafkan aku oppa”
“Sekarang izinkan aku merawat tanganmu, lukamu jadi kotor, kan”
Kyuhyun meraih tanganku dan tersenyum saat mengamatinya. “Ini tidak lagi
membuatku terusik”
Kupandangi Kyuhyun lekat-lekat sementara ia membersihkan lukaku,
mencari tanda-tanda kekalutan. Ia tetap menarik napas dan menghembuskannya
lagi dengan sikap biasa-biasa saja, senyum kecil yang sama tersungging di bibirnya.
Saat itulah angin berembus kencang menerpa lapangan, menerbangkan rambutku
hingga mengelilingi wajah membuat tubuhku bergetar.
“Baiklah,” ujar Kyuhyun, merogoh ranselnya lagi. “Sudah selesai”
Ia mengeluarkan jaket musim dinginku yang tebal dan memakaikannya
padaku. “Sekarang, beres sudah. Ayo kita pergi berkemah!”
Aku tertawa mendengar nada pura-pura antusias dalam suaranya. Kyuhyun
meraih tanganku yang berplester, dan mulai berjalan ke sisi lain lapangan. Aku
mengamati sekitar, barangkali sudah sampai di tengah jalan, kami belum bisa
menemukan Henry. “Dimana kita akan bertemu Henry dan Hyejin?”
“Itu di sana”
Kyuhyun melambai ke arah pepohonan di depan kami. Dan pada saat itu
keduanya melangkah keluar dengan hati-hati dari balik bayang-bayang. Seharusnya
aku tidak perlu kaget saat melihatnya begitu serasi dengan Hyejin, tapi entah
mengapa aku melihat keduanya lebih dari kata serasi. Sama-sama konyol. Aku
kembali memandang Henry. Lagi-lagi ia terlihat lebih dewasa— tak diragukan lagi itu
141
142
142
143
Kyuhyun sepertinya harus berusaha lebih keras untuk tetap bersikap sopan
di hadapanku. Henry mengangguk tapi bola matanya berputar jengah. Aku
menggandeng tangan Hyejin saat kembali memulai perjalanan dengan Kyuhyun di
belakangku. “Bagaimana kabarmu, hyung?” tanya Henry dari arah depan seraya
nyengir lebar.
Aku menengok ke arah Kyuhyun, bola matanya memutar malas.
“Biasa-biasa saja”
“Kalau hutan sesunyi ini, pasti akan terjadi sesuatu. Hebat juga kau memilih
hari ini untuk berkemah”
“Itu ideku sepenuhnya, oppa” jawabku ikut bergabung.
“Uhmm... kita masih akan jalan?” tanyaku lagi.
Hyejin mengangguk dan seketika itu membuatku mengerang. “Aku bisa
menggendongmu Song”
“Aku saja” jawab Henry cepat. Mataku menatap keduanya aneh, lalu
memandang ke arah Hyejin kikuk. Alisku mengerut terlalu kaget dengan reaksi yang
Kyuhyun berikan padaku.
“Aku hanya bertanya, kenapa berlebihan begitu” jawabku diikuti cengiran.
Aku menarik tangan Hyejin untuk berjalan bersamaku, mendahului para pria yang
kelewat berisik. Rute jalan yang di ambil Henry mulai mendaki dan semakin lama
semakin curam, tapi itu tidak membuatku merasa kelelahan atau menghambat kaki-
kaki Kyuhyun. Dengan enteng aku bisa melompat dari satu batu ke batu lain, seperti
tidak membutuhkan keseimbangan berlebih.
“Pelan-pelan saja, nanti kau lelah”
Aku mengetuk-ngetuk jariku di lapisan jaket yang tebal. “Iya oppa”
Kyuhyun membungkuk, menerobos ditengah-tengahku dan Hyejin. “Hoi,
bisakah aku dengan istriku saja?” bisiknya di telinga Hyejin.
143
144
“Opp...a” tegurku pelan. Belum sempat aku menolak, Hyejin sudah mundur
beberapa langkah dariku. Aku mendongak, memandang Kyuhyun sebentar. “Kenapa
di sini?” tanyaku.
“Aku ingin berjalan bersamamu. Apa itu salah?”
“Tidak”
“Ya sudah, seperti ini kan lebih baik” ucapnya seraya mengaitkan jemarinya
di sela-sela jariku.
“Jangan pernah lupakan ini, ya oppa”
“Tidak” jawabnya singkat.
“Hyung, jangan lupakan kami”
Aku menoleh ke arah belakang, lalu tersenyum mengerti maksudnya. Well...,
kehadiran Henry di tengah-tengah kami tentu bukan tanpa alasan. Ia sengaja
Daehyun kirim padaku untuk menjaga sesuatunya tetap aman. Aku tidak terusik,
tapi itu bisa membuat Kyuhyun naik pitam kapan saja. Bukan hal yang terlalu
mengganggu, tapi itu memang sedikit menyebalkan saat Kyuhyun mulai uring-
uringan hebat seperti sekarang.
“Memangnya ada masalah?”
“Tentu saja. Itu benar-benar menggangguku dan Hyejin”
“Jangan dilihat kalau begitu”
“Hyung!” teriak Henry.
“Ayolah, oppa hanya perlu mengalah” bisikku pada Kyuhyun.
Beberapa menit kemudian, setelah melesat mengitari sisi teduh puncak
berbatu, barulah kami bisa melihat dua tenda kecil berwarna hijau kuning merapat
di muka pegunungan. Di atas suasananya lebih diluar dugaanku, anginya kencang
dan salju mulai turun berjatuhan di sekeliling kami, tapi karena angin bertiup sangat
kencang membuat gumpalan salju tak bisa diam di satu tempat.
“Sepertinya kita harus segera masuk” sahut Henry.
144
145
“Punyaku yang mana?” tanya Kyuhyun. “Yang warna kuning” sahut Henry.
Kyuhyun tidak menyahut, tapi tangannya merangkul pundaku untuk segera
masuk ke tenda yang dimaksud. “Hyung, tidakkah kau seharusnya satu tenda
denganku?”
“Bajingan, kau gila ya?” desis Kyuhyun. Barangkali kelelahan, emosi Kyuhyun
menjadi tidak stabil. Aku melirik ke arah Henry, mencoba mengatakan aku akan
baik-baik saja.
“Aku hanya memberi opsi, tidak perlu marah-marah”
“Kau...,” ucap Kyuhyun menatap Hyejin. “Tidurlah satu tenda dengan si
toyboy ini” sambungnya. Aku tidak melihat bagaimana ekspresi yang Hyejin
tunjukan, barangkali perasaannya sama denganku bahwa tidur dengan pria dalam
satu tenda tanpa ikatan pernikahan memang mengerikan. Aku sudah masuk, di
dalam tenda suasananya lebih nyaman, hangat. Kyuhyun meletakkan ranselnya di
sudut tenda dan duduk berhadapan denganku.
“Kau baik-baik saja?”
“Ya” jawabku singkat.
Henry menunduk menatapku sambil tersenyum. Bagaimanapun kurasa aku
senang sekarang. Itu memang harus dilakukan, dan dapatkah aku memercayai orang
lain untuk melakukannya dengan benar? Lebih baik memastikannya sendiri. Aku
menatap Henry, merasakan kekaguman yang tak terduga-duga pada temanku ini.
ternyata ia lebih dewasa daripada yang kukira. Seperti Daehyun malam itu pada
acara api unggun, Henry juga memiliki keagungan yang tidak pernah kusangka ada
pada dirinya. Kini aku mulai menyadari, bahwa dibalik sikap konyolnya pada
Kyuhyun, ada banyak hal lain yang Henry simpan dengan baik.
Di dalam tenda suasananya lebih hangat. Kyuhyun buru-buru membuka tas
dan mengeluarkan kantung tidur tebal berwarna hijau pekat yang menarikku.
Tangannya yang lihai membuka bagian-bagian yang lain, aku tidak berdusta bahwa
145
146
itupun tak luput dari perasaan terpesonaku. Lama aku diam memperhatikan hingga
itu bisa segera kukenakan tanpa harus mempersiapkannya. “Masuklah, sayang”
“Kau juga,” sahutku.
Alisnya berkerut dan itu membuatku terkekik lucu. Aku melambaikan tangan
untuknya bergabung di sebelahku. “Kau serius?”
“Tentu saja, aku tidak ingin kau mati kedinginan dan menjadi janda yang
belia” sahutku bergurau. “Kau yang meminta ini, Song” jawabnya seraya ikut masuk
dalam kantung tidurku. Tubuh kami saling melekat, dan hangat.
“Ya Tuhan…”
“Kenapa?”
“Diluar salju, sedang disini ada kau”
“Lalu?”
“Aku tidak bisa berkonsentrasi untuk tetap berpikir jernih. Kau tahu?”
“Ooh…” desahku saat tangannya menyentuh bagian bawah tubuhku. Mataku
membelalak, tidak sampai berpikir jika Kyuhyun akan seberani ini padaku. Aku tidak
tahu bagaimana ekspresinya sekarang, tapi kuyakin wajahnya juga memerah sama
seperti yang kurasakan saat ini.
Aku menatap ke pintu tenda, di luar, ada dua orang yang siap memata-
mataiku. Ya Tuhan, jika ini adalah akhirnya, aku benar-benar tidak mempunyai
alasan untuk menolaknya lagi.
“Aku mengeras”
“Oo… apa ya—ng mengeras?”
“Sesuatu yang akan membuatmu mengerang hebat”
“Ah…, yah!” pekikku saat gerakan tangannya semakin kuat mengelus pusat
tubuhku di balik celana lapangan yang kukenakan. Kurasakan tubuhnya ikut
bergerak naik turun di belakangku, dan untuk sesuatu yang mengeras. Aku pantas
merutuki pertanyaanku yang kelewat tolol untuk dipertanyaakan. Kyuhyun
146
147
mengerang di sela-sela desahanku yang semakin mengeras, kuat. Bukan hal yang
mudang memang, bagaimana itu bisa membuatku tidak bisa berpikir jernih.
“Opp… pa”
“Tidak….” suaranya serak.
Aku mendelik hebat. “Tidak Song, aku tidak melakukan apapun, tapi biarkan
seperti sejenak eo. Aku butuh pelepasan”
Mataku merebak panas, memutusakn untuk diam dan mengikuti alur yang
Kyuhyun ciptakan. Terserah ini akan melukai Henry dan Daehyun, asal jangan
Kyuhyun yang merasa tersakiti, aku tidak perlu merisaukan apapun. Miliknya yang
mengeras terus bergerak, menggesek keras bagian luar pantatku. Sesekali
erangannya keluar, menyulut eranganku yang semakin mendebar.
“Oo…h” pekiknya keras.
Aku membuka kedua mataku saat lambat laun Kyuhyun mulai sedikit tenang.
Tanganku mengelus pelan punggung tangannya yang masih berada di area
kewanitaanku. “Sudah?”
“Ya, terimakasih” bisiknya lemah.
®®®
Sorenya aku benar-benar tidak bisa berpikir, hal dalam tanda kutip ‘dewasa’
barusaja kulakukan diluar bagaimana semestinya. Henry terdiam lama sekali. “Oppa
kau menakjubkan” bisikku, tersenyum mendengar pujianku.
Henry memutar bola matanya.
Saat itulah angin mengguncang pepohonan lebih keras di sekeliling kami, dan
rasanya seperti bertiup dari padang es. Bunyi pohon-pohon bergerak bergema dari
gunung. Walaupun cahaya menghilang ditelan awan-awan kelabu yang menutupi
langit, aku masih melihat bercak-bercak kecil putih berkelebat melewati kami. Henry
mempercepat langkah, matanya tertuju ke tanah sekarang saat ia berjalan dengan
147
148
cepat. Aku meringkuk pasrah di dadanya, berlindung dari salju yang tidak terlalu
kuharapkan kedatangannya.
“Eunso...”
“Ya, oppa”
Nadanya membuatku khwatir longsoran saljuku tidak datang cukup cepat.
Aku diam-diam meliriknya, dan benar saja, mata Henry nanar saat ia mendengarkan
sesuatu yang aku lebih suka mati saja daripada itu didengar olehnya. Aku
menundukkan wajahku kembali ke tanah. Aku terperangah saat Henry tertawa
enggan.
“Padahal kupikir akulah yang tidak bisa menjagamu dengan baik” katanya
dengan enggan menyatakan kekagumannya. “Dia membuatku seperti orang bodoh”
tangannya membelai bagian pipiku yang terlihat. “Aku tidak marah padamu, Eunso.
Ternyata Kyuhyun lebih unggul merebut hatimu daripada yang selama ini kukira.
Meskipun aku berharap kau juga menuruti permintaannya”
“Oppa,” aku berbisik ke arahnya. “Aku… aku…”
“Sstt” Henry mendiamkan, jari-jarinya menenangkan di pipiku. “Bukan itu
maksudku. Dia toh akan tetap menciummu, walaupun kau tak terpedaya olehnya—
dan sekarang aku tak punya alasan untuk meremukkan wajahnya. Padahal aku pasti
akan sangat menikmatinya”
“Terpedaya?” gumamku, nyaris tidak bisa dimengerti.
“Eunso, apakah kau benar-benar yakin jika Kyuhyun semulia itu? Bahwa
kedepannya ia akan tetap berbesar hati untuk memberi kesempatan padamu di
kemudian hari? Aku dan Daehyun sudah berusaha melindungimu, mungkin—itu tak
akan ada lagi artinya sekarang”
Perlahan-lahan aku mengangkat kepala untuk menatap matanya yang sabar.
Ekspresinya lembut, sorot matanya penuh pengertian, bukan jijik sepertu yang
pantas kulihat setelah apa yang kulakukan dengan Kyuhyun selepas di tenda. “Ya
148
149
aku benar-benar percaya” bisikku, kemudian membuang muka. Tapi aku sama sekali
tidak merasa marah kepada Kyuhyun karena memperdaya aku. Tak ada lagi ruang
dalam diriku untuk menyimpan hal lain selain kebencian yang kurasakan terhadap
diriku sendiri.
Lagi-lagi Henry tertawa lirih. “Kenapa kau tidak marah padaku?” bisikku.
“Kenapa kau tidak membenci aku? Atau mungkin kau belum mendengar seluruh
cerita yang kulakukan bersama Kyuhyun di tenda?”
“Kurasa aku sudah sangat memahaminya” jawab Henry dengan nada enteng
dan ringan. “Aku membayangkan dengan jelas, bagaimana suaramu dan— Kyuhyun
begitu terdengar hingga telingaku. Aku merasa tidak enak dengan Hyejin, nyaris
seperti aku merasa tidak enak dengan diriku karena tidak bisa menjagamu”
Aku memejamkan mata dan menggeleng-geleng sedih.
“Kau hanya manusia biasa, bukan superhero yang bisa menahan segalanya”
“Itu pembelaan paling menyedihkan yang pernah kudengar”
“Tapi kau memang manusia biasa Eunso. Ada bagian-bagian hatimu yang
sudah menjadi miliknya. Aku sangat mengerti itu”
“Seharusnya aku tahu kau pasti akan menyalahkan dirimu sendiri. Kumohon,
hentikan. Aku tidak tahan mendengarnya”
“Memangnya kau ingin aku bilang apa?”
“Aku ingin kau memaki-makiku sepuas hatimu, dalam setiap bahasa yang kau
tahu. Kau tidak perlu melakukan apa yang Daehyun perintahkan padamu. Aku ingin
kau mengatakan padaku kau jijik padaku karena lancang dengan mencintai suami
Eunbi eonni”
“Aku tidak bisa berbuat seperti itu”
“Setidaknya berhentilah berusaha menghiburku. Biarkan aku menderita. Aku
pantas kok menerimanya”
149
150
150
151
sebelah kami, bavu kelabu kasar yang velanjang. Kami mengikuvi dasarnya yang
melengkung keluar dari huan. “Well..., ngomong-ngomong apakah ciumannya
memang sedasyat itu?”
“Aku tidak bisa menilainya, oppa. kyuhyun adalah satu-satunya pria yang
pernah menciumku”
Beberapa menit kemudian, setelah melesat mengitari sisi teduh puncak
berbatu, barulah kami bisa melihat tenda kecil itu merapat di muka pegunungan.
Semakin banyak salju berjatuhan di sekeliling kami, tapi angin bertiup sangat
kencang hingga gumpalan salju tak bisa diam di satu tempat.
“Song...!” seru Kyuhyun, nadanya amat lega. Kami mendapatinya sedang
mondar-mandir gelisah di sepanjang ruang terbuka kecil.
Ia melesat mendekatiku, nyaris terlihat kabur saking cepatnya ia bergerak.
Henry menjengit, lalu menurunkan aku dari gendongannya. Kyuhyun tidak
menggubris reaksinya dan langsung memelukku erat-erat.
“Kau darimana saja!” ucapnya frustrasi.
“Jalan-jalan sebentar dengan Henry oppa”
“Kenapa tidak mengajakku?”
“Kau kan tadi tidur” koreksiku. “Kau bisa membangunkanku, bagaimana bisa
kau meninggalkanku sendiri bersama gadis itu sedang kau bermain-main di
belakangku?”
Aku sedikit ngeri mendengarnya. Tidak merasa tersinggung atas ucapannya.
“Iya, maafkan aku”
“Kau… potong gaji” tunjuknya pada Henry. “WHATTT!? Me-memangnya apa
yang kulakukan?” teriak Henry. Aku memandanginya, dan tersenyum bahwa ia
benar-benar kembali dengan Henry yang menyebalkan di hadapan Kyuhyun.
“Tidakkah kau gila untuk membawa pergi istriku eo?”
151
152
“Ya Tuhan, hyung! Aku hanya pergi mengelilingi jalan setapak di bawah.
Lagipula dia juga teman kecilku, bagaimana bisa kau seposesif ini?”
“Tidak ada penolakan”
“Ya kau hendak kemana sayang?”
“Memasak, maka selagi aku dan Hyejin menyelesaikannya, silahkan teruskan
debat seru yang kalian senggelarakan”
®®®
AKU berbaring telungkup di kantong tidur, menunggu keadilan
menemukanku. Mungkin salju bakal longsor dan menimbunku di sini. Kalau saja
benar begitu, aku takkan pernah atau mau memandang wajahku lagi di cermin. Tak
ada suara yang memperingatiku. Tiba-tiba tangan Kyuhyun yang hangat sudah
membelai-belai rambutku yang sedikit kusut. Aku bergidik penuh rasa bersalah saat
ia menyentuhku.
“Kau baik-baik saja?” bisiknya, suaranya cemas.
“Baik-baik saja”
Angin kembali mengguncang tenda, dan aku ikut berguncang bersamanya.
Temperatur turun drastis. Aku bisa merasakannya menyusup ke dalam
kantong tidur, menembus jaketku. Aku berpakaian lengkap, kaus kaki masih utuh
menempel di kedua kakiku. Tapi, kurasa itu tidak cukup membantu. Setebal apapun
bahan yang kupakai, hawa dingin masih bisa menembus tulang-tulangku. Sesekali
aku merasakan tubuhku gemetar, gigiku saling beradu mencoba membuatku
teralihkan dari rasa dingin yang mematikanku. Kyuhyun sudah lusinan kali berusaha
membujukku untuk pergi secepat mungkin dari tempat ini, tapi aku takut
meninggalkan ideku sendiri. Mataku saling melirik, di tenda sebelah, tidakkah Hyejin
dan Henry juga merasakan apa yang kurasakan?
“Sayang...”
“Aku t-t-tidak aa-apa-apa”
152
153
153
154
“Song...”
Kyuhyun mendesah. Tangannya naik menyentuh daguku, memutarnya
sedikit lalu setelahnya dapat kurasakan bibirnya sudah menemukan bibirku. Bisa
kurasakan kemarahannya saat bibirnya mendapati dinginnya bibirku, satu tangannya
meraih tengkukku, lalu meremas rambutku. Tangan yang lain menyambar pundakku,
lalu menarikku untuk lebih dekat kepadanya. Tangannya terus meluncur menuruni
lenganku, sampai ke pinggang, lalu melingkarkan tanganku ke lehernya. Kubirakan
tanganku di sana, masih mengepal erat, tak yakin sampai mana aku bisa tetap sadar
supaya bisa terus hidup. Sementara itu, bibirnya, yang lembut dan hangat, berusaha
memaksakan respon dariku.
Sejenak bibirnya berhenti menciumku, tapi aku tahu ia belum selesai.
Bibirnya menelusuri garis rahangku, kemudian menjelajahi leherku. Ia menggeraikan
rambutku, meraih tanganku yang lain untuk dikalungkan ke lehernya seperti tadi.
Aku tidak sempat memikirkan setiap gerakannya yang merasa tak terganggu dengan
kantong tidurku.
Kemudian kedua lengannya melingkari pinggangku, dan bibirnya menempel
di telingaku. “Bibirmu biru” bisiknya.
Aku gemetar saat merasakan giginya menyap daun telingaku. Kyuhyun
kembali mendaratkan bibirnya ke bibirku, jari-jarinya meremas pinggangku dengan
ganas. Sentakan bayang-bayang Eunbi membuat pengendalian diriku yang memang
rapuh jadi kehilangan keseimbangannya. Lalu saat aku mulai bergerak memberi
respon, Kyuhyun tiba-tiba melepas tautan kami. “Aku harus berhenti,”
“Kau tahu kenapa aku harus berhenti?” bisiknya lagi. “Kau tahu aku
menginginkanmu, aku ragu apakah canggung, minder, dan kikuk masuk dalam
kategori menggairahkan dalam anggapan orang lain.
“Maafkan aku”
Akhirnya aku bisa berbicara dengan lancar.
154
155
Bagian dalam kantong tidur kini sudah hangat dan nyaman. Panas tubuh
Kyuhyun seakan terpancar dari setiap sisitubuhnya— mungkin itu karena tubuhnya
yang sangat besar dibanding aku. Kakinya bergerak menyelinap di sela kakiku. Aku
sedikit terlonjak, tapi kemudian menengadah saat Kyuhyun menempelkan pipinya
yang panas ke telingaku yang kebas.
Kusadari kulit Kyuhyun memancarkan aroma seperti kayu— sangat cocok
dengan suasana alam sekitarnya, di tengah hutan sini. Badai mengamuk sepeti
lengkingan binatang menyerang tenda, tapi itu tak lagi membuatku khawatir.
Kyuhyun tidak lagi berada di luar di hawa yang dingin, begitu pula aku. tambahan
lagi, aku terlalu lelah untuk khawatir tentang hal-hal lain, capek karena sudah selarut
ini belum juga tidur, dan sekujur tubuhku sakit-sakit karena otot-ototku menegang.
Tubuhku lambat laun menjadi rileks saat kebekuan mulai mencair, sedikit demi
sediki, kemudian berubah lemas. Barangkali ini juga efek dari ciumannya yang
menggebu-gebu.
“Song”
Kyuhyun berkata lambat-lambat.
“Aku mencintaimu”
“Sekarang, aku tidak bisa meceritakan bagaimana perasaanku. Tidak ada
kata-kata yang bisa mengungkapkannya, terlalu indah”
Lengan Kyuhyun yang memelukku mengejang.
“Kyuhyun, sejak detik pertama aku sadar bahwa aku mencintaimu, aku sudah
tahu hanya akan ada tiga kemungkinan. Alternatif pertama, yang terbaik untukmu,
adalah kalau cintamu padaku tidak lerlalu besar, kalau kau bisa melupakanku dan
bisa melanjutkan hidupmu, aku akan menerimanya, walaupun itu takkan pernah
merubah perasaanku”
“Lalu?”
155
156
156
157
BAGIAN TUJUH
London, 21.00.
“Maafkan aku dan Kangin oppa hiks. Please…, kali ini saja” mohon Eunbi.
Nadanya memilukan, bahkan untuk siapapun yang mendengarnya. Tubuhnya
bergetar, entah karena tangisnya yang menggelegar atau ketakutan yang
mendobrak pertahananya.
“Tidak”
“Maafkan a—”
“Akulah yang salah disini hyung”
“Tid—tidak! Aku yang salah, Kangin oppa tidak bersalah sedikitpun”
Kangin memilih diam, mengabaikan ekspresi yang ditunjukkan Eunbi
padanya. Sudah cukup, untuk segala pengorbanan yang gadis itu lakukan untuk jiwa
pengecutnya, semuanya sudah cukup. Sudah bukan waktu baginya untuk berdiam
diri tanpa melakukan apapun.
“Hyung..., aku tahu. Dari segala sisi, dirimulah yang paling mengerti Eunbi
dibanding aku. Eunbi mungkin sering kali bertindak reprensif, tapi... ia juga tidak
akan berbuat hingga sejauh ini tanpa perintahku. Akulah akar dari semua ini. Akulah
yang menyuruhnya untuk meninggalkan Kyuhyun-ssi dan memaksanya untuk
menemaniku disini”
“Tidak oppa! Apa yang kau katakan!”
Kangin menatap Eunbi, memintanya untuk percaya.
“Aku bukanlah pria dengan segudang kekuasaan, sebaliknya aku justru
memiliki sejuta kekurangan. Aku mengaku salah... atas ketidakberdayaanku. Tapi
aku tidak bisa menyalahkan perasaanku untuknya, walaupun itu membuatku gelap
mata untuk melakukan ini semua. Kesalahanku jelas fatal, maka dari itu aku tidak
memintamu untuk memaafkan aku hyung...—” Kangin berhenti sejenak “—Kau bisa
157
158
limpahkan seluruh amarahmu padaku. Karena, dilihat dari sudut manapun yang
pantas disalahkan atas kejadian ini adalah diriku. Maafkan Eunbi, dia hanyalah gadis
yang begitu tidak ingin menolak permintaanku”
Daehyun menggeram marah, giginya saling berkelatuk menimbulkan bunyi-
bunyian yang memekikkan. Rahangnya mengeras tajam. Urat-urat menyembul di
pelipisnya membentuk relief yang menakutkan. Tangannya mengepal kuat,
menahan keras untuk tidak melakukan bentuk kekerasan apapun. Hatinya ingin
sekali memaafkan..., mencoba memahami jalan pikirannya masing-masing. Tapi ia
selalu gagal. Sejak awal hatinya sudah ditutupi emosi yang membara.
“Oppa... hentikan! Jangan menyalahkan siapapun, kumohon jangan. Akulah
yang salah. Akulah yang pergi meninggalkan Kyuhyun-ssi dan meminta Eunso untuk
menjadi penggantiku. Kangin, Kyuhyun, Eunso semuanya tidak berhak mendapat
amarahmu! Kumohon jangan apa-apakan mereka” teriak Eunbi.
Eunbi berteriak marah..., tangisnya sudah menderu-deru, memilukan.
Semuanya menjadi begitu rumit, membingungkan. Sejak awal dirinya sudah mengira
bahwa tak ada akibat dari apa yang telah ia perbuat melewatinya, tapi rasanya tidak
tahu jika akan semenyakitkan ini.
“CUKUP” teriak Daehyun.
Eunbi terkengkit kaget. Matanya menatap nanar Daehyun dengan marah,
well..., jika Daehyun tidak bisa ia hadapi dengan ketulusannya, maka ia juga tidak
akan sudi untuk memintanya lebih. Nafasnya naik turun, dirinya tak akan pernah
takut.
“Berdiri kau” ujar Daehyun.
BUGH
“BRENGSEK”
Dan sekali lagi.
BUGH
158
159
“La—kukan hingga kau puas, hyung” ucap Kangin. Tak ada satu katapun yang
pantas ia lontarkan selain menerima semuanya dengan terbuka. Jikapun ada,
memang apa yang mampu ia katakan? Mencari pembelaan? Tak ada pembenaran
yang bisa menutupi semuanya.
“Berhenti memukulinya, kau bisa membuatnya mati!” teriak Eunbi menarik
kasar tangan Daehyun yang kembali menghatam wajah Kangin. Dadanya naik turun,
perasaan bersalah tidak mampu membuatnya pasrah begitu saja melihat Kangin
diberlakukan tidak adil. Baginya, bahkan untuk hal paling terburuk sekalipun tidak
seharusnya Daehyun bertindak tanpa mendengar penjelasan darinya.
“Aku benar-benar tidak mengerti” pasrah Daehyun.
“Lama aku merenung, barangkali ini adalah karma yang Tuhan berikan
padaku. Aku mungkin terlalu angkuh, menganggap semua yang kulakukan takkan
berimbas pada apapun. Aku bebas bermain kesana kemari tanpa benar-benar
paham jika itu akan membuat kalian menjadi gila untuk mempermainkan Kyuhyun”
“Aku akan bertanggung jawab untuk apapun”
“Apa yang bisa kau tangguhkan di hadapan Kyuhyun, Song? Aku tidak
mengerti bagaimana kalian bisa melakukan ini dibelakangku, yang jelas banyak
pertanyaan muncul ingin memastikan bahwa semuanya bisa berjalan sampai sejauh
ini. Bagaimana ide mengerikan ini mempengaruhimu, dan… bagaimana bisa kau tega
membuat Eunso menangkap singa yang kau keluarkan dari sarangnya?”
Eunbi diam. Tidak tahu tentang hal apa yang harus ia katakana.
“Jelaskan…, jelaskan padaku bagaimana kau bisa meyakinkan Kyuhyun
tentang ini? Jelaskan padaku bagaimana kau bisa menepati janjimu untuk menjaga
Eunso baik-baik saja? Tidak…, kau tidak bisa melakukan itu Song…”
“Aku memang tidak bisa, tapi bisakah kau beri kesempatan untukku
memperbaikinya?”
®®®
159
160
Eunso side’s
“Hari ini apa saja yang kau lakukan?” tanya Kyuhyun.
Tangannya bergerak mengusap rambutnya yang basah. Aku cukup tertegun
dengan penampilannya sekarang, lebih segar daripada sebelum ini. “Tidak ada yang
spesial, aku membersihkan rumah seperti biasa”
Kyuhyun duduk di sampingku, hampir menempel karena saking dekatnya.
Darinya aku bisa menghirup aroma sabunnya yang memabukkan, well... meski kami
menggunakan produk yang sama, bukan berarti hasilnya juga bakal sama jika harus
dibandingkan. Aku merasa..., pembawaan orang akan mempengaruhi apa saja yang
ia kenakan. Aroma Kyuhyun kadang selalu memabukkanku, aku harus menjaga
pikiranku supaya tetap waras untuk tidak berhambur ke dalam pelukannya.
“Song...”
Panggilnya pelan, nadanya lembut menghanyutkanku.
Aku tertegun untuk waktu yang cukup lama saat nama itu keluar dari mulut
Kyuhyun. Song..., itu namaku, walaupun sekedar marga, itu tetap menunjukkan
identitasku.
“Ya... oppa”
Kyuhyun mendekatkan wajahnya ke arahku, tidak terburu-buru tapi cukup
membuatku tidak siap saat menerima ciumannya. Tangannya melingkari pinggangku
yang kecil dan butuh beberapa waktu untuk menyadarkanku bahwa aku sudah
berbaring di ranjang utama. Ciumannya memabukkanku, well..., itu cukup
membuatku malu bahkan berpindah tempat saja aku merasa tidak sadar.
Manik mataku menatap Kyuhyun penuh tanya, darinya aku berusaha
mencari penjelasan atas perubahan atmosfer yang tengah kurasakan. Well..., ini
menggangguku karena terlalu cepat, tidak seharusnya suasana berubah menjadi
seawkward ini. Tidak seharusnya aku menatap Kyuhyun dengan tatapan paling
bodoh yang pernah kumiliki. Keadaannya menjadi begitu berbeda dan kurasa
160
161
memang tak ada alasan bagiku untuk tetap baik-baik saja. Tangan Kyuhyun
bergerak, dengan gelayar yang dibuat-buat di sekitar kewanitaanku. Aku bukan tidak
memaklumi tentang hal-hal yang biasa seperti hasrat yang menggerayanginya
sekarang, tapi..., ini bukan kewajibanku. Gila saja kalau aku benar-benar
menurutinya.
Tubuhku sedikit bergetar, bahkan aku bisa merasakan betapa kerasnya
jantungku berdetak tak karuan. Ini jelas gelayar aneh, lebih kepada pertanda bahwa
ada sensasi baru dalam tubuhku. Sensasi asing yang tak pernah kurasakan akibat
sentuhan pria. Dan boleh jadi, aku memang benar-benar lugu. Well..., aku tidak akan
bereaksi seberlebihan, jika saja atau seandainya saja elusan yang Kyuhyun berikan
hanya sekedar di pucuk kepala atau sebatas kedua lengan tangannku. Aku bisa
memaklumi itu, asal itu memang bisa di maklumi oleh pola pikir logikaku. Secara
umum, seharusnya aku merasa dilecehkan, atau setidaknya aku bisa mengumpulkan
setiap emosi dari kemarahanku untuk menyingkirkan tangannya sejauh mungkin. Itu
seharusnya jika aku memang wanita normal, tapi... akal sehat memang selalu
menjauhiku.
Aku terkesan diam, membiarkannya mengekploitasi lebih jauh tanpa harus
terhalangi oleh reaksiku. Aku sadar..., sejak awal logikaku sudah kalah, mau aku
diberlalukan seperti apapun, asal Kyuhyun senang..., aku juga hanya akan diam.
Menurutinya.
Lama aku terdiam, ini...
Lembut dan terkesan kasar.
Aku mencoba menyimpulkan bagaimana rasanya. Tangannya yang besar
membuatku berpikir bahwa itu bisa menangkup semua bagian tubuh bawahku.
“Kyuhyun!” pekikku.
Aku akan mati, sekarang.
161
162
Sebenarnya aku juga tidak bisa dibilang terlalu lugu untuk hal-hal semacam
ini. Sedikit banyak aku mengertinya sebagai pengetahuan, bukan sebagai
pengalaman yang pernah menderaku. Toh lagipula sebelum ini Kyuhyun juga sempat
menggerayangiku meski itu cenderung gagal. Hanya ada teori di sana, tanpa paham
bagaimana aku harus memuaskan pria dewasa seperti Kyuhyun. Aku tidak bisa
untuk merasa bahwa ini adalah jalan takdirku, waktu dimana aku harus kehilangan
semuanya.
“Jariku, sayang”
Alisku mengernyit tajam, mencoba menerima jemarinya yang panjang untuk
memasukiku. Tangannya yang satu ia gunakan untuk melucuti beberapa pakaianku
tanpa membuatku merasa terusik. Entah itu karena aku yang terlalu fokus terhadap
rasanya atau memang gerakan Kyuhyun yang lihai, yang jelas aku tak merasa
terganggu sedikitpun. Atau bisa jadi itu karena kinerja otakku yang mendadak
lambat hingga tidak mampu merasakan ada gerakan lain selain gerakan tangannya
yang menusukku.
Rasanya..., aneh.
Aku mengerti, tidak mungkin aku merasa nyaman saat sesuatu yang asing
memasukki bagian tubuhku, tapi... aku juga tidak tahu jika akan seaneh ini.
“Sakit... pelan sedikit” usulku saat kurasa dua jari panjang itu mulai bergerak.
Ada gelayar yang baru lagi, aku tidak bisa mengatakannya sama, karena keduanya
berbeda dari apa yang ia lakukan sebelum ini.
“Ini jalan yang sedang kubuat”
“Jalan apa?”
Kyuhyun memilih diam daripada menjawab pertanyaanku. Aku menatap jauh
ke arah retinanya saat ucapanku benar-benar di abaikan. Kyuhyun tidak berhenti,
dan aku mungkin tidak bisa mentoleril gerakannya yang justru semakin cepat di
bawah sana.
162
163
163
164
164
165
165
166
Aku tidak akan menyesal. Untuk apapun yang akan terjadi nantinya, aku
benar-benar tidak boleh menyesal. Ini keputusan terakhirku, bulat.
Eonni, akhirnya aku menyerahkan semuanya.
Kau bilang aku tak perlu berkorban apapun, kau bilang ia tak akan melaukan
ini padaku. Well..., aku tak akan menyangkal. Aku akan mengikuti apa yang harus
kulakukan, entah aku akan meanng atau kalah. Setelah ini, akupun tak akan
membiarkannya pergi dariku. Tidak peduli dengan status yang mengikat kalian, aku
benar-benar akan membuatnya jadi milikku.
“Benarkah?”
“Ya..., tapi... ini pengalaman pertamaku, oppa”
“Aku tahu...”
“Well..., karena ini pertama bagiku. Bolehkah aku bertanya?”
“Apapun itu”
“Selagi kita melakukannya, apa yang harus aku lakukan?”
“Meniduri daun muda memang sepolos ini ya?” jawabnya balik bertanya.
Aku cukup tersinggung, meski keadaannya memang seperti itu.
“Jawab saja...”
“Teknisnya, tidak perlu melakukan apapun. Cukup terima setiap sentuhanku”
Aku mengangguk mengerti, setelahnya tak ada lagi obrolan yang keluar. Aku
mengikuti arah pandanganya yang tertuju ke bagian depan dadaku.
“Jangan melihatnya seperti itu. Aku malu”
“Tidak perlu malu, sayang”
Aku mengerang, memilih menutup mata dan merasakan bagaimana
tangannya mengelus pelan sesekali meremas dadaku. Tangannya yang besar, terasa
berlebihna jika harus dibandingkan dengan milikku yang kecil. Tapi..., kurasa
Kyuhyun tidak terlalu mempermasalahkannya. Aku menggeleng pelan, aku tidak
166
167
harus memikirkannya lebih jauh, karena... kupikir aku seharusnya memikirkan diriku
sendiri akan bahayanya suar-suar yang keluar dari sudut bibirku.
“Kyuh—hyun!”
Aku tidak bisa berhenti, bahkan ketika aku menahannya kuat, suar-suar itu
semakin keras terdengar. Aku menatap wajah Kyuhyun, tapi ekspresinya masih tetap
sama.
“Aku tidak bisa diam, oppa... Apa memang seperti ini?”
“Keluarkan saja, tidak apa-apa”
Aku mengatupkan mata rapat-rapat, bukan karena gerakannya di dadaku
yang semakin tak berturan. Ada alasan lain lebih mendorongku untuk tidak
membuka mata lebar-lebar, well..., aku tidak siap. Itu terlihat mengerikan untukku.
Bagian tubuh Kyuhyun, lebih mengerikan dari apa yang kubayangkan. Dan... jika
jemarinya yang kecil saja sudah bisa menyakitiku, bagaimana rasanya jika miliknya
yang besar juga ikut masuk?
“Buka matamu...”
Aku diam, bahkan suaranya yang serak juga terdengar mengerikan sekarang.
“Tatap aku Song, aku akan memasukimu”
“Kyuhyun...”
“Ini akan sakit, terlebih untukmu yang masih perawan”
Aku menelan liur paksa, aku ingin mundur... tapi ini juga keputusanku sendiri.
“Iya, sa—kit”
“O... tahan sebentar. Ini sudah setengah jalan, akan lebih sakit jika aku
menariknya mundur. Jadi bertahan sebentar ya?” bujuk Kyuhyun.
Matanya menatapku lekat yang menahan perih, dari tatapannya aku isa
merasa Kyuhyun sedang mencoba menyalurkan kekuatannya padaku.
Aku... memekik keras dalam bungkaman ciuman Kyuhyun.
Ini, menyakitkan.
167
168
Sesuatu telah robek di bawah sana dan aku bisa merasai sakitnya hinga ke
kepalaku. Muka mataku memanas, aku tidak ingin menangis, tapi... aku juga tidak
bisa menahan air mata keluar dari sudut mataku. Ini terlalu menyakitkan, sungguh.
“Terimakasih” bisik Kyuhyunnya saat semuanya telah masuk memenuhiku
dengan sepenuhnya.
Aku tidak memperhatikannya lebih lanjut.
“Song..., jangan menangis sayang. Kumohon...”
Aku menatapnya nanar, emosi mendadak menyerangku dengan perasaan
marah dan egois. Perasaan ingin memiliki Kyuhyun berubah menjadi boomerang
hebat dalam benakku. Aku menjad begitu egois untuk menyimpannya secara
pribadi. Lagipula..., Eunbi tidak lagi mencintai Kyuhyun, lalu untuk apa aku tetap
bertahan baik memerankan peran?
Aku menghembuskan napas keras, “Aku sudah memberikan semuanya
padamu. Hatiku, kehormatanku, semuanya tanpa sisa. Lalu... dengan
pengorbananku yang seperti ini, bisakah kau juga melakukan hal yang sama
untukku?”
“Kau akan mendapatkan semuanya, hatiku, jiwaku, bahkan bisa memiliki
seluruh duniaku. Bahkan jika aku tidak bisa memberikan dunia beserta isinya, aku
tetap bisa memberikan duniaku padamu”
“Aku ingat janjimu. Saranghae”
“Aku lebih mencintaimu”
Aku mengangguk menjawab isyarat matanya. Aku tak lagi ragu untuk
memulainya kembali, aku tak lagi ragu untuk mencintai Kyuhyun dengan segala
dayaku. Ini mungkin menyalahi aturan, tapi... sejak awal semuanya sudah di luar
batas normal, jadi... kurasa membelokkannya sekali lagi juga bukan suatu masalah
besar.
®®®
168
169
Kyuhyun side’s
Ketika aku terbangun, aku berusaha berkonsentrasi menyesuaikan mataku
dengan sinar-sinar di sela-sela tirai. Aku sama sekali tak menanti-nantikan fajar, dan
ini melebihi sesuatu yang tidak kuharapkan. Tentu saja ada alasan-alasan tentang
penolakanku ini, malamku... bisa berlalu lebih cepat, dan aku tidak terlalu setuju.
Lampu kamar masih menyala, aku menggulingkan tubuh dan berbaring telentang,
dengan ia tak berkutik dalam lenganku. Aku tersenyum simpul, malam itu aku tidur
tanpa mimpi meski aku kelelahan karena suatu hal yang kulakukan bersama nona
Song. Aku tidak bisa menyangkal, bahwa itu adalah malam terindah dari sekian
banyak malam indah yang menyelamiku.
Pikiranku berputar-putar dipenuhi bayangan yang tak bisa kuhilangkan, dan
beberapa yang kucoba enyahkan. Semuanya terlihat jelas, dan itu berakibat fatal
untuk sarafku. Ada tiga hal yang kuyakini kebenarannya. Pertama, ia adalah duniaku,
semestaku. Kedua, ada sebagian dirinya, dan aku tak tahu seberapa kuat bagian itu,
yang membuatku kadang bertanya-tanya. Dan ketiga, aku jatuh cinta padanya,
tanpa syarat, selamanya. Aku tidak ingin menyangkal jika aku telah diperbudak oleh
kehadirannya. Bagiku..., itu hal yang wajar jika kami saling mencintai.
Aku berdebat dengan bagian diriku yang yakin bahwa semalam bukanlah
mimpi. Logika tak berpihak padaku, ataupun akal sehat yang mampu membuatku
berhenti memikirkannya. Aku bergantung pada bagian tubuhnya yang tak mungkin
cuma khayalanku— seperti aroma tubuhnya. Aku yakin takkan pernah bisa
melupakannya dengan usahaku sendiri.
Diluar jendela cuaca gelap dan berkabut, benar-benar sempurna. Cuaca di
luar berkabut lebih dari biasanya, udara nyaris tertutup kabut. Aku menarik selimut
lebih tinggi, setinggi leher untuk menjaganya tetap hangat. Aku memutuskan untuk
membersihkan diri selagi menunggunya bangun. Kakiku berayun di lantai, dan
bangkit sepelan mungkin. Saraf-sarafku terasa hidup setelah lama mati tanpa
169
170
sentuhan. Well..., ini memang bukan pertama kalinya bagiku... tapi aku bisa
menjamin bahwa ini adalah hal yang paling menakjubkan seumur hidupku.
Tubuhnya bagai candu, dan aku tidak akan berhenti di kali pertama. Ini mungkin
bukan yang pertama bagiku tapi aku berani jamin jika ia adalah yang terkahir bagiku.
Sesudahnya aku membersihkan diri, kuoutuskan untuk membuat enchiladas
ayam untuk sarapan. Masaknya lama, dan itu membuatku sedikit kesulitan dan
bosan. Ketika aku sedang menumis bawang dan cabe, aku merasa dorongan kuat
untuk menyelesaikannya dengan cepat. Aku nyaris saja membuatnya asal, tapi... aku
mengurungkannya kembali.
Aku berusaha berkonsentrasi membuat sesuatunya se ideal mungkin,
terutama saat mengiris daging ayamnya tipis-tipis. Tanganku memasukkan beberapa
peracik ragu, mencoba meyakini bahwa keputusanku untuk memberikan sesuatunya
sesuai takaran adalah benar. Butuh waktu sekitar limabelas menit saat enchiladas
ayamku benar-benar matang di oven. Aku menatapnya lama, sembari
membandingkan hasil dengan apa yang menjadi pedomanku. Well..., aku
sebenarnya sedikit ragu. Tapi saat aku mencoba mencicipinya, rasanya tidak terlalu
buruk.
“Selesai...”
Aku menaiki tangga dengan perlahan.
“Sayang...” panggilku.
Aku melirik jam dan mendapati jarumnya yang menunjuk pukul sembilan
KST, keadaan di luar benar-benar mengelabuhiku. Aku berjalan dan duduk
menyamping seraya menyentuh kakinya yang tertutupi selimut. Seharusnya..., ia
sudah harus bangun. “Hei... bangun dulu”
Aku tidak tahu mimpi apa yang sedang menderanya hingga ia mampu
melewatkan paginya lelang. Aku mencoba tetap tenang saat kepanikan mulai
menyerangku. Aku merasakan sekelumit perasaan ngeri saat tanganku menyentuh
170
171
potongan lehernya, panas. Aku bangkit sedikit berlari menuju walking closet dan
menemukan apapun yang bisa aku kenakan untuk menutupi tubuhnya yang
telanjang. Tanganku gemetar, bukan karena sensasi seperti dimana aku mengejang
karena memandangi tubuhnya yang terbuka, aku tahu ini adalah bentuk dari
ketakutaku semata.
Pikiranku kacau, panik, semuanya menjadi satu tanpa bisa kusortir satu per
satu. Aku mungkin bisa saja berbuat tanggap, tapi... aku sendiri dilanda kepanikan
hebat.
“Ya Tuhan, sayang. Bangun ya?”
Aku menepuk pipinya pelan. Lama aku menyadari, barang kali ini hanyalah
tipuan, tapi ia terlihat pucat, tidak sehat. Kulitnya yang cantik, being nyaris
transparan menjadi tak berwarna. Well..., aku terpaksa untuk membohongi diri
bahwa keadaannya sekarang hanya efek dari kelelahan karena percintaan kami
semalam. Bukan secara psikis saja aku mengakui itu, dan aku benar-benar tidak akan
memaafkan diriku jika memang kesenanganku berdampak fatal.
Barangkali tidak akan begini akhirnya jika aku lebih menahan hasratku untuk
berhenti. Tapi... secara fisik saat itu aku juga tidak sadar. Aku terlena tanpa mengerti
apa yang kuyakini akan menyenangkan justru akan berakhir menyakitkan.
Oo shit!
Aku menyambar ponsel di atas nakas dengan cepat. Mencari sesuatu yang
bisa membantuku dan segera mendialnya buru-buru. Nada dering yang berbunyi
membuatku tidak sabaran.
Yeobseyo
Oo
Hyung..., aku butuh bantuanmu
Aku bisa mendengar suaraku gemetar.
Siapa yang sakit?
171
172
Istriku.
Ada masalah apa?
Cepatlah, aku tidak ada waktu. Duapuluh menit, tidak! Sepuluh menit kau
tidak ada dihadapanku, maka... aku tidak janji untuk membuat rumah sakitmu baik-
baik saja
Aku menekan tombol merah tanpa perlu mendengar keluhannya lebih jauh.
Tidak ada waktu... aku tidak tenang, dan demi membuatku sedikit lupa akan
kepanikanku, aku berlari-lari kecil sembari menatap jendela beberapa kali. Pikiranku
buntu..., aku seperti orang sinting.
“Apa yang kau lakukan?”
“Hyung!”
Aku bangkit dari gerakanku, “Periksalah...”
Siwon hanya diam sesekali tersenyum simpul. Well..., ekspresinya
membuatku menggeram marah. Dokter waras mana yang senang melihat pasienya
terkapar lemah? Aku mencoba menghembus napas kasar, memegang kedua
jemariku erat-erat menahan untuk tidak menghantamnya sekeras mungkin. Emosi
begitu, aku tetap tidak mampu untuk tidak berdekatan dengan Siwon. Mataku
mengawasi gerak-geriknya yang takut menyimpang.
Dokter cabul!
“Cantik sekali”
“Bajingan mulutmu!”
“Hei..., mulutmu yang kotor!”
Aku mengabaikannya, bisa gila jika aku terus-terus berdebat. Aku melihat
napasnya naik turun, dan mendesah lepas. “Ada apa?”
“Kalau mau bercinta juga yang biasa saja”
“Bagai—mana kau tahu?”
172
173
173
174
“Tidak. Ia hanya demam, nanti malam atau besok bisa segera pulih. Jadi kau
tenang saja oke? Tidak perlu khawatir. Tapi jika kau ingin aku merawatnya, aku bisa
senang hati menurutimu”
“Cabul”
“Kau lebih cabul dariku”
Aku mengembus napas kasar. Orang waras..., harus mengalah, Kyuhyun.
“Igoo, aku berikan vitamin. Berikan ketika sesudah makan”
Aku mengangguk dan menerima obat yang Siwon berikan dengan patuh.
Membacanya sekilas meski aku tidak berakhir dengan kepahaman.
“Terimakasih”
“Tumben berterimakasih padaku...”
“Please... aku sudah menahan untuk tidak membunuhmu sejak tadi”
“Mukamu seperti anjing ketika marah”
“Bajingan, cabul!”
Siwon tertawa lepas. Aku tidak benar-benar merasa marah padanya. “Well...
aku tidak bisa berlama-lama disini, jam sebelas nanti ada jadwal operasi. Jadi,
berikan obat itu”
Aku mengangguk. “Ya sudah sana pergi”
“Lagipula siapa juga yang ingin berlama-lama di sini” nadanya menggelegar.
Aku acuh, mungkin hubungan kami terlihat aneh di sebagian besar orang.
Untuk hubungan darah yang melekat di antara kami, apapun tentu bisa ditoleransi
lebih jauh. Aku tidak menampik bahwa sesuatunya memang terlihat konyol, di lihat
dari sisi manapun interaksiku dengan Siwon tetap tergolong aneh. Itu yang
kupikirkan, lain lagi dengan Siwon, dan aku tidak tahu. Di usia kami yang hampir
memasuki empatpuluh tahun, dimana usia itu benar-benar memuakkanku karena
terlalu tua. Hubungan kami tidak jauh beda dengan pergaulan anak belasan tahun,
tidak pernah akur, tapi saling meyayangi mungkin.
174
175
Bajingan...
Aku menggeleng kepalaku keras. Aku bergidik ngeri membayangkan betapa
jijiknya diriku barusan. Tetapi sesudahnya aku tertawa pelan. Aku meletakkan
obatnya di atas nakas dan kembali duduk menyamping. Mataku mengamati setiap
inici dari tubuhnya yang putih, kemudian fokus pada kedua lengannya.
Siwon benar...
Itu memar.
Aku menghembuskan napas pelan, sadar akan kebodohanku yang melebihi
batas. Hanya karena napsu binatangku, aku tidak seharusnya berbuat hingga seperti
ini. Well..., aku hanya terlalu mengedepankan ego dibandingkan perasaanku.
175
176
BAGIAN DELAPAN
Kyuhyun side’s
Suara napas yang tersengal-sengal memenuhi ruang dimana aku bisa
mendengarnya dengan jelas. Aku menyadarkan kepala dipunggung sofa sembari
menahan napas untuk tidak terdengar menggebu keras. Tanganku memegang
lembut pinggang ramping miliknya, memandunya bergerak sesuai apa yang
kuharapkkan. Aku menggeram keras dengan sensasi yang baru saja kudapatkan,
milikku, dengannya ada di atasku, membuatku mampu mencapai batas akhir
pencapaianku. Aku tidak bisa memungkiri bagaimana kenikmatan ini
membelungguku, membuatku sinting, tak bisa berpikir selain apa yang kurasakan
sekarang. Pun..., jika sedari awal aku mengetahui posisi ini begitu menakjubkan, aku
akan memintanya lagi. Lebih lama sampai aku benar-benar merasa terpuaskan.
Dadanya yang tak terutup apapun menggantung indah di hadapanku,
sesekali rambutnya yang panjang memang menutupinya. Aku seperti hilang akal,
kenikmatan ini sungguh mematikanku. Milikknya menghimpitku dengan sensasi
yang mendebarkan, terlebih saat gerakannya maju menubrukku hingga rasanya
kepalaku ingin pecah. Aku tidak tahu... milikku yang lugu, terlebih polos mampu
membuatku mabuk kepalang. Tangannya sesekali mencengkeramku saat milikku
menembus titik terdalamnya. Nafasnya menderu, menyapu bahuku dengan kasar.
Dan... ini menimbulkan rangsangan lain, rangsangan baru untukku.
Perasaan ini benar menekankan bahwa pepatah usaha tak pernah
mengkhianati hasil bukanlah kata-kata belaka. Bayang-bayang bagaimana sulitnya
aku membawanya dalam pangkuanku melesat di hadapanku. Aku harus
membujuknya lebih, meyakinkan bahwa tak ada sesuatunya yang mampu membuat
ia tidak nyaman. Aku perlu mengerahkan usahaku berlebih hanya untuk
mendapatkan apa yang ku inginkan. Dan... aku tak menyesal. Dengannya...
176
177
177
178
bahwa ini adalah pelepasan yang hebat. Meski tak ada pelepasan yang tidak hebat,
aku tetap menganggap ini adalah pelepasan yang paling hebat. Aku perlu mencoba
beberapa posisi lain untuk menggeser puncak kenikmatan dari posisi sebelumnya.
Dirina lebih parah. Napasnya lebih naik turun dari apa yang kurasakan. Aku
menariknya agar jatuh dalam pelukanku. Tanganku bergerak membenarkan helaian-
helaian rambutnya yang berantakan, lalu mengikatnya tinggi-tinggi.
“Kau memang hebat”
“Itu karena oppa tidak berhenti mengajariku”
“Aku tidak ingin menyangkalnya”
“Lelah sekali”
“Oo, istirahatlah sebentar” usulku.
Aku melirik jam dinding di atas rak, dan tersenyum kemudian. Keputusanku
untuk mangkir dari kantor seawal mungkin bukanlah hal yang merugikan.
Dengannya..., aku bisa merasai dirinya lebih lama, aku bisa menghabiskan waktu
jauh lebih lama daripada aku harus berkutat dengan pekerjaan kantor sampai
malam. Well..., ini membuatku merasa ingin lebih memajukan jam kepulangku.
Masih dengan ia di pangkuanku, tubuhku maju mengambil ponsel di atas meja.
Eunso tidak terusik, atau lebih tepatnya malas untuk melakukan pergerakan lain.
Jariku dengan cepat mengetikkan beberapa kata di sana.
Belikan beberapa makanan untukku.
Aku menekan tombol send sesegera setelah selesai. Aku harus cepat
bertindak sebelum Eunso benar-benar sadar akan kelelahannya.
“Sayang..., pakai baju dulu baru tidur. Aku akan membangunkanmu untuk
makan malam”
“Aku tidak tidur”
“Tapi... kau akan kedinginan. Ayo bangun dulu, nanti boleh diteruskan”
ucapku sembari mendorong bahunya menjauh.
178
179
179
180
180
181
Jawaban Henry yang kontras dengan apa yang ia lontarkan padaku benar-
benar mempunyai makna yang kontradiktif. Ia menutup sambungan sesegera
mungkin saat keinginannya terpenuhi. “Kenapa?”
“Aku rasa, aku memang berlebihan”
“Berlebihan untuk?”
“Cemburu padamu” ujarku.
“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, cintaku hanya untukmu”
®®®
Pagi datang lebih dingin dari biasanya. Meski penghangat di dalam kamar
menyala dengan baik, tetap saja aku bisa merasakan hawa atis yang ikut mengekori
musim dingin. Tidurku semalam nyenyak tanpa mimpi, lebih dari itu ada dirinya
dalam pelukanku membuat malam berlalu lebih cepat dari apa yang kurasakan
sebelum menikah dengannya. Aku merasa jika malamku benar-benar terjaga dari
apapun, dari mimpi buruk, atau dari cuaca yang mengusikku. Aku mengerjapkan
mata dan mulai membiasakan dengan pagi yang menyongsong cepat. Aku menoleh
pelan ke samping, meski sudah tahu jawabannya aku tetap melakukan itu setiap kali
aku bangun.
Kaki berayun menyentuh lantai dan perlahan bangun dari peraduanku.
Menggosok gigi, mencuci muka, dan melakukan ritual pagiku secepat mungkin. Aku
melirik ke arah jendela sebelum benar-benar keluar kamar. Well... alasan mengapa
pagi ini begitu dingin terjawab sudah karena butiran salju mulai berguguran. Aku
menaikkan suhu ruangan supaya bisa lebih hangat saat aku kembali nanti.
“Sayang...” seruku di balik tembok.
“Aku di dapur” teriaknya.
Aku berjalan cepat, suaranya menghentak-hentak di telingaku.
Sesampainya, aku segera memeluk tubuhnya dari belakang, membuatnya
mau tidak mau menghentikan gerakannya mengaduk kuah. Aromanya yang khas
181
182
182
183
yang begitu menarik perhatianku. Dan aku benar-benar tak pernah mengira, lebih-
lebih tak menyangka dengan apa yang seharusnya ku pahami sejak dulu.
Di halaman pertama, aku tidak terlalu paham dengan apa yang dimaksud
penulis. Hanya ada tanggal sekian, sekian, dan beberapa kalimat yang membuatku
bingung.
Kyuhyun oppa baik.
Sangat baik.
Aku tersenyum, lalu beralih ke halaman berikutnya. Kebingungan yang
sempat menderaku, mendadak sirna saat mengetahui siapa pemilik buku yang
sedang kubaca ini. Sayang..., aku memang baik.
Di halaman kedua, bibirku semakin merekah membentuk senyum lebih lebar.
Aku mencintai Kyuhyun oppa...
Kuharap ia juga begitu...
Aku akan sangat mencintaimu sayang, jawabku. Halaman demi halaman
semakin kubaca dengan menggebu-gebu. Ini mungkin salah atau tidak bisa
dibenarkan, tapi aku juga tidak bisa berhenti. Lama aku membaca hingga aku
menyadari ada sesuatu yang ganjil saat aku membaca halaman ke duapuluh tujuh.
Mataku membaca nanar.
Semuanya sudah kuberikan pada Kyuhyun oppa.
Mahkotaku...
Hatiku...
Semuanya kuberikan tanpa tersisa.
Tapi...
Eunso tidak menyesal.
Aku mengernyit, menggaris bawahi kata Eunso yang tertera di sana. Nama
itu membuatku penasaran, dan membawa dugaanku akan pemilik sebenarnya.
Bahwa nyatanya bukan Eunbi yang memiliki ini. Aku buru-buru membalikkan
183
184
halaman, mencoba memastikan jika Eunso adalah nama lain dari Eunbi, istriku.
Bahwa Eunso hanyalah panggilannya yang lain, bukan pertanda lain.
Malamnya, saat Eunbi eonni meneleponku...
Itulah dimana aku kehilangan mahkotaku yang berharga.
Aku menggeram marah, saat menyadari apa dan siapa yang sedang kubaca.
Nafasku naik turun, jantungku bergemuruh hebat merasakan sensasi yang begitu
berapi-api. Eunso...
Meski hanya sebatas menggantikan eonni.
Hidup bersama Kyuhyun oppa, mungkin itu adalah hal paling indah
dalam hidup Eunso.
Jadi..., selama ini?
Aku mencengkeram kuat kertas itu di tangannya.
Dadaku mendidih karena marah. Aku menggenggam buku itu dengan
perasaan campur aduk. Kakiku sedikit berlari dan semakin membara saat melihat
punggungnya di balik sofa ruang tengah. Ya Tuhan, kami baru saja bercinta sore tadi.
Tidakkah ini begitu menyakitkan untukku?
Eunso side’s
“Terkejut?” ujarnya sengaja dengan nada dipotong-potong. Satu alisnya
mengerut naik, membuatku hampir tak mengenali ekpresi jenis apa yang sedang
Kyuhyun tunjukkan padaku.
Kyuhyun maju selankah lagi, sampai jaraknya tinggal beberapa senti saja
dariku. Tangannya terlulur untuk mengangkat beberapa helai rambutku dan
mencengkeramnya kuat, tapi itu tak bisa membuatku merasa terluka. Kemudian
perlahan-lahan, Kyuhyun mengembalikannya lagi di tempat semula, dan aku bisa
merasakan ujung jarinya yang panas menyentuh pelan leherku. Kyuhyun
mengangkat tangannya dan mengelus pipiku sekilas dengan ibu jarinya, wajahnya
184
185
penasaran. Aku ingin sekali menjauhkan diri darinya, tapi tubuhku membeku. Aku
bahkan tak bisa beringsut.
Aku tak pernah bisa mengenali dengan siapa aku berbicara sekarang.
Wujudnya mungkin Kyuhyun, tapi seratus persen aku mampu meyakini bahwa ada
jiwa lain yang sedang merasukinya. Dia bukan Kyuhyunku..., bukan Kyuhyun yang
akan selalu berbuat baik padaku. Ada sebagian darinya yang membuatku merasa
yakin bahwa kesimpulanku ini mendekati benar. Well..., jika benar ia memang
Kyuhyun, jika ia benar-benar pria yang saat ini lebih berharga dari apapun yang
kumiliki..., matanya tidak fokus. Ini tentu bukan gayanya, seribu persen aku bisa
menjamin. Kalau ia benar Kyuhyun adanya, ia takkan pernah melepas tatapannya
padaku, dalam kondisi apapun.
Dan..., meski sepkulasiku mampu membangun keberanian dalam jiwaku, aku
tetap mencoba untuk tidak terpancing melakukan hal-hal sembrono. Walaupun...,
nantinya dugaanku bakal salah, aku akan tetap merasa bahwa ini semua tidak
pernah terjadi. Bahwa aku hanya perlu bertahan, menebalkan muka, melihat
semuanya baik-baik saja. Ya... aku hanya perlu melakukan hal itu, karena kuyakin...
Kyuhyun akan mengenali dengan siapa ia berbicara sekarang.
“Siapa..., siapa, siapa gadis cantik di depanku ini?” gumamnya pada diri
sendiri, lalu menjatuhkan tangannya, “Aku tak mengerti,”
Kyuhyun mendesah, nadanya membuatku meradang pilu. Aku dilanda
penasaran hebat akan ekspresinya yang berubah-ubah. Bahwa sekarang aku takut,
akan pradugaku yang bisa melenceng jauh dari jawaban semestinya. Aku ingin sekali
mengatakan Eunso. Apa saja. Tapi aku tak bisa mengucapkannya barang satu kata
sekalipun.
“Aku bertanya sekali lagi, siapa kau?” ulangnya, kesedihan, amarah
mendalam memenuhi suaranya yang sempurna.
185
186
186
187
meskipun aku mencoba membohongi diri, bahwa dampak yang kutimbulkan tidak
hanya mencakup satu dua orang.
“Mianhae...” tukasku.
Walaupun aku ingin menjawab tidak, meskipun aku ingin mengatakan bahwa
aku mencintainya, akhirnya hanya kata maaf yang bisa ku sampaikan.
Kyuhyun melangkah mundur dan mulai mengelilingiku, dengan wajar,
seakan-akan mencari sudut pandang yang lebih baik untuk mengulitiku. Aku tahu ini
takkan berakhir cepat seperti yang kuharapkan. Lututku gemetaran, dan aku
khawatir aku bakal jatuh.
“Kau begitu membuatku kecewa”
Petir menyambar bagai badai dalam jantungku. Menghunus tepat dimana
aku bisa merasakan sesak yang tak dapat kujabarkan. Kata-katanya menusukku,
mempertajam siapa diriku sebenarnya. Itu lebih buruk daripada ungkapan marah
yang seharunya Kyuhyun lontarkan padaku. Aku tidak ingin melihatnya seterpuruk
ini, aku ingin dia marah, meluapkan segala emosinya padaku daripada harus merasa
begitu pilu. Suarnya yang menyedihkan, rasanya lebih mematikan daripada
amarahnya padaku.
“Eunso... Eunso bisa jelaskan”
Langit, duniaku seakaan hancur, roboh. Pria yang selama ini kujaga
perasaanya, justru hancur berkeping-keping oleh ulahku sendiri. Ia yang selalu
kulindungi rasanya, sekarang... jatuh karena kebodohanku yang tak bisa diterima.
Aku mengerang keras, apa sebenarnya yang telah kulakukan... apa yang sebenarnya
aku perbuat disini?
“Apa yang ingin kau jelaskan padaku?”
Ya...
Apa yang sebenarnya ingin aku jelaskan pada Kyuhyun?
187
188
“Dengar... aku tahu pasti ada alasan kau bisa melakukan ini padaku. Tapi...,
kau juga tidak perlu sampai mempermainkan hatiku sebegini jauh. Uang? Rumah?
Atau apapun itu, kau bisa memintanya padaku. Sebagai adik iparku... kau bisa
memintanya baik-baik, tapi tidak sepantasnya, tidak seharunya kau menipuku
seperti ini. Brengsek!”
Aku menggeleng keras, tanganku bergerang membuat penolakan atas apa
yang baru saja ia tuduhkan padaku. Demi apapun, aku sungguh tidak menginginkan
apapun dari apa yang ia miliki. Air mukaku berubah drastis, bukan ini yang aku
inginkan keluar dari sudut bibirnya. Mataku memanas, dan kurasakan wajahku
basah oleh tangisan yang tak lagi bisa kubendung.
Well,
Ini... menyakitkan.
“Please... JAWAB AKU SONG EUNSO!” sentak Kyuhyun. Tangan kanannya
bergerak mengangkat daguku, lalu mencengkeramnya kuat. Aku tak menyahut.
Nyaliku benar-benar ciut. Aku punya firasat sebentar lagi ia akan mencapai
tujuannya yang sebenarnya. Tapi aku tidak takut, aku siap menerima apapun, hanya
saja aku memang tidak bisa berbicara gamblang. Lagipula, jika ia benar akan
menghabisiku, kemenangan yan ia rasakan bukanlah kepuasan dalam mengalahkan
diriku, manusia lemah ini. Tetapi, kepuasan dalam memenangkan emosi.
“Kau bisu? Kau tidak bisa berbicara padaku?”
“Eunso tidak menginginkan apapun” akuiku tak sepenuhnya jujur.
Dari awal aku memang tidak menginginkan apapun, tapi saat itu aku mulai
menyadari. Ada banyak hal yang kuinginkan, salah satunya kebahagiaan Kyuhyun.
Aku tidak perlu melontarkannya lebih jauh, kurasa...
“Brengsek” umpat Kyuhyun keras.
Maafkan aku, tapi aku juga takkan mampu menahan diri untuk tidak
membuatmu terluka setelah menyaksikan kenyataan ini. Dan aku tak ingin kau
188
189
merasakan kecewa yang berlebih atas apa yang telah Eunbi rencanakan untukmu.
Tentu saja, ini semua karenanya. Kau hanya manusia, yang sayang sekali berada di
tempat yang salah, pada waktu yang salah, dan tak diragukan lagi, boleh
kutambahkan, menikah dengan orang yang salah.
“Kenyataan macam apa ini?” tahannya, matanya terpejam sebelum kembali
melanjutkan, “Aku dibodohi olehmu, dan disaat yang sama aku juga mencitaimu?”
Aku menggeleng hebat. Jangan..., jangan pernah mencitaiku Kyuhyun. mata
Kyuhyun berubah hitam, dingin, dan aku yakin apabila aku menanggapi, pernyataan
cintaku juga tak akan pernah ia percayai, tapi aku juga harus mencoba.
“Eunso lebih mencintaimu”
Lubang hidungnya kempas-kempis, ia memandangku marah dan
melanjutkan.
“Eunso... aku akui, aku pria brengsek, bajingan, lebih keparat atau apapun itu
terserah bagaimana kau akan mengira. Tapi aku tidak bodoh... Eunso, aku tidak
selugu yang kau kira untuk terus diam. Aku pikir..., kau benar polos, kupikir kau
benar suci. Tapi..., aku belum siap menerima siapa sebenarnya dirimu”
Aku mencoba diam, menunggu kata-katanya kembali. “Jalang...”
Deg
Deg
Deg
Aku tidak menyakini bahwa telingaku masih benar-benar berfungsi untuk apa
sesuatu yang baru kudengar. Meski ia tak mengerucut dengan menyebut namaku,
aku tidak bisa memungkiri jika kata itu bukanlah kata umpatan yang kebas. Itu
bukan sebuah ujaran kasar tanpa tujuan, itu murni ditunjukkan padaku. Aku
mencoba untuk tidak terpengaruh, tapi sering kali itu gagal karena aku tidak bisa
menyangkal bahwa itu benar menyakitkan ulu hatiku. Aku tidak siap, tubuhku
gemetar hebat, untuk kata-kata sayang dan pujian yang selalu ia agung-agungkan
189
190
kini terhempas begitu saja, terganti dengan sumpah serapah yang begitu
menyesakkan hatiku.
Aku tiba-tiba merasakan sebuah emosi, marah yang melingkupiku. Untukku
yang tak pernah merasa marah, tiba-tiba merasakan itu sebagai sesuatu yang baru.
Bukan karena perkataan Kyuhyun, tapi lebih kepada diriku sendiri. Aku marah,
karena cinta yang kuberikan, untuk cinta yang kukorbankan, untuk semua yang telah
kutorehkan. Aku marah. Bahkan karena perasaan itu, aku tidak memiliki daya
sedikitpun untuk melawan Kyuhyun.
“Kyuhyun op—pa”
Aku menggeram tertahan, kehabisan kata-kata. Well..., memang apa yang
seharusnya kukatakan? Aku sudah sangat tertangkap basah. Tak ada hal yang perlu
kujelaskan untuk membuatnya percaya. Karena..., untuk pertahanku yang terakhir...
aku benar-benar tidak bisa mengenali Kyuhyun.
“Kenapa? Tidak terima dengan ucapanku? Tubuh indahmu ini,—” Kyuhyun
menatapku jijik, “Kau berikan dengan sukarela padaku, aku tidak akan pernah lupa
bagaimana kau meneriakan namaku tanpa malu. Kau mendesah hebat di bawah
kuasaku, di bawah kuasa kakak iparmu, lebih parah lagi, aku berucap kau
mencintaiku? Well..., Eunso. Bukankah jalang adalah julukan yang amat pantas
kulabelkan pada tubuhmu ini?” sinis Kyuhyun.
Aku terkesiap, tangaku saling mengepal berusaha menyembunyikan
bergetarnya tubuhku. Aku mencoba membujuk, merasakan mataku kembali
berkaca-kaca. Aku sungguh nyaris tak mengenalnya, namun bagaimanapu juga, tidak
menget ahui kapan aku bisa bertemu lagi dengannya setelah ini. “Hyun oppa...
bagaimana bisa kau berkata seperti itu?”
Ia mengernyit.
“Oh?”
190
191
191
192
bulir air membasahi pipiku, Kyuhyun tak akan pernah luluh. Tapi..., aku juga tidak
bisa jika harus menyalahkan Kyuhyun.
“Jangan menangis dihadapanku, Eunso!”
“Kyuh—”
“Jangan juga memanggil namaku” potong Kyuhyun gamblang.
Ia tak pernah memberiku kesempatan. Aku menatapnya jauh ke dalam
matanya, mencoba mencari-cari keberadaan namaku di sana. Kyuhyun menghela
napas kasar, lebih panjang. Kepalanya menoleh ke arah lain, tapi sedetik kemudian
kembali menatapku, matanya terpaku padaku, ekspresinya masih hampa, marah.
Aku merasakan kebimbangan hebat di dalam dirinya.
Aku mengesampingkan ketakutanku sebisa mungkin.
“Ini keputusanku. Segera angkat kaki dari rumah ini”
Saraf-sarafku menegang hebat, darahku mengalir deras menuju otakku
hingga membuatku pusing. Sendi-sendiku kaku karena keputusannya yang amat
sulit kuterima. Aku tak dapat meregangkan jemariku yang saling menyatu. Aku tahu
aku harus berpikir, tapi kepalaku dipenuhi suara-suara penyerahan. Detik demi detik
berlalu saat aku berjuang mengendalikan diri. perlahan, amat perlahan, pikiranku
mulai menembus dinding sakit. Serangan panik menyergapku lebih dari yang ku kira.
Aku tidak akan pergi.
Tidak.
Aku tidak akan pergi dari rumah ini, bahkan jika pria itu mengusirku, aku
tetap tidak akan pergi. Bukan tentang ketiadaan harga diriku untuk meminta tinggal,
tetapi aku sedang berbicara tentang janji yang lama dan harus kutepati.
“Tidak. Jangan lakukan itu oppa. Eunso bisa jelaskan”
“Kenapa? Tidak cukup dengan apa yang kau terima?”
“Bukan itu..., demi apapun tidak ada satupun pemikiranmu yang melekat
padaku. Aku tidak pernah meminta apapun, aku tidak menginginkan apapun. Aku
192
193
193
194
biasa ia berikan padaku, ini bukan ciuman selamat pagi yang hangat, ini bukan
ciuman dimana kami bertengkar, melainkan ciuman yang nyaris terasa menyakitkan,
seperti ciuman perpisahan, meski aku juga tidak yakin. Dalam ciumannya aku
merasa emosi yang meluap-luap dalam diri Kyuhyun, dan aku harap melalui ciuman
ini aku bisa sedikit menenangkan kondisinya. Meski itu terkesan mustahil.
Rasa anyir mulai kurasai melalui gerakan bibirnya yang keras. Dan aku benar-
benar mual.
Dalam sekejap ia melepas tautan bibir kami. Entakkan keras menghantam
dadaku— mataku menutup secara cepat saat kurasa kepalan tangannya bergerak
menghantamku. Aku bisa mendengar suara dua benda yang beradu, tapi aku tidak
bisa untuk merasakan sakit. Aku buru-buru membuka mata dan mendapati lengan
Kyuhyun terulur di belakangku. Kepalaku menoleh dan langsung dilanda panik akan
jemari-jemarinya yang berdarah. Aku tak bisa bernapas tenang, aku tak ingin jika ia
harus melukai dirinya sendiri.
“Itu efek yang sangat menyenangkan” katanya mengamati tangannya yang
terluka.
Aku mengabaikannya. Bukan saatnya peduli dengan omongannya sekarang.
“Aku bertanya sekali lagi, apa yang kau inginkan dariku?” suaranya kembali
ramah.
“Tidak ada satupun yang kuinginkan”
PLAK
“Kau... dari awal kaulah yang memilih ini, Eunso. Aku sudah menahan untuk
tidak menamparmu sejak tadi. Tapi sifat keras kepalamu benar-benar membuatku
muak”
Awalnya aku merasa sakit, tapi itu tidak lebih parah dari ucapannya yang
mengerikan. Pipiku mati rasa, seiring hilangnya sengatan terbakar yang sempat
kurasakan.
194
195
“Tidakkah kau mengerti? Itu yang membuktikan bahwa aku masih punya
nurani untukmu. Akulah yang paling peduli, karena seandainya aku bisa
melakukannya—” Kyuhyun menggeleng, mencoba melawan pendapat itu—
“seandainya membunuhmu adalah sesuatu yang harus kulakukan, akan kusakiti
diriku sendiri demi menjagamu agar tidak terluka, supaya kau tetap aman. Tapi...,
inikah balasan yang kau berikan padaku Eunso?”
“Maafkan Eunso, oppa” gumamku marah. “Sungguh maaafkan aku”
“Kau tidak mengerti,” Kyuhyun mengerang frustrasi. Aku belum pernah
mendengar suaranya selantang ini, begitu memekakkan di dalam ruang kamar yang
sempit.
“Apa yang tidak kumengerti? Aku memintamu waktu, aku ingin
menjelaskannya padamu oppa... Kau tidak harus kalah dengan emosimu, kau tak
perlu merasa marah untuk mendengar penjelasanku”
“Baiklah... apa yang ingin kau jelaskan padaku?”
“Aku tidak akan pergi. Janjiku..., aku tak akan pernah lari darimu barang satu
jengkalpun, bahkan saat kau mengusirku. Aku tahu perbuatanku tidak bisa
dibenarkan, tapi kau juga harus paham tentang alasanku. Dengan janjiku..., aku
sebisa mungkin ingin meninggalkan kesan yang baik”
Kyuhyun tertawa keras, lebih terdengar seperti penghinaan untukku.
Menurut kepercayaan, kau tak bisa melangkah ke dalam sungai yang sama
dua kali. Mungkin itu masalahnya, atau mungkin arusnya begitu kencang sehingga
mampu menghanyutkan tumpukan batu yang ditinggalkan sebagai suatu penanda.
Dan apabila itu bisa dianalogikan, mungkin saja, seseorang tidak melulu harus
bertahan dalam lingkar dusta yang menyesakkan. Itu jika harus dianalogikan.
Bagiku, pengharapan adalah bagian patologis pubertas, seperti halnya
jerawat dan luapan hormon. Mungkin dunia menganggapku sinis, tapi itu hanyalah
mekanisme pertahanan, lapisan untuk menutupi jerawat. Karena akan sangat
195
196
196
197
tangguhkan hak dan statusnya dibawah saksi Tuhan, karena jika tidak, dirinya akan
terpaksa memutuskan. Bisakah kau mencintai orang yang mampu membuatmu
jatuh bahkan untuk hal yang tidak bisa kau renungkan?
Tapi, dalam hubungannya dengan Eunso, pernah ada suatu masa ketika
dirinya tak terselamatkan dan Eunso yakin Kyuhyun mampu berubah. Jika itu bisa
menjadi sebuah alasan untuknya tetap tenang, jika ia membiarkan kemarahan dan
rasa malu menguasai dirinya dan mengusir Eunso dari rumah, tidakkah ia bertindak
berdasarkan adrenalin, seperti yang dulu biasa ia lakukan ketika hilang kendali?
Hanya sesederhana itu, jika ia tak mampu memaafkan Eunso— jika saja ia
membiarkan dirinya dikuasai kemarahaan— ia bersikap seperti jenis manusia yang
adalah dirinya di masa lalu. Eunso memejamkan mata rapat-rapat ketika tangan
Kyuhyun meraih rahangnya, mencengkeramnya dengan kuat.
"Tidak masalah jika ini yang sebenarnya kau inginkan”
“Oppa sadarlah! Kumohon” sergah Eunso terbata-bata.
Eunso menggeliat dalam cengkereman rasa sakit yang kuat akan genggaman
tangan Kyuhyun. Matanya menyalang saat dengan kebas Kyuhyun menarik keras
piyama yang ia kenakan tanpa sisa. Eunso memandang ngeri Kyuhyun, ragu-ragu
dengan apa yang akan ia lakukan.
“Aku menguasaimu, meneriakkan namamu”
Kyuhyun diam.
“Bukankah itu yang kau inginkan dariku?”
“Tidak!” teriak Eunso.
Eunso side’s
Aku mendorong sekuat mungkin supaya Kyuhyun bisa berhenti
mengintimidasiku. Kepanikan menguasaiku dan aku melesat turun saat doronganku
berhasil membuat jarak yang cukup untukku bisa kabur. Mataku tertuju pada satu
197
198
pintu yang terbuka lebar dan benar-benar berharap aku bisa mencapainya dan
menutup daun itu dari luar.
Aku mati.
Dalam hitungan detik Kyuhyun sudah berdiri di hadapanku. Aku tidak bisa
melihat apakah ia menggunakan tangan kanan avau kakinya, terlalu cepat. Entakkan
keras menghantam tubuhku sebelum aku benar-benar sampai— tubuhku melayang
ke belakang, dan aku mendengar suara pecahan saat kepalaku menghantam dinding
cermin di bagian kiri. Kacanya hancur berantakan, serpihan-serpihannya berserakan
dan bertebaran di lantai, di sampingku.
Aku kelewat terkejut untuk bisa merasakan sakit.
Aku tidak bisa bernapas.
“Aku tidak memintamu untuk pergi,” katanya, mengamati kaca-kaca yang
berserakan, suaranya kembali terdengar mengerikan. “Kupikir, dinding-dinding kaca
itu hanya sebagai kesenanganku belaka, aku tidak tahu jika itu cukup dramatis untuk
sekarang. Sempurna, ya kan?”
Aku mengabaikannya, dengan tangan dan lutut aku tetap merangkak ke arah
pintu. “Kau akan menyesal oppa”
Kyuhyun menghadangku, kakinya menginjak kakiku kuat. Aku mendengar
suara keretak itu sebelum merasakannya. Tapi kemudian aku merasakan itu, dan
aku tak dapat menahan jeritanku. Aku berbalik untuk meraih kakiku, dan kudapati ia
berdiri menjulang di atasku, tersenyum.
“Aku akan memaafkanku, aku akan memaafkanmu. Berhentilah kumohon”
rengekku parau.
Selain sakit di kakiku, aku merasakan robekan tajam di kulit kepalaku, di
tempat pecahan kaca itu menusukku. Cairan hangat mengalir deras di antara helai
rambutku. Aku bisa merasakannya membasahi bagian bahu piyamaku,
198
199
199
200
BAGIAN SEMBILAN
Author side’s
Henry dan Eunbi mencoba tenang perihal hasil yang sebentar lagi akan
keduanya terima. Dua manusia itu menunjukkan ekspresi yang cukup seragam.
Khawatir, cemas, dan perasaan semacamnya menyerbu mimik keduanya bak buku
yang terbuka.
“Dokter, sepertinya apa yang akan kau sampaikan sangatlah penting” ujar
Henry mencoba berbasa-basi, meskipun itu tak bisa membuatnya menjadi lebih
rileks.
“Begitulah!” sahut dokter Kim seraya menyunggingkan senyumnya.
“Begitu bagaimana?” sarkas Henry tidak sabar.
“Apakah terjadi sesuatu yang buruk dengan Eunso? Ah, maksudnya adikku
itu baik-baik saja bukan?”
Ia menunduk sebentar, mengaitkan kedua tangannya gugup, matanya
menerawang jauh menembus lantai lebar dengan nuasa putih. Tak ada yang bisa
menebak bagaimana perasaannya sekarang, yang jelas untuk apa yang baru saja
menimpa Eunso, dirinya belum siap. Perasaan bersalah yang menggelayutinya sejak
awal menjadi semakin terpampang melihat bagaimana keterlambatan yang ia
lakukan. Seandainya..., jika saja ia bisa lebih cepat. Seandainya saja pergulatan
hatinya tidak menunda keputusan yang dibuat, semuanya tentu tidak akan separah
ini. Semuanya mungkin bisa lebih dikontradisikan dengan rencana yang telah ia
siapkan matang.
Eunbi menggeleng keras dalam lamunannya. Bukan salahnya ia terlambat,
pun apabila ia menyesal, semuanya akan percuma, karena kesalahan justru hadir
jauh sebelum ini. Jika saja ia bisa lebih sabar, seandainya ego tidak pernah
menguasai hatinya..., Eunso mungkin tidak akan berkorban hingga sejauh ini. Well...,
200
201
201
202
sekedar firasatnya belaka, atau hanya tebakkannya semata, ada hal lain yang masih
harus ia dengar. Sesuatu yang mungkin akan menjembatani setiap hal yang telah
menjadi boomerang saat ini.
“Jika memang seperti itu, kenapa dirinya belum juga sadar dok?”
“Aa soal itu. Aku sengaja memberikannya obat supaya nona Eunso bisa
istirahat”
Henry mengernyit tajam, alisnya menyatu. Pikirannya jauh berkelana
mengenai alasan apa yang bisa mendasari ucapan yang baru saja ia dengar.
Untuknya, dengan Eunso yang didiagnosa hanya sebagai luka ringan, rasanya tidak
ahsan untuk memberinya dosis tambahan penenang. Atau mungkin ada hal lain
yang bisa menjawabnya atau memang keterbatasan ilmu yang ia miliki tidak cukup
sampai untuk memahami itu semua.
“Tuan dan nona. Begini..., menilik dari hasil lab yang keluar, tentang masalah
jenis apa yang tengah terjadi, kurasa nona Eunso tetap tidak baik jika harus dipukuli
seperti ini. Sebagai dokter, aku memang tidak berhak untuk mengorek lebih jauh
apa dan siapa yang melakukan ini semua” ucapnya.
Henry dan Eunbi mengangguk kikuk tapi tetap menyetujui apa yang
dikatakan dokter Kim.
“Tapi sebagai sesama manusia aku juga sangat geram. Aku sudah sering kali
mendapat korban kekerasan seperti nona Eunso, tapi wanita ini benar-benar
membuat hatiku tersentuh. Jadi tolong sampaikan pesanku pada suami nona Eunso.
Sebagaimanapula kalian dipersatukan Tuhan dalam ikatan cinta yang nyata, tidak
seharusnya kau mengikuti emosi sesaatmu saat kau berhasil mendapatkannya. Itu
sungguh tidak dibenarkan, terlepas dari akar permasalahannya”
Eunbi hanya mengangguk pelan, seebisa mungkin untuk tidak
memperpanjang atau berniat untuk menjelaskan kejadian yang sebenarnya.
Baginya, itu bukan sesuatu hal yang perlu dibahas lebih lanjut.
202
203
203
204
Daehyun berdiri cepat saat menyadari kehadiran sosok lain selain dirinya. ia
memberanikan diri, bagaimanapun juga ia butuh Daehyun, ia butuh kekuatan.
“Apakah Eunso baik-baik saja?”
Henry diam, tapi bibirnya membentuk gerakan yang mengisyaratkan kata
maaf tanpa suara.
“Apa yang terjadi pada saudari kembarmu Eunbi-ya!”
Daehyun menjadi tidak sabar. Tangannya menarik keras bahu Eunbi hingga
membuat gadis itu terguncang. Mencengkeramnya sampai buku-buku jarinya
memutih. Persetan dengan rasa sakit yang ia timbulkan, sesuatu harus menjadi
pelampiasannya.
“Eunso. Eunso baik-baik saja oppa. Hanya sajaa...”
“Hanya apa? Jangan membuatku khawatir seperti ini”
“Dia hamil” jawab Henry.
"H... hamil kau bilang?” timpal Daehyun lirih. Tangannya terkulai jatuh,
kedua kakinya terasa meleleh bagai lilin. Petir seakan menyambarnya dengan kilatan
yang menggelegar. Dunianya hancur, janjinya untuk menjaga apa yang pantas ia jaga
hanya berbuah omong kosong belaka. Ia tak pernah benar-benar bisa menjaga, janji
tinggalah janji. Dan..., untuk keadaan semacam ini, perasaan gagal menyelimuti
hatinya.
“Bagaimana bisa dia hamil?” tanya Daehyun lirih.
Ia bingung hendak senang atau sedih. Calon keponakannya akan segera lahir,
tapi nasib ibunya baru saja dimulai. Bayangan perkelahiannya dengan Kyuhyun tiba-
tiba masuk kedalam pikirannya. Perasaan menyesal, marah, bercampur jadi satu.
Terlebih dengan keadaan Eunso sekarang, haruskah ia benar-benar meminta
Kyuhyun untuk bertanggung jawab? Apakah pria itu benar-benar mau bertanggung
jawab? Daehyun menggeleng keras, kepalan tangannya meninju tepat tembok
dimana ia bisa menghantamnya.
204
205
Jika saja. Ya Tuhan jika saja Kyuhyun tahu lebih lambat. Semuanya tidak akan
seperti ini, batinnya berkelakar.
“Maafkan aku hyung. Aku benar—”
“Tidak apa-apa. Ini bukan salahmu” potong Daehyun.
Ya. Daehyun tidak ingin menyalahkan siapapun, semua kesalahan pada
dasarnya berasal dari dirinya sendiri. Jika saja dirinya lebih peka, jika saja dirinya
tidak menyetujui pernikahan Eunbi dan Kyuhyun. Jika saja dirinya tidak egois untuk
hal-hal yang hanya membuatnya puas. Semuanya tidak akan pernah terjadi. Lalu jika
sudah seperti ini, tegakah ia untuk memisahkan Eunso dengan Kyuhyun? Tegakah ia
memisahkan anak yang tengah dikandung Eunso dengan ayahnya?
®®®
Eunso side’s
Aku mengerjap pelan, perasaan pusing menyergapku saat mataku mulai
menyesuaikan diri dengan cahaya terang. Mataku menyusuri tiap sudut ruangan
dengan seksama, mencoba mengenali dimana aku berada, tapi seringkali aku gagal
memahami. Ini bukan rumahku, bukan juga rumah Kyuhyun. Cat-cat putih
mendominasi seluruh ruangan, dan aku mulai menyadari bahwa keberadaanku
adalah tempat dimana aku bisa mencium bau-bau obat yang menyengat indera
penciumanku. Simpulanku diperkuat saat kulihat jarum-jarum infuse menancap
sempurna di pergelangan tangan kiriku.
“Eunso..., kau sudah sadar sayang?”
Aku menyambar sumber suara dengan cepat lalu tersenyum saat mendapati
Daehyun duduk manis di sampingku. Kehadirannya bagai oase baru untukku, seperti
tameng penyelamatku. Aku mengangguk pelan, menunjukkan bahwa aku memang
baik-baik saja. Senyumku semakin melebar saat dirasa hangatnya tangan Daehyun
menggenggam tanganku. Aku tak ingin berpikir lebih jauh ataupun menghayalkan
205
206
yang lain, meski dalam genggamnya aku bisa merasakan emosi yang coba
disampaikan olehnya.
“Eunso baik-baik saja”
“Ada yang ingin oppa bicarakan padamu”
Aku mengangguk, memainkan jemarinya yang panjang. Ruas-ruasnya lebar,
persis seperti apa yang Kyuhyun punya. Aku berjingkat ngeri, sesuatu yang
mengerikan kembali merasuki pikiranku.
“Apapun yang terjadi, kau masih ada oppa. Masih banyak orang yang
menyanyangimu”
“Eunso percaya...”
Daehyun diam untuk beberapa waktu yang lama selagi aku menunggu.
Matanya melirik Henry dan Eunbi bergantian lalu kembali menatapku. “Apa yang
ingin oppa katakana padaku?”
“Sayang, kau hamil. Anak Kyuhyun”
Aku tersenyum, “Jangan bercanda oppa, itu tidak lucu”
“Bayi dalam kandunganmu sudah masuk usia 2 minggu” jawab Daehyun.
Aku membeku, mataku menatap jauh kedalam matanya, berusaha mencari
kebohongan yang menguntungkanku. Tapi..., tak ada sesuatupun yang kudapat
selain kejujuran. Pun ketika aku menatap Henry, tak ada reaksi yang bisa ia berikan
selain anggukan yang memperkuat kehancuranku.
“Aku hamil?”
“Tidak apa-apa. Tidak apa-apa sayang” ucap Daehyun menangkap kengerian
yang aku rasakan.
Satu kata itu benar menggangguku. Semuanya menjadi berputar memenuhi
pikiranku yang kalut. Mataku memanas, air mukaku meninggi, bukan karena
kehailanku, tetapi lebih kepada kebodohanku yang tak pernah sempat
memikirkannya. Aku menangis, untuk sesuatu yang tak pantas kutangisi. Harusnya
206
207
aku bisa bahagia, banyak orang tak pernah diberi kesempatan untuk merasakan apa
yang tengah kurasakan. Tapi aku juga tidak bisa memungkiri, aku tidak siap untuk
mengandung terlebih dalam kondisi seperti ini. Tanpa status pernikahan, dan yang
lebih parah aku hamil anak dari iparku.
Dengan keadaanku yang tak memiliki apapun sebagai pegangan,
kemungkinan-kemungkinan buruk seakan siap menerjangku. Aku takut, rasanya
hampir mati. Aku gelisah tentang apa yang bisa kulakukan kedepannya. Tentang
masa depan, aku tak berani menebak. Yang jelas, aku tidak siap untuk melihat
bagaimana dunia memandangku.
Aku memejamkan mata kuat-kuat, membuat lelehan air mata semakin deras
membasahi pipiku. Kyuhyun..., pria itu bahkan tak akan pernah peduli. Sosok yang
seharusnya mendampingiku dan bertanggung jawab atas apa yang telah
menimpaku. Aku mengerang keras, hebat. Aku tidak bisa untuk diam, perasaanku
kalut. Aku lelah, bahkan sebelum kehancuran paling fatal benar-benar
menghampiriku. Biasanya dalam keadaan mencekik seperti ini, seseorang akan
memilih untuk mengakhiri hidup, dengan gantung diri, menyayat nadi atau
menjatuhkan diri ke sungai, jurang dan semacamnya. Hanya saja, bagiku itu konyol.
Itu sangat tidak elegan.
Mataku menatap satu per satu wajah yang kusayangi. Bukan hal yang mudah
untukku berucap. Ribuan maafpun rasanya tidak cukup untuk menutup rasa kecewa
yang mereka rasakan. “Tidak apa-apa, oppa ada disini, kau kuat”
Aku kuat, selamanya akan kuat.
®®®
23 Agustus 2018
Aku menatap lurus ke depan, namun hanya kekosongan yang berhasil
kudapat. Tak ada hal berarti yang benar-benar ku perhatikan. Aku hampa, sekaligus
merasa kekacauan berlebih dalam hatiku. Aku tak bisa berhenti untuk mengerang.
207
208
Aku tak bisa berhenti menangis, dan ini membuatku benar-benar merasa frustrasi.
Semenjak kepergian Daehyun, aku benar-benar merasa tak ada lagi yang bisa
menopangku. Pun kalau aku menyadari, sebenarnya aku memang benar-benar
sendiri.
Aku mengusap carian bening yang terus menetes dari pelupuk mataku.
Bukan, bukan karena aku tidak bahagia atas kenyataan ini, bukan. Memang wanita
mana yang tidak bahagia jika sebentar lagi ia akan menjadi seorang ibu? Aku senang.
Tapi percayalah, bukan itu yang menjadi pokok permasalahannya. Aku bagaimana
bisa bertahan, calon bayiku bagaimana bisa tegar tanpa kehadiran Kyuhyun?
Bagaimana aku bisa kuat hidup tanpanya jika hatiku saja sudah sangat bergantung
pada kehadiran pria itu? Well..., aku paham. Dengan pengharapanku yang semacam
ini, aku tetap tidak bisa kembali.
“Sayang. Tidak apa-apa yaa? Walaupun tanpa appa, eomma akan berusaha
memberikan semuanya untukmu”
Pertanyaan bernada lirih itu terdengar menyedihkan.
Aku bahkan sudah mengorbankan segalanya, mahkotanya, hatinya.
Semuanya kuserahkan tanpa tersisa, dan dengan secercah janji yang kita sematkan,
pantaskah ia melakukan ini padaku? Ia sudah berjanji untuk memperlakukanku
seperti ini. Ia bilang mencintaiku. Tapi kenapa? Kenapa? Hanya untuk sekedar
memberiku kesempatan untuk menjelaskan kenapa pria itu begitu enggan?
Aku menoleh pelan, dan segera mengusap sisa-sisa air mataku yang masih
membekas saat seseorang masuk. Aku mencoba tersenyum saat melihat siapa
gerangan yang datang, dan langsung dibalas senyuman yang tak kalah lebar.
Tangannya membawa satu buket besar bunga tulip putih. “Aku membawa sesuatu
yang kau suka” ucap Eunbi telaten memasukkan satu-satu kedalam vas yang sudah
ia sediakan.
“Terimakasih eonni”
208
209
209
210
210
211
Aku tersenyum getir menyadari bahwa aku tak pernah bisa lepas darinya.
Nama itu membuatku menyadari sesuatu, sesuatu yang membuatku merasa seperti
orang yang tak punya pemikiran. Aku mencintainya..., mencintai pria yang
seharusnya kuhormati sebagai kakak iparku. Aku tidak seharusnya berbuat
menyimpang dengan merasa bahwa ia adalah satu-satunya milikku tanpa sadar
dengan kepemilikan yang sebenarnya. Well..., ini mungkin konsekuensinya. Aku tak
seharusnya hanyut dalam pernyataannya cintanya yang semu. Pun..., jika aku harus
mengakui kekalahanku. Kyuhyun tidak benar-benar menginginkanku, yang ia cintai
bukanlah diriku, melainkan Song Eunbi. Karena dalam sudut pandangku, Kyuhyun
hanya sedang terjebak. Pria itu hanya kurang sabar menunggu.
Sejak awal, aku hanyalah wanita yang terikat janji.
Well..., aku mungkin tidak akan pernah bisa bersamamu, tapi aku akan selalu
mencintaimu sampai akhir hayatku. Aku tidak akan lagi mendengar suaramu, tapi
aku akan selalu mengenang suara beratmu.
Kyuhyun side’s
Aku meringkuk dalam diam, pikiranku jauh berkelana tentang keputusan
yang akan kuambil. Kemarahan mempengaruhiku kuat, semuanya bisa saja kuhabisi
dan itu akan terjadi sesaat lagi. Aku menyusun banyak cara supaya dendamku tidak
akan sia-sia. Aku ingin membuktikan bahwa..., Cho Kyuhyun bukanlah ajang untuk
main-main. Seseorang harus disadarkan akan konsekuensi yang harus diterima
karena telah berani bermain api denganku. Tidak. Aku tidak akan pernah bisa marah
pada Eunso, bukan wanita itu yang mampu membuat emosiku semeledak ini. Meski
di awal aku terkesan biadab, aku tak pernah berniat untuk menyalahkan Eunso.
Sama sekali tidak. Aku mencintai wanita itu.
Aku tidak seharusnya membuat Eunso merasa ketakutan dalam ancamanku.
Aku seharusnya bisa lebih bijak untuk mengatasi problema ini, atau setidaknya aku
membiarkannya menjelaskan padaku. Dan seharusnya... seharusnya...
211
212
212
213
penampilanku, maka itu aku membawa sebuket bunga yang paling Eunso senangi.
Aku harap..., dan aku benar-benar berharap bahwa aku bisa memperbaiki
semuanya.
Rumah sakit masih terlihat ramai meskipun langit dipenuhi oleh awan
bersalju. Aku segera keluar dari mobil sesampainya. Dari telingaku, aku bisa mencuri
dengar suara langkah kakiku yang mengetuk-ngetuk lantai. Aku menjadi penuh
dengan ketidaksabaran, langkahku panjang-pangjang sesekali berlari.
203.
203.
Got it.
Kyuhyun menghembuskan nafas sebelum benar-benar membuka pintu
kamar. Mataku semu, kelu, dan aku mungkin salah kamar, tapi nyatanya tidak sepeti
itu. Well..., “Eunso...” panggilku.
Aku mencoba untuk tidak percaya akan hal yang bisa membuatku
mengernyit ngeri. Aku tidak ingin meski aku mulai bisa membaca situasi apa yang
sedang terjadi. Darahku berdesir karena serangan panik yang mendadak. Kamar itu
kosong, tak ada apapun yang mampu membuatku lega, tak ada Eunsoku.
“Eunso,” panggil Kyuhyun panik.
Ini tidak benar, dan memang tidak bisa dibenarkan. Aku mencoba sebisa
mungkin untuk tenang, tapi aku juga selalu gagal. Aku tak bisa terima untuk hal yang
melewatiku begitu saja...
“Sayang... ini aku” teriakku sekian kali. Kakiku sudah seperti lelehan lilin yang
tak berbentuk. Aku tidak ingin mengakui keterlambatanku ini sebagai awal dari
nerakaku. Aku bisa saja kalah, tapi aku tidak siap. Aku tidak sanggup untuk apa-apa
yang seharusnya tidak menyerangku secepat ini. Selagi aku kalut, aku tidak bisa
berpikir jernih, dan disaat itulah aku menemukan sesuatu yang membuatku
mengerang ngeri. Aku yakin..., itu sebuah petunjuk bagiku. Tapi..., itu juga bisa
213
214
214
215
Seandainya aku di sana, aku pasti ingin segera menghapus agar tak ada lagi saksi
bagaimana ia bisa merasa seterluka ini.
Jantungku bergetar hebat, saat kembali membaca kata-kata yang sudah
kuhafal di luar kepala itu. Aku sudah tahu inti surat ini sebelum membukanya, tetapi
tetap tidak bisa tidak mengejutkanku. Yang mengejutkan adalah betapa besarnya
setiap kata-kata itu melukai hatiku, sekan-akan setiap hurufnya tajam-tajam. Lebih
lagi, di setiap permulaan katanya, tersimpan perasaan sakit hati, kepedihan Eunso
mengoyak-ngoyak hatiku lebih dalam daripada kepedihanku sendiri. Tenggorokanku
tercekat saat aku mencengkeram kertas itu menjadi serpihan-serpihan kecil. Aku
menggeleng-geleng seraya mundur.
“Kyuhyun?”
Seseorang menginterupsiku, tapi aku lebih memilih untuk berkutat pada
duniaku. Dan kupikir..., kalau aku seharunya lebih cepat merasa yakin akan masa
depan yang kuinginkan bersama Eunso, yakin aku bisa bersamanya selamanya, maka
aku tidak akan merasa seterlambat ini. Dan apabila ini adalah awal dari
kebodohanku, aku tidak akan pernah lupa bahwa aku pantas mati untuk ini. Aku
sungguh merasa bersalah memikirkan situasi saat ini, karena dugaanku, kepergian
Eunso jelas adalah salahku. Dan dalam banyak hal, aku tidak berani membayangkan
dimana wanita kecil itu akan bertahan hidup diluaran sana.
“Kyuhyu—”
“Cari Eunso!” potongku panik. Aku tidak ingin percaya bahwa Eunso sudah
berada jauh dari sini, tapi sisi jiwaku yang lain juga terlihat muram.
“Apa maksudmu Kyuhyun?”
“Dia pergi”
Sedetik, kenangan terakhirku bersama Eunso membanjiri otakku dan
membuatku seketika merasa marah. Kemarahanku berubah menjadi kengerian. Aku
bisa melihatnya dengan jelas, ucapanku yang kasar, tanganku yang menganiaya, aku
215
216
menggeleng keras. Seolah ingin menepis kenangan buruk itu jauh-jauh dan berusaha
mencerna apa yang harus kulakukan sekarang. Ekor mataku melirik pergerakan
Daehyun, ekspresinya sama ngerinya dengan apa yang kurasakan, bagaimanapun
pria itu juga merasa gelombang panik yang mengerikan saat menyadari tidak adanya
wanita yang ia cintai ini.
“Eunso, ini oppa sayang” panggil Daehyun.
“Cari dimanapun, kumohon cari Eunso... aku,” perintahku memohon. Aku tidak
mencoba meneruskan, aku kalut meninggalkan Daehyun. Aku berlari sebisaku, tidak
memerhatikan kemana aku bisa mencari Eunso di tempat sebesar ini. Aku hanya
berlari tak tentu arah, menyusuri setiap lorong rumah sakit yang bisa kujangkau.
Kalau saja aku bisa merasa kebas lagi, tapi aku ingat betul bagaimana aku dulu bisa
membuat diriku merasa semengerikan itu. kejadian itu menggayuti pikiranku dan
membuatku semakin merasa sedih disela-sela pencarianku.
Waktu aku sadar, aku sudah memutari lorong-lorong ini dua kali. Aku menatap
Daehyun dan mencoba berharap disisa-sisa harapanku. Tapi ekspresinya tak bisa
membohongiku bahwa ia juga tak menemukan apapun. Tak ada Eunso, dan saat
itulah teriakanku dimulai. Aku sadar tidak ada apa-apa, tidak ada Eunso yang kucari,
tidak ada apa-apa kecuali kehampaan.
Aku membentur-benturkan kepalaku ke tembok terdekat berusaha
mengalihkan diriku dari kepedihan yang teramat sangat. “KYUHYUN!” teriak
Daehyun. Ia mendekapku erat, mencoba menahan hal-hal buruk kembali kulakukan.
Dan jika kepedihan ini bisa cukup mereda hingga membuatku bisa berpikir, aku
yakin akan merasa bersyukur atas waktu yang pernah ia berikan padaku. Lebih dari
yang kuminta, lebih dari yang pantas kuterima, mungkin suatu saat nanti aku bisa
melihatnya seperti itu.
Aku mengerang hebat, air mata merebak melewati sudut-sudut mataku dan
hal ini mampu membuktikan bahwa kepergian Eunso menjadi racun yang
216
217
217
218
perubahan besar— yang tetap, walau bagaimanapun, bergerak dalam orbitnya yang
kecil dan sempit mengitari ruang angkasa yang kini kosong. Setiap kali aku membuka
mata dan melihat cahaya matahari, aku menyadari bahwa aku telah selamat
melewati satu malam tanpa dirinya. Dan itu cukup membuatku terkejut,
bagaimanapun juga aku masih bisa bertahan hidup meski tidak lama lagi.
Kyuhyun menatap kosong beberapa berkas dihadapanku. Meski begitu,
bukan berarti aku fokus dan tidak memikirkan hal lain diluar ruangan ini. Aku sadar,
aku seperti idiot dalam menghadapi fakta-fakta mengerikan. Eunso... masih saja
tidak bisa kutemukan. Tidak ada satu orangpun mampu memberitahu dimana
keberadaannya padaku, dan aku tidak mengerti sama sekali. Bagaimana wanita itu
benar-benar menghilang tanpa jejak, tanpa tanda sedikitpun. Aku tahu ini konyol,
dan takdir juga tidak akan membiarkanku menemukannya dengan mudah.
Kenyataan yang mampu membuatku marah. Aku benar-benar dibuat tak berdaya
sama sekali.
Aku benar tidak bisa menemukan Eunso. Dan di dunia seluas ini, dengan
dirinya yang begitu kecil, hal itu membuatku tertohok akan kesempatan yang
semakin menyempit. Eunso menghilang tanpa jejak, mendorongku jauh ke dalam
lubang penyesalanku. Bahkan, hal ini membuatku ragu mengenai keberadaannya
Eunso, apakah dirinya benar-benar nyata atau hanya sebatas khayalannyaku saja.
Tetapi setelahnya aku menyadari, dengan cintaku yang melebar, Eunso bukanlah
sekedar halusinasiku belaka, wanita itu nyata dan memang ada untukku.
“Song Eunso” bisikku lirih.
Well..., tidak ada yang bisa menggambarkan tentang bagaimana aku
merindukan Eunso selain diriku sendiri. Aku tidak menuntut orang lain untuk
bertanggung jawab atas diriku, karena... bagaimanapun ini terjadi karena
kesalahanku sendiri. Berpuluh-puluh tahun lamanya aku mempertimbangkan untuk
menciptakan pendamping untuk hidupku. Dan..., ketika aku berhasil
218
219
menemukannya, aku justru melakukan hal yang mampu membuatku sekarat. Setiap
malam, aku selalu terbangun bukan karena lapar ataupun haus seperti
kebiasaannya, tapi lebih karena tubuh melalui alam bawah sadarku begitu
merindukan Eunso. Aku ingin terbangun dengan Eunso berada disebalahku. Aku
ingin memeluk Eunso sepuas aku mau.
Dan..., ilusi hanya sekedar ilusi. Seberapa aku menderita, ia tak akan pernah
datang padaku. Lubang di dadaku kini semakin parah. Kusangka aku bisa
mengendalikannya, tapi aku mendapati dirku meringkuk setiap hari, seraya
menecengekeram pinggang dan megap-megap kehabisan udara.
Aku tak mampu menghadapi kesendirian dengan baik.
Ini ironis.
Kepalan Henry meninju meja. “Baiklah, hyung! Aku sudah muak denganmu!”
Aku mendongak dari tumpukan berkas, yang sejak tadi hanya kupandangi
tanpa pernah kubuka, dan menatapnya dengan penuh tanda tanya. Biasanya aku
akan marah saat seseorang mengangguku, tapi sekarang aku lebih memilih diam,
semua ekspresiku mendadak hilang bersamaan dengan hilangnya Eunso dari jarak
pandangku.
“Ada apa?” gumamku bingung.
“Benar bukan, bersikaplah seperti orang normal. Marah, senyum, tertawa,
apapun itu, please... lakukan!”
Henry memandang putus asa saat aku lambat laun mencerna maksudnya.
“Tidak ada gunanya”
Kurasakan wajahku mengernyit. Benar-benar tidak adil jika ini harus
dipermasalahkan. Kelakuanku selama dua bulan terakhir juga tanpa cela. Aku tak
pernah minum atau bermain-main dengan hal lainnya. Aku tak pernah melanggar
hal buruk sama sekali.
Henry merengut.
219
220
“Kau tidak melakukan apa-apa. Justru itulah masalahnya. Kau tidak pernah
melakukan apa-apa, kau lebih seperti orang mati daripada presdir segala
perusahaan”
Perkataanya sedikit menyinggung perasaanku. Padahal aku sudah berhati-
hati untuk menghindari segala bentuk kesedihan. Tapi, tuduhan yang Herny buktinya
tepat mengenai sasaran. Aku menghela napas dan berusaha memperdengarkan
nada ceria.
“Maafkan aku, Henry”
Permintaan maafku terdengar datar, bahkan di telingaku sendiri.
“Aku tidak ingin kau meminta maaf”
Aku mendesah. “Kalau begitu, katakana apa yang kau ingin aku lakukan”
“Hyung...”
Henry ragu-ragu, dengan cermat menelaah reaksiku terhadap kata-kata
selanjutnya. “Kau bukan orang pertama yang mengalami hal semacam ini”
“Aku tahu”
“Dengar hyung..., menurutku—mungkin... mugnkin kau butuh bantuan”
“Bantuan?”
Henry diam sejenak, kembali mencari kata-kata yang tepat. “Mungkin, well,
mungkin kalau kau bicara dengan orang lain tentang masalah ini. Seorang
professional”
“Kau ingin aku berkonsultasi ke psikiater?” suaraku terdengar tajam saat aku
menyadari maksudnya.
“Mungkin itu bisa membantu”
“Tak ada yang bisa membantuku, kecuali Eunso”
Aku tidak begitu paham soal psikoanalisis, tapi aku sangat yakin itu bakal
efektif kecuali subjektifnya relatif jujur. Tentu, aku bisa mengatakan hal
220
221
sebenarnya— kalau aku ingin menghabiskan sisa hidupku di sel untuk orang gila
yang dindingnya dilapisisi busa pengaman.
“Hyung..., aku ingin kau bahagia— tidak bahkan tidak perlu sedrastis itu. Aku
hanya ingin kau tidak merana lagi”
Aku pura-pura bodoh, dan bangkit meninggalkan Henry. Aku segera keluar,
karena begitu terburu-buru ingin secepatnya menyingkir dari hadapannya.
Keuntungannya aku bisa menghindar dari pertanyaan menyesakkan, tapi sayangnya
aku juga jadi punya banyak waktu untuk hal yang lebih menyesakkan lagi. Well..., ini
menyedihkan menyadari diriku bukan lagi tokoh utama, bahwa kisahku sudah
berakhir.
Aku tidak menggubrisnya, aku melangkah pelan-pelan tanpa pernah
memutuskan secara sadar untuk menggerakkan kakiku ke arah mobil. Aku tidak
mengerti mengapa tetapi aku tetap masuk dan duduk di kursi kemudi. Jam masih
menunjukkan pukul 2.03 KST, waktu yang terlalu pagi untukku pulang dan memang
kepada jiwaku yang tidak ingin pulang ke rumah. Disana..., rasanya lebih mengerikan
daripada yang kubayangkan. Semua bayangan menjadi terlihat begitu jelas dan itu
benar menyakitkanku. Sungguh..., untuk alasan yang lebih rasional aku merasakan
takut yang berlebih dibanding hal-hal yang bisa membuatku mengerang keras.
Aku terdiam cukup lama sebelum akhirnya menyalakan mesin dan mulai
melaju. Sesuatu yang asing berdesir dalam pembuluh darahku selagi menyusuri
jalanan yang kian sepi. Aku mulai menjauh meninggalkan hiruk pikuk kota yang
menyesakkan. Aku tidak memperhatikan kemana aku mengendarai mobilku— hanya
berjalan tak tentu arah, menyusuri jalanan yang mulai kosong dan basah karena aku
sengaja menghindari jalan-jalan menuju rumahku— karena aku memang tak tahu
mau pergi kemana.
Ucapan Henry mengingatkanku pada mimipi buruk yang menggayuti
pikiranku dan membuatku memikirkan hal-hal yang membuatku sedih. Aku tak ingin
221
222
mengingat rumah. Bahkan saat aku bergidik dan menepis bayangan-bayangan itu,
aku merasa air mataku merebak dan kepedihan mulai merayapi tubir lubang
dadaku. Kulepas satu tangan dari kemudi dan memeluk tubuhku agar tetap utuh.
Janjiku, apapun yang terjadi, hadirku selalu ada untukmu.
Kata-kata itu berkelebat di benakku, tak lagi terdengar jelas dan sempurna
seperti halusinasiku sebelum ini. Sekarang itu hanya kata-kata, tanpa suara, seperti
tulisan yang tercetak di buku. Hanya kata-kata, tapi justru begitu mengoyak lubang
dadaku hingga terbuka lebar. Aku menginjak rem keras-keras, tahu konsekuensi
yang kudapat apabila menyetir dengan kondisi seperti ini.
Aku membungkuk, menempelkan wajahku ke kemudi dan mecoba bernapas
lebih leluasa. Aku bertanya-tanya sampai kapan aku bisa mengalami kengerian ini.
Mungkin suatu saat nanti, bertahun-tahun dari sekarang, atau akan berakhir
selamanya, namun bila kepedihan itu mereda hingga ke tahap aku sanggup
menanggungnya— aku akan bisa mengenang kembali beberapa bulan pendek yang
akan selalu menjadi masa-masa terindah dalam hidupku. Dan, jika kepedihan ini bisa
cukup mereda, hingga membuatku mampu lebih baik, aku yakin akan bersyukur atas
waktu yang pernah Euso berikan padaku. Atas kebahagiaan yang ia berikan padaku
dalam jangka waktu yang lama, untuk semua bentuk perhatian yang ia torehkan
padaku tanpa dikekang waktu.
Tapi bagaimana jika lubang itu takkan pernah membaik?
Bagaimana jika lubang itu justru akan semakin menganga?
Bagaimana jika kerusakannya permanen dan tak bisa diperbaiki lagi?
Kudekap diriku lebih erat lagi. Janjiku, apapun yang terjadi, hadirku selalu
ada untukmu, pikirku merana. Janji yang sungguh tolol dan mustahil untuk ditepati.
Janji yang takkan pernah bisa ia tepati, janji yang dilanggar segera setelah ia
membuatnya. Aku membentur-benturkan kepalaku ke kemudi, berusaha
mengalihkan diriku dari keadaan yang menyayatku.
222
223
Itu membuatku merasa tolol, karena berpikir untuk selalu menepati janjiku.
Dimana letak logisnya, menepati kesepakatan yang sudah dilanggar pihak satunya?
Siapa yang akan peduli kalau aku melakukan perbuatan yang tolol dan ceroboh? Tak
ada alasan menghindar dari kecerobohan, tak ada alasan mengapa aku tak boleh
melakukan hal konyol seperti bunuh diri misalnya.
Lama sekali aku memandang ke luar kaca depan, pikiranku bergerak lambat,
sepertinya aku tak bisa membuat pikiranku berkelana ke tempat lain. Kumatikan
mesin lalu turun ke tengah hujan yang mengguyur. Hujan dingin menetes-netes dari
rambutku, kemudian mengalir menuruni pipi bagai air mata. Air hujan membantu
menjernihkan kepalaku, aku mengerjap-ngerjapkan air dari mataku, menatap
kosong ke seberang jalan.
Setelah memandang selama beberapa menit, barulah aku menyadari dimana
diriku berada. Aku berdiri tepat dimana Eunso tersipu malu akan ungkapan cintaku
dulu. Salah besar berkeliaran tanpa tujuan seperti ini, pikiran melantur dan linglung,
ternyata membawaku ke tempat dimana aku tidak ingin datang.
Kebetulan? Atau memang sudah ditakdirkan seperti ini? Karena sejauh aku
berjalan, tak peduli kemana aku melangkah, nyatanya aku akan selalu kembali
dimana kenangan-kenanganku bersama Eunso terbentuk. Entahlah, aku benar-benar
tidak mengerti, ada banyak janji yang belum kutepati, sayangnya... kau sudah
terlanjur pergi.
®®®
Setiap malam aku selalu terbangun, bukan karena aku merindukan Eunso,
tapi karena mimpi buruk itu kembali menderaku. Aku memang selalu bermimpi
buruk, dan mimpiku selalu sama, karena selalu mimpi buruk yang sama. Kau pasti
mengira aku akan bosan setelah sekian bulan berlalu, menjadi imun terhadapnya.
Tapi mimpi itu tak pernah gagal membuatku ngeri, dan baru berakhir saat aku
menjerit terbangun seperti sekarang.
223
224
Mimpi burukku mungkin tidak menakutkan bagi orang lain. Bukan mengenai
sesuatu yang tiba-tiba melompat dan berteriak mengagetkan, bukan mengenai
hantu, ataupun psikopat. Yang ada hanyalah kehampaan. Hanya ada aku dan tanah
lapang sejauh mata memandang. Begitu sunyi hingga kesunyian itu menekan
gendang telingaku. Suasananya gelap, seperti senja di hari berawan, hanya ada
seberkas cahaya tertinggal untuk melihat bahwa tidak ada yang bisa dilihat. Dalam
mimpi aku bergegas menembus keremangan, mencari, mencari, dan semakin panic
saat tak menemukan Eunso didekat cahaya. Kemudian aku sampai dititik dalam
mimpiku, dan aku bisa merasakannya sekarang, tapi rasanya aku tak pernah bisa
mengingat apa yang sebenarnya kucari. Bahwa tak ada apa-apa yang bisa kucari, dan
tidak ada apa-apa yang bisa kutemukan. Bahwa tak pernah ada apa-apa kecuali
tanah yang sepi kosong, dan tidak akan pernah ada apa-apa lagi untukku... tidak ada
apa-apa kecuali kehampaan...
Aku memandangi langit-langit kamar dan menangis diam. Menyedihkan dan
naas adalah dua kata favorit untuk menjulukiku. Aku berusaha mengendalikan diri,
memberi penjelasan yang masuk akan untukku. Hal paling buruk apa yang bisa
terjadi? Aku tersentak. Jelas itu pertanyaan keliru. Sulit rasanya bernapas dengan
benar.
Oke, aku berpikir lagi. Hal buruk apa yang sanggup kuterima? Well..., aku
juga tidak menyukai pertanyaan itu. Tapi aku memikirkan berbagai kemungkinan
yang kupertimbangkan. Ilham menyambarku bagai sambaran petir. Dan saat itulah
sebuah ide muncul di kepalaku. Aku ingin melakukan hal yang tolol dan ceroboh,
dan aku ingin melanggar janji. Jika aku janjiku tetap tidak bisa menghadirkan Eunso,
lalu mengapa aku harus tetap melakukannya? Hanya sampai sejauh itu aku
memikirkannya. Aku mendesah tak sabaran— itu sudah bisa kusimpulkan. Aku
berkonsentrasi pada rencana penuh harapan itu untuk mencegah pikiranku terbawa
224
225
225
226
segala sesuatunya dengan seperti biasa. Tidak ada yang bisa menghalangiku, hingga
saatnya tiba aku harus mencobanya. Sesuatu tidak akan bisa kutahu jika belum
mencobanya bukan?
Waktu rasanya berlangsung sangat lambat, entah karena ketidaksabaranku
menunggu waktu itu tiba atau memang semuanya terasa membosankan. Aku melirik
arloji dan memutuskan untuk menuju BlackSuit lebih awal. Selama perjalanan aku
benar-benar menyakinkan diriku, toh ini bukan suatu hal yang pantas
kupermasalahkan. Dari awal aku bukanlah pria baik-baik, hanya karena janjiku pada
Eunso..., aku tidak harus merasa takut melanggar agar hidupku tetap berada dalam
jalan yang lurus. Toh..., sejak awal bukan aku yang melanggar janji. Jadi..., alasan apa
yang patut kupertahankan jika Eunsopun tak pernah ada lagi disiku? Aku lemah...,
dan aku tak tahu bagaimana aku bisa mengobati ini semua.
Setelah sampai, aku segera memarkir mobilku tepat dimana Heechul
memintaku. Aku membiarkan mesim mobil tetap menyala sembari memegang keras
kemudi kuat-kuat saat suara Eunso tiba-tiba masuk melewati indera pendengarku.
Oppa
Aku tersenyum dan menghembuskan napas.
Ya? Aku menjawab dengan lirih, bahkan aku tak bisa mendengarkannya
sendiri. Aku takut, suara besarku akan menghancurkan ilusi indah itu. Eunso
terdengar sangat nyata, sangat dekat, seolah-olah ia memang berada tepat di
hadapanku.
Jangan lakukan apapun, pulanglah. Pintanya.
Datang dan hentikan aku. Sekarang!
Aku tersenyum dan segera keluar secepat mungkin. Aku ingin mendengar
suara lebih lama, lebih dekat, sebagaimana ia memperhatikan aku. Dan..., jika aku
tahu ini akan mendatangkan Eunso padaku, aku sungguh akan melakukan jauh-jauh
226
227
hari sebelum depresi menghampiriku. Meski..., hanya dalam bentuk ilusi. Itu sudah
sangat membantuku merasakan bukti kehadirannya memang ada.
“Hyun”
“Oo... berikan aku yang paling tinggi kadarnya” ucapku cepat. Aku merasa
bersyukur untuk tidak menjelaskannya lebih jauh tentang alasanku kemari. Heechul
melesat pergi dan kembali padaku secepat kilat. “Aku tidak akan bertanya sekarang,
tapi setelahnya kau tidak akan lolos” ucap Heechul. Aku tersenyum lebar, banyak
cakap!
“Panggil aku kalau kau berubah pikiran” ujarnya lagi sembari pergi
meninggalkanku dengan perasaan penuh tanya. Aku memandangi satu wine
bertuliskan Screaming Eagle Cabernet (1992).
Aku akan minum, datang dan hentikan aku, sayang.
Itulah kata-kata terkahirku sebelum aku benar-benar merasa jatuh dalam
pusaran yang kutemukan sendiri. Aku menyesapnya pelan, lalu menenggaknya
menjadi lebih banyak. Sensasi panas menjalar dalam tubuhku cepat, bahkan rasanya
bisa menggetarkan detak jantungku. Rasanya... menakjubkan, sekaligus melegakan.
Kurasa... ini bukan kali terakhirnya aku meminumnya.
Pulanglah, oppa. Please... demi Eunso.
Aku tersenyum seraya menuangkan kembali. Aku..., menemukan obatku.
®®®
Aku bisa merasakan hari lagi-lagi masih terlalu dini ketika aku terbangun. Aku
tahu siang dan malamu perlahan-lahan terbalik. Aku berbaring di tempat tidur
seraya mendengarnya detak jarum jam yang terasa mencekam. Jam di atas nakas
menunjukkan baru lewat pukul dua pagi, tepat lima bulan kesendirianku. Aku diam
tak bergerak kemudian mendesah. Tanganku mencari-cari ponsel kecilku, dan
membuka segera setelah berhasil menemukannya. Cahayanya terasa
227
228
228
229
229
230
230
231
aku tak membutuhkan itu semua. Aku hanya butuh Eunso untuk membuatnya lebih
baik dan sangat baik.
“Laki-laki seperti apa aku ini?”
“Hyung. Belum terlambat untuk memperbaikinya”
Song Eunso, aku mungkin pernah mengatakan bahwa tak akan ada
penyesalan di masa depan. Tapi pada kenyataannya aku menyesal. Aku menyesal
karena aku telah melepaskanmu. Aku menyesal karena aku telah mencampakanmu.
Aku sungguh menyesal hingga rasanya ingin mati.
Hey sayang. Ayolah datang. Tepati janjimu padaku.
231
232
BAGIAN SEPULUH
Author side’s
Mimpi seorang perempuan pada umumnya memiliki rata-rata yang sama.
Menjadi seorang istri sekaligus ibu yang sempurna, menjalin asa bersama keluarga.
Menjadi pendamping dalam membina bahtera kehidupan, merasakan lika-liku roda
bersama. Nalurinya... kebanyakan perempuan pasti seperti itu, meski terkadang ada
sebagian perempuan yang memilih untuk hidup sendiri tanpa kehadiran seseorang.
Tidak bisa dipungkiri memang, ada begitu banyak alasan mendasari, well... entah itu
trauma akan masa lalu atau trauma akan kembali tersakiti untuk kedua kali atau
bahkan seterusnya. Perempuan pasti selalu punya dasar untuk itu, terlepas dari apa
yang melewati titik roda hidupnya. Yang jelas, selalu ada alasan dan pertimbangan
atas apa yang diputuskan.
Dan apabila ditarik benang merahnya, semua alasan itu nyatanya memang
melekat pada diri Eunso, tanpa terkecuali. Akan traumanya, akan pesakitan yang ia
rasakan, dua hal besar itu memang menjadi momok besar. Miris, dalam duapuluh
satu hidupnya..., untuk pertama kali merasa jatuh cinta dan untuk pertama kali pula
hatinya jatuh dalam pusaran yang menyakitkan dan menyesakkan. Ini mungkin
terdengar pilu, tapi apa mau dikata. Takdir sudah menggiring roda kehidupannya
jauh melesat dalam poros hidup Cho Kyuhyun. Dirinya tenggelam tanpa tahu
bagaimana cara berenang ke permukaan. Dan... untuk seseorang seperti Eunso,
mengelak adalah hal paling tidak rasional dan tak ada sesuatupun yang mendasari
kenapa ia harus melakukannya. Cinta yang ia miliki tak lagi bermakna, semuanya tak
lagi sama, dan tak lagi berguna sama sekali.
Lalu... jika harus ditanya apakah dirinya menyesal, jawabannya akan tetap
sama. Tidak, bahkan jika ada kata yang bisa menggambarkan perasaannya saat ini, ia
akan memilihnya. Perasaan kecewa memang menyelimuti tapi itu bukan alasan
232
233
untuknya harus menyesal dengan apa yang telah terjadi. Atas cintanya, atas buah
hatinya bersama pria itu, Eunso tidak akan pernah merasa bahwa setiap inci
peristiwa yang melewatinya adalah sebuah kesalahan. Penyesalan menjadi sebuah
emosi yang tenggelam dalam ribuan perasaan cinta yang ia miliki, terlepas
bagaimana Kyuhyun memperlakukannya.
Pikirnya, daripada harus mati dalam penyesalan... mengapa perasaan itu
tidak ia digunakan untuk mensyukuri setiap nikmat yang ada. Kesempatannya untuk
mendapatkan Kyuhyun mungkin sudah pupus, tapi dirinya telah memiliki sosok yang
lebih dari itu. Ia masih bisa mendapat duplikat seorang Kyuhyun selagi dirinya tak
lagi mampu mendapat pria itu dalam wujud aslinya. Well... itu sudah lebih dari
cukup untuk menyalurkan cinta kasihnya yang masih tersisa. Buah hatinya nanti...
perempuan atau laki-laki, pasti akan begitu mirip dengan Cho Kyuhyun terlepas dari
diterima atau tidaknya ia, kelak. Terlepas bagaimana dunia akan menerima atau
tidak, dirinya akan membukakan pintunya setiap saat. Lebar-lebar.
Eunso side’s
Keputusanku untuk pergi meninggalkan semuanya bukanlah perihal yang
mudah. Lebih dari itu, begitu runyam hingga membuatku pusing dan terasa
menyesakkan. Melepas diri dari hiruk pikuk permasalahan pelik yang mendera roda
kehidupanku, tentu bukan pilihan yang gampang untuk kulakukan. Sulit iya, but...
jika aku harus melihat dari sisi manapun, kehidupan yang seperti ini jauh lebih
menenangkan. Menenangkan sekaligus menyakitkan. Well... langkahku sudah jauh
melebihi ini, maka tak akan kubiarkan seorangpun berhak mengaturku, lagi.
Kehidupanku yang sebelum ini, orang-orang yang pernah menjadi naungan hidupku,
biarlah menjadi cerita cinta masa lalu. Aku tak harus susah payah membuatnya
terlihat indah, karena... sesuatu yang menjadi takdirku tak akan pernah
melewatkanku, dan sesuatu yang memang bukan menjadi takdirku, juga tak akan
pernah melewatiku.
233
234
234
235
pertanyaan serupa terus saja membanjiri pikiranku tanpa henti. Atas kesalahanku,
aku akan memberikan seluruh hidupku untuknya. Aku harus mampu membuatnya
menjadi kuat. Ia tak boleh lemah hingga mudah terpedaya sepertiku. Ia tak boleh
menjadi bodoh seperti ibunya. Sama sekali tidak boleh. Bukan untuk membuatnya
bisa membalas semua perasaanku, tapi lebih untuk menunjukkan pada dunia bahwa
ia juga berhak bahagia.
Stigma-stigma buruk mencuat melalui aliran darahku. Menjauhkan ia dari
Kyuhyun, mendoktrin dirinya bahwa kehadiranku saja sudah sangat cukup,
semuanya justru semakin membuatku sulit untuk menghapuskan kenyataan yang
ada. Bagaimanapun juga, sekuat apapun aku mencoba. Chocho, anak ini pasti akan
begitu membutuhkan sosok pria yang akan selalu mendukung dan melindunginya. Ia
pasti akan membutuhkan sosok yang akan menjadi panutannya dalam bertindak, ia
akan membutuhkan Kyuhyun dalam segala hal... karena sejatinya Chocho dan pria
itu pasti akan saling membutuhkan. Terlepas dari problema yang sedang menderaku
kali ini. Keduanya berada digaris keturunan yang sama.
Tidak... tidak!
Aku... aku juga membutuhkan Kyuhyun. Hatiku juga membutuhkan Kyuhyun.
Membutuhkannya untuk selalu berada disisiku, membutuhkannya sebagai tempatku
berkeluh kesah. Aku membutuhkan Kyuhyun sebagai tambatan hatiku,
membutuhkan hati pria itu untuk meletakkan segala cinta yang ku punya. Sungguh,
demi Tuhan, aku selalu membutuhkan Kyuhyun untuk menggantungkan segala
angan dan impian yang selalu menjeratku. Dan... seandainya saja Kyuhyun tahu,
tidak ada keraguan sekalipun dalam anganku ini. Aku membutuhkannya terlepas
dari ia yang tidak membutuhkanku.
Enam bulan bukan waktu yang pendek, tak mungkin semuanya terlewati
begitu saja. Hal-hal sakral mungkin bisa saja terjadi. Eunbi eonni dan Jongin juga
pasti bahagia disana. Dan... aku juga harus bahagia bersama Chocho. Dan mungkin
235
236
Kyuhyun oppa juga sudah menemukan tambatan hatinya yang baru. Semuanya
berakhir bahagia, dengan aku sebagai kuncinya. Aku tidak menyesal..., selagi
keduanya bahagia, aku tidak akan menyesal. Well..., setidaknya dalam hidupku ini
aku pernah menjadi penyelamat banyak orang.
Meski banyak luka yang ia torehkan dalam hatiku, tak ada alasan untuk
membuatku tidak bahagia. Aku bahagia bisa melihat Kyuhyun, aku bahagia bisa
merasakan cinta yang ia miliki. Untuk waktu yang tidak lama, aku bahagia memiliki
Kyuhyun meski aku hanya sekedar bayangan untuknya. Bayangan yang tak akan
pernah Kyuhyun anggap.
Aku setia seperti bayangan, mengikutimu dengan cintaku. Seperti itulah aku,
bayangan yang selalu mengikutimu.
STOP.
Aku menghela napas keras, bosan akan situasi yang selalu menggelayutinku
seperti ini. Enggan dengan suasana hatiku yang terus saja merindukan Kyuhyun. Aku
memutuskan untuk berhenti memikirkan sesuatu yang menjadi halusinasiku, dan
sejatinya perasaan ini akan menjadi begitu berbahaya jika terus dilanjutkan. Well...
pertahananku memang berhasil. Tapi, sesaat kemudian hatiku kembali meradang
ngilu. Aku tetap dipaksa kalah akan situasi ini. Bagaimanapun juga perasaan rindu itu
terlalu besar memenuhi segala pikir dan hatiku, membuat rasa rindu yang selama ini
ku pendam semakin menguak ke permukaan tanpa bisa kutahan. Aku hanya
manusia biasa, tak bisa untuk setegar apa yang kuinginkan.
Tanganku meraih sesuatu di atas nakas, sesuatu yang selalu menarik akal dan
jiwaku. Mataku menyusuri setiap objek disana tanpa cela. Memperhatikan bingkai
persegi empat berisikan foto berwarna ukuran 4 R dengan penuh takjub. Bibirku
tertarik mengulum senyum, mengamati ekspresi Kyuhyun yang ada disana.
Senyumnya lebar, memamerkan gigi-giginya yang putih. Rambutnya yang biasa
rapih, terlihat seperti tumpukan jerami karena terkena terpaan angin. Tanganku
236
237
237
238
sana, aku merasa waktu terus berjalan tanpa aku menyadarinya. Aku tak ingat
berapa lama aku telah memikirkan Kyuhyun.
Aku melirik ke arah jendela. Malam ini langit hitam pekat, aku sedikit
gemeteran meski tidak kedinginan. Dan aku memutuskan untuk tidur, meski banyak
aku rasa aku tidak benar-benar tertidur, aku hanya terhanyut dalam kondisi tidak
sadar dan tidak bisa berpikir, bertahan dengan segenap kekuatan ke perasaan kebas
yang membuaku tak bisa menyadari apa yang tak ingin kuketahui. Dalam kejaman
mataku, aku mencoba meyakinkan diri. Apapun yang terjadi, aku harus siap
menyambut hari-hariku yang terdengar membosankan sejak hilangnya pria itu dari
sisiku.
®®®
Paginya lebih baik, aku merasa aku tidak harus digentanyangi oleh
halusinasiku seperti malamnya. Aku tersenyum lebar, menyedihkan, bagaimana
imajinasiku menjadi begitu tak terkendali. Malam yang normal-normal saja kubuat
sedemikian rupa sehingga terlihat seolah-olah Kyuhyun menemaniku. Aku segera
bangkit dan keluar untuk mengerjakan sesuatu yang bisa kukerjakan. Aku
mengambil beberapa keperluan mandiku dan menuju kamar mandi untuk
membersihkan diri. Aku memandang wajahku di cermin, sambil menyisir rambutku
yang lembab dan hitam panjang. Barangkali itu adalah tipuan cahaya, tapi aku
terlihat pucat.
Memandangi pantulan wajah pucatku di cermin, aku terpaksa mengakui
bahwa aku sedang membohongi diriku sendiri. Aku seperti melihat sesuatu yang
berbeda dari dalam diriku, tak ada raut bahagia disana, mataku cenderung kecil
dengan kantung mata berwarna hitam. Pipiku tirus, tidak seperti kebanyakan orang
hamil pada umumnya. Penampilanku lebih mirip orang buncit dibanding wanita
hamil. Kadang-kadang membayangkan apakah aku akan melihat hal yang sama
seperti yang dilihat orang lain di dunia ini. mungkin ada masalah dengan otakku.
238
239
Tapi penyebabnya tidak penting, yang penting adalah akibatnya. Dan ini hanyalah
sebuah permulaan.
Setelah ritual pagiku selesai, aku kembali menuju bagian utama dimana aku
tinggal. Tanganku menarik pelan kursi dan menaruhnya di ujung jendela, selebihnya
aku memandang ke luar danlam diam. Pemandangannya indah, aku tak bisa
menyangkalnya. Semua hijau, pepohonan dengan batang-batangg tertutup lumut,
kanopi di antara cabang-cabangnya memenuhi sisi kanan rumahku. Dihalaman
depan, penuh dengan bibit-bibit bunga yang menyejukkan. Bahkan, udaranya
tersaring antara dedaunannya yang hijau.
Well... berbicara tempatku tinggal. Ini sama seperti wilayah suburban Korea
Selatan pada umumnya. Tak ada alasan apapun untuk merasa jenuh berada di
lingkungan seperti ini. Myeongdong adalah tempat yang sempurna, dan bila ada
tempat yang pantas disebut sebagai surga dunia, kurasa Myeongdong adalah
tempatnya. Ia memberikanku suasana yang benar-benar jauh diluar nalar.
Bagaimana alamnya bisa sebegitu menakjubkan ditambah dengan orang-oragnya
yang menyenangkan. Dan diusiaku yang masih terbilang muda dibanding yang lain,
aku merasa begitu disayangi. Dugaanku untuk merasa dikucilkan dan dihujani
banyak cibiran menguap bersama perasaan kecewa yang kumiliki. Yang jelas, aku
diterima dengan baik tanpa harus menilik bagaimana kondisi yang melekatku
sekarang.
Gubuk yang kutinggali jauh dari lingkup yang semestinya tapi masih berada
dalam lingkaran yang sama. Dari tempatku duduk, aku bisa melihat orang paling
kuhormati dan kusayangi. Ahjumma Kim, sosok yang sudah kuanggap sebagai ibu
kedua bagiku. Darinya aku banyak belajar banyak hal untuk memaknai hidup.
Darinya aku banyak belajar tetang bagaimana mendidik seorang anak kedepannya.
Bagiku..., jika aku diberi kesempatan, aku ingin berbalas budi dengan balasan yang
lebih atas segala bantuan yang ia berikan padaku. Dari ramuan tradiosional yang ia
239
240
240
241
menyunggingkan senyum bersahabat yang masih terlihat sedikit ragu saat melihat
ekspresiku. Aku agak terlambat membalas senyumnya, tapi kupikir itu tidak
masalah.
Aku memandangnya seraya tersenyum. Kami hanya berjarak beberapa meter
saja, dan dari sana aku bisa melihat bahunya naik turun dengan cepat. Pertanda jika
sebelum ini ada perjalan atau belarian saat menemuiku. Aku mengamati penampilan
Janhyuk, meski sudah mengenal lama, aku masih saja terpana. Bukan terpana dalam
artian lain, melainkan terpana mengenai bagaimana ia bisa begitu nyetrik sebagai
seorang pria Myeongdong. Aku bersyukur selama beberapa bula ini aku merasa aku
banyak berlatih untuk mengendalikan diri, berkat kehadiran Janhyuk tentunya.
“Eunso! Lihatlah ada begitu banyak lowongan kerja disini. Kau bisa
memilihnya dengan bebas” seru Janhyuk. Aku tidak mengerti kenapa aku
menggelengkan kepala bingung. Atau aku mungkin berlebihan akan ekspresi yang
tidak harus kutunjukkan. Janhyuk membalas tatapanku dengan sama bingungnya.
Aku cukup mengenali wajahnya, untuk mengetahui bahwa di balik ekspresinya yang
tenang, tersimpan tunggu yang menggelora.
Aku mengulurkan tangan untuk menerimanya. Aku bisa saja melihat itu dan
bertanya-tanya selagi Janhyuk berada di hadapanku. Aku ingin mencoba terlihat
akrab dengan sosok yang sudah membersamaiku. Tapi..., adrenalinku menyusut
bahwa ada benteng-benteng yang menyekatku dengan dirinya. Aku tidak bisa untuk
benar-benar dekat, sebagai teman. Entah karena aku memang tidak pernah terbiasa
berdekatan dengan pria, atau ada perasaan-perasaan yang sedang kujaga. Ada satu
nama yang terlintas dalam benakku. Satu nama yang akan selalu memilikiku, bukan
orang lain. Nama yang magis, penuh rasa. Orang yang hanya pernah kulihat sekali
dalam hidupku, orang yang bisa membuatku merasa kupu-kupu bertebaran dalam
hatiku.
Kyuhyun.
241
242
“Terimakasih” akhirnya hanya kata-kata itu yang bisa keluar dari sudut
bibirku. Janhyuk menanggapiku hanya dengan anggukan pelan. Sesudah itu kami
lebih banyak berdiam diri. Kentara sekali Janhyuk berusaha untuk tidak terlihat
merasa bahwa ini bukan hal yang perlu ia khawatirkan. “Oo... kalau begitu..., aku
pergi dulu”
Aku ikut mengangguk. Janhyuk bersiul-siul riang, lagunya tidak kukenal,
sambil mengayun-ayunkan kedua lengannya. Dia berjalan setenang mungkin
meninggalkanku sendiri. Aku mungkin sudah bersalah karena telah bergantung
terlalu lama atas keberadaan Janhyuk, atau bukan itu yang bisa membuatku merasa
bersalah sebenarnya. Reaksiku..., aku benar-benar tidak berpengalaman. Aku tidak
tahu bagaimana aku bisa menjalin hubungan pertemanan yang lebih baik dari ini.
Tapi aku tidak tahu...
Ada batas-batas yang kujaga...
Kyuhyun side’s
Aku memakai piama lalu merangkak naik ke tempat tidur. Hidup saat ini
sudah terasa cukup gelap hingga kubiarkan diriku melanggar janjiku sendiri. lubang
itu— sekarang memang sudah menganga, sekarang lebih dari satu lubang— toh
sudah terasa menyakitkan, jadi mengapa tidak? Kutarik keluar kenanganku— bukan
kenangan sesungguhnya yang pasti akan terlalu menyakiti, tapi kenangan palsu
tentang suara Eunso yang ada dalam benankku sore tadi— dan memutarnya berulang
kali di kepalaku sebagai pengantar tidur.
Aku berbaring di tempat tidur, pikiranku berputar. Aku terlalu letih, lebih
terlalu sedih. Kupejamkan mata, berusaha mencerna semuanya, tapi detik
berikutnya ketidaksadaran menelanku begitu cepat hingga terasa mengagetkan.
Bukan tidur damai tanpa mimpi seperti dambaanku yang kudapatkan— tentu saja
bukan. Lagi-lagi aku melihat diriku berada di tanah lapang, dan mulai berkeliaran
seperti yang biasa kulakukan. Aku merasa terperangkap dalam mimpi buruk
242
243
mengerikan. Dalam mimpi itu aku terus berlari, berlalu terus sampai paru-paruku
rasanya mau pecah. Tapi...
Aku dengan cepat bisa menyadari ini bukan mimpi yang sama seperti
biasanya. Mimpiku baru mala mini. Pertama, karena aku tidak merasakan dorongan
untuk berjalan tak tentu arah atau melakukan pencarian, aku hanya berlarian tanpa
ada hal lain yang membuatku merasa bertanya-tanya. Sebenarnya ini bukan tempat
yang sama, meski terlihat persis, aromanya berbeda, begitu juga cahayanya. Aku tak
bisa melihat langit, meski begitu, matahari pasti bersinar, dedaunan di atasku
berwarna hijau pekat. Samar-samar aku bisa mendengar deburan ombak, berbau
asin.
Aku tahu bila aku menemukan pantai, aku pasti bisa melihat matahari. Maka
aku mempercepat langkah, mengikuti suara debur ombak yang samar-samar
terdengar dari kejauhan. Awan-awan didorong ke bawah oleh beban tak kasat mata
hingga tidak membuat perasaan terperangkapku mereda. Anehnya, tanah lapang yang
biasanya berisik kini terkesan kosong saat aku berjalan menuju pantai. Tak terdengar
satupun aku mampu menangkap kicauan burung. Keheningan itu terasa mengerikan,
bahkan desiran angin menerpa pepohonan pun tak ada.
Aku tahu, meski dalam mimpi, aku tahu semua itu hanya karena cuaca, namun
tetap saja aku gelisah. Tekanan atmosfer yang berat dan dingin bisa dirasakan bahkan
oleh pancaindera manusiaku yang lemah, dan hal itu kurasa menandakan bakal
terjadinya badai besar. Kondisi langit semakin menguatkan dugaanku, awan
bergulung-gulung hebat padahal di daratan tidak ada angin. Awan terdekat berwarna
abu-abu gelap, tapi disela-selanya aku bisa melihat lapisan awan lain yang berwarna
lebih hitam. Kondisi seperti ini mungkin bisa menjadi alasan mengapa tak ada
satupun mahluk hidup yang berani keluar menantang maut.
Begitu sampai di pantai...
Aku meyakini apa yang ada dibenakku, aku salah. Mimpiku sama, tak ada
yang berbeda sama sekali. Aku terseok-seol menghampiri driftwood, lalu duduk di
243
244
ujungnya supaya bisa bersandar di akarnya yang saling membelit. Dengan muram aku
menengadah ke langit yang murka, menunggu tetesan hujan pertama memecah
keheningan.
“Arghhh!” aku mengerang, lalu melompat turun dari batang kayu. Aku tak
sanggup duduk diam, itu lebih parah daripada berjalan mondar-mandir. Pun... jika
saja delusi Eunso hadir, aku mungkin akan lebih mempertimbangkannya. Well..., itu
adalah satu-satunya hal yang mampu membuatku bertahan melewati mimpi ini.
Lubang di dadaku belakangan ini mulai bernanah, seolah-olah membalas dendam
untuk waktu-waktu ketika kehadiran Eunso menjinakkannya.
Ombak semakin menggelora saat aku berjalan, mlai menghempas bebatuan,
tapi tetap belum ada angin. Aku merasa ditekan oleh tekanan badai. Segalanya
berpusar-pusar di sekelilingku, tapi di tempatku berdiri, udara justru diam tak
bergerak.
Di tengah laut, ombak lebih ganas daripada sepanjang tepi pantai. Kulihat
gelombang menghantam garis tebing, menyemburkan awan putih buih tinggi ke
angkasa. Aku masih mencoba berpikir tentang makna dari mimpiku ini. aku menatap
jauh kemana tebing-tebing menghadap ke lepas pantai. Aku membayangkan perasaan
bebas saat jatuh melewati tebingnya yang curam. Aku membayangkan bagaimana
suara Eunso dalam pikiranku— mungkin gadis itu akan marah, sehalus beledu,
sempurna...
Panas di dadaku semakin menjadi-jadi.
Aku tahu titik dimana mimpi ini akan berakhir. Pasti ada cara untuk
memuaskan dahagaku itu. Mungkin dengan cara seperti ini aku akan tenang,
kepedihan di dadaku semakin lama semakin tak bisa ditolerir lagi. Kupandangi
tebing-tebing serta gelombang yang mengempas bebatuan.
Aku tahu jalan terdekat ke tebing-tebing, tapi aku harus mencari jalan kecil
yang bisa membawaku sampai ke bibir tebing. Saat menyusuri jalan, hujan tiba-tiba
turun. Badai bergerak semakin cepat sekarang. Angin akhirnya mulai menyentuhku,
awan-awan semakin mendekat ke lantai bumi. Saat langkahku dirasa hampir sampai,
244
245
aku melihat Eunso ada disana, disampingku. Ia berjalan tanpa suar di sampingku,
meski di bawah kakiku tanah yang kuinjak bergemeretak seperti kerikil kering. Tapi
ia bukan Eunso-ku, ia Eunso yang baru, masam, dan anggun. Aku tak bisa untuk
berhenti tersenyum, gaya jalannya yang anggun dan mantap mengingatkanku pada
diriku sendiri, dan saat kuperhatikan lebih dekat, kulitnya yang lembab memudar,
meninggalkan seraut wajah putih pucat bagai tulang. Matanya berubah warna menjadi
emas, kemudian biru, kemudian emas lagi. Rambutnya yang panjang begitu
memesonaku tertiup angin, dan wajahnya yang ayu berubah menjadi dua kali lipat
cantiknya hingga membuat hatiku hancur berkeping-keping.
Berbaliklah...
Aku diam dan tersenyum lebar..., bayangan inilah yang kutunggu-tunggu
hadir dalam kepalaku. Tidak sulit untuk menyakinkan diriku bahwa aku tidak akan
mundur, aku ingin melompat dari puncak tebing. Aku ingin terjun bebas yang akan
terasa seperti terbang. Pun... apabila aku tidak bisa kembali ke alam sadarku, aku rela
untuk tidak bangun selamanya.
Oppa...
Aku tersenyum dan mengangkat kedua lenganku lurus-lurus ke muka,
mencoba ancang-ancang hendak terjun, seraya menengadahlan wajahku ke hujan.
Aku mencondongkan tubuh ke depan, membungkuk agar bisa meloncat lebih jauh.
Dan aku melemparkan tubuhku dari tebing.
Aku menjerit saat tubuhku melayang di udara terbuka seperti meteor, tapi
jeritanku bukan jerit kegembiraan, bukan takut, melainkan pesakitan yang selama ini
kupendam. Mati. Kata itu bergema di benakku begitu tubuhku membelah permukaan
air. Air terasa seperti es, lebih dingin dari apa yang kuperkirakan, namun kedinginan
itu justru menambah kenikmatan yang kurasakan.
Dan, saat itulah arus air menangkapku.
Aku hanya tahu bagaimana cara mengundang delusi Eunso muncul dalam
benakku, hingga sama sekali tak memikirkan air gelap yang menanti. Tak pernah
245
246
247
248
248
249
Aku tersenyum saat merasakan bau khas yang selama ini memabukkanku.
Aroma daun basah, ditengah temaram malam benar-benar membuat malamku
semakin sempurna. Kelam. Aku terus berjalan sembari mengenang hal-hal yang
biasa kulakukan bersama Eunso. Tempat ini..., sangat spesial bagiku, tempat yang
menjadi saksi bagaimana Eunso melontarkan cintanya padaku. Aku tak perlu berpikir
lebih jauh tentang kebenaran dari ucapannya, pun jika itu hanya buaalan semata,
aku tetap tidak peduli, aku masih tetap akan mencintai Eunso.
Aku terus berjalan, tanpa menyadari sudah seberapa jauh aku meninggalkan
mobil. Sesuatu menarik perhatianku untuk berhenti sejenak. Bibirku terangkat
membentuk senyuman tipis. Aku menatapnya nanar, disana aku bisa melihat
bayanganku. Bagaimana aku bisa melakukan pergumulan yang tak sedikitpun
pernah kupikirkan.
Aku duduk. Kakiku rasanya sudah tak lagi berfungsi. Saraf-sarafku terasa
nyeri, aku hancur luluh dan tak bisa diperbaiki lagi, dan kurasa aku akan mati di
menit selanjutnya. Aku memandang jauh, tak ada bintang, bulanpun seakan malu,
yang ada hanya gelap dan kelam. Kupandangi mereka secara bergantian sementara
menit-menit berlalu. Sepuluh, duapuluh, bahkan kalau terus dibiarkan aku bisa
melakukannya lebih lama lagi.
“Eunso...” panggilku
Kekecewaan nyaris datang seperti kilat yang menyambar. Aku
menghembuskan napas kasar, mulai merasa terengah-engah. Apa gunanya aku terus
memanggil lebih keras lagi? Tak ada apapun di sini. Tidak ada apapun kecuali
kenangan yang bisa kupanggil kembali setiap kali aku menginginkannya, asal aku
rela menanggung kepedihan yang menyertainya— kepedihan yang kurasakan
sekarang, yang membuatku menggigil. Aku menyadari, tak ada yang istimewa
dengan tempat ini bila tidak ada Eunso. Aku tak yakin benar apa yang kuharap akan
kurasakan di sini, tapi semuanya hampa oleh atmosfer, hampa oleh segalanya, sama
249
250
250
251
untuk menemukanmu saja aku tak bisa. Tuhan pasti benar-benar sedang
menghukumku bukan? Eunso datanglah, aku hanya ingin kau tau bagaimana aku
mencintaimu. Kehilangan bukanlah hal yang baru bagiku, tapi kehilangmu aku
benar-benar merasa tak ada kehidupan membahagiakan setelah ini. Aku terpuruk,
dalam pusaran cinta tanpa ujung.
Sesampainya di rumah, aku mulai menormalkan mikik mukaku. Meski
kembali adalah hal yang cukup mengerikan, aku harus ada di sana. Langkahku pelan-
pelan, mencoba selambat mungkin untuk bisa sampai pada pesakitanku. Ini memang
tidak cukup membantu, tapi setidaknya ini bisa membuatku berlama-lama. Aku
membuka engsel pintu tanpa menimbulkan suara apapun. Dan..., keterkejutan
menghampiriku sesaat mataku melihat sesuatu yang bisa membuatku berharap lebih.
Ruangan yang tadi kutinggalkan berubah drastis dari apa yang terkahir
kulihat. Tak ada gelas-gelas berserakan, tak ada kerta-kertas bertumpukan, semuanya
terlihat bersih dan rapi. Aku melangkah cepat menuju dapur, ruangan itupun tak
jauh beda dengan ruangan sebelumnya. “Eunso...”
“Kaukah itu?” teriakku.
Aku berusaha mencari keberadaannya yang kuyakini sedang berada dalam
atap yang sama denganku. Aku membuka setiap kenop pintu dengan perasaan
menggebu-gebu, mendorongnya cepat, dan siap untuk memeluknya dengan
kerinduan yang tak dapat ia utarakan dengan kata-kata. Aku terus mencari sampai
menemukan bahwa semuanya hanyalah ilusiku semata. Aku hanya berharap terlalu
jauh tanpa peduli bagaimana aku bisa menahannya.
“Oppa...” tegur Hyerim dari arah pintu sembari membawa beberapa kantung
berisi makanan. Tanganku terkulai lemas. Bukan. Bukan Eunso, bukan ia yang
kuinginkan di sini melainkan Eunso.
“Oo” a
Aku hanya mampu membeo.
252
253
253
254
BAGIAN SEBELAS
Eunso side’s
Pria itu bergerak dan menyadarkanku bahwa sosoknya benar-benar nyata,
hadir dihadapanku. Kilasan kebersamaan kami berkelabat bersama aromanya yang
masih begitu bisa mempengaruhiku. Saraf-sarafku menegang, merasakan canggung
yang begitu mendera disekujur tubuhku. Aku memberanikan diri untuk menatap
secara luas pada diri Kyuhyun. Ada banyak perubahan yang melingkupinya, ia
terlihat kurus, pakaiannya terlalu santai untuk kategori pekerja yang baru pulang
kerja, tapi juga terlalu lusuh sebagai turis. Ketika ia mendekat, aku benar-benar
menyadari dimana letak jenjang keberantakannya. Aku menggeleng dan meneguk
liur, memaksanya untuk masuk begitu saja tanpa melalui proses yang semestinya.
Kyuhyun..., sekarang. Tidaklah terlihat seperti saat dimana ia begitu
menginginkanku, dulu.
Aku pun memandanganya, lalu cepat-cepat mengalihkan pandangan dan
berjalan mundur sejauh yang aku bisa. Kibasan sejarah lama melintas di depan
mataku, begitu jelas, tentang memori bagaimana dia memukuliku, tentang
bagaimana ia mengamukiku, dan bagaimana ia menjadikanku terdakwa yang
keberadaannya memang harus dimusnahkan secepat mungkin. Well..., aku tidak
menolak, karena kurasa dengan perbuatanku, aku bisa menerimanya, bahkan jika
semesta ini menendangku, aku akan tetap bisa menerima setiap konsekuensinya.
Bahkan untuk perasaan yang masih tertinggal, aku sudah tidak mampu mengubah
apapun. Cinta sejatiku baru saja hilang atau mungkin telah hilang selama-lamanya.
Sang pangeran takkan pernah kembali untuk mengecupku dan membangunkanku
dari tidur yang panjang. Lagipula, aku juga bukan seorang putri, yang keberadaannya
bisa mempengaruhi banyak orang. Jadi apa protokol cerita dongeng untuk kisah-
kisahku yang lain?
254
255
255
256
256
257
kupikir ia juga tak berani melakukan apapun. Tapi, itu juga tidak membantu, bayang-
bayang kengerian masih begitu jelas tersimpan di memori kelamku. Dan kurasa...
traumaku ini memang tidak bisa disembuhkan dalam jangka waktu yang singkat. Aku
belum bisa terbiasa untuk apapun yang menyangkut Kyuhyun.
Well..., aku tidak bisa berdalih, alih-alih menjamin jika Kyuhyun tidak akan
melakukan tindakan yang sama untukku. Aku mengerjapkan mata beberapa kali.
Berusaha menormalkan mimik mukaku yang ku yakini terlihat kaget dan bodoh
secara bersamaan. Aku tidak bisa memikirkan cara lain untuk menghindar, putar
arahpun kurasa percuma, aku tidak bisa berlari jika sewaktu-waktu Kyuhyun
memburuku. Namun, aku juga tahu aku takkan mau menjauhinya, bagaimanapun
juga, jika keberanian menyergapku tanpa syarat, aku membutuhkannya, dan aku
akui aku memang egois.
“Eunso, benarkah ini dirimu?" suara merdu Kyuhyun mengalun lembut
begitu menghentikan langkahnya tepat di hadapanku.
Dalam jarak sedekat ini, dengan aromanya yang menjadi candu untukku, aku
benar-benar tidak diberi kesempatan untuk menghidar sedikitpun. Aromanya yang
bagai feromon bagiku menyergapku, menyelinap di antara aliran darah hingga
sampai ke pusat jantungku. Pikiranku mendadak buntu, hanya untuk masalah
sesepele ini. Mataku tidak lagi bisa diajak kompromi, aku jatuh dalam pesonanya
yang bisa mempengaruhiku cepat. Pun ketika wajahnya hanya berjarak beberapa
centi saja dengan wajahku, aku tetap tidak bisa bergerak atau sekedar mengedipkan
mata. Aku... lupa akan siapa yang ada dihadapanku. Aku bahkan lupa dengan diriku
sendiri, dengan pantangan yang kubuat pribadi.
“Eunso...” panggilnya membuyarku. Well..., aku beruntung untuk
panggilannya. Satu nama itu mampu membuat jiwa kembali dalam ragaku. Lalu
dengan gerakan yang sangat cepat, tubuhnya menubrukku, memelukku erat. Aku
ingin mengerang saat ia menarikku lebih dalam.
257
258
“Kyuhyun-ssi!” pekikku.
“Dengar Eunso. Ini benar-benar kau” ucap Kyuhyun.
Dan dua hal yang mampu membuatku bereaksi keras, yang pertama... pria
itu memelukku sangat erat, bahkan terasa begitu menekan perut enam bulanku.
Yang kedua..., kita berada dalam kondisi dimana tidak ada hubungan apapun yang
mampu memberikan alasan untukku menerima. Pun selain itu, aku belum
sepenuhnya mengerti dengan apa yang sedang Kyuhyun rencanakan. Dan jika aku
mau berpikir lebih jauh, mungkin saja. Ini adalah salah satu awal baginya untuk
menyingkirkanku.
Aku mencoba mendorong pinggangnya menjauh, tapi seringkali aku gagal.
Aku tidak mengerti bahwa ini akibat tenagaku yang tidak sebanding atau lebih
kepada keinginkanku untuk terus berada dalam kungkungan tubuhnya.
“Kau meme—”
“Ssssttt,” Kyuhyun membelai pipiku lalu menyambar bibirku cepat,
membuatku tak bisa berkutik lebih jauh atau sekedar memberiku kesempatan untuk
menyelesaikan beberapa kalimatku. Sulit dipercaya betapa aku merasa canggung
dan seperti idiot. Aku terlalu lugu— aku sama sekali tidak tahu bagaimana aku harus
bertindak. Bibirnya yang lembut menempel di bibirku, dan dari ciumannya ini aku
tahu pikirannya sedang berkelana memikirkan hal lain— berusaha memikirkan apa
yang ada dalam pikiranku. Menurutku ia butuh petunjuk. Kedua tanganku sedikit
gemetar, menyulitkan upayaku untuk bergegas membuatnya menjauh dariku.
Perasaan takut kembali menderaku cepat, mataku memanas. Aku menggigit
keras bibir Kyuhyun sebagai usaha terakhirku. Well..., aku tidak ingin merasa
terlecehkan untuk kedua kalinya. Bukan hal yang mampu kuhindari, tapi nyatanya
usahaku ini menghasilkan sesuatu yang menyenangkanku. Kyuhyun berhasil
mundur. Matanya menatap wajahku lekat-lekat sementara aku susah payah
berusaha menjelaskan. Jika aku ingin menjagaku tetap aman, ciuman semacam ini
258
259
tidak seharusnya kulakukan, terlebih di ruang terbuka, siapa saja bisa melihat dan
membuat banyak spekulasi. Untuk diriku yang tengah hamil tanpa status
pernikahan, obrolan tentangku pasti akan menjadi hal yang begitu menarik untuk
diperbincangkan. Orang-orang disekitarku tentu akan banyak menduga, well...
Aku merasa tidak nyaman, untuk hatiku, dan untuk kenyamanan calon
bayiku karena dihimpit terlalu keras. Well..., jika ini harus diteruskan, tidak hanya
aku yang tidak akan selamat, calom bayiku mungkin demikian. Tanganku kembali
bergerak untuk mendorong tubuh Kyuhyun. Tak peduli seberapa aku merasa sesak,
sepertinya Kyuhyun tetap tidak berniat membebaskanku. Bahkan dengan
penolakanku ini, bukan kelonggaran yang kudapatkan melainkan semakin erat pula
aku merasa di tekan.
“Jangan pergi, kumohon” ucap Kyuhyun.
“Kyuhyun-sii kau memelukku terlalu erat—” aku menjeda beberapa detik
untuk kalimat selanjutnya. “Sesak. Kumohon lepaskan sebentar saja” pintaku.
“Aku akan melepaskanmu. Jika saja kau berjanji tak akan pernah pergi lagi
dariku, aku benar akan melepasmu” serak Kyuhyun. Matanya menatap jauh ke
dalam mataku.
Aku mengangguk cepat, merasa tak ada waktu lagi untuk bermain kata
bersama Kyuhyun. Kyuhyun mundur beberapa langkah menuruti perintahku. Aku
menghelas nafas panjang. Kalau saja keberanianku terkumpul sedikit saja, rasanya
aku ingin berteriak sekeras-kerasnya ke langit kosong dan berlari menjauh. Aku
berusaha memikirkan bagaimana aku bisa melakukan hal itu— memaksa
keberanianku untuk muncul pada diriku saja. Well..., itu adalah hal yang seharusnya
kulakukan. Kalau berhasil aku akan menang, dan jika aku kalah aku akan menyerah
untuk kembali dalam pelukannya.
Aku tahu, aku tak memiliki pengendalian diri yang kuat dan tak tergoyahkan.
Dan kesimpulan itu membawa ke pilihan yang sempat aku ajukan, antara menang
259
260
dan kalah. Well..., dua detik berikutnya membuatku sadar, bahwa aku tak punya
pilihan lain selain kalah pada takdirku. Melenyapkan sebagian harga diriku untuk
melebur dalam kondisi Kyuhyun. Gerakanku akhirnya menarik perhatian Kyuhyun.
Kuamati wajahnya dengan seksama, melihat kalau-kalau ada perubahan ekspresi.
Mata Kyuhyun sedikit mengeras. Hati, naluri, dan otakku tidak berada dalam jalur
yang sama, aku mungkin bisa memungkiri, tetapi bahasa tubuhku selalu ingin
menang sendiri.
“Eunso?” ujarnya, suaranya tegang tapi terkendali.
“Ya?” suaraku masih parau. Diam-diam aku berusaha berdeham.
Kyuhyun menatapku, wajahnya terlihat bimbang. Aku tahu ia khawatir, takut
akan respon yang hendak kuberikan setelah ini. Butuh beberapa menit bagiku untuk
memutuskan, karena saat ini pikiranku sedang tertuju pada hal lain. Aku tidak benar-
benar mengamati ekspresinya, aku jauh lebih kalut memikirkan situasi yang Kyuhyun
alami daripada kemungkinan jawaban yang ia lontarkan. Sepanjang pengamatanku,
kurasa ada banyak hal yang kulewatkan. Dan aku sempat merasakan secercah
perasaan bersalah saat menyadari bagaimana perasaan Kyuhyun sebelum ini.
Well..., mustahil memang melihat bahwa Kyuhyun masih persis sama seperti dulu.
Kurasa sungguh tolol dan manusiawi sekali mengharapkan ada semacam perubahan
dari hari ke hari. Tapi memang ada sesuatu... aku tak tahu persis apa itu.
“Eunso...” panggil Kyuhyun, sekali lagi, kali ini tampak lebih terperangah dari
sebelumnya.
Kyuhyun nyengir. “Aku tidak mengira akan bertemu kau di sini”
Ia hampir melenggang kembali menghampiriku, ekspresinya kembali takjub,
tapi aku tidak siap untuk itu. Jadi yang kulakukan hanyalah mundur disaat kakinya
melangkah maju.
Kyuhyun berdiri kira-kira satu meter dariku, menelengkan kepala ke satu sisi.
Wajahnya adalah wajah paling buruk untuk kurun waktu yang rasanya seperti
260
261
berabad-abad. Kuamati garis-garis wajahnya dengan perasaaan lega yang rakus. Ini
dia orang kepada siapa aku tidak perlu berpura-pura— seseorang yang sudah tahu
setiap hal yang tak pernah bisa kuungkapkan. Aku ingin memulai, menanyakan
kenapa keberadaannya bisa terpampang mataku, tapi aku lalu hanya menggeleng-
gelengnkan kepala.
“Oh” aku menggigit bibir ketika merasakan gerakan keras menendang bagian
kiri perutku. Butuh sedikit waktu untuk menenangkan diri.
Kyuhyun side’s
Air mukaku berubah. Tanpa sengaja aku mundur selangkah, dan mata
merahku yang gelap dan penuh keingintahuan itu mengikuti gerakan tangan Eunso.
Saat itulah aku sadar mengapa ada sesuatu yang tak sama— butuh semenit untuk
menyadari kenapa aku menunduk lagi— kenapa hatiku terasa tidak nyaman, kenapa
mataku basah, kenapa aku tiba-tiba ingin membunuh diriku sendiri.
“Eunso kau hamil?” tanyaku, nadanya masih biasa-biasa saja, tapi tubuhku
bergerak cepat ke arah Eunso. Aku tahu ini tidak rasional, dalam kesempatan-
kesampatan lain, kenapa harus ini yang kulewatkan? Aku mengeluh, tangan di atas
mulutku bergerak ke bawah dagu. Aku mengamati wajahnya lama sekali sementara
aku berusaha berkelit dari pandangannya, meski sia-sia. Alisnya berkerut,
ekspresinya berubah bingung.
“Ya,” suara beledu indah itu berbisik cemas dalam benakku.
Aku terkejut mendengar suaranya, tapi seharusnya itu tidak membuatku
merasa kaget. Aku tidak perlu bertanya lebih jauh tentang siapa pria brengsek yang
membuatnya seperti ini. Lagipula, sejauh aku mengenalnya, Eunso bukanlah wanita
sembarangan, aku bisa menjamin, hanya aku yang tidur dengannya, hanya aku yang
bisa memuaskan wanita itu, dan hanya benihkulah yang bisa membuahi sel telur
miliknya. Lagipula bukankah saat ini diriku memang berada dalam tragedi yang tak
terbayangkan? Pertemuanku dengan Eunso seolah menjadi puncak kebahagiaan
261
262
berlebih jika dibandingkan dengan ini. Dan..., aku semakin percaya, Eunso adalah
sumber kebahagiaanku yang tak dapat dimiliki oleh siapapun.
“Ya Tuhan, kau hamil?” ulangku.
Eunso menjawab sama persis dengan sebelumnya. Begitu cepatnya sehingga
aku bahkan tak yakin bagaimana itu bisa terjadi, tapi tahu-tahu aku sudah berada
dihadapannya dengan kenyataan sebesar ini. Aku menggeleng.
“Kau hamil dan aku tak mengetahui kenyataan ini? Berapa bulan? Katakan
sudah berapa bulan Eunso-ya?” tanyaku beruntun. Kata-kata berhamburan dari
mulutku saat aku terburu-buru mengambil kesempatan, selagi aku melihat sorot tak
yakin terpancar dari matanya. Aku berusaha tetap terdengar ringan, rileks, tapi itu
juga selalu gagal.
“Enam bulan” jawab Eunso.
Aku mencoba. “Seharusnya... kau bisa memberitahuku kalau kau hamil”
Aku berusaha menutup mulut untuk tidak mengumpat keras. Aku menggigit
bibir saat bayangan itu kembali masuk ke alam bawah sadarku. Membuat luka
basah kembali berdarah. Aku membayangkannya, meski aku jarang memikirkannya,
aku tetap saja merasa sakit saat ingatan itu kembali melandaku. Well..., jujur.
Kenyataan ini seolah kembali menamparku keras. Aku ingin sekali memeluknya erat,
tapi aku cukup paham dengan kondisiku sekarang.
“Kau mengusirku...”
Eunso memutar bola mata dan melambaikan tangan dengan lagak cuek,
seolah-olah itu semua adalah sejarah lama, tapi dapat kulihat ada secercah nada
histeris dalam suaranya. Jantungku yang memang sudah berdebar keras, kini
berpacu semakin cepat.
“Dan... kurasa, kau tak pernah ingin mendengarnya”
Mulutku ternganga dan napasku mengeluarkan suara terkesiap kaget. Aku
membeku di tempat, tertusuk oleh kata-katanya yang setajam pisau. Kepedihan
262
263
mengoyak tubuhku dalam pola familier, lubang basah itu terkoyak dari bagian dalam
ke luar, tapi itu belum apa-apa dibandingkan berbagai pikiran kalut yang
berkecamuk dalam benakku. Aku tak yakin pendengaranku benar. Tidak sedikitpun
tampak tanda-tanda keraguan di wajahnya. Hanya amarah. Tapi..., sesakit aku, aku
tetap tidak bisa menyalahkan ucapan Eunso karena ulahku sendiri.
Aku tak sanggup menelan ludah. Ucapannya menyinggung perasaanku, aku
meringis, dan terpejam untuk beberapa detik. Aku seperti ditodong mati tanpa bisa
menjawab apapun.
“Eunso!”
Bagian ini lebih sulit, seseorang yang lain nyaris dua meter berada dalam
jarak pandangku.
“Oo... Donghae-ssi” sahutnya.
Aku memandang Eunso dengan tatapan penuh tanya, dan walaupun
terkesan kurang ajar dan tak punya malu, kuharap ia mampu menjelaskannya
sesuatu yang tidak kumengerti. Meski hasilnya nihil, setidaknya aku sudah berusaha
mencoba.
“Aku mencarimu, ayo!” sahutnya.
Aku menatap keduanya bingung. Rasanya seperti menyerah kalah, perasaan
tidak dianggap hinggap menyelimuti hatiku. Tanganku saling bergelut saat menatap
gerakan Donghae menyentuh tangan Eunso singkat. Well..., ini jelas menyulut
amarahku. Apapun itu, milikku tak pantas sembarangan di sentuh orang. Amarah
menjalari tubuhku. Hal itu membuatku teringat pada siang tak menyenangkan ketika
ia lebih memilih pria tengil itu ketimbang aku, dan aku merasakan daguku terangkat
dengan sikap defensif sebagai respons.
“Eo... benarkah?”
“Iya. Ahjumma memintaku untuk mengambil benih bunga. Ayo!”
“Baiklah...”
263
264
264
265
Aku menarik napas dalam-dalam mencoba menenangkan diri. Sejak awal aku
tak pernah terbiasa ditinggalkan, jadi..., melihatnya perlahan meninggalkanku
sungguh seperti membakarku hidup-hidup. Aku tidak ada apa-apanya dibangingnkan
pria yang mungkin baru beberapa bulan dikenalnya.
Tapi, ternyata aku keliru.
Eunso tidak benar-benar meninggalkanku sendiri. Gairah kemenangan
melandaku, membuatku merasa berkuasa. Empat kata yang ia lontarkan mampu
membuatku merasa hidup kembali dengan tingkat kepercayaan yang melimpah. Aku
tidak ditinggalkan. Dan darinya, aku cukup bisa menyimpulkan arti perasaannya
padaku.
“Oppa..., juga ikut denganku. Ayo” ajaknya.
Aku bergerak tanpa ia memintanya dua kali. Kami melangkah ke selatan,
entah Eunso akan membawaku kemana, asal bersama dia saja, aku sudah merasa
tenang. Aku melewati beberapa rumah dan kebun, sesuatu yang jarang kutemui di
Seoul. Kusisir rambutku dengan jemari dan menarik naps dalam-dalam sebelum
berbelok di sudut jalan. Aku menelusuri jalan demi jalan yang padat karena
rimbunnya pohon. Aku tidak terlalu memerhatikan arah langkahku, tapi kurasa,
mudah bagiku untuk mengingat sisi-sisi jalannya. Di ujung aku menemukan satu
rumah, dan kuyakin itu menjadi tempat tujuanku. Jendelanya penuh kristal,
penangkap mimpi, dan dikelilingi banyak bunga. Lewat jendela kaca aku bisa melihat
seisi ruangan dominan cokelat.
“Eo...,” mulai Donghae.
“Sebanyak ini?” lanjutnya.
Eunso mengangguk seraya tersenyum lebar diikuti tatapanku.“Tidakkah
ahjumma mengatakannya padamu?”
Donghae menggeleng cepat, “Tidak ada perbincangan apapun”
265
266
“Kau bisa mengambilnya satu-per satu jika itu menyulitkanmu” ujar Eunso.
Alisku mengerut marah, lalu mencoba lebih santai ketika akhirnya mengerti. Selama
ia masih tidak menyulutkan api cemburuku, aku masih bisa merasa marah saja.
“Tidak, sudah akan turun hujan. Aku akan mengambilnya semua” tolak
Donghae. Rasa Maluku lebih kuat daripada perasaan senang melihat sorot di
matanya saat ia mengatakannya. Aku langsung mengingat tentang argumentasiku
sebelumnya.
“Bye, Eunso” ujar Donghae meninggalkan kami.
Kepergiannya meninggalkan kesunyian diantara aku dan Eunso. Kutatap
matanya, berusaha menerka-nerka emosi apa yang sedang ia rasakan di balik
permukaannya. Eunso membalas tatapanku dan kepura-puraannya mendadak
lenyap. Kulihat Eunso ragu-ragu, tangannya pada pegangan pintu, mencoba
mengulur-ulur waktu.
Langit tiba-tiba menggelap, dan aku berharap memang demikian. Bila perlu
hujan turun secepat dan selama mungkin. Aku ingin sekali menyelinap masuk dan
berbagi kehangatan bersamanya, meskipun mustahil aku benar-benar berharap.
Rumah itu, lebih terlihat manusiawi dibanding istana yang kosong.
Rintik-rintik hujan mulai turun membasahiku, menepuk-nepuk pelan bagian
pundaku. Aku berusaha memasang ekspresi sememelas mungkin lalu tersenyum di
belakang.
“Tidakkah aku bisa masuk?”
“Oo... masuklah” ujar Eunso kemudian.
“Terimakasih, Eunso”
Bagian dalam rumah Eunso lebih membuatku terpana. Bukan karena
desainnya yang terkesan minimalis atau seadainya, melainkan keterkejutanku
datang karena susasa yang ia ciptakan. Temboknya mungkin tak sekokoh rumahku,
lantainya mungkin tak sehalus lantaiku, tapi..., seratus persen ini tak mampu
266
267
267
268
268
269
269
270
270
271
271
272
272
273
Ada perasaan-perasaan lain yang masih membelengguku. Entah apa itu yang pasti,
begitu berpengaruh.
Aku hanya belum siap...
Aku mengangkat bahu dan memalingkan wajah. Sebenarnya aku yakin,
bahwa ada sesuatu yang tidak bisa diterima oleh pikirku. Kedatangannya, tanpa
kusadari atau tidak, itu membawa pengaruh pada kinerja jantungku. Berdetak tak
beraturan, membuatku dibuat bingung sendiri oleh dentumannya. Saat aku
berkonsentrasi pada sesuatu, yang baru saja lewat menjadi tidak penting.
Perasaanku, rupanya tak lelang dimakan waktu dan well... aku merasa bahagia,
mendengar kenyataannya. Aku menyadari aku tersipu malu, aku menatap sekeliling
untuk menormalkan mimik mukaku yang terkesan sinting karena senyam-senyum
sendiri.
Eh..., oppa masih saja tampan.
Aku menggelang keras saat pikiran itu kembali muncul. Dan itu keajaiban
yang patut aku syukuri, aku bisa menutupi segala perasaanku yang sebenarnya di
hadapan Kyuhyun. Aku bisa bersikap bahwa aku memang tidak memiliki perasaan
apapun. Sejenak aku berpikir, mengesampingkan jiwa gadis remajaku, rasa
penasaran tiba-tiba melingkupi otakku, memaksaku bertanya-tanya tentang
hubungan macam apa yang mengikat Janhyuk dengan lelaki itu? Dari tatapannya,
kuyakini ada hubungan lebih dari angin lalu yang melekat diantara keduanya.
Bagiku...,
Janhyuk sama baiknya dengan Kyuhyun. Meski aku jarang
memperhatikannya, aku tetap tidak bisa memungkiri jika pria itu memang baik
padaku. Pribadinya elok, dan jika saja aku bisa menjadi sepertinya yang mudah
bergaul, ia tentu akan menjadi teman akrab untukku. Dan jika aku mudah merasa,
aku mungkin akan jatuh cinta dengannya bahkan untuk bulan-bulan awal dia datang
padaku. Itu jika aku merasa demikian. Well..., tapi itu bukan keputusan yang salah.
273
274
Disaat Janhyuk memberikan semua apa yang kau butuhkan, menjagamu selama
yang kau inginkan, semua itu bukan alasan tepat untuk membuatmu tidak jatuh
cinta padanya.
Aku tertawa pelan seraya menggeleng cepat, menyadari pikiranku yang
semakin melayang. Kuharap..., ia memang benar-benar bisa menjadi temanku.
Ketukan pintu membuyarkan lamunanku sekali lagi. Mataku melirik ke arah
jam dinding, sudah pukul delapan malam. Well..., siapa pula yang mengujungiku
selarut ini? Aku tak ingin ambil pusing dengan membuka kenop pintu sesegera
mungkin. Tanganku mengambil payung yang tersampir di belakang pintu, kurasa...
berjaga-jaga bukanlah hal yang salah.
“Kyuhyun-ssi” pekikku. Sadar dengan siapa yang berada dihadapanku. Aku
menoleh ke arah jam dinding dan jendela, memastikan itu benar-benar jam delapan
malam.
“Kenapa belum makan hum?” seru Kyuhyun sembari berjalan ke arah meja
makan diikuti dibelakangnya.
“Kyuhyun-sii. Apa yang kau lakukan disini?” ucapku hati-hati.
“Menemui anakku dan menemanimu. Memang apalagi?” sahut Kyuhyun.
Aku mundur darinya, menatapnya nanar. Buru-buru mengubah ekspresi
penuh kagumku. Aku tidak melihatnya melompat ke arahku— terlalu cepat.
Sekonyong-konyong aku mendapati diriku berada dalam pelukannya. Lengannya
membentuk sangkar baja di sekeliling tubuku— nyaris menyentuhku. Tapi aku toh
terengah-engah saat mencoba memperbaiki posisiku.
Kyuhyun tak membiarkanku. Digulungnya tubuhku menyerupai bola ke
dadanya, dicengkeramnya diriku lebih erat daripada rantai besi. Aku menatapnya
ngeri, tapi sepertiya ia dapat mengendalikan diri dengan baik, rahangnya melemas
ketika ia tersenyum, matanya berkilat-klat penuh canda.
“Kemari. Duduk. Aku akan menyuapimu”
274
275
275
276
276
277
277
278
278
279
yang telah melindungiku melewati malam tergelap dalam hidupku. Aku berdeham-
deham, menyingkirkan gumpalan di tenggorokanku.
“Kau sudah t ahu bagaimana perasaanu, tentu saja,” katanya pada akhirnya.
“Aku ada disini... yang secara kasar berart I aku lebih baik mat I daripada harus
menjauh darimu”
Aku memandanga tangannya yang dingin dan halus, lalu matanya. Mata itu
lembut, penuh penyesalan. Aku kembali menatap tangannya, kemudian dengan
sengaja menelusuri garis tangannya dengan ujung jariku. Aku memandangnya dan
tersenyum gugup.
“Ya” sahutku kemudian.
Jujur, untuk semua yang telah Kyuhyun lontarkan padaku. Penderitaan
Kyuhyun selalu berhasil membangkitkan sisi protektifku. Itu sangat tidak rasional jika
aku harus mengira bahwa akulah yang paling menderita di sini. Aku tak perlu
mengaku padanya betapa sulitnya bagiku saat ia tidak ada— bagaimana itu selalu
memunculkan kembali mimpi-mimpi buruk saat aku ditinggalkannya dulu. Karena
semenderitanya aku, aku masih mendapat orang-orang yang menyayangiku. Sedang
Kyuhyun, bagaimana pria itu bisa bertahan hidup dengan kesendiriannya? Dan
seandainya Kyuhyun tahu, itu hanya akan membuatnya merasa semakin menderita.
Jadi konsekuensinya adalah, aku harus melupakan fakta bahwa semuanya telah
terjadi. Pun sejak awal aku memang tak pernah memendam rasa benci sedikitpun
pada Kyuhyun.
“Oppa... berdirilah”
Aku benar-benar berusaha, dan anehnya ini tidak seburuk dengan apa yang
kukira sebelumnya.
“Eunso memaafkan oppa” putusku.
Malam ini, ingatan masa laluku jelas sekali. Aku bisa melihat setiap kesalahan
yang kuperbuat, setiap kerusakan yang kuakibatkan, hal-hal kecil maupun besar.
279
280
Setiap kepedihan yang kutimbulkan di hati Kyuhyun selama aku pergi, setiap luka
yang kuberikan pada Kyuhyun dan untukku sendiri, semuanya bertumpuk dalam
tumpukan rapi yang tak mungkin kuabaikan atau kusangkal. Dan selama ini aku
sadar, aku keliru. Ternyata aku sendiri yang membentengi diriku.
Mata Kyuhyun berbinar meneteskan kembali air matanya saat mendengar
maaf keluar dari bibirku. Meski rasanya tampak tidak adil baginya, aku akan
membuat semuanya jauh lebih mudah. Aku tak harus merasa membohongi diri
bahwa tak ada satupun dendam yang kusematkan pada Kyuhyun. Cintaku...
nyatanya jauh lebih besar dibanding apa yang ia lakukan padaku. Dengan gerakan
cepat dan pasti, ia bangkit dan segera membenamkan bibirnya di atas bibirku.
Ciumannya menggebu-gebu, seolah mengisyaratkan padaku tentang seberapa besar
cinta yang ia bubuhkan, darinya aku bisa merasakan bahwa aku adalah hidupnya,
dunianya, segalanya baginya dan tak ada yang menempati posisi itu selain aku.
Butuh beberapa detik untuknya menciumku, dan aku tidak berusah payah
untuk menghentikannya. Kyuhyun berhenti sejenak, wajahnya merenung. Matanya
menatapku lembut, dan aku tak bisa tidak bangga diri melihat pancaran cinta saat ia
memandangku.
“Aku memaafkanmu...” ulangku.
“Dan aku juga mencintaimu...” sambungku.
Aku tahu itu membuatnya terperangah, hingga kembali membenamkan
bibirnya ke arahku.
“Aku takkan pernah merasa bosan untuk meminta maaf padamu.
Terimakasih Eunso” aku diam-diam meliriknya, dan benar saja, mata Kyuhyun nanar
saat ia mengucapkan itu. Tangannya membelai bagian pipiku yang terlihat.
“Meski kau sudah memaafkanku, aku benar-benar tidak akan memaafkan
diriku sendiri”
“Oppa...” aku berbisik. “Eunso...”
280
281
281
282
“Tidak” gumamku. “Oppa— kau tidak mengerti, aku tidak sedang menghibur
perasaanmu. Tapi aku sungguh-sungguh memaafkanmu. Kita bisa memulai
semuanya kembali”
Mata Kyuhyun membelalak kaget. Aku mengulurkan tubuhku untuk
menariknya duduk disampingku. “Eunso bisa bersikap mulia, aku tidak akan pernah
bisa untuk membuatmu merasa lebih menderita lagi dan lagi. Berbahagialah, dan
kau bisa memiliki bagian apa saja dariku yang kau inginkan, atau tidak sama sekali,
kalau itu memang lebih baik. Jangan biarkan rasa bersalah yang menurutmu kau
rasakan terhadapku, mempengaruhi keputusanmu. Yang jelas, aku, Song Eunso...,
ingin hidup bersamamu”
“Bagaimana caranya?” tanya Kyuhyun, matanya sorot akan kesedihan.
Aku cepat-cepat naik ke pangkuannya, memeluk lehernya. Tak peduli ini
melanggar prinsipku, seseorang harus menyadarkan Kyuhyun. “Eunso tidak peduli,
mulailah dengan memaafkan dirimu oppa, buat kau lupa betapa kelamnya masa
lalumu, buat kau akan bayang-bayang itu. Lawan!”
Aku tak menunggunya memutuskan— atau memiliki kesempatan untuk
mengatakan kepadaku. Aku mencondongkan wajahku dan melumat bibirnya ke
bibirku yang bergetar. Aku tahu ini bukan diriku, tapi aku harus melakukannya.
“Hati-hati, sayang” gumamnya saat aku menciumnya kaku.
“Tidak”
Dengan lembut Kyuhyun mendorong beberapa sentimeter dari wajahnya.
Senyum mengembang lebar di wajahnya yang rupawan dan itu menular padaku
dengan mudah. “Eunso..., bisakah kau percaya padaku sekali lagi?”
“Aku mengangguk cepat.
“Eunso...” panggilnya dan aku menunggu tidak sabar.
Aku mungkin pernah menjadi bagian dari keluargamu, menjadi kakak iparmu
lebih tepatnya. Lalu, sekarangpun begitu. Berikanlah aku kesempatan untuk kembali
282
283
menjadi bagian darimu. Berikanlah seluruh hatimu untukku, jadikan aku akhir dari
harapanmu. Aku mungkin tak bisa memberikanmu dunia, tapi aku bisa memberikan
semua duniaku padamu”
Aku menahan napas keras. Ingin sekali menghentikan waktu, menyimpan
bahagiaku ini untuk jangka waktu yang sangat lama. Aku percaya, seratus persen
percaya bahwa Kyuhyun adalah takdirku. Aku percaya dan akan selalu percaya
bahwa Kyuhyun akan melindungiku, tak peduli apapun, aku akan selalu percaya.
“Ya. Eunso percaya”
®®®
Kyuhyun tidak berkata-kata, dikeluarkannya CD yang ada di atas nakas lalu
dimaskukkannya ke CD player di sampingnya. Tangannya menekan tombol play dan
kami menunggu dalam kesunyian. Lalu musik mulai mengalun. Aku mendengarkanm
tak mampu berkata-kat a, mataku terbelalak lebar. Aku tahu ia menunggu reaksiku,
tapi aku tak sanggup bicara. Air mataku menggenang, dan aku mengangkat tangan
untuk menyekanya sebelum jatuh menetes di pipi.
“Eunso... ada yang salah?” tanya Kyuhyun was-was.
“Tidak, ini bukan karena apapun. Indah sekali, oppa. Tak ada kado lain yang
bisa kau berikan yang lebih kusukai daripada ini. Eunso tak percaya.” Lalu aku diam,
supaya bisa mendengarkan.
CD itu berisikan rekaman musiknya, kompisisinya. Musik pertama di CD itu
adalah lagu nina boboku.
“Kupikir kau tidak akan membiarkanku membelikanmu piano supaya aku bisa
memainkannya untukmu disini” Kyuhyun menjelaskan.
“Oppa benar”
“Perutmu bagaimana?”
“Baik-baik saja,” sebenarnya aku mulai merasa nyeri, tapi kurasa itu hanya
akan membuatnya khawatir.
283
284
284
285
285
286
286
287
287
288
“Tapi aku mencintaimu, bagaimana bisa aku melakukan hal yang bahkan
tidak pantas dilakukan seorang pria?”
“Eunso juga mencintaimu”
“Eunso...”
Kyuhyun menggenggam erat tangan Eunso dalam tautannya yang basah
sekaligus dingin. Rasa gugup menggerayangi sekujur tubuhnya cepat, mengalirkan
efek yang mampu membuatnya tercekat. Sepanjang hidupnya, kata maaf,
bagaimanapun keadaannya, itu adalah kata laknat yang tak pernah ia lontarkan.
Mungkin dengan alasan inilah mengapa, dirinya yang arogan menjadi begitu gagu
dan bertele-tele atas niat baik Eunso. Kyuhyun bergerak, mengikuti nalurinya yang
entah kapan menjadi hidup, turun menghadap Eunso. “Heii... jangan seperti ini
oppa. Eunso mohon”
“Eunso... entah kebaikan apa yang kulakukan sebelum ini. Yang jelas, untuk
apapun itu, aku benar-benar bersyukur atas lautan maaf yang tiada kira kau
bubuhkan padaku. Kesalahanku bahkan tidak bisa kumaafkan untukku sendiri. Lalu
bagaimana bisa kau sama sekali tak membenciku?”
“Oppa tidak melakukan kesalahan apapun”
“Sebagai pria, aku seperti kehilangan mukaku. Tapi, jika aku tetap tidak
menemuimu, maka neraka adalah tujuan utamaku. Well... kau tau aku mencintaimu,
tapi justru apa yang telah kulakukan padamu? Bahkan di saat kau begitu
membutuhkanku, di saat Chocho membutuhkan kasihku, aku tidak ada Eunso. Lalu...
dengan keadaanku yang seperti ini, aku mungkin tidak pantas menghadap maafmu,
tapi... aku juga tidak akan bosan untuk mengharap empatimu”
“Semua kebaikan yang oppa lakukan untukku, tak akan pernah hilang hanya
karena satu hal sepele. Untuk titik bahagia dalam hidup, kurasa ada baiknya jalan
yang kita tempuh begitu berduri dan menyesakkan. Tapi, kita sudah melewatinya,
teknisnya begitu. Lagipula sekarang oppa berada disini bersamaku. Hanya dengan
288
289
oppa mencariku saja, hanya mendengar bahwa kau juga mencintaiku. Eunso sudah
bahagia” sahut Eunso.
“Aku salah”
“Eunso tahu oppa merasa bersalah. Tapi jika oppa ingin tahu, permintaan
maafmu justru menyakitiku. Hal ini menggiring opiniku untuk berkata bahwa sikapku
jauh dari kata pantas. Lupakan semua dukamu oppa, masih ada begitu banyak
kebahagiaan yang pantas kita dapatkan”
“Ya Tuhan. Aku bahagia”
“Lelaki sepertimu memang pantas bahagia”
“Eunso, di awal, kita mungkin jauh dari apa yang biasa disebut dengan
kenormalan dalam berhubungan. Pertemuanku denganmu juga bukan sebuah jalan
kesengajaan. Tapi oppa janji, demi semua yang kumiliki, bahagia akan selalu
menyelimutimu, aku, dan keluarga kita nantinya. Tetaplah hidup bersamaku, untuk
melihat semua janjiku ini terpenuhi untukmu”
“Eunso, akan selalu bersama oppa”
Kyuhyun menjulurkan jari kelingkinganya kea rah Eunso. “Janji padaku,”
ujarnya.
Eunso tersenyum. Mengaitkan jari kelingkingnya di jari Kyuhyun. Tanda ia
setuju untuk selalu berada, menjadi bagian dari hidup Kyuhyun. Sejauh ini, ia tidak
pernah merasa keberatan untuk apapun. Secara naluri, ia mematuhi pria yang
menjadi pemilik hatinya utuh. Kyuhyun mengusap pipi Eunso, sembari berujar.
“Janji”
“Aku ingin melihatmu terus berada di dekatku, bahkan jika aku bisa, aku
ingin membeli isi dunia ini agar kau selalu tersenyum”
“Bahkan jika Eunso memiliki dunia dan seisinya, tanpa ada oppa di dalamnya,
kebahagiaan juga tak akan pernah menghampiri hidupku”
“Terimakasih, poros hidupku”
289
290
290
291
291
292
Well... ini jelas pertanyaan bodoh yang mampu ia simpulkan malam ini.
Janhyuk kembali menghela napas, lebih pelan dibanding sebelumnya. Jika dipikir-
pikir, itu memang pertanyaan retoris yang mampu ia jawab sendiri tanpa harus
bertanya lebih jauh.
Kyuhyun, sekalipun pria itu tidak memiliki apapun. Hyung akan tetap
mendapatkan Eunso lebih jauh dibandingkan apapun. Dan sedang diriku, bahkan
jika dunia dan isinya berada dalam genggamanku sekalipun, Eunso tak pernah bisa
bersanding denganku. Karena..., terlepas dari apa yang Kyuhyun lakukan, ia
mengantongi hati Eunso. Sedang kau, ya Tuhan siapa dirimu Janhyuk-a.
Janhyuk melangkah mundur.
Well... perasaannya tidak salah, entah akan berakhir bahagia atau
menyakitkan seperti sekarang, cintanya untuk Eunso tak pernah menyalahi aturan,
selagi wanita itu tetap dalam perasaan bahagia, baginya sudah cukup. Karena, dari
prespektifnya, definisi mencintai sesungguhnya bukan bagaimana cara untuk saling
memiliki, tapi bagaimana cara untuk mempertahankan rasa bahagaia tetap ada pada
Eunso, terlepas wanita itu akan jatuh di tangan siapa. Itu prinspipnya, dan jika ia
mau mengakui kekalahannya.
Kakinya berjalan menyusui jalan setapak yang menjadi saksi dimana cintanya
tumbuh. Jalan dimana ia bisa menyaksikan senyum kembang manis Eunso saat
keluar rumah. Well... jalan kenangan indah yang menyesakkan. Lama ia berjalan,
sampai akhirnya sampai pada tempat awal di menjadi pengawal seorang Eunso.
Janhyuk menghembus napas pelan sembari duduk di atas batu peraduannya. Ada
begitu banyak warnah yang ia taburkan, dan secepat ini warna itu akan memudar.
Awalnya, dengan ia mengulur penemuannya pada Kyuhyun, ia pikir akan ada banyak
kisah yang bisa ia gapai bersama Eunso. Menabur benih cinta selagi Kyuhyun sibuk
dalam pencariannya. Well... bagai mengukir di atas air, usahanya juga tak akan
berhasil.
292
293
®®®
Kyuhyun side’s
Waktu tidak pernah membuatku kebal terhadap kesempurnaan wajahnya,
dan aku yakin tidak akan pernah menganggap sepele aspek apa pun yang ada dalam
dirinya. Mataku menyusuri garis-garis wajahnya yang putih kemerahan, rahang
perseginya yang lembut, lekuk bibir tipisnya, bibir itu sekarang menekuk
293
294
294
295
295
296
296
297
yang mampu menghalangi gairahku. Terlepas dari apa yang baru dan akan
kulakukan, Eunso tetap akan menjadi bagian dari tubuhku. Dan itu adalah bentuk
hukuman baru yang sedikit lebih berat daripada hukuman sebelumnya yang kudapat
karena menghilang selama beberapa bulan tanpa penjelasan dan satu kejadian
ketika aku menelantarkannya.
Aku menyerah, tak mampu lagi menyelamatkan Eunso dari sisi kengerianku
yang lain. Dan memutuskan untuk menghidangkannya, sebagai menu utamaku.
“Oppa. Kenapa?”
“Entahlah” jawabku, berusaha memfokuskan pikiran sementara tanpa saja
nada suaranya mengacaubalaukan pikiranku. Kuletakkan tanganku di atas tangannya
yang memegang tengkukku.
“Lepaskan aku” titah Eunso.
“Kenapa harus dilepas, hum?” tanyaku acuh. Analoginya, jika memang itu
harus kuanalogikan menjadi hal yang lebih sepele. Permintaan Eunso justru
terdengar seperti angin lalu tanpa perhatian. Dan satu yang dapat kukenali jika dia
adalah benar-benar Eunso, sesuatu benar tidak bisa kupingkiri bahwa intensitas
berkicau di saat-saat seperti ini, hanya ia yang bisa melakukannya.
“Oppa...” ulang Eunso.
“Ada apa?”
“Oppa ingin apa?”
“Kau jelas tahu mauku apa. Kenapa harus bertanya?”
Eunso terkesiap. Mencoba meraba-raba alur pembicaraanku yang kian
merucut tajam.
“Ini masih sore”
“Justru karena sore, malam perutmu akan terasa kram” timpalku.
Demi apapun, sesuatu seperti mengendalikan jiwaku. Atau kebanyakan pria
memang mempunyai sisi lain untuk ia pakai dalam hal-hal wajar tapi justru dianggap
297
298
tabu oleh kebanyakan perempuan. Aku benar, dan sisi jiwaku yang lain harus
meminta maaf untuk sisi jiwa yang lain karena telah rancu dalam mengartikan segala
hal tentang Eunso. Karena telah bernapsu bahkan dalam keadaan tertutup atau
tanpa rangsangan sekalipun, aku tetap bergairah hebat. Aku mungkin salah, tapi
tidak juga bisa dikatakan sepenuhnya bersalah karena hadirnya Eunso. Well..., ini
lebih kusebut dengan pembenaran atas tindakku yang kelewat menyimpang.
“Eunso-ya”
“Ya—”
“Well..., kuharap. Kau mampu mengerti apa yang sedang kupikirkan”
Kurasa, ekspresi dari alam bawah sadarku menekan hebat hingga mengubur
segala rasa malu yang sempat hadir memperingatiku. Melihat Eunso seperti ini,
benar-benar membuatku mendamba sebuah pelepasan.
Eunso mengernyit sesaat, bimbang untuk mengiyakan.
“Aku menginginkanmu”
“Apakah tidak apa-apa? Maksud Eunso, apakah tidak apa-apa jika Eunso
melakukannya dengan oppa seperti dulu?”
“Tidak apa-apa. Kau milikku, jadi tidak apa-apa” ucapku tidak sedang
berusaha memonopoli Eunso.
“Tapi kita belum menikah dan lagipula Eunso sedang hamil”
“Sayang. Dia akan baik-baik saja. Trust me”
Come on Eunso. Cukup katakana iya untukku atau diammu adalah bentuk
dari penyerahan dirimu. Well... berbicara mengenai norma, ujaranku jelas
menyimpang jika harus kembali beradu didalam Eunso diluar hubungan pernikahan
yang seharusnya. Namun jika dilihat dari sisi perasaanku, ujaranku justru bukan hal
yang mampu ditangguhkan oleh apapun. Toh. Sebelum ini, terlepas dari
pengetahuanku, kami sudah melakukannya berulang kali. Lalu, kenapa hal ini harus
dipertimbangkan lebih lanjut?
298
299
299
300
begitu sulit karena desakan nada lain yang memaksanya berhenti. Dalam kondisi
apapun, aku benar-benar tidak bisa merasa bahwa ada kenikmatan lain selain apa
yang ada dalam dirinya.
“Eunso, oppa akan memasukimu”
“Oo... sekarang?”
“Ya”
®®®
Dalam naungan gelap, aku menatap luas bagaimana keadaan ini bisa
terbentuk dalam fase yang cukup lama. Rumah Eunso, nyatanya lebih mirip seperti
miniatur dari bangunan yang sempat dulu ku tinggali. Hamparan bunga, atau
sesuatunya yang memang bernuansa hijau seperti warna kesukaannya. Well..., ada
banyak kesamaan memang, tapi bukan berarti kenyamanan keduanya dapat
digeneralisasikan dengan gamblang. Tempat ini mungkin jauh dari reputasiku yang
melejit, bahkan secuilpun tak mampu menggambarkan bagaimana sosok sepertiku.
But..., bukan itu poinnya. Lambat laun aku mulai menyadari hingga ingin sekali
menukarnya dengan apapun supaya sesuatu yang membuat tempat ini nyaman bisa
kubeli.
Eunso, wanita yang bahkan tidak pernah kumimpikan sedikitpun pernah
hadir dalam hidupku, nyatanya, mampu membuatku merubah jalur hidupku. Tak
seorangpun bisa membuatku jatuh hingga seperti ini. Tak seorangpun mampu
membuatku merasa bersalah atas kesalahan yang memang pernah kulakukan. Atau
merasa kehilangan yang bisa begitu menyesakkan karena kehilangan. Tapi Eunso,
keajaiban benar melingkupinya hingga mampu meruntuhkan pertahananku yang
sekeras batu. Aku tidak mengatakan Eunso merubahku menjadi baik, tapi setidaknya
kehidupanku menjadi lebih baik. Jujur, untuk masa laluku sebelum ini. Aku tidak
pernah menyesal karena terlalu menyimpang, well..., dengan kondisiku yang baik-
baik saja, takdir tentu tidak akan menggiring Eunso masuk dalam kehidupanku.
300
301
301
302
Mataku menyapu ke arah jam, pukul tiga pagi dan rasanya ini memang terlalu pagi
untukku terjaga. Pandanganku beralih, tepat pada beberapa kain yang berserakan di
lantai. Aku tersenyum simpul sembari memandanganya miris. Lama aku
membayangkan tak pernah lagi ada suara robekan di sela-sela desahan Eunso.
But..., semalam adalah saksi panjang bagaimana suara itu kembali terdengar
riuh dalam telingaku. Dan mungkin itu juga menjadi gerbang pembuka, awal
terbentuknya hubunganku dengan Eunso yang sebenarnya. Aku menemukan sosok
lain dalam diriku saat memasukinya dengan penuh kehati-hatian, well... rasanya
seperti saat dimana kita melakukannya pertama kali. Tapi ketika aku mulai
menggagahinya, aku dipaksa mengakui bahwa jiwaku yang lain kembali
menguasaiku brutal. Kupikir, dengan tempat yang sekecil ini, pergerakanku akan
sedikit terhambat atau terganggu karena alasnya yang keras. Tapi, tebakanku
melenceng jauh, aku cenderung nyaman tanpa harus terusik oleh apapun. Entah itu
karena ruangannya yang sempit ataupun kasurnya yang sekeras batu. Aku masih
begitu menikmatinya. Well..., sudah kubilang. Kenikmatan Eunso mampu
membuatku lupa akan keadaan sekitar, bahkan jika kami harus bercinta di atas meja
dapurpun aku masih tetap merasa dimabukkan.
Aku kembali menatap Eunso seolah kegiatan ini tak pernah membosankanku
dan tersenyum kemudian. Aku sudah menghafal dan menyamakan semua ceritaku
dengannya. Aku mencondongkan tubuh dan mengecup pipinya dengan lembut,
“Aku mencintaimu Eunso”
®®®
Paginya, aku mulai menyusun berbagai strategi tentang cara membuat Eunso
mau kembali. Ini mungkin sulit, terlebih untuk beberapa orang yang sudah
mengenalnya dekat. “Selamat pagi, oppa”
“Oo... selamat pagi. Bagaimana tidurmu?”
“Baik, lebih baik dari sebelumnya”
302
303
303
304
304
305
Eunso tertawa dan aku terhanyut masuk dalam pesonannya yang kelewat
sempurna. Aku terang-terangan mengatakannya, bahwa Eunso memang ajaib.
“Mengapa memandangiku seperti itu?”
Menggairahkan.
“Jujur saja, Eunso jelek sekali, ya?”
Aku mundur beberapa senti dan mengerucutkan bibir.
“Sejelek itukah?” beonya.
“Tidak, tidak Eunso. Sebenarnya...” aku menunda berusaha keras mencari
kata yang tepat. “Kau terlihat... seksi”
Eunso tertawa keras-keras. “Yang benar saja”
“Seksi sekali, sungguh”
“Daripada seksi, Eunso justru merasa sangat gendut”
“Pegang ini sayang, kalau kau masih tidak bisa percaya atas ucapanku. Ia
berdiri”
“OPPA!”
Aku mendesah dan membungkuk ke arah Eunso. Menengadahkan wajahnya
untuk memberinya ciuman kecil, tapi reaksi Eunso benar-benar membuatku kaget,
ia mendekapku erat-erat, menarikku ke dadanya dan menciumku dengan sangat
antusias seperti apa yang kulakukan semalam tadi. Dan dalam sekejap, dirinya sudah
megap-megap kehabisan napas.
Eunso tertawa pelan, menertawakan sesuatu, kemudian melepasku.
“Eunso”
“Hum”
“Besok... kita kembali ke Seoul ya?” tawarku tiba-tiba.
Eunso side’s
“Besok... kita kembali ke Seoul ya?”
305
306
Aku terdiam cukup lama merasa tidak siap untuk perubahan atmosfer yang
begitu ketara. Di barat laut kota Seoul, sebuah kota kecil berdiri di bawah langit yang
nyaris jauh dari hiruk pikuk suasana kota, nyaris selalu tertutup awan. Di kota ini,
hujan turun lebih sering dibandingkan tempat lainnya di Korea Selatan. Dari kota
inilah, dan dari bayangannya yang kelam dan kental, aku melarikan diri bersama
Chocho ketika badai menerjang kehidupanku tanpa ampun. Di kota inilah aku telah
dipaksa menghabiskan sisa hidupku untuk hidup tanpa harus bergantung pada
perasaanku.
Ke Myeongdong-lah, aku mengasingkan diri, keputusan yang kuambil dengan
ketakutan yang amat sangat. Bagaimanapun juga dulu, usiaku masih begitu muda.
Dengan rasa cintaku yang besar, aku benci kota ini dengan segala pesakitan yang
kumiliki. Well..., itu dulu. Sekarang, aku mencintai Myeongdong. Aku mencintai
suasana dan orangnya yang ramah. Aku mencintai kotanya yang tenang dan
menenangkan. Lalu..., bukankah akan disayangkan sekali jika harus meninggalkan
tempat sedamai ini? Dan terlepas dari itu, bahkan aku benar-benar belum siap untuk
berada di Seoul dan menyapa beberapa orang disana. Well..., itu menyesakkanku.
“Eunso.... ada yang kau pikirkan hum?”
“Tidakkah kita untuk tetap tinggal disini?” tanyaku mencoba berdiskusi meski
aku yakin, dengan pribadinya.... tempat sekecil ini tidak akan pernah cocok untuk
Kyuhyun. “Kau tidak perlu melakukan ini”
“Tapi Eunso suka dengan tempat ini”
“Oppa rasa, kita bisa berkunjung kesini kapanpun kau mau” tawar Kyuhyun.
Aku diam, jika alasan nyaman tidak mampu membuatnya percaya padaku,
maka... yang memang harus kulakukan adalah mencari alasan lain yang bisa
menundaku lebih lama. Sejatinya, dan jika diharuskan untuk jujur, selain karena
Myeongdong terlalu menenangkan, ekspresi eomma, appa, Daehyun, bahkan Eunbi
eonni akan begitu membebani perasaanku. Tentang alasan yang harus kulontarkan
306
307
tanpa harus membuat semuanya menjadi runyam. Well..., entah apa yang telah
Kyuhyun lakukan. Informasinya tak pernah sampai padaku seujung jaripun.
Kyuhyun mendesah pelan, banyak kurasa, sesuatu dalam dirinya membaca
maksud lain yang kusembunyikan. Aku menahan diri untuk tidak ikut mendesah. Aku
hanya akan menyingung perasaannnya kalau mengatakan yang sebenarnya— walau
itu tidak penting, hanya beberapa derajat lebih buruk daripada yang lainnya.
“Well..., maukah kau berbagi pikiranmu denganku?”
Aku terkikik. “Kedengarannya boleh juga”
“Katakan, apa yang sebenarnya kau pikirkan sayang? Aku benar tidak bisa
membaca pikiranmu sekarang”
“Eunso hanya ingin di sini”
“Ya. Dengan alasan apa kau bisa menguatkan keinginanmu ini?”
“Hmm....” aku pasti susah menahan diri untuk tidak membuka rahasiaku, tapi
gagal. “Sebenarnya, Eunso hanya belum siap. Terlepas dengan pesona Myeongdong,
Eunso benar-benar belum siap”
“Betul kan” ucap Kyuhyun seraya tersenyum. “Semua pasti bisa
dikompromikan”
“Dalam waktu dekat ini, kurasa itu akan sulit”
“Tidakkah kau lihat ada aku disini? Sesulit apapun itu, well..., tidak ada hal
yang perlu kau khawatirkan Eunso. Tak ada seorangpun yang bisa mengusikmu”
Hidupku memang bagaikan permainan ular tangga sekarang ini— apakah aku
akan tangga keberuntungan atau dapat ular saat dadu berikutnya dilemparkan?
Bagaimana kalau benar-benar terjadi sesuatu pada diriku nanti? Rasanya aku lebih
dari sekedar picik jika aku membiarkan Kyuhyun merasa bersalah atas apa yang
dikatakan tadi.
“Oppa,...”
“Apa yang kau takutkan? Kita bisa melewatinya bersama”
307
308
Degub jantungku keras, empat kata yang diucapkan orang paling sempurna
di seantero planet ini benar-benar membuatku merasa hidup kembali. Aku langsung
lupa akan rahasiaku, aku bahkan lupa namaku sendiri. Kyuhyun tidak memberiku
kesempatan untuk menyimpan keluh kesahku sendirian. Bibirnya yang tebal sesekali
bergerak kecil, melihat itu, tak ada pengalaman lain dalam hidupku yang setara
dengan indahnya merasakan bibir Kyuhyun yang dingin, sekeras marmer, tapi selalu
sangat lembut, bergerak bersamaku. “Aku bisa merasai bibirmu. Nanti, please
Eunso. Jangan membuatku menduga-duga”
“Bag...” Kyuhyun menyela cepat. “Pipimu merona, dengan ada aku
dihadapanmu, memang apalagi hal yang mampu membuatmu seperti ini hum?”
“Oppa...” pilihan terakhir ada ditanganku, sebelum pikiran kotor kembali
mempermalukan diriku sendiri.
“Ya. Aku menunggumu”
“Untuk kehidupan setelah ini, apakah Seoul masih benar-benar menyisakkan
ruang untukku? Oppa memang ada, tapi, apakah yang lainnya juga berpikiran sama?
Dalam kondisiku sekarang, aku membuat api tanpa tahu bagaimana cara
memadamkannya. Karena rasa egois dan sisi pengecutku, aku meninggalkan
semuanya tanpa peduli keadaan macam apa yang kutinggalkan. Lalu, dengan kondisi
semacam ini, bagaimana mukaku seharusnya jika harus berhadapan dengan
keluargaku? Terlebih eonni....” aku berhenti sejenak.
“Bagaimanapun, seberapa jatuh cintanya aku padamu. Eunso tetap tidak bisa
menampik kenyataan bahwa sebelum ini, oppa bukanlah milikku. Lebih lagi bukan
milik orang lain, melainkan milik saudariku sendiri. Apakah tidak aneh jika kita
sekarang bersama? Bagaimana tanggapan orang-orang diluar sana? Jujur, spekulasi-
spekulasi ini membuat Eunso takut”
“Eunso, bisakah kau percaya padaku? Tentang hal-hal yang membuatmu
kalut, bisakah kau mempercayakannya padaku?”
308
309
309
310
310
311
Meski berjuang keras untuk tidak memikirkan apapun, aku juga tidak
berjuang untuk melupakan. Aku khawatir— di larut malam saat kelelahan karena
kurang tidur mematahkan pertahananku— semua itu berangsur-angsur lenyap.
Bahwa pikiranku berlubang-lubang seperti saringan. Aku tidak bisa memikirkannya
lebih jauh, well..., ini akan berimbas pada emosiku yang naik turun nantinya.
Pokoknya, selagi ada Kyuhun, yakinku akan baik-baik saja.
Tapi kalau aku kembali pindah ke Seoul, atau ke tempat lain, sejujurnya,
seharusnya itu bukan masalah, semua hanya imbas dari ketakutanku belaka.
“Nyonya...”
“Oo... Janhyuk” aku kaget dalam lamunanku. Alisku mengerut menyadari
nada dan jenis panggilan yang ia sematkan padaku. Terlalu asing untuk kudengar,
tapi aku juga refleks mengiyakan. Dalam pandanganku, sesuatu yang berbeda telah
ada pada dirinya. Pakaiannya formal, lengkap dengan kemeja hitam, jauh dari apa
yang selama ini kulihat. Ini, untuk ketidaktahuanku. Aku bahkan tak pernah bisa
mengenali bahwa Janhyuk bukanlah seseorang yang hadir dalam hidupku dengan
suatu kebetulan semata. Seharusnya aku lebih menyadari, dari tutur bicaranya,
seorang Janhyuk memang berbeda dari kebanyakan orang Myeongdong.
“Jangan menangis” petuahnya. Aku tertegun, menyadari wajahku telah
basah. Aku buru-buru menyela kemudian tersenyum. Dari awal aku memang kagum
atas empati dalam dirinya saat mengenali situasi. Aku melirik Jongmun yang berada
di balik kemudi mobil, rahangnya tegang, entah apa yang ia pikirkan, yang jelas...
dari reaksinya, kurasa ada sesuatu yang ia rahasiakan padaku.
“Well..., kau juga akan kembali ke Seoul?”
“Jika bos membutuhkanku, aku akan datang”
“Well..., aku tidak terlalu paham bagaimana sisem kau bekerja untuk
Kyuhyun oppa. Eunso pikir, kau akan sama seperti Jongmun yang dapat tinggal
bersama kami sesering mungkin”
311
312
312
313
seperti orang saling menjaga jarak. Well..., kurasa jika aku memang diberi
kesempatan untuk bisa bertemu dan berteman, aku ingin menjadi teman yang baik
untuk Janhyuk. Atau setidaknya meminta Kyuhyun memberikan waktu untuknya
menjadi manusia biasa.
“Kenapa memandinya begitu?” ujar Kyuhyun seraya memasangkan selfbelt
yang sempat kulupakan. “Eunso hanya penasaran...”
“Tentang?”
“Kehidupan seorang Janhyuk”
“Bagian?”
“Janhyuk, apakah ia benar-benar hidup untuk oppa? Maksud Eunso, tidak
adakah orang yang mampu membuatnya merasa hidup selain bekerja untukmu?”
“Ada”
Aku terkejut setelahnya menarik napas lega. Well..., untuk orang sebaik
Janhyuk kurasa akan sangat disayangkan jika harus hidup seorang diri.
“Siapa oppa?”
“Seseorang” jawab Kyuhyun. Aku mengangguk setuju, dari jawabannya
kurasa memang ada sesuatu yang tidak seharusnya aku ketahui. Aku tidak bertanya
lebih jauh lagi, yang terpenting, rasa penasaranku terbayar bahwa Janhyuk
memanglah manusia biasa. Terlepas dari siapa yang menjadi bunga hidupnya,
biarlah itu menjadi rahasia antara Kyuhyun dan Janhyuk.
®®®
Author side’s
Gerimis baru saja mulai saat Jongmun berbelok menuju jalanan rumah
Kyuhyun. Jongmun sama sekali tidak ragu untuk terus menemani Kyuhyun
sementara pria itu menghabiskan waktu sebentar di dunia nyata. Sesekali sudut
bibirnya tertarik naik melihat bagaimana ekspresi bahagia begitu kental melekat
pada adik sekaligus bos besarnya itu. Well..., jika ada orang yang paling bahagia
313
314
melihat Kyuhyun sekarang bisa jadi itu adalah Jongmun. Dari lamanya ia bersama,
selama delapan bulan berlalu, ialah saksi atas keterpurukan dari pria paling
berpengaruh di Korea Selatan. Darinya banyak orang ia berdayakan, dan... tidak adil
rasanya jika sumber keajaiban Korea harus merasa kehilangan hingga jiwa berasa tak
lagi dalam raganya. Lalu... disaat matahari kembali menyinari hatinya yang kelabu,
tak ada alasan baginya untuk tidak merasa bahagia.
Pun selama perjalanan, Kyuhyun tidak terlalu memerhatikan jalan yang
berkilau basah tertimpa matahari. Ia sibuk menatap seseorang sembari mengelus
beberapa bagian tubuhnya untuk menjaga Eunso tetap nyaman dalam tidur. Bahkan
dalam fokusnya, ia terus menyelipkan beberapa kata cinta, tanpa peduli bagaimana
Eunso mampu mendengar atau sekedar peduli akan keberadaan Jongmun.
Baginya... dalam pandangan matanya, meski ada ribuan orang di hadapannya, hanya
Eunso yang mampu terlihat jelas. Makan waktu kurang lebih lima jam untuk bisa
sampai dengan perjalanan normal. Jongmun sempat merasakan secercah perasaan
berharap saat menyadari bagaiamana perasaan Kyuhyun terhadap Eunso. Pokoknya
ia tidak bisa hanya diam membiarkan keduanya kembali seperti dulu. Well..., jika
Janhyuk saja bisa seberkorban itu, rasanya juga tidak adil kalau dirinya cukup
berdiam diri.
Sudah cukup kebodohan mengusik dirinya, dan sebagai upaya penebusan
yang ia gencarkan, menjaga Kyuhyun dan Eunso adalah janjinya.
Beberapa menit kemudian mereka sudah berada di jalan masuk yang
mengarah ke tempat tertentu. Matahari pudar tergantikan malam yang merudung
dingin. Lampu-lampu terang menyambut kedatangannya tepat di ujung jalan.
Well..., ini membutuhkan waktu yang lebih lama dari biasanya ia menyetir. Setelah
memarkir mobil di tempat biasa, Jongmun segera berujar, “Sudah sampai Hyun”
Ini tempat yang sama, tidak terlalu mempesona tanpa cahaya matahari,
namun tetap sangat indah dan tenang. Sekarang bukan musimnya bunga-bunga liar,
314
315
membuat permukaan jalan tertutup rumput tebal yang mengayun tertiup angin
sepoi-sepoi, bagaikan riak air di permukaan danau. “Oo... selagi aku membangunkan
Eunso, bisakah kau turun mengambilkan jaket?” pinta Kyuhyun.
“Tentu”
Temperatur menjadi turun drastis. Kyuhyun bisa merasakannya menyusup ke
dalam mobil, menembus kemeja putihnya. Penghangatpun rasanya seperti tidak
membantu. Dalam pakaian lengkapnya, pria bermarga Cho ini masih mampu
merasakan hawa yang menusuk hingga tulang betisnya.
“Sayang...”
Suarnya selembut beledu, lebih mirip drama melakonis ketimbang upaya
membangunkan orang. “Hey... kurasa sudah saatnya kau bangun” tegurnya. Ia
menunggu beberapa menit, menunggu reaksi timbal balik yang akan Eunso berikan
padanya. Bibirnya tersenyum saat ekor matanya menangkap gerakan lain dari apa
yang seharusnya Eunso lakukan. Wanita itu diam, mengerut sejenak sembari
mendekatkan tubuhnya ke arahnya. Tangannya naik memeluk leher Kyuhyun, well...,
dalam setengah sadarnya ini, alam setengah sadarnya benar-benar mencari
kehangatan disela-sela dingin yang melandanya cepat.
“Kedinginan?” tanya Kyuhyun, merangkul pundak Eunso sebelum wanita itu
sempat menjawab. Eunso mengangguk pelan di antara cerucuk lehernya seraya balik
bertanya, “Oppa, tidak?”
Kyuhyun menggeleng.
“Kau pasti demam atau sebangsanya,” gerutu Kyuhyun. Kyuhyun menyentuh
kening Eunso dengan jari-jarinya, dan kepalanya memang panas.
“Astaga Eunso, —badanmu hangat”
“Eunso baik-baik saja”
Eunso mengangkat bahu. “Sehat walafiat”
315
316
316
317
Dari sudut mataku, dapat kulihat Kyuhyun memandang ke luar kaca depan,
tangannya terangkat memberi isyarat cepat atas langkah Jongmun yang dirasanya
terkesan lambat. “Oo hyung cepatlah. Berikan sarung tanganmu” perintah Kyuhyun.
Jongmun membuka cepat pintu sebalah kanan untuk menahan angin supaya
tidak masuk, sebisa mungkin untuk tidak menerpa bagian tubuhku, meski tidak
cukup membantu kurasa setelah ini aku benar-benar harus berterimakasih. Kyuhyun
memakai sarung tangan dengan cepat, lalu menarik selimut menyelimutiku. Apapun
berlalu serba cepat hingga aku menyadari bahwa aku telah sampai pada tangga
pertama menuju kamar utama. “Eunso berat”
“Bukan masalah untukku”
“Eunso ingin tidur lagi, setelah ini” ujarku, punggungku rasanya benar mau
patah. “Ya apapun yang kau inginkan” setujunya.
“Pelan-pelan” ucap Kyuhyun saat membaringkanku di kasur.
“Apakah perlu berganti baju?”
Aku menggeleng cepat. Mataku menelisik setiap lini kamar, merasa tidak
familiar dengan keadaaan sebelumnya. But..., ini memang kamar yang sama, aku
menyadari dengan cepat, perabotannya saja yang ditata ulang. Sofa dipindahkan ke
dinding utara dan stereo diletakkan menempel ke rak CD yang memenuhi dinding—
untuk memberi tempat bagi ranjang besar yang kini mendominasi tengah-tengah
ruangan. Aku menatap Kyuhyun, pipiku memanas saat dengan biasanya ia membuka
kemeja putih sembari berjalan ke arah kamar mandi. Aku benar-benar tidak terbiasa
bahkan ketika itu berulang kali terjadi, meski mataku lebih sering ternodai, aku
selalu tidak bisa membiasakan diri.
Kyuhyun terkikik.
Aku mengalihkan pandanganku pada warna ranjang yang senada dengan
perabot lain di kamar ini. Penutupnya berwarna emas buram, sedikit lebih terang
daripada warna dinding-dindingnya, rangkanya hitam, terbuat dari besi tempa
317
318
dengan pola yang rumit. Mawar-mawar yang dibentuk dari besi melingkar-lingkar di
tiang ranjang yang tinggi dan membentuk semacam tirai yang menjuntai di atas
kepala. Dari arah dinding, dapat kulihat tembok yang sudah berganti kaca,
memantulkan oemandangan itu seperti cermin, membuatnya tampak dua kali lebih
indah untukku. Dari sana aku dapat melihat bagian luar rumah yang meneduhkan di
bawah sinar rembulan.
“Selamat datang kembali, sayang”
Aku tersenyum, menarik Kyuhyun untuk turut berbaring di sampingku. Ada
begitu banyak pertanyaan dalam benakku, rasanya ingin meledak jika tidak harus
kutanyakan detik ini juga.
“Oppa...”
“Oo... ada yang kau butuhkan?”
“Tidak” jawabku cepat tapi kembali menimpali. “Eunso hanya ingin bertanya”
“Apa yang ingin kau tanyakan hum?” aku menutup mata geli saat bibirnya
menjelajah mengecupi area wajahku. Hembusan napasnya memabukkan dan aku
benar-benar harus menjada diri jika ingin bertahan. Atau setidaknya memenangkan
pertandingan. “Dekorasinya, terlihat asing untukku”
“Oo”
“Kenapa cuma oo?”
“Panjang ceritanya”
“Eunso bisa mendengarkan”
“Baiklah... seperti yang kau lihat, banyak beberapa barang yang kubuang dan
menggantinya dengan sesuatu yang baru. Ranjang ini, kuganti seminggu setelah
kepergiannmu”
“Mengapa diganti?”
“Rasanya menyakitkan jika harus memandangnya. Disana aku memukuli
tanpa ampun, jadi—”
318
319
319
320
“Aku tahu, tapi itu tidak menghapus perasaan terimakasih yang kurasakan.
Kurasa kau perlu tahu. Seandainya ada yang bisa kulakukan untukmu, selama itu
masih dalam kekuasaanku...”
Aku mengangkat sebelah alisku yang hitam.
Kyuhyun menunduk menatapku. “Kuasanya. Aku cepat belajar, Song Eunso,
jadi aku tidak akan melakukan kesalahan yang sama dua kali. Aku akan tetap di sini
sampai kau menyuruhku pergi”
Sejenak aku terhanyut dalam tatapan mata emasnya, “Tidak akan”
Kami saling berbalas senyum, aku tidak tahu bahwa kembali ke Seoul akan
semembahagiakan ini. Kyuhyun benar, ada ia di sini, dengan kedua lengannya
memelukku. Aku sanggup menghadapi apapun juga, selama ada dia. “Ooh”
“Ada apa?” paniknya.
“Tidak apa-apa, hanya nyeri sedikit”
“Apakah sakit? Haruskah aku memanggil dokter?” aku terkekeh pelan
mendengar cerocosan Kyuhyun. Atmosfer romantis yang baru saja terbentuk
berubah kilat karena ulah seorang Cho Kyuhyun. Sedikit disayangkan memang,
tapi..., kurasa Chocho juga tak ingin ketinggalan untuk bergabung bersama kami.
Dan, satu hal yang harus aku garis bawahi, selain bisa menjadi perayu ulung,
Kyuhyun juga terlampau paranoid jika menyangkut hal-hal keselamatan anak
pertama kami. Well..., bukankah ini terlalu membahagiakanku?
“Eunso hanya kelelahan saja oppa. Tidak perlu khawatir" ucapku sembari
mengusap kerut yang menghiasi dahi Kyuhyun.
Kyuhyun memicingkan kedua matanya, merasa sangsi mendengar
jawabanku. Ia mungkin menggapku bergurau atau berbohong, tapi itu memang yang
kurasakan. Nyeriku ini bukanlah sebagai indeks ketidaknyamananku, melainkan
lebih kepada tanda ingin bergabungnya Chocho di tengah-tengah pembicaraan
kami.
320
321
321
322
“Dia mempunyai appa yang kuat. Jadi logikanya, dia pasti akan sama kuatnya
denganmu. Lagipula kalau dipikir-pikir, perjalan Myeongdong-Seoul tidak lebih
melelahkan dibanding bercinta denganmu” cerocosku tanpa sadar.
Ya Tuhan.
Butuh beberapa detik untukku bisa mengenali kata demi kata yang baru
kuucapkan. Aku menutup bibir rapat-rapat sembari mengalihkan pandangan dari
pria itu. Kemana saja asal jangan memandang Kyuhyun. Pipiku memanas menahan
malu. Ini jelas bukan gayaku, untuk apa pula aku berbicara tidak senonoh seperti itu
bahkan dalam keadaan tidak sadar sekalipun.
“Oo benarkah? Jika lelah kenapa terus saja memintanya lagi?” goda Kyuhyun.
“Eunso tidak seperti itu" serakku. Situasi ini benar-benar membuatku terjepit
antara malu dengan sikap ketidaksiapanku. Emosiku menjadi tak terkontrol bahkan
karena kesalahanku sendiri. Well..., aku seharusnya mungkin tidak bersikap seperti
ini, tapi aku juga tidak bisa menampik bahwa aku juga kurang bisa mengerti akan
hormone kehamilanku.
“Sayang. Tidak apa-apa. Maafkan oppa. Jangan menangis” bujuk Kyuhyun.
“Oppa jahat! Eun-so tidak seperti itu”
“Iyaa. Eunso tidak seperti itu. Jangan menangis, kumohon”
Aku menggigit bibirku pelan, mencoba menuruti perintah Kyuhyun dan
mensugesti bahwa aku tidak bersalah atau ucapanku tidak menimbulkan dampak
apapun. Tenggorokanku terasa sakit, bagaimanapun juga nyeri sekali menahan isak
tangisku.
“Eunso ingin tidur” ujarku.
Aku menyadari perubahan suasana dari mendebarkan hingga semua kini
terasa sangat berantakan. Aku ingin sekali tertawa jika saja keadaanku memang bisa
diajak untuk berkompromi lebih jauh. Well..., situasi seperti ini mungkin akan sangat
kurindukan nantinya. Bagaimana perubahan ekspresi Kyuhyun saat menghadapiku
322
323
sekarang, tentu bukan perkara yang mudah untuk kutemukan dilini masa
selanjutnya. Dan aku patut bersyukur atas kekonyolanku malam ini. “Baiklah, aku
akan di sini, dan menemanimu” ucap Kyuhyun lagi. “Aku juga akan menjagamu,
melindungi, membuatmu bahagia bersamaku”
Aku juga akan menjagamu, Kyuhyun.
®®®
DESEMBER
JANUARI
FEBRUARI
21 Februari, tepat di 14.32 KST, semuanya benar-benar selesai untukku,
untuk segala sesuatu yang mengusik malam-malamku. Gaun putih panjang menjadi
saksi dimana aku benar-benar menjadi bagian dari seorang Cho Kyuhyun,
menyematkan namanya dalam nama depanku sebagai pertanda bahwa statusku
sah di mata agama dan hukum negera ini. Aku tak akan meragukan apapun, karena
hal itu sudah jauh Kyuhyun lenyapkan. Tak ada hal selain ini yang bisa
membahagiakanku dan Chocho, tak ada cemas atas masa depanku bersamanya.
Well..., pernikahanku dengan Kyuhyun adalah hal yang bisa membuatku bangkit dan
berdiri tegak dengan jalan takdir yang mengikutiku. Pria itu benar, janjinya tak perlu
lagi kuragukan, bersamanya, aku benar-benar bisa menggantungkan semua angan
dan impian. Da... kedepannya, aku akan menagih janji untuk kebagiaan kami
selanjutnya.
323
324
®®®
Kyuhyun side’s
Eunso tersenyum puas saat usahanya dalam mengikat dasiku sesempurna
dengan apa yang ada dalam pikirnya. Ia mundur selangkah, berusaha memastikan
sekali lagi bahwa keahliannya ini memang patut untuk diapresiasi. Aku tersenyum
lebar, dalam sudut pandangku, apapun yang Eunso lakukan selalu terlihat menawan
untukku. “Sempurna, terima kasih sayang” sahutku.
“Sama-sama” ringisnya.
Menggemaskan, seperti biasa.
“Bagaimana Chocho? Apakah pagi ini dia baik-baik saja?”
Well..., aku melanggar janjiku sendiri dan aku benar-benar meminta maaf
tapi juga tidak menyesal atau berhenti untuk menuntaskan. Sejatinya, aku tak
pernah bisa bertahan untuk tidak menggagahi Eunso di bulan-bulan kehamilannya.
Tetapi, kurasa, itu naluriah, pun... dalam teknisnya, aku mengantongi izin dokter.
Jadi kurasa itu aman selagi aku bergerak perlahan.
“Eo. Sangat baik” ucap Eunso dengan semangat.
Aku berjalan maju dan melumat bibirnya pelan. Bahkan dari sudut mataku,
masih bisa kulihat sisa gigitanku malam tadi. Merah dan dimana-mana. Aku
menggeleng pelan seraya menutup mata, aku hanya harus fokus pada bibirnya jika
ingin pagiku berjalan normal seperti kebanyakan orang.
“Jam berapa nanti jadwal chek up mu?”
“Jam dua siang oppa. Oppa akan mengantarku lagi?”
“Tentu saja. Apa yang tidak untuk kesayanganku ini hum?” jawabku balik
bertanya. Aku menatap jauh ke dalam mata kecokelatnya yang rupawan. Darinya,
aku merasa ada hal besar yang melandaku, sebentar lagi. Sesuatu seperti
menahanku untuk tetap tinggal, entah ini firasat atau sekedar alibiku saja untuk
terus bersama Eunso, yang jelas perasaan ini terlalu kuat untuk kurasakan.
324
325
“Sayang..., bagaimana jika aku absen lagi? Aku benar-benar ingin tinggal”
“Tidak. Eunso benar-benar menolak”
Aku mengangkat bahu pelan, berusaha menjaga emosi Eunso tetap stabil
dalam kendaliku. Ini bukan masalah besar, hari ini mungkin aku bisa sedikit
mengalah, tapi kujamin setelahnya aku benar-benar akan memindahkan kantorku di
rumah. Well..., dengan kondisinya sekarang, rasanya jauh sedikit saja dengannya
seperti membunuh nyawaku sendiri karena tekanan cemas akan aba-aba
kehamilannya.
“Baiklah... baiklah”
Aku mengulurkan tangan, memegang tengkuknya, dan menempelkan
kulitnya ke kulitku. Kulitnya terasa halus sekaligus rapuh— lebih menyerupai serpih
dari pada granit— dan lebih hangat daripada yang kukira. Matanya yang berkelabut
tersenyum memandangiku, dan mustahil bagiku untuk mengalihkan pandangan.
Matanya memesona dengan cara yang ganjil dan sangat menyenangkan. Rasanya
jiwaku benar terjebak dalam remaja belasan tahun yang hanya mengenal cinta dan
rasa.
“Kalau terjadi apa-apa, hubungi aku segera”
“Tentu”
“Aku benar akan merindukanmu”
Eunso mengangguk, berusaha menahan obrolan lain yang mungkin saja bisa
lebih panjang jika ia harus menjawab. Aku merengkuh wajahnya dengan kedua
tanganku. Menciumnya lembut sebagai penyalur semangatku beberapa jam ke
depan. “Aku pergi dulu” ucapku sebelum benar-benar meninggalkan Eunso.
®®®
Benar bukan. Firasatku untuk tidak meninggalkan Eunso adalah hal yang
seharusnya ku turuti sejak awal. Bukan karena telah terjadi sesuatu, kesimpulan ini
kuambil justru lebih karena perasaanku yang tak pernah lepas dari bayang-bayang
325
326
yang bahkan aku sendiripun tak mengerti. Ketenangan menjauhi jiwaku untuk waktu
yang lama, bahkan dalam suasana rapat perusahaan semacam ini, aku tetap tidak
bisa fokus atau sekedar menghargai beberapa staff perusahaanku. Aku sesekali
melirik Henry, berharap melalui tatapanku, aku berusaha meminta supaya
semuanya selasai secepat mungkin kalau perlu..., aku benar-benar walking out dari
rapat semembosankan ini. But..., jika itu memang benar terjadi..., alasan macam apa
yang bisa kulontarkan untuk Eunso?
Aku diam sembari memainkan jari-jemariku. Memandang lurus sembari
mendengarkan sanggahan, usulan, bahkan kritikan yang bahkan terdengar seperti
buih dalam telingaku. Selama terjun dalam dunia ini, hal-hal biasa seperti sekarang
justru terasa membosankan, selain karena sudah melewatinya jauh sebelum ini,
akhir dari diskusi panjangpun sudah bisa kutebak pasti. Kakiku saling mengetuk,
seperti menghitung detik-detik bom waktu akan meledakkan ruangan ini.
“Sajangnim...”
“Oo... wae?”
“Ada panggilan untukmu” bisik Henry.
Aku segera merampas benda hitam tipis itu tanpa harus bersikap sembunyi-
sembunyi. Alisku mengerut kuat, well..., nama Song Eunso tertera jelas dimataku.
Aku menatapnya sekilas sebelum benar-benar menjawab, dari adanya sambungan
panggilanku, telepon Eunso kenapa harus masuk lewat ponsel Henry? Aku
memutuskan untuk tidak ambil pusing, ibu jariku bergerak alus menggeser warna
hijau di sebelah kiri.
“Hallo” ucapku memulai.
Aku mengerut hebat. Menarik kembali ponselku mencoba memastikan
bahwa nama yang tertera adalah Song Eunso. Sebuah nada khawatir tak pernah
kukhayalkan sekalipun melayang pada sambunganku. Dan... ini bukan Eunso. Aku
bergerak menjauh dari meja rapatku, mendadak pikiranku tertuju penuh pada suara
326
327
yang sedang menginterupsiku. Aku tak perlu meminta izin untuk apapun, terlebih
untuk peduli dengan reaksi beberapa direktur perusahaan disini.
“Ya, ahjumma” sahutku begitu menempelkan layar ponsel pada telingaku.
“Nyonya Eunso—”
“Eunso. Ada yang terjadi?” potongku cepat.
“Nyonya baru saja masuk unit gawat darurat. Air ketubannya pecah.
Sepertinya dia akan segera melahirkan” ujar Kim ahjumma turut panik dan hal itu
justru semakin membuatku kalang kabut.
Urutan kata demi katanya mampu menghentakku seolah petir yang
menyambar keras. Menghunus tepat dalam jantungku. Tubuhku melemas, bibirku
bergetar, mataku membasah. Jutaan saraf bertabrakan di otakku. Aku benar-benar
merasa gagal mengendalikan emosiku. Aku melirik Henry, ekspresinya bertanya-
tanya tapi tak juga mampu menebakku. Dan untuk pertama kalinya... aku merasa
unsur rasa menyatu dalam pikiranku.
“Aku akan datang ahjumma” putusku.
Aku berlari keluar tanpa lagi peduli dengan pandangan beberapa orang di
sana, entah aku akan kehilangan beberapa juta won atau apapun itu, yang jelas saat
ini. Aku harus ada disamping Eunso. Lagipula kekayaanku tak habis hanya karena
meninggalkan rapat tahunan seperti ini. Koridor yang biasanya senggang kulalui kini
terasa begitu jauh dan menyesakkan. Gerak kakiku semakin cepat saat mataku
menangkap keberadaan Jongmun dari arah selatan.
“Jongmun. Antar aku ke rumah sakit. Sekarang”
Syukurnya dan aku patut berterimakasih untuk keberadaan Jognmun dan
sikap cepat tanggapnya seperti biasa tanpa harus bertanya. Aku tidak ingin
mengambil risiko untuk menyetir dalam kondisi kalut dan didesak kecemasan
berlebih. Well..., pikiranku mundur memilah hal-hal yang seharusnya bisa
membuatku lebih peka untuk tetap tinggal di rumah. Tapi..., nasi sudah menjadi
327
328
bubur. Aku benar tidak memahami bahwa rasa nyeri Eunso malam tadi menjadi
pertanda besar untuk hari ini. Bisa kudengar napasku memburu semakin cepat, tapi
aku tak kuasa mengendalikannya. Aku mulai terengah-engah.
“Aku bersumpah, Eunso akan baik-baik saja,” Jongmun berjanji. “Eunso tidak
akan mengingkari janjinya untukmu, mereka... akan baik-baik saja”
Aku tidak memprotes penjelasannya. Konsentrasiku tercabik-cabik perasaan
takut. Mereka akan baik-baik saja..., begitu katanya tadi. Bangunan-bangunan
melesat begitu cepat dan kabur hingga aku tampak seperti dikelilingi air berawarna
hijau zambrud. Entah harus mencapai spidometer berapa, aku harap perjalanan ini
bisa dipercepat.
“Jongmun.” Susah payah kukeluarkan suara dari tenggorokanku yang
tercekat. “Mereka akan baik-baik saja bukan?”
“Ya. Kyuhyun, percayalah padaku”
Kupandangi dia selama satu detik yang panjang. Jongmun menatapku dan
memantapkan hatiku, kemudian mempercepat laju mobil sebisa mungkin.
“Kita sudah hampir sampai”
Otomatis, mataku memandang sekeliling. Tanganku memegang erat pintu
mobil sebisa mungkin keluar saat Jongmun sudah bisa berhenti. Aku berlari, menuju
satu-satunya ruang yang mampu membuatku merasakan serangan panik yang luar
biasa hebat. Fokusku hanya satu, bagiaman caranya aku harus segera sampai disana.
Well..., menemani Eunso adalah janjiku. Dan aku benar-benar tidak ingin merasa
terlambat meski kenyataannya seperti itu. Seraya berlari, tanganku membuka
kancing-kancing jas hitam dan menentengkan di sebelah kiri. Dan... keterlambatanku
memang memalukan saat kudapati Taehwa dan Songhae sudah berada disana lebih
dulu dariku.
“Kyuhyun”
“Eo dimana Eunso?” tanyaku cepat.
328
329
329
330
Aku menghembus napas kasar, mencoba menekan sisi emosi yang luar biasa
hebat. Aku kalut. Jeritan, teriakan dan erangan Eunso membuatku bergidik nyeri
merasakan betapa sakitnya penderitaan Eunso. Lalu di bawah sana, entah apa yang
tengah dokter lakukan, aku tidak tahu, aku tak ingin tahu apapun selain membuat
Eunso bisa sedikit tenang.
“AARGH”
Eunso menjerit tertahan merasakan kontraksi berikutnya. Tautan jari kami
semakin kuat. Dengan sisi tanganku yang lain, aku berusaha menghapus peluh-peluh
di sekitar wajahnya. Meniupkan napas di sekitar dahinya yang selalu mengerut.
"Baiklah nyonya Cho, kita akan mencoba untuk mengeluarkan bayi ini sekali
lagi, aku ingin kau mendorong dengan kuat”
Eunso menuruti perintah dokter dan mendorongnya dengan kekuatan
penuh.
“Sayang. Kau pasti bisa. Kau tidak akan menyerah, aku yakin"
“Aku mohon, satu dorongan lagi, eoh?”
Airmata jatuh melalui sisi wajah Eunso ketika bertatapan dengan mataku.
Eunso menganggukkan kepalanya, lalu mengatur napasnya agar kembali normal dan
menarik napas panjang untuk terakhir kalinya siap untuk mendorong keluar bayinya.
Aku mengusap permukaan perut Eunso dengan sayang, lalu menunduk di atasnya
berbisik mencoba berbisik.
“Cukup appa yang membuatmu menderita dan merasa penyesalan yang luar
biasa hebat. Chocho, appa mohon, keluarlah sayang. Bantu eomma dan appa”
Eunso side’s
Aku masih mengangguk satu kali, berusaha mendorongnya sekali lagi di sisa-
sisa tenagaku yang kian menipis. Tanganku menggenggam dalam balutan jemari
Kyuhyun yang hangat sembari memaksa kontraksi selagi ia datang. Pikiranku sudah
kalang kabut, perasaan cemas melandaku dengan berlebih antara ketidak becusanku
330
331
melakukan ini semua. Tubuhku bergetar seiring perasaan cemas yang menyandera
pikiranku. Nafasku mulai putus-putus dan dapat kurasa genggaman Kyuhyun
semakin mengerat, menguatkanku.
“Eunso..., tetap sadar ya?” bujuk Kyuhyun pelan.
Aku menggigit keras bibirku, tak berani menjawab atau mengiyakan
permintaannya di detik-detik kesadaranku. Kepalaku terasa begitu pening, pun
dengan cengkeramanku yang tak sekuat di awal. Aku takut, benar-benar merasa
takut dan semuanya berubah menjadi gelap gulita.
PERTAMA-tama aku sadar ada tangan-tangan hangat yang menyentuhku.
Tidak lebih dari satu pasang. Lengan-lengan memelukku, telapak tangan merengkuh
pipiku, jari-jari membelai keningku, dan jari-jari menekan pelan pergelangan
tanganku. Berikutnya aku mendengar suara-suara. Awalnya hanya berupa
gumaman, kemudian volumenya menjadi keras dan jelas, seperti orang yang
menyalakan radio.
“Siwon... sudah lima menit” suara Kyuhyun, nadanya cemas.
“Dia akan siuman kalau sudah siap, Kyuhyun”
Suara yang kuyakini milik pria bernama Siwon, terdengar lebih tenang dan
yakin. “Terlalu banyak hal yang dialaminya hari ini. Biarkan pikirannya melindungi
dirinya sendiri”
Aku ingin sekali bangun, tapi sesuatu menahanku untuk tetap berada dalam
kondisi yang semestinya. Aku merasa seperti tak terhubung dengan ragaku. Seakan-
akan terperangkap di sudut kecil dalam kepalaku, tak lagi bisa mengendalikan
apapun. Tapi aku tak bisa melakukan apa-apa untuk mencegahnya. Aku tak bisa
berpikir. Aku tidak bisa meloloskan diri dalam perangkap ketidaksadaranku.
Chocho.
Chocho.
Tidak, tidak, tidak, tidak, tidak...
331
332
332
333
terlihat begitu kaku saat menggendong Chocho, tapi aku cukup memakluminya.
Perasaan takut dan cemas yang sempat datang, kini beralih pada rasa bahagia yang
begitu menyenangkan.
Banyak hal yang mampu membuatku merasa jatuh cinta pada Kyuhyun lagi
dan lagi. Melalui hal-hal kecil, perasaanku ikut tumbuh memumuk, menjulang tinggi.
“Oppa. Eunso juga mau lihat”
“Chaa. Bersama eomma chaa” ucap Kyuhyun sembari menyerahkan Chocho
padaku. Semuanya berkumpul membentuk setengah lingkaran, menghadap kami
dengan senyum yang begitu memuaskan.
“Siapa namanya hum?” tanya appa.
“Cho Hyunno”
Well..., Hyunno. Selamat datang.
333
334
334
335
335
336
336
337
“Sudah sudah! Sudah ya. Eunso berangkat" potongnya cepat sebelum benar-
benar meninggalkan Kyuhyun.
Pria itu menarik napas pelan, mengerutkan kedua alisnya hingga saling
bertaut. Pikirannya berpacu menangkap makna dari ucapan Eunso yang kelewat
tidak masuk akal. Bagaimanapun juga, wanita itu selalu berucap tanpa
mengindahkan prosesnya di akhir. Baginya... yang penting. Ia bisa pergi secepat
mungkin tanpa harus berdebat lebih banyak dengannya. Urusan tepat atau tidak
tepat janjinya, itu adalah urusan belakang dan bodohnya Kyuhyun... selalu tertarik
untuk menghabisinya.
Eunso... kau memang menawarkan padaku seberapa aku ingin
menggaulimu. But... tidakkah itu relevan dengan aksimu di ranjang jika saja kau
selalu tertidur di saat aku masih menggerakannya begitu cepat?
Ia masih tersenyum, sulit dipercaya rasanya seseorang seperti Eunso bisa
begitu membahagiakan hatinya. Kyuhyun duduk dan menatap jam dinding lalu
memalingkan wajah menghadap box besar di ujung nakas. Mengumpulkan pundi-
pundi nyawa, lalu berdiri dan berjalan mendekati hasil peraduanya dengan Eunso.
Well... meski tidak bisa dikatakan seperti itu, tapi tetap saja, Hyunno adalah hasil
dari pergulatannya bersama Eunso dua tahun lalu. Ia adalah hasil dari cinta kasihnya
yang meliku bersama sosok yang selalu ia sebut mataharinya.
“Hyunno-ya... appa masih mengantuk. Semalam tadi appa benar-benar tidak
tidur hanya untuk menemani eommamu. Jadi... abaikan petuah eomma dan mari
kita tidur bersama Hyunno-ya”
Kyuhyun mengangkat tubuh mungil Hyunno perlahan mungkin, lalu
memindahkannya di atas ranjang yang sama dengan dirinya. Menyelimuti bayi itu
dengan selimut hijau putih yang meneduhkan. Matanya menyelami segala apa yang
ada dalam diri Hyunno, appa mungkin tidak ada disaat kau mengalami masa-masa
337
338
sulit tapi, appa janji akan selalu bersamamu, melindungimu, memberikan apapun
yang appa punya untukmu tetap bahagia.
Baru saja kedua kelopak matanya menutup, sesuatu yang lembut menepuk-
nepuk bagian pipi luarnya hingga ke area rahang, pelan dan ringan. Kyuhyun
beragumen dalam hati, mencoba menggiring opini bahwa itu adalah gerakan
alamiah yang biasa Hyunno lakukan, dan bukan gerakan tanda bahwa bayi itu
tengah lepas dari alam bawah sadarnya. But... lama ia menyadari, opininya yang
biasa tepat nyatanya sekarang jatuh tanpa bisa di debat. Matanya terbuka seiring
tepukan yang dirasa semakin keras dibarengi dengan gumaman yang sulit ia
mengerti.
“Selamat pagi” ucap Kyuhyun pada akhirnya.
Bayi itu tersenyum lebar seolah merasakan kemenangan mutlak karena
berhasil membangunkan Kyuhyun.
“Senang karena berhasil membangunkan appa?”
Kyuhyun mengecup lembut beberapa bagian wajah Hyunno. Lalu
mengangkat bayi itu tinggi-tinggi sebelum meletakkannya kembali untuk berbaring
di atas tubuhnya. Tangannya menepuk pantat sintal milik Hyunno. Wajahnya saling
bertatapan, dan pria itu yakin. Beberapa tahun kedepan, Hyunno adalah cermin
yang nyata baginya.
“Jadi apa yang akan kita lakukan sekarang hum?” tanyanya.
Bayi menggemaskan itu memasang wajah kosongnya pada Kyuhyun. Tapi
setelahnya ia tertawa hingga membuat Kyuhyun ikut tertawa dibuatnya.
“Anak appa, wajahmu lucu sekali” ucapnya sembari mengecupi kembali
seluruh wajah Hyunno dengan perasaan cinta yang tumpah ruah. Well... pria kejam
dan tak kenal ampun sepertinya juga bisa berbuat hal yang manis. Kyuhyun kembali
berpikir, pertanyaan singkat tetiba menghampirinya, seusia Hyunno, pantaskah jika
ia memiliki adik?
338
339
Lama melakukan interaksi ayah dan anak yang dirasa membosankan. Hyunno
mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Manik matanya bergerak seolah
sedang mencari sosok yang begitu ingin dilihatnya di pagi hari.
“Kau mencari eomma?” tanya Kyuhyun menangkap maksud yang tengah
bayinya tanyakan. Tawa yang sempat melekat padanya, terganti dengan ekspresi
kesedihan yang nyata. Bibirnya bergerak kecil hampir menangis tetapi sama sekali
tak ada suara yang keluar dari sana.
“Hey... tidak apa-apa. Appa bersamamu di sini”
Kyuhyun berdiri, dengan Hyunno dalam gendongannya. Pria itu tidak ingin
mengambil risiko lebih jauh untuk terus berbaring dan membuat bayinya menangis
keras. Akan menjadi neraka hebat untuknya jika harus menenangkan tangisan
Hyunno, well... sejatinya ini bukanlah keahliannya. Tubuhnya bergerak ke kanan
sesekali kekiri, mencoba mengimitasi gerakan yang biasa Eunso lakukan saat
anaknya mulai merajuk menangis. Matanya menatap jauh ke dalam bola mata
Hyunno dan menemukan sesuatu yang ia miliki juga berada disana.
“Jangan menangis ya. Bukan Hyunno saja. Appa juga merindukan eomma”
dirinya mencoba mengajak bayi berusia delapan bulan itu bercengkerama, berharap
kuat perlakuannya ini mampu membuat Hyunno lupa akan ketiadaan Eunso. Appa
mohon jangan menangis...
®®®
Akhir pekan, pemandangan pagi nampak begitu cerah, tampak berbeda dari
pagi-pagi sebelumnya yang digelayuti awan kelabu, disusul hujan rintik hingga deras.
Sinarnya yang tak begitu terik membuat banyak orang memilih untuk menghabiskan
waktunya dengan berlibur di luar atau sekedar berjalan-jalan dibanding harus
berdiam diri di dalam rumah. Semua berhambur keluar, tak terkecuali sesosok
wanita dengan pakaian kasualnya yang nampak begitu sopan. Wajahnya berseri
memancarkan rasa bahagia yang bahkan terlihat begitu berkobar. Ekspresinya itu,
339
340
membawa pesan bahwa ia adalah wanita yang paling bahagia di antara kebahagiaan
yang ada di pagi ini.
Rambutnya tak lagi panjang, membuat perawakannya terlihat jauh lebih
muda dari batas umur yang seharusnya ia dapatkan. Banyak orang salah mengira,
hingga sebagian juga tak akan percaya akan status yang tengah ia sandang sejak
beberapa tahun lamanya. Kedua tangannya saling bertautan erat, seolah memberi
tanda jika memang ada seseorang yang tengah ia tunggu. Kedua kakinya mengetuk-
ngetuk pelan sesekali kepalanya menoleh ke arah kanan lalu ke kiri secara
bergantian. Disampingnya, ada seonggok jake tebal berwarna cokelat tua, senada
dengan apa yang ia kenakan.
Menit demi menit berlalu, orang-orang mulai silih berganti dan ia masih setia
menunggu. Keterdiamnya seolah menunjukkkan pesan bahwa orang yang sedang
ditunggunya itu memanglah sosok yang pantas ditunggu kedatangannya, lebih dari
siapapun. Dan jika harus menabak, wanita itu tak akan bosan jika harus menunggu
untuk waktu yang lebih lama lagi. Dirinya bukanlah menunggu ketidakpastian diatas
ketidakpastian, sama sekali bukan. Yang ia tunggu adalah sosok malaikatnya, pemilik
hatinya. Cho Kyuhyun dan Cho Hyunno, dua laki-laki yang begitu ia prioritaskan dari
apapun. Dua sosok yang begitu ia lindungi dengan segenap daya yang ia miliki, yang
ingin selalu ia kasihi dengan seluruh raga yang mampu ia korbankan.
Helaan nafas lega terdengar begitu lembut mengalir diantara lubang
pertukaran udaranya. Bibirnya tersungging, membuat wajahnya yang cantik menjadi
semakin mempesona karena senyum indah yang baru saja ia ciptakan. Tentu bukan
sembarang ia menyuarakan, kehadiran sosok yang kini sedang berjalan kearahnya
menjadi alasan pasti senyumnya bisa begitu mengembang. Merasa, tidak ingin
memperlambat titik temu, Eunso segera berdiri menghampiri Kyuhyun dengan
langkah pasti, bahkan dengan detupan jantung yang tiada henti. Well...
penantiannya terbayar sudah.
340
341
“Hyunno... kau lihat itu? Appa rasa, baru beberapa menit tak bertemu, tapi
sepertinya eomma memang sudah sangat merindukan appa” ucap Kyuhyun yang
ditanggapi dengan gumaman khas bayi usia delapan bulan, tertawa seolah
menyetujui praduga yang sedang ayahnya lontarkan. Kyuhyun, matanya menangkap
sosok yang kini berada di hadapannya dengan pacaran cinta kasih yang tak ditutup-
tutupi.
Eunso terlihat menggemaskan tapi juga tampak menggairahkan bagi sisi
jiwanya yang bajingan. Alih-alih terlihat seperti wanita paruh baya pada umumnya,
Eunso justru lebih terlihat seperti gadis remaja. Well... kenyataan ini terkadang
memang membuatnya sebal disesekali waktu. Bagaimana tidak. Diusianya yang
sudah menginjak tigapuluh tujuh, dan lebih parah dari apapun, angka tujuh itu akan
segera terganti dengan dua angka nol yang saling menyatu. Dia tua, dan istrinya ini
justru masih begitu muda. Kenyataan yang menyesakkan, sungguh.
“Aku pasti membuatmu menunggu begitu lama” ucap Kyuhyun saat matanya
kembali beradu dengan Eunso.
Hampa, tak ada sahutan disana, meski bibir Eunso bergerak mengeluarkan
suara bukan berarti gadis ini juga menjawab ucapannya. Matanya menyipit tajam
dengan kedua alisnya yang mengerut menjadi satu.
“Oo pakai jaketnya dulu”
“Hyunnooo” teriak Eunso riang, membuat bayi bermarga Cho itu tertawa
memamerkan gusinya yang masih begitu lapang.
Bahasa tubuhnya mendekat, berusaha menyuarakan keinginannya untuk
segera berada digendongan Eunso. Kyuhyun... dadanya naik turun, napasnya
menjadi sempit, ia tidak bisa memungkiri, bahwa kenyataan Hyunno –buah
hatinya— selalu saja bisa mengalihkan dunia Eunso adalah hal yang pasti. Bayi itu
selalu bisa membuat poros fokus wanitanya berpindah begitu saja darinya tanpa
bisa ia tahan.
341
342
Acuh dengan ekspresinya yang sudah seperti atom meledak, Hyunno terus
saja mengeluarkan berbagai macam ekspresi hingga membuat Eunso jatuh semakin
dalam pada pesona yang ia pancarkan. Well... hatinya juga terpesona but... apapun
itu ia harus mengenyahkan perasaannya yang sudah hampir meleleh. Pria itu benci
saat dimana keduanya mulai menghiraukan dirinya seperti ini. Ini mungkin konyol.
Kenyataan jika dirimu justru cemburu terhadap anakmu sendiri itu memang kondisi
yang tidak masuk di akal. Well... tapi itu juga alamiah, bagi Kyuhyun.
Entah dengan alasan apapun, suasana yang seharusnya terasa menyangkan
baginya, berubah menjadi mendung merundung. Ini mungkin efek besar atas puber
keduanya yang semakin melejit hingga moodnya benar-benar naik turun. Tapi,
untungnya itupun juga tidak berlarut-larut lamanya.
Bibirnya tiba-tiba tersenyum, menggantikan raut musam yang terpatri di
wajah tampannya sejak tadi. Tangan kanannya terasa hangat dan lembut karena
genggaman seseorang, dan ia tidak perlu melihat untuk memastikan tangan siapa
yang sedang menggenggamnya aman. Hangatnya genggaman Eunso menyalur cepat
kedalam hatinya. Bagi Eunso... ini mungkin merepotkan, but... ini adalah satu-
satunya cara untuk membuat Kyuhyun berhenti merajuk. Cara bagaimana membuat
kedua cintanya tetap mendapatkan perhatiannya tanpa terkecuali.
“Hyunno-ya... kau tidak akan pernah menang dari appa” sahut Kyuhyun
kekanakan seraya mengangkat tautan tangannya tinggi ke hadapan bayi yang
bahkan untuk membedakan sendok dan garpu saja belum bisa.
Eunso menghembus napas kasar sembari memutar bola matanya jengah.
“Kenapa selalu ingin bersaing dengan Hyunno eo?”
“Tentu saja, dia selalu saja bisa membuatmu hilang fokus. Dan well... kalau
aku boleh jujur, itu adalah hal yang tidak kusukai” aku Kyuhyun dengan nada
merajuk.
342
343
“Tapi jika oppa lupa, Hyunno itu darah dagingmu. Tidak ada perebutan sengit
antara ayah dan anak” sahut Eunso, meremas tangan Kyuhyun yang berada dalam
genggamannya. Matanya memutar malas, mendengar nada permusuhan yang
keluar dari bibirnya.
“Teknisnya begitu. Tapi sayang... kau juga harus tahu, aku dan Hyunno
memiliki gender yang sama. Jadi kurasa... harga diriku akan jatuh jika aku harus
kalah dalam mendapatkan perhatianmu” jawab Kyuhyun.
“Well... jika seperti itu teknisnya. Daripada mengurusi anak kecil seperti
oppa, Eunso lebih memilih Hyunno untuk apapun. Yakan sayang” jawab Eunso acuh.
Secara teknis pula, setiap kata yang keluar dari mulut Eunso memang tidak ada yang
salah.
“Serius kau mengataiku anak kecil Eunso-ya?”
“Ya. Memangnya kenapa?” tuntut Eunso. “Dengan sikap oppa yang seperti
ini, bukankah itu sudah cukup menandakan bahwa oppa memanglah masih kekanak-
kanakan?”
“Jika aku memang kekanakan seperti apa yang dalam pikiranmu. Lalu...
bagaimana bisa aku yang masih kecil ini membuatmu merintih setiap malam?
Bagaimana bisa kau bisa merasa terpuaskan dengan milikku yang jantan eo? Dan
bahkan lalau kau ingin... aku bisa membuatmu merintih kembali. Mendesahkan
namaku bertubi-tubi tanpa henti” bisik Kyuhyun di telinga Eunso. Tangannya yang
masih berada dalam genggamannya ia gerakan untuk meraba sedikit miliknya yang
menyembul dari balik jaket yang ia kenakan.
“OPPA!!! Apa yang sedang kau bualkan eo?”
“Membicarakan kenyataan dan meluruskan opinimu yang tidak masuk akal”
“Tapi tidak dengan berkata kotor seperti itu di depan Hyunno!!” teriak Eunso
seraya menarik kembali tangannya jauh. Wajahnya memerah hebat, karena dua hal
tidak senonoh yang Kyuhyun lontarkan.
343
344
344
345
“HAHAHAHHAHAHA”
Perasaan bungah menghiasi emosi Kyuhyun secara berlebih. Rasanya ada
molekul-molekul atom yang saling menderu seperti ini. Kyuhyun mengambil Hyunno
dalam gendongannya. Mengangkat tinggi-tinggi bayi itu seraya berkata, “Hyunno.
Ayo petik bunga untuk eomma yang sedang merajuk”
“Aku bukan gadis remaja yang akan luluh dengan hal-hal semacam ini”
“Tentu saja, kau wanita dewasa yang hanya luluh dengan pergulatanku di
ranjang”
Sekali lagi, Eunso harus menahan napas. Sekali lagi.
®®®
Malam menyerbu dengan cepat, menggantikan terangnya mentari dengan
rembulannya yang meneduhkan. Suara bising silih berganti dengan kesunyian yang
perlahan mulai mendominasi. Angin sepoi berubah menjadi lebih besar membawa
udara dingin yang menembus kulit. But... sedingin apapun itu, nyatanya tidak
mampu menembus benteng pertahanan rumah Kyuhyun. Rumah itu hangat dengan
kehadiran Eunso yang seperti bara di tengah tumpukan es. Jika kau berada dalam
jarak yang cukup, kau akan terhangatkan dan jika kau mendekatinya... kau akan
sangat terpanaskan.
“Eunso-ya, Hyunno sudah selesaikah?” tanya Kyuhyun seraya merebahkan
tubuhnya di samping Eunso yang membelakanginya.
“Belum...” jawab Eunso singkat dan pelan.
Tangannya menepuk pelan punggung Hyunno. Akhir-akhir ini bayinya itu
memang sukar tidur, entah karena cuaca yang kurang baik atau karena
pertumbuhan gigi serinya yang terkadang membuat bayi usia delapan bulan menjadi
kurang nyaman. Kyuhyun memandang bayi itu dengan tatapan iba, well...
seandainya saja ia bisa menggantikan setiap rasa sakit yang Hyunno rasakan. Tentu
345
346
saat ini juga ia siap untuk merasainya, menukarkan emosinya pada bayi itu hingga
merasa baik-baik saja.
“Hyunno... ini sudah malam, kenapa belum tidur juga hum?” bisik Kyuhyun.
Matanya menatap intens gerakan bibir Hyunno yang gencar menyusu pada
Eunso. Ludahnya ia telan dengan susah payah, hingga menimbulkan nyeri yang
berlebih, Matanya menghunus tajam seolah menyalurkan sebuah pesan.
Kyuhyun menghela napasanya pelan, lambat laun dirinya dipaksa paham.
Ternyata... berbagi hal yang paling disukai adalah sesuatu yang tidak mengenakan.
Rasanya sulit bahkan dengan anakknya sendiri. Matanya menatap wajah Hyunno
dengan seksama sembari menyentuh pipi Hyunno dengan gerakan yang dibuat-buat.
Well... dalam pandangannya. Ia yakin, anaknya ini pasti akan tumbuh menjadi pria
yang tampan, dan cenderung mempengaruhi. Ia bisa saja menjadi persis seperti
dirinya, jika saja tatapan teduh milik Eunso tidak melekat dalam diri Hyunno.
Tatapan itu memberi arti beda daripada miliknya yang cenderung tajam dan
menyeramkan.
“Jangan mengganggunya, oppa membuat Hyunno semakin terjaga” protes
Eunso berbanding terbalik dengan respon yang Hyunno berikan.
Ekspresi kantuk yang hinggap di wajah Hyunno menghilang seketika
digantikan dengan tatapan penuh minat yang ia tujukan pada Kyuhyun. Well... ia
menyesali tindakannya. Merutuki gerakannya barusan, korelasinya adalah jika
Hyunno lama tidur seperti ini, bukankah waktu yang ia gunakan untuk olahraga
bersama Eunso juga akan semakin singkat? Kyuhyun meringis. Tangannya perlahan
mundur, pergulatan hatinya dibuat kuat antara pesona Hyunno yang
menggemaskan atau potongan waktu yang Eunso berikan.
“Maafkan aku” bisiknya pelan.
Kyuhyun menarik napas pelan, memilih menutup mata berusaha
mengelabuhi Hyunno dengan aksi kepura-puraannya yang berujung kesia-siaan
346
347
belaka. Pun bahkan jika Eunso tidak membangunkan, pria itu akan berakhir sampai
esok hari.
“Oppa” bangunnya pelan. Tidak benar-benar membangunkan, setidaknya ia
sudah melakukan perintah pria itu di awal. Jika benar Kyuhyun tetap terjaga, itu
berarti ada begitu banyak malam yang akan ia lewatkan begitu saja.
“Sudah tidur hum?” ucap Eunso sedikit menggoyang lengan Kyuhyun yang
berada di pinggannya.
“Tentu saja belum” sambungnya “Penantianku akan sia-sia jika aku tertidur”
ucap Kyuhyun. Matanya menatap tajam Hyunno yang sudah terlelap. Senyum hebat
mengulas wajahnya kuat.
Kyuhyun... merasa tidak tahan dengan penantiannya, dengan segera menarik
Eunso lebih dekat, memberikan space antara Hyunno supaya tidak mengusik
duninya. Kyuhyun bangkit dan memposisikan tubuhnya di atas wanita itu. Bibirnya
turun menuju puncak dada Eunso yang masih basah karena kuluman Hyunno.
Menghisapnya kuat hingga bisa merasakan nikmatnya sampai ke tulang. Rasanya
memang menjadi sedikit aneh karena air liur Hyunno yang masih menempel, tapi itu
tetap nikmat, pikirnya.
“Oppa! Sudah kukatan berapa kali? Ini milik Hyunno, jadi... berhenti.
Mengalahlah pada anakmu”
Tangannya berusaha menarik jauh kepala Kyuhyun yang berada di dadanya.
“Well... aku sudah menikmati ini sejak lama, lalu... kenapa aku harus
mengalah dengan anak kemarin sore hum?” tanya Kyuhyun seduktif.
"... opp—pah”
“Se..setidaknya tung—gu Hyunno tertidur" jawab Eunso susah payah.
Nafasnya tercekat, dadanya bergemuruh hebat. Anakmu baru saja menyusu
dan sekarang justru ada sosok lain menggantikannya dengan gerakan yang begitu
kontras dari yang pertama.
347
348
“Eunso... Hyunno sudah tertidur, kau tidak lihat itu hum?” tanya Kyuhyun
tanpa harus menatap wajah Eunso yang kini sudah memerah karena rasa malu dan
amarah yang tengah ia rasakan. Wanita itu menatap jauh langit-langit kamar,
mencoba membaca situasi macam-macam seperti ini. Sekarang dirinya paham,
menikah dengan Kyuhyun, itu sama saja menyerahkan dirinya pada pria
menyebalkan dan mesum!
Tangan Kyuhyun merayap turun mencari lubang Eunso yang menggoda.
Gerakannya lembut, membuat objek kenakalannya merasakan sensasi kupu-kupu
terbang di area perutnya yang rata. “Oo—”
Jemarinya yang lihai menyusup di antara celah-celah celana dalam Eunso
yang ketat, dan menyentuhnya ketika menemukan pintu yang tepat. Bulu-bulunya
sedikit banyak beradu dengan telapak tangannya yang kasar. “Ah— op— pah”
desahnya semakin nyaring saat dirasa telunjuk Kyuhyun mulai masuk bersamaan
dengan jari tengahnya yang panjang.
“Ekspresimu ini... benar-benar membuatku panas Eunso-ya”
“Uh—”
“Aku mulai” ucap Kyuhyun mengaba-aba. Matanya menatap Hyunno dan
Eunso secara bergantian sebelum benar-benar menggerakan jarinya cepat. Lengan
kirinya mengangkat kepala Eunso untuk bersandar disana, mengulurkan ibu jarinya,
seraya berkata, “Hisap Eunso-ya”
Kepalanya bergerak menerima jemari Kyuhyun dengan pasrah. Bahkan ia
harus menghisapnya kuat untuk memberikan sensasi nikmat pada Kyuhyun. Dan jika
ia mampu berpikir, ini bukanlah hal yang mampu membuatnya tertegun untuk hal-
hal semacam ini.
Desahan Eunso tercekat hisapannya sendiri. Di bawah sana, Kyuhyun
bergerak cepat mengoyak kemaluan Eunso dengan jemarinya. Mengeluar masukan
benda itu dengan sekuat mungkin, mencari kerapatan Eunso yang tidak pernah
348
349
mengecewakan. Matanya beradu dengan mata Eunso yang sayu, pancaran gairah
yang ia tampakkan begitu membuatnya hilang akan untuk beberapa detik, “Sialan”
“Eun—so, nikmat” rintih Kyuhyun.
“Hisap terus sayang” erangnya sekali lagi. Pandangannya merabun
merasakan gairah berlebih yang tak kunjung memulih. Sejauh menikah dengan
Eunso, rasanya ini bukanlah hal yang patut dilakukan oleh seorang pria dewasa
sepertinya. Gairahnya tak pernah layu meski hampir ia rasai tak kenal waktu.
“Opp—”
“Ya... pegang juga Eunso ya. Seperti ini uh—” tangannya memberikan pola
gerakan lembut di bawah pusat tubuhnya yang membeku. Mata Eunso mengerjap
kaget, lebih kepada kengerian yang menggelayutnya hebat, well... ini adalah kali
pertamanya ia memegang ‘alat’ sakral milik Kyuhyun. Untuk ekspresi apapun, Eunso
berhak merasainya. Keras tegang, dan terasa lebih nyata ketika benda itu berada di
genggamannya sekarang.
“Euh...”
Eunso menengadah, mencoba memperhatikan bagaimana pria itu menjadi
begitu berbeda dari biasanya. Matanya terpejam, bibirnya terbuka untuk beberapa
detik dan kembali menutup setelahnya. “Eunso, lebih cepat”
“Eo... seperti ini?”
“Ya... OH” pekik Kyuhyun keras. Matanya menilik Hyunno dan mendesah lega
sesudahnya. Daerahnya berkedut hebat merasa dilepaskan dengan sesuatu yang
baru. “Jika kutahu tanganmu senikmat ini, sejak dulu sudah kurasakan jalan keluar
saat tamu bulanmu datang”
“Maksud oppa?”
“Tidak perlu memikirkannya lebih jauh. Mau disini atau di kamar kita hum?”
tanyanya.
“Ka-mar kita oppa” jawab Eunso terbata-bata.
349
350
“Tidak disini?”
“Tii— dak. Opp—ah”
Kyuhyun tersenyum sendiri seraya memandangi wajah cantik Eunso yang
terangsang. Ia menarik lepas jemarinya dan menjilatinya hingga tak tersisa lalu
bangkit dan berdiri mengitari kasur, membiarkan Eunso sebentar meresapi
perbuatannya barusan. Tangannya menarik selimut menutupi Hyunno,
mengecupnya lembut, seraya berkata “Appa... pinjam eomma sebentar”
Malam ini ia akan kembali memasuki wanitanya, akan kembali menaburkan
benih yang kuat juga. Bagaimanapun itu, malam masih begitu panjang yang pasti
janjinya akan ada hal baru yang akan ia rasakan.
®®®
Deru nafasnya mulai memburu, bibirnya membentuk seringai nakal saat
manik retinanya melihat Eunso tengah berusaha keras menarik nafas dalam-dalam
untuk mendapatkan pasukan udara yang telah menipis. Sejak keduanya bangun,
Kyuhyun segera mengangkat Eunso ke dalam gendongannya dan membawa wanita
itu masuk ke dalam kamar mandi. Dan disanalah, mereka, saling menghimpit satu
sama lain di antara dinding-dinding kaca yang lembab. Menyalurkan panas yang
berlebih hingga membuatnya saling beruap.
“Pegangan yang erat, aku tidak ingin kau terjatuh”
“Susah”
“Pegang pundaku sayang... aku akan masuk dengan kuat dan cepat" ucap
Kyuhyun seraya membenarkan pegangan Eunso di bahunya. Nyawanya belum
sepenuhnya terkumpul tapi tubuhnya sudah dibabat habis-habisan.
Kyuhyun, perlahan kejantanannya mulai masuk, menembus lubang kecil milik
Eunso yang masih terasa sempit meski wanita ini sudah berulang kali dibobolnya
dengan gairah yang kuat, dengan gerakan yang cepat.
“Ah—oh”
350
351
Eunso mendesah pelan saat dirasa milik Kyuhyun semakin dalam memasuki
miliknya. Perasaan canggung melingkupinya meski Kyuhyun sudah berkali-kali
memasukkannya dengan gaya seperti ini. Eunso menggigit bibir bawahnya kuat,
berusaha melampiaskan kenikmatan luar biasa yang tengah melanda dirinya dengan
sebegitu hebatnya. Kyuhyun meremas dan memainkan payudaranya yang sudah
membesar dengan lihai. Tidak membiarkan kedua benda itu hanya menjadi
pemandangan indah belaka.
“Jangan... diremas op—pah... milik Hyunno” protesnya yang justru membuat
remasan itu semakin kuat. Pria itu sama sekali tidak mengindakahkan segala bentuk
protesnya. Yang ia tahu hanyalah, di saat seperti ini... tubuh Eunso adalah mutlak
miliknya tanpa terkecuali.
Tangan Kyuhyun terulur meraih putaran shower yang berada tak jauh dari
tempatnya berdiri. Hingga air hangat mulai membasahi keduanya. Memabukkan,
itulah yang Kyuhyun rasakan. Tangannya memeluk erat tubuh Eunso, menariknya
supaya lebih menempel dengan tubuh atletisnya. Satu tangannya ia gunakan untuk
meremas pantat sintal yang Eunso miliki.
“Kenapa dinyala-kan...”
“Bukankan ini menyenangkan?”
“Tapi rasanya begitu aneh. Jik...jika harus se-perti inih..." ucap Eunso payah.
Sudah bukan menjadi rahasia lagi baginya, bahwa pergumulan yang ia
lakukan tidak hanya dihiasi dengan desahan-desahan hebat milik Eunso. Kegiatan itu
ditunggangi dengat kicauan yang membuyarkan. Dan akan sangat mengganggu
nantinya jika ia terus saja meladeninya.
“Du..duuk”
Kyuhyun menghiraukan permintaan Eunso.
Pria itu memilih fokus pada gerakan miliknya yang keluar masuk dalam
lubang wanita itu. Desahan dan erangan erotis yang Eunso keluarkan sungguh
351
352
352
353
353
354
Baru saja dirinya ingin berdiri, sepasang tangan Kyuhyun segera menahannya
untuk tetap duduk tepat di samping pria itu. Wanita itu tampak was-was sekaligus
bingung, benaknya berpikiran kotor, “Biarkan ia yang kemari, Eunso”
“Eunso... hyung! Ya Tuhan. Aku benar merindukan kalian”
"Kami juga merindukan kalian. Bagaimana kabar oppa?" sahut Eunso
mencoba seantusias mungkin.
“Baik. Sangat baik setelah bertemu denganmu”
Kyuhyun memutar bola matanya jengah. Dirinya tidak bisa membantah, baik
tatapan maupun maksud hatinya, emosinya selalu meledak-ledak. Bahkan jika ia
bisa, sudah dari awal ia ingin menghabisi seluruh marga yang melekat padanya. Itu
jika hatinya memang benar-benar merasa yakin bahwa kebencian memang telah
merasukinya.
“Henry”
"I’m just kidding!”
“Well, terlepas dari kenyataannya, aku tetap tidak suka jika mulutmu merayu
Eunsoku” mata Henry mengerjap, terperanjat. “Aku tidak percaya...” gumamnya
pada dirinya sendiri.
“Hei... tidak baik bertengkar di depan Hyunno” tengah Eunso.
“Tidak tahu itu hyung, aku kan hanya menyapamu saja” belanya. Kyuhyun
memandang sekeliling, memastikan tak ada sesuatu barang yang bisa ia lemparkan
ke wajah tak berdosa ini.
“Sudah...” tengah Eunso sekali lagi. Matanya memandang Kyuhyun dengan
sedikit kedipan penuh makna, mencoba menyampaikan pesan tersirat berbahaya
melalui matanya. Well... entah apa maksudnya. Tindakan itu justru ampuh untuk
membuat Kyuhyun mengerut takut. “Well... ngomong-ngomong apa yang ada di
tanganmu itu oppa?”
“Ooo... hayo coba tebak” jahilnya.
354
355
“Tidak perlu banyak cakap, cepat katakan” ucap Kyuhyun kembali arogan.
“Eee... jangan terburu-buru. Kalau kau bisa, kenapa tidak coba untuk
menebak lebih dulu”
Eunso menggeleng pelan, enggan mencampuri lebih jauh urusan pria dewasa
di depannya ini. wanita itu memilih untuk beradu pandang dengan mata manik
Hyunno yang menenangkan seraya berkata pelan, “Meski darahnya menyatu kuat
denganmu, jangan tiru appa dan samchonmu yaa”
“Henry... aku sudah bersabar akan kedatanganmu ini, jadi kurasa ada baiknya
jika kau tidak membuatku benar ingin mencincangmu”
“OKE! Jika maumu seperti itu” diam lalu kembali melanjutkan.
“Tadaaa!!! Lihat ini baik-baik! Aku membawa dua tiket penerbangan ke
Tokyo” ucap Henry. Henry menatap seolah ada sesuatu yang harus keduanya
lakukan dengan apa yang ada di tangannya ini.
“Lalu?” ernyit Kyuhyun.
“Tentu saja untuk keberangkatanmu ke Tokyo hyung!”
“Untuk apa?”
“Ya Tuhan, serius kau menanyakan hal itu kepadaku?” ucap Henry mulai
mendramatis keadaan.
Suaranya menggelegar persis seperti kilatan petir yang menyala-nyala. Mata
Eunso mendelik, melirik ke arah Kyuhyun mencoba meminta pertanggung jawaban
atas apa yang baru saja ia lakukan. Jika dibiarkan seperti inipun tidak akan baik
untuk kesehatan telinganya. Matanya menatap Kyuhyun dengan tatapan –kau tidak
akan mendapatkanku malam ini—
“Ya ya. Maafkan aku”
“Kumaafkan”
“Jadi apa?”
“Eomma ulang tahun, jadi kuwajibkan kau harus datang bersamaku”
355
356
356
357
ia tersenyum mencemooh. “Well, karena aku sudah mendapat izinmu. Aku benar-
benar menanti kedatangan kalian” ucap Henry.
“Tentu saja”
“Kalau begitu, aku pergi dulu ya! Hyejin sudah menungguku dirumah” ujar
Henry, menciptakan daerah jangkauan sejauh mungkin. Sepeninggalannya,
kesunyian menyesapi di antara Eunso dan Kyuhyun, tidak membuat canggung tetapi
terlihat aneh saat kehangatan yang tercipta berubah menjadi kehengingan belaka.
“Aku tetap tidak ingin pergi”
“Eunso bisa pergi bersama Henry oppa, jika oppa memang benar-benar
sibuk”
“Sayang... aku tidak pergi itu berarti kau juga akan tetap tinggal bersamaku”
“Oppa...”
Ia mengulurkan tangan, ragu-ragu, matanya sarat pergumulun, dan dengan
lembut ia membelai pipi Kyuhyun dengan ujung jemarinya. Kulitnya hangat seperti
biasanya menyalurkan panas pada Kyuhyun yang dingin. “Eunso tahu... penolakan
yang oppa berikan semata-mata terbangun karena rasa khawatir yang oppa ciptakan
untukku dan Hyunno. Well... aku menghargai itu dan berucap ribuan terimakasih.
Tapi... memilih untuk tinggal di saat saudarimu menginginkan kedatanganmu juga
bukan hal yang pantas untuk dilakukan”
“Jika itu membahayakanmu, hubungan darahpun sudah tak lagi berarti
untukku” sangkalnya tetap. Entah firasatnya mencoba menguarkan bahwa, Eunso
mungkin tidak baik-baik saja sesampainya di sana.
“Aku dan Hyunno akan baik-baik saja karena dirimu. Oppa tidak akan pernah
membiarkan kami terluka barang sedikitpun dan itu adalah kesimpulan yang selalu
aku tanamkan”
Kyuhyun diam, mempertimbangkan, dan memutuskan barangkali itu tawaran
terabik yang mampu Eunso janjikan padanya. “Setuju” sahutnya.
357
358
®®®
Ketika dirinya mendarat, suhu kota Tokyo 23 derjat Celcius, langit cerah biru
tanpa awan. Makan waktu satu jam untuk terbang dari Seoul ke Tokyo. Senyum
Eunso merekah saat seluruh bagian tubuhnya merasai kehadiran jiwanya di sana.
Bibirnya tersungging sama lebarnya dengan bibir Hyunno yang berada dalam
rengkuhannya. Bahu kanannya di apit oleh rangkulan Kyuhyun erat seraya
menuntun jalannya beriringan menuju pintu keluar. Situasinya yang ramai tidak
lantas membuat wanita itu merasa berdesak-desakan dengan yang lain.
“Hyunno... sebentar lagi kita akan bertemu dengan grandma. Eomma yakin
kau pasti akan sangat senang nanti” ucap Eunso.
Perasaan senangnya tulus, ketika mengucapkan kata demi katanya. Eunso
menoleh ke arah kanan sesekali ke kiri bergantian memperhatikan setiap orang
berlalu lalang disana. Secara keseluruhan pemandangan di sini tidak jauh berbeda
dengan apa yang biasa ia lihat di Seoul, hanya saja karena ini adalah kali pertamanya
kesini, perasaan takjub menyelimuti hatinya dengan cepat. Seolah hal yang Ia
saksikan tidak pernah ia lihat sebelumnya di Seoul.
“Lelah?”
“Tidak, sama sekali tidak”
“Benarkah?”
“Iya. Sangat kuat bahkan Eunso masih bisa berlarian kesana kemari”
“Jika melayaniku di atas ranjang setelah ini... apakah masih kuat?”
“Tidak mau menjawab”
“Kuputuskan itu adalah bentuk dari persetujuanmu”
“Oo... ngomong-ngomong oppa, Henry oppa dan Hyejin?” tanya Eunso.
“Pesawatnya baru saja take-off. Tidak perlu mengkhawatirkan mereka” ucap
Kyuhyun.
358
359
359
360
360
361
berisikan ASI penuh, lalu menyodorkannya pada Hyunno. “Pelan-pelan, tidak akan
ada yang merebutnya dari Hyunno” bisik Eunso.
“Well... aku bisa saja”
“Dan aku juga tak akan membiarkan”
“Tapi sungguh Eunso, aku bisa merasai yang satunya sekarang”
“Dalam mimpimu saja tuan Cho!”
®®®
Bising terdengar seruan-seruan penuh kebahagiaan mewarnai ruang tamu
kediaman rumah keluarga Lau. Warna cat hitam putuh yang mendominasi ruangan
tersebut tidak lantas membuat obrolan mereka menjadi kaku. Well... karena
sejatinya obrolan wanita tidak akan pernah terbatas pada hal-hal sepele apalagi
pada urusan warna cat. Di sana, Eunso, Eunbi, Hyejin serta Ny. Lau yang tak ingin
kalah, turut andil dalam percakapan yang begitu mengasikkan versi mereka. Raut
dan nada bahagia tidak terlepas, seakan tak mampu membendung rasa bahagia saat
Eunso membawa seorang bayi yang begitu tampan.
“Eunbi-ya, lihatlah. Bukankah ia telihat begitu tampan seperti Kyuhyun?”
tanya bibi Lau tak mampu menutupi rasa terkejutnya. Wanita itu bahkan sesekali
melihat Kyuhyun dan Hyunno yang ada dalam pangkuannya secara bergantian.
Berusaha menemukan satu titik mendasar yang membedakan keduanya. Tapi... ia
selalu gagal.
Eunbi mengangguk keras tanpa bisa berkata lebih. “Hyunno kita memang
sangat tampan. Tapi kurasa ia lebih tampan daripada Kyuhyun oppa. Benarkan
eonni?” ucap Hyejin tak mau kalah.
“Ya... Hyejin-a! Anak kita pasti akan lebih tampan dari Hyunno! Tidak perlu
memujinya berlebih” timpal Henry dari arah dapur.
“Tentu. Tentu saja. Anakku nanti akan menjadi yang paling tampan dari
siapapun. Bahkan lebih tampan dari appanya sendiri” ucap Hyejin mengundang
361
362
gelak tawa semua orang. Sikap bar-bar yang menonjol pada dirinya seakan
membuat setara pada apa yang ada dalam diri Henry.
Sungguh tak membutuhkan waktu yang lama bagi Hyunno untuk menjadi
sosok yang begitu disayang. Terlebih ia adalah cucu pertama bagi keluarga Lau.
Kehadirannya seoalah membawa kebahagiaan yang menelusup ke dalam hati setiap
orang. Eunso tertawa pelan saat bayinya itu tertawa lebar karena candaan yang Ny.
Lau berikan. Dugaannya benar, Hyunno anaknya akan merasakan bahagia berlebih di
sini, terlepas dari bagaimana perasaan bayi besar satunya. Semuanya merasa
senang, seolah tidak ada kata lain yang menggambarkan perasaan hangat yang
menyelimuti ruang minimalis itu.
But... jika harus di telisik lebih jauh, di tengah-tengah bahagia yang
membuncah, ekspresi lain justru Kyuhyun tampilkan. Tidak ada senyum yang
mengembang sedikitpun dalam wajahnya, pun jika ada yang bertanya dirinya hanya
akan menjawab dengan singkat tanpa ingin menanggapi lebih jauh. Mata elangnya
fokus, memandang wajah Eunso tanpa harus membohongi diri sendiri. Ia pucat,
bahkan matanya sesekali tidak fokus. Well... orang lain mungkin tidak menyadari,
tapi pria itu. Tentu tidak akan salah mengenali miliknya yang begitu berharga.
“Halmoni, Eunso pergi ke kamar mandi sebentar” ucap Eunso.
“Oo” sahut Ny. Lee
Eunso membuat gerakan senormal mungkin, dan segera berlari secepatnya
ketika mencapai bilik terdekat. Perutnya tiba-tiba bergejolak hebat hingga
membuatnya merasakan mual yang sangat luar biasa parah. Melihat gelagat Eunso,
tanpa membuat Kyuhyun berpikir lebih lama, langkah kakinya beradu pasti
mengikuti Eunso tanpa harus merasa canggung karena terlihat terang-terangan
membuntuti wanita bermarga Song itu. Instingnya tak pernah salah, bahwa sesuatu
pasti telah terjadi.
Hoek... hoekk...
362
363
363
364
364
365
EPILOG
Eunso side
Aku bangun lebih cepat dari biasanya aku tersadar, semalaman tidurku
benar-benar nyenyak tanpa kegiatan rutin yang selalu menderaku. Ekor mataku
menatap ke arah Kyuhyun, memastikan bahwa pria itu masih benar beradu dengan
alam bawah sadarnya. Well... ini kenyataan yang cukup menyenangkan, karena
setidaknya dengan itu, waktu tidak banyak terbuang untukku dimandikan Kyuhyun.
Dengan merayap, aku mendekati jendela dan mengintip keluar. Satu kesimpulan
menggerayangi pola pikirku cepat, kurasa... ini adalah pagi sempurna, dari
kesempurnaan yang selalu ia tunjukkan padaku.
Desir angin pagi mulai pudar, berbagi tempat dengan sinar matahari yang
mulai menyembul di balik awan. Aku membiarkan jendela-jendela tetap tertutup,
bukan bermaksud menyalahi hasil simpulanku. Kyuhyun... biarlah tetap beradu
tanpa perlu diganggu. Sejenak, kutatap ia yang tertidur di sampingku, kemudian
bergegas turun dari tempat tidur tanpa menimbulkan hal yang mampu
menimbulkan dampak besar nantinya. Well... meski cukup beristirahat, hal itu tak
membuatku berhenti untuk tidak tergesa-gesa dalam rutinitas pagiku. Aku buru-
buru menyiapakan semuanya tanpa terkecuali. Membereskan rumah hingga tak ada
satu halpun yang dapat kulewatkan. Ini hari baik, dan sudah sepantasnya kejaiban
ini disambut dengan penuh cita.
Aku menyiapkan semua hal yang kemungkinan akan Kyuhyun dan anak-anak
butuhkan, tanpa benar-benar terlewat satupun. Sebisaku. Aku mengintip ke jendela
lagi, tapi tak ada yang berubah. Butuh waktu satu jam lamanya untuk memastikan
bahwa semuanya benar sudah selesai. Aku meluncur ke arah pintu dengan cepat,
tanpa ingin memikirkan hal lain. Bukan sekedar bahaya, bahkan neraka bisa saja
sedang menungguku. Alarmku jelas mengingatkan apapun kondisinya, bagimana
365
366
akhir alasan yang kubuat nantinya, aku harus sampai di sana sebelum Kyuhyun
bangun. Seandainya ini adalah kondisi yang ku inginkan, maka itu adalah keputusan
mutlak. Demi apapun, aku, Song Eunso, hanya ingin merasakan makna mandi yang
sebenarnya.
...Well
Kurasa takdir memang tak benar-benar selaras dengan anganku. Semua
kegelisahanku nyatanya terbayar kosong segera setelah aku melihat peringainya
yang terjaga. Bibirku terkulas canggung menyambut senyum khas pria berusia
empatpuluh dua tahun di hadapanku yang justru selalu terlihat menawan dan
menggetarkan hatiku. Well, Kyuhyun memang setua itu tapi aku masih tidak bisa
berpikir dengan jernih jika harus menatapnya lebih dari satu menit. Entah itu adalah
suatu bentuk dari kelemahanku atau sisi kelebihan yang ia miliki dalam
menjeremuskan wanita-wanita muda seusiaku. Yang jelas, aku tetap tidak bisa
menang.
"Selamat pagi sayang" ucapnya sambil tergelak.
Aku mendesah lega, ketakutan konyolku sudah tak lagi berarti. Rambut
cokelatnya sudah seperti tumpukan jerami, layak seperti orang bangun tidur pada
umumnya. Berantakan, tapi justru itu yang membuatnya terlihat lebih mempesona
lagi dan lagi untuk wanita seusiaku atau bahkan untuk gadis-gadis remaja diluaran
sana.
“Kenapa tidak membangunkanku?”
Aku berjalan mendekatinya dengan gerakan senormal mungkin sembari
memikirkan alasan tepat dari beberapa pilihan yang bisa menyelamatkanku. “Tidak
apa, kurasa oppa cukup kelelahan”
Butuh waktu dua menit lamanya untuknya merespon beberapa kata dustaku.
Dan dari sudut prespektifku yang lain, kurasa aku memang benar-benar kalah untuk
ini. Aku memilih enggan ambil pusing untuk gerakan alisnya yang mengerut seakan
366
367
tidak percaya atas alasanku yang terdengar tidak meyakinkan. “Baiklah, cium aku
kalau begitu”
“Eunso akan mandi” ucapku.
“Eo, itu lebih menyenangkan. Ayo” sahutnya cepat, bahkan tepat setelah aku
menyelesaikan kata demi katanya.
“Tapi kita hanya mandi” aku masih berusaha mengingatkan dan aku
mencoba berharap lebih bahwa ini benar-benar hanya mandi dengan definisi
membersihkan tubuh di bawah guyuran air.
“Iya, hanya mandi” ucapnya.
“Terdengar tidak meyakinkan”
“Aku berjanji, sayang”
Aku mendesah lega, setidaknya untuk tiga kata yang menjanjikanku.
Hanya mandi.
Well... seharusnya aku jauh lebih pintar untuk hal semcam ini, harusnya lagi
aku sudah sangat paham dengan dua kata paling tidak dapat kupercaya. Ungkapan
dua kata di atas nyatanya hanyalah sebuah bualan atau sekedar mitos yang ia
janjikan untuk menenangkanku. Mulutnya tidak seharusnya ku anggap serius,
karena sekarang... dia tak akan pernah melewatkan sedikitpun setiap inci dari
tubuhku. Aku menutup mata bosan saat merasakan tangannya menyabuni tubuh
bagian depanku dengan gerakan yang dibuat-buat, sesekali meremas sesuatu titik
lemahku. Dan... beberapa sudah kubilang, hanya mandi adalah kata-kata paling tak
bermakna dalam kamus hidupku. Bodohnya... aku justru selalu terjebak untuk
kesalahan yang sering kali kuperbuat.
“Ma-ndi oppa!” tegurku sedikit tersendat.
“Kita tidak sedang bergulat di area pertandingan, sayang. Jadi kenapa terus
merengek eo?” suaranya terdengar serak. Entah itu efek dari kebangun tidurannya
atau karena gairahnya yang sudah memuncak. Aku tidak bisa dan tidak cukup berani
367
368
untukku memutuskan, meski paham akan apa yang selanjutnya dilakukan, kunci dari
semua ini adalah kegiatan setelah ini. Kita akan benar-benar mandi atau hanya
sekedar mandi.
“Oh” desahku sesaat merasakan sesuatu mulai memasukiku dari arah
belakang. Sesak dan ...
Kurasa aku tak perlu melihat untuk memastikannya, instingku sudah jelas
menebak dengan sesuatu apapun itu. Kedua telapak tanganku bertumpu pada
dinding yang ada dihadapanku. Sedikit membayangkan jika dinding itu benar-benar
hidup dan mampu berbicara, mungkin ia akan memilih untuk pergi, membuang
perasaan bosan karena selalu melihatku dalam kondisi ini. Pun apalagi jika ia mampu
mendengar, telinganya mungkin panas akan desahanku yang kelewatan. Well... ini
tentu bukan suatu rahasia lagi bagiku atau Kyuhyun, kenyataan bahwa aku bukanlah
tipe gadis yang diam dan berpengalaman dalam kegiatan semacam ini adalah
sesuatu yang memalukanku. Aku tidak pernah bisa piawai, meski Kyuhyun selalu
mengajariku lihai.
“Apa yang mengganggu pikiranmu hum?” ucapnya masih terus bergerak
dengan rintik-rintik shower mulai membasahiku, meluluhkan sisa-sisa busa yang
masih membalutku.
“Tidak! Ayo, anak-anak ak-an bangun ah!” desahku.
“Masih ada waktu satu jam sampai mereka bangun” ujarnya juga
mengingatkan.
Gerakannya menusukku hingga rasanya mampu membuatku jatuh sampai
titik darah penghabisan. Panas dan dingin mencampur satu menyerbu tubuku secara
bersamaan dengan sensasi yang memabukkan kurasa. Awalnya... bercinta dalam
posisi ini akan membuatku merasa tidak nyaman. But... hebatnya Kyuhyun, dan aku
memang harus mengakui kemampuannya, ia selalu bisa membuatku tetap nyaman
dalam kondisi sekisruh apapun.
368
369
369
370
Kadar kelelahan yang menderaku juga tidak terlalu besar jika harus dibandingkan
dengan posisi menjengkelkan semacam ini.
“Tahan sebentar sayang, ini akan sangat menyenangkan” bisiknya dengan
nada sensual.
“Oppa...” tusukan Kyuhyun semakin berat menubrukku.
Mendorong keras dibawah sana hingga menimbulkan suara paduan yang
sama kerasnya.
“Duduk saja...”
“Eunso, diam” seru Kyuhyun memperingatiku.
"Eomma appa?" terdengar panggilan lembut dan keras dengan iringan
desahanku bersamaan. Mataku mengerjap sejenak, jantungku berderu hebat
menatap horor ke arah pintu dengan perasaan jauh lebih tegang dari sekedar
menghadapi Kyuhyun. Well... pintunya sudah dikunci bukan? Tamatlah, jika ini
hanya disekat penghalang tak berkunci. Aku hilang fokus, bagaimana tidak Ya Tuhan,
Hyunno didepan dan aku justru telanjang dan bercinta dengan ayahnya.
“Oppa, sepertinya Hyunno sudah bangun?” ucapku dominan bertanya
dengan susah payah.
“Eunso, tidakkah kau diam sebentar menikmati ini. Kenapa senang sekali
berkicau hum?”
“Tidak! AH!” tolakku mentah-mentah.
Tidakkah konyol jika aku harus diam dan membiarkan Hyunno merengek -
menunggu orang tuanya bercinta- didepan sana? Ya Tuhan, otakku masih sangat
waras untuk tidak meladeni ucapan Kyuhyun.
Dug. Dug... Dug.
“Ku-mohon oppa, Hyunno ada diluar. Please oppa, berhentilah" mohonku.
“Biarkan saja, Hyunno pasti akan mengerti”
“Mengerti apanya?”
370
371
371
372
Aku menggeram pelan mendengar setiap kata demi kata yang keluar dari
mulut Kyuhyun. Memfokuskan beberapa pertanyaan yang patut kucari jawabannya.
Benarkah nada itu benar-benar ia gunakan untuk menjawab putra kecilku?
“Oke appa. Hyunno akan ke kamar Hyunso” teriak Hyunno diikuti hentakan-
hentakan yang kian menjauh.
“Sudah. Aku gerakkan lebih cepat ya”
“Eunso tidak suka dengan—”
“Diamlah, aku akan segera selesai. Dan, jangan lupakan janjimu tadi”
Aku mulai menyakini, bahwa neraka dan surga memang tengah
menghampiriku secara bersamaan.
®®®
Aku mengunci pintu rumah sementara Kyuhyun dengan Hyunso dan Hyunno
berjalan ke arah mobil. Pria itu menunggu di pintu penumpang dengan ketampanan
yang tak mampu ku jabarkan lebih jauh. Aku baru menyadari bahwa ia tengah
mengenakkan sweater lengan panjang warna cokelat tua, dengan kerah putih
mengintip dibaliknya, dan jeans warna hitam pekat. Aku tertawa pelan,
menyembunyikan sekelumit kekecewan yang selalu menderaku, kenapa ia terlihat
seperti model peragaan busana sementara aku tidak?
Aku menunduk untuk memastikan bagaimana bentuk penampilanku. Dress
selutut bermotif daun dengan lengan pendek. Dress yang cantik, tapi tetap tidak
membuatku terlihat cantik. Well... sekalipun kami memakai pakaian yang sama,
penampilan yang terlihat akan selalu timpang dengan aku yang terlalu kuno
tentunya. Sehebat apapun aku dirombak, hasilnya akan selalu kalah dari Kyuhyun.
Bibirku terangkat bebas, menikah bukanlah soal menang dan kalah, tapi lebih dari
itu. Tapi... berbicara mengenai kalah dan menang, tetap saja umurku jauh lebih
muda darinya. Setidaknya aku memiliki poin yang mampu kubanggakan, kekehku
pelan.
372
373
373
374
Author side’s
Eunso mencapai ujung cahaya dan melangkah mengikuti Kyuhyun
menembus tumbuhan pakis terakhir, menuju tempat terindah yang pernah ia lihat.
Padang rumput itu kecil, melingkar sempurna, dan ditumbuhi bunga-bunga liar
keunguan, kuning, dan putih lembut. Tak jauh dari tempatnya berdiri, telinganya
mampu mendengar senandung sungai. Matahari bersinar tepat di atas mereka,
menyinari lingkaran itu dengan kabut kekuningan. Eunso berjalan pelan, melintasi
rumput halus, bunga-bunga yang melambai, serta udara hangat dan keemasan.
Benar-benar jauh dari hingar bingar kota yang membisingkan.
Ibu dari ketiga anak itu setengah membalikkan badan, berniat ingin berbagi
ini semua dengan sosok yang selalu bisa membuatnya jatuh cinta lagi dan lagi.
374
375
375
376
“Tidak hanya Hyunso dan Gyumi, kau juga bisa mengajak Daehan untuk
bermain disana” saran Kyuhyun memberitahu. Mendengar nada petuah dari
Kyuhyun, anak lelaki berusia tiga tahun itu mengangguk riang sembari menarik lepas
genggaman sang ayah dan memilih untuk berlari mendahului Kyuhyun dan Eunso.
“Lalu, kau menyukainya sayang?” ulang Kyuhyun pada Eunso sembari
tersenyum.
“Cantik” hanya dua suku kata itu yang dapat Eunso suarkan. Bahkan jika ia
bisa menciptakan kata baru yang bisa mengungkapan betapa menakjubkannya ini, ia
akan memilih kata tersebut untuk dipadukan dengan pertanyaan Kyuhyun.
“Tidak ada apa-apanya dibanding dirimu” ucap Kyuhyun seraya
menggenggam tangan Eunso yang bebas dengan luwes, tanpa ragu.
Mereka berjalan menembus bayangan pepohonan menuju teras rumah.
Rumah itu tampak abadi, elegan, dan yang pasti akan begitu nyaman untuk
ditempati. Cat warna hijau yang membalutnya begitu serasi dengan suasana yang
mengelilingi seisi rumah. Jendela dan pintu-pintunya entah merupakan struktur asli
atau hasil pemugaran, yang pasti rumah itu begitu mengagumkan bagi siapa saja
yang melihatnya. Lampu-lampu taman terselip disetiap sudut, membuat rasa
penasaran Eunso mencuat akan keindahan macam apa yang akan benda itu
tampakan di kala malam. Anak-anak sungai melintas tepat di tengah halaman
dengan palung air -sumber gemericik yang begitu khas dan menenangkan- Kyuhyun
membukakan pintu dengan pelan, mempersilahkan para malaikatnya masuk.
Bagian dalam rumah itu bahkan lebih mengejutkan lagi, lebih tak bisa
diramalkan, daripada bagian luarnya. Sangat terang, dan luas seolah rumah ini
sengaja di desain untuk menampung banyak orang. Di samping kiri, dinding yang
menghadap selatan seutuhnya berbalut kaca, hingga menampakkan beberapa tajuk
pohon dan hamparan rerumputan luas hingga ke arah sungai. Dinding-dindingnya,
langit-langitnya yang tinggi, lantainya terbuat dari kayu, dan karpet tebal, semuanya
376
377
merupakan gradasi warna hijau dan putih. Hingar bingar bahagia tak dapat
tersamarkan terkuak dari wajah Eunso. Rumah ini memang sengaja Kyuhyun bangun
untuk Eunso, sebagai hadiah ulang tahun wanitanya yang ke duapuluhenam
sekaligus menjadi tanda cintanya untuk Eunso, pusat rotasi hidupnya.
“Selamat datang, Eunso-ya” ucap Kyuhyun sembari memeluk Eunso dari
belakang. Matanya fokus ke depan, penuh dengan kehati-hatian. Tidak ingin
mengambil resiko dengan melihat mulut kecil Gyumi yang bergerak mungil
menghisap sesuatu di bawah sana.
“Hai sayang. Jangan berlari, nanti terjatuh” teriak Eunso sepenuhnya
mengabaikan sambutan yang Kyuhyun lontarkan. Pupil matanya tertuju menatap
Hyunno dan Hyunso yang tengah berlarian di area tengah itu dengan cepat, hingga
membuat hatinya nyeri karena perasaan takut akan kemungkinan-kemungkinan
yang akan terjadi nantinya. Kyuhyun memang cintanya, tapi bukan berarti seluruh
poros hidupnya ia tujukan untuk pria itu seperti dulu. Ada sesuatu yang lebih
mendominasi perhatiannya. Ya -setidaknya untuk saat ini-, ketiga buah hatinya.
“Selalu saja seperti itu” ulangnya lagi. Nafas Eunso naik turun dengan pelan,
mencoba bersabar atas segala bentuk protes yang Kyuhyun ajukan. Pria itu selalu
saja ingin menjadi yang pertama untuk Eunso, sukar berbagi dengan siapapun tapi
juga tak berniat untuk berhenti membuat saingan untuknya.
“Oppa... Jangan mulai dan... terimakasih”
Kyuhyun tertawa pelan mendengar itu, ia pun segera memegang pinggang
Eunso. Tidak marah atau tersinggung. Senyum justru mengembang lebar di sudut
wajahnya, menatap wanita itu dengan takjub. Muda dan dewasa di saat bersamaan
adalah titik yang selalu membuat Kyuhyun semakin tunduk dan takluk atas
keberadaan Eunso. Terkadang, wanita itu justru bisa menjadi jauh lebih dewasa
dibanding dirinya yang bahkan sudah sangat-sangat melebihi batas usia paruh
bayanya.
377
378
378
379
“Kau cintaku, duniaku, dan lebih dari itu, kau adalah hidupku. Sudah
sepantasnya jika Eunso menerimanya” ujar Kyuhyun mengakui betapa dirinya
membutuhkan sekaligus mendamba seorang Song Eunso. Kyuhyun meletakkan
tangannya di kedua sisi wajah Eunso dan mulai mengikis jarak yang terasa
menyesakkan. Matanya lebar dan memancarkan perasaan memiliki untuk sosok
yang selama ini ia kasih dan cintai. Akhirnya bibir mereka bersentuhan, lembut
dengan hisapan-hisapan yang keduanya ciptakan.
“Kau ingin melihat ruangan lainnya?”
“Tentu oppa” jawab Eunso cepat.
“Kamar mandi dominan cokelat, kau tahu? Aku suka itu dan rasanya semakin
membuatku semangat untuk menggagahimu disana. Kau tidak perlu malu jika harus
menatap dinding, karena aku akan membuatmu merasakan hamparan hijau yang
kau sukai di saat kau menikmati gempuranku”
Eunso enggan mendengarkan, matanya fokus melihat deliniasi hutan pinus
yang menjulang tinggi.
“Kamar Hyunno... kamar Hyunso... dan kamar Gyumi”
Kyuhyun menunjuk sembari menuntun Eunso melewati petak demi petak
tanpa terkecuali. Tidak seperti kebanyakan rumah pada umumnya, dapur itu justru
terletak di ruang tengah dengan meja panjang berukuran besar tanpa kursi.
Perabotan di sana lengkap, benar-benar memanjakan Eunso yang gemar memasak.
“Eunso menyukai desain dapurnya”
“Tentu. Semuanya aku buat sesuai impianmu. Rumah satu lantai dengan ubin
kayu, halaman rumah yang luas untukmu menanam bunga, dapur yang kau sukai,
warna hijau sesuai seleramu, semuanya tentang dirimu. Bahwa rumah bukanlah
sekedar bangunan berlindung, tapi ia adalah tempat kepulanganku” ujar Kyuhyun.
Nadanya, entah pembawaannya yang memang seperti itu atau apa, nyatanya
ucapan Kyuhyun ampuh membuat perasaan Eunso mengharu dan luluh.
379
380
“Oppa, empat ruang kosong itu untuk apa?” tanya Eunso mendadak berhenti
dan terperanjat di satu deret ruang yang belum Kyuhyun jelaskan.
Empat ruang itu melingkari ruang tengah dan berhadapan langsung dengan
kamar anak-anak sebelumnya. Kyuhyun tergelak, menertawai ekspresi Eunso yang
terlihat bingung.
“Aku tidak pernah bilang untuk berhenti di anak ketiga”
Wanita itu tertegun, alisnya terangkat. Jelas-jelas tidak percaya dengan apa
yang baru saja Kyuhyun lontarkan. Eunso tak pernah yakin ekspresi apa yang mampu
menutupi keterkejutan yang tengah melandanya.
“Oppa ingin aku hamil lagi?”
Bibir Kyuyhyun menyunggingkan senyum tipis, dan ia mengangguk.
Kemudian ia tersenyum lebar dan tipis.
Eunso side’s
Melihat Kyuhyun dibawah sinar matahari sungguh membuatku terpesona.
Aku takkan pernah terbiasa meskipun aku telah memandanginya seharian penuh.
Aku takkan pernah terbiasa dengan ini, meski kenyataannya aku telah melahirkan
tiga anak untuknya. Kulitnya putih, meski agak sedikit memerah karena
cengkeraman tangan-tangan Hyunno barusan. Urat-uratnya menyembul di sekitar
telapak tangannya hingga ke siku, menandakan betapa ia adalah sosok yang pekerja
keras, untukku. Tubuhnya ia sandarkan di balik pohon mape, dengan Gyumi -anak
ketiga kami- berada di pangkuannya.
Kausnya tersingkap dan memamerkan dada bidangnya yang lebar, terlebih
jika tangan-tangan mungil Gyumi bermain disana. Kelopak matanya yang
kecokelatan dan berbinar terus saja menantap anak-anak secara bergantian.
Manusia sempurna, dengan perangai tegas tapi lembut didalamnya. Ya, dialah
suamiku. Pria yang seharusnya menjadi kakak iparku ini, justru sekarang menjadi
380
381
pria sekaligus ayah untuk ketiga anakku. Meski ada beberapa hal yang begitu kelam,
tapi... memilikinya adalah sebuah kebahagiaan terbesar bagiku dan tak dapat
tergantikan oleh apapun.
Terkadang bibirnya bergerak-gerak, mengeja beberapa kata untuk Gyumi
yang baru berusia satu tahun. Sesekali meniupkan angin ke arah rambutnya hingga
membuat bayi perempuan itu tertawa pelan. Aku berusaha mengalihkan
pandanganku dari kesempurnaannya sebisa mungkin, tapi sering kali akupun gagal
melampauinya. Buru-buru aku menjaga ekspresiku ketika sadar Kyuhyun tengah
mengamatiku yang tengah menyimaknya penuh minat. Aku sudah sangat paham
ekspresi apa yang tengah ia tangkap dari wajahku, terkesan bodoh.
Aku beringsut mendekat, menyerah atas rasa gengsi yang menghinggapiku.
Masih dengan ekspresi malu-malu, langkah demi langkahku terukur pasti mendekati
Gyumi dan Kyuhyun, ingin menikmati udara kering bersama mereka berdua. Angin
bertiup pelan, membelai rambutku dan rerumputan yang menari-nari di sekitar
tubuh Kyuhyun dan Gyumi. Padang rumput yang awalnya sangat mengangumkan
bagiku, kini nampak pudar karena keberadaan Kyuhyun yang menawan. Tidak
mencoba melebih-lebihkan betapa mempesonanya pria itu, tapi beginilah
kenyataannya. Pria berusia empatpuluh dua tahun ini memang selalu
mengagumkan, milikku yang ingin dimiliki oleh banyak orang.
Ia tersenyum sembari menatap mataku yang sudah berada di samping
tubuhnya. Gyumi, bayi itu nampak tenang sesekali bibirnya terangkat. Mataku
mengikuti arah pandangnya, yang menatap Hyunno dan Hyunso dari kejauhan.
Matanya bergerak-gerak pelan seperti menyiratkan keinginannya untuk bergabung
dengan saudaranya yang lain. Pilihan Kyuhyun untuk memiliki halaman yang luas
rupanya bukanlah keputusan yang salah. Tempat itu bisa menjadi ruang bermain
anak-anak diluar, seperti saat ini.
“Katakan apa yang sedang kaupikirkan hum?” bisiknya.
381
382
382
383
“Oppa, jangan terlalu dekat. Gyumi melihat kita” bisikku menekan dadanya
yang kian mendekat.
“Ayolah satu menit lalu kau begitu romantis, kenapa sekarang kembali
seperti gadis polos yang biasanya” desakknya.
Kyuhyun merebahkan tubuhnya di atas rumput dengan Gyumi diatasnya.
Menatap langit biru yang membentang menaungi kami lalu kembali menatapku.
Perasaan hangat yang familiar kembali hadir menyusup relung hatiku, hangat seperti
matahari. Kyuhyun membawa tanganku ke atas dadanya, membiarkanku merasakan
talu demi talu jantungnya.
“Eunso”
“Bagiku, kurasa kau bukanlah bunga yang selalu bergantung pada matahari.
Kau adalah langit, satu-satunya tempat yang dapat menaungiku. Bukan kau yang
bergantung padaku, tapi akulah yang akan selalu bergantung akan keberadaanmu.
Dari awal akulah yang membutuhkanmu, kau bisa berdiri tanpaku, tapi aku...
sedetikpun hancur tanpa hadirmu. Dan kau harus percaya itu” untuk pertama
kalinya aku merasa begitu senang hingga rasanya ingin mati. Hampir saja aku
menangis jika saja suar yang Gyumi lontarkan kembali menarik fokusku dari
Kyuhyun.
“Pa-ppa” sesuatu menyelut diantara kami, membuat mataku seketika
membulat, membuat suasana romantis pecah menjadi kebahagiaan yang lebih
menyesakkan dada.
“Hey. Dengar oppa! Gyumi memanggil appa!” jawabku tergopoh-gopoh tidak
tenang dan terkesan ceroboh.
“Katakan sekali lagi sayang, appa aa..ppa” Kyuhyun akhirnya berbicara.
Kedua mata Kyuhyun membulat, sama terkejutnya sepertiku. Punggungnya ia
tegakkan, kemudian mengangkat Gyumi tinggi-tinggi. Matanya memandang penuh
takjub pada bayi perempuan kami.
383
384
“Pa-ppa” ulangnya lagi. Meski belum terlalu lancar dan sempurna dalam
pelafalannya, tetap saja hal itu membuat dadaku sesak. Perasaan menghangat
mengalir di sekujur nadiku, menyebar bagai percikan listrik yang mencipta luapan
bahagia dari sana. Tak ada alasan untukku menyangkal, satu per satu perkembangan
Gyumi adalah hal yang paling mengharukan bagiku. Dan kuyakin, itu juga tengah
dirasakan oleh Kyuhyun.
“Oppa, Gyumi kita sudah bisa berbicara. Ya Tuhan” ucapku terharu, benar-
benar terharu.
“Kau memang bayi ajaib” ucap Kyuhyun.
Seolah paham atas pernyataan yang baru saja Kyuhyun lontarkan, Gyumi
tertawa dan memukul-mukul pelan wajah Kyuhyun. Terlebih ketika Kyuhyun
mengangkat tubuhnya dan memutar-mutarnya lalu menciuminya dengan gemas.
Malam menyerbu dengan cepat hingga menampakan rona kegelapan dari sisi-sisi
rumah karena lampunya yang masih padam. Udara dingin mulai menghinggapi, turut
berhambur ditengah-tengah kebersamaan yang kami ciptakan.
“Anginnya besar” ucap Kyuhyun.
“Oo, oppa masuklah bersama Gyumi. Eunso akan memanggil Hyunno dan
Hyunso”
“Hyunno, Hyunso. Masuk nak, saatnya mandi” teriakku.
Kegiatan berlangsung dengan cepat tanpa dapat kusadari. Aku memandang
lembut Gyumi yang masih betah terjaga, kedua matanya menatap lebar sesekali
juga terlihat sayu karena rasa kantuk.
“Hey, oppa dan eonni sudah tetidur. Kenapa Gyumi belum tidur juga hum?”
tanyaku tanpa ada sahutan. Bibirnya enggan bergerak karena sibuk menyusu.
Mataku menerawang jauh ke dalam wajahnya yang ayu. Dari ketiga anak kami,
hanya Gyumi yang mempunyai tatapan setajam Kyuhyun. Pria itu menurunkannya
dengan sempurna tanpa cela, menampilkan sosok tegas dibalik matanya yang
384
385
berwarna sedikir biru. Menit demi menit berlalu, dan hisapan itu mulai mati rasa
kemudian berhenti bersamaan dengan lepasanya hisapan dari bibir mungilnya.
“Selamat tidur sayang, meski tatapan itu menurun padamu. Berjanjilah pada
eomma, untuk tetap meneruskan yang baik” bisikku pelan sebelum memberi
kecupan di dahi putihnya. Udara semakin dingin, menembus hingga ketulang-
tulangku. Suara decitan pohon akibat peraduannya dengan angin membuat malam
semakin sempurna. Langkah demi langkah semakin mendekatkanku dengan
Kyuhyun meski teramat pelan dan sangat pelan.
“Sayang” sapanya.
“Oppa belum tetidur?” kagetku.
“Aku tak bisa tidur tanpamu” lidahku kelu.
Aku tak bisa tidur tanpamu adalah kalimat yang bisa dianlogikan dengan dua
kata ampuh hanya mandi.
Ada alasan yang begitu besar, dan aku tahu itu. Kyuhyun mengangkat
daguku, mengamati wajahku. Perlahan-lahan ia menundukan wajahnya tepat di atas
wajahku, meletakkan pipinya untuk beradu dengan milikku yang sudah sangat-
sangat bulat. Tubuhku sama sekali tak bisa bergerak. Saat dia menyentuhku, sangat
sulit untuk memikirkan hal lain, konsentrasiku buyar.
“Kau wangi sekali” gumamnya, hidungnya meluncur ke sudut rahangku. Aku
merasakan tangannya, lebih ringan dari sayap ngengat, menyibak rambut basahku
ke belakang hingga dapat kurasa bibir tebalnya menyentuh lekukan di bawah daun
telingaku.
“Benarkah?”
“Mmm” desahku memulai. Kebiasaanku tak pernah hilang, sudah kubilang.
Mengoceh adalah kesenanganku.
“Aku mencintaimu” katanya. Itu bukanlah yang pertama kalinya ia
menyatakan cintanya padaku, dalam begitu banyak kata-kata. Tapi tetap saja
385
386
386
387
387
388
388
389
Kyuhyun berkata dengan nada suara rendah dan datar tapi masih terdengar
lembut untukku.
“Wae?”
“Ayolah sayang, uraikan jika tidak ingin aku menghisap lehermu itu”
Aku mematuhinya, melepas ikat rambutku dan mengibaskan rambutku
hingga tergerai. Selagi itu bukan permintaan yang aneh, aku akan dengan senang
hati menurutinya. Aku menghembuskan nafas pelan. Hal itu membuat tubuhku
berhadapan dengan tubuh Kyuhyun. Sungguh, sampai detik inipun aku masih sulit
untuk mempercayai semua ini. Menjadi seorang nyonya muda dari keluarga chaebol
Cho Kyuhyun adalah hal yang tak pernah terpikirkan sedikitpun oleh pikiran
bodohku.
“Eunso sayang”
“Hum” jawabku cepat.
“Ada kabar tak menyenangkan untukmu”
“Jangan membuatku cemas. Cepat katakan oppa”
“Sore nanti Henry akan kemari, well... demi kenyamaan kita bersama, kurasa
mengusir keduanya bukan ide yang buruk” opininya membuatku terkekeh.
“Dan Eunso rasa, menghargai tamu adalah ide baik jika dibandingkan dengan
ide yang kau usulkan” jawabku sembari tersenyum.
Author’side
Terdengar seruan-seruan penuh kebahagiaan mewarnai ruang tamu
kediaman Cho Kyuhyun. Sejak pertama kali Hyejin dan Eunbi menginjakkan kakinya
di rumah ini, keduanya terlihat begitu asik menggoda nona rumah atas dedikasinya
bersama sang suami dalam meneruskan keturunan. Mereka seakan tak mampu
membendung ledakan tawa ketika melihat Eunso salah tingkah atas beberapa
pertanyaan yang dirasa sangat terbuka dan tidak senonoh jika harus
389
390
390
391
391
392
“Hey oppa, Kyuhyun oppa tidak memberitahumu jika dia pandai bermain
musik?”
“Tidak” jawabnya cepat. Kedua alisnya yang tebal terangkat, heran
mendengarnya.
“Eonni, aku pinjam Gyumi dan Hyunso sebentar ya?” ucap Hyejin menyeru
dari balik pintu.
“Kenapa tidak Hyunno sekalian?”
“Hyunno dan Daehan ada didekat sungai. Aku akan membawa dua ponakan
perempuanku saja untuk membeli daging untuk pesta nanti malam. Ayo oppa!”
Selepas kepergian Henry dan Hyejin, Eunso kembali menatap instrumen
indah itu dari sudut ruangan. Warnanya hitam pekat dan terlihat mewah.
Menegaskan siapalah pemilik sebenarnya benda itu.
Flashback
Eunso side’s
“Oppa, aku ingin mendengarmu bermain piano” sahutku.
Kyuhyun menarikku bersamanya, mendudukanku di ruang kosong tepat
disampingnya. Dari sini aku bisa melihat lapisan salju yang sempurna menutupi
halaman, melapisi sisi-sisi jendela dan membuatnya menjadi putih. Hujan yang turun
kemarin telah membeku-melapisi pepohonan membentuk jarum dalam pola yang
sangat indah.
Puas menikmati pemandangan yang tiada habisnya.
“Aku tidak pernah tahu jika oppa bisa memainkan ini” ucapku.
“Jika kau ingin tahu, aku bisa melakukan apapun sayang”
“Kalau begitu, bermainlah untukku”
Matanya menatapku dalam, sebelum beralih pada tuts-tuts piano. Kemudian
jari-jarinya yang lincah mulai menekan tuts-tuts, dan ruangan itupun dipenuhi irama
yang begitu rumit, begitu kaya, dan seperti mustahil jika hanya dimainkan dengan
392
393
sepasang tangan meskipun itu adalah kenyataan yang sebenarnya. Aku merasakan
mulutku menganga terkesima karena permainan yang Kyuhyun lakukan.
Masih dengan jemarinya yang beradu dengan tuts, Kyuhyun menatapku
santai tanpa mempengaruhi setiap alunan nada yang ia ciptakan.
“Kau menyukainya?”
“T-tentu saja. Oppa seperti pianis berbakat, Yiruma”
Irama musik memelan, berubah menjadi lebih lembut, dan aku terkejut atas
peralihannya.
"Kau yang menginspirasi ini" katanya lembut. Musiknya berkembang menjadi
sesuatu yang teramat manis hingga membuatku tak sanggup berkata-kata. Pria ini
memang tak lagi muda, meski kaku dan tidak pernah bisa membaca situasi, Kyuhyun
selalu tahu bagaimanan caranya membuatku tersentuh.
Flashback end
393
394
yang kurasakan sekarang, entahlah lah. Aku benar-benar tidak tahu. Tapi, dibalik itu
semua sejujurnya ada kebahagiaan yang membuncah menyelubungi relung hatiku.
Bibirku terangkat keatas, aku harap ia laki-laki nantinya. Perutku bergejolak, oh.
Ucapan selamat datang yang sama dengan ketiga kakakmu ya?
Jantungku berdetuk kencang, suara langkah demi langkah mendekatiku
dengan pasti. Ia mengangkat tangannya yang bebas, dan menaruhnya dengan
lembut dileherku. Membuatku membungkuk diam tak bergerak, sentuhannya yang
lembut dan hangat bagai peringatan alami-peringatan yang menyuruhku untuk tidak
takut. Namun itu tak berhasil, alih-alih tenang. Aku justru merasa semakin mual. Aku
meneguk saliva dengan susah payah. Bibirku ku gigit secara bergantian untuk
mengurangi rasa gugup yang tengah mendera.
“Tidak apa-apa jika kau hamil lagi. Tidak apa-apa”
Darahku mengalir deras, dan aku berharap bisa melambatkannya. Ya Tuhan,
bagaimana pria ini tahu jika aku sedang hamil lagi?
“Oppa tahu?”
“Teknisnya begitu, aku hanya menebak”
“Kenapa begitu tepat?”
“Payudaramu membesar, ini juga” sebut Kyuhyun dengan gerakan yang
dibuat-buat sesekali meremasnya pelan.
“Sa...kit”
“Jadi kurasa, kau tidak perlu malu. Karena... aku juga tidak akan berhenti di
angka ketiga. Dan kuharap, kau siap untuk menerimanya lagi dan lagi”
“Oppa—”
“Semoga kebahagian kita, tersalurkan juga untuk Hyejin”
“Tentu, dan kurasa... sebentar lagi akan ada kabar baik juga”
“Bagaimana oppa bisa tahu?”
“Well... kusarankan supaya ia seperti dirimu”
394
395
395
396
“Ya... sayang. Aku disini, bersamamu” suaranya tegang tapi terselip nada
yang menenduhkanku disana.
“Kau bisa mendorongnya sekali lagi?” ucapnya lagi. Ingin sekali aku
menjawab iya, tapi... keadaan sungguh tak memungkinkanku. Rasa sakit semakin
mengonyak, menyebar hingga keseluruh tubuhku yang sudah begitu tak berdaya.
Aku tersedak salivaku, menangis semakin keras.
“Cintaku, jangan menangis. Jangan membuatku takut”
Itulah kata-kata terakhir yang sempat kutangkap sebelum semuanya menjadi
gelap. Itulah kata terakhir yang ku dengar pada penghujung perjuanganku.
®®®
Ketika terbangun, aku melihat cahaya putih terang. Sesuatu yang asing dan
putih memenuhi ruang disekelilingku. Dinding disebalahku tertutup tirai yang
memanjang dari atas hingga bawah. Tangan-tanganku dipenuhi dengan infus, dan
ada sesuatu direkatkan di wajahku, dibawah hidung. Aku tak bisa mengingat dengan
jelas, dan pikiranku memberontak saat mencoba mengingatnya. Separah inikah?
Tanganku terulur pelan pada perutku yang telah rata. Hey bayiku?
“Bayinya baik-baik saja. Tidak perlu khawatir” syukurlah.
“Oppa” aku menoleh dan wajahnya yang rupawan hanya berjarak beberapa
senti dariku, ia meletakkan dagunya di ujung bantal.
“Ssst...” ia menyuruhku diam.
“Sekarang semuanya baik-baik saja. Cho Sungwan baik-baik saja”
“Maafkan Eunso oppa” ucapku tulus.
Tangannya mengangkat tanganku yang bebas dari infus, menggenggamnya
lembut dalam tangannya, berhati-hati agar tidak mengenai selang-selang yang bisa
membuatku pusing. Kyuhyun mencondongkan tubuhnya perlahan, hembus nafasku
menderu cepat bahkan sebelum bibirnya menyentuh bibirku. Pria itu berjalan
menjauh, menghampiri sebuah box disana.
396
397
THE END
397