Anda di halaman 1dari 138

BAGIAN SATU

Lihatlah dengan matamu, dengan segala dayamu. Lihatlah, lidahku tidak


dicipta untuk mendusta atau sekedar dicipta hanya untuk bercanda. Peringatku
nyata, dan inilah akibat jika kau masih tak mengerti jua. Lihatlah, lihatlah sekali
lagi sekarang, hingga akhirnya kau bisa paham. Bahwa kenyataanya, bukan
aku... tapi kaulah yang membuat dirimu sengsara atas semua pesakitan yang
kuperbuat. Aku hanya mampu mengikuti alur ceritamu Eunso, dan… semuanya
tak lagi berarti, batas-batas norma sudah lengang kulalui, dan dirimu adalah
milikku sampai mati.
Aku bergerak mendekat dan menempelkan tubuh kami sementara
lenganku yang lain bergerak melingkar untuk mengunci pinggangnya. Bisikanku
kembali turun, menuju telinganya yang menggoda dan terlihat memerah seperti
bara. Kudekati ranjang berwarna putih hijau itu lalu kutarik perlahan selimut
yang menutupi sebagian tubuhnya.Usianya memang belum genap duapuluh
tahun, tapi kurasa tubuhnya sudah tumbuh dengan sangat baik. Payudaranya
besar dan ranum, begitupula pantatnya yang bulat menggiurkan. Semuanya
terbungkus dengan rapih dalam kesucian pakaian serba putihnya.
“Saj-angnim”
“Ya...” sahutku setengah terpaku.
Ekspresi ketakutan yang seharusnya membuatku iba justru berubah
menjadi rasa gairah yang begitu membara. Brengsek, bajingan keparat!
“Apa yang kau lakukan?”
“Melakukan apa yang seharusnya kulakukan. Bukankah itu adalah
pertanyaan retoris yang berhasil kau tanyakan padaku?”
“Kumohon...” mohonnya yang justru lebih terdengar seperti desahan
untukku.

1
“Berulang kali sudah aku mengingatkanmu, dan inilah akibat jika kau
menganggap perintahku sekedar delusi belaka. Aku hanya ingin kau patuh,
apakah itu terlalu susah untuk kau pahami?”
“Eu-nso minta maaf. Eunso mohon...”
“Well, aku memaafkanmu. Tapi terlambat untukmu meredam amarahku,
Song Eunso”
“Kumohon...”
Aku menyeringai mengabaikan protes setengah hatinya. Ini adalah harga
yang pantas Eunso bayar karena telah berani mengabaikanku. Tubuh mungilnya
bukanlah jaminan, tapi milikku ingin sekali merasakan. Kenyataan bahwa hanya
ada Eunso dan ranjang, keberaniannya mengabaikan perintahku, dan kenyataan
keberadaannya yang begitu mempengaruhiku. Lalu dengan tiga poin kesalahan
besarnya, bagaimana mungkin aku bisa meloloskan seorang Song Eunsodengan
mudah tanpa sedikit punishment?
Kuusap kakinya dengan gerakan naik turun, lembut lalu semakin
merambat ke atas menuju pahanya yang halus. Matanya mendelik tajam,
mengerang takut sesaat setelahkusingkap gaun tidurnya dan mulai kuremas
pantatnya.
Jujur. Sial. Dengan aku dan segala yang kumiliki, tidakkah Eunso
merasaberharga karena sangat diinginkan olehku? Tidakkah reaksi penolakan
yang ia junjung tinggi itu justru berbanding terbalik dengan apa yang
kebanyakan wanita lakukan?Well, aku tidak memungkiri. Penolakan atas dirinya
adalah cerita baru dalam kehidupannku. Rasanya mampu membuat harga diri
yang memupuk tetiba hancur berserakan tanpa sisa. Aku mungkin egois, tapi dia
lebih tidak memiliki hati karena berani mengabaikanku.

2
Tanganku dengan kasar merobek celana dalam tipisnya dengan sekali
tarikan. Gairahku sudah memuncak ingin segera dipuaskan. Meronta-ronta
hebat ingin segera dibebaskan
“Sa-jangnim hiks. Jebal...” mohonnya.
Vaginanya terlihat merah, mulus, dan tembam dengan bulu-bulu halus
yang menutupinya dengan perasaan malu-malu. Begitu mungil hingga aku ingin
melebarkannya sekarang juga. Persetan dengan segala bentuk ronta dan tolak
yang ia lontarkan, aku sudah sangat tak peduli. Akal sehatku menguap
bersamaan dengan gairahkuyang semakin menggebu. Kugesekkan jemariku
disana, memutar dan semakin lama semakin cepat. Cepat, hingga rasanya
tergesek begitu kasar. Tubuh Eunso sedikit demi sedikit mulat bergetar menerima
sentuhanku. Disela-sela isak tangisnya, ia turut memainkan desahan-desahan
yang mematikanku.
Nafasku memberat ketika aku berusaha untuk mendaki kenikmatan
tersebut sekaligus mengendalikan ritmenya. Kalau aku terlalu cepat, gadis ini
pasti akan merasa kesakitan dan begitu tidak nyaman. Tapi jika aku menahan
diri, aku pasti akan mati di detik berikutnya. Shit, double shit. Eunso sangat
sempit bahkan hanya untuk jari-jemariku! Gerakanku cepat, dan semakin cepat
sampaicairan bening mulai meleleh dari lubang sempitnya. Membasahi sela-sela
jemariku yang dingin. Cairannya meleleh terlalu banyak, jelas ini adalah
pengalaman pertama untukknya. Kuusap permukaan vaginanya yang basah, dan
kujilati jari-jariku.
Dan demi rasa penasaranku yang menggila. Rasanya lebih dan lebih
diluar dugaanku, Eunso sungguh manis dan memabukkan untuk pria sepertiku.
“Sajang-nim kumohon. Jangan seperti ini! Pikirkan...perasaan AKH!”
ucapnya terputus, lidahnya kelu untuk melanjutkan. Bukan karena tak ada daya,
kenyataan perbuatankulah yang membuat itu semua.

3
Lidahku turun menjilati klitoris miliknya, menggantikan kerja dari gerakan
jemariku yang lihai, lalu menggigitnya kecil-kecil. Membuat Eunso merasakan
sensasi yang teramat baru, lagi dan lagi. Kujulurkan lidahku lebih dalam untuk
menggodanya. Kutusuk-tusuk dengan kuat lubang mungilnya dengan lidahku
yang basah. Tubuhnya bergetar hebat, bagaimanapun juga kenikmatan seperti
ini tak bisa dihindari. Maka, jalan satu-satunya yang masih ia miliki adalah
menikmatinya. Pusat tubuhnya menyempit, memberiku tanda jika Eunso akan
segera mencapai puncak. Kuhisap kuat bibir vaginanya dengan rakus seperti
orang kehausan.
Ya. Aku haus. Haus ingin dipuaskan olehnya.
Gumamnya tersekat di tengah napasnya yang tersenggal, parau, dan
terputus-putus sesaat cairannya keluar dengan begitu banyak. Aku tidak pernah
merasa sebahagia ini membuat wanita pelepasan.
“Sa-jangnim”
Sajangnim? Tidakkah dia waras menyebutku sajangnim di saat seperti
ini? Aku menggertakan gigi, mengadunya hingga menimbulkan suara gemeltuk
yang mematikan. Mataku menyalang menuntut penjelasan, berlabuh di bola
mata Eunso yang selalu saja bisa membuatku tunduk tanpa paksaan.
“Op—pa”
“Bagus”
“Tolong...”
Aku terkekeh pelan mencoba memaknai jutaan arti kata yang baru saja
dilontarkan. Tolong? Serius gadis ini meminta tolong padaku? Tolong lebih cepat
atau... tolong berhenti?
Aku menggeretakkan gigi, sekali lagi dengan kuat. Mataku merayap
untuk mencari jawaban. Bola matanya menatapku lekat-lekat, seperti ingin
menyampaikan sebuah pesan. “Kumohon berhenti” kira-kira seperti itulah pesan

4
yang dapat kutangkap. Well, permintaan bulshit macam apa yang sedang ia
negosiasikan padaku? Meminta aku untuk melepaskanmu? Bahkan jika
kewarasan lenyap dalam pikiranku, aku tetap tidak akan melepasmu Eunso.
Masih sambil menggeretakan gigi, aku mulai mendekatkan wajahku ke arah
telinganya yang sudah sangat memerah.
“Oppa. Jebal berhenti.... kumohon” teriaknya sembari berusaha
melawankulagi. Tenaganya cukup kuat, hingga membuatku semakin tertantang.
Kelinci kecil, loliku ini pantas diapresiasi atas rasa pantang menyerahnya, tapi...
seberapapun kelinci mengelak bukankah singa akan tetap menang?
Seberapapun timun akan beradu, bukankah durian akan tetap menang?
“Tubuhmu tidak ingin aku berhenti” jawabku.
Matanya terbelalak dan tubuhnya refleks bergeser menyadari
keterpikatannya. But… bukan aku namanya jika tak segera menahannya dengan
kuat. Gairahku sudah tak lagi dapat kutahan apalagi dihilangkan. Dengan sekali
robekan, aku berhasil memisahkan piyama yang ia kenakan dari tubuh indahnya.
Membebaskan setiap lekuk tubuhnya dengan bebas. Surga dunia telah
terpampang tepat dikedua bola mataku. Jakunku naik turun. Area
kewanitaannya terlihat memerah karena ulahku tadi semakin terlihat menggoda
ketika tidak ada satupun penghalang yang menutupi tubuhnya ini.
Kumasukan lagi jariku, lalu kudiamkan beberapa saat. Mencoba
mmbuatnya terbiasa, ya... setidaknya ini akan membuat Eunso lebih terbiasa
dengan sesuatu yang lebih besar nantinya.
“Sa-akit” adunya.
“Sebentar lagi tidak akan sakit”
Kutarik jariku lalu kumasukkan lagi, terus seperti itu dalam kurun waktu
yang lumayan lama. Wajah Eunso yang terangsang benar-benar begitu
menggairahkan untukku. Bibirnya terbuka, pipinya memerah dan jangan lupakan

5
tatapan sayunya yang menatapku penuh permohonan. Itu adalah pemandangan
yang begitu memabukkan hingga membuatku ingin menikmatinya setiap saat.
Aku sekarat jika tidak merasakannya lebih jauh.
“Ja-jangan... akh… mmh” tanganku dengan ganas bermain dengan
payudaranya yang tidak bisa dibilang besar tapi begitu pas diukuran tanganku.
Gerakanku lihai, terkendali dan terstruktur. Yang satunya? Bajingan
sepertiku tentu tidak akan membiarkannya menganggur begitu saja. Ujung
putingnya kuhisap hingga terasa berdenyut membengkak dalam kuluman
mulutku. Mengeras sekeras milikku.
“Saatnya hidangan pertama” ucapku seraya terkekeh lebih kepada
mengingatkan.
“Eun-akk... so mohon h…”
Eunso kembali merintih dengan buku-buku jemarinya yang kian memutih
mencengkeram kedua sisi bahuku. Wanita ini tersengggal, mendesis, sedikit
meradang ketika aku mulai memasukinya. Brengsek, sempit sekali hingga
membuat milikku terasa begitu nyeri. Napasnya berat, terasa seperti aroma
harum yang begitu lembab merasuki jiwaku. Tubuhnya mengeluarkan feremon
yang menarikku lebih dekat, sehingga yang aku inginkan sekarang adalah
menggerakkan tubuhku hingga kami hancur, kemudian melebur bersama.
“Katakan...”
“Siapa pria yang menemanimu tadi hum?” tanyaku sebelum semuanya
benar-benar masuk.
“Bu..bukan siapa-siapa. Eunso bahkan tidak mampu mengenali. Kami
hanya sekedar bersapa di jalan. Itu saja” ucapnya. Penjelasannya berhasil
memukauku, tapi bukan berarti aku juga akan berhenti begitu saja.
“Benarkah?”
“Ya...”

6
“Lihat aku” perintahku seduktif.
“Kau milik siapa?”
“Oppa”
“Aku tanya sekali lagi. Kau milik siapa?”
“Eunso milik Kyuhyun oppa”
JLEB.
Aku berhasil masuk dengan sekali hentakan. Menembus lapisan tipis yang
masih apik bersemayam dalam lubangnya yang menawan. Bibirku tertarik
keatas, merasakannya.Aku tidak terlalu terkejut atau terpana, tapi aku lebih
merasa senang mengakuinya. Eunso perawan, dan kenyataan ia berhasil dibobol
olehku adalah kenikmatan yang tak bisa kutahan.
Aku mulai menggerakan batang kejantananku dengan kuat hingga
membuat Eunso terus menggelinjang hebat. Ditambah lagi dengan urat-urat
yang menonjol pada batang kerasku, seakan turut menggaruk kasar lubang
sensititnya.
Pahaku menahan kuat kedua paha dalamnya, memaksanya untuk tetap
membuka lebar memberiku jalan. Maafkan Eunso. Tunggu lain kali, aku akan
memasukimu dengan penuh kelembutan yang bahkan kau tak bisa
membayangkannya sedikitpun. Tanganku kembali menggerayangi seluruh
tubuhnya, membelai paha gadis itu, mengecup putingnya keras, membuat Eunso
terengah dan mendesah sementara aku menghujam keluar masuk memporak
porandakan lubang yang tak pernah dijamah siapapun kecuali aku tentunya.
Persetan dengan Hyejin, persetan dengan Hyunno. Persetan dengan status yang
tengah kusandang dengan hormat. Aku hanya ingin wanita ini.
“Sempit” erangku.
Tusukan demi tusukan semakin membuatku hilang akal. Bibir ranumnya
terbuka, mengeluarkan desahan dan lenguhan tanpa ampun. Meski terkadang

7
Eunso sesekali menahannya, tapi tetap saja itu tidak akan berpengaruh!
Mulutnya tak berhenti meracau, menahan sesuatu yang akan keluar dari
tubuhnya, membuatku semakin brutal untuk memborbardir miliknya tanpa
ampun.
“Tidak perlu menangis” ucapku seraya menunduk ke bawah, mataku
menangkap penyatuan tempat penyatuan kami dan mengulum senyum senang
ketika melihat milikku yang semakin membesar dan memenuhi milik Eunso
dengan sepenuh-penuhnya. Jika kalian ingin tahu, aku akan dengan senang hati
memberitahukannya. Milikku besar, lebih besar dari apa yang kalian pikirkan.
Dan miliknya yang sempit teramat bisa menampung milikku. Sesak tapi
memabukkan.
Eunso kembali meracau, gumamannya tidak jelas dan berubah sedikit
keras setiap kali aku menghujamnya keras. Bibirnya memang terisak pilu, tapi
permukaan bawahnya begitu siap meregang menampung gairahku yang kian
membengkak. Ya Tuhan, jika saja takdir mempertemukan kita lebih cepat. Aku
tentu tidak akan melakukan hal seperti ini padamu. Tidak, kau akan tetap
merasakannya tapi dengan status berbeda. Dengan erangan yang berbeda pula.
Kau akan mendesahkan namaku dengan keras, menerikakiku dengan begitu
nikmat. Aku akan mendambaku saat aku melakukan ini, kau akan menerimaku
tanpa harus menangis merengek memohon ampun padaku.
“Fuck!” umpatku.
Aku mungkin iblis yang begitu bengis, tentu saja. Mana ada pria beristri
sepertiku yang tega menggauli teman istrinya sendiri. Terlebih gadis ini masih
begitu belia untuk memuaskan nafsu bejatku. Tapi, sekalilagi. Aku adalah iblis
yang tak takut pada apapun, aku bebas dan aku bisa menceraikan Hyejin kapan
saja. Berbicara mengenai usia, hal itu tentu tak ada korelasinya sama sekali.
Eunso memang masih muda, tapi bukan berarti ia tidak bisa memuaskanku. Ia

8
mampu, bahkan teramat mampu. Aku sudah membuktikannya sekarang. Justru
dengan tubuh muda ini aku merasa begitu dipuaskan. Hingga membuatku
menginginkan lagi... dan lagi.
Aku tidak bisa melakukannya lagi, aku tidak bisa terus-terusan menahan
gairahku yang selalu naik jika berada didekatnya. Aku tidak bisa mengontrol
kebutuhan biologisku. Kalian tentu dibuat bertanya-tanya mengapa aku tidak
menggauli Hyejin yang jelas sah dalam agama dan hukum. Well, itu akan
kujawab, tapi tidak untuk sekarang. Suatu saat akan kuceritakan, karena untuk
sekarang… aku ingin fokus kepada Eunso saja.
Sampai saatnya tiba, aku menyerah akan logikaku. Membiarkan
kebutuhanku menguasai diriku. Melepaskan benteng yang selama ini
menahanku dan membiarkan nafsu binatang itu memakanku. Tidak hanya aku,
ia juga memakan gadis ini. Mengubah statusnya menjadi seorang wanita
sempurna untukku. Gerakanku bertambah cepat dan semakin cepat,
menghentak begitu keras dan liar, memuaskan rasa laparku, rasa lapar penisku
yang tiada lagi dapat kutahan. Terlebih lagi, aku mencintanya.
Eunso tidak lagi terisak pelan, bagus. Setidaknya itu membuat hatiku
lebih tenang. Bagaimanapun brengseknya orang dalam menilaiku, aku juga tidak
tega jika harus melihat gadis yang kucintai menangis. Isakannya tergantikan
dengan rintihan yang begitu memabukkan indera pendengaranku. Terdengar
sayup-sayup dan pelan. Rasanya benar-benar luar biasa. Luar biasa hebat hingga
aku merasakan kepuasan bercinta yang sebenarnya. Untuk apa menangis jika
hal itupun tak mampu mengubah keadaan. Menangis atau tidak aku tetap akan
melakukannya.
Kenikmatan memenuhi sekujur tubuhku dengan cepat, mengisi sarafku
dengan kepuasan yang terisi pelan-pelan. Ini tentu akan menjadi pengalaman

9
bercinta yang sungguh membuatku menggila hingga hanya dia yang mampu
menuntunku kembali.
“Kau adalah milikku” aku berbisik kasar di sela-sela ciumanku.
“Ini takdirmu Eunso-ya. Kau diciptakan untuk memuaskan tubuhku. Jadi...
jangan pernah mencoba untuk mengelaknya”
Malam masih panjang dan aku tahu akan berada di dalam dirinya untuk
waktu yang lebih lama. Bajingan. Pria sepertiku tidak akan puas pada kali
pertama, terlebih dengan gadis bernama Song Eunso. Sampai puluhan kalipun
aku bisa terus menghujaminya. Gerakanku semakin brutal ketika merasakan
puncak kenikmatan menghampiri kami berdua, jadi aku membiarkan tubuhku
mengalahkan pikiran dan memenuhi Eunso dengan benihku yang panas terlebih
banyak menyembut kencang jauh didalam perutnya. Hingga pada akhirnya
spermaku keluar di sarang yang tepat.
Nafas Eunso menderu begitu keras, masuk kedalam telingaku dengan
perasaan yang sama mendebarkannya. Wajahnya merah, penuh peluh bahkan
tidak hanya disekitar dahi... melainkan disekujur tubuhnya tanpa terlewat.
Tangannya yang lemah perlahan demi perlahan turun dari rangkulannya padaku.
Tubuhnya tidak lagi tegang seperti sebelumnya, Eunso terlihat pasrah dan
terkesan menerima hal apa yang hendak kulakukan setelah ini.
“Sudahkah ini selesai?”
“Terlalu cepat untukmuberistirahat, sayang” ucapku sembari
menggerakkan kejantananku lagi. Menghentak tubuhnya pasti tanpa henti.
Tubuhnya kuat, kuyakin itu. Ya, Eunso harus kuat untuk memuaskan pria dengan
kebutuhan biologis yang besar sepertiku. Bagaimanapun juga, aku adalah pria
yang akan menjadi sandaran untukknya, aku adalah pria yang akan selalu
mengisi kebahagiaan untukknya. Meski kebejatanku tiada kira, asalkan itu
Eunso... aku akan berusaha membuatnya nyaman.

10
“Hhh...” lenguhan Eunso mulai terdengar kembali ketika ia hendak
mencapai puncaknya. Ia sudah tak berdaya untuk berteriak dan memberontak.
Tubuhnya pasrah menerima gerakannku pada bagian bawahnya yang semakin
menggila. Aku menambah kekuatan tusukanku, membenamkan seluruh batang
kejantananku sedalam yang aku bisa.
“Nhh...”
Sperma hangatku menyembur tanpa henti hingga membuat Eunso
mendapat orgasme susulan secara beruntun. Entah memang spermaku yang
banyak atau itu merupakan akumulasi selama tigapuluh tujuh tahun aku hidup.
Itu adalah sangat-sangat banyak. Entahlah, toh aku berharap ia bisa keluar
melebihi ini. Semakin banyak semakin menambah peluang untuk dirinya hamil
kan?
Eunso sudah berada di ambang kesadarannya. Wajahnya yang ayu
nampak kepayahan dengan mata tertutup. Persis orang habis bercinta pada
umumnya. Dirinya mendesis merasakan semburan spermaku yang mengalir
tanpa henti membasahi ranjang tempat sasi bisu perbuatanku. Pinggulnya sudah
berkali-kali terlonjak. Lonjakan itu juga tak ayal membuat payudaranya ikut
bergerak hebat. Sekali lagi, Eunso kembali melonjakkan pinggulnya disusul
dengan semburan cairan yang keluar dari bibir vaginanya. Gadis itu juga
mengangkangkan kakiknya lebar hingga vagina basahnya terpampang begitu
jelas dihadapanku.
“Kau menyukainya?” tanyaku sembari menangkup payudara Eunso
dengan kedua telapak tanganku, menyisakkan puting tegang yang mencuat ke
atas.
“Brengsek” ucapnya membuatku sedikit terperangah. Aku mencoba
bersikap tenang, meski terlalu terkejut saat mendengarnya di kali pertama.
Matanya menyalang tajam, dan aku hanya tersenyum diam mengamati. Kau

11
boleh mengumpatiku sekarang, tapi tidak untuk kedepannya. Karena aku –Cho
Kyuhyun— tidak akan membiarakan bibirmu ini mengeluarkan kata selain
kalimat yang menyenangkanku.
“Kau juga sangat nikmat Eunso-ya” balasku sembari meremas-remas
kasar dua buah dada itu dengan gemas. Jangan dibayangkan betapa
menggemaskannya ia, karena hanya akulah yang bisa menikmatinya. Jangan
pernah bertanya bagaimana menakjubkannya ia, karena hanya aku yang bisa
merasakannya. Tak berhenti disitu, sesekali jariku juga mencubit dan menyentil
klitoris milik Eunso, membuat gadis itu terlonjak lagi dan lagi diikuti semburan
keras dari liang senggamanya.
Tidak kuat dengan segala keadaan, akupun kembali memasukinya. Tidak
seperti gerakan di tahap pertama, gerakan ini terkesan lebih lembut. Malam
masih panjang, dan aku yakin aku juga tak akan berhenti hingga di pertengah
malam. Entahlah seberapa lama pergumulanku dengan Eunso hingga akhirnya
dirinya tertidur di bawah kuasaku.
“Inilah akibat karena berani bermain-main denganku”

12
BAGIAN DUA
Sebagian besar orang, dalam tanda kutip ‘waras’ selalu beranggapan
menyenangkan rasanya ketika mendengar bahwa wanita yang telah disatukan
Tuhan denganmu, akan segera melahirkan seorang anak, untukmu. Terlebih jika
ini adalah kali pertama, seorang laki-laki, danseorang pewaris. Mungkin itu
adalah kalimat yang diucapkan banyak orang, yang dirasakan banyak lelaki paruh
baya seusiaku. Menjadi ayah adalah perasaan paling menyenangkan sekaligus
membahagiakan melebihi apapun.
Itu kata orang-orang. Kataku? Tidak. Bahkan sebisa mungkin aku ingin
membesarkan kata itu menjadi ribuan kali lipat. Aku tidak bisa merasakan itu
semua, bahkan hanya sekedar basa-basi saja perasaanku tetap biasa. Entah
bagaimana ekspresi yang mampu menggambarkan perasaanku, tetapi yang jelas
itu bukanlah hal yang harus kututupi. Ada perasaan yang lebih menggebu-gebu
dibanding kehadiran seorang bayi kecil. Ada perasaan yang membuatku merasa
jauh lebih bahagia, untuk saat ini.
Bibirku tanpa sadar mengukir senyum pahit saat pupil mataku menatap
Eunso. Wanita itu masih begitu terlelap tepat di sampingku, lalu menatap foto di

13
atas nakas bergantian. Wajahnya sendu, kedua pipinya penuh noda bekas air
mata yang terus mengucur tanpa henti. Tanganku menggenggam seprai
semalam yang membalut tubuh mulusnya, menempelkannya ke hidung,
menghirup pelan seolah ingin mempertahankan aroma itu lebih lama. Kemudian
mataku mendelik senyum melihat ada noda perawan disana, begitu banyak dan
kental. Aku menghembus nafas kasar, perasaan puas dan menyesal serasa
menghantamku secara bersamaan tanpa ampun. Aku tidak akan mencucinya,
membiarkan ia menjadi saksi bisu atas pengalaman pertamanya.
Aku Cho Kyuhyun, diusiaku yang perlu digaris bawahi bahwa aku tidaklah
lagi muda, aku tigapuluhtujuh tahun. Aku adalah seorang pengusaha paling
sukses di Korea Selatan. Lebih dari itu, bentuk kekuasaankupun bisa ditemui
diluaran sana. Minimal jika tidak mampu berpergian, kalian bisa mengetikkanya
di laman internet, dengan akses yang begitu mudah. Hanya dengan kata kunci
Cho Kyuhyun, kalian bisa menemukan semuanya, dari jumlah kekayaan hingga
kehidupankuyang tak pernah luput dari sorotan. Semuanya ada, bahkan
terpampang begitu jelas. Media adalah ladang pencitraan atas segala tindak
polahku yang menyimpang. Semua pemberitaan berjalan sesuai dengan
perintahku, bahkan ia mampu membuatku terlihat seperti tanpa memiliki cela
sedikitpun.Tidak berniat untuk memamerkan betapa besarnya eksistensiku, tapi
begitulah kenyataannya. Tidak berniat menunjukkan betapa besar kekuasaanku,
tapi itulah kenyataannya saat ini.
Tidak ada yang tidak mengenal seorang Cho Kyuhyun, pria penguasa
berbagai perusahaan properti ternama dengan ribuan cabang di seluruh dunia.
Brengsek, kejam, tak kenal ampun, dan hedonis adalah kata-kata yang pantas
disematkan dalam diriku. Aku kejam? Tentu saja. Tak kenal ampun? Tak perlu
ditanya. Orang sepertiku tidak pernah dibentuk untuk menjadi pria lemah. Aku
dibentuk sebagai penguasa, dan orang harus tunduk padaku, tanpa terkecuali.

14
Hidupku bergelimang harta, itu tentu bukanlah suatu rahasia umum yang
mampu kututupi. Bagaimana bisa aku miskin jika kekuasaan negara ini saja
berada penuh dalam genggamanku? Cuih. Aku bukanlah seorang perdana
menteri seperti yang kalian kira. Tidak. Jawabannya tentu tidak, aku tidak
ditakdirkan untuk itu. Lalu jika aku bukanlah seorang perdana menteri,
bagaimana bisa aku menguasai negara? Pertanyaan bodoh sekaligus tolol.
Memang siapa yang membiayai segala bentuk kampanye yang ia adakan
jika bukan keluar dari kantung tebalku? Memang siapa yang menjaring semua
media sebagai ajang pencitraan dirinya jika itu bukan keluar dari tanganku? Dari
mana ia akan berhasil masuk dalam jabatan itu tanpa usahaku, tanpa aliran dana
yang mengucur mulus dari setiap lini perusahaanku? Perjanjiannya sangat jelas,
hitam di atas putih. Ia naik jabatan akupun mendapatkan apa yang aku pinta.
Bukankah itu adalah hal biasa dalam dunia perpolitikan?
Beralih ke sudut kesempurnaanku yang lain. Wajahku tampan tanpa cacat
sedikitpun. Tidak ada riwayat apapun disana, murni karena takdir memang
menggariskanku seperti ini. Yah, aku tidak akan menampik juga tidak akan
berpura-pura bahwa aku memanglah pria tampan penuh kharismatik. Meski
usiaku sudah tak dapat dibilang muda atau remaja, tapi hal itu justru membuatku
semakin digilai oleh wanita disegala lini usia. Hanya dengan tampanku ini saja,
aku mampu membuat wanita diluaran sana bertekuk lutut padaku. Bersedia
melemparkan harga dirinya dengan begitu murah ke arahku.
Kekayaan, kekuasaan, otak yang gemilang, dan lagi... kesempurnaan fisik
yang selalu sedap dipandang semuanya ada dalam diriku. Semuanya ada tanpa
harus terkecuali. Lalu dengan kondisi seperti ini bukankah aku terlihat seperti
paket lengkap yang begitu sempurna? Aku memiliki segalanya, bahkan dunia ini
tampak seperti surga bagiku. Tapi, pada akhirnya... itu semua justru membuatku
menjadi bosan. Semua aspek yang kumiliki justru menjadikan hidupku semakin

15
datar tanpa tekanan. Semua tunduk padaku, tak ada ancaman, hingga aku tak
tahu lagi apa yang harus kulakukan.
Bagaimana rasa kebosanan tidak menggampiriku? Aku sudah mempunyai
segalanya. Akupun bisa mendapatkan semua wanita dengan mudah hanya
dengan menjentikkan jariku saja. Bukankah ini adalah dambaan setiap pria? Ya
hanya dengan seperti itu saja, kaum hawa mampu menghampiriku dengan suka
rela, tanpa paksaan. Tapi itu bukanlah hal yang mampu membuatku senang,
bahkan itu mampu membuatku me-labelling bahwa kebanyakan wanita diluar
sana memang seperti itu. Murahan. Itulah hal yang membuatku tidak bisa
menyentuh mereka seperti selayaknya pria menyentuh jalang mainannya.
Aku kehilangan gairah, bahkan hanya dengan menatapnya saja.Tubuh-
tubuh polos yang terpoles palsu begitu menjijikan untukku yang bersih. Dan...
pasti kalian juga tidak akan percaya akan satu rahasiaku, bahwa kenyatannya aku
adalah seorang perjaka. Aku memang brengsek, jiwaku memang tak pernah
sejalan dengan hati nurani, mulutku memang kotor karena sudah ribuan kali
menjamah tubuh wanita. Tapi jangan salah... aku brengsek, tapi aku juga cerdas.
Pilah pilih tempat bersarang adalah hal yang mutlak kulakukan. Spermaku terlalu
berharga hanya untuk membuahi wanita tanpa identitas pada umumnya.
Hey. Berbicara mengenai keluarga. Aku mempunyai keluarga yang
lengkap. Keluargaku utuh dan tinggal begitu sehat di belahan negara lain. Ada
banyak alasan yang melandasi pemindahan status kenegaraan ini. Bukan karena
mereka tidak mencintai Korea, saksi hidup kelahirannya. Tetapi lebih kepada
kekuasaanku penuh dengan jalan kesesatan, industri gelap banyak kulakukan,
tanganku kotor penuh kejahatan, bahkan kenyataan aku adalah seorang mafia
merupakan hal yang pantas kututupi dari siapapun. Aku mempunyai banyak
musuh, gerak-gerikku tentu diawasi, bahkan jika aku lengah sedikit saja mampu
membuat nyawa mereka melayang tanpa terduga.

16
Keputusanku bulat, pindah kewarganegaraan adalah jalan teraman untuk
melindungi Yunho dan Hanna. Memindahkan mereka ke Jepang adalah jalan
terbaik dari sekian jalanyang dapat kupikirkan untuk saat ini. Tidak ada jadwal
rutin untukku saling bertegur sapa, tapi aku selalu sempatkan kapanpun itu.
Entah hanya sekedar bertegur sapa atau membicarakan hal-hal yang dirasa
kurang penting untukku. Jika dilihat dari segi ini, bukankah aku tidak terlihat
seperti pria brengsek seperti kebanyakan CEO dingin diluar sana? Tentu saja! Aku
pria berbakti, terlepas dari sikap bajinganku.
But… mereka bukanlah satu-satunya keluarga bagiku. Dengan tingkah
bejatku menggauli Eunso, tentu kepercayaan patut dijauhkan dariku sejauh
mungkin. Bahwa kenyataan aku merupakan seorang pria beristri adalah hal
konyol yang pantas kuakui. Kim Hyejin, itulah nama indah yang Tuhan berikan
untuknya, wanita dengan usia dua tahun lebih tua dariku. Wanita sempurna
yangtelah melahirkan seorang anak untukku, Cho Hyunno. Membicarkan
kehidupanku, bukankah itu adalah hal yang begitu menyenangkan? Kalian akan
terus dibuat bertanya-tanya dalam jangka waktu yang lama. Well, kehidupanku
penuh skandal, dan itu mengasyikkan.
Berbicara mengenai Hyejin... suatu malam di bulan November,tanpa
angin tanpa pemberitahuan apapun, Kim Hyejin datang padaku dalam keadaan
yang begitu memperihatinkan. Pakaiannya lusuh, kakinya tanpa beralaskan,
muka airnya sendu. Dan kata-kata yang kudengar setelahnya adalah... Kyuhyun...
bantulah aku.
Sejak awal, aku tak pernah begitu peduli atas masalah yang tengah
menodai hatinya yang terlampau suci. Aku berulang kali menutup mata,
meyakinkan diri bahwa urusan Hyejin bukanlah urusanku. Tak banyak hal yang
dapat kulakukan hingga... akhirnya lambat laun hatiku dipaksa paham untuk
mengerti akar dari segalanya. Hyejin hamil, dan lebih brengsek lagidia hamil

17
tanpa status yang jelas. Hidupnya berubah seratusdelapan puluh derajat hanya
dalam waktu sekejap. Tatapan hangatnya sirna, bahkan ekspresi bahagia tidak
dapat kutemukan pada diri Hyejin.
Wanita ini begitu jauh dari kehidupanku yang sempurna. Aku mempunyai
segalanya tapi Hyejin, bahkan hanya untuk orang tua saja ia tidak bisa
mengetahui detailnya secara pasti. Tapi aku percaya, Tuhan tidak pernah tidak
berbuat adil. Dibalik ketidaksempurnaan itu, Hyejin justru mempunyai hati yang
hangat dan cinta kasih tanpa batas. Dia pintar dan cantik, tentu! Aku tidak
mungkin berteman dengan wanita sembarangan. Tapi justru bukan itu intinya,
sungguh bukan itu. Hyejin baik. Terlampau baik. Bukti kasih inilah yang
membuatku betah berada disisi Hyejin. Singkat kata, Hyejin tidak hanya berperan
sebagai sahabat wanitaku. Jauh lebih dari itu. Dia setara dengan Cho Ahra,
sangat setara. Itu kenyataan pada diriku, tapi jika Hyejin menganggapnya lain. Itu
jelas bukan urusanku.
Hari semakin berlalu, bahkan aku tidak berani menerka jika otak bodoh
Hyejin ikut menyadari perputaran yang ada. Double shit, keadaan itu tak pernah
membuatku tidak merasa jengah sedikitpun. Melihat dirinya yang seperti mayat
hidup membuatku muak setengah mati. Jika ingin mati, kenapa tidak langsung
mati saja sekalian! Merepotkan sekali, pikirku kala itu. Aku ini bukanlah pria
dengan segudang kesabaran. Berulang kali bahkan aku sampai muak
menghitungnya, Hyejin terus terjebak dalam kesenduanya yang begitu dalam. Ia
terkurung dalam dunianya yang kelam.
Menghabisi seorang Henry, bukanlah pekerjaan yang sukar. Bahkan untuk
menghacurkannya tanpa sisa sekalipun, aku, Cho Kyuhyun mampu
melakukannya hanya dengan menjentikkan jari. Tapi... itu bukanlah keputusan
yang dapat kulakukan sendiri. Hyejin menolak, bahkan wanita itu tak pernah
memberiku petunjuk apapun mengenai siapa pria brengsek yang berani

18
membuatnya hamil diluar nikah. Tapi dia lupa siapa Cho Kyuhyun, dia lupa
bagaimana dunia bertekuk lutut padaku bahwa yang aku inginkan haruslah ada
dihadapanku. Tapi...
Lambat lan aku kembali dituntut untk sadar, alasan terkuat Hyejin enggan
memberitahuku perihal Henry adalah sisi hatinya yang terlalu naïf untuk
menyantuni orang lain. Pria kelas rendahan seperti Henry, dilihat dari segi
manapun tidak akan ada hal menarik yang mampu ia pancarkan. Dari sisi materi,
jelas pria itu tak memiliki apapun. Dilihat dari kepemilikan, bajingan itu sudah
menjadi milik wanita lain! Pria itu bahkan sudah mempunyai istri! Gila! Brengsek!
Aku tak dapat berhenti mengumpat. Entah siapa yang salah disini, tapi kurasa
baik Henry, Hyejin, dan istri si bajingan itu semuanya pantas untuk
dipersalahkan. Entah itu Hyejin yang menggoda suami orang, entah karena istri
Henry yang tak mampu membuat pria itu puas, atau justru Henry sendiri yang
tidak tahu diri. Semuanya pasti salah. Dan aku tidak ingin turut campur dengan
membela Hyejin hanya karena wanita ini adalah sahabat baikku. Cinta benar-
benar membutakkan segalanya, hingga menjatuhkan martabat seorang Hyejin.
Cintanya yang begitu besar untuk Henry, tak mampumembuat Hyejin
sampai hati memberikan balasan yang setimpal, atau hanya sekedar meminta
pertanggung jawaban. Aku sudah berulang kali menawarkan, aku bisa saja
membuatnya menjadi milik pria itu. Aku bisa saja memusnahkan istri bajingan
itu, aku bisa saja melakukan apapun untuk membuat Hyejin bahagia. But... justru
tawaranku hanya tawaran tak berarti tanpa balasan. Perasaan Hyejin tulus, tak
akan mampu membuat mereka berpisah. Alasannya simpel, ia hanya tidak ingin
menyakiti hati sang istri.
But… alih-alih tulus,justru aku lebih senang menyebutnya alasan bodoh.
Jika aku jadi dirinya, tentu aku tidak akan pernah mengalah atau berkorban atas
kebahagiaanku sendiri, menderita di bawah kebahagiaan orang lain. Itu

19
aku...Tapi... aku menghargai itu. Aku menghargai segala bentuk keputusan yang
ia ambil. Toh pada dasarnya aku hanya bisa mendukung segala tindakan Hyejin.
Waktu bergulir begitu cepat, bahkan tanpa kusadari ia sudah tinggal
bersamaku untuk jangka waktu yang cukup lama. Wajahnya taklagi sendu, meski
aku tahu ada hal yang menyakitkan di setiap detik pergerakan jam yang ia
rasakan. Lambat laun, naluriku berkata lain. Melihat Hyejin terus
mengkhawatirkan masa depan si jabang bayi, membuat sisi jiwaku yang lain
sedikit tersentuh. Suatu ketika, di bulan Februari tepat pukul 08.45 aku
memutuskan untuk menikahi Hyejin.Menjadikannya wanita paling beruntung
karena sudah menjadi nyonya besar dalam keluarga Cho. Itu tentu bukan
keputusan sulit bagiku, bukan karena aku mencintai Hyejin sebagai seorang
wanita. Tapi, lebih kepada rasa empati yang selalu mendera hatiku. Jangan salah
dan jangan pernah merasa gagal paham. Keputusanku tidak akan pernah
menyalahi aturan, aku tidak akan pernah mencintainya. Jika hal itulah yang
kalian khawatirkan.
Kami resmi menikah tepat satu tahun lalu ketika Hyejin berhasil
melahirkan putra pertamanya. Cho Daehyun, dengan embel-embel margaku
didepannya. Kehidupan rumah tangga kami hampir normal seperti kebanyakan
orang pada umumnya. Aku memberikan kehidupan yang layak untuk keduanya.
Lebih dari itu, aku bahkan memberikan Hyejin pekerjaan yang begitu sesuai
dengan keahliannya. Dan menyodorkan pria dengan diam adalah hal terkonyol
yang masih kulakukan hingga sekarang. Meski begitu... hatinya tetap saja
menolak. Entah hatinya memang belum bisa melupakan Henry atau apa aku
tidak tahu dan tidak ingin tahu.
Hubungan kami masih sama, tidak ada yang berubah, masih seperti kakak
adik pada umumnya. Tapi, seiring berjalannya waktu aku mulai menyadari ada
sesuatu yang berbeda dalam diri Hyejin. Tidak ingin berspekulasi lebih jauh, tapi

20
ini juga sudah mempengaruhi kinerja berpikirku. Perjanjiannya sangat jelas, tidak
boleh mencintaiku. Tapi Hyejin mengingkari itu semua, dia menginkari dengan
jatuh pada pesonaku. Aku menolak tentu saja. Aku tidak mungkin mencintai
seorang wanita seperti Cho Ahra. Aku pria bebas, tak akan pernah ada rasa cinta
dalam hatiku.
Well… persetan dengan Hyejin, itu bukan urusanku. Terserah ia mau
mencintaiku atau tidak itu urusan Hyejin dengan hatinya. Kurang lebihitulah
secuil kisahku bersama Hyejin. Jangan memintaku untuk bercerita lebih dari ini,
karena wanita itu tidak ada dalam hatiku. Jadi aku enggan untuk
menceritakannya lebih jauh. Sudah ya, membicarakan kehidupanku pasti tiada
habisnya sungguh, membuatku bosan, ada banyak hal lain yang ingin
kusampaikan.
Aku kembali melirik sosok yang masih terlelap dalam dekapanku. Gadis
yang berhasil menggoyahkan hati seorang Cho Kyuhyun untuk pertama kalinya.
Seperti yang kubilang tadi, hidupku begitu membosankan. Tak ada yang dapat
kulakukan selain mencari uang, menghancurkan kehidupan orang, hinga
bercumbu dengan semua wanita di penghujung malam. Dan... aku mungkin
sudah gila jika hal ini terus saja terjadi padaku hingga aku mati!
Hingga suatu hari aku bertemu dengannya...
Aku pasti terdengar gila. Ya sangat gila hingga diriku saja enggan untuk
mempercayainya. Mungkin ini bagian dari jiwaku yang sakit karena tekanan
bosan yang selalu melingkupiku. Tapi, saat bertemu denganya aku tahu bahwa
aku sudah sangat jatuh hati menginginkan gadis itu hanya dengan sekali
pandang. Gadis dengan mata bulatnya yang seolah memandang hingga
menembus ke dalam jiwaku. Aku tidak pernah menyesal, karena aku yakin takdir
memang sedang memanggilku untuk berada di garis ini. Ya, aku tidak ingin

21
berpikiran tentang yang lainnya, aku hanya ingin berpikir bahwa takdirlah yang
membawa aku, dia, dan Hyejin dalam garis yang begitu rumit. Menurutku...
Eunso, yah. Song Eunso. Itulah nama gadis itu. Nama yang begitu indah
bukan? Seindah wajah ayunya yang begitu menentramkan hatiku. Eunso bukan
lagi gadis perempuan, dia adalah wanita sempurna untukku. Ia adalah seorang
gadis muda dengan karakter manis, polos, dan imut. Dia benar-benar cantik,
hingga membutakanku. Tingkah lakukanya yang lugu selalu saja bisa menarik
perhatian dan gairahku tanpa diduga-duga. Entah ketika wanita itu sedang
makan, mengedip, bahkan saat dia tak melakukan hal sedikitpun. Aku menarik
napas dalam masih sambil berkata pada diriku sendiri bahwa setelah merasakan
nikmatnya tubuh Eunso dengan hal yang terpakas, aku yakin jiwa brengsekku
tidak ingin jika hanya melakukannya sekali.
Sial. Aku terdengar begitu rendah karena menginginkan wanita muda
seusianya, bayangkan saja. Diusiakku yang sudah memasuki kepala tiga, aku
justru begitu terpesona dengan tubuh wanita berumur sembilanbelas tahun?
Kenyataan yang tidak bisa diterima nalar.
Logikanya… tak ada yang bisa dibanggakan diusianya yang duapuluh
tahun saja belum ada! Sekilaspun tubuh Hyejin jauh lebih terbentuk, jauh
menarik dibanding milik Eunso. Tidak berhenti disitu, kebejatanku pun terus naik
level jika kalian lupa aku adalah pria beristri dengan anak satu. Bisakah kalian
membayangkan itu?Meski pernikahan ini hanya sebatas pertolongan semata,
tapi tetap saja. Kami sah di hadapan hukum dan agama, dan murka Tuhanpun
juga tidak akan melewatiku. Mungkin saja.
Tertawa? Silahkan, tak ada larangan sedikitpun. Karena pada dasarnya
akupun ingin tertawa keras memaknai kisahku sendiri, mati-matian aku menahan
ini semua, mengontrol diriku untuk tidak menerkam gadis yang notebenenya
adalah sahabat seorang Hyejin. Tak ada orang yang tahu, bahkan Hyejin pun

22
sepertinya tidak tahu akan hal ini, atau mungkin sudah tahu tapi memilih untuk
menutup mulut diam. Ya. Tidak ada orang yang tahu jika aku menderita karena
keinginan terlarangku. Aku menderita karena menginginkan Eunso sebagai
penyalur gairahku. Aku menderita karena ia adalah satu-satunya wanita yang
kuinginkan menjadi pendampingku.
Eunso adalah racun! Aku benar, Eunso memang racun. Dia bisa
membunuhku dengan begitu mudah dan tololnya aku sama sekali tidak tahu
bagaimana harus menghadapi serangan gadis muda bernama Song Eunso. Aku
pria pemilik segalanya, semua dapat kulakukan dengan mudah. Tapi... gilanya
justru aku tak bisa berkutik dihadapan Eunso.
Aku menginginkan Eunso! Tidak, lebih dari itu. Aku benci pada gairah
yang aku miliki untukknya, terlebih untuk perasaan cinta yang luar biasa begitu
menggebu-gebu. Terkadang, aku merasa begitu muak pada diriku sendiri karena
memiliki pikiran yang begitu menjijikan. Fantasi-fantasi kotor yang melibatkan
Eunso di dalamnya selalu saja menghinggapiku setiap malam, bahkan setiap
malam tanpa bisa kutahan. Aku membayangkan bibir ranumnya melumatku
dengan begitu seduktif, melilitkan jemariku dirambut panjangnnya yang indah,
mengelus wajahnya yang halus lalu fantasiku mulai menjadi tak terkontrol hingga
masuk ke tahap yang paling berbahaya.
Aku mebayangkan Eunso telanjang, meski wanita itu selalu
berpenampilan sopan. Tapi bukan berarti aku tidak bisa memfantasikan betapa
moleknya tubuh yang ia miliki. Aku leluasa melakukannya, tak ada yang mampu
melarangku. Aku bejat, tapi ada yang lebih buruk dari itu. Ya, kalian pasti akan
begitu membenciku. Tapi sungguh, akupun tak bisa menahan ini semua meski
otakku sudah begitu keras membendungnya. Aku membayangkan Eunso tepat
disamping Hyejin yang sudah terlelap.
Menakutkan?

23
Mungkin atau tentu saja.
Brengsek?
Tentu saja.
Mungkin ini adalah karma yang berlaku padaku. Satu tahun lalu aku
mengumpat dengan begitu kasar pada Henry Lau. Mengumpati pria itu karena
telah berani menghamili Hyejin dengan statusnya yang tak lagi lajang.Tapi, siapa
tahu yang tahu jika kebrengsekan itu justru menular dengan begitu cepat
padaku? Aku tidak lagi dapat menyalahkan Henry, karena sekarang bahwa aku
dan si brengsek itu tidak ada bedanya. Kami sama-sama sudah beristri, dan
kamipun sama-sama menggauli gadis lain.
Cuih! Sisi jiwaku yang lain menolak kesimpulan yang kuputuskan sesaat.
Aku memang bejat, aku memang mempunyai alur yang sama dengan Henry
karena menggauli Eunso, tapi aku yakin akan berbeda pada tahap klimaksnya.
Aku mungkin sama brengseknya, tapi aku tidak bodoh untuk menelantarkan
tempat bersarangku begitu saja. Terlebih gadis itu adalah wanita yang sangat
kucintai. Wanita yang sangat kudambakan untuk menjadi miliku. Membuangnya
atau membiarkan ia lepas dalam genggamanku adalah suatu hal yang pantang
kulakukan. Menelantarkan Eunso sama saja membunuhku.
Menjijikan? Terserah, sudah kubilang bukan jika aku, Cho Kyuhyun paling
angkat tangan jika menyangkut segala bentuk pendapat orang. Aku
menginginkan Eunso, menginginkan gadis itu untuk bersanding denganku.
Menjadikannya yang kedua, meski nyatanya ialah yang pertama untuk
semuanya, untuk segalanya. Aku rela menunggu Eunso. Menunggu hingga
kesempatan itu datang. Dan setelah itu, menjadikannya milikku hanyalah tinggal
menunggu hitungan waktu.

24
BAGIAN TIGA
Flashback

25
Aku menemukan Eunso dalam keadaan diluar prediksi bahkan aku yakin,
ialah takdir yang telah Tuhan kirimkan untukku. Eunso sengaja hadir untuk
seorang Cho Kyuhyun, untuk menemani jiwaku yang sepi, untuk
menyeimbangkan sisi gelapku yang keji, atau bahkan hanya untuk memuaskan
hasratku yang melambung tinggi. Hubungan Eunso Hyejin tidak dapat dikatakan
hanya sekedar pegawai atasan begitu saja. Jauh lebih dari itu hingga
membuatku seperti bajingan atas rusaknya ikatan yang telah mereka bentuk
jauh sebelum aku. Keduanya bisa hancur begitu saja karena kedatanganku,
bahkan hubunganku dengan Hyejin akan mengalami hal yang sama.
Tapi... itu bukanlah suatu masalah. Selama Eunso berada disisiku,
semuanya tidak akan menjadi masalah untukku bertahan.
“Selamat datang, Presdir Cho Kyuhyun” beberapa staff Cho-Entertaiment
berbaris rapi di pintu masuk utama gedung, membungkuk hormat,
menyunggingkan senyum terbaik atas kedatanganku. Aku diam, sungguh tak ada
waktu untuk menyapa satu demi satu. Langkahku tegas, bahkan terkesan
menghentak melewati bahkan mengabaikan setiap orang yang berada di sana.
Angkuh, sombong, dan acuh adalah image yang sudah lama terbentuk jauh-jauh
hari sebelum ini. Langkahku yang tadinya begitu pasti seakan tak dapat
dihentikanpun berhenti seketika. Seorang pria berdiri tepat di didepanku,
tergopoh, nafasnya tersenggal kemudian membungkuk seperti yang lainnya.
“Dia adalah Cho Janhyuk, presdir” aku cukup terkesan dengan Daehyun.
Ia menyahut tanpa harus ditanya secara langsung. Marganya sama denganku
dan kujamin ia bisa menyatu denganku. Aku mengangguk mengerti, bahunya
lebar, tubuhnya tinggi tegap bahkan terlihat lebih cocok menjadi pengawalku
ketimbang menjabat sekretaris baru.
“Dimana Hyejin? Aku ingin menemuinya sekarang” nada tegas meluncur
dari mulutku begitu kembali mengalihkan pandangan ke depan.

26
“Ya mari, nona Hyejin berada di ruangan magang” Janhyuk kembali
mempersilahkanku dengan sopan bahkan aku dibuat terkesan atas kinerjanya
yang tersusun apik. Aku berjalan masuk, mengamati beberapa pegawai yang ada
disana, memperhatikan setiap orang berlalu lalang menggantungkan hidupnya
dalam naungan perusahaanku.
“Berapa banyak semuanya?” tanyaku sembari menatap lurus ke depan.
“Total semuanya adalah 10 orang presdir”
“Mari presdir”
“Aku pakai lift pegawai saja” tandasku.
“Tapi... bukankah...”
“Disini, akulah pemegang segalannya” pintu lift bergeser, menampakkan
keadaan di dalamnya. Tidak terlalu penuh, tapi cukup membuatku merasa tidak
nyaman. Langkahku berjalan bahkan tanpa dapat kukendalikan sedikitpun,
rasanya seperti ada sesuatu yang menarikku untuk terus masuk kesana. Seakan
memang ada hal yang sedang menunggu disana.
“Sajangnim” tegur Janghyuk.
Aku tahu aku salah, bahkan aku juga tidak menahu dimana letak
kesalahanku.Seluruh tubuhku bergerak tanpa kendali, begitu saja tanpa mampu
kukontrol dengan baik.
Aku mengangguk, dan melirik tangan Janhyuk menekan pelan angka 27,
tepat dimana Hyejin berada. Semua diam, bahkan aku hampir bisa mendengar
detik jarum jam tanganku sendiri. Kehadiranku tentu membuat pergerakan
mereka terganggu, meski aku hanya berdiam diri, kehadiranku jelas membuat
mereka tidak nyaman.
Itulah spekulasiku, kehidupanku tak akan pernah bisa disandingkan
dengan mereka. Mereka tak akan mampu berada di sekitarku, mereka tak akan
bisa menghalau bagaimana pengaruh terbesarku. Aku kejam, bahkan aura itu

27
begitu terasa di ruangan sesempit ini. Kemudian, tepat di lantai tujuhbelas, lift
mulai kosong hanya menyisakkan aku, Janhyuk, dan Daehyun. Benar bukan,
mereka tak pernah bisa merasa sebanding hanya untuk berdiri di ruang yang
sama denganku.
“Sajangnim...”
“Ooo bukakan saja” tegurku, tepat disaat pintu lift kembali terbuka.
Tepat dihadapanku, seorang gadis berjalan masuk tanpa harus
menatapku susah payah. Semua orang menatapku dengan takjub, tapi tidak
dengan gadis itu. Ia bahkan seakan tak ingin menampakkan wajahnya kepada
siapapun, entah karena takut atau memang tidak percaya diri. Gadis itu, berdiri
tepat disampingku,masih dengan tundukan kepalanya yang begitu dalam.
Jantungku berdesir, mataku memperhatkan tubuh gadis itu hingga ke ujung
kakinya. Tingginya hanya sebatas dadaku, kulitnya putih mulus tanpa cacat.
Rambutnya tergerai panjang, tampak begitu menawan, menutupi
sebagian punggung tegapnya, sehingga aku bisa membayangkan bagaimana
rasanya jika jemariku bermain-main disana. Aku menelan ludah dengan susah
payah. Demi Tuhan, dia... seksi hingga mampu membangitkan gairahku. Dia
begitu memukai, sangat berbeda dengan apapun yang pantas kusamakan
dengannya.
Gadis itu bergerak maju sembari menekan tombol yang sama denganku.
Hey? Ini adalah takdir, tentu saja. Aku tidak akan pernah menaiki ini tanpa
alasan, dan sekarang... Ehm, bibirku kembali tertarik ke samping saat melihat
gerakan nafasnya yang pelan. Jemariku mengetik dengan begitu cepat, bahkan
dengan aku mampu menulisnya dengan tepat meski tatapan masih tertuju pada
gadis tersebut. Aku mundur beberapa langkah, bersamaan dengan keluarnya
Daehyun dan Janhyuk. Aromanya bagai candu, begitu merangsang setiap bagian

28
tubuhku, dan semakin menguat setelah semuanya pergi. Dalam sekejap, aku
putuskan bahwa aku begitu menginginkannya.
Aku menghitung pelan dalam hati 1... 2... dan PIP.
Lift terguncang untuk beberapa detik hingga akhirnya berhenti dan mati.
Tak ada apapun, keadaan menjadi begitu remang karena pencahayaan yang ikut
mati. Dia berbalik begitu cepat ke arahku. Raut wajahnya mendung,
mendominasi setiap lini. Seolah-olah tidak mengetahui jika akan seperti ini
kejadiannya. Wajahnya begitu lugu dan meneduhkan. Gerakannya benar-benar
menyadarkanku bahwa sosoknya benar-benar nyata. Pancaran energi yang
berkelebat bersama aromanya yang menggiurkan adalah ramuan yang mutakhir
untuk membiusku, membuat seluruh tubuhku berdenyut dan tersiksa. Dan dapat
kulihat, peluh mulai memenuhi dahi, leher, hingga turun lagi ke tempat
semestinya. Demi Tuhan, dia adalah makhluk terseksi yang pernah kutemui.
Saraf-sarafku menegang dan merasa sedikit canggung, merasakan gairah
membara seperti saat ini, di tempat sesempit ini. Bibirku kering dan mataku
mendadak pedih hanya karena ia menatapku dengan pancaran penuh
kecemasan. Nafasku sempat tercekat sesaat di tenggorokan, dan aku tanpa
sengaja menatap gerakan urat lehernya yang menggiurkan. Gila, ya aku gila
karena aku bahkan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menyeret alam
sadarku untuk kembali ke daratan sehingga aku bisa mengayun ke depan.
Membutuhkan ribuan detik untuk membuatku mampu menampar sisi
binatangku yang menggebu-gebu.
“Tuan... bagaimana ini?” cicitnya pelan kala, begitu mengejutkanku
bahwa kenyataan suaranya bahkan lebih dari apa yang kupikirkan. Siaaal! Hanya
tiga kata, tapi semua itumampu menganggu kinerja otak dan kemaluanku. Yang
atas menjadi lambat berpikir, sedang yang bawah menjadi cepat bereaksi.
Konyol. Sebuah gerakan berkelebat di sudut mataku, tangannya saling menyatu,

29
melindungi satu sama lain. Aku siap menunggu bahkan untuk waktu yang selama
mungkin untuk keduanya mengelus pelan milikku. Ya Tuhan, Kyuhyun. Keinginan
bengis itu membuatku terpana dan terkejut. Itu adalah keinginan yang paling
terlarang dari semuanya, setidaknya untuk saat ini saja.
Sepasang mataku masih saja rakus dan panas menyaksikan wajahnya
yang terlihat panik. Membayangkan keindahan luar biasa di balik dress selutut
yang ia kenakan seketika membuat otaku mendidih. Tubuh sebatas dadaku,
dadanya yang tidak terlalu besar, serta selakangan seksi serta desakan tertahan
yang bersembunyi di balik tubuhnya adalah paket sempurna. Aku menggeleng
dan meneguk liur mencoba menormalkan mimik mukaku. Tapi... aku justru
kembali mengamati wajahnya lama sekali, menimbang-nimbang. Ada sesuatu
apa disana hingga membuatku jatuh hingga sedalam ini.
“Tuan...” rahangku mengeras, dan aku menjadi tak bisa berkata-kata
karena cekatan dari sela-sela gigiku. Otakku lumpuh, kehadirannya sungguh
mempengaruhi kinerja sarat-saratku dengan begitu hebat tanpa cela. Tanganku
meraih dagunya yang nampak bergetar. Sedikit lancang memang, tapi aku
sungguh tidak bisa menahannya. Ia berjingkat pelan, merasa sedikit tidak
nyaman atas segala bentuk sentuhanku yang begitu tiba-tiba. Ia diam, tanpa
melakukan respon apapun. Hingga akhirnya ia memutuskan mundur menjauhiku.
“Tidak apa-apa. Sebentar lagi semuanya akan baik-baik saja” tenangku.
“Eum...” ucapnya. Aku ternganga dan nafasku mengeluarkan suara
terkesiap kaget. Sudut bibirku kembali tertarik ke atas saat mendengar suaranya
yang disertai gerak tubuhnya yang begitu canggung. Sahutannya itu justru
terdengar lebih mirip seperti desahan untuk mengajakku bergumul di atas
ranjang.Aku memajukkan kepalaku, mencoba mendekati wajah cantiknya yang
berada diluar nalarku. Aku akui, gadis ini memang menawan. Bibirnya merah
dengan sendirinya tanpa harus susah payah membuatnya seperti kebanyakan

30
wanita lakukan. Aku masih belum yakin aku melakukan hal yang benar, tapi aku
juga sudah berkompromi dengan diriku sendiri, bahwa ini adalah tindakan yang
pantas kulakukan.
“Jangan gigit bibirmu. Kau akan membuatnya terluka” dan akan semakin
terlihat begitu menggoda untuk dipandang olehku. Ia kembali menyunggingkan
senyumnya, senyum seadanya tapi mampu membuatku mati dalam hitungan
detik tanpa ampun. Helaan napas pelan keluar dari bibir ranumnya sesaat
setelah aku kembali menegakkan tubuhku. Imageku harus baik, untukknya itu
adalah pengecualian.
“Siapa namamu?”
Ia diam, masih belum memberikan tanggapan apapun kecuali bibir
bawahnya yang kembali ia kuliti dengan gigi atasnya. Matanya mengerjap
gelisah, kegugupan melanda dirinya dengan begitu kentara.
“Hey... kau berkeringat sangat banyak. Apakah tidak apa-apa?” tanganku
yang berada di dagupun berpindah ke dahi gafit itu, kemudian mengusapnya
hingga ketengkuk. Melupakan pertanyaanku yang tak terjawab, aku justru
terlena dengan perbuatan yang baru saja kulakukan. Rasanya begitu lembut
ketika beradu langsung seperti ini. Melihat sikapnya yang canggung, bahkan
desahan pelan gadis itu sungguh begitu menggoda hingga jika saja otakku tak
segera berfungsi... semuanya akan terjadi disini.
“Tidak apa!” jawabnya tegas.
Aku mundur hingga tembok membentur punggungku dan mencoba
menanyainya sekali lagi.
“Siapa namamu?”
“Eunso. Song Eunso” ucapnya pelan diikuti lift yang terbuka. Aku tidak
tahan, dan kurasa ini bukalah saat yang tepat untuk merasakan bagaimana
nikmatnya seorang Eunso. Berada satu lift benar-benar membuat akal sehatku

31
melayang jauh. Lepas dari tubuhku. Kakiku bergerak meninggalkan Eunso tanpa
menoleh ke arahnya. Tidak ada yang dapat kulakukan, tidak ada pencegahan
yanf bisa kuambil. Tidak ada tempat untuk bersembunyi, dan tidak orang yang
mampu menolongku kecuali Eunso. Ya Tuhan, namanya indah sekali!
Gerakan mulutnya yang menawan itu melengkung, seakan seperti sinyal-
sinyal ajakan percintaan yang begitu hebat. Kupikir aku akan gila seandainya
bibir ranumnya itu menempel lembut disekujur tubuhku. Astaga, tubuhku bahkan
bisa merasakan betapa besar kenikmatan yang kuterima jika milikku menyentuh
daerah kewanitaannya. Bajingan. Keparat. Aku tidak pernah merasa ditaklukan
hingga jatuh sedalam ini hanya karena penampilan seorang gadis muda yang
menyuarakan namanya padaku. Aku tidak pernah mendamba wanita hingga
sejauh ini. Aku tidak pernah menginginkan seseorangpun. Aku tidak pernah
merasa selemah ini. Terlebih dengan cara seperti ini, tetapi demi Tuhan aku tak
bisa mengelak kalau aku menyukai perasaan yang dikendalikan oleh dirinya.
Meskipun begitu, aku menyukai bahwa kenyataan aku memang tunduk
akan pengaruh besarnya yang begitu memporak porandakan sarafku. Aku ingin
segera meleburkan tubuhnya dan segera membopong tubuh itu ke tempat
dimana pun untuk menidurinya, kalau perlu sekarang, di tempat ini pula. Rapat
pertemuanku dengan Hyejinpun menjadi kacau, buyar hanya karena seorang
gadis kecil yang menggigit kecil bibirnya. Dan itulah pertama kalinya aku benar-
benar merasa kacau tidak fokus.

Flashback end

Aku meliriknya sekali lagi, menyusuri beberapa tanda hasil


kepemilikkanku. Leher, dada, perut, hingga paha tak ada satupun yang lolos dari
gerakanku. Selama aku hidup, aku tidak pernah merasa sebegitu tertarik dengan
seseorang, aku brengsek tapi aku juga berpegang teguh untuk tetap bersih
hingga pada akhirnya aku menemukan gadis yang tepat. Kenyataan jauh berjarak

32
dengan ekspektasi yang selama ini kubangun, hingga peganganku patah sebelum
batas yang seharusnya.
Melihat Eunso seperti itu, lugu dan rapuh dalam tidurnya telah
mengenyahkan semua perasaanku, melenyapkan semua amarahku hingga hanya
menyisakkan rasa penyesalan yang terkadang bisa datang kapan waktu.
Kelelahan dan terpuaskan, adalah dua hal yang mampu menggambarkan
semuanya. Aku berbaring tepat berada di atas tubuhnya yang telanjang,
meletakkan kepalaku di atas dada besar milik Eunso yang hangat dan begitu luar
biasa. Aku melirik darah yang membekas pada sprei, dan kemudian mataku
beralih pada Eunso yang masih tertidur pulas, masih telanjang.
Perawan ini, aku tak mampu mengelak bahwa ia adalah wanita paling
hebat jika itu dalam hal memuaskanku. Bibirku tersenyum penuh arti. Aku tak
menyesal, meski harus merampas keperawanan Eunso dengan cara yang paling
tidak manusiawi, Cho Kyuhyun tetap tidak akan pernah menyesal. Tentu, tidak
perlu ada penyesalan karena semua yang kulakukan adalah bentuk dari sebuah
kebenaran. Entah akan bagaimana jadinya, Eunso haruslah terus berada di
sampingku, menemaniku, dan aku akan memberikan seluruh cinta bahkan dunia
yang kumiliki dengan percuma.
Dan... Eunso muda, yang sendirian dan kesepian pastilah membutuhkan
cinta. Begitupun diriku. Aku puas dengan apa yang kudapatkan sekarang. Ini
mungkin terdengar kejam dan sadis, tapi dengan cara ini aku akhirnya tahu
bahwa bukan hanya tubuhnya saja yang menjadi milikku. Tapi... hati gadis itu
juga sudah terpaut penuh dalam kuasaku. Persis seperti yang kubilang,
semuanya hanya tinggal menunggu waktu, lambat atau cepat tanganku akan
menggenggam Eunso dengan kehangatan yang tak pernah bisa kubuat-buat. Ia
akan menjadi putri dalam kehidupanku.

33
Senyum kecil muncul dibibirku ketika mataku kembali mengamati Eunso
secara perlahan-lahan. Aku menelusuri wajahnya yang cantik. Diriku tidak
mengada-ada jika wanita yang tengah berbaring dihadapanku ini memang
memiliki pesona jauh di atas rata-rata. Mungkin itu juga yang membuatku
menjadi pria tak tahu diri yang begitu menggilainya. Selain wajahnya yang cantik
wanita ini juga beruntung karena dilahirkan dalam kesempurnaaan fisik dan
kesempurnaan itu semakin hari –semakin membuatku betah untuk
memonopolinya. Matanya yang bening selalu memancarkan keteduhan,
membuatku menjadi percaya diri jika gadis itulah pujaan hatiku.
Setelah ini, akupun tak bisa berjanji untuk tidak menggaulinya lagi dan
lagi. Aku bahkan tak bisa menjanjikan bahwa perhatianku tak akan pernah
diketahui Hyejin. Aku tak akan pernah bisa menyembunyikan semuanya. Dia
kuperbolehkan untuk menjulang di atas tubuhku. Dia kupersilahkan untuk
mengusap tubuhku, membagi nafas derunya denganku. Dia boleh mengalirkan
panas pada nadiku. Dia boleh menyenangkanku dan tentu aku akan berdenyut
hebat di lubangnya yang sempit. Dia boleh melakukan apapun atas diriku,
apapun karena semuanya adalah milik Eunso.
Matanya bergerak gelisah, sebuah pertanda jika sebentar lagi mimpinya
akan segera berakhir. Kami lama saling bertatapan dalam diam.
“Ini salah, tidak seharusnya kita melakukan ini” gumamnya pelan setelah
kami berhasil melepaskan diri dari simpul tak kasat mata yang membelit kami
satu sama lain.
Tidak ada makian atau gemaan seperti yang kuterka-terka selama ini,
Eunso justru mengatakannya dengan pelan bahkan begitu pelan yang justru
menyakitiku. Suaranya parau, hingga membuat pertahanaku bisa runtuh kapan
saja. Intonasi tidak berdaya yang ia suarkan, mampu memberiku pertanda bahwa
sesuatu yang tidak semestinya terjadi memang telah terjadi. Well… penyesalan

34
yang seharusnya datang justru akan terasa begitu sia-sia jika harus dilakukan
sekarang.
“Salah atau benar. Aku tak akan pernah peduli” balasku dengan kedua
lengan merangkul pinggangnya erat.
“Aku menyukainya... dan tak ada yang bisa menghalangi kesenanganku.
Hyejin atau kau sekalipun” desahku sembari menatap bibir ranumnya yang
terlihat membengkak, berharap sekali lagi dia mau berbagi keindahan dan
kenikmatan bersamaku. Matanya menggelap oleh amarah yang tertahan.
Kepalanya menggeleng sembari mendorong dada bidangku menjauh.
“Kau adalah milikku. Dan karena sebab itu pula, jangan pernah sesekali
berpikir untuk menghentikanku” peringatku.
Matanya terpejam, tapi aku yakin ia mendengarku dengan jelas. Ia masih
berbaring di sampingku, tapi tubuhnya bergetar begitu hebat hingga kuyakini
sebab bergetarnya ia adalah karena tangis yang mulai mendera. Aku bangun,
menarik nafas lalu menutupi tubuhnya yang meringkuk dengan selimut. Aku
sadar, perbuatanku ini memang sudah diambang batas, tapi aku juga tidak
berniat untuk mengakhirinya. Kupejamkan mataku rapat-rapat dan menunggu
perasaan bersalah menderaku. Aku tak pernah menyangka, tangisnya ini akan
begitu mempengaruhiku.
Eunso, aku mencintaimu, kau tahu itu. Setelah semuanya terjadi, hanya
kau kebahagiaanku, itulah alasan mengapa aku tak ingin mencari wanita lain
bahkan untuk Hyejin sekalipun. Kau adalah fokus utamaku, tidakkah kau mau
mengerti walaupun sedikit saja? Eunso mungkin membeciku, tapi... tunggulah
hingga aku bisa benar-benar memilikimu. Membahagiakanmu.

35
BAGIAN EMPAT
“Kyuhyun, biarlah dia tinggal disini untuk beberapa waktu. Lihatlah
sebentar hingga kau akan tertegun atas iba yang patut kau torehkan. Untuk
sebentar saja, setidaknya sampai dia cukup dewasa untukku lepas dari
rengkuhanku” ucap Hyejin sembari menyusui Hyunno di atas pangkuannya.
Suaranya terdengar sarat akan negoisasi yang sedang ia gencarkan, tatapannya
tajam, mengingatkanku akan peristiwa beberapa tahun silam.
“Aku tetap tidak setuju. Ada ribuan cara yang bisa kutawarkan untukmu,
tapi tidak untuk harus tinggal bersama kita seperti ini. Aku bisa memberikan satu
bahkan sepuluh apartemen mewah untuknya. Aku tidak ingin berbagi untuk
alasan apapun, dan kau tahu betul itu” kekeuhku.
“Kau... benarkah kau Cho Kyuhyun? Tidakkah sedikit saja perasaan iba
hadir dalam hatimu? Aku katakan sekali lagi, ia sendiri terlebih dia adalah
adikku. Tidak akan ada yang menjaganya, tidak akan ada seseorang yang peduli
akan masalahnya. Dia tidak memiliki siapa-siapa disini Kyu..., bahkan ia tak

36
pernah memiliki apapun. Kumohon mengertilah, setidaknya untuk kali ini saja”
Hyejin memang keras kepala, tapi bisakah aku menang untuk perdebatan ini?
Aku bersandar di konter dapur, tanganku hanya beberapa sentimeter
dari telepon, berusaha kuat untuk tidak membanting benda itu menjadi keping-
keping berserakan. Kebodohan Hyejin benar tidak bisa diterima oleh
kerasionalitasan yang ada. Di abad duapuluh satu ini, sikap rasa ibanya memang
cukup pantas untuk dihancurkan.
Hidup bukanlah perkara mudah, siapun bisa melakukan appaun untuk
tetap bertahan. Well, semua itu pilihan. Entah jalan mana yang hendak kau pilih,
tapi yang kupercaya bahwa ada begitu banyak orang menyelaminya dengan
taktik-taktik yang begitu kotor, bahkan menghalalkan ribuan cara untuk mendaki
puncak kehidupan. Bukan tanpa dasar aku mengatakan hal ini, karena sejatinya
seorang Cho Kyuhyunpun juga terlibat di dalamnya. Dan aku cukup yakin jika
wanita yang sedang kami tangguhkan namanya ini juga mempunyai tujuan
tertentu. Terlepas dari apapun itu.
Well, aku terdiam untuk waktu yang cukup lama, dan anehnya
kekhawatiranku tak kunjung mereda. Entahlah... aku tak pernah merasakan
gejolak hebat seperti ini, aku bahkan tak pernah mengkhawatirkan apapun.
Tapi... hanya karenanya aku jatuh terombang-ambing dalam pusaran keraguan
yang membingungkan. Gadis itu berbahaya, dan firasat seorang Cho Kyuhyun
adalah benar. Entah aku atau Hyejin, bahkan Hyunno yang terluka...
Sesuatu nantinya pasti akan terjadi.
“Tidakkah ada cara lain, selain ini?” pintaku dengan suara serak menahan
amarah.
“Katakan apa saja yang kau inginkan, bisakah otakmu tidak tolol untuk
mengulangi hal yang sama seperti satu tahun silam?”

37
Hyejin terlihat ragu-ragu sejenak, jelas bingung harus melakukan apa. Itu
pertanda bagus, setidaknya aku sedikit memiliki celah untuk itu. Ia terdiam
beberapa saat, dan kalimat pertama yang keluar begitu melunturkan senyum
yang sempat mengembang dalam jiwaku.
“Kumohon Cho Kyuhyun, dia sudah seperti saudara untukku. Aku seperti
melihat cerminan diriku ada padanya. Hanya kau yang mampu menolongku, dan
hanya aku yang mampu menolongnya. Lantas... tidak keberatan bukan jika kau
berbuat sekali lagi untukku?” ucapnya dengan percaya diri. Tatapannya benar
menggoyahkan tekadku. Pertahananku kupaksa mundur agar semuanya tak
menjadi kabur.
Jadi... kali ini aku benar-benar kalah? Lagi?
“Lagipula... ia bisa menjadi pengasuh Hyunno”
“Noona. Kau membiarkan Hyunno dirawat oleh orang lain?”
“Dia bukan orang lain Cho Kyuhyun!” teriaknya marah membuatku
semakin jegah.
Hyejin hanya menatapku, matanya tegang dan marah. Ekspresi itulah
yang membuatnya nyaris tak bisa kukenali. Tatapan hangat dan ramah itu kini
lenyap, sama seperti rambutnya, sorot hangat di matanya yang gelap berganti
dengan sorot yang tidak begitu kusukai. Aku membeku di tempat, merasa
tertusuk oleh tatapan matanya yang setajam pisau. Kepedihan dan amarah
terpancar dari sorot matanya yang kelam, tapi mungkin itu belum apa-apa
dibandingkan berbagai pikiran kalut berkecamuk dalam benaknya. Aku tak yakin
tebakanku ini benar, tapi tanda-tanda di wajahnya cukup membuatku percaya.
Aku menggeleng-gelengkan kepala, berusaha menyangkal sekaligus
menjernihkan pikiran pada saat bersamaan. Meski aku terkenal dengan image
yang sangat buruk, tapi tetap saja. Aku tak pernah benar-benar bisa merasa
kalah, untuk tiga orang perempuan dalam hidupku, Hanna, Ahra, dan Kim Hyejin.

38
Aku tak pernah bisa kalah jika harus berdebat melawan ketiganya. Lama sekali
baru aku menemukan keputusan yang tepat. Hingga aku tak mampu
mempercayai diriku sendiri.
“Oke oke. Aku mengizinkannya. Selagi dia tidak berbuat ulah, aku akan
mengizinkannya” putusku di akhir. Aku tak sanggup bergerak dari tempat
berdiriku, pikiranku berkecamuk. Kita lihat saja, apakah gadis itu akan tahan
dengan sikapku ini.
“Terimakasih Kyuhyun”
“Jangan berterimakasih padaku untuk sesuatu yang tidak kusukai”
“Itu terserahku”
Jawab Hyejin asal.
“Uuu akhirnya Eunso noona bisa ditinggal disini bersama appa dan
eomma. Hyunno senang bukan?” ucapnya bukan pada diriku, tapi telingaku
begitu peka akan satu nama yang sempat menggangguku. Tunggu. Tidakkah aku
salah mendengar jika nama yang baru Hyejin ucapkan adalah Eunso?
“Eunso?” ulangku, mencoba memastikan jika nama itulah yang kudengar
keluar dari bibirnya. Aku... tidak ingin berspekulasi lebih jauh, tapi sisi jiwaku
yang lain justru mengingkan hal itu benar adanya.
“Ya. Eunso, Song Eunso” ucap Hyejin membuatku terpaku, rasanya seperti
ribuan jarum menusuk hingga jantungku yang terdalam. Dari sekian banyak
orang di Korea Selatan, sangat tidak mungkin jika pemilik nama Eunso hanya
satu. Terlebih siapa pula gadis itu yang bahkan nama saja tidak ada yang
menyamainya. Tapi... akupun tak mampu menampik keinginanku, menginginkan
Eunso yang ia maksud adalah gadisku. Hatiku bergemuruh, tentu saja! Jika itu
benar, maka Hyejin baru saja menciptakan nerakanya sendiri. Menciptakan
lubang besar dalam hatinya karena telah berani mempertemukanku... dengan
malaikatku.

39
®®®
Hujan mulai turun rintik-rintik, menusuk kulitku karena rasa dingin yang
ia ciptakan. Aku tak mampu, bahkan hanya untuk mengadu kelopak mata untuk
saling merekat, aku tak mampu. Hujan turun semakin deras, angin juga bertiup
semakin kencang menimbulkan suara getaran di bagian jendela. Sungguh aneh,
karena itu juga yang kutakutkan, tapi setelah mendengar perkataan Hyejin sore
tadi, aku tidak bisa percaya lagi bahwa itulah yang menjadi penyebabnya. Jika
itu adalah Eunsoku, maka aka nada hal selain cinta bertepuk sebelah tangan,
dan itu sungguh membuatku merasa sedikit canggung harus mengatakan itu
kepada Hyejin. Jika itu benar Eunsoku, maka aku akan merasa begitu mendamba
dengan perasaan yang menggila bak remaja. Jika itu benar Eunsoku, maka
neraka adalah tempat yang tengah Hyejin bangun dengan keringatnya sendiri.
Hal itu membuatku kembali berpikir bahwa rahasia apapun yang akan
kusimpan nantinya, pastilah lebih besar dan akan begitu menyakiti Hyejin
melebihi apa yang kubayangkan saat ini. Aku bergerak perlahan, menyentuh ia
dengan perlahan dan lembut... membayangkan Eunso begitu menyiksaku. Aku
memakai piyama lalu merangkak naik ke tempat tidur, dan ini adalah kali
pertama aku memutuskan untuk tidak berada dalam tempat yang sama dengan
Hyejin. Hidupku sudah begitu gila, dan justru aku dengan senang hati menambah
kadar brengsekku dengan mengingkan Eunso.
Aku membiarkan diriku melanggar janjiku sendiri.
Mimpiku baru malam ini, dan itu adalah mimpi pertama yang merasuki
tidurku untuk waktu yang cukup lama, dan ini adalah mimpi tergila dari mimpi
gilaku sejauh ini. Hujan turun dan Eunso berjalan tanpa suara disampingku,
meski di bawah kakiku tanah yang kuinjak bergemeretak seperti kerikil kering. Ia
Eunsoku, anggun dan cantik. Gaya berjalannya anggun dan mantap
mengingatkanku seperti diriku sendiri. Kulitnya putih, berkilau karena pantulan

40
dari cahaya disela-sela kanopi hutan. Matanya berubah menjadi emas,
rambutnya panjang tergurai begitu indah begitu angin menyentuhnya.
Wajahnya begitu mempesona hingga membuat hatiku hancur berkeping-keping.
Aku berusaha mengalihkan pandanganku dari kesempurnaannya sebisa
mungkin, tapi sering kali aku gagal. Kecantikannya menusukku hingga kedalam
ulu hatiku. Aku bahkan tidak mampu mengenali diriku sendiri, aku seperti Cho
Kyuhyun yang baru. Cho Kyuhyun yang hanya tahu bagaimana cara mencintai
Eunso.
“Oppa...” panggilnya. Suarnya yang begitu memabukkan membuatku
bisa merasa bahwa aku adalah pria paling beruntung. Aku mengulurkan tangan
ke arahnya, tapi ia mundur selangkah dengan tatapan malu-malu hingga
membuatku ikut tersenyum. Aku beringsut mendekat, mengulurkan tangan
untuk menyusuri rahang bawahnya dengan ujung hari. Jemariku gemetaranm
dan aku percaya bahwa cinta mampu membuatku jatuh seperti pria pada
umumnya ketika mencinta.
“Rona pipimu cantik” gumamku. Dengan lembut, aku membelai pipinya
yang semerah rona madu.
“Jangan bergerak” bisiknya, dan aku membeku begitu saja. Perlahan
tanpa mengalihkan pandangannya dariku, Eunso mencondongkan wajah ke
arahku lebih dekat. Aku tak bisa bergerak, meski aku juga tidak ingin bergerak
menjauh darinya. Hembusan nafasnya yang lembut, hangat mulai menerpa sisi
wajahku yang dingin. Dengan kelambatan yang disengaja, tangannya meluncur
menuruni leherku. Aku gemetar, bahkan jika aku harus terjebak dalam situasi ini
selamanya, aku rela.
Bibirku mengecup pelan bibirnya yang tak kalah ranum. Bibirku
melumatnya, tanpa mempedulikan apapun. Aku menciumnya dengan kasar, satu
tanganku mencengkeram kuat-kuat tengkuknya, membuat Eunso tak bisa

41
melepaskan diri sedikitpun. Bibirku memaksan bibirnya untuk membuka, dan bisa
kurasakan embusan napasnya yang hangat memasukiku. Hingga pergumulan itu
berlangsung hingga tahap yang begitu menenangkanku. Hal yang mungkin akan
sulit kudapatkan dalam kehidupan nyata.
Semua berlalu, tanpa bisa kuraba bagaimana keadaan yang seharusnya.
Aku... dalam mimpiku menjadi sosok yang begitu lembut bahkan aku masih sulit
percaya bahwa ada sisi jiwaku yang semacam itu. ini menggelikan. Bahkan ini
adalah pertama kalinya aku bermimpi, mimpi yang teramat gila menderaku. Aku
merasakan hangat dalam tubuhnya yang sempit, bahkan untuk waktu yang
cukup lama.
BRENGSEK.
Kedua mataku membelalak ngeri, padahal aku sangat-sangat betah dan
bingung sampai-sampai tak yakin apakah aku sudah bangun atau masih tertidur.
Tapi... keterangsanganku dan tanpa hadirnya Eunso cukup menandakan bahwa
aku sudah benar-benar terjaga. Aku menegang, bahkan terasa nyeri untuk
dituntaskan sendiri. Aku tersaruk-saruk turun dari tempat tidur dan melangkah
ke jendela, mengerjapkan mata, lalu mengelusnya pelan. Oh shit aku benar-
benar menegang. Kedatangan Eunso benar-benar memberikan pengaruh buruk
untukku. Entah karena alasan pertemuanku atau perdebatanku dengan Hyejin,
gadis itu bahkan masuk dalam mimpi erotisku. Kubiarkan tanganku bergerak
tanpa ritme yang jelas, mengelusnya dengan kasar bahkan hal itu tak mampu
membuatku keluar secepat yang kuinginkan. Eunso...
®®®
“Kyuhyun”
“Ya” jawabku singkat. Aku benar-benar merasa kacau atas mimpi yang
menyergapku semalaman. Aku tidak bisa melepas, bahkan aku sangsi bahwa

42
kenyataan aku hanya bisa ejakulasi hanya bersama Eunso merupakan hal yang
membuatku sedikit menjadi pria yang begitu pemilih.
“Tidak biasanya kau bangun seterlambat ini. Apa kau baik-baik saja? Dan
kenapa tidur disini?” aku menilik jarum jam di atas nakas. Tepat pukul 10.05.
“Mungkin karena aku tidak bisa tidur semalaman” jawabku jujur tanpa
harus memberikan alasan yang sesungguhnya.
“Eunso, sudah ada disini” infonya memberitahuku. Bahuku menegang,
dapat kurasakan aliran darahku berdesir begitu cepat disekujur tubuhku. “Eo,
dimana dia?” aku menyembunyikan rasa penasaranku sebisa mungkin. Tuhan,
jika ia benar Eunso, maka jangan pernah menyalahkan segala tindakan yang
akan kulakukan setelahnya. Hyejin, jangan pernah menyalahkanku, aku akan
terus mengingat bagaimana keras kepalanya dirimu meminta ini dariku.
“Dia ada di bawah... Jongmun yang menjemputnya tadi” aku diam, lebih
kepada bingung hal apa yang harus kulakukan.
“Maukah kau menemuinya?”
“Tentu”
“Kalau begitu... bisakah kau menyambutnya dengan...”
“Aku akan melakukan apapun untukmu” potongku cepat.
Senyum yang indah. Aku menghitung langkah, membuang perasaan
gugup yang menderaku dengan cepat. Aku masih belum bisa mengenali, bahkan
ketika Hyejin memberitahukannya padaku. Mungkin... dia bukanlah Eunso yang
kuharapkan.
“Eunso”
“Eonni” jawab seseorang dari arah lain.
Suarnya mengingatkanku dengan suara merdu dalam mimpiku.
“Kau sudah membereskan barang-barangmu?” sosor Hyejin sembari
berdiri meninggalkanku sendirian. Jantungku bertalu-talu hingga rasanya ingin

43
lepas dari tempatnya berasal. Berlebihan memang, tapi beginilah kenyataannya.
Cho Kyuhyun tidak berkutik hanya karena suara seorang gadis yang bahkan baru
saja ku temui kemarin sore. Menggelikan. Tapi... aku menyukainya. Aku
menampik, meski awalnya aku enggan mengakuinya. Aku, jatuh cinta pada gadis
itu pada pandangan pertama.
“Ah ya... semuanya sudah Eunso bereskan, tapi masih ada beberapa hal
yang masih harus Eunso lakukan”
“Baguslah... sekarang bisakah kau kemari sebentar?Kuperkenalkan kau
dengan seseorang. Eunso-ya. Ini suamiku, Cho Kyuhyun. Kyuhyun... ini adalah
Eunso”
Matanya melebar sesaat tatapannya tertuju padaku. Aku bilang apa,
takdir memang telah mengundangku untuk bermain peran di sini bersama
Eunso. Takdir sudah menuntunku untuk sampai pada tahap ini. Jadi siapa yang
tahu, jika gadis yang begitu kuinginkan untuk hidup bersamaku, kini hadir tepat
dihadapanku. Lebih dari itu, gadis itu justru akan tinggal disini untuk kurun
waktu yang agak lama. Ia membungkuk sopan ke arahku, tatapannya tidak
fokus... kurasa otaknya sedang berkecamuk.
“Kyuhyun... Cho Kyuhyun”
“Eunso, Song Eunso”
“Nama yang cantik” ucapku tanpa mampu kutahan. Sangat disayangkan
memang jika gadis itu harus melupakan pertemuan kami beberapa minggu lalu,
disamping aku bisa mengingatnya sepanjang hari.
“Terimakasih tuan”
“Cha. Kau boleh kembali berkemas. Jika ada hal yang kau perlukan,
segera beritahu aku atau Kyuhyun. Tidak perlu sungkan” suruhnya pada Eunso.
Perasaan tidak rela mencuak saat melihatnya perlahan jauh
meninggalkanku, tapi tak ada yang dapat kulakukan. Bagaimanapun juga aku

44
harus menahan diri. Tidak lucu rasanya, aku bisa terlihat begitu menginginkan
gadis itu hadapan Hyejin. “Dia begitu menggemaskan bukan?”
“Ehm... bagaimana dia?”
“Wae? Kau ingin aku menceritakan bagian mananya?”
“Apapun yang bisa kau ketahui”
“Song Eunso adalah keturunan asli Korea Selatan. Usianya masih begitu
muda, jauh berada di bawahku. Tentu saja, sembilanbelas tahun bukankah
angka yang begitu kecil jika dibandingkan dengan angka yang meletak pada
ragaku?” tanyanya di akhir dengan nada terkekeh.
“Lalu?” tanyaku lebih lanjut.
“Jika kau mampu mengenalinya, Eunso adalah salah satu pegawai
magang di Cho-Entertaiment. Seperti dirimu, Eunsopun sudah kuanggap sebagai
bagian dari hidupku. Menempati ruang terdalam dalam hati, bahkan jiwaku. Dia
gadis yang lugudan sedikit pemalu. Aku tidak akan pernah menyuruhmu untuk
bersikap akrab dengan dirinya. Dia cerdas, sangat cerdas. Itu poin pentingnya,
jika kau penasaran”
“Sebelum ini, dia ada tinggal dimana?”
“Penginapan satu kamar di daerah Myeongdo”
Aku menganggukkan kepalaku pelan seraya mengetukkan jemariku di
atas meja.Gadis yang begitu menarik. Seringai tanpa sadar tersemat begitu
gamblang di surai bibirku. Entah ini adalah keberuntunganku semata atau
sekedar kebetulan belaka. Aku merasa apa yang kuinginkan seakan dipermudah.
Lebih parahnya Hyejinlah yang membawa Eunso datang kearahku. Jadi, jangan
salahkan aku jika izin yang kuberikan justru akan menjadi boomerang yang akan
menghancurkan hatimu Hyejin-a. Jangan pernah menyalahkan keadaan bahwa
aku begitu menginginkan kehadirannya. Karena sebelum kau mengajukan hal ini,
hatiku sudah lebih dulu mematenkan gadis itu untuk menjadi milikku.

45
Untuk sekian kalinya aku terus saja menggumamkan nama itu. Ya, nama
gadis yang mendadak memenuhi otakku hingga rasanya menjadi begitu tumpul.
Aku mengusap daguku pelan seraya membayangkan betapa lembutnya bagian
tubuh lainnya di bawah leher dan tengkuknya yang sempat ku lihat tadi. Aku
tidak bisa menampik kenyataan bahwa aku menikmati keberadaan Eunso,
bagaimana tubuhnya yang lembut begitu mempengaruhiku. Pikiranku, tidaklah
semulia yang dikira Hyejin bahkan Eunso sekalipun. Bagaimanapun juga, aku
hanya pria dewasa yang memiliki nafsu dan kebutuhan berudaan, terlepas dari
statusku yang telah menjadi suami orang. Berdekatan dengan gadis muda,
cantik seperti Eunso di naungan atap yang sama, setan mana yang tidak akan
menyelinap dan mempergelap pikiran terlarangku.
Kejantanaku bahkan sudah berereksi sejak tadi, meminta diperhatikan
dan mungkin saja, di tengah perjalanan nanti aku bisa mengajari Eunso cara
melayaniku dengan sebaik-baik pelayanan. Tapi... itu bukanlah hal yang harus
kulakukan. Aku bisa memulainya dengan membuatnya nyaman terlebih dahulu,
memenangkan gadis itu dengan kebaikan yang harus kutunjukkan padanya.
Dan... Eunso bisa menjadi lebih dari sekedar gadis pemuas nafsuku, tapi belajar
melayaniku dengan cara yang lebih menyenangkan.
®®®
Hari demi hari, keinginan bejatku semakin membuatku resah. Menjadi
begitu tak terkendali. Menyaksikan bagaimana Eunso berjalan kesana kemari
dengan anggun berhasil membuatku tersendu melihat penampakan paling indah
di dunia ini. Melihatnya berkeliaran tanpa bisa kusentuh membuat sisi gelapku
menggeram tanpa henti ingin dibebaskan. Eunso ada didepanku tanpa bisa
kusentuh, bagai neraka yang tercipta diantara surga dunia. Keadaan itu justru
diperparah dengan kehadiran Hyejin yang membuat semuanya menjadi semakin
rumit. Bagaimana tidak rumit jika istriku ini selalu saja menempeli Eunso? Tak

46
ada yang dapat kulakukan selain memfantasikannya dalam diam. Demi Tuhan,
bisakah Kau membuatnya menjadi sedikit mudah? Aku sudah dengan sukarela
masuk dalam garis takdirMu, tapi... bisakah Kau juga membuat Eunso balik
menginginkanku?
Kenyataan jika gadis itu menolakku bukanlah suatu rahasia yang harus
kututup-tutupi lagi. Jelas. Orang waras mana yang ingin menjalin hubungan
dengan pria yang sudah beristri sepertiku? Bukti penolakan, bukanlah hal yang
mampu membuatku untuk berhenti menginginkannya. Hanya karena Eunso
menolakku mentah-mentah,bukan berarti aku juga akan mundur. Di dunia ini,
tak ada yang tak dapat kudapatkan. Tak terkecuali gadis itu, Song Eunso.
Kalaupun aku harus kehilangan semuanya, itu bukanlah suatu masalah. Yang
terpenting aku ada bersama Eunso untuk jangka waktu yang lama, bahkan
selamanya. Tak apa jika dirinya menolakku di awal.

47
BAGIAN LIMA
Aku bisa saja kalah, tapi juga bisa menang. Sebagian mungkin akan
menjadi korban, dan aku yakin itu. Entah itu Hyejin atau Eunso, atau justru
keduanya. Tapi... Eunso adalah matahariku, tempatku bergantung akan segala
angan yang kugenggam. Masa depanku yang sempat kuabaikan. Jika ia harus
kalah... maka kekalahan adalah hal yang turut kurasakan. Kehadirannya ibarat
oase ditengah gurun, menghangatkan hatiku yang sudah lama beku,
melembutkan hatiku yang telalu lama membatu.
“Apa yang kau pikirkan eo?” ucap Hyejin tiba-tiba membuyarkan
lamunan seramku. Kupandangi dia, mataku nyaris membelalak tak percaya
hingga rasanya kedua bola mataku hampir copot dari rongganya. Sejak kapan ia
berada disini, didekatku?
“Kyuhyun...” aku kembali hanya memandanginya. Perasaanku tak bisa
ditebak, tapi jelas aku memilih Eunso untuk apapun. Tubuh Hyejin terlihat kaku,
dengan gerakan tiba-tiba, lengannya memeluku kelewat erat. Ia
menghembuskan nafas pelan, dan suaranya hampir terdengar seperti bisikan
untukku.
“Apa yang kau pikirkan hingga selarut ini?”
“Tidak ada. Tidurlah” jawabku sepenuhnya berbohong. Tidak, aku tidak
berbohong, hanya saja kenyataan itu tak mungkin kuutarakan saat ini. Ketololan
tidak kan pernah bisa menghampiriku.
Hyejin menggeleng-gelengkan kepala. “Kau berbohong padaku”
Kupandangi Hyejin lama, tak mampu berbuat apa-apa. Aku tidak tahu
harus bilang apa. Sementara Hyejin menatapku dengan perasaan... penuh
pendambaan? Aku pasti sudah gila mengatakan ini.
“Tidak, Hyejin”

48
“Kyuhyun...”
“Ya”
“Ada sesuatu yang ingin kuucapkan”
“Silahkan”
“Tapi kuharap kau tidak harus marah atau membenciku karena telah
mengatakan ini”
“Ya”
“Aku mencintaimu, Kyuhyun” kata Hyejin dengan nada mantap dan yakin.
“Kyuhyun, aku mencintaimu. Aku tahu kau tidak merasa seperti itu, tapi
aku harus menyatakan hal ini padamu. Aku tidak mau ada salah komunikasi di
antara kita” aku diam. Tidak pernah bisa menebak jika Hyejin akan begitu
lancang menyatakan perasaannya padaku.
“Hey... bercandamu kali ini sangat tidak lucu”
“Aku sedang tidak bercanda Kyuhyun”
“Tapi aku menganggapmu bercanda. Tidurlah, ini sudah larut dan aku
tidak ada waktu untuk meladeni guyonanmu”
“Tidak Kyuhyun!”
“Aku waras, aku serius, dan aku dalam kondisi baik-baik saja. Aku, Kim
Hyejin mencintaimu”
“Jangan membuatku marah”
“Aku tetap akan mengatakannya”
“Dimana otakmu yang terkenal cerdas itu hingga berani mengucapkan
kata menjijikan seperti ini eo?”
“Aku tahu! Aku salah karena melanggar janjiku padamu. Aku tahu kau
pasti jijik padaku karena aku mencintaimu. Tapi... perasaan itu tumbuh tanpa
bisa kutahan Kyuhyun! Aku... aku tidak bisa menyangkalnya, semakin aku
menolak, perasaan itu justru menjadi semakin kuat” aku berusaha

49
menyingkirkan pegangannya pada lenganku. Hyejin mungkin memang sudah
kehilangan akal. Wanita ini... selain bodoh, iya juga tolol untuk masalah seperti
ini.
“Jawabannya tidak”
“Jangan, tunggu! Aku tahu itu, Kyuhyun. Tapi dengar, jawablah
pertanyaanku. Apakah kau mau aku pergi dari sini dan tidak pernah bertemu lagi
denganmu? Jujurlah” sulit untuk berkonsentrasi, brengsek! Cinta benar-benar
membuat Hyejin menjadi idiot. Lebih idiot lagi karena dia berani mencintaiku. Dia
tidak akan pernah bisa bersanding denganku, terlebih untuk mengendalikan
seluruh relung hatiku.
“Kau... tidurlah!”
“Tidak. Sebelum kau menjawab pertanyaanku”
“Kau tahu betul jawabanku, bukan itu yang kuinginkan”
Hyejin lagi-lagi tersenyum menyalah artikan jawabanku hingga
membuatku menyergah.
“Tapi aku menginginkanmu bukan karena alasan yang sama dengan
kenapa kau menginginkanku”
“Kalau begitu jelaskan kenapa persisnya kau menginginkanku”
“Hyejin... kita sudah pernah membahas ini sebelumnya. Tidak akan
pernah ada cinta diantara kita. Salah besar jika kau mengira perjanjian itu hanya
delusi belaka”
“Tapi kenyataannya aku jatuh cinta padamu”
“Kau keluargaku, Ahra keduaku. Aku sayang padamu tapi aku tidak
mencintaimu. Tidak bisakah kau membedakan keduanya?”
“Tapi kau tetap menginginkanku di dekatmu”
“Ya. Seperti aku menginginkan Ahra untuk selalu berada di sisiku”
“Kalau begitu aku akan tetap berada di dekatmu”

50
“Hyejin... kau akan selalu berada di dekatku, tapi dengan alasan yang
berbeda”
“Kau mungkin tidak mencintaiku, tidak. Kau mungkin belum mencintaiku,
tapi... berikanlah aku waktu, setidaknya. Berikan aku kesempatan untuk
membuatmu jatuh padaku, Kyuhyun”
“Kau memang senang menyiksa diri sendiri”
“Kau benar, tapi aku tetap tidak akan kalah darimu” bisik Hyejin. Ia
meraih daguku dan memeganginya.
“Sampai jantungmu berhenti berdetak, Kyuhyun” ucapnya. “Aku akan
terus berada disini, berjuang merebutkan hatimu”
“Berusahalah hingga kau percaya jika pada akhirnya usahamu adalah sia-
sia. Aku peringatkan kau, aku tidak akan pernah mencintaimu, Hyejin” mata
Hyejin menyipit.
“Well, itu membuatku menjadi semakin kuat untuk berjuang, berjuang
lebih keras lagi sekarang, mumpung aku masih bisa” bisiknya.
“Shut up, aku tidak ada cukup waktu untuk meladeni kegilaanmu”
“Aku bisa memberikan semuanya untukmu, kau bisa memilikiku dengan
semua sifat yang kumiliki”
“T...”
Bibirnya melumat bibirku, mencoba menghentika mulutku untuk berkata
lebih jauh. Ia menciumku dengan perasaan marah, lega secara bersamaan. Aku
diam dan tak ada niat menghentikan ciumannya, sebuah kesalahan memang.
Keterdiamanku mungkin saja membuatnya salah paham, tapi aku tetap tidak
bisa berkutik karena ciumannya. Itu terbukti dan membuat Hyejin begitu
bersemangat mengecapi bibirku. Ya Tuhan, aku tidak tahu jika aku juga
sebrengsek ini untuk mencumbu Hyejin. Atas dasar naluri, kubiarkan kedua
tanganku bergerak menuju tengkuknya. Bohong jika aku tidak menikmatinya.

51
Bajingan, aku menikmati itu hingga membuat desahan lolos begitu saja dari
mulut Hyejin. Aku tidak bisa berhenti, dan Hyejin tak akan membuat ini menjadi
lebih mudah.
Hyejin...
“Sudah cukup” akhirnya aku bisa melepaskan wajahnya dan
mencondongkan tubuhnya ke belakang. Senyum Hyejin terkuak lebar. Sungguh,
jika Hyejin adalah seorang pria, jika Hyejin bukan permata untukku, sudah
kuayunkan tanganku ke depan, meninju mulutnya yang terlampau lancang
dengan sekuat tenaga hingga membuatnya berderak.
“Mengenai soal tadi... tidakkah kau ingin mencoba? Maksudku, selama
ini kau terlihat sendiri. Kau menghabiskan seluruh energimu untuk mencari
perempuan-perempuan diluaran sana. Kau bisa bahagia... kalau saja mau
melepasnya. Kau bisa bahagia bersamaku”
“Aku tidak ingin bahagia bersama orang lain” kecuali Eunso. Aku takkan
membiarkan Hyejin membuatku merasa kasihan padanya sekarang.
“Pikirkanlah dulu, Kyuhyun. Kau akan memikirkannya. Malam ini, dan aku
akan memikirkanmu sementara kau memikirkanku” aku menarik nafas dalam-
dalam. Hyejin hampir terlalu defensive, bahkan melebihi seorang idiot sekalipun.
“Entah hal apa yang membuatmu bisa seberani ini, yang jelas... tidak
akan ada cinta untukmu. Terserah untuk hal apapun yang kau lakukan, aku sama
tidak akan ambil pusing. Maka sebelum itu terjadi, simpanlah perasaanmu.
Karena... mencintaiku adalah hal yang tidak pantas kau lakukan. Kuharap kau
bisa memahaminya, terlepas dari apapun itu”
Pernyataan cintamu ini, membuatku yakin. Bahwa kaulah korban
utamaku.
®®®

52
Keesokan harinya aku mulai terbangun dan mulai membersihkan diri,
bergegas menuju dapur dan menemukan dirinya secepat kilat. Tentu saja! Bukan
karena aku adalah pria gila kerja yang harus memulainya dengan segala
keterburu-buruan, tapi... lebih dari itu. Keberadaan Eunso, dan aku tidak ingin
melewatkan pagiku yang berharga.Sungguh, kecantikannya memang bisa
membunuhku saat ini juga jika ia mau. Wangi tubuhnya menyeruak menyambar
bebauan dalam inderaku. Rambutnya tergerai panjang, gerakan tangannya yang
terampil menyiapkan makanan membuat kedua mataku terpana begitu saja.
Bahkan jika bisa, ia akan lari menghampiri Eunso. Tuhan... jangan biarkan aku
terangsang sepagi ini.
“Selamat pagi Kyuhyun. Cepat... Eunso membuat begitu banyak
makanan pagi ini” teriak Hyejin saat matanya berhasil menemukan sosokku.
Wanita itu nampak biasa, seolah pernyataan cintanya malam tadi hanyalah
sebuah ilusi belaka sebagai penghias malamku. Sepertinya ucapanku cukup
mempengaruhinya dan aku cukup beruntung untuk itu, setidaknya aku juga
harus berperilaku sama. Melihat ikatan Hyejin dan Eunso yang begitu akrab
membuatku merasa seperti bajingan yang memperistri dua wanita sekaligus.
Mataku tak pernah bisa lepas memandangi keduanya, tidak terlalu persis,
karena fokusku hanya untuk Eunso. Tak ada ucapan selamat pagi atau sekedar
senyuman untukku. Ia hanya diam, seolah kehadiranku memang tak pernah
mampu menembus pupil matanya.
“Aku tidak tahu jika kau bisa memasak makanan chinesse juga” lontarku
basa-basi. “Sebelum ini, Eunso bekerja partime di restoran” jawabnya lugas
diakhiri senyuman bebas. Aku sedikit tertegun, harga diriku seperti diinjak-injak
hingga hancur berkeping-keping. Kenyataan bahwa Eunso banting tulang ini itu
sungguh mengiris perasaanku dengan cara yang begitu mengerikan. Tidakkah itu

53
sangat disayangkan? Kekayaanku tanpa batas, tapi ia justru bekerja tanpa rasa
cemas.
“Eo dimana?”
“Di Busan Resort”
“Ooo benarkah?” Hyejin menimpali dengan ekspresi terkejut.
“Ne eonni”
“Ya Tuhan, aku dan Kyuhyun dulu sering makan disana, tapi tidak pernah
melihatmu”
“Benarkah eonni?” kini giliran Eunso yang merasa terkejut. Dan aku
begitu menyukai ekspresinya.
“Ne... itu restoran milik Kyuhyun. Kau berada dibagian mana?”
“Aku dibagian dapur, menjadi assisten Chef Kim”
“Ya Tuhan, bukankah dunia ini begitu sempit? Eunso... Kau memang
ditakdirkan untuk menjadi bagian dari kami, bagian dari Kyuhyun” cengir Hyejin
tanpa sadar.
“Ya... eonni terlalu banyak memujiku” ucapnya sembari menatapku. Deg.
Aku terpaku. Tatapannya, seperti sumber listrik yang menyetrum tanpa ampun,
membuatku tersengat oleh getaran statis yang menular ke seluruh tubuhku. Aku
berusaha menyelami lebih dalam dalam manik matanya yang menduhkan jika
saja Eunso tidak memalingkannya dariku. Mengamini kalimat terakhir yang
berhasil Hyejin ucapkan. Cantik, lugu, dan sangat menggairahkan. Bukankah itu
adalah paket lengkap yang dimiliki seorang gadis? Lalu dengan ribuan poin
sempurna yang Eunso miliki… pria bodoh mana yang mampu menampik itu
semua?
®®®
Jam menunjukkan pukul 00.15 KST saat kulihat Eunso keluar kamar dan
berdiri di ambang pintu. Matanya terlihat sayu, rambutnya berantakan khas

54
orang bangun tidur, dan kuyakin ada sesuatu yang ia butuhkan sekarang. Entah
apa, tapi kuyakin jawabannya bisa kudapatkan setelah ini. Semuanya menjadi
kabur, semua pikiranku menjadi buntu. Dan sial, harus kuakui, dia sangat
mempengaruhiku. Ini bukan suatu kebetulan. Berada di ruangan yang sama
dengan Eunso, terlebih di jam-jam seperti ini tentu bukanlah kebetulan semata.
Jelas ini adalah salah satu dari ribuan cara untuk menjerat Eunso dalam
pesonaku.
Ruang tidurnya yang berada di sebelah dapur membuatku menjadi
bajingan yang bahkan menggunakan tempat itu sebagai seribu alasan. Lama aku
melakukannya hingga akhirnya waktu dipaksa bosan untuk tidak
mempertemukanku. Tepat 00.12 matanya menemukanku dengan perasaan yang
sulit kuartikan. Kaget, sungkan... dan takut. Suara langkah kakinya cepat, beradu
dengan ubin kayu yang berat.
“Tuan...”
“Wae? Aku mengagetkanmu?”
“Aniyo...” jawaban singkat dan sarat akan pemaksaan.
“Ehm... apa yang tuan lakukan disini?” tanyanya berusaha mengakrabkan
diri. Aku diam, tidak banyak niat untuk mengeluarkan segala susunan jawaban.
Tapi bahasa tubuhku mengangkat cangkir.
“Maafkan Eunso. Biarkan Eunso membantumu” aku menoleh cepat ketika
dirinya sudah jelas terlihat cemas dan malu ketika berusaha mengambil alih
pekerjaanku. Aku tersenyum, berusaha menenangkan Eunso. Bahaya. Jika saja
kesadaranku hilang, maka ini adalah hari dimana ia harus kehilangan sesuatu
yang paling berharga.
“Tidak perlu meminta maaf... aku terbiasa menyeduh minumanku sendiri”
brengsek sialan. Ketololan merasuki otakku hingga seakar-akarnya. Ya Tuhan...
ke-bulshit-an jenis apa yang sedang aku gaungkan.

55
“Tapi...”
“Ini masih begitu larut... ada hal yang membuatmu tidak nyaman?”
ucapku mengalihkan pembicaraan.
“Aniyo... Eunso hanya terbangun karena haus”
“Oo aku bisa menyiapkannya untukmu”
“Eunso bi...”
“Tidak perlu sungkan” aku menggeser satu gelas dengan gerakan yang
begitu pelan, berhati-hati supaya tidak ada sentuhan fisik yang bisa membuat
kinerja tubuhku kewalahan.
“Terimakasih tuan” ucapnya tulus. Gerakan bibirnya yang beradu dengan
bibir gelas membuat jantungku bergetar, tidak! Kemaluanku berdenyut hebat,
nyeri hingga rasanya aku ingin mati. Demi apapun yang bisa kukorbankan, aku,
Cho Kyuhyun tidak pernah merasa setidakberdaya ini. Kehadirannya mampu
membuat atmosfir di sekelilingku menjadi begitu panas, bahkan dapat
membakar seluruh tubuhku. Aku gila, dan akan lebih gila jika aku tidak bisa
mendapatkannya.
“Eunso...”
“Ya tuan”
“Aku sedikit lapar... bisakah kau membantuku? Aku tidak bermaksud,
Hyejin hanya sedang kelelahan dan aku tidak sampai hati membangunkannya”
ucapku mencoba seyakin mungkin. Aku lapar, bahkan makanan sudah bukan lagi
solusi untukku. Jelas itu pernyataan retoris, seandainya Eunso mampu menebak
akan maksud sebenarnya kalimatku, ya andai saja.
“Tentu! Eunso akan menyiapkan sesuatu untuk tuan” jawabnya cepat.
Aku bergidik ngeri, Eunso takkan pernah paham. Eunso sama sekali tidak
memiliki bayangan tentang apa yang sebenarnya kubutuhkan.

56
Aku memegang gelas dan memandangi Eunso dengan tatapan takjub.
Geraknya cekatan, dan andai saja aku bisa menikmatinya lebih lama. Yang
pertama dapat kukenali ketika melihat Eunso adalah kenyataan indah bahwa dia
adalah pemilik hatiku seutuhnya. Setelahnya adalah matanya yang cokelat
keemasan, kemudian bibirnya yang selalu terlihat menggodaku. Rambutnya
terurai ke belakang punggung, dan akan terus berkibar disana, menjadi penghias
luar biasa saat tubuhnya hanya berjarak beberapa meter dariku.
Dilihat dari segi manapun, Eunso adalah beda. Tidak ada belahan dada
atau betis jenjang yang bisa ia pamerkan. Hanya ada wajah rupaham dan
rambutnya yang panjang. Kupejamkan mataku dan menghirup aromanya yang
masih tersisa. Brengsek! Bibirku berdesis selanjutnya membuka mataku kembali.
Kali ini, mataku benar-benar berkilat panas berbanding terbalik dengan tubuhku
yang dingin sedingin air samudera. Aku terlihat tenang, tetapi akulah yang paling
berbahaya. Aku dapat menenggelam ribuan wanita, tapi aku justru tenggelam
dalam pesona seorang Song Eunso.
Aku menjilat bibirku sementara membayangkan apakah aku benar-benar
siap untuk dihangatkan oleh Eunso. Apakah tubuhku yang dingin di waktu
malam menjelang benar-benar siap terbuka untuk disulut api gairah oleh
dirinya? Bahuku terangkat dan memutuskan untuk berhenti memandang segala
bentuk keindahan yang Eunso tawarkan padaku. Gadis itu... benar-benar
menghantuiku, bahkan semenjak aku menemukan sorot matanya yang lembut.
Ia mampu membuatku berkhayal hebat dengan pikiran kotor dalam otakku.
Lima belas menit berlalu hingga penantianku terbayar sudah.
“Aku selesai... terimakasih untuk masakannya”
“Tidak perlu berterimakasih tuan. Kau sungguh pria yang baik, Eunso
senang bisa membantumu. Ini hanya sedikit yang bisa Eunso lakukan untuk
membalas kebaikan eonni dan tuan”

57
Aku tersenyum dalam hati.
“Kata-katamu berlebihan. Aku tidak melakukan apapun, hanya sedikit
memberimu bantuan” jika bisa jujur, bahwa kenyataan akulah yang harus
berterimakasih. Karena kehadiranmu mampu memberiku sesuatu yang begitu
berharga, Eunso.
“Cha kembalilah tidur”
Eunso menurut tanpa banyak membantah, sama sekali tidak tahu
rencana licik, busuk, dan kotor yang ada dalam kepalaku. Tubuhnya panas, dan
aku sungguh tidak sabar untuk menjalankan rencananya. Ini mungkin akan sulit,
ini mungkin akan menyakiti Hyejin tapi semua itu tak dapat menghentikanku.
Eunso tidak memiliki siapapun, dan akan bergantung padaku mulai saat ini, dan
ia harus mampu menjadi apapun yang ku inginkan. Dengan perjalanan hidupku
yang buruk, aku tidak akan pernah percaya jika di usia tigapuluhtujuhku, aku
akan menemukan harta karus semahal ini, mendapatkan Eunso dan memegang
kendali atas gadis cantik.
Kau... adalah bangsat yang sangat beruntung.

BAGIAN ENAM
Jika harus dihadapkan pada ribuan perempuan di dunia ini, perempuan
yang paling sempurna di mataku, tetaplah Eunso. Ia memiliki semua khayalanku,
ia memiliki seluruh ruang hatiku, dan membuat semuanya seolah dungu bahwa
perhatian yang kuinginkan tak dapat kugapai, bahkan sampai detik ini. Segala
pesona yang kumiliki bahkan terlihat tidak ada apa-apanya dengan angin lalu, ia
lumpuh tak berarti, mati tanpa peduli. Perasaan cinta yang kumiliki, kini berubah
menjadi boomerang dalam segala kinerja sarafku. Ia tuli untuk semua cerita, ia
buta untuk semua wanita. Aku bahkan bisa hancur seketika hanya dengan

58
melihatnya menjauh dariku. Ia oksigenku, menghidupiku dengan segala sesuatu
yang ia punya.
Aku mungkin menjijikan, tapi hanya ini yang mampu kupikirkan. Gejolak
gairah membuatku semakin menggila melebihi batas norma orang pada
umumnya. Pikiranku telah lama mati, tergantikan dengan kuatnya rasa nurani.
Tak ada apapun selain Eunso, ia selalu bisa menghantui segala angan dan pikirku
yang melayang. Lalu dengan kebingungan yang penuh, aku tidak tahu. Aku
mungkin mengutuk tapi aku juga patut berterimakasih. Mengutuk atas segala
perasaanku yang kelewat batas dan berterimakasih untuk perasaan yang
seharusnya kurasakan jauh sebelum usiaku sekarang. Ya, setidaknya Tuhan
masih memberiku kesempatan untuk mencinta dan dicinta, seharusnya.
“Sajangnim...” perkataan Janhyuk membuyarkan lamunanku bersamaan
dengan suara dentuman dj yang menggebu-gebu. Pandanganku kabur akan
banyaknya kilau lampu pernak-pernik menghiasi, bahkan kesadaranku juga
mulai luntur. Wine dan Eunso adalah dua hal paling memabukkanku. Dan sialnya
aku tidak pernah benar-benar bisa untuk melepas keduanya. Well, aku mungkin
bisa melepas wine, asal Eunso selalu ada untuk bersamaku.
Aku tersenyum masam, ini benar-benar tidak baik. Lama-lama perasaan
ini membuatku gila. Dan akan jauh lebih gila lagi jika aku tidak mampu
memilikinya.
“Kenapa tidak ke ruangan biasanya?”
“Adakah hal yang mengganggu?”
“Janhyuk, berapa usiamu?” aku balik bertanya tanpa berniat membalas
balik pertanyaan yang menurutku terlalu retoris untuk dijawab.
“Duapuluhtujuh tahun”
“Muda sekali...” sautku sedikit tidak terima.

59
Tampan dan muda adalah hal ajaib yang tak dapat kumiliki. Aku mungkin
tampan, tapi aku tak lagi muda seperti yang lainnya. Tigapuluh tujuhku begitu
jauh bahkan untuk pria seperti Janhyuk. Aku tua... dan gilanya aku justru
mencintai daun muda.
“Tidak semenyenangkan yang Anda pikirkan” jawab Janhyuk.
Aku tertawa karena harus mendengar jawaban Janhyuk yang kelewat
paham. Bagaimanapun juga, berteman dengannya adalah suatu keberuntungan
yang patut kusyukuri. Ia selalu bisa menempatkan keadaan dan lebih dari itu ia
selalu bisa menanggapi perasaanku tanpa harus kulontarkan lebih dulu.
Semacam kaki tangan yang setia mungkin.
“Janhyuk, pernahkan kau merasa... jatuh cinta?” aku tahu, ia pasti
bingung atas pertanyaanku yang ambigu.
“Pernah”
“Bagaimana rasanya?”
“Ada banyak, hingga mampu membanjiri hati dan pikiranku”
“Aku tidak keberatan untuk mendengarnya lebih jauh” sejenak Janhyuk
ragu-ragu, seolah tak yakin bagaimana cara menjelaskannya padaku. Aku
menghitung hingga tiga, jika ia belum juga maka gaji adalah taruhannya.
“Saat aku jatuh cinta, aku akan merasa bahwa dialah yang terbaik
untukku. Aku melihat kesempurnaan di wajahnya, lewat penampilan, cara
berpikir, hingga caranya bertutur kata. Semuanya terlihat begitu menawan. Aku
memujanya hingga mampu membuatku cenderung buta. Jikapun aku egois,
maka tak ada yang kuinginkan selain dia. Tapi...bukan itu poinnya. Ada hal yang
lebih penting dari itu” ia diam sesaat dan kembali meneruskan.
“Yang paling penting adalah kehadirannya menjadi berarti bagiku. Bukan
berarti hidupku tidak bahagia tanpa dia, tapi karena keberadaanya di
sampingkulah yang menjadikan hidupku sudah sah untuk dikatakan sempurna”

60
aku tertawa, merasa kurang percaya atas segala kata yang Janhyuk lontarkan.
Tapi... jika aku harus berpikir, Janhyuk mungkin benar, dan itu sedikit
membuatku yakin bahwa perasaanku adalah nyata...
Mencintai adalah perihal yang tidak dapat dibeli atau sekedar untuk
merasai. Perasaan itu mungkin suci, hingga saking sucinya aku perlu
memperoleh segalanya dengan pengorbanan yang berlebih.
“Hei... kukira kau tidak paham akan masalah seperti ini”
“Aku pria normal”
“Jawaban brengsek. Tapi aku setuju... Kau normal dan kau berhak
merasakannya”
“Pujian yang membangun bos”
“Lalu apakah kau berkencan dengan wanita idamanmu itu?”
Janhyuk mengangkat bahu. “Tidak dalam arti teknis, tapi aku memang
menghabiskan sebagian besar waktuku dengannya. Kau tahu? Semacam tarik
ulur”
“Tarik ulur?”
“Hmm... susah untuk menjelaskannya, pria kebanyakan melakukan itu”
aku menyipit licik mendengarkan. Kata-kata yang barusan tak kupahami, kini
mendadak terpatri dalam pikiranku. Pria memang brengsek, dan gilanya
perempuan menyukai kebrengsekan kami.
“Jadi apa?” tanya Janhyuk pada akhirnya. Butuh dua detik untukku
memutuskan. Cinta benar-benar membuatku merasa bahwa tidak ada hal yang
paling kuinginkan selain ia yang kucintai. Aku tahu ini adalah hal paling tolol dan
paling sembrono yang pernah kulakukan. Tapi aku juga tidak bisa berhenti.
Rasanya ada dorongan kuat yang menginginkanku untuk terus mencintai
seorang Eunso.
“Pria seusiaku, apakah bisa merasakan hal sepertimu?”

61
“Hey... memang siapa bilang usia itu berpengaruh? Cinta tak pernah
dibuat-buat, ia datang tanpa mengenal ras, budaya, maupun agama sekalipun.
Bahkan kau bisa jatuh cinta lagi pada orang yang sama”
“Janhyuk... bajingan sepertimu kenapa bisa mengeluarkan kata-kata
manis seperti ini”
“Pengalaman saja”
“Bajingan”
“Kau juga”
“Aku mungkin tidak pernah mengenal cinta tapi... aku bisa merasakan
cinta dihatiku. Rasanya seperti feremon yang mencanduiku. Kau tahu?”
“Ya. Itu juga yang membuatmu merasa bahwa candu itu adalah hal yang
ingin kau rasai lagi dan lagi. Hingga pada akhirnya tak ada satu halpun yang
mampu menghalangimu untuk merasainya”
“Well… tidak masalah jika banyak pertentangan?”
“Tidak masalah”
“Tidak masalah dengan seberapa jauh jarak usia membentang?”
“Asal tidak mencumbui bayi saja, menurutku itu masih dalam batas
normal” brengsek.
“Tidak masalah seberapa dia menolakku?”
“Tidak. Perempuan akan luluh dengan teknik semacam tarik ulur”
“Brengsek”
“Dan… aku juga bisa mengulangi lagi bahwa kau juga brengsek bos”
Aku mengangkat bahu pelan, pernyataan Janhyuk tidak semuanya bisa
kuterima. Jika wanita memang senang untuk di tarik ulur, secara logika
seharusnya Eunso sudah jatuh dalam pelukanku jauh sebelum ini. Tapi aku masih
mencoba mempertimbangkan jawaban Janhyuk yang sedikit banyak bisa
kuterima secara rasional. Aku menjadi lebih percaya diri bahwa kenyataan cinta

62
memang tidak dibatasi oleh apapun, seberapa tinggi eksistensi seseorang atau
betapa tidak berdayanya seseorang… mereka tetap membutuhkan cinta.
“Biar kutebak, bukankah loli seksi itu adalah imajinasi liarmu tiap
malam?” aku diam. Sebegitu terlihatnya kah?
“YA” lagi-lagi Janhyuk menjawab tanpa harus kusuarkan lebih jauh.
“Tapi... selain kau adalah pria beristri. Tigatujuhpuluhmu juga tidak
membantu. Aku jadi sangsi jika Eunso justru akan lebih tertarik padaku yang
lajang dan bergairah di waktu yang bersamaan”
“Kau salah besar”
“Katakan dimana letak kesalahanku. Aku memiliki kelebihan yang tak
bisa kau miliki bos, dan setidaknya… kau bisa memberikanku kesempatan untuk
mencoba”
“Salahnya karena kau tidak cukup eksistensi untuk bisa membuat Eunso
merasa jatuh cinta padamu”
“Apakah kau sedang mendeklarasikan bahwa kalian benar-benar merasa
saling mencintai? Are you a crazy?”
“Aku akui gila!! Dan kau lebih gila karena membuatku iri. Bajingan
bangsat! Membuang waktuku saja”

®®®
AGUSTUS

SEPTEMBER

63
OKTOBER

NOVEMBER

DESEMBER
Hidupku terus berjalan hingga akhirnya kuasaku tak lagi bisa menahan.
Menghancurkan segalanya... Dan ini bukanlah awal, melainkan pertengah yang
sudah lama kumulai. Aku akan terus mempertahankan Eunso dengan segala
konsekuensi yang ada. Tanpa ingin menghindarinya.

®®®
Jarum jam menunjuk tepat pukul satu malam. Seolah telah menjadi
kebiasaan bagiku, mataku terbuka dengan mudahnya tanpa harus susah payah
memasang alarm seperti yang biasanya Hyejin lakukan. Alarm itu sudah
tertanam dalam diriku sejak awal. Otomatis sejak Eunso berhasil menguasai
seluruh inderaku. Sejak gadis itu selalu bisa menghipnotisku. Mataku melirik
Hyejin yang masih terlelap. Wajahnya teduh, meneduhkan memang. Tapi itu
sama sekali tidak berlaku untukku, sama sekali tidak terlebih setelah pernyataan
cintanya memekikkan telingaku. Di dunia ini, wanita seperti Hyejin mungkin

64
memang tidak ditakdirkan untuk hidup dengan Cho Kyuhyun. Bahkan untuk di
kehidupan selanjutnya... aku tetap akan menginginkan Song Eunso.
“Aku tinggal sebentar Hyejin-a” bisikku pelan sembari turun dari tempat
peraduan kami.
Entah aku yang kurang peka ataupun tidak ingin banyak menerka. Hyejin
seharusnya tahu jika aku sedang begitu menginginkan Eunso. Kupikir atau pikirku
yang keliru, lebih baiknya jika Hyejin tidak akan sebodoh itu untuk menyalahkan
artikan perhatianku kepada Eunso. Tapi... alih-alih mengeluarkan Eunso dari
rumah, wanita justru semakin mengikat pujaanku untuk tetap berada disini,
berada dalam satu naungan dengan srigala sepertiku. Terserah. Aku tidak peduli,
toh ini menyenangkanku.
Dengan tekad penuh pasti, langkah pelan mulai membawaku menuju
satu-satunya kamar yang membuatku uring-uringan sepanjang hari. Ya. Apalagi
jika bukan kamar Eunso. Tidak perlu terkejut atau berlebihan, ini adalah kegiatan
rutin yang kulakukan. Tujuanku sudah di depan mata dan tak ada hal apapun
yang mampu menghalangiku. Pertahananku sudah lama hancur, dan inilah yang
akan kulakukan. Menikmati Eunso seperti ini sungguh membuatku tertantang
untuk melakukan hal yang lebih.
Perlahan aku membuka pintu kamar dengan ukiran klasik di setiap
sisinya. Satu satunya sekat penghalangan antara Eunso dan diriku serta satu-
satunya saksi bisu tingkah lakuku. Lihatlah betapa manisnya ia. Tubuh mungil
dengan kulit sehalus sutra. Wajahnya menggemaskan dengan mata bulat besar
dan hidungnya yang kecil. Oh tentu jangan pernah lupakan bibirnya yang ranum
dengan warna merah yang begitu alami.
... wajahnya begitu dalam terpejam dalam lelapnya, tak pernah
menyadari tentang bahaya yang selalu mengintainya. Tanganku terulur
menyentuh pipi Eunso, membuatnya mengerang pelan lalu mengubah posisi

65
tidurnya, tetapi tetap tidak terbangun.Bibir Eunso yang proporsional membentuk
sempurna, tidak tebal tidak tipis, tidak lebar tidak pula kecil. Mengeluarkan
suara khas orang tidur yang begitu memabukkan. Kudekati ranjang putih hijau
lalu mulai berbaring bersamanya. Lenganku meraih hangat pinggang
rampingnya, membuat ia semakin menempel erat pada dada bidangku.
“Selamat malam, sweety”
Itu saja, selebihnya aku pergi meninggalkannya dalam diam.Pengecut
memang, tapi biarlah. Semuanya hanya tinggal menunggu waktu.
®®®

Tepat tanggal 29 November, semuanya hancur tanpa dapat terbendung.


Gelapnya langit seolah sebanding dengan gejolak amarah dalam dadaku.
Bahuku naik turun mencoba mengontrol emosi yang menggelembung hingga
batas yang tak dapat kupahami. Melihat Eunso bertegur sapa dengan pria
membuat darah mendidih tanpa dapat kukendalikan. Dan inilah saat paling
menyeramkan. Dan inilah semua cerita akan kembali dimulai.
“Kau adalah milikku”
Keheningan mengikuti kata-kataku dan aku bisa melihat jika Eunso
sedang berusaha keras memahami makna dari kata perkatanya. Kelebat arti
memenuhi kedua matanya dan aku memutuskan untuk membiarkannya
menebak tanpa ikut campur.Aku semakin merunduk ke bawah dan membisikkan
ucapan selanjutnya.
“Sekali lagi, kau adalah milikku. Milik Cho Kyuhyun”
Eunso tak sempat bereaksi ketika bibirku turun untuk menutupi mulutnya
yang menganga lebar. Ledakan itupun kembali menghampiriku, begitu kuat
sehingga aku nyaris tidak bisa menampungnya. Kali ini sekedar bibir menempel
bibir saja tidak lagi cukup, aku mengingkan sesuatu yang lebih. Ini memang
bukan ciuman pertama kami, heol. Jadi, aku menciumnya sedikit keras,

66
menyesap bibir lembutnya yang kenyal hingga membuatnya terperanjat kaget,
keluar sebagai respon dari tubuhnya tanpa ia sadari. Refleks, dia berusaha
mendorongku menjauh. Eunso mungkin ketakutan, tapi aku juga tidak bisa
ditahan. Kesalahannya sudah begitu mempengaruhi pengelolaan emosi dalam
diriku.
Aku mengangkat kepala dan manatap wajahnya yang sedikit memerah.
Matanya membulat penuh keteduhan, tapi... aku juga menangkap sisi lain dari
tatapan itu. Tatapan ketakutan atas tindakan yang baru saja kulakukan. Sial.
Semenakutkan inikah diriku? Tentu sialan. Siapa yang tidak takut dengan dirimu
Cho Kyuhyun?
“Sa...jangmin jangan seperti ini”
“Ssst...” tanganku berpindah dari bahu untuk menangkup sebagaian
wajah ayunya.
“Apa saja yang kau lakukan hari ini hum?”
“Ke uviversitas...”
“Lalu?
“Tidak ada”
“Eunso... aku tidak suka jika bibir sexymu ini membohongiku. Tidak
tahukah kau?”
“Sajangnim...”
“Sudah kukatakan kau adalah milikku. Maka, yang harus kau lakukan
hanyalah menuruti semua perintahku” ucapku.
Persetan dengan prasangka-prasangkanya yang menyebutku brengsek.
Aku tak peduli. Inilah hal yang sempat membuatku berat hati, semuanya tentu
akan lebih mudah jika saja Hyejin tidak memperkenalkanku sebagai suaminya.
Eunso pasti tidak akan menolakku hingga sedalam ini. Gadis itu pasti akan lebih
mudah kumiliki. Melihat penolakan yang selalu Eunso lontarkan, membuatku

67
semakin ingin memasukkan jiwa jalang kedalam tubuhnya. Hingga tak ada lagi
rasa malu yang menghinggapinya. Hingga tak ada lagi rasa takut untuk
menerima perasaanku. Tapi... itu bukan solusi. Eunso tak pernah bisa disamakan
dengan jalang diluaran sana. Gadis itu suci, seperti tak ada noda yang hinggap
dalam tubuhnya. Hatinya bersih.
Aku tidak mau menunggu sampai Eunso memberikan responnya padaku.
Aku tidak akan menunggu hingga pria lain menaklukan hatinya. Gadis itu tidak
berhak menolakku. Aku menekankan bibirku dan merasakan Eunso mulai
menegang. Dia menggeliat pelan, tapi posisinya yang berada di bawah tubuhku
membuatnya susah bergerak. Suara berontak dan engahannya berjalan
mengiringi tubuhnya yang semakin menolakku, tapi... aku juga tidak akan
berhenti sampai dia menyerah dengan sendirinya.
Eunso pasti mengerti, begitu mengerti bahwa dirinya memang tidak bisa
melarikan diri dari semua ini, tidak bisa menghindari hal ini. Dan... ia tak akan
mampu menghindar dariku.
Aku melanjutkan eksplorasiku, menyesap dan menikmati bibir penuh
Eunso dari setiap lini, dari atas bawah. Bahkan aku sesekali mengajaknya
bertarung meski sia-sia. Merasa cukup, aku kembali mengangkat wajahku dari
wajah ayunya. Aku menatap mata Eunso yang balas menatapku dengan
matanya yang memancarkan rasa kaget. Matanya berkilat, seakan mengatakan
padaku jika air matanya akan tumpah kapan saja. Pelukanku pun berasa tidak
berarti apa-apa, gadis ini terus saja berderai air mata meski sudah berada dalam
kungkunganku. Tidak masalah, hari ini mungkin aku kembali membuatmu
menangis. Tapi itu lebih baik, lebih baik daripada membiarkanmu menjadi milik
orang lain.
Aku mengelus wajah Eunso yang masih membeku di bawah
kungkunganku.

68
“Ini adalah ciuman hebat, tapi... kau harus ingat. Aku tentu akan
melakukan lebih dari ini”
Flashback End

Aku merangkum wajah Eunso yang terperangah dengan mata bulatnya


yang membesar kemudian menundukan wajah, mengklaim bibir penuh itu
dengan segenap gairah yang kupunya. Rasa bibirnya masih sama, masih begitu
nikmat. Senikmat apa yang ada dalam pikiranku. Aku menatap Eunso seduktif,
sedikit terkejut ketika mata gadis itu mulai berair dan wajahnya yang menatapku
dengan horor. Tatapan itu sesaat mampu mempengaruhiku, tapi gairahku yang
dominan mendesak juga membuatku berada dalam posisi yang sulit. Rasa sakit
yang kurasakan tak mampu membuatku untuk menahannya lebih lama lagi. Aku
tersiksa, tersiksa akan situasi yang begitu menekanku. Aku menginginkan gadis
ini melebihi apapun. Aku lelah jika harus mencintainya dalam diam, seolah
perasaan yang kurasakan adalah hal yang salah. Salah atau tidak, semuanya tidak
dapat merubah apapun.
Sudah kubilang bukan, ada tidaknya Hyejin tidak akan pernah
mempengaruhiku, meski aku berharap itu akan benar-benar mempengaruhiku.
Aku merasa kalau aku sudah melampaui batasku kepada Eunso. Air mata yang
mengalir di wajahnya mengusik otakku selama berjam-jam bahkan setelah aku
meninggalkannya begitu saja di atas peraduanku dulu. Meninggalkan dirinya
yang ketakutan pada sikapku yang seperti bajingan. Tapi, bukanlah itu adalah
sesuatu yang baik untukku/. tapi sekali lagi aku mengerang keras. Gairahku tidak
bisa berhenti hanya dengan mendengar kata tidak atau sekedar bulihan air mata
Eunso. Terlebih jika bayang-bayang Eunso dikelilingi banyak pria mulai
merasukiku tanpa ampun.
“Sajangnim... jebal. Apa yang kau lakukan? Tolong lepaskan aku” cicitnya.

69
Sebagian diriku nyaris menuruti permintaan kecilnya, tapi pada akhirnya
sisi gelapkulah yang memenangkan pertarungan ini. Bayang-bayang Eunso pergi
bersama pria lain membuatku yakin, jika aku tak segera melakukan ini. Eunso
bisa saja direbut oleh orang lain, dan aku tidak menyukai kenyataan itu. Aku tahu
bahwa ini mungkin terlalu cepat. Seharusnya aku lebih banyak menunjukkan
simpati dan bujuk rayu sebelum menyeretnya ke ranjang. Setidaknya menunggu
ia mencintaiku atau sekedar membuka sedikit hatinya untukku.
Tapi... sekali lagi. Ingatanku tentang kepergiannya bersama seorang pria
membuatku muak. Gadis ini hanya milikku, meski belum sepenuhnya iya tapi
bukan berarti ia bisa pergi dengan siapapun dengan secara gamblang. Aku bukan
maniak ataupun pria dengan tingkat posesif yang begitu kuat. Aku hanya takut
kehilangan.
Eunso nampak bingung dan sedikit terguncang ketika aku mendorongnya
cepat hingga membuat tubuhnya rebah ke ranjang. Telentang dengan begitu
menggoda sehingga membuatku nyaris bisa dibilang singa yang hendak
menerkam kelinci buaiannya. Aku menindih gadis ini dengan cepat, nafasku
begitu memburu karena gairah yang naik dengan cepat hingga membuatnya
takut bukan kepayang.
“Tuan?” terdengar napas senggal Eunso ketika dirinya mencoba
membebaskan diri dariku.
Aku merangkum wajahnya yang terperangah dengan matanya yang
membulat lebar lalu menundukkan wajah, mengklaim bibir penuh tu dengan
segenap gairah yang sudah kusimpan sejak lama. Lezat. Itulah rasanya.
“Kau tahu betul apa kesalahanmu sayang”
“Mwo?”

70
“Kau bilang seharian ini kau di kampus. Lalu kenapa aku begitu
menemukan banyak bukti jika kau juga pergi dengan pria lain hum? Apa kau
lupa, kau ini milik siapa?” tanyaku penuh penekanan.
Eunso tentu saja ketakukan, terlebih mendengar nada suaraku yang
begitu dingin dan sarat akan kemarahan.
“Kumohon tuan... Aku tahu aku salah, dan akupun tahu kau adalah pria
yang baik. Memberiku makan dan tempat tinggal, lebih dari itu kaupun
membiayai pendidikanku. Aku akan melakukan apa saja, bekerja untukmu,
membersihkan rumah, memasak, dan mengasuh Hyunno. Aku akan menjadi
orangmu yang paling patuh dan setia. Bahkan tuan tidak perlu membayarku. Aku
bersungguh-sungguh”
“Lalu?”
“Jadi kumohon jangan seperti ini. Aku... dan kau tidak akan pernah
bersatu. Sekuat apapun kau menginginkanku semuanya tak akan berubah.
Kuyakin, oppa hanya sedang bimbang. Kau hanya sedang tersesat karena
mencintaiku. Hyejin eonni punya segalanya, dia cantik terlebih dia sudah
melahirkan anakmu”
“Aku sedang tersesat?” tanyaku.
Well, tau apa dia tentang perasaan yang tengah tersesat. Disini, akulah
pemiliknya. Akulah yang mengemudikannya, dan aku tak pernah salah arah.
Diriku tahu jelas siapa gadis yang selalu memenuhi relung hatiku. Lalu... kenapa
gadis ini begitu percaya diri mengatakan jika perasaanku adalah sekedar
perasaan yang tersesat belaka?
“Ya... oppa hanya sedang tersesat karena kehadiranku. Dan Eunso yakin,
semuanya akan kembali menjadi lebih baik jika saja Kyuhyun oppa mau
berusaha. Tidak, akupun akan membantu. Jadi... biarkan Eunso pergi dari sini.
Hiduplah bersama eonni seperti sebelumnya”

71
“Memang seperti apa kehidupanku sebelumnya?”
“Tentu saja kehidupan yang begitu membahagiakan, pasti seperti itu. Ya.
Hyejin eonni dan Hyunno yang akan menjadi pelengkap kebahagiaanmu. Kalian
akan menjadi keluarga yang begitu sempurna dan aku... akan pergi. Menemukan
kebahagianku sendiri”
“Kebahagianmu bukankah ada ditanganku hum?” tanyaku to the point
membuatnya diam tanpa sebab. Jika perintahnya adalah mencapai kebahagiaan,
lalu dengan cara seperti apa Eunso bahagia tanpaku?
“Kau mencintaiku kan?” tanyaku lagi.
Bola matanya bergerak ke segala arah, menandakan jika gadis itu tengah
mencari-cari jawaban yang begitu menyakinkanku.
“Tidak”
Emosi memuncak begitu saja, amarah yang tadi terpendam karena
kepergian Eunso dengan pria lain kembali menguak saat mendengar jawaban
atas penolakan yang gadis itu berikan. Aku tidak akan marah, jika saja Eunso
berkata jujur atas perasaannya. Jelas sekali bahwa gadis ini mencintaiku,
kenyataan antara mulut dan matanya membuatku jengah hingga membuat diriku
kalap dan lepas kendali. Sampai akhirnya berani menyentuhnya, menjadikannya
milikku.
Aku tahu, tindakanku ini mungkin terlalu cepat, terburu-buru dan
terkesan mencuat. Seharusnya, Eunso lebih bisa merasakan banyak simpati dan
bujuk rayuku sebelum pada akhirnya ia berhasil kuseret ke atas ranjang berbulu.
Itu seharusnya. Tapi... memandang Eunso yang rapuh, emosiku yang begitu
lepuh, dan melihat ekspresi naïf serta polos di wajah cantiknya… simpatiku
berubah cepat menjadi gairah yang tak bisa kubantah. Aku menjadi begitu tidak
sabaran, tubuhku mulai mengeras sakit dan membengkak ingin dipuaskan. Dan
bangsatnya lagi, aku hanya ingin Eunso. Semuanya datang tanpa bisa

72
kukendalikan dengan baik. Lama aku memikirkan, kebutuhan biologisku tak lagi
sejalan dengan pikirku yang cemerlang. Nuraniku melayang, membenarkan
segala ujar setan yang menggiurkan. Aku tetap tidak merasa bersalah, meski
harus merenggut keperawanannya lewat jalan yang tidak semestinya, aku tetap
tidak bisa merasa bersalah.
Lagipula, jika aku ingin berpikir lebih jauh... cepat atau lambat, inilah
nasib yang Tuhan gariskan untuk Eunso. Entah sekarang, ataupun untuk
beberapa bulan kemudian, ia tetap akan menjadi milikku, bagaimanapun
caranya. Rumah, kekuasaan, dan cinta yang melimpah, adalah hal yang patut ia
bayarkan untukku. Jika ia berniat membalas budi, maka ada baiknya dia
melakukannya sekarang. Semuanya biarlah berlalu, hingga semua kenangan
menjadi tertelan waktu, menyisakkan hatiku yang lama-lama menjadi begitu
beku. Ini bukanlah akhir, ini adalah awal memulai takdir. Aku mungkin fatal, tapi
bukan berarti semuanya akan berakhir dengan kegagalan yang optimal. Eunso
bisa saja trauma, tapi aku juga banyak cara untuk membuatnya bisa
menginginkan itu semua.
Kau mungkin tak akan mengerti atau bahkan tak paham sama sekali. Tapi
Eunso, inilah caraku dalam mencintaimu. Itu adalah hal yang mampu kupikirkan,
karena bajingan brengsek sepertiku mana paham seperti apa cinta harus
diperlakukan. Dan gadis lugu sepertimu, mana tahu makna cinta yang sedang ku
bubuhkan. Cinta dalam pandanganmu… justru tak terlihat seperti apa yang
tertera dalam benakku. Kita tak akan bisa saling sejalan, tapi aku juga tak akan
pernah melepaskan. Karena Cho Kyuhyun tak pernah salah, dan semuanya hanya
tentang waktu, hingga kebahagiaanku melebur denganmu menjadi satu.
Detik silih berganti, hari terus berlalu pergi, aku terus berhitung
hingga… lambat laun aku sadar. Rasa cintaku tak lagi sejalan dengan nafsuku
yang menggelegar. Menahan Eunso untuk berada dalam kubangan nerakaku

73
adalah hal paling bodoh yang pernah kulakukan. Nuraniku setidaknya sedikit
tercerahkan bahwa sesungguhnya cinta tak pernah bisa didapat melalui
kekangan dan paksaan. Tapi… itu juga bukan sebuah jaminan kuat untukku.
Semua tidak pernah bisa menjadi patokan untukku tetap menjadi baik. Karena…
iblis dalam diriku juga takkan pernah bisa meradam. Aku tetap bisa mencumbu
Eunso, jika saja emosi dan gairahku berada dalam batas ambang kenormalan. Ini
bukan lagi soal pemerkosaan, well setidaknya itu yang dapat kusimpulkan,
karena sejatinya tubuh Eunso sudah sangat terbiasa denganku.
My body is an error. Itu adalah pernyataan paling mutlak. Bahkan saat
bersama Hyejin sekalipun, tubuhku tetap tidak bisa berbohong. Pesonanya yang
rupawan, mampu membuatku tergairahkan bahkan untuk jangka waktu yang
lama. Aku tak pernah bisa berhenti, bahwa Eunso memang layak untuk dipuji.
Untuk hal-hal diluar nalar seperti saat inipun… segalanya mampu
mempengaruhiku tanpa ampun hingga batas yang tak berarti. Semua hal positif
yang Eunso pancarkan selalu bisa membuat gairahku terbabat habis tanpa
terkaan. Hell… ini adalah neraka sekaligus surga untukku. Menenangkan
sekaligus mematikan.
Secangkir kopi dihidangkan untukku, dan kurasa tak ada alasan klasik
untuk tidak menyeduhnya sekali. Setidaknya, kafein dan rasa kopi yang kuat
mampu membuatku bertahan untuk terus duduk bersama Hyejin dalam
beberapa waktu yang tak dapat kutentukan. Aku meliriknya sementara meneguk
kopiku lagi. Tabiat Hyejin selalu mudah kutebak. “Aku tahu, ada beberapa hal
yang ingin kau lontarkan. Aku akan mendengarkannya”
Hyejin mencondongkan tubuhnya ke depan dan melipat tangan di meja.
“Untuk beberapa hari ke depan, sepertinya aku akan ke Busan” aku mengernyit,
beruntung untuk tidak tersedak cairan kopi sedikitpun. Kesunyian mengikuti
kami sesudahnya, menciptakan gema yang tak mampu kusambar secara nyata.

74
Aku menyandarkan punggung mencoba mencerna beberapa katanya dengan
seksama. Menarik napas sampai dadaku mengembang, lalu perlahan
kuhembuskan lagi sementara menatap cangkirku di atas meja. Well, aku tak
pernah bisa menerka, bakal kejadian apa yang akan saling mendera. Aku
bersedekap lagi, Hyejin mendongak, bergeming menatapku dengan jangka waktu
yang cukup lama.
“Ada pertemuan dengan beberapa client” jawabnya menangkap tanya
dalam sudut mataku yang tersirat. Aku enggan percaya, tapi… satu sisi dalam
hatiku cenderung menyangkal meski semuanya masih perlu diterka. Jika aku
curiga, prasangka Hyejin akan menjadi begitu parah, tapi jika aku diam akupun
tak mampu berdiam hanya untuk menerka-nerka.
“Berapa lama”
“Tiga hari saja, tidak lebih”
“Baiklah, bagaimana dengan Hyunno”
“Akan kubawa” sahut Hyejin dengan senyum lebar. What the fuck! Aku
tidak percaya kalau aku tiba-tiba merasa gelisah dalam duduk kursiku. “Kau pasti
bercanda” senyum Hyejin melebar, bahkan melebihi apa yang harus ia lakukan.
“Aku tahu kau khawatir. But… tenanglah, he is my son. Aku tahu apa yang paling
ia butuhkan. Dan aku berani bersumpah”
Tak ada gelagat atau pertanda bahwa ia akan menyerah. Hyejin terus
mencoba menunjukkan bahwa tak akan terjadi apapun selagi Hyunno ada dalam
pelukannya. Hyejin mendongak, bergeming menatapku lagi dalam kurun waktu
yang relatif lama. “Tolong jaga Eunso untukku”
“Are you kidding me”
“No. Big no”
“Bawa Eunso bersamamu”

75
Aku menenggak kopiku lagi dan mulai berpikir mengenai hubungan diluar
batas normal antara aku dan Eunso. Keberadaan Hyejin membuat semuanya
menjadi lebih terkendali, gairahku terkonrol untuk tidak menerkam Eunso
diantara sekat-sekat dinding penghubungku dengan Hyejin. Aku bersedekap
kembali. Perasaanku menjadi sangat tidak nyaman. Bukan karena Hyejin yang
merengek untuk pergi, tetapi lebih kepada Eunso yang akan tinggal bersamaku.
Hyejin menggeleng.
“Please, dia adikku. Dan yang kutahu, itu juga berarti sama untukmu” aku
berdeham, dan kupikir itu adalah jawaban paling mengerikan yang mampu
kudengar. Hyejin adalah idaman kota. Dia cerdas dan tangguh. Kupikir ini sudah
sangat darurat sampai ia harus repot-repot berakting tak berdaya seperti itu. Oh
ya Tuhan, aku nyaris tertawa. Entah untuk ucapan Hyejin yang terkesan tolol,
atau untuk kehebatanku dalam mendustai satu sama lain. Demi apapun. Sampai
kapanpun. Aku tak akan penah sudi, Eunso tak akan pernah bisa menjadi adikku,
ia takkan pernah menjadi seperti apa yang kau pikirkan Hyejin.
“Kyuhyun!!”
Aku berdeham pelan.
“Baiklah, hanya untukmu” ujarku pada akhirnya.
Aku tidak percaya jika Hyejin akan menyengir begitu cepat mendengar
persetujuanku. Neraka sedang ia gali, dan ironisanya ia justru tersenyum geli.
Aku melirik Hyejin sementara ia mengecupi sisi rahangku lembut. Aku menurut.
Seandainya aku mampu, seandainya yang kucintai bukanlah Eunso. Aku ingin
menenangkan hati Hyejin, aku ingin memeluknya seperti ia yang memelukku
dalam kehangatan. Aku ingin menciumnya, seperi ia yang mencumbuku dengan
penuh kehati-hatian.
“Stop it”
“Kau tidak ingin aku berhenti”

76
“Dan sialnya iya”
Bajingan Kyuhyun. Aku pasti sudah sangat gila karena mengiyakan. Hyejin
mengerling padaku.
“Kau bisa memakaiku Kyuhyun. Tidak ada tempat yang lebih baik selain
diriku sendiri untukmu” aku diam, kupikir itu cukup adil. Dia mendadak bertolak
dariku dan menjauh sebisa mungkin. Aku tidak ahu apa yang sedang
dipikirkannya lagi. Kalau dia menganggapku sangat tergoda, dan mudah dirayu,
maka itu adalah kesalahan paling fatal yang pernah Hyejin lakukan.
“Aku akan menunggu kabar baik. Aku akan menunggumu,
menghampiriku. Kyuhyun”
®®®
Aku sudah bangun dan mulai membasuh tubuhku dengan air dingin.
Dibanding air hangat, aku berjuta lipat lebih menyukai ia untuk beradu dengan
tubuhku. Aku suka sensasi dingin yang menyergap tubuh dan tulangku. Rasanya
segar, selalu berhasil menuntaskan gairahku yang selalu terbakar. Aku berderap
meninggalkan kamar mandi dengan perasaan yang ribuan kali menyakitkan
sekaligus menyesakkan. Eunso tak pernah bisa sejalan dengan pemikiranku.
Ekspresi kekhawatiran selalu ada menggelayuti parasnya yang rupawan. Well,
aku cukup memaklumi. Kenyataan bahwa hanya ada aku dan dirinya saja adalah
hal yang sangat perlu untuk diwaspadai.
Apakah aku sudah sangat seperti ancaman? Itu membuatku mengernyit
sekarang di depan cermin sembari mengamati diriku sendiri. Aku sadar, sejak
dulu sikap dan tampangku memang tegas, tapi apakah sekarang semua itu
semakin menjelma nyata hingga tak ada suatu yang lembut sedikitpun tersisa
dalam diriku/ Aku berdecak. Persetan dengan itu. Eunso harus menerimaku
apapun yang telah menjadi bagian diriku. Tubuhku bergeming sejenak. Lalu
kuputuskan untuk menunda beberapa menit lagi untuk pergi ke dapur. Aku ingin

77
menghormati benteng pertahanan yang Eunso bangun, ya setidaknya ia harus
benar-benar kokoh untuk mampu membendung gempuran gairahku yang tak
kunjung menurun.
Ketidakberdayaan Eunso untuk berhadapan denganku justru
menghantuiku sekaligus mengirimkan gelombang hasrat panas dalam diriku. Aku
ingin mendekapnya, mencumbunya, dan betapa pentingnya bagiku untuk
menjaganya tetap merasa aman dan nyaman dalam naunganku. Tapi, sekali lagi,
brengsek… aku mengerang keras. Eunso tidak akan pernah tahu seperti apa
perasaan yang selalu menyelimutiku. Tapi aku juga tidak berharap dia akan
mengerti, aku hanya berharap ia berhenti merasa terintimidasi olehku. Aku
hanya berharap ia mampu berhenti menangis karena aku tak sanggup untuk
menyenuh pipinya.
Aku mengusap wajah dan menyusur kuat rambutku. Lama aku
melakukannya hingga nampak seperti orang bodoh karena terbengong untuk
sekian detik lamanya. Sampai pada akhirnya aku keluar dan menemukan Eunso
di ujung ruang pencarianku. Rahangku mengertak, aku melangkah cepat dan
duduk di sana, tepat disamping dimana ia berada. “Eunso” cetusku serak.
Mataku mungkin saja mencuat, sungguh ini bukanlah hal yang seharusnya Eunso
lakukan untukku. Ia hanya cukup bersembunyi atau setidaknya jangan pernah
merasa terpantau inderaku secara sengaja. So what, aku juga tak bisa jika untuk
tidak mencarinya. Ibarat dua sisi kutub magnet yang saling menarik, seperi itulah
Eunso mengendalikanku.
“Oppa…” suara Eunso lirih dan terdengar seperti bukan suaranya sendiri
karena terlalu serak. Keberanian nyatanya tak akan mampu menutupi semua
bentuk ketakutan yang sedang menderanya hebat. Well, aku bahkan sudah
membuat diriku sendiri terlihat begitu menakutkan untuk seorang Eunso.

78
Eunso duduk di atas kasur dan bersandar di dinding, meringkuk, memeluk
kedua lututnya erat. Air mata bergulir di pelipisnya dan sekejap membuat hatiku
merasa remuk. Tak ada satu patah katapun, hanya ada gemetaran yang
menumbuk ulu hatiku bahkan saking menyakitkannya… aku mampu bisa
merasakan itu dengan jelas. Ini sudah cukup menyakiti hatiku. Aku tidak bisa
melihat Eunso hancur, meski dalang penghancuran juga ada dalam diriku. Aku
mendekatinya dan langsung berlutut di depan Eunso.
“Demi Tuhan, aku memang brengsek” desahku.
Aku menarik napas dalam-dalam dan berupaya keras menatap matanya
yang basah. Eunso terluka, begitu juga dengan hatiku seandainya saja dia tahu.
Eunso menggeleng pelan sementara bibir gemetar. Dahinya berkerut,
kacau sekacau-kacaunya. Tubuh mungilnya bahkan sudah berayun siap dan
panik. Cengkeraman jemarinya kuat hingga sesamar bisa kulihat buku-buku
jarinya kian memutih. Ada seberkas gugup di mata Eunso, tapi tak menyeluruh
seperti malam jauh sebelum ini. Aku menghargai semua bentuk pertahanan dan
keterbukaan yang selalu ia bangun. Aku menghormatinya, tapi akulah tuan
rumah. Sudah menjadi tugasku untuk membuatnya nyaman dalam neraka yang
sedang kuciptakan. “Tidak…”
Aku menarik nafas dalam, bahkan lebih dalam dari apa yang bisa
kuperkirakan. Eunso mungkin terluka, tapi tidakkah ia memahami jika akupun
tersiksa? Tidakkah ia paham jika air matanyaitu membuatku menderita? Aku
memang salah, dan aku benar-benar berharap jika ia mampu memaafkanku. Tapi
please, bukan seperti ini caranya. Lama aku percaya, kupikir tidak ada satu
halpun yang mampu membuatku mati, tapi kini aku juga percaya bahwa itu
adalah pernyataan paling tolol yang sempat aku tangguhkan. Bahwa sampai
dunia terbelah sekalipun, kesedihan Eunso adalah hal yang paling bisa

79
mematikanku. Sudah kubilang, hatiku yang mati, gelap, dan dingin sudah lama
lenyap.
“Eunso, why? Can you tell me? Please… don’t cry anymore baby”
bujukku.Eunso duduk di lantai marmer dan bersandar di dinding. Meringkuk,
memeluk kedua lututnya dengan begitu erat. Air matanya bergulir dan sekejap
membuat hatiku remuk hancur tak terbentuk. Ini sudah cukup menyakiti hatiku.
Aku mungkin brengsek, tapi aku juga tidak bisa jika harus melihat Eunso hancur.
Ia hanya wanita rapuh, tak tersentuh, dan sialnya masuk dalam perangkap
seorang Cho Kyuhyun. Wanita seperti Eunso, seharusnya digenggam dan
dikuatkan. Bajingan!
Mata Eunso terbuka lebar menatapku seraya berbisik. “Tidak apa, Eunso
hanya ingin menangis” sahutnya pelan. Entah apa yang Eunso pikirkan di
keheningan kelam dan menegangkan di antara kami. Wanita itu terlihat lebih
tenang meski air mata terus keluar berhamburan. Tapi yang kulakukan justru
merenungi sikapku yang terlalu kejam untuk gadis seusianya. Pikiranku hambur,
bahkan saking liarnya dapat kurasakan ia tersenyum manis padaku. But ini
bukanlah ilusi belaka, demi Tuhan yang telag menciptakan Eunso dengan segala
kesempurnaan. Wanita itu benar tersenyum kepadaku!
Aku tidak percaya bahwa Eunso saat ini terkekeh serak. Kepalaku
terdongak dan aku tidak bisa menahan gelombang emosiku yang bergejolak.
Suasana hati Eunso yang perlahan berubah berseri seperti sekarang membuat
dadaku tercabik-cabik dengan rasa yang nikmat. Aku menoleh dan mengangkat
alis kepadanya. “Are you smile? To me?” ujarku memastikan. Senyum Eunso lebih
lebar lagi dan sialnya itu luar biasa indah. Sambil berdeham, aku bangkit berdiri.
Bukan karena tidak suka, tapi lebih kepada kebangkitan gairahku yang justru
datang diwaktu yang tak terduga.

80
Jantungku berdebar mengerikan saat mendadak tangan Eunso menahan
tanganku. Lembut dan terasa membakar sekujur nadiku. Dia mengadah
menatapku sementara aku menjulang tinggi di hadapannya. Entah apa yang
merasuki Eunso, aku enggan untuk berspekulasi lebih jauh. Satu-satunya yang
dapat kulakukan adalah berupaya keras menahan desir yang muncul di sekitar
dada dan bagian perutku sementara mendengar suara Eunso yang teramat lirih.
“Oppa… terimakasih sudah mau menerima Eunso di rumahmu.
Menghidupiku dengan segala kasih sayang yang tak pernah kumiliki. Eunso tidak
pernah berniat untuk mengganggu atau menghancurkan kehidupan eonni. Eunso
hanya menumpang dan berjanji akan segera pergi sebelum semuanya menjadi
semakin hancur. Eunso menghargai oppa sebagai pemilik rumah tapi Eunso juga
tidak bisa jika harus membiarkan oppa tersesat dengan kehadiranku. Eunso tidak
berbohong, Kyuhyun oppa adalah pria berharga dan luar biasa”
Tubuhku tegang, terdiam untuk beberapa detik lalu akhirnya aku tidak
bisa menahan diri lagi. Senyum yang sedari bagai angin sejuk untukku, kini justru
berubah bak api yang membara, menusukku. Eunso, wanita itu bisa menjatuhkan
hatiku kapanpun ia mau bahkan tanpa persetujuanku sekalipun. Aku mendekati
Eunso dan menangkup pipinya dengan kedua tangan. Ibu jariku mengusap
lembut sisa-sisa air mata di sekitar pelipisnya. “Tetap tinggal jika kau masih ingin
melihat Hyejin dan Hyunno hidup dalam naunganku”
Mata Eunso terbuka lebar menatapku seraya berbisik “Tidakkah kau
sedikit saja memikirkan perasaan Hyejin eonni? Wanita itu sudah berkorban
banyak untukmu, dan lebihnya ia bahkan sudah melahirkan Hyunno untukmu!
Tidakkah kau sebagai seorang pria merasa malu karena sudah melukai perasaan
wanita sebaik eonni?”
“Lalu, tidakkah kau juga memikirkan perasaanku?”
“Tidak ada perasaan apapun diantara kita. Kau hanya sedang tersesat!”

81
Tanganku meregang, dadaku sesak, dan ada kobaran hebat dalam
pembuluh darahku. Aku tidak pernah memimpikan perasaan ini bangkit lagi. Aku
memang brengsek, tapi bukan berarti aku ingin berinteraksi dengan Eunso dalam
hubungan diluar batas kewajaran. Jangan biarkan aku menginginkan tubuh
indah, rapuh, mencinta, dan mendamba padaku dengan kondisi seperti ini.
“Eunso, ada begitu banyak hal yang tidak kau ketahui secara pasti, tapi mengapa
gadis polos sepertimu begitu berani menghakimi seolah aku adalah terdakwa
mati?”
Aku menyesal sudah menyentuh pipi Eunso. Getaran panasnya masih
menjalari tubuku dan menyergapku sampai ke ujung jariku sekalipun. Aku
menggeram. Sejak pertama kali aku melihat Eunso, aku tahu dia adalah wanita
yang dibidik oleh kebanyakan pria tidak terkecuali diriku. Eunso punya segalanya
untuk membuat pria bertekuk lutut padanya. Gadis itu memiliki wajah cantik dan
leher yang indah. Tubuhnya mungil sekaligus seksi merupakan harapan yang
menggiurkan. Namun, dari sekian banyak pesona yang Eunso miliki, yang paling
menyerangku adalah hatinya yang lembut dengan pembawaannya yang lugu.
Eunso memiliki tubuh dan hati yang kuinginkan. Dia sempurna.
“Terlepas dari banyaknya hal yang belum Eunso pahami, dengan alasan
apapun hubunganku dengan oppa tidak akan pernah bisa diberkati Tuhan. Eunso
bersungguh-sungguh dengan permohonanku oppa”
“Kita sudah sering membahas ini dan kau tahu betul apa jawabanku”
Gigiku mengertak, tak bisa mendengar nada membujuk yang mungkin
akan dikeluarkan Eunso lagi atau aku akan gila sekarang. Dadaku sudah berdebar
keras dan napasku memburu sesak. Jadi aku hanya diam dan meninggalkannya
untuk berderap ke kamar mandi. Di sana, aku membiarkan air dingin mengucur
ke sekujur tubuhku. Menyingkirkan keringat-keringat dan rasa panas. Aku terus
mencoba menyerap semua rasa dinginnya lagi. Namun begitu selesai, panas itu

82
kembali menyebar lagi di sekitar dadaku. Eunso, seberapapun kau mengelak.
Takdir akan membawamu kembali padaku. “BRENGSEK”
Demi Tuhan, aku akan selalu mendambakan Eunso dalam dekapku.
Mendambakan mulutnya yang membelaiku dan erangannya bergetar dalam
mulutku. Tanganku kasar mengurut batang kemaluanku yang makin menegang.
Membayangkan Eunso dalam guyuran air dingin tentu bukan keputusan yang
baik untukku. Alih-alih membuatnya mereda, hal ini justru semakin membuatku
tersiksa. “Ugh… shit baby”
®®®
Paginya aku terbangun dengan perasaan yang menyeruak, menginjak-
injak seluruh harga diriku hingga batas ambang toleranku. Aku bahkan tidur
dalam keadaan telanjang, dan sialnya tak ada satupun pelepasan yang mampu
menggetarkan milikku. You can see it! Pria paling berpengaruh justru jatuh
mengenaskan. Seberapa keras aku bergerak, tanganku tak akan pernah mampu
menandingi lubang hangat Eunso yang menggirukan.
“Sialan” aku mengumpat sembari memutuskan untuk kembali
membunuh seluruh gairah sebelum ia membunuhku dengan ereksi yang
mematikan. Lalu beberapa saat keluar dan harus mendapati Eunso yang sudah
berada di dapur. Rambutnya melewati bahu dan menyentuh punggungnya yang
tegap. Baru saja semalam menderu, justru sekarang Eunso sudah berani
berlenggak lenggok tanpa takut akan gairahku.
Ketika merasakan kehadiranku, Eunso nampak terkejut. Bahu dan
bibirnya bergetar, matanya terpaku, bahkan samar sudut mataku menangkap
getaran dalam spatula yang ia pegang. Entah karena terpesona atau lebih kepada
waspada. Reaksi Eunso yang berlebihan justru membuatku mengernyit. Dengan
penuh ketenangan, aku memastikan bahwa tubuhku memang benar-benar tidak
telanjang. Aku mengenakan handuk, jadi apa yang membuatnya begitu kaku?

83
Lagipula bukankah ia sudah melihat seluruh inci tubuhku sebelum ini? Hey…
kelinci kecil ini tidak sedang menikmati tubuh penuh pesonaku bukan?
Eunso terkesiap. Dia dengan buru-buru mengalihkan matanya dari
tubuhku. Aku masih mengawasi Eunso yang getir sementara juga bertanya-tanya
apakah penampilan tubuhku memang tampak seperti bahaya? Apakah karena
aku yang terdesak percikan gairah mampu membuat tampangku terlihat seperti
ancaman? Aku menghembuskan nafas keras dan segera meneguk air mencoba
menghiraukan keberadaannya yang bagai racun dalam denyut nadiku. Please
God, biarkan aku menjadi pria baik untuk saat ini. Aku sudah ingin melangkah ke
kamar untuk menenagkan desiran dadaku saat Eunso menyebut namaku lagi.
“Oppa… apakah kau menginginkan secangkir kopi?”
Aku nyaris menggeram liar tetapi aku menahannya dan menggantinya
dengan sebuah tarikan napas yang dalam. Alisku mengeryit dan itu membuat
Eunso meralat beberapa kalimatnya dengan gugup.
“Eo-enni meminta Eunso untuk membuatkan kopi”
Well. Ada dua orang wanita yang menunjukkan penyerahan dan
perhatiannya sangat menganggumkan dan terkurung dalam satu atap denganku.
Kalaupun aku menyerbunya, jelas sudah kubuktikan bahwa aku pasti menang.
Tapi untuk sekarang, biarkanlah aku berjuang untuk menghormati keduanya
hingga terkutuklah diriku sendiri dengan tubuhku yang mengeras. Ketidakpekaan
Hyejin yang menganggap Eunso hanya sekedar saudara untukku, sekaligus
kepolosan Eunso yang membuatnya selalu tunduk atas ancaman beratku.
Bukankah dua hal tersebut ibarat neraka sekaligus surga yang begitu didamba?
Beberapa detik setelah tarikan napasku, aku bersuara amat serak karena
hasrat panas. Berharap penuh agar Eunso tak menyadari sisi binatangku yang
kian menderu.

84
“Ya… yang panas” pintaku. Jika dingin tak lagi mampu meredamkan
panas, maka tak ada salahnya untuk mengadunya dengan sesuatu yang lebih
panas lagi. Reaksi Eunso semakin memusingkanku.
Aku mengumpat dalam hati dan melangkah cepat ke dalam kamar. Aku
duduk di ujung ranjang dan mengusap wajahku dengan kuat. Aku menyurukkan
wajahku ke kedua telapak tangan menyadari bahwa tubuhku mengeras. Aku
mengambil waktu belasan menit di kamar, gelombang mendesak itu sudah
mereda tapi masih sangat mudah terpancing. Dan aku, jika itu datang kembali
maka tidak akan ku tahan lagi. Aku melangkah ke luar kamar dengan penampilan
yang jauh lebih rasional, kaus dan celana longgar yang mampu memberi ruang
untuk kejantannku yang menegang.
Di dapur, aku sudah bisa mengendalikan diri tapi bercinta di atas meja
sana juga bukan ide yang buruk. Aku duduk di kursi daput dan meraih secangkir
kopi di meja. Aromanya yang enak mulai meredakkan diriku meski tidak
sepenuhnya begitu. Ketika aku menyesapnya, aku justu merasa lebih rileks.
“Terimakasih… untuk kopinya”
Eunso menolah dan tersenyum. Aku menyesap kopiku lagi dan tepat saat
itu mataku tak terkontrol tanpa sengaja melihat lutut Eunso yang sedikit
tersingkap. Aku menurunkan cangkir ke meja dan bertanya, “What’s wrong with
your knee?”
Eunso tersenyum canggung. Tangannya berusaha membenarkan drees
selututnya sembari mengaduk sesuatu dalam panci. “Ti… tidak apa-apa oppa”
“Eunso… What’s wrong with your knee?” ulangku sekali lagi.
“Kau masih tetap diam?”
Eunso tersenyum lebar.
“Aniyo, Eunso tadi hanya terpeleset air di sekitar wastafel. Tidak sakit,
hanya sedikit nyeri”

85
Aku bergeming sejenak. Merasa sangat terusik melihat lutut Eunso yang
sesekali gemetar, aku bangkit dan mendekatinya. Kepalaku menunduk menatap
wajah Eunso yang siap membangun benteng pertahanan. Tanganku berusaha
menghentikan gerakan tangannya di area dress bawah.
“Aku ingin memeriksa lukanya”
“Tidak perlu oppa”
“Kau sangat tahu akibat jika tidak menurutiku”
Eunso tak lagi berkata-kata. Aku sendiri juga tidak butuh respon darinya,
tetapi butuh memastikan bahwa tidak terjadi sesuatu padanya. Bagaimanapun
itu, Eunso adalah milikku. Tubuhnya adalah tubuhku. Perasaanya adalah
perasaanku. Aku berjongkok dan meraih salah satu kakinya. Ketika aku
mengusap pelan, aku mendengar Eunso merintih. Lantas dengan tiba-tiba aku
meremas lembut bagian belakang pahanya untuk memastikan bahwa tidak ada
pembekuan yang serius. “Oppa…” ringis Eunso sembari tangannya bertumpu
mencengkeram erat kedua sisi bahuku. Tubuhnya limbung jika saja tak sempat
ku tahan dengan cengkeraman jemari besarku. Di saat-saat seperti ini saja
feromonnya masih begitu bisa mempengaruhiku.
Tubuhku tegap dengan Eunso berada dalam gendonganku.
“Sakit…” adunya dengan nada canggung. Aku meletakkan Eunso di
tempat semestinya dan mengambil beberapa obat untuk mengurutnya pelan.
Aku ke ruang tengah dan kembali dengan cepat. Aku memposisikan diri di dekat
lututnya lagi sementara mulai mengobati lukanya dengan sebisaku.
“Tahan sebentar sayang, aku akan mengobati memarmu”
Aku mencoba bergerak sepelan mungkin, tapi Eunso masih saja
mengelurakan rintihan yang sialnya terdengar seperti ajakkan untukku bercinta.
Demi apapun Kyuhyun, kau memang pria cabul. Aku mengusap bagian pahanya
sambil menenangkan. “Pegang bahuku jika kau merasa kesakitan”

86
Eunso menurut. Dia merema bahuku sementara aku mengurutnya pelan.
“Oppa… ini sakit” rengeknya sesekali sembari menarik tanganku dari lututnya.
“Kau akan tambah merasa sakit jika kubiarkan” ucapku.
“Tapi saa…kitt” rintihnya membuatku tertawa. Meski terlihat dewasa di
waktu-waktu tertentu, dalam hal-hal semacam ini justru Eunso mengeluarkan
jiwa aslinya tanpa bisa ia tahan. Manja… sesuai usianya.
“Nanti malam jika tidak membaik, dokter Choi akan kemari” kataku
padanya sambil berdiri. Aku mencuci tanganku di wastafel dan kembali berlutut
di depan Eunso.
“Terimakasih oppa”
Aku menatap Eunso dan melengkungkan senyum, sembari berharap jika
waktu ini akan berhenti hanya menyisakkanku dan Eunso yang saling tersenyum.
“Milikku tidak boleh terluka tanpa seizinku”
Tanpa sadar, aku dan Eunso saling menatap dan tegang. Eunso mencoba
mengalihkan momen mendebarkan itu dengan berucap, “Masakannya” pipinya
memerah tanda gadis itu sedang tersipu. Aku merapat kepada Eunso dan
menyisihkan rambutnya ke salah satu bahu. Ketika tubuhku semakin menempel
dengan tubuhnya, panas gairah kembali menerjangku. Aroma rambut Eunso
seperti bunga dan tubuhnya beraroma menggoda. Tanganku mulai menarik
ikatan apronnya dan tanpa sengaja menyentuh kulit lembut di lehernya yang
seketika membuatku menggeram dalam dada.
“Tidak ada masak-masak lagi”
Demi Tuhan, kalau saja sisi gelap kembali menggerayangi tubuhku, maka
aku pasti sudah tidak menyisakkan satu pakaian pun dari tubuhnya. Eunso hanya
akan mengenakan gairah panasku saja. Hanya itu seperti malam-malam
sebelumya. Tapi aku menahan desakan gairah parah yang menggila sampai
rasanya begitu menyakitkan. Tapi itu juga tidak berhasil. Bibirku maju mengecup

87
perpotongan antara leher dan wajah Eunso yang menggoda. Rasa keringat yang
seharusnya menggangguku justru terasa sangat memabukkan hingga
membuatku melayang. Kali ini aku hanya menegak liurku sendiri memikirkan
Eunso yang berkeliaran kesana kemari. Kalau dia biasa-biasa saja, itu juga bukan
masalah besar untukku. Tapi dia wanita kecil, lugu, terbuka, dan naluriah.
Bagaimana bisa aku bertahan?
“Oppa… ber...hentihh” tolaknya mulai risih dengan hisapan bibirku.
Aku menarik napas dan menjauh dari tubuhnya yang menggemaskan.
Kalau sebelumnya aku takut akan keberadaan Eunso yang akan mengacaukan
keberadaan Hyunno. Tapi sekarang, ia justru menunjukkan sikap yang benar-
benar membuat hatiku jatuh bertekuk lutut sebagai seorang pria. Lama aku
semakin yakin, bahwa Hyejin bukanlah halangan untukku mendapatkan Eunso.
Sejak awal, pernikahan kita hanyalah sebatas perjanjian semata, lantas bukankah
itu bisa dihancurkan kapan saja?
Aku bangkit dan memakai bekas apron yang sempat melindungi Eunso,
berusaha meneruskan perkejaan masaknya yang tertunda. Butuh banyak waktu
untukku terbiasa dengan segala perabotan dapur, hingga akhirnya aku mampu
menyiapkannya dengan sedikit arahan yang Eunso lontarkan. Tidak terlalu baik,
tapi setidaknya aku bisa menjamin bahwa itu tidak sampai membahayakan
nyawa Eunso. Aku kembali menghampiri Eunso dalam diam, lalu menariknya
dalam gendongan.
“Makan”
Sepasang mata Eunso menyipit walaupun bibirnya tersenyum.
“Ini sangat enak” ucap Eunso dengan nada riang. Yang membuat otot-
ototku mengencang di semua bagian. Dia menyuap sup ke dalam mulutnya
dengan pelan-pelan. Aku hanya menatapnya. Pipi Eunso selalu memerah tiap kali
aku menatapnya dengan dalam dan tajam. Baik di atas ranjang maupun di meja

88
makan sekalipun. Seperti saat ini, ia bergerak-gerak canggung gelisah di kursinya
sementara meneguk beberap air dari gelas minumnya. Aku menarik napas dan
meletakkan gelas yang sudah tandas ke meja.
Aku menarik serbet dan mengelap mulut dan tangan. Aku ingin bangkit
mengumpulkan beberapa peralatan dapur yang kotor, tetapi wajah eunso yang
kemerahan menghantam otakku dengan begitu keras. Dia menyantap sup itu
dengan hati-hati dan anggun. Beberapa kali tangannya menyelipkan sejumpur
rambut ke sela telinga saat dia agak menunduk melahap sup. Beberapa kali juga
dia menyeka ujung bibirnya yang terciprat kuah sup. Gerakannya memang biasa,
tapi menjadi begitu luar biasa menggairahkan jika terlihat oleh inderaku. Semua
pemandangan ini kembali membangkitkan khayalan liar dalam benakku.
Membayangkan apa yang bisa kuraih dari bibir Eunso ketika aku berhasil
mendapatkannya.
Embusan napasku keras. Eunsp bergumam lagi di kursinya sembari
mengusap bibirnya yang indah dan penuh itu dengan serbet.
“Terimakasih oppa” ucap Eunso sembari tersenyum. Entah kenapa
senyum Eunso yang gembira saat ini mencabik-cabik dadaku dengan sebuah
perasaan yang nikmat. Aku ingin memberi kebahagiaan yang dia cari-cari. Jika
dengan tangisan Eunso masih terasa nikmat, lalu bagaimana rasanya jika gadis
itu tersenyum dalam kungkunganku di atas ranjang?
“Tetap diam di situ” ucapku bukan untuk menjawab ucapannya barusan.
Aku mengumpulkan beberapa mangkuk dan gelas kotor sisanya. Mencucinya
dengan kaku. Setelah itu aku kembali ke arahnya dan mulai menariknya kembali
dalam gendonganku. Aku mencengkeraam bahu Eunso kuat sambil mengumpat
dalam hati.

89
BAGIAN TUJUH
Aku menggeleng dan mengabaikan segala perasaan nafsu yang selalu
menyelubingiku hebat. Aku tidak ingin memikirkannya. Aku tidak mau
memikirkan bagaimana aku akan gemetar ketika Eunso cantik itu menguasai
seluruh tubuhku. Menangkup apa yang bisa ditangkupnya dari tubuhku. Aku
terus melangkah ke ruangan dengan langit-langit sampai kami bertemu dengan
pintu cokelat kamar Eunso. Pintunya terbuat dari kayu dan sangat antik. Dengan
Eunso masih dalam gendonganku, aku tidak menggedornya tetapi sedikit
mendobrak pintu itu dengan gerakan kuat hingga menimbulkan suara yang
memekikkan. Dan aku harus jujur kalau diriku sekarang semakin gelisah.
Dan segalanya lebih terasa menggelisahkan lagi ketika pintu itu terbuka
dan menampilkan arena pergulatan penuh minat. Hasrat yang mendalam
langsung saja membanjiri perasaanku saat tiba di ruanganyang sangat sensual.
Sepreinya putih dan ranjangnya terbuar dari kayu hitam. Sekuat mungkin aku
harus mencengkeram lengan Eunso agar dirinya tidak harus jatuh ke dalam
peringai setan yang menjebakku. Aku mungkin bisa saja menggagahinya tapi

90
please… ini bukan saat yang tepat. Aku meletakkan tubuh Eunso dengan lembut.
Matanya menatapku sementara dia bergumam dengan sangat serak
“Terimakasih oppa”
Aku memandang wajahnya yang cantik menawan. Udara bergemuruh di
dalam paru-paruku dengan cepatnya.
“Seksi- maksudku sama-sama” ucapku disertai umpatan keras dalam hati.
Fuck my life. Aku berusaha payah untuk tidak menatap Eunso yang sedang
berbaring dengan sekujur tubuhnya yang seksi dan atau aku ingin tubuhku
benar-benar menjadi lilin yang meleleh sekarang. Aku menelan ludah yang panas
dan kembali menguatkan kakiku untuk bisa berjalan jauh meninggalkan
kegairahan bersama Eunso. Butuh beberapa saat untukku bisa lepas dari jebakan
mata Eunso yang mematikan.
“Tidurlah”
“Sekali lagi terimakasih oppa” ucap Eunso sembari tersenyum. Aku
mencengkeram salah satu sisi ranjang kuat dan mengumpat dalam hati. Tidakkah
terlalu banyak ia tersenyum padaku? Kalau kau ingin membangunkanku saat ini,
saat aku benar-benar bergairah, lalu apakah kau juga bersedia melayaniku? Jaga
sikapmu Eunso. Tolong jaga sikapmu selagi kau tak ingin sesuatu yang buas
kulepaskan dari diriku dank au harus menghadapinya. Seperti jauh sebelum ini.
®®®
Aku sudah mengenakan jubah lalu berbaring di ranjang, merasa enggan
menyongsong kepulangan Hyejin yang begit. Dinginnya guyuran air masih bisa
kurasakan di sela-sela tubuhku yang memanas. Aku menertawakan diriku keras.
Cho Kyuhyun yang bahkan bisa mendapatkan segalanya, justru harus berakhir
dengan gariah yang mengenaskan. Aku mungkin membuang waktu, tapi
dominasi Eunso yang begitu kuat selalu mampu membuatku bak pengidap
mesofobia akut. Sikapnya yang lugu entah kenapa selalu menjadi sisi menarik

91
yang memuaskanku. Ia hangat bahkan bisa memanas dalam sekali waktu. Cho
Kyuhyun please, kau memang penggemar loli cabul!
Jarum jam menunjuk tepat pukul satu malam. Tidak seperti malam
sebelum ini, aku justru terbangun bukan karena gairahku yang menuntun.
Kemudian mendadak aku tersentak bangun seraya mendesah. “Ya ampun,
Eunso!” Aku mengerjapkan mata, berguling dari ranjang, dan menyalakan lampu
secepat kilat. Demi Tuhan, aku sudap panik. Suara Eunso yang terdengar sampai
dalam kamarku benar-benar menimbulkan kepanikan yang lain. Ini masih begitu
pagi untukknya merasa tidak nyaman. Dengan tergesa-gesa, aku membenarkan
celana piamaku di sekitar pinggul lalu berderap keluar kamar.
Jantungku berpacu mendengar suara Eunso yang mulai terdengar begitu
berat dibalik pintu kayu antik di hadapanku. Aku tidak ingin menahan diri
sedetikpun. Kakiku dengan cepat mendobrak pintu tanpa ingin bersusah payah
dengan membukanya melewati tarikan kenop pintu yang melambatkan. Ketika
pintu terbuka, aku syok untuk menyaksikan tubuh Eunso dalam bayangan
kegelapan bergerak-gerak gelisah dan mengerang dengan suara yang begitu
keras, begitu tersiksa, dan memilukan. Tak ada tanda-tanda tubuhnya yang
meregang itu akan mereda, justru teriakannya semakin terdengar serak dan
menderita. Dengan langkah lebar aku segera mendekati ranjangnya.
“Ya Tuhan, sayang” sadarku bergetar sembari mengelus kedua lenganya
keras. Sesuatu yang mengerikan jelas-jelas sedang menerjangnya di dalam
mimpi. Aku segera menaiki ranjang, menaiki tubuhnya.
“Sayang, hey… Eunso. Wake up baby!” Ekor mataku melihat air mata
tutun dari sudut mata Eunso yang masih tertutup rapat. Demi apapun, mimpi
apa yang sedang menimpamu sayang? Ketakutan mulai menyambangi hatiku
dengan langkah yang jelas dan terpatri. Melihat Eunso yang begitu menderita
benar-benar membuat pertahananku hancur lebur. Lehernya menegang hingga

92
mampu kulihat urat-urat nadinya yang menyembul keluar. Aku tidak mampu
membuatnya tersiksa untuk waktu yang lebih jauh lagi.
Tanganku mencengkeram lengan Eunso dengan kuat, berharap rasa sakit
yang kutimbulkan bisa saja mendominasi kejadian apa yang ada di dalam bawah
sadarnya.
“Kau tidak boleh seperti ini, hey. Ada oppa disini, apa yang lebih
membahayakan dari keberadaanku Eunso?”
Lama aku bertindak, baru saat itulah eunso tersentak dan
bangun,kemudian menyergapi hatiku dengan perasaan yang begitu nyaman dan
penuh kelegaan.
“Syukurlah… syukurlah”
Kedua tangannya sontak menarikku, menyergap wajahku dengan cepat
dan memelukku dengan erat. Nafasnya yang kasar dan naik turun menyatu
dengan tubuhku yang saling menempel. Tubuhnya bergetar dalam
kungkunganku, terasa dingin tapi sesekali panas menyembur di antara sela-sela
tubuhku yang kian merapat. Eunso ketakutan dan sialnya ia berlindung ke hal
yang lebih menakutkan lagi.
“Jangan tinggalkan aku, Eunso takut” bisiknya pelan.
“Tidak ada apa-apa, kau aman bersamaku”
Tubuhku berdenyut-denyut dan mengejang di area leher merasakan
pelukan Eunso yang terkesan posesif dan lembut di waktu yang bersamaan.
Mengundang tubuhku yang kuat dan jantan untuk bergumul membersamainya.
Nafasnya membakar sarafku dengan kobaran yang menjerumuskan. Tetapi
begitu mata Eunso terbuka, wanita itu lambat laun sadar dan terkesiap mundur.
Menarik tubuhnya dan pelukan yang ia ciptakan sendiri.
“Oppa...”

93
Eunso mengusap wajah dan menyampingkan helaian rambut yang
sempat menutupi parasnya yang cantik.
“Eunso minta maaf”
Aku bangkit dan mendorong tubuh Eunso untuk kembali berbaring
bersamaku. “Tidak apa-apa, kau akan selalu aman. Aku akan menemanimu
sepanjang malam, menghalangimu dari mimpi-mimpi mengerikan” ucapku.
Kepala Eunso menunduk menghadap dada bidangku yang keras. Ia
menghindari tatapanku yang mendalam kepadanya. Ingin menghindar tapi takut
akan bayang-bayang seram bunga tidurnya. Bagaimanapun juga, Eunso tetap
tidak ada pilihan lain selain berakhir dalam pelukan hangat seorang Cho
Kyuhyun.
“Ada yang ingin kau ceritakan padaku?” aku mencoba mengubah suasana
menjadi lebih rileks. Tidak pantas rasanya saling berbagi kehangatan dalam
kondisi kaku penuh kecanggungan.
“Eunso baik-baik saja oppa”
“Kau baru saja bermimpi buruk, ada sesuatu yang menghampirimu tanpa
sepengetahuanku. Jadi siapa yang berani meninggalkanmu hingga sebegitu
mengerikannya?”
Eunso mendongak, membuat mata kami saling berseberok satu sama
lain. Tatapannya yang redup dan sarat akan kepedihan menghujam mataku
dalam. “Eunso bilang, baik-baik saja”
Pengelakannya yang tajam membuatku sakit. Tapi jauh sebelum itu,
pesakitan yang kurasa tidak akan pernah sebanding dengan apa yang telah ia
rasakan dalam bunga tidurnya. Aku kembali mengeratkan pelukanku, mengelus
punggungnya dengan pelan. Berusaha menyalurkan perasaan tulus yang sedang
kutawarkan.
“Oppa…”

94
“Ya”
“Jangan mencintaiku”
Eunso cantik, sangat cantik. Tapi dua kata yang keluar dari mulut
manisnya tidak mudah untuk kuikuti. Atau itu bakal menjadi hal yang tidak
mungkin kupatuhi. Perasaanmu menjadi semakin nyata. Tanpa pernah kau
sadari, alam bawah sadarmu menginginkanku Eunso. Bahasa tubuhmu
menginginkanku. Rona merahmu tersipu karenaku. Perhatianmusarat akan
benteng pertahananmu. Lalu untuk apa aku harus menahannya jika dirimu terus
menampung perasaanku. Bibirmu mungkin berulang kali berkata, perasaanku
padamu hanyalah bentuk dari ketersesatan akan kehadiranmu, tapi tidakkah kau
paham jika yang sebenar-benar tersesat adalah dirimu sendiri karena balik
mencintaiku?
“Kau tahu betul perasaanku”
“Oppa” erangnya serak.
Aku tersenyum dan menyentuh lembuh pipinya. Mencoba mengabaikan
topik pembicaraanku dengan sensasi panas akibat sentuhan kulitnya dan sisa ait
matanya yang hangat. Dadaku mengembang dengan satu tarikan nafas. Suara
seraknya benar-benar mengganggu kinerja sarafku.
“Jangan paksa aku untuk menggaulimu disini”
Eunso tidak menjawabku, tapi tubuhnya menyalurkan jawaban dari
pernyataan yang baru saja kulontarkan. Dia hanya melirik singkat dengan mata
segelap malam dan secantik rembulan. Aku menangkap lengannya. Tidak benar-
benar berani untuk menggerakan bagian tubuh yang lain. Tanganku mengangkup
wajah Eunso hingga membuatnya kembali mendongak ke arahku. Kecantikan
Eunso menerjangku hingga aku merasa sebentar lagi diriku akan basah dengan
sebasah basah pelepasan.

95
Tubuh Eunso menegang. Bibirnya terbuka bergerak mengeluarkan
sesuatu yang tak bisa kupahami. Kedua tanganku bergetar di wajahnya karena
daya Tarik seks dan panas yang mencuat dari tubuh Eunso. Tarikan nafasku
tersengal tidak bisa diajak kompromi sama sekali. Aku menggeram marah, bukan
kepada Eunso tapi lebih kepada diriku yang lemah akan kendali gairahku. Aku
merasakan tubuhku semakin bergetar hebat ketika naluri membawaku untuk
terus merapat ke tubuh Eunso hingga aku berakhir tepat di atasnya.
Eunso menatapku dengan tatapan pasrah. Paham jika usahanya akan
berakhir sama dalam kuasaku. Aku memajukan wajahku dan memiringkannya
untuk memberinya sapuan pada bibir ranumnya yang menawan. Dadaku
semakin memberat ketika mulutku terus memberikan lumatan lembut dan
manis. Seseorang tidak akan bisa menolongku, gerakanku semakin liar menonca
membujuk mulut Eunso untuk terbuka menerima lidahku yang membelainya liar
dan nikmat. Aku ingin mengadukannya bersama, menyesapinya satu sama lain
hingga saling bertukar saliva.
Kesabaranku habis tergantikan oleh nafsu yang mengikisku bengis. Aku
menggigit bibir bawah Eunso sembari menjilatinya lagi. Bagaimanapun juga
sesuatu dalam tubuhku harus masuk. Tubuh Eunso meremang pasrah, meleleh,
dan tak berdaya. Suara-suara kenikmatan yang terkuar dari decapan penuh
kenikmatan Eunso membuat tubuhku kian berdenyut.
“Aku akan menciummu Eunso, sampai kapanpun. Aku akan membuahimu
tanpa ampun. Aku akan menggagahimu sampai mati. Tidak akan ada yang bisa
memisahkanmu dariku”
Aku bergerak semakin liar. Aku sudah kehabisan waktu hanya untuk
menunggu lebih lama lagi atau hanya sekedar melakukan foreplay sebagai
prolognya. Eunso sudah sangat terbiasa denganku bahkan jika aku langsung
memasukannya tanpa pelumas, gadis itu akan merasa baik-baik saja. Rasa dari

96
peraduan ciuman kami begitu membuatku mabuk kepayang. Gerakan bibirnya
yang amatiran justru semakin membuatku bersemangat untuk melatihnya lagi
dan lagi.
Eunso terkesiap kemudian berganti erangan saat bibirku terus
melumatnya dengan liar dan panas. Aku berusaha menyelipkan lidahku ke dalam
rongga mulut Eunso dan menciptakan sensasi yang belum pernah dirasakan
gadis polos seperti dirinya. Bibir basahku bergerak berpindah menyusuri leher
Eunso seraya membuat gigitan-gigitan kecil di kulitnya. Aku ingin masuk,
menyemburkan ribuan benihku tanpa ampun.
Jiwa binatangku mencuat seratus persen telah memenuhi nafsu bejatku.
Tanganku dengan keras meremas bokong Eunso sementara aku menggeram bak
orang kesetanan. Aku mencium Eunso tanpa henti hingga kurasa gelombang
panas mulai ada dalam gairahnya yang suci, tak tersentuh. Terakhir yang dapat
kulihat dari pandanganku yang berkabut gairah adalah saat kedua tanganku
menyentakkan keras piyama polkadot miliknya hingga kancingnya berhamburan
ke lantai. Mataku terpana dengan sesuatu yang sudah sering kulihat. Dengan
sesuatu yang sering menjadi bintang khayalanku.
“Oppa…” desah Eunso.
Takjub, gemetar tapi tidak berusaha untuk menghentikan kejadian yang
seharusnya tidak kulakukan. Gadis itu terlihat terbuka untuk menerima segala
bentuk sentuhanku. Kesempatan mungkin tidak akan pernah datang dua kali,
tapi untuk reaksi Eunso yang pasrah denganku tentu kedatangannya akan jauh
lebih banyak seperti apa yang kupikirkan. Aku dan dia akan saling bergumul,
berbagi cinta dalam penyatuan tubuh kami tanpa pernah merasa bersalah
dengan kehadiran Hyejin.

97
“Kau tahu apa yang kuinginkan sekarang Eunso. Please… terima aku,
terima aku dengan keterbukaan tubuhmu yang memabukan. Biarkan aku masuk
untuk rasa yang tidak pernah kau bayangkan”
“Kyuhyun oppa”
Pandangan Eunso melebar dan bisa kulihat darinya kerutan kening
menandakan bahwa otakknya sedang beradu dengan keras. Eunso besar kecilnya
mungkin terkejut atas permohonan izin yang kulontarkan. Aku tidak akan pernah
menunduk bahkan hingga merendahkan diriku hanya untuk memintanya
menuntaskan gairahku yang terlarang. Tapi sekarang… kenyataan kembali
membalikkan pernyataan kuat dalam benakku. Cho Kyuhyun yang bisa
mendapatkan apapun kini justru merengek ingin dipuaskan dengan panasnya
seorang Song Eunso.
“Eunso cukup katakan iya. Atau setidaknya diammu adalah tanda setuju
untukku”
Kepalaku kembali turun dan menyesap potongan lehernya dengan bibirku
dengan keras dan kuat sampai napasku rasanya nyaris habis. Desahan yang
Eunso suarkan membuatku sesak karena rasanya yang begitu nikmat. Bahkan jika
penolakan kembali kuterima, aku tetap tidak peduli. Aku akan tetap menidurimu
dengan keras. Kau akan merasa gila hingga nyaris mati saat kenikmatan mulai
menyergapmu. Aku akan merasakan bagaimana tubuhmu menjepitku sempit.
Kau akan merasakan tubuhku yang selalu membuatmu menangis karena
mencintaiku.
Aku kalah. Janji sumpah untuk tidak kembali menyakiti Hyejin luntuh tak
berbantah. Perasaan dan kebutuhan biologisku justru tidak benar-benar
sebanding dengan rasa empati yang terjalin. Eunso lebih dari apa yang
kubayangkan. Peringainya yang berubah-ubah selalu bisa membuatku mabuk
kepayang. Eunso terdiam. Penolakannya langka, nyaris membuatku mati karena

98
besarnya ereksi yang berhasil kukumpulkan. Aku tak berdaya. Aku menginginkan
Eunso dengan ketertarikan di luar batas normal. Aku menahan nafas dan
membekap mulutku sendiri agar tidak ikut mengerang hebat.
Eunso mendesah pelan. Pancaran gairah terlihat begitu jelas di kedua
bola matanya. Aku mengusap tubuh bagian depan Eunso dan berhenti tepat di
sekitar perutnya yang halus. Tanganku kembali meraih robekan piyamanya yang
sudah tidak berbentuk, dan kembali merobeknya hingga hancur tak tersisa. Tidak
cukup sukar untukku menanggalkan celananya melewati kedua kaki Eunso yang
sudah lemas meleleh tak berdaya. Menyisakkan satu potongan kain yang hanya
menutupi daerah kewanitaan Eunso. Itu adalah puncak kenikmatanku dan
menjadi menu utama dalam perjamua makan malam kali ini.
“Keterdiamanmu adalah tanda setuju bagiku. Aku sudah memberimu
kesempatan dan sialnya kau justru memilih untuk menyenangkanku Eunso”
ucapku sebelum benar-benar mengulum payudaranya keras.
“Oppa!” Eunso memekik keras terkejut.
Dan menjadi semakin keras sementara tanganku juga bergerak memilin
payudara satunya. Putingnya menegang sama kerasnya dengan milikku yang
membengkak. Aku tidak pernah benar-benar berani untuk menikam Eunso
dibelakang Hyejin. Atau mungkin saja aku bisa berani asalkan suara desahan
Eunso tidak senyaring dan semabukkan ini. But ini memuaskanku. Desahan
hebatnya menghormati kejantananku bahwa ia adalah bagian tubuh yang
memang benar bisa membuatnya merasa keenakan.
Eunso berusia sembilanbelas tahun dan kejantananku justru sangat ingin
menembus ke dalam inti kewanitaannya. Dengan keras dan kasar. Tanpa ampun.
Lama aku menyadari bahwa seleraku bukan menjadi tidak berkelas hanya karena
Eunso. Tapi justru Eunsolah satu-satunya patokan bagaimana tipeku menjadi ada
dan bisa memuaskan.

99
Aku kembali bangkit, tapi tidak untuk meninggalkan Eunso. Aku menarik
turun celana piyamaku hingga benar-benar terlepas. Menanggalkan semuanya
hingga tak menyisakan apapun. Tanganku kembali menggerayangi pinggang
Eunso dan menarik robek celana dalam berendanya. Bibirku tersungging
menyeramkan saat melihat kewanitaan Eunso. Tubuh Eunso terlihat melemas
seraya menatap tubuhku yang sepenuhnya tak mengenakan sehelai benangpun.
Sedikit banyak kurasa ia mampu menebak mengenai hal apa yang akan
kulakukan.
Reaksi mendamba yang Eunso tunjukkan seolah mampu membuatku
semakin keras. Entahlah, mendadak otakku tak mampu berpikir. Aku
mencengkeram dagu Eunso dengan satu tangan hingga membuat mata
nyalangku menatap tajam matanya yang teduh. Bagiku, terserah ia akan mau
menikah denganku atau tidak. Yang pasti, aku tidak akan melepaskan Eunso
barang sedikitpun. Ia akan selamanya bersamaku, dengan atau tanpa ikatan
pernikahan.
“Kau milikku. Hanya milikku dan… malam ini kita akan kembali menyatu”
Eunso menarik nafas panjangnya. Sebagai bukti bahwa kesediaannya sudah
berada penuh dalam genggamanku. Sejenak aku mengelus bekas lukanya yang
memerah. Aku merengkuh tubuh Eunso dan memeluknya erat. Well, ini adalah
pertama kali aku merasa lega dan bahagia. Pandanganku turun ke bawah hingga
sesuatu berhasil menarik seulas senyum mengembang dariku. Tanpa perlu
berpikir lebih lama, aku mulai menggerakan menghujam kewanitaan Eunso.
Menyalurkan semua hasrat liar yang meradang. Menanamkan ribuan benih di
rahim Eunso bahkan jika bisa aku akan terus melakukannya lagi dan lagi.
“Lelah?” serakku kembali terdengar sesaat pelepasanku.
Diserbu kenikmatan yang keras mengguncang jiwaku, tubuhku bergetar
dan bagian di antara kakiku basah. Eunso di bawah sana merintih puas. Rasanya

100
lebih menggila jika harus dibandingkan dengan pergaulan kami sebelum ini.
Semuanya terasa begitu memabukkan hanya dengan anggukan yang Eunso
berikan padaku. Menggairahkan. Nikmat. Bahkan aku ragu jika kata tersebut
kurang mampu merepresentasikan kenikmatan yang baru kurasakan.
Eunso diam dan hanya bisa mengangguk lemah untuk kesekian kalinya.
Aku menghembuskan nafas kasar, merasa ingin dipuaskan kembali. Masih ingin
menggempur Eunso dengan kenikmatan bertubi-tubi. Aku tidak puas hanya
dengan sekali pelepasan. Namun, melihat wajah Eunso yang begitu kelelahan
rasanya sangat tidak adil jika aku harus memintanya lagi. Tidak apa-apa jika aku
tidak bisa membuat Eunso merasakan pelepasannya kembali, aku akan
mencobanya lagi besok atau kapanpun aku mau.
Aku membaringkan diri di samping Eunso. Menarik selimut menutupi
tubuh kami berdua. Tanganku merengkuh tubuh Eunso seraya memeluknya erat.
Dirinya mungkin bertubuh kurus, namun ternyata sangat enak untuk dipeluk.
Aroma bekas pergulatan masih terasa begitu kuat hingga memenuhi ruangan,
dan jika saja aku tidak mampu mengendalikan diri. Aku mungkin akan mati
karena harus mengurut batang kemaluanku sendiri.
“Terimakasih” seruku. Itulah kata terakhir yang mampu kuingat sebelum
benar-benar menutup mata. Terimakasih untuk izinnya hingga aku aku bisa
merasakan penyatuan yang benar-benar hebat
®®®
Aku bangun dari tidurku yang terasa senyenyak ini, rasanya nyaman dan
hangat. Tanganku mengusap kepala Eunso dengan lembut. Saat tertidurpun
dirinya masih tetap begitu cantik bak peri. Wajah polos dengan mata terpejam di
hadapanku nampak begitu damai. Tidak ada gurat kesedihan ataupun amarah
yang mendera disana. Yang ada hanyalah Eunso milikku yang mendamba. Aku
mendekatkan bibirku dan mengecup kening Eunso dengan lembut. Perasaan

101
bahagia menyeruak tanpa enggan kututupi lagi. Rasanya seperti feromon yang
menyerrbuku hingga ke urat nadiku yang terdalam.
Lama aku menyadari, sesuatu yang kuinginkan mulai terwujud dalam suar
yang nyata. Keabu-abuan menuntunku kedalam warna yang tegas, bahwa Eunso
adalah pilihan yang jelas. Terbangun dengan Eunso dalam pelukanku, itu adalah
satu dari sekian banyak citaku bersama Eunso. Aku ingin melakukan ini untuk
jangka waktu yang lebih lama bahkan sampai bumi terbelah sekalipun.
Kami bisa menikmati pagi bersama, menyiapkan sarapan, atau bahkan
sekedar berbagi guyuran air dengan sedikit desahan. Lalu aku akan merasa
tergesa-gesa pulang hanya supaya Eunso tidak menungguku terlalu lama dari
kantor. Semua akan terasa lebih mudah jika saja waktu menuntunku lebih dini
untuk sebuah pertemuan. Seandainya pertemuanku dengan Eunso jauh lebih
dulu daripada kehamilan Hyejin. Seandainya… aku memang berada di rentang
usia yang sama. Aku bisa saja mendapatkan Eunso dengan begitu mudah. Aku
bisa membuatnya menjadi wanita paling beruntung di dunia karena telah dicintai
oleh seorang Kyuhyun. Eunso akan bebas membalas cintaku tanpa perlu
terbebani dengan urusan hutang budi ataupun masalah kekerabatan.
Aku benar-benar tidak ingin menyakitimu lagi Eunso. Dan aku juga bukan
Tuhan yang bisa menjamin semua hal. Tapi aku akan berusaha. Bahkan jika perlu,
aku akan memaksa dirimu untuk mencintaiku. Tanganku bergerak mencuri
mencuri kesempatan dengan menyentuh bibir Eunso dengan ibu jariku sembari
membayangkan semua hal kotor yang bisa bibir itu lakukan untuk
menyenangkanku.
Aku mendekatkan bibirku dan mengecup kening Eunso sebelum perlahan
menggeser lenganku yang menjadi bantalan kepala Eunso lalu memindahkannya
ke bantal. Menyibak selimut yang menutupi tubuh telanjang kami berdua. Aku
tersenyum kuat, bukan karena tubuh telanjang Eunso yang membuat senyum itu

102
muncul, namun karena adanya bercak-bercak kepemilikanku di sekujur
tubuhnya. Eunso memang bukan wanita pertama yang kucumbu, tapi aku bisa
memastikan bahwa ia adalah wanita terakhir yang mampu menaklukanku.
Akuturun dari ranjang dan kembali menutup tubuh Eunso dengan
selimut. Berjalan mengambil handuk mandi Eunso dan melilitkannya menutupi
bagian bawahku. Wangi tubuh Eunso begitu menyerbak menempel di setiap
sudut kamar dan menjadi lebih kuat saat aku mulai berada di kamar mandinya.
Selama ini aku selalu keberatan dengan wangi menyengat dari parfum setiap
wanita. Tapi untuk Eunso, aku selalu merasa tidak yakin. Aroma bunga bakung
darinya seolah menyeruak memasuki jiwaku dengan lembut dan menenangkan.
Aku bergegas dan mengambil piyama seraya mengancingkannya asal-
asalan. Kulihat Eunso masih terlelap lelah dalam tidur pendeknya. Aku mengecup
lembut keningnya yang tanpa kerut sebelum kembali melangkah membuka pintu
yang tidak sepenuhnya tertutup. Seseorang bisa saja melihat pergumulanku, but
sayangnya hanya ada aku dan Eunso. Aku bergegas ke dapur, mencoba
menyiapkan sesuatu dengan cepat. Aku ingin Eunso memujiku sekali lagi bahwa
aku memang pantas untuk dibanggakan. Aku ingin ia melihatku sebagai sosok
ahli dalam segala hal, urusan ranjanng dan dapur sekalipun.
“Bos”
“Bajingan Janhyuk!” kagetku menutupi nada dari keterkejutanku. Pria
brengsek dengan ketololan berlebih, what the fucking day! Ini bahkan masih
terlalu pagi untuknya menampakkan wajah padaku. Terlebih dengan sensasi
pagiku yang membara bersama Eunso, kedatangan Janhyuk justru terkesan
seperti api dalam sekam. Membakarku melewati aliran statis tanpa henti, bahkan
kalaupun aku mau. Aku bisa saja melenyapkan bajingan itu. Penampilan Janhyuk
yang biasa terlihat memekikkan mataku. Rambutnya hitam mengkilap kontras
dengan jas merah yang ia kenakan.

103
“Sebelum umpatanmu menyambar pesat, well. Kupikir ada baiknya jika
kau mendengar beberapa kalimatku. Pikirku bertanya, bahkan saking
penasarannya aku berani membuang waktuku percuma untuk memastikan lebih
lanjut.Sekelebat opini-opini liarmenyergapku dengan ritme yang
membingungkan”
“Hingga aku sadar dan berani menyimpulkan. Siapa sangka jikadi rumah
semegah ini, nyatanya ada wanita cantik yang menahanmu kuat.Melupakan
rapat jutaan won bersama Lee’s Company. Sebuah pencapaian yang bagus”
sambungnya sembari menatapku secara berlebih. “Aku tidak akan merugi hanya
karena meninggalkannya”
“Tentu. Kekayaanmu memang diluar nalar pikirku. Tapi bukan itu yang
ingin kusampaikan. Hanya karena Hyejin noona tidak ada disini, bukan berarti
kau bisa sesuka hati menggauli loli Eunso dengan pintu terbuka lebar bos”
“Berhenti menceramahiku bajingan” teriakku sembari mengambil apron
lalu melempar tepat ke arah Janhyuk. Sudah cukup mulutnya berujar tanpa
landasan yang jelas. Bajingan ini pantas untuk mendapat punishment dariku.
“Selagi aku masih berbuat baik padamu, cepat lakukan sesuatu untukku”
“What do you mean?”
“Kau tahu jelas apa maksudku bangsat!”
“Tapi aku datang tidak untuk ini”
“Persetan Janhyuk persetan! Bajingan sepertimu sudah sangat pantas
melakukannya. Dan perlu ku tegaskan, aku ingin semuanya siap sebelum Eunso
kembali. Jika tidak, siap-siap saja menerima pemecatan dariku” bentakku marah.
Aku tidak sempat lagi hanya sekedar melihat ekspresi penerimaan Janhyuk,
pikirku kembali terpusat pada Eunso. Getaran panik menggerayangi dadaku
dengan cepat. Menimbulkan dentuman yang bisa membuatku gemetar hebat.
Sesuatu pasti telah terjadi pada Eunso.

104
Aku berjalan menuju kamar dan well, bahwa kenyataan jiwa kami telah
menyatu nyatanya benar-benar terjadi. Eunso tersentak mundur dan
mengerang. Kedua matanya yang cokelat dan menakjubkan membuka lebar.
Wajahnya yang cantik berubah menjadi ekspresi ketakutan yang menyakitkanku.
Eunso mengusap wajahnya kasar.
“Eunso… what’s wrong with you baby?”
“Apa yang sudah kulakukan padamu oppa!” teriak Eunso, gemetar gugup,
dan marah. Wajahnya tegang dan rahangnya bergetar menahan tangis. Aku
mendekatinya cepat seraya mengikis jarak selagi kubisa. “Tidak, kau tidak
melakukan apapun”
“Ti… tidak! Eunso pel…acur”
“Are you fucking me?”
Menyaksikan Eunso kembali menyalahkan dirinya sendiri, bahkan untuk
hal yang kami lakukan secara sadar, rasanya lebih sakit dari ribuan jarum yang
menusukku. Aku tidak pernah menganggap Eunso dengan istilah buruk
sekalipun. Ia suci, milikku yang abadi. Eunso hanya merasa bersalah. Dia hanya
terlalu takut akan kehancuran pernikahanku dengan Hyejin. Ia hanya terlalu
berpikir tanpa mengingat bahwa akulah yang akan bertanggung jawab. Ketika
aku ingin bergeming maju menenangkannya, Eunso kembali mundur tapi bukan
berarti aku tidak bisa meraihnya.
“Ya Tuhan, sayang, kau tidak berbuat satu kesalahanpun”
Eunso mengertak dan menatapku dengan murung dan tajam.
“Itu tidak seperti yang apa terlihat sekarang. Eunso sudah menarikmu
dalam kubangan dosa yang mematikan. Jika saja malam tadi Eunso menolak,
atau setidaknya sedikit menggertak,oppa mungkin tidak akan kembali
meniduriku. Aku benar-benar mengerikan”
“Pemikiranmu sungguh kacau”

105
Tanganku membelai punggung telanjang Eunso yang bergetar. Aku
membiarkannya bergeming dan berlinang air mata. Menyesapi aroma bunga
lavender bercampur aroma seks yang nikmat. Aku tidak pernah mengira, bahwa
mencintai seseorang akan menjadi sebegitu rumit dan kupikir, karena aku adalah
seorang Cho Kyuhyun. Selama ini, aku menganggapsemua yang kuinginkan akan
bisa kugenggam. Entah itu melewati lorong-lorong kegelapan, segala yang ku
dambakan bakal mendatangiku. Tapi… Eunso. Hanya karena statusku, tidakkah
cukup berlebihan jika ia harus menolakku lagi dan lagi?
“Eunso… yang kita lakukan, tidak pernah salah”
Napasku lemah dan tetap tidak merasa menyesal. Ini sama sekali bukan
kesalahan yang patut kusesalkan. Selama itu adalah perasaan murni, tulus, dan
berarti. Kalau aku memang berniat untuk bermain nafsu dengannya, seharusnya
aku masih bisa mencumbu yang lain selagi aku mencumbui Eunso. Aku
menghormatinya dengan cara yang bisa kurasionalkan. Aku membuat Eunso
aman seolah-olah ia adalah jelmaan peri yang patut kujaga batin dan raganya.
Aku hanya perlu memberinya arahan, mendoktrinya dengan segala puji kasihku
untuknya.
“Hyejin eonni pasti membenciku hiks”
“Well, dia mungkin akan marah atau bisa jadi kelembutan hatinya
memaafkanku. Kalaupun Hyejin menjadi tak terkontrol, orang yang menjadi
sasarannya tentu bukan dirimu Eunso”
Mendengar ucapanku, Eunso sontak mundur merenggang menatapku
dengan rasa bingung penuh tanya. Matanya mencari-cari jawaban dari
pernyataanku. Aku tersenyum manis seraya mengencangkan cengkeramanku di
area pinggulnya.
“Pernyataan oppa tidak akan pernah bisa sejalan dengan keadaan Eunso.
Tidakkah ini pantas kulakukan pada orang sebaik selembut Hyejin eonni? Oppa

106
tidak akan pernah mengerti bagaimana rasa tertekannya Eunso. Oppatidak akan
benar-benar merasa paham bahwa rasanya sungguh sesak harus melakukan ini.
Eunso seharusnya lebih banyak memberikan hal-hal baik, bukan malah bermain
lelucon semacam ini”
“Eunso, tidakkah kau paham jika disini dirimulah yang tidak benar-benar
bisa memahami? Aku memang bukan orang baik, tapi jika kau menganggap
perasaanku adalah sebuah lelucon, maka itu adalah kesalahan besar dan fatal.
Aku tidak pernah merasa mampu untuk mencintai seorang wanita sebelum ini.
Dan jika kau mengira Hyejin kunikahi atas dasar alasan perasaan. Itupun akan
menjadi dua titik kesalahan terbesarmu” aku diam untuk beberapa saat, sebelum
akhirnya kembali melanjutkan. Aku harus benar-benar menjelaskan sebelum
kesalahpahaman terus mengiringi perasaan Eunso yang rapuh.
“Jika aku benar-benar mencintai Hyejin seperti yang kau kira. Aku tentu
tidak akan mencintaimu dengan begitu menggebu-gebunya. Jika aku memang
benar mencintai Hyejin seperti yang kau duga, aku tidak akan pernah berani
meninggalkannya untuk bercumbu memadu kasih denganmu. Dan… ada banyak
ribuan gadis di sana. Aku tetap tidak bisa sebelum aku benar-benar
menemukanmu”
“Oppa…”
“Kau tidak pernah salah karena telah dicintai olehku. Begitupun aku yang
tak pernah salah karena mencintai gadis suci sepertimu. Ingatlah selalu kata-
kataku ini Eunso” ujarku. Aku yang merasa tidak tahan, langsung menghambur
menindih Eunso. Aku menangkap lengan Eunso untuk mengantisipasi gerak
berlebihnya. Aku menciumnya, menghisap bibirnya dengan nikmat. Aku tidak
pernah membayangkan bahwa dalam hidupuku akan menjadi pria dengan
perasaan cinta yang menggebu. Eunso mengerang berusaha untuk menjauhkan
bibirnya dari bibirku. Tapi gerakan tanganku lebih cepat menahanya.

107
Aku terus mencium bibirnya yang indah dan panas.
Wajahku sudah basah karena keringat kembali membanjiri. Aku tidak
peduli, aku terus menghisap bibir Eunso hingga tubuhku berdenyut kencang
diterjang getaran yang hebat. Keringatku berjatuhan panas dan tubuhku mulai
lemas karena ciuman sesaat. Bahkan jika aku bisa berpikir kotor sedikit saja, jika
saja aku lupa akan kedatangan Hyejin yang tinggal beberapa jam lagi,
kejantananku akan kembali masuk.
“Mandilah… aku akan menunggumu di bawah”
®®®
“Kyuhyun, are you missed me?”
Aku tertegun melihat kedatangan Hyejin yang lebih cepat dari
perkiraanku. Meskipun aku sudah terbiasa bermain dengan Eunso, namun tetap
saja. Ada sesuatu dalam diriku yang seolah menghantam perasaan Hyejin.
Jemarinya meraih bahuku lembut, memeluk sebagai tanda kepulangannya. Tidak
terlalu mengesankan bahkan ini terlihat seperti, bisa tidak untuknya pergi lebih
lama? Aku masih membutuhkan waktu untuk membuat Eunso jatuh padaku.
Bagaimana caraku menjelaskan supaya ia mengerti.
Namun aku tahu aku takkan mau menjauhinya, bagaimanapun juga. Aku
membutuhkan sosok noona dalam diri Hyejin, dan aku egois. Mungkin aku bisa
lebih jelas memperjelas hubunganku dengan Eunso, supaya ia mau meninggalkan
aku. Pikiran itu membuatku bergidik, dan rasanya aku memang belum siap.
“Noo. Aku lebih merindukan Hyunno dibanding harus merindukanmu”
tolakku disertai nada gurauan di belakang. Aku tidak perlu bermain kata basa
basi, tapi aku juga tidak ingin menimbulkan banyak spekulasi. Hyejin tidak harus
lebih merasa terbawa perasaan atas tindakanku yang mungkin terkesan
berlebihan.

108
“Oke… tapi aku tetap merindukanmu” ujar Hyejin. Aku mendengus kasar,
terlalu malas meladeni bujuk rayunya yang merisihkan.
“Noona” Janhyuk menyeru dan aku cukup beruntung. Tentu saja. Aku
bisa gila kalau disuruh meladeni obrolan Hyejin sembari memikirkan keadaan
Eunso sekarang. Aku bertanya-tanya dalam hati, well. Emosi Eunso yang tidak
terlalu stabil membuatku cemas akan sesuatu yang bisa mengusiknya. Sungguh
aneh, karena itu juga yang kutakutkan.
“Hello Janhyuk. Bagaimana kabarmu?”
“Sangat baik setelah bertemu denganmu noona”
“Aku cukup terkesan dengan jawabanmu. But… melihatmu seperti ini,
rasanya janggal jika aku tidak menanyakan tujuanmu kemari. Kau tentu tidak
sukarela menyambut kedatanganku bukan?”
Aku melirik Janhyuk, penasaran dengan jawaban yang keluar dari
bibirnya.
“Berkencan dengan Eunso”
“Do you want to die?” nada suaraku akhirnya menarik perhatian Hyejin.
Ia mendongak menatapku dengan sikap mendadak kaget. Mimik aneh melintas
di wajahnya. Kedua alisnya tertarik penasaran pada alasan kenapa kalimat itu
bisa keluar dari bibirku. Aku ingin memotong lidahku sendiri. Semua yang
kukatakan memang benar, tapi seharusnya aku masih bisa memilah kalimat yang
lain. Mengatakan yang sebenarnya adalah salah, itu pasti akan menyakiti Hyejin.
Kupandangi wajahnya. Kalau saja Kim Hyejin terlahir sebagai saudara
perempuanku, saudara perempuan kandung seperti Ahra, sehingga aku memiliki
hak hokum atas dirinya yang membuatku bebas dari perasaan bersalah. Tuhan
tahu aku tidak pernah berniat untuk memainkan Hyejin, tapi perasaan bersalah
yang kurasakan saat ini mau tak mau membuatku berpikir bahwa jangan-jangan
memang itulah yang sedang kulakukan.

109
Terlebih lagi aku tidak pernah berniat mencintai dia. Satu hal yang
kuketahui benar dan aku menyakininya dengan pasti. Dari lubuk hatiku yang
terdalam, dari pusang tulang-tulangku, dari puncak kepala hingga ujung kaki, dari
dalam dadaku yang hampa, cintaku untuk Eunso memberiku kekuatan untuk
menghancurkanmu. Aku sudah terlalu lama membuatnya masuk dalam harapan
yang penuh ilusi semata. Sekarang aku menjadi tidak tega untuk menyakitinya
lagi, tapi aku juga tidak bisa menahan diri untuk terus menerus menyakitinya. Ia
mengira waktu dan kesabaran akan mengubahku, dan walaupun aku tahu ia
salah besar, tapi aku juga tahu aku akan membiarkannya. Membebaskannya
untuk mencoba.
Ia seorang kakak. Aku akan selalu sayang padanya, tapi itu takkan pernah
cukup.
“Please calm baby. I am just kidding. Ada beberapa hal penting yang
harus ku diskusikan dengan bos. But… jika noona setuju. Aku tidak keberatan jika
harus mengencani Eunso yang cantik”
“Aku juga tidak keberatan untuk menolakmu habis-habisan Janhyuk.
Well, banyak sedikit aku tahu dirimu. Gadis sesempurna Eunso tentu sangat
disayangkan jika harus berakhir di tangan pria sepertimu” ujar Hyejin sarkas.
Ucapannya banyak kemungkinan mengandung sebuah kebenaran.
Janhyukbajingan, iya. Tapi tidakkah ia sadar bahwa aku lebih bajingan jika harus
dibandingkan dengan seorang Janhyuk. Dan wanita baik sepertimu juga tidak
pantas untuk jatuh dalam pesonaku.
Kulirik Janhyuk, hati-hati mengatur ekspresiku dengan menyunggingkan
senyuman padanya. Tapi aku juga gelisah. Kegelisahan itu seolah menambah
pukulan bertubi-tubi di kepalaku. Meski tidak ditunjukkan padaku, ucapan Hyejin
justru benar membuatku tersindir.Hingga menampar jiwaku keras. Suara dalam
kepalaku menjawabnya dengan geraman yang menakutkan. Aku brengsek, tapi

110
Eunso adalah bentuk cipta Tuhan untuk menyadarkanku. Tidak ada alasan
untuknya untuk tidak jatuh dalam genggamanku.
“What’s wrong with me? Aku tampan, terlebih lagi aku mengenal kalian
sebagai orang dalam”
“Karena sifat bajinganmu inilah—”
Janhyuk mengangkat kedua tangan, menghentikkan kata-kataku. “Oke…
oke. Aku tidak akan main-main” tukasnya cepat. Hyejin menengadahkan wajah
dan memelototi wajah Hyejin yang sepertinya menganggap Eunso adalah sebuah
lelucon.
“Selagi masih ada aku dan Kyuhyun. Kupastikan kau tidak akan pernah
benar-benar bisa berhubungan dengan Eunso kami”
Janhyuk memandangku dengan ekspresi, apakah Hyejin benar-benar
serius mengatakan itu? Aku bersandar di meja dapur dan menatap usahanya
dalam melindungi Eunso. Ini lebih parah daripada film romantis mana pun. Aku
menggelang pelan. Cinta itu tak masuk akal. Hubungan saling mencintai ini
membuatku pening. Ketulusan cinta kasih antara Hyejin dan Eunso menjadi
semakin didorong pada keretakan yang menggemparkan. Semakin kau mencintai
seseorang, maka semakin pikiranmu menjadi tidak rasional.
®®®
Aku memakai piama lalu merangkak naik ke tempat tidur. Hidupku saat
ini sudah terasa semakin gelap hingga kubiarkan diriku melanggar rasa
manusiawi. Brengseknya, aku justru kembali ke dalam ranjang bersama Hyejin
setelah semalam menghabiskan malam panjang dengan Eunso. Lubang itu,
sekarang ada lebih dari satu lubang, dan besar kemungkinan rasanya akan
menyakitkan. Kutatap langit-langit kamarku gelap, hanya pantulan sinar bulan
yang masuk dari jendela kamar yang tidak ditutup tirai. Aku bisa merasakan

111
sekarang sudah tengah malam, aku masih setengah tertidur atau malah belum
tertidur.
Saat itulah aku mendengar suara yang membuatku yakin bahwa Hyejin
telah selesai menidurkan Hyunno. Hyejin menutup pintu dan menguncinya. Aku
enggan berspekulasi karena perasaan bingung dan kikuk karena mengantuk.
Kamar ini gelap, dan dari kepura-puraan tidurku aku melihat Hyejin meringkuk di
tempat tidur dengan gaun tidur yang terlampau sexy. Gaun tidur Hyejin
berwarna putih gading berbahan satin, panjanganya tidak sampai lutut dan
memperlihatkan kakinya yang putih pucat. Well, sesuatu pasti telah terjadi.
Seseorang besar kemungkinan telah merasuki Hyejin untuk bertindak senekat ini.
Itu spekulasiku.
Hyejin menelusuri bahuku, ke dadaku, sampai ke area selakanganku
dengan jemarinya. Tangannya meremas pahaku dan meraba masuk ke balik
celanaku. Jantungku berdetak kencang hingga kuyakin penyamaranku akan
segera terbongkar. Ia menyentuh bagian paling sakral dalam tubuhku dan
meraba benda panjang itu dalam genggamannya. Aku sedikit mengerang dan
berusaha mengendalikan nafasku yang semakin memburu kencang. Bajingan!
Terkutuklah kau Hyejin dan terkutuklah diriku sendiri karena membiarkanmu
mengelus kesayangan Eunso.
Gerakan Hyejin semakin liar dan beruntungnya aku juga tidak kunjung
bangun. Baiknya, aku mungkin harus memeriksakan diriku bahwa kenyataan
mesopobia tidak benar-benar menyergapku. Pergerakan naik turunnya tidak
mampu membuatku bergairah tapi masih cukup bisa mempengaruhiku.
Tangannya menarik lepas celana piyama beserta celana dalam celvin hitam yang
kukenakan. Well, ini tidak dapat kubiarkan lebih lama. Kesaradaran menyerbuku
cepat bersamaan denganbayangan Eunso yang menyergapku dengan kilatan
pesat.

112
“Stop it Hyejin!” titahku.
Tanganku menarik jauh wajahnya yang hendak melakukan oral padaku.
Aku segera menarik celanaku asal. Pikiranku kacau, well setidaknya aku butuh
membersihkan diri sebelum benda itu kusodorkan kembali untuk Eunso. Hyejin
mundur beberapa senti. Aku benar-benar tidak akan memaafkan diriku sendiri
jika saja berani menggauli Hyejin.
“Kyu… hyun” aku menatap wajah Hyejin dan eskpresinya tampak tidak
berdaya. Sejenak aku bertanya-tanya dalam hati apa yang sedang ia pikirkan.
Tapi aku juga tidak ingin mengetahuinya. Bagaimanapun Hyejin bersalah karena
sudah mengganggu aliran sarafku. Ia lancang hingga aku perlu meraba-raba
memastikan bahwa itu adalah benar-benar Hyejin.
“Apa yang kau lakukan” desisku marah. Hyejin balik menatapku garang,
bagaimanapun ia bukan Eunso yang akan selalu patuh padaku. Bahkan jika
nurani meninggalkanku sedikit saja, aku pasti sudah menyentuh Hyejin habis. Ia
sah dalam hukum, tapi tidak cukup pantas untuk masuk dalam hatiku.Perasaan
cintaku yang menggebu tak bisa digoyahkan oleh apapun. Aku tidak mungkin
meninggalkan Eunso dan ia juga tidak akan kubiarkan meninggalkanku.
“Aku tidak perlu menjawabnya”
Aku menarik napas dalam, menggelengkan kepalaku jenuh. Harus berapa
kali aku menjelaskan bahwa relung hatiku tidak akan pernah bisa memiliki
perasaan.
“Itu ceroboh, kekanak-kanakan, dan idiot Eunso” kataku.
Aku tidak perlu mempedulikan ucapanku yang besar kemungkinan bisa
melukainya. Wanita itu harus dibuat sadar bahwa usaha gilanya justru akan
menyakiti. Tidak akan ada kebagaiaan yang terbentuk. Pun jika ada bahagia, pasti
bukan dia orangnya yang mendapatkan hatiku.

113
“Bertindak ceroboh ternyata lebih berhasil daripada yang kukira. Aku
ingin mencoba lagi, segera hingga kau benar-benar bisa merasakan pengaruhku
Kyuhyun”
Aku tidak mengerti mengapa delusi Eunso muncul tak terduga-duga
dalam benakku. Aku memang marah, tapi aku juga tidak bisa bertindak kasar
meski niatan itu mencuat dengan hebatnya. Identitas Hyejin yang hangat,
berubah menjadi pribadi yang bodoh karena perasaan cinta yang dimiliki.
Pikirannya jauh dari kata rasional bahkan aku khawatir jika rasa kepemilikkannya
terhadapku mampu menghambat perpisahan yang kurencanakan. Dan well,
perasaan Eunso adalah hal yang harus kujaga dalam kondisi apapun.
“Omong kosong”
“Aku mencintaimu dan bagian tersulitnya adalah… aku merasa tidak
memiliki kendali” jawabnya lambat-lambat.
“Lagipula kita bisa mencobanya, karena sudah terlanjur. Kau bisa
mencobanya denganku”
Maka akupun cepat-cepat berbicara, dengan bayangan wajah Eunso yang
mengharapkanku. Tak terbayangkan olehku bagaimana bila gadis itu mendadak
tahu hal apa yang telah kulakukan bersama Hyejin. Fuck!
“Apanya yang sudah terlanjur?” aku meneriakkan kata-kata itu di
wajahnya.
“Kau memberiku waktu, tapi kau tak pernah memberiku kesempatan. Ini
sungguh tidak adil”
Aku menatapnya kuat. Hyejin mengamati wajahku lama sekali,
menimbang-nimbang. Tekad tak sepenuhnya enyah dari matanya.
“Kumohon, biarkan aku mencoba” katanya akhirnya. Suaranya berubah
rapuh, dan ia memandang melampaui kepalaku, melewatiku. Tangannya kembali

114
bergerak menyentuh kemaluanku pelan. Rahangku mengeras dan aku berbicara
dari sela-sela gigiku yang terkatup rapat.
“Hyejin please” bisikku. Hyejin mengelak, mengangkat kedua tangannya
dengan sikap defensif. Menarik kembali piyama bagian bawah dan berhasil
menemukan batang kemaluanku. Mataku menatap penuh rasa penasaran yang
menggebu-gebu. Aku hanya perlu melihat bagaimana reaksiku sekarang. Apakah
benar bisa ia mampu membuatku terangsang hanya dengan sekedar kuluman.
Tanganku menarik wajahnya untuk menunduk sembari mempersiapkan milikku.
“Kyu…hyun”
“Bukankah ini yang kau inginkan eo?” sarkasku memaksa Hyejin untuk
terus mengulum. Aku merasakan panas dalam dirinya tanpa bisa menulariku.
Gelombang penasaran yang tadi menerpaku kini menerjang semakin tinggi,
menggulung kepalaku, menyeretku ke alam bawah sadarku. Aku kacau. Meski
berjuang keras untuk tetap fokus pada apa yang ia lakukan, aku tetap tidak bisa
merasakan bahwa memang ada titik dimana ia mampu mempengaruhiku.
Beberapa kali aku mencoba mengkompromikan saraf-saraf adrenalinku.
“Kyuhyun…” panggilnya.
“Katakan seperti apa kau ingin kutiduri” kepalu turun lagi di wajahnya
dan menarik bibirku dengan keras hingga nafasku nyaris habis. Tidak ada gairah,
yang tersisa hanya emosi dan perasaan penuh tanya, bahwa memang aku tidak
bisa disentuh orang lain. Aku menggeram.
“Aku tidak peduli, tapi jika ini yang kau inginkan. Aku akan menidurimu
dengan keras”
Aku membenamkan wajah di bawah dadanya, menekannya keras
berusaha memunculkan rasa tertarikku. Payudaranya besar tapi aku ragu jika
keduanya mampu memuaskanku. Mulutku mengelak meski beberapa kali aku
sudah mencoba mengecupnya keras.Suara serak, liar, dan erotisanya telalu

115
mengganggu dan aku memang tidak menyukainya. Tanganku meraih gaun tidur
Hyejin dan ingin menariknya dalam satu kali tarikan.
“Oppa…” delusi Eunso kembali menyadarkanku. Aku mengerang hebat
dan tersentak mundur. Nafasku memburu memenuhiku hingga ke ubun-ubun.
Aku menyisir rambutku keras.
“Sialan, apa yang sudah kulakukan!” bentakku, gemetar gugup dan
marah.
Aku tidak sempat lagi untuk membenarkan celanaku dengan benar.
Pikiranku terpusat pada rasa bersalah yang menyergapku. Aku menjauh dari
tubuhnya dan berdiir.
“Tidak Kyuhyun, kau tidak melakukan kesalahan” ucapnya. Ia bergeming
mencoba maju mendekatiku.
“Jangan dekati aku” bentakku.
“Tapi… kenapa Kyu—”
“Aku menyerangmu tanpa alasan yang jelas brengsek! Tidakkah harga
dirimu merasa terlecehkan atas tindakanku yang asal-asalan?”
Aku tak bisa memikirkan kata-kata yang cukup jahat untuk itu.
Seharusnya amarahku ini bisa membakarnya, tapi sepertinya ia malah semakin
terhibur.
“Itu tidak terlihat seperti yang sedang terjadi. Kau sudah menyeretku
dalam gairah panas, dan terlepas dari alasan apapun. Kau sudah mencium
tubuhku. Ada sebagian dalam dirimu menginginkanku Kyuhyun”
“Please, aku tidak ingin menyakitimu lebih jauh lagi”
“Tapi kau juga tidak memberikan penolakan yang tegas untukku”
“Well, aku memang membiarkanmu. Tapi bukan berarti itu bisa
menjadikanmu dasar bahwa aku bisa menerimamu Hyejin”

116
Aku mengusap dadaku kasar, mengutuk spekulasinya yang liar dan
menggila. Kulirik wajah Hyejin, ekspresinya tenang, nyaris sama seperti yang
kuingat saat pernyataan cintanya padaku. Aku menatapnya, merasakan untuk
pertama kalinya secercah emosi baru. Setiap menit sejak pertemuanku
dengannya, sedikitpun aku tak pernah menyaksikan pancaran ketakutan pada
sorot matanya. Sekarang, saat aku menemukan puncak bahagiaku, aku
merasakan ketakutan lain yang Hyejin rasakan. Yang lebih egois bahwa ia tidak
jika harus kehilanganku.
“Katakan padaku, Kyuhyun” bisiknya.
Matanya mendadak terfokus ke mataku, membeliak oleh kesedihan.
Dirinya tampak tersiksa saat menatapku.
“Katakan padaku, sampai di titik ini, perasaan siapa sebenarnya yang
sedang kau jaga? Hingga kau melupakan dirimu sendiri. Kau melupakan
identitasmu sebagai seorang Cho Kyuhyun. Tidakkah aku boleh mendengarnya
saja?”
Tubuhku bereaksi lebih cepat daripada yang sanggup di tangkap oleh
otakku begitu mendengar pertanyaannya. Pikiranku bergerak sangat lambat, tak
mampu mencerna mimik muka Hyejin yang muram dan apa hubungan sebab
akibat jika saja nama Eunso keluar dari mulutku. Apapun jawabannya, itu akan
membuat dagu Hyejin mengeras karena marah. Ketika suara Eunso terngiang
kembali dalam ingatanku, suaranya bukan lagi imitasi sempurna dari delisiku.
Hanya nada lemah seperti yang terekam dalam memoriku.
“Diammu ini, bukankah menjadi tanda bahwa sesungguhnya kau memang
tidak bisa menjawabku. Bukan soal ada atau tidak, karena kenyataannya tidak
ada seseorangpun yang bisa mengusikmu Kyuhyun.Dan kupikir, sebelum nama
itu terkuak, aku akan tetap memperebutkan hatimu”
“Well, kau salah besar dua kali, Hyejin”

117
“Lalu jelaskan dimana letak kesalahanku!”
“Karena kau tidak pernah benar-benar paham jika aku sedang menjaga
perasaanmu. Itulah kesalahan yang sulit untuk kau terima” ujarku.
Suaraku kaku dan bibirku tertarik ke belakang. Tapi Hyejin jelas tidak
mendengarkan kata-kataku. Ketidaktertarikan yang kutunjukkan tak mampu
mengurangi semangat Hyejin. Wanita itu tidak akan pernah mengerti dan paham
bahwa keterdiamanku bukan alasan yang patut ia jadikan landasan.
“Kau pasti berbohong padaku”
“Maafkan aku, Hyejin. Tapi itulah faktanya” ucapku pada akhirnya.
Aku bergerak jauh, meninggalkan Hyejin penuh tanda tanya. Tapi jika saja
ia mau mengerti, dua kata itu justru menunjukkan penolakan nyata untuknya.
“Kyuhyun!” Penyangkalan setengah berteriak itu terdengar sangat
nyaring setelah kata-kata yang kuucapkan. Aku terus bergegas, tidak acuh akan
reaksi hormon wanitanya setelah ini. Besar kemungkinan ia tentu menangis,
tetapi… aku juga tidak bisa untuk peduli. Aku tidak mengizinkan diriku untuk
menambah kadar kepedulian yang kumiliki. Aku berusaha keras tetap berada
pada pendirian bahwa Eunso berada di atas segalanya.
Kejadian yang kuingat sebelum akhirnya aku kembali jatuh pada pelukan
Eunso adalah aku menutup pintu dengan kekuatan yang mungkin bisa saja
merusaknya. Dan kurasa… ini adalah pertengkaran serius dari semua kesalahan
yang pernah kami lakukan. Aku tidak akan pernah semengerikan ini apabila
baiknya kau mengerti, setidaknya Hyejin tidak pernah melanggar janji untuk
tidak mencintaiku.Well, aku memang tidak ingin hidup tanpamu.Tapi aku tidak
tahu bagaimana melakukannya… aku tahu ini membingungkan. Aku tidak akan
pernah menyalahkan kehadiran Eunso, karena yang benar-benar menyalahi
aturanku adalah dirimu sendiri, Hyejin.

118
Mungkin jika aku harus menelisik lebih jauh, kebenaran juga tidak
selamanya berpihak padaku. Seharusnya aku tidak memberi harapan pada
Hyejin. Itu kulakukan murni karena egois. Tidak peduli aku telah berusaha
memperjelas posisiku. Kalau Hyejin merasa masih ada harapan, baik sedikit atau
berlebihan, untuk mengubah hubungan ini menjadi lebih dari sekedar perjanjian,
itu berarti aku masih kurang jelas dalam memberinya penjelasan.
Dahulu aku hanya cangkang kosong. Ibarat rumah tak berpenghuni,
hatiku hampa untuk waktu yang lama dan tidak bisa didiami. Sekarang aku jauh
lebih baik. Ruang dalam hatiku sudah kuperbaiki, menjadikannya lebih
manusiawi dengan Eunso didalamnya. Itu poin baiknya. Buruknya… dalam
perjalanannya, justru ada banyak jalan yang tidak sempat Eunso datangi. Gadis
itu masuk melewati jalan khusus. Dan… darinya jalan yang ditinggalkan. Ada
Hyejin yang tengah memperbaiki pagar hatiku tanpa menahu bahwa seisi rumah
sudah dalam kondisi baik-baik saja.
Padahal Hyejin pantas mendapatkan yang lebih daripada itu, lebih baik
daripada sekedar pagar hatiku yang nyaris ambruk dan kemudian dibetulkan.
Sebanyak apapun yang ia lakukan, tidak akan bisa membuatku kembali. Didalam
sana, ada Eunso dan diriku. Aku tak perlu menilik keluar jika Eunso sudah berada
dalam naunganku. Kami akan begitu saling mencintai tanpa harus peduli dengan
perasaan orang lain. Aku harus mencapai tujuan yang kuinginkan, bahkan jika itu
harus melalui jalan yang mengerikan, itu bukanlah masalah. Aku akan
mendapatkan Eunso dengan cara apapun. Well, itu adalah prinsipku.
®®®
Sejak malam itu aku menutup menghindari Hyejin. Sikap dinginku
mungkin akan menambah pahit derita yang harus ditanggungnya. Aku sejujurnya
tidak terlalu mengharapkan situasi ini bakal terjadi. Masih ada banyak jalan baik
yang ingin kulalui dengan situasi yang baik pula. Tapi Hyejin maupun Eunso tidak

119
pantas untuk diperlakukan seperti lebih jauh. Di dalam benakku, menjalani
kehidupan bersama Eunso adalah satu-satunya hal yang masih kuinginkan
setelah semua sudah kudapatkan. Terlepas dengan reputasiku dan betapa
banyak skandal yang akan melibatkan kami bertiga, aku berada di sini hanya
untuk Eunso, bukannya menyalahi aturan dengan bermadu kasih bersama
Hyejin.
Aku sudah banyak mengacaukan hidup Eunso dengan perasaanku. Tapi
Hyejin, aku tidak ingin cukup banyak andil untukku meminta maaf padanya.
Nerakanya, ia ciptakan sendiri. Deritanya, ia rasakan sendiri. Keegoisannya untuk
tetap memperebutkan hatiku justru menjadi boomerang hebat dalam gejolak
hatinya. Lama hidup bersamaku, ada baiknya jika ia bisa paham, dan akan selalu
paham bahwa Kyuhyun tidak akan pernah luluh dalam hubungan klise
membosankan semacam ini. Hatiku tidak akan benar-benar luluh hanya karena
dorongan yang Hyejin berikan.
Aku berdiri cukup lama di depan bangunan, selagi menunggui Siwon
pikirna kembali menggerayangiku. Dengan segala yang kupunya, bisnis yang
meroket tajam hingga menghasilkan jutaan dollard dalam setahun. Semuanya
yang ada di sini, perusahaan multinasional, bahkan perdagangan illegal sekalipun
aku tetap tidak bisa membuat Eunso terbuka. Aku benar-benar tidak bisa
membuat Eunso bebas menerimaku. Ini jelas meruntuhkan persepsi lamaku,
bahwa dirinya memang tidak bisa dibeli dengan uang atau kekuasaan. Wanita itu
tidak bisa kugenggam hanya dengan semua yang kumiliki.
Dirinya… jauh tidak sepadan jika harus kutukar dengan segala hiruk pikuk
dunia yang menggiurkan. Dari caranya bergerak, meski sedikit saja, aku langsung
menyesuaikan posisi pada saat bersamaan. Seperti magnet atau gravitasi. Ia
seperti satelit atau sebangsanya. Aku belum pernah merasakan seseorang bisa

120
mempengaruhiku hingga sedalam ini. Andthen… denganku yang seperti itu,
apakah ketulusan dan pengorbanan juga tidak cukup?
Bunyi klakson membuyarkan lamunanku lama. Cukup untuk membuatku
segera masuk dengan diam.
“Well, tidak biasanya kau memintaku menjemputmu”
“Hanya ingin bersenang-senang”
Aku berusaha membuat jawabanku sesingkat mungkin, mencoba untuk
tidak memasukkan hal-hal yang tidak esensial. Aku berusaha membaca reaksi
Siwon, dan pria memang seperti itu. Acuh dan terserah, kira-kira seperti itu
ekspresi yang ditunjukkannya. Perjalanan perusahaan ke Black Magic club tidak
benar-benar membutuhkan waktu yang lama. Dengan kondisi jalanan yang
lenggang, aku memilih untuk diam, well dari model pertemananku, Siwon
memang paling tertuup untuk masalah mulut. Lagipula… aku juga tidak dalam
kondisi baik untuk memunculkan topik obrolan yang tepat.
Lama kami terdiam. Samar-samar ekor mataku menangkap gerakan
bibirnya, berkomat-kamit tidak jelas hingga membuatku cukup terganggu dengan
tingkah lakunya ini. Sedikit banyak aku mencoba memahami, ada sesuatu hal
yang kemungkinan besar ingin ia sampaikan padaku. Sesuatu yang penting
mungkin... ya terkaanku. Membaca dari bahasa tubuhnya, jelas sesuatu itu
adalah topik penting hingga ia harus menyiapkanancang-ancang. Menyiapkan
kata demi katanya, supaya tidak menyinggung perasaanku. Aku berusaha
memasang ekspresi setenang mungkin supaya Siwon benar-benar berani untuk
mengajukan pertanyaan padaku.
“Well, jika ada beberapa hal yang ingin kau ungkapan padaku... Aku tidak
keberatan... kebetulan aku juga sedang terbuka menerima saran atau sekedar
teguran” ucapku tanpa perlu memperhatikan suasana jenis apa yang tengah
mendominasi perasaannya.

121
Aku dan Siwon, dulunya mungkin tidak pernah terpisahkan. Bersama
dengan Daehyun dan Donghae, kami menghabiskan banyak waktu untuk apapun
itu.Lahir bersama dalam naungan perusahaan, hingga akhirnya berteman dan
tumbuh menjadi brengsek pada masa yang sama pula. Dan akupun tak ingin
menampik bahwa harapanku untuk menua bersama mereka tetap mengikat kuat
dalam urat nadiku. Terlepas dengan kehadiran Eunso, tentunya. Well, dari
keempat itu, aku bisa memastikan bahwa Siwon adalah pria paling beraura
positif dalam tingkat kebrengsekan kami. Ia bersih, dikala aku, Daehyun, dan
Donghae bermain api dalam gelapnya dunia malam. But… bagaimanapun ia.
Siwon akan tetap menjadi bajingan brengsek karena telah masuk dalam lingkaran
pertemanan yang kami buat.
“Ngomong-ngomong soal Eunso, bagaimana kabar gadis itu?” ucapnya
memulai pembicaraan.
Suaranya cemas, dan aku sadar bahwa Siwon mengira aku ingin berbicara
tentang alasan-alasan yang sempat kupikirkan agar membuat keduanya tetap
aman. Aku tidak cukup heran jika dari sekian banyak topik pembicaraan, pria ini
justru memilih untuk membahas pmengenai perasaan cinta terhadap loli kecilku.
Ekspresiku biasa-biasa saja, bertekad untuk tidak membesar-besarkan obrolan
ini.
Kujelaskan beberapa poinnya, tidak perlu heran dan penuh tanya
mengenai dasar Siwon bisa mengenal Eunso. Sudah beberapa kali kukatakan di
awal, pria ini adalah teman karibku, lebih dari itu dirinyapun juga tahu segala
kelakuan bejat yang kulakukan di belakang Hyejin. Siwon paham betulmengenai
segalanya hingga membuatnya menjadi orang yang paling menentang
hubunganku dengan Eunso.
“Baik” ucapku apa adanya sembari menarik ujung bibirku dengan lemah.
Singkat, tapi kata itu memang sudahmampu menggambarkan keadaan Eunso

122
secara keseluruhan. Lagipula aku jugatidak harus repot-repot untuk melaporkan
setiap hal yang Eunso alami pada Siwon.
“Kyuhyun. Aku sudah lama mengenalmu, right?”
“Tentu”
“Tapi bukan itu poin yang ingin kubicarakan Hyun. Kemungkinan besar
dalam perspektifku kau pasti bosan, tapi, tetap dengarkan baik-baik
pertanyaanku. Tidakkah kau pernah memikirkan ini? Tidak hanya Hyejin, Eunso,
gadis itu juga akan terluka jika saja kau harus bertingkah seperti sekarang”
ucapnya.
Aku tidak bisa untuk menjawab secara langsung. Kata demi kata perlu
kusiapkan supaya tidak ada hal yang mampu mempengaruhinya lebih jauh. Bisa
saja… itu adalah sekedar jebakan untukku. Salah besar jawabanya jika aku tidak
memikirkan keduanya. Entah mengapa aku baru merasa terpukul sekarang.
Padahal aku sudah tahu suatu saat ini pasti akan terjadi. Pertanyaan ini pasti
akan menghantuiku untuk jangka waktu yang lama. Bahkan itu muncul di saat
aku tengah melakukan peran.
Well, aku tidak bisa menyalahkan Siwon untuk pertanyaan retorisnya. Itu
adalah sesuatu yang mutlak benar dan akupun tak dapat memungkiri. Bahwa
dalam kasus ini, tentu aku tidak dapat memastikan jika keduanya akan baik-baik
saja. Terlebih ini menyangkut perasaan perempuan. Hyejin mungkin akan
mengalami pesakitan hebat, terluka, dan sekarat. Tapi Eunso… aku juga tidak
bisa menjamin perasaan gadis itu untuk saat ini. Aku mungkin terlihat biasa, tapi
aku juga tidak bisa memungkiri jika rasa sakit yang Eunso rasakan ada karena
tingkahku yang diluar batas kewajaran.
Eunso pasti terluka, dan itu jelas terpapar begitu keras di hadapan
mataku. Menampar jiwaku. Tapi akupun bingung langkah mana yang akan kupilih
lebih dulu...

123
Mempertahankan keduanya untuk tetap berada disisiku bukanlah
keputusan yang baik. Itu adalah hasil rundingan paling tolol dan aku akan merasa
menjadi pria paling bodoh karena telah memilihnya. Mempersatukan Eunso dan
Hyejin dalam satu ikatan pernihakah denganku, mungkin saja itu bisa berjalanan
beriringan jika saja hatiku tetap teguh pada kata keadilan. Aku jelas memihak,
dan jika itu benar-benar terjadi, alih-alih memperbaiki situasi hal itu justru akan
semakin memperkeruh keadaan dengan melukai keduanya.
Ada begitu banyak alasan menyudut bahwa pilihan ini memang tidak
dapat kutunaikan. Itu jelas menyakiti Hyejin dan Eunso. Tapi bukan itu yang
menjadi titik terberatku, bahwa sejatinya akupun tidak ingin dibagi. Aku ingin
mengutarakan segala rasa cintaku untuk Eunso tanpa harus takut melukai
perasaan Hyejin. Aku ingin menjadi pria yang selalu ada untuk gadis itu kapan
dan dimanapun ia membutuhkanku. Aku bisa melakukan apapun dengannya, dan
dengannya pula, aku ingin membangun keluarga yang sesungguhnya.
Mempertahankan Hyejin dan menjadikan Eunso sebagai gundik juga
bukan keputusan yang menyenangkan. Aku bisa saja membuat Hyejin untuk
terus terikatdenganku, membiarkan wanita itu menyandang menantu keluarga
besar Cho hingga akhir hidupnya nanti. Tapi… akupun juga tidak rela jika Eunso,
wanita paling terkasihku harus menerima perasaanku tanpa status yang jelas.
Lagipula… akupun tidak akan berjanji untuk berhenti menginginkan Eunso.
Bukankah keputusan ini justru begitu menyakiti Hyejin? Melihat kenyataan
bahwa suaminya menginginkan orang lain, kenyataan suaminya mencintai orang
lain adalah perasaan paling menyesakkan yang mampu dirasakan wanita.
Intinya melepas salah satu diantara keduanya adalah keputusan paling
baik dan tepat diantara pilihan yang mampu kukumpulkan. Meski salah satunya
akan terluka, setidaknya ada salah satu hati yang akan merasakan bahagia
nantinya. Dan akupun tak menampik jika yang kuinginkan untuk merasakan

124
kebahagiaan itu adalah Eunso. Aku Kyuhyun, melanggar sumpah bukanlah
identitasku. Aku mampu mengorbankan apapun untuk bisa hidup bersamanya,
bahkan jika itu harus mengorbankan rumah tanggaku bersama Hyejin. Aku
mampu melakukannya. Well… dari awal, hubungan kami bukanlah hubungan
dimana kedua belah pihak saling mencintai dalam kasih.
Semua pilihan mungkin memiliki peluang sama untuk menyakiti satu
sama lain, tapi... entah siapa yang akan terluka, aku mengorbankan diriku untuk
memastikan bahwa bukan Eunsolah orangnya.Aku menarik nafas dan tersenyum.
Great it boy. Aku hanya perlu mendengar kata hatiku saja. Persetan dengan
omongan orang. Lagi pula kita sudah berada di era dan teritorial di mana setiap
orang bisa menikah dengan siapa saja.
“Pernah”
“Lalu apa yang kau dapat dari jawaban jelasmu itu?”
“Tindakanku tak akan pernah salah” ucapku.
Pada akhirnya hanya kata-kata itulah yang mampu aku lontarkan untuk
Siwon.
“Maksudku, kalau kau hanya sekedar mengagumi dirinya saja, aku
mungkin tidak masalah. Tapi –serius kau ini masih berstatus suami! Aku yakin
dan kaupun setuju, Eunso gadis baik yang begitu polos. Dia tak mungkin ada
niatan untuk menggodamu”
Ia diam sesaat, tapi kutahu akan ada ada beberapa sambung kalimat yang
harus ia keluarkan lagi.
“Dan… tentang Hyejin... bukan aku berniat menasehatimu atau apa
Kyuhyun. Demi Tuhan, aku hanya merasa sedih. Ibu dari anakmu itu harusnya
mendapat perhatian yang lebih. Ia hanya ingin kau selalu berada disisinya. Ingin
dicium kening dan dielus rambutnya. Ingin dipeluk ketika akan tidur dan... yang

125
paling penting ia ingin selalu dicintai. Kau memang memenuhi semua
kebutuhannya, aku yakin itu. Tapi apakah itu menjamin kebahagiaannya?”
“Aku benar-benar tidak bisa untuk itu”
“Apa yang kau tidak bisa? Dua tahun kau dan Hyejin menyelami bahtera
bersama, tidakkahnama wanita itu ada di rongga hatimu secuil saja? Tidakkah
hatimu itu terbesit untuk mencintainya sedikit saja? Benarkah tidak ada Cho
Kyuhyun?” sambungnya lagi.
Pertanyaannya menghantamku dan aku merasa dilecehkan dengan nada
sindirnya. Aku menekuk bibir sementara mataku menerawang jauh, diam tanpa
berniat untuk meneruskan pembicaraan ini. Sekuat apapun usahaku, aku benar-
benar tidak bisa untuk mencintai Hyejin. Bahkan jauh sebelum Eunso hadir,
perasaan itu seharusnya muncul ketika aku mulai berbagi ranjang di setiap
malamnya. Perasaan itu ada ketika aku mulai merawat Hyunno bersama, tapi
kenyataannya… Itu tetap bisa dijadikan pedoman, karena sejatinya ia adalah
sebatas noona untukku.
“Tidak ada alasan lain, karena memang aku benar-benar tidak bisa”
“Masih ada banyak waktu Kyuhyun. Kau bisa berusaha lebih jauh, kau
bisa berusaha untuk membuka hatimu kembali. Aku bisa membantumu, serius!
Danuntuk Eunso, sebelum semuanya terlambat, kumohon jangan merusaknya
Cho Kyuhyun” kata Siwon.
Aku tersenyum sambil memandang lurus ke depan. Aku menikmati
Eunso, bahkan hanya dengan melihatnya saja, diriku dapat terbakar sepanjang
hari.
“Lalu jika aku berkata, bahwa kenyataan aku telah merusak gadis itu. Apa
yang bisa kau lakukan padaku Siwon?”
“Kau benar tidak terampuni untuk itu”
“Tapi kau benar-benar tidak pernah berada dalam posisiku”

126
“Apa kiranya yang belum kuketahui?”
“Aku dan Hyejin tidak berada dalam hubungan pernikahan seperti apa
yang ada dalam pikiranmu” aku memulai, menerawang jauh kedepan.
“Pardon me, please?”
Aku mengangkat bahu pelan. Sulit dipercaya jika aku harus membuka
semuanya sekarang. Tapi… aku lelah untuk terus berusaha keras membohongi
diri. Aku sejatinya juga butuh dimengerti bahwa semua yang kulakukan juga
tidak salah jika saja seseorang memandangnya dari perspektif lain. Lubang di
dadaku kini semakin parah. Kusangkan aku sudah bisa mengendalikannya, tapi
aku mendapati diriku meringkuk, setiap hari, seraya mencengkeram pinggang
dan megap-megap kehabisan udara.
Aku tersenyum, menyadari bahwa kepekaan Siwon benar diatas batas
normal. Beberapa menit kemudian aku mulai menyadari bahwa kami telah
berada pada jalur yang tidak mengarah ke tempat tertentu seperti tujuan awal.
“Aku hanya ingin membuatmu lebih nyaman hanya bercerita denganku”
“Are you a fucking man?”
“Yes. Dan aku siap mendengarkan”
Tenggorokanku mendadak bagai tersumbat, dan aku harus menelan
ludah dua kali sebelum benar-benar memulainya.
“Aku tidak akan menjelaskan detailnya. Well, jika mengingat ini aku
merasa diriku adalah pria paling baik di sedunia karena harus menikahi Hyejin.
Meski pada akhirnya aku kembali menjadi bajingan brengsek, aku tetap tidak
akan menyesal”
Aku meringis, namun tetap mengarahkan mataku ke depan.
“Dua tahun lalu, seperti yang kau ingat. 21 Februari aku menikahi Hyejin
dengan segala keresahanku. Tidak ada perayaan, tak ada baju pengantin

127
selayaknya pernikahan pada umumnya. Dan jika aku harus berkata, hanya ada
pendeta, kau, Daehyun, dan Donghae sebagai saksinya”
“Well, aku mengingatnya jelas, dan kalau aku tidak salah, kau menikahi
Hyejin tepat di jam delapan malam dengan kondisi hujan deras”
Aku kembali menarik napas dan menyadari sesuatu.
“Aku rasa itu adalah pertanda dan sebuah kode alam untukku. Bahkan
jika kau bisa menyadari, tak ada sedikitpun raut rona bahagia ketika seorang pria
berhasil menikahi wanita pujaannya di depan Tuhan”
“Tapi itu murni kukira karena pembawaanmu memang seperti itu
Kyuhyun”
“Tidakkah kau bisa melihat bagaimana pembawaanku saat bersama
Eunso?”
“Aku hidup sebagai pria bebas, bengis, dan berhati dingin. Yang kutahu
hanyalah bersenang-senang tanpa harus berkecimpung dalam dunia perasaan.
Aku tak pernah berpengalaman untuk hal semacam itu sebelum semuanya
terjadi. Malam itu, beberapa bulan sebelum pemberkatan… Hyejin datang
kepadaku dengan keadaan yang siapa saja bisa iba karena melihatnya. Wanita
itu, datang dengan ekspresi penuh pesakitan yang masih bisa kurasa”
“Lalu?”
“Ia hamil”
“Wh…hat?! Are you kidding me?”
Well, ini mungkin menajadi alasan mengapa aku tidak pernah sanggup
untuk membuka lebih jauh hubungan jenis apa yang membuatnya terikat
padaku. Bahkan untuk orang terdekat sekalipun aku masih belum terbuka.
Perangai baiknya tidak harus hilang karena satu kesalahan yang mungkin pernah
ia buat. Meski untuk sebagian orang sepertiku itu tetap salah. Karena
bagaimanpun juga, seorang wanita tidak harus memberikan harta berharga yang

128
sempat ia milikki untuk diberikan pria diluar hubungan pernikahan pada
semestinya. Aku juga tidak bisa memungkiri, bagaimanapun brengsekknya aku…
jiwaku masih menginkan wanita suci seperti Eunso.
“Bajingan, aku belum selesai bicara”
Siwon mengangkat bahu pasrah.
“Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus kulakukan saat itu. Dengan
keadaannya yang kacau, aku tidak mengerti untuk apa aku harus perbuat. Lama
aku berpikir sampai pada akhirnya aku berani menawarkan sebuah pernikahan
kepadanya. Memberikan kesempatan untuknya tetap hidup tanpa harus
terbayang-bayang masa lalunya yang kelam. Memberikan kesempatan untuk
Hyunno mengenal seorang ayah”
“Aku berani menawarinya pernikahan tentu bukan tanpa alasan. Aku
berani memastikan bahwa ini adalah murni pernikahan dengan seberkas
perjanjian. Janjinya hanya satu… tidak akan ada cerita cinta kasih apapun antara
Kim Hyejin dan seorang Cho Kyuhyun”
“Ada apa dengan perjanjiannya?”
“Hyejin melanggar itu. Bahkan jauh sebelum kedatangan Eunso, wanita
itu sudah melakukan kesalahan fatal dengan mengabaikan
laranganku.Well,semuanya menjadi semakin kacau saat hatiku menjadi begitu
terpaut dengan wanita sembilanbelas tahun itu. Potongan cerita Eunso adalah
cerita yang bisa kau tangkap sebelum kau berani menasehatiku lebih jauh”
“Bagaimana dengan Eunso? Tidak—”
“Jika itu pertanyaan mengenai Eunso, maka jawabannya adalah tidak”
“Tapi kau melukai perasaannya Hyun. Dia lebih senang jika kau harus
berkata jujur daripada bersikap melindungi dirinya seperti ini”
“Bisakah kau tunjukkan padaku bagaimana aku harus memulai, jika saja
hubungan Eunso dan Hyejin lebih dekat dari apa yang bisa kau bayangkan. Aku

129
benar-benar bingung untuk memulainya dari mana Choi. Aku bimbang, dan
merasa bahwa setiap langkah yang kutempuh akan menyakiti mereka lebih jauh”
“Tidakkah itu akan terus menyakiti mereka?”
“Inilah yang membingunganku”
“Well, aku ingin memastikan.Besar kemungkinan, perasaan Hyejin
hanyalah rasa kebiasaan yang muncul kebiasaan hidup denganmu. Wanita itu
kuat, dan aku percaya bahwa perasaannya tidak benar-benar nyata. Bahwa
banyak sedikit aku bisa berspekulasi, ia hanya terdorong nafsu untuk memiliki
seseorang”
“Aku benar-benar mengharapkan itu semua bisa terjadi”
“Kau benar-benar ingin mendengarkan saranku?”
“Lepaskan Hyejin”
Aku memandangnya tajam. Ragu-ragu sejenak bingung hendak
melakukan apa.
“Karena jika kau benar-benar serius pada Hyejin, secara logikanya dirimu
tentu tidak akan pernah terpaut pada Eunso. Seberapapun mempesonanya ia,
hatimu tetap tidak akan goyah. Dan well, aku menghargai perasaanmu Kyuhyun”
“Tapi… Siwon, jika aku harus jujur, perasaan egois untuk menahanku juga
tidak bisa dikatakan sepele.Secara garis besarnya, aku juga tidak bisa jika harus
melepasakan Hyejin begitu saja… Terlebih ia sudah seperti Ahra untukku, rasanya
sungguh tidak rela jika harus membiarkan ia menderita hidup bersama pria tak
jelas asal-usulnya”
“Ia akan jauh lebih sengsara jika terus tinggal bersamamu. Bagaimanapun
kau tidak bisa meminta keduanya Kyuhyun”
“Bukan seperti itu bajingan! Aku hanya belum menemukan pria yang
tepat untuk Hyejin, aku menahannya lebih lama bukan untuk mengubur Hyejin
bersama harapanku yang semu. Tidak, demi apapun tidak”

130
Kami diam untuk waktu yang lama. Aku tidak sedang memperhatikan
jalan yang sudah lama kukenal, membiarkan suara mesin menumpulkan otak dan
membungkan rasa penyesalanku, saat alam bawah sadarku menyampaikan
keputusan yang selama ini pasti disimpulkan dalam pikiranku tanpa aku sendiri
mengetahuinya. Begitu hal tersebut keluar dari mulutku, aku merasa diriku
benar-benar tolol karena merasakan keegoisan yang mendalam.
“Jika memang itu yang kau ragukan… bisakah aku meminta Hyejinmu
untukku?”
Aku ingin segera menjawab tapi bayangan lain membuatku urung
menyanggah. Pertanyaan sendunya membuat tubuhku menegang. Keterkejutan
mendadak menggerayangi detak jantungku saat menyadari betapa pertanyaan
Siwon begitu retoris untuk kujawab. Siwon menunggu, ekspresinya santai namun
penuh penantian jawaban, membuat wajahnya seperti merengut miring untuk
jangka waktu lama. Kuabaikan delusi itu, perhatianku tergugah oleh asumsi yang
dilontarkan Siwon—apakah dia serius?
Aku terdiam sesaat, memandang ke luar jendela, ke bentangan deruk
malam yang menderas, dalam bayanganku ia memikirkan fakta bahwa
kehadirannya nanti mungkin akan mengubah kesedihan yang Hyejin rasakan. Aku
bisa menerjemahkan maksudnya dengan cukup mudah, Siwon menginginkan
Hyejin dan tololnya aku justru tidak menyadari ini untuk waktu sebelumnya. Atau
mungkin pencegahannya untuk menjauhkan Eunso dariku adalah buah dari
ketulusan hatinya kepada Hyejin, bahwa keputusan itu mungkin bisa saja
mempertahankan Hyejin untuk berada dalam zona kebahagiaan dalam
perspektifnya.
Aku sempat merasakan secercah perasaan bersalah saat menyadari
bagaimana ia menyimpan perasaanya untuk Hyejin, kalaupun aku tahu sejak
awal, aku tidak mungkin untuk mengabaiknya. Pokoknya aku tidak bisa untuk

131
melukai perasaan Siwon. Dengan pikiranku mantap, selagi masih menyurusi jalan
Myeongdong, aku mulai yakin dan berani memutuskan.
“Tidak perlu terburu-buru. Ambil waktu sebanyak yang kau butuhkan
untuk memikirkan ajuanku”
“Aku ingin cepat-cepat” bisikku, tersenyum lega, mencoba bergurau.
“Kau benar ingin melakukannya?”
“Well, kesempatan tidak datang dua kali, dan itu berarti juga untuk
anggapan bahwa pria baik sepertimupun tidak akan menawariku lagi di waktu
yang akan datang”
Aku tersenyum sumringah. Aku turun dari mobil dan bergegas
mengitarinya untuk berdiri merangkul Siwon. Kedua tanganku gemetar, seperti
gemuruh jantungku yang semakin bertalu. Aku tidak perlu bertanya lebih jauh
untuk tahu alasan terbesar mengapa Siwon mengajukan beberapa kalimat yang
menohok sekaligus membahagiakanku. Aku tidak perlu ikut campur atas dasar
apa ia menginginkan Hyejin untuk terus hidup dalam hidupnya. Well… terlepas
dari apapun, yang kupercaya… Siwon adalah pria baik.
®®®
Sejak mengucapkan kata setuju dengan Siwon mengenai Hyejin, aku
dihantui bayangan menyenangkan yang terus-menerus mengusik pikiranku. Aku
harus benar-benar menyiapkan dengan dan tanpa harus merasa dicurigai oleh
Hyejin. Bayangan itu muncul dalam interval teratur, seperti alarm yang diatur
untuk berbunyi setiap setengah jam sekali, memenuhi kepalaku dengan
bayangan Siwon dan Hyejin yang saling bertukar senyum bahagia. Itu adalah
delusi paling membahagiakan yang bisa kurasakan setelah Eunso.
Saat visi yang mengharuskanku untuk bergerak cepat muncul lagi, aku
tahu benar kenapa aku merasa sangat puas dengan keputusan yang kuajukan.

132
Suara Hyejin menyentakku dari lamunan. Ia melambaikan tangan tepat di
wajahku yang menerawang kosong. Aku mengenali ekspresi Hyejin, ekspresi
otomatis mengirimkan sengatan panik ke sekujur tubuh karena perasaan, ya
mungkin saja aku tertangkap basah. Tatapannya bingung menandakan bahwa ia
bertanya-tanya akan hal apa yang menahanku untuk tetap diam. Akan ada
sesuatu, sesuatu akan terjadi sebentar lagi.
“Lihatlah Eunso, oppamu akhir-akhir ini kurasa memang tidak ada
pekerjaan selain melamun”
Aku kembali menjadi diriku. Mataku cepat mencari keberadaan Eunso,
dan ia tampak berdiri disana, well. Semua lamunanku lenyap begitu aku melihat
wajahnya. Aku berusaha mengalihkan pandanganku dari kesempurnaannya
sebisa mungkin, tapi sering aku gagal. Setiap kali kecantikannya menusukku
dengan kepedihan. Matanya menunduk, dan dengan syal yang melilit lehernya
indah, aku yakin akan sesuatu apa yang tengah ia sembunyikan dari semua
orang.Itu mungkin bisa menutupi, but… sesuatu yang kuperbuat olehku tentu
saja tidak akan pernah luput dari pengawasanku.
Awalnya ia tidak tersenyum, tapi kemudian raut wajahnya sedikit ceria
ketika melihatku. Entah itu dorongan dari dalam hatinya atau sekedar
menangkap gurauan yang Hyejin berikan, senyuman Eunso tetaplah manis. Aku
ingin sekali menghampiri Eunso secepat mungkin, memberikan pelukan hangat
dan kecupan akhir penghujung hari. Itu sungguh bisa kulakukan, asal nuraniku
dapat lepas untuk tetap menjaga perasaan Eunso tetap nyaman dihadapan
Hyejin.
“Ada apa?” aku membeo bingung.
“Mmm… aku hanya ingin memberitahumu, kami akan pergi sebentar
malamini… kalau boleh ataupun jika tidak diizinkan aku tetap pergi”

133
Aku menarik alis keras, sesaat baru menyadari tentang apa yang Eunso
kenakan. Sweater lengan panjang berwarna biru muda dan rok selutut. Aku ingin
tertawa, menyembunyikan sekelumit pemikiran bahwa Eunso selalu terlihat
seperti gadis-gadis yang tengah menyambut kelulusan akhir tahun. Itu bisa saja
terkesan sexybila jadimodel pakaian tersebut dipakai oleh wanita yang memang
memiliki pawakan atau pembawaan seperti itu. But... untuk Eunso, bagiku. Ia
tetap terlihat seperti gadis di bawah umur yang menggiurkan.
“Eoddiseoyo?”
Aku berusaha menyembunyikan rasa ngeriku mendengar ucapan Hyejin
yang terkesan bar-bar. Jika itu benar adanya, jelas percuma rasanya jika aku tidak
memberikan izin. Terserah ia ingin pergi kemana tapi please, tidakkah Eunso
tetap tinggal bersamaku? Well… bukan itu poinnya tapi, faktanya aku begitu
menginginkan Eunso untuk tetap tinggal terganjal oleh kenyataan, Hyejin
bersamanya. Aku mencoba menggali sejeli mungkin. Tapi… aku juga tidak ingin
membuat itu begitu ketara, jadi aku menyelipkan petunjuk itu di bagian akhir.
“Membeli beberapa bahan makanan dan yang lainnya”
“Yang lainnya?”
“Ya... hal biasa yang kami lakukan sebagai perempuan”
“Tidakkah aku bisa ikut?”
“Tidak, kami akan pergi sendiri dan jangan pernah sekali-kali mengacau
dengan mengirimkan pasukan untukku”
Satu poin yang kusuka dari Hyejin adalah bahwa wanita itu tidak akan
bisa terpengaruh oleh situasi apapun. Ia bisa bersikap biasa meski sebelum ini
pertengkaran hebat melandaku tanpa terkendali. Separah apapun masalah kami,
Hyejin tetap berbicara seolah-olah memang tidak ada hal sedikitpun yang
sempat mengganggu emosi atau hatinya. Itu satu poin penting menurutku. Tapi…

134
juga akan membahayakan jika dirinya memang tidak akan pernah peduli pada
laranganku.
“Well… ini sudah malam, kurasa ada baiknya jika kalian memilih untuk
tetap tinggal, esok hari atau setidaknya biarkan aku ikut”
Hyejin mengernyit tajam merasakan ada yang salah dalam diriku. Sedikit
banyak ia pasti berpikir tentang alasan dasar mengenai laranganku yang tidak
masuk di akal. Bukan masalah rumit seperti tindakan Hyejin yang mungkin saja
akan melukai Eunso di luar sana, tapi lebih kepada sikap posesif serta tak ingin
kehilangan Eunso lebih lama adalah alasan mendasar mengapa aku memintanya
untuk tetap tinggal.
“Kau tetap dirumah, Kyuhyun”
“Kami pergi dulu oppa”
Eunso menimpali dengan lembut tepat sebelum aku ingin menyela
kembali. Perasaan penasaran yang berlebih mencuat melebihi aliran darah dalam
nadiku. Sial. Tanganku saling mengepal di kedua sisi, well… terlepas dari apa yang
akan mereka lakukan, aku tetap tidak rela. Aku tidak pernah bisa memahami
jalan pikiran bahwa aku mempercayai dan mempertanyakan hal biasa apa yang
biasa perempuan lakukan di luaran sana? Bajingan. Meski aku bisa percaya
bahwa Hyejin memiliki pergaulan yang baik, tetap saja. Eunsoku terlalu istimewa
jika untuk dipertontonkan banyak khalayak, meski tidak begitu pengertiannya.
Aku tak bisa menahan diri dan sesekali melirik ponsel dan jarum jam
secara bergantian. Waktu kali ini kelihatannya lebih lama berlalu daripada yang
lain. Apa itu karena aku memang bosan, atau karena aku sedang menunggu
kepulangan Eunso? Sepanjang ketersendirianku, aku benar-benar tidak bisa
fokus. Untuk yang satu ini, aku juga tidak bisa santai. Sekali lagi aku mengintip
dan menyesalinya, aku benar-benar gila. Aku pernah mengalami ini, tapi tidak
sampai separah dan seberantakan sekarang.

135
Aku benar-benar tidak punya pilihan lain selain merasainya dengan
kekhawatiran yang berlebih. Aku tak mempercayai aliran emosi yang bergetar
dalam diriku hanya karena Eunso pergi untuk waktu yang hanya berkisar selama
beberapa jam saja. Tapi ini adalah pilihanku dan aku tidak menyesal. Aku telah
membiarkan Eunso mempengaruhiku seperti ini. Menyedihkan, lebih dari
menyedihkan bahwa ini tidak sehat. Berulang kali aku berusaha keras agar tidak
mempedulikan bagaimana keadaannya sekarang, tapi itu selalu saja gagal.
Detik itu juga telepon berbunyi, melengking dan menuntut.
Kusambar ponsel saat tengah berdering, lalu membalikkan badan
sehingga menghadap dinding. Well… gemuruh jantungku menguat saat
mengetahui siapa gerangan id dalam layar ponselku. “Halo?”
“Oppa…” kata Eunso.
Suara paraunya yang tak asing mengirimkan gelombang kesedihan ke
hatiku. Ribuan perasaan kalut berputar di kepalaku, saling membelit—untukku
maknai satu persatu. Aku berusaha berpikir logis dengan tidak banyak menerka
tentang bagaimana ini bisa terjadi.
“Ada apa saya—maksudku Eunso. Kau baik-baik saja?”
“I—ya. Eonni memintaku untuk menghubungi oppa”
“Apa?” jawabku cepat.
“Adakah sesuatu yang oppa inginkan?”
Jika aku boleh menjawab jujur sekarang. Pertanyaanmu itu banyak bisa
kau jawab sendiri. Kau adalah satu-satunya yang kuinginkan di dunia ini Eunso,
sama sekali tidak ada yang lain. Itu jelas jawaban yang tidak bisa kuungkapkan
sesuai porsi kondisinya. Lama aku menyadari, Eunso masih merasa takut jika
harus berinteraksi denganku. Nada kesedihan yang ia suarkan nyatanya bukan
landasan gadis itu dalam keadaan darurat, tapi lebih kepada kedaruratan yang ia
pilih adalah dengan berbicara denganku.

136
“Kapan kau kembali?” aku memilih untuk memberinya pertanyaan
ketimbang menjawab tanya yang ia ajukan. Kata kau kupilih bukan karena aku
sedang menjawab terima ponselnya, tapi lebih kepada memang Eunso sebenar-
benar yang kutunggu.
“Sebentar la—”
“Kyuhyun, jangan karena Eunso adalah gadis lugu kau bisa
mempermainkannya begitu saja. Cepat katakan apa yang kau inginkan? Aku tidak
ada waktu hanya untuk meladeni pembicaraanmu”
“Hyejin?” pekikku.
Aku menarik ponsel, melihatnya mencoba memastikan benar-benar
bahwa itu adalah Eunso atau halusinansiku semata bahwa yang sedari tadi
kuajak bicara adalah Hyejin.
“Ya. Kenapa? Adakah yang kau inginkan? Selagi aku masih disini, kopi,
teh, bir—”
“Ti—dak. Aku tidak menginginkan apapun”
“Oke. Aku tutu—”
“Cepatlah pulang”
“Wae? Merindukanku?”
Aku diam sesaat, ragu tapi keberanian memenuhi tekadku kuat.
“Ya”
Aku mungkin bakal menerima beberapa konsekuensi atas jawaban
menyetujui yang kuungkapkan. Tapi… kupikir itu adalah cara paling ampuh dan
paling tolol untukku perbuat hanya untuk mempercepat kepulangan Eunso.
Hanya untuk mempercepat titik temuku dengan gadis itu. Well… ini mungkin
akan memperparah tigkat kembang harapan Hyejin padaku, but… selagi itu bisa
mempertemukanku dengan Eunso, aku siap menerima akibatnya lagi. Selama ini

137
aku juga sudah sering menyakiti Hyejin, rasanya tidak salah apabila
menambahnya sedikit lagi.
®®®

138

Anda mungkin juga menyukai