Anda di halaman 1dari 4

Cerpen : Pergi tanpa Alasan

Suatu hari kutemukan diari yang berkisah


kebodohanku karena seorang pria. Aku tersenyum
kecut saat membacanya kembali. Bodoh. Hanya itu
kalimat yang pantas untukku saat itu.

Sejujurnya air mataku begitu mahal hanya demi


lelaki yang seperti itu. Tak ada yang perlu
diperjuangkan demi seseorang yang hanya manis di
awal saja. Layaknya pepatah, habis manis sepah
dibuang. Aku telah termakan kalimat dan perlakuan
manisnya hingga aku lupa bahwa Allah Maha
Membolak-balikkan hati.
________
Aku masih terdiam membisu disudut kamar ini.
Hanya cahaya bulan yang mencoba untuk merasuki
ruangan ini. Sangat tipis tapi cukup untuk sekedar
memperlihatkan wajah kesedihan yang kualami.

Kejadia siang tadi masih begitu berbekas dihatiku.


Semua kulakukan berawal dari keisengan semata.
Nyatanya malah dianggap serius. Kalimat yang
kulontarkan sama sekali tak mampu kutarik kembali.
Semua susah berlalu. Tapi tidak dengan hatiku.

"Kenapa? Kau begitu gampang melepaskan


semuanya?"
Sekarang aku begitu takut untuk memulai semuanya.
Entahlah. Semua berkecamuk begitu saja. Tak habis
pikir dia begitu cepat berubah. Tanpa alasan dia
berlalu begitu saja. Kebingungan menerpaku.
______

"Dari universitas mana?"

Pertanyaan tersebut membuyarkan lamunanku.

"Dari universitas A. Kamu?"

"Wah beda. Aku dari universitas B. Kok main


kesini?"

"Aku ngikut teman. Kebetulan lagi senggang."

Itulah awal mula perkenalan kami. Dia yang


merupakan anggota komunitas yang sama dengan
sahabatku, malah menjadi lebih akrab saat
bersamaku. Jujur, tak ada dugaan apa-apa atas
sikapnya yang demikian.

Semanjak itu, pertemanan kami makin intens. Begitu


pula komunikasi yang terjalin. Tapi lagi-lagi aku
menepis pikiran bahwa dia ada maksud tertentu.
Pada dasarnya dia memang orang yang easy going,
frendly banget dan lucu. Makanya, aku mengira
bahwa dia memang seperti adanya.

Suatu hari, bertepatan dengan ulang tahunku, dia


menyatakan hal tak terduga. Hatiku begitu senang.
Deg-degan kurasakan saat pernyataan itu terucap.
Ekspresi wajahku tak bisa menutupi betapa aku
bahagia mendengarnya.

Berselang sebulan kemudian, ada yang berubah


denganya. Entahlah. Aku tak berpikiran aneh-aneh
pada saat itu. "Mungkin dia sibuk" adalah kalimat
yang sering kuucapkan agar hatiku kuat menerima
perlakuannya.

Hingga suatu hari, kesabaranku mencapai


puncaknya. Sungguh semua cara sudah kulakukan
untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Namun hanya jawaban "Tidak ada apa apa" yang
selalu kudengar. Padahal, kenyataannya tidak
untukku.

"Kenapa? Apa yang terjadi?"

"Tidak apa-apa"
"Bohong. Tidak mungkin tidak apa-apa jika kamu
malah mengabaikan, mengacuhkan, serta diam gak
jelas seperti ini."

Dia masih diam.

"Baiklah. Kita akhiri saja."

"Hoo baiklah."

Segampang itu dia mengiyakan. Hancur. Saat itu aku


hanya bisa menahan amarah dan kesedihanku. Aku
tak bisa menumpahkan betapa besar perasaanku
padanya. Padahal, aku berharap dia akan mencegah
itu terjadi. Aku berharap dia bertanya "kenapa harus
pisah?". Tapi semua hanya angan-angan belaka.

Anda mungkin juga menyukai