Anda di halaman 1dari 2

Tangisan Menjadi Obat bagi Kesedihan

"Menangislah seperlunya, secukupnya tak perlu larut dalam duka" Dewi Aryanti, hipwee.com

Pertemuan kedua kali di kotamu ternyata menjadi pertemuan yang terakhir kali bagi kita. Kita pernah
berandai-andai untuk bisa hidup bersama. Iya hanya engkau dan aku tanpa ada gangguan suasana hiruk-
pikuk keramaian kota. Tetapi hal itu ternyata hanya sebatas angan-angan yang tidak akan pernah terjadi
di dunia nyata.

Sebagai lelaki, akulah yang memulai terlebih dahulu. Sekilas ada rasa penyesalan untuk menjalani kisah
kita ini. Namun, apa daya semua ini sudah terjadi. Nasi sudah menjadi bubur. Ibarat sebuah gelas kaca
yang utuh kini pecah menjadi puing-puing pecahan kaca yang berceceran di lantai. Sehingga untuk
mengumpulkan dan menyatukanya lagi menjadi satu terasa mustahil terjadi. Itulah gambaran suasana
hatiku saat ini kepadamu.

Sebelum kejadian pada hari Minggu, ketika kamu berkata jujur tentang perasaanmu kepadaku. Tidak ada
yang aneh dengan komunikasi kita. Kita juga saling bertanya kabar, "kesibukannya apa?" lalu basa-basi
menanyakan, "sudah makan apa belum?" layaknya pemuda dan pemudi yang lagi dimabuk asmara.
Perhatianmu saat chatting pun tidak luntur sedikitpun kepadaku.

Namun aku mulai merasakan ada keganjilan pada minggu-minggu ini. Iya, ketika kamu berpamitan untuk
tidur terlebih dahulu yang tidak seperti biasanya. Chatting yang biasanya panjang kini mulai sedikit
hanya sepatah dua patah, atau tiga patah kata. Tetapi, aku tidak pernah berpikiran negatif kepadamu.

Saat kamu ingin mencurahkan semua isi hatimu. Aku juga tidak sanggup untuk menolaknya. Ya, hanya
meng-iya-kan apa yang ingin kamu sampaikan kepadaku. Lalu aku baca dengan seksama untuk bisa
memahami perasaanmu.

"Aku sudah mencoba Mas, mencoba untuk membuka hati, tetapi maaf aku nggak bisa berbohong terkait
rasa, aku sudah mencoba berfikir kembali beberapa kali tetapi tidak bisa. Akhir-akhir ini aku juga merasa
menjauh bukan karena apa tetapi karena lelah. Mungkin disitu juga salah satu jawaban dari
kegundahanku" tuturmu kepadaku.

"Maafkan aku ketika aku pernah berkata untuk menjalaninya bersama, maafkan aku ketika aku pernah
memberikan harapan kepadamu, maafkan aku ketika perhatianku selama ini menyakitkan, aku berkata
seperti ini agar tidak terlalu jauh lagi mas, cukup sampai disini perkataanku yang menyakitkan buat
kamu, cukup sampai disini semua ini, aku berdoa semoga kamu mendapatkan yang lebih baik dariku,
mohon maaf jika malam ini aku kembali merusak suasana hatimu" tutur katamu kepadaku.

Ya, ada sedikit perasaan kecewa keadamu. Kenapa baru sekarang kamu berkata jujur tentang
perasaanmu kepadaku. Saat aku mulai menyukaimu. Kenapa tidak dari dulu saat aku diawal-awal
pendekatan denganmu. Ya, hati ini tidak bisa dibohongi kalau aku masih belum bisa menerima apa yang
kamu utarakan tadi.
Namun, aku juga tidak sanggup untuk membuat orang lain bersedih diatas kebahagiaanku. Rasanya jika
sikapku seperti itu maka aku menjadi manusia yang egois yakni mementingkan diriku sendiri tanpa
memerhatikan perasaan orang lain.

"Iya dek tidak apa-apa, rasa tidak bisa di paksa. Karena pernikahan itu untuk selama-lamanya ya tidak
sehari atau dua hari" jawabku padamu.

Mulai hari ini aku mencoba untuk melupakanmu. Mengisi hari-hariku dengan berbagai kesibukan.
Meskipun ini sulit tetapi aku harus mencoba untuk membuka lembaran-lembaran kehidupan yang baru.

Mojokerto, 28-03-2019

Salam,

Eki Tirtana Zamzani

Anda mungkin juga menyukai