gelap,terasa benar di dalam hatinya betapa hidupnya amat kesepian. Namun, perasaan
nelangsa ini hanya sebentar saja menyentuh hatinya karena kesadaannya dan
kewaspadaannya tidak memperkenankan kesedihan datang menguasai hatinya. Lojin sudah
menggemblengnya lahir batin. “Hadapilah saat ini, sekarang ini, detik ini dan jangan
memikirkan masa lalu atau masa depan. Masa lalu hanyalah kenangan, sudah lewat, sudah
mati. Masa depan hanya mimpi, khayal. Sekarang inilah hidup, saat ini yang penting adan
untuk menghadapi saat demi saat membutuhkan kewaspadaan mendalam.” Demikian antara
lain ucapan Lojin yang masih menempel dalam ingatannya. Begitu kewaspadaannya dia
curahkan pada saat sekarang maka segala kenangan, segala harapan dan segala khayalan
lenyap. Tidak ada lagi penyebab timbulnya duka.
“Brukkkk!” Bambu itu dilemparkan ke bawah oleh Bu-tek Siauw-jin dan tentu saja tubuh Bun
Beng terbanting ke atas tanah, akan tetapi ternyata bantingan itu tidaklah keras benar dan
tubuh Bun Beng terjatuh miring sehingga hanya pundak dan pangkal pahanya saja yang
terbanting. Ia tetap miring dan dapat melihat kakek cebol itu berjalan meng-hampiri
Pendekar Super Sakti yang sama sekali tidak bergerak seolah-olah suara kedatangan kakek
itu tidak terdengar olehnya, atau kalau terdengar juga, tentu tidak dipedulikannya sama
sekali.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 615
Sebetulnya kakek cebol itu girang sekali berhasil mencari Pendekar Super Sakti yang amat
ia kagumi. Akan tetapi betapa kecewa hatinya ketika ia meng-hampiri pendekar kaki buntung
itu, ia melihat Suma Han sama sekali tidak peduli kepadanya dan pendekar itu ter-nyata
pendekar itu, menatap wajahnya dan melihat reaksi satu-satunya pendekar itu hanya
berulang kali meng-hela napas panjang, kembali ia mengge-leng-geleng kepala dan berjalan
hilir-mu-dik lagi.
Biarpun dirinya menderita nyeri dan belum mampu membebaskan diri, Bun Beng yang
rebah miring itu memandang dengan bengong. Kakek cebol itu agaknya benar-benar sinting!
Akan tetapi mengapa Pendekar Super Sakti diam saja? Apakah mereka telah saling
mengenal? Tadinya dia merasa tegang, tertarik sekali karena pasti akan ramai bukan main
kalau sam-pai kakek cebol yang ia tahu amat sakti itu bertanding ilmu melawan Pendekar
Siluman! Akan tetapi, sungguh sama se-kali tidak diduganya, kini kedua orang sakti itu
bersikap luar biasa sekali. Pen-dekar kaki buntung itu tetap berdiri te-gak sedangkan kakek
cebol itu berjalan hilir-mudik sambil menggeleng-geleng kepala. Hal ini berlangsung sampai
Akhirnya terdengar kakek cebol itu bersenandung, suaranya serak parau tidak enak
didengar, akan tetapi kata-katanya aneh dan jelas menyindir keadaan Suma Han.
“Sekali hidupsiapa minta?
Apapun yang terjadi tak mungkin dirobah tiada hubungan dengan suka duka mengapa
susah?
Yang senang memang bodoh tapi yang berduka lebih tolol lagi!”
Kini tubuh Suma Han bergerak. Ter-dengar dia menghela napas panjang lalu menurunkan
muka memandang kakek itu yang telah berdiri di depannya. “Hemm, Bu-tek Siauw-jin. Yang
menonton me-mang berbeda dengan yang merasakan! Memang amat mudah mencela,
semudah membalikkan telapak tangan, akan tetapi yang merasakannya sendiri barulah
Kakek itu tertawa. “Memang baru terasa ringan atau berat kalau dirasakan. Eh, Pendekar
Siluman, engkau kelihatan berduka sekali, lebih muram dan pucat daripada bulan itu. Tentu
engkau merasa betapa berat penanggungan derita hatimu setelah kaurasakan. Kalau begitu,
me-ngapa dirasakan?”
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 616
“Nah, kalau begitu engkau tentu tahu betapa bodohnya engkau. Kita mempu-nyai pikiran,
apakah tepat kalau pikiran itu kita pergunakan untuk memikirkan hal-hal yang menimbulkan
duka? Daripada pikiran dipergunakan secara keliru seper-ti itu, jauh lebih baik dipergunakan
untuk memikirkan mengapa kita sampai berdu-ka! Karena sesungguhnya, suka maupun
duka bukan datang dari luar melainkan dari pikiran kita sendiri itulah!”
“Bu-tek Siauw-jin, memang hidup ini isinya suka atau duka. Kita tidak dapat terlepas
daripada pengaruh Im dan Yang, dan kedua unsur inilah yang membentuk hidup, memberi
isi kepada hidup, tanpa mengenal duka, bagaimana kita dapat mengenal suka?” Suma Han
“Ha-ha-ha, Suma-taihiap, Pendekar Super Sakti yang namanya tersohor di seluruh dunia,
Pendekar Siluman Majikan Pulau Es yang membuat iblis sendiri menggigil ketakutan,
kiranya hanyalah seorang manusia lemah yang tunduk kepada pengaruh Im dan Yang.
Sungguh mengherankan sekali, engkau yang mem-buka hati dan pikiranku di dalam kamar
tahanan, engkau yang menyalakan api di dalam diriku, ternyata engkau sendiri ti-dak tahu
akan api itu dan masih tinggal terbuai di alam mimpi dalam tidur nye-nyak. Ternyata engkau
yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, hanyalah seorang yang hidupnya tidak bebas, yang
terikat oleh keadaan dari luar, yang ditentukan oleh segala filsafat, pelajaran, dan ke-nangan
Tentu saja Suma Han menjadi penasaran sekali. “Kau sombong, Bu-tek Siauw-jin!” dan
“Aku hanya bicara tentang kenyataan, dan pendapatmu bahwa aku sombong kembali
membuktikan kelemahanmu, eng-kau tidak mau membuka mata melihat keadaan diriku,
tidak mau mengerti melainkan menurutkan isi pikiran sendiri yang selalu menyesatkan.”
Kakek itupun menggerakkan tubuhnya dan “bruuk!” dia sudah duduk pula di atas sebongkah
Sejenak keduanya berpandangan. Cuaca mulai gelap dan Bun Beng masih rebah miring,
mendengarkan dengan penuh keheranan. Dia merasa tegang sekali dan juga ingin dia
menyaksikan, bah-kan mengharapkan terjadinya perang tan-ding di antara dua orang yang
memiliki kesaktian tinggi ini. Akan tetapi dia kece-wa! Ternyata kedua orang itu mulai
ber-tanding suara, berbantahan dan berdebatan tentang hidup. Namun, makin dide-ngar,
makin tertariklah hati Bun Beng karena yang dipercakapkan dua orang aneh itu adalah halhal
mengenai rahasia hidup dan makin didengar, makin terbu-kalah mata batin pemuda ini
sehingga dia merasa seolah-olah tubuhnya disiram air dingin yang membuatnya sadar.
“Bu-tek Siauw-jin, bicaramu makin memanaskan perut dan ngawur!” Suma Han menyerang
dengan suara mengejek. “Kau seolah-olah memandang rendah ke-pada pikiran yang
“Aku tidak mengatakan bahwa kita harus hidup tanpa pikiran. Akan tetapi engkau, juga aku
selama ini, kita manu-sia selalu diperbudak oleh pikiran, segala gerak hidup dikemudikan
oleh pikiran. Coba buka mata batinmu dan mari kita jenguk kita lihat keadaan kita ini,
keadaan pikiran kita. Memang hidup mem-butuhkan tenaga pikiran untuk mengingat-ingat
dan mengenal benda, untuk bekerja dan untuk menyelesaikan segala macam urusan
lahiriah. Pikiran perlu pula untuk mempelajari hal-hal mengenai keperluan hidup, namun
terbatas kepada urusan lahiriah. Sekali pikiran terjun ke dalam dan mengacau batin, hidup
menja-di rusak karena kita menjadi boneka-boneka hidup yang dikemudikan oleh pikiran!”
“Trakkk!” Ujung batu yang diduduki Suma Han cuwil oleh tangan Si Pendekar yang
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 617
bicara, jangan mencoba mengusik hatiku yang sedang tidak se-nang. Aku tidak ingin
kesalahan tangan membunuh seseorang yang telah bersikap baik kepada keponakanku!”
“Nah, itulah contohnya kalau orang selalu dipengaruhi oleh pikiran sendiri, Suma-taihiap.
Kalau sampai engkau turun tangan dan berhasil membunuhku, bukan-lah aku yang
mengusik hatimu, melainkan pikiranmu sendiri. Pikiran memang men-jadi biang keladi
segala peristiwa di dunia ini, pikiran amat licin dan cerdiknya menipu diri sendiri. Ha-ha-ha!”
“Hemmm, engkau bicara seperti orang gila, seperti teka-teki. Apa maksudmu?”
“Seperti kukatakan tadi, suka maupun duka bukan datang dari luar melainkan dari pikiran
kita sendiri, karena itu, se-bagai seorang yang bijaksana dan sakti sepertimu ini, mengapa
“Bu-tek Siauw-jin, ucapanmu aneh dan kacau-balau. Aku telah dikurniai pikiran, mengapa
“Ha-ha-ha, siapa yang mengurniaimu? Dan siapakah itu yang kausebut aku yang
mempunyai pikiran? Pendekar Super Sak-ti, dengarlah baik-baik segala yang hen-dak
dalam kamar tahanan. Dengarkanlah dengan hati kosong terbuka, tanpa penilaian, tanpa
kesimpulan, dengarkan saja baik-baik. Aku bukan bermaksud memberi pelajaran kepadamu,
bukan bermaksud menguliahi. Sama sekali tidak karena engkau jauh lebih pandai daripada
“Pikiran adalah penampungan masa lalu, gudang dari semua hal yang dialami seratus tahun
yang lalu atau kemarin. Pikiran adalah kenangan dari semua itu, mengenangkan hal yang
menyenangkan dan hal yang tidak menyenangkan. De-ngan sendirinya pikiran menciptakan
Si Aku yang tentu saja segera melakukan pemilihan, menghindarkan hal yang tidak
menyenangkan dan rindu akan hal yang menyenangkan. Kalau sudah begini, bagaimana
tidak akan timbul suka dan duka? Bagaimana tidak akan timbul iri, dendam, benci dan
sengsara?”
“Nanti dulu!” Suma Han berkata nya-ring dan untuk sejenak keduanya berdiam, menerima
ucapan tadi yang meresap di dalam diri mereka. “Coba jelaskan lagi, bagaimana pikiran
“Kita melihat setangkai kembang yang indah dan harum. Tidak akan terjadi aki-bat sesuatu
yang buruk dari kejadian ini. Akan tetapi pikiran masuk dan mengacaunya. Pikiran
membayangkan hal-hal yang menyenangkan dari masa lalu mengenai kembang itu, dan
karena pikir-an berputar dengan pusatnya Si Aku yang diciptakannya, maka timbullah nafsu
keinginan untuk memetik kembang itu, untuk menciumnya, dan untuk mengambilnya
sebagai miliknya pribadi! Nah, setelah demikian, mulailah kekacauan yang akan terus
berekor dan berakibat. Kembang dipetik secara kasar dan marahlah Si Pemilik kembang,
“Aku dapat mengikuti dan mengerti uraianmu itu, Bu-tek Siauw-jin, dan memang agaknya
tidak salah lagi bahwa nafsu keinginan timbul dari pikiran yang mengenangkan pengalaman
menimbulkan kesenangan melekat dan ingin didapatkan terus, sedangkan hal yang
sebaliknya ingin dihindarkan. Pendapat dibentuk dan ditentukan oleh pusat yaitu Si Aku,
se-hingga yang menyenangkan Si Aku selalu dikejar, yang menyusahkan Si Aku dijauhi. Ini
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 618
dengan iri?”
“Karena nafsu ingin memiliki yang menyenangkan sudah ditimbulkan pikiran, maka melihat
yang menyenangkan dimi-liki orang lain, timbullah kecewa dan iri hati. Yang menimbulkan iri
“Dendam menimbulkan benci dan keduanya ini memang serupa. Dendam kebencian inipun
ditimbulkan oleh pikiran yang mengenangkan masa lalu, menge-nangkan hal-hal tidak
menyenangkan yang dilakukan orang lain kepadanya. Kebenci-an kepada seseorang akan
melekat terus selama pikiran mengenangkan masa lalu yang tidak menyenangkan dirinya
itu. Si Aku diganggu, dirugikan, dibikin tidak senang, pikiran berupa ingatan atau kenangan
memperkuat ini dan menimbul-kan dendam kebencian. Semua ini tentu saja melahirkan
pertentangan, permusuhan dan kesengsaraan.”
Suma Han duduk bersila, diam tak bergerak seperti arca. Kata-kata yang keluar dari mulut
kakek itu seolah-olah terasa olehnya mengalir dingin ke dalam tubuhnya, menyentuh
kesadarannya, na-mun keadaan dirinya yang semenjak kecil sudah terisi oleh pengaruh Im
dan Yang itu, membuyarkan kembali kekuatan pemersatu yang timbul dari pengertian itu,
Kakek itu diam sejenak. Pengertian yang tiba-tiba memastikan dirinya, se-olah-olah ada
sesuatu yang membukanya semenjak dia bertemu dengan Pendekar Siluman di kamar
tahanan itu, belum menyerap benar di sanubarinya sehingga dia harus membuka mata batin
lebar-lebar dan menghilangkan segala pengha-lang yang menutupi dirinya sendiri sela-ma
ini. Maka pertanyaan itupun mem-buatnya ragu-ragu. Akan tetapi kemudian dia menjawab
lancar, “Sebelumnya maaf-kan kalau kata-kataku kau anggap tidak tepat. Akupun hanya
seorang pencari yang baru saja mulai, Pendekar Siluman. Marilah kita cari bersama
persoalan duka ini. Apakah sebenarnya duka di hati? Bagaimana timbulnya dan dari mana
timbulnya? Saya berduka misalnya. Tentu berduka tentang sesuatu yang telah lalu. Sebuah
pengalaman lalu yang amat tidak menyenangkan hati, berlawanan dengan keinginan hatiku
dan apa yang kuinginkan tidak tercapai. Dari semua inilah timbul-nya duka, bukan? Dan
bagaimana keduka-an timbul? Tentu saja kalau pikiran kita main-main lagi, mengenangkan
hal yang lalu itu. Jadi, sebetulnya duka itu tidak ada, sahabatku. Yang ada hanyalah
per-mainan pikiran yang menggali masa lalu, bayangan-bayangan masa lalu ini ditekantekankan
sendiri dalam perasaan, maka datanglah duka. Sebetulnya yang ada itu bukan,
karena yang ada itu diadakan oleh pikiran sendiri! Bukankah demikian, Suma-taihiap?”
Bun Beng mendengarkan dengan penuh perhatian. Hatinya tertarik sekali. Cuaca sudah
menjadi gelap dan dia tidak lagi dapat melihat wajah kedua orang itu. Akan tetapi telinganya
dapat menangkap semua percakapan. Kini kedua orang itu berhenti bicara, sampai lama
keadaan sunyi sekali. Kesunyian yang amat dalam, kesunyian yang amat suci dan bersih,
kesunyian yang mencakup segala apa di dunia ini. Bun Beng merasa seolah-olah dia hidup
di dunia yang baru. Sunyi melenggang kosong luas tak terukur, tak terjangkau oleh pikiran.
Suara daun ge-merisik ditiup angin, suara jengkerik dan belalang yang mulai berdendang
menyam-but malam, suara burung kemalaman yang terbang lewat mencicit bingung mencari
sarang mereka, semua suara itu bukanlah lawan kesunyian, bukan pula merusak kesunyian
melainkan menjadi bagian dari kesunyian itu sendiri. Dia rebah di atas tanah, dua orang sakti
yang tidak tampak lagi duduk di atas batu, bau tanah yang sedap, rasa pegal di kedua
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 619
lengannya dan kakinya yang terikat, rasa di kepalanya yang minta digaruk, semua ini
menjadi bagian dari kesunyian yang luas itu. Kesunyian suci, tidak tersentuh oleh waktu,
tidak ada kemarin dan esok, tidak ada bagaimana dan mengapa!
Dua orang sakti itu masih terus ber-debat atau bertukar pikiran mengenai hidup, dan tentu
saja dalam kesempatan ini, Suma Han membongkar semua penge-tahuan filsafat yang
dimilikinya, untuk melawan ucapan kaken yang selalu me-ngemukakan fakta apa adanya,
bukan sebagai pelajaran atau filsafat baru, melainkan sebagai hasil pandangan mata batin
yang terbuka lebar, tidak lagi di-gelapkan atau dibikin suram oleh segala pendapat dan
pelajaran hafalan yang te-lah lalu. Bun Beng hanya kadang-kadang saja mendengarkan
karena dia merasa betapa dada dan lehernya nyeri bukan main. Teringatlah dia bahwa dia
telah terkena pukulan beracun yang amat jahat dari Wan Keng In. Dia berusaha melepaskan
ikatan tangan kakinya. Kalau menggunakan sin-kang, tentu sekali reng-gut saja akan putus
ikatan kaki tangan-nya itu, akan tetapi bukan hanya ikatan itu yang akan putus, juga
nyawanya mungkin akan putus pula! Luka di dalam tubuhnya akibat pukulan beracun itu
tubuhnya mendekati sebuah batu karang, kemudian dia mulai meng-gosok-gosokkan tali
pengikat tangannya di belakang tubuh itu kepada pinggiran batu yang tajam. Karena tidak
mengandal-kan tenaga luar. Tekun sekali dia me-ngerjakan semua ini sehingga hanya kalau
dia berhenti mengaso saja dia da-pat mendengar percakapan dua orang itu sekarang.
Baginya, lebih penting melepas-kan ikatan kaki tangannya yang kalau dibiarkan dapat
membuat jalan darahnya terganggu sekali. Karena pekerjaan yang lambat dan makan waktu
ini, maka sete-lah malam terganti pagi, barulah dia berhasil melepaskan ikatan kaki dan
tangannya. Dia cepat duduk bersila dan mengatur pernapasan, memulihkan jalan darah
pada pergelangan kaki tangan yang terlalu lama terikat itu. Terdengar pula olehnya kedua
seperti yang kualami semua, Bu-tek Siauw-jin. Enak saja untuk bicara tentang hidup karena
memang agaknya hidupmu berjalan lancar tanpa gangguan! Akan tetapi, aku? Terhadap
orang seper-ti engkau tidak perlu aku menyembunyikannya lagi. Kaudengarlah dan coba
pertimbangkan, bagaimana aku tidak akan berduka selama hidupku?” Pendekar Super Sakti
yang sedang tenggelam dalam ke-dukaan hebat itu lalu membuka semua rahasia hatinya
kepada Bu-tek Siauw-jin. Tanpa disengaja, Bun Beng ikut pula mendengarkan, akan tetapi
sebagian dari rahasia itu memang sudah diketahui oleh pemuda ini. Akan tetapi, mendengar
penuturan semua itu, diapun terkejut, terheran dan merasa terharu sekali. Tidak
disangkanya bahwa pendekar besar yang dikaguminya, yang dijunjungnya tinggi itu adalah
“Tanpa kusadari aku saling mencinta dengan adik angkatku, dan karena aku buta, karena
aku hendak mengingkari perasaan sendiri, aku setengah memaksa-nya untuk menikah
dengan orang lain! Kemudian aku melibatkan diri dengan Puteri Nirahai yang mengorbankan
kedu-dukannya sebagai puteri kaisar dan pa-nglima besar untuk menjadi isteriku. Namun,
hanya sebulan kemudian dia telah meninggalkan aku karena kami tidak sepaham mengenai
jalan hidup selanjutnya. Kami berpisah dan aku hidup merana, hatiku terobek oleh dua
perasaan cinta kasih, terhadap adik angkatku dan ter-hadap isteriku. Aku berusaha
mengubur semua kedukaan di Pulau Es, menjadi Majikan Pulau Es. Namun, nasib masih
terus mempermainkan diriku, memaksaku berjumpa lagi dengan mereka berdua! Adik
angkatku yang telah berputera seorang itu ternyata telah meninggalkan suaminya yang
gugur dalam perang kare-na patah hati, dan ternyata adik angkat-ku itu pun menderita
karena cintanya kepadaku. Dan engkau tentu tahu siapa dia karena dia menjadi Ketua Pulau
Neraka. Adapun Puteri Nirahai, isteriku yang telah mempunyai seorang anak perempuan,
anak kami berdua, kini malah menjadi Ketua Thian-liong-pang! Coba pikir, menghadapi
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 620
Sejenak keadaan sunyi, yang terde-ngar hanya tarikan napas panjang dari kedua orang
sakti itu. Setelah agak lama, Bu-tek Siauw-jin berkata, perlahan “Wahh, aku sendiri
selamanya tidak bera-ni berurusan dengan wanita, Taihiap. Me-nurut dongeng, wanita
adalah satu-satu-nya mahluk yang dapat menguasai pria, satu-satunya mahluk yang paling
aneh dan sukar dimengerti. Katanya, hanya wanita yang sanggup menciptakan surga dunia
maupun neraka dunia bagi seorang pria, dan jatuh bangunnya seorang pria banyak
tergantung kepada kita sendiri, kepada pikiran kita, akan tetapi aku ngeri kalau
membayangkan betapa daya tarik seorang wanita, polah tingkahnya, wibawa dan
pengaruhnya, akan dapat menghancurkan dan menjatuhkan segala pertahanan hati seorang
pria. Sehingga kini seorang gagah perkasa seperti eng-kau pun roboh dan merana karena
wanita, apalagi kalau engkau dikeroyok oleh dua orang wanita seperti itu! Hukkh, ngeri aku
“Agaknya demikianlah.”