Anda di halaman 1dari 10

Menuruni puncak itu seorang diri dalam suasana yang sunyi dan cuaca yang mulai

gelap,terasa benar di dalam hatinya betapa hidupnya amat kesepian. Namun, perasaan
nelangsa ini hanya sebentar saja menyentuh hatinya karena kesadaannya dan
kewaspadaannya tidak memperkenankan kesedihan datang menguasai hatinya. Lojin sudah
menggemblengnya lahir batin. “Hadapilah saat ini, sekarang ini, detik ini dan jangan
memikirkan masa lalu atau masa depan. Masa lalu hanyalah kenangan, sudah lewat, sudah
mati. Masa depan hanya mimpi, khayal. Sekarang inilah hidup, saat ini yang penting adan
untuk menghadapi saat demi saat membutuhkan kewaspadaan mendalam.” Demikian antara
lain ucapan Lojin yang masih menempel dalam ingatannya. Begitu kewaspadaannya dia
curahkan pada saat sekarang maka segala kenangan, segala harapan dan segala khayalan
lenyap. Tidak ada lagi penyebab timbulnya duka.

Duka timbul dari ingatan. Kalau kita


mengenang masa lalu, mengingat hal-hal yang tidak menyenangkan, yang merugikan diri,
maka timbullah arasa sesal dan kecewa yang membawa kita ke dalam alam duka. Dan segala
peristiwa berakhir dengan duka. Tidak ada yang abadi di dunia ini. kita terombang-ambing
antara suka dan duka, di mana duka memegang peran lebih banyak ketimbang suka.
“Apa itu duka? Kalau kita tidak mementingkan suka, tidak akan tersinggung duka. Duka
hanyalah wajah lain dari suka, seperti uang bermuka dua, suka dan duka. Jangan biarkan diri
terseret oleh gelombang dwi-muka yang berupa susah senang, sedih gembira, suka duka,”
demikian antara lain Lojin memberi wejangan kepadanya.
Han Lin menegakkan duduknya. Untuk apa duka? Akan tetapi, bagaimana mungkin manusia
hidup tidak menikmati suka dan menderita duka? Justera itulah hidup. Merasakan suka dan
duka, itulah romantika kehidupan, bagaikan mendayung biduk kehidupan ini di tengah
samudera, diombang-ambingkan bagai suka duka. Itulah seninya hidup dan kita harus dapat
mengatasinya. Bukan tenggelam, baik tenggelam dalam suka maupun dalam duka. Duka atau
suka itu hanya perasaan, diguncangkan oleh pikiran, mengenal hal-hal yang mendatangkan
untung rugi. Biarlah perasaan dan pikiran mendapatkan permainan mereka, yang penting
tidak
tenggelam!
Pedang Awan Merah > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba 79
“Kalau engkau dapat menangis selagi bersuka, dan dapat tertawa selagi berduka, berarti
engkau sudah menemukan kunci kehidupanmu,” demikian antara lain Lo-jin berkata. Han
Lin sadar akan dirinya. Kenapa mendadak dia merasa nelangsa, merasa berduka? Karenadia
teringat akan hal-hal yang tidak menyenangkan! Kalau dia tidak teringat akan semua itu,
adakah duka? Ada pula serangan kesepian. Rasa kesepian ini menggigit, membuat orang
nelangsa pula. Kehidupan rasanya hanya pengulang-ulangan yang membosankan, karena
membuat diri seperti kehilangan sesuatu yang lebih dari pada semua pengulangan ini. Akan
tetapi apa? Diri ini rindu kepada sesuatu. Kesenangan? Akhirnya membosankan! Lalu apa?
Apa yang dirindukan diri? “Setiap orang akhirnya akan menyadari bahwa dirinya merindukan
sesuatu, sesuatu yang rahasia, dan sesuatu itu adalah sumbernya. Sesuatu itu adalah Sang
Maha Pencipta, yang menciptakan diri, yang menghidupkan yang mematikan yang mengatur
dan menentukan segalanya. Diri manusia bagaikan titik-titik air yang selalu rindu kepada
asalnya, kepada sumbernya, yaitu samudera,” demikian kata Lo-jin. “Ah, sudahlah,” cela Han
Lin kepada diri sendiri. Untuk apa mengenangkan semua itu. Yang lalu biarlah berlalu tanpa
kesan karena kesan masa lalu hanya mendatangkan kesedihan belaka. Yang penting sekarang
menghadapi kenyataan apa adanya.

“Brukkkk!” Bambu itu dilemparkan ke bawah oleh Bu-tek Siauw-jin dan tentu saja tubuh Bun

Beng terbanting ke atas tanah, akan tetapi ternyata bantingan itu tidaklah keras benar dan

tubuh Bun Beng terjatuh miring sehingga hanya pundak dan pangkal pahanya saja yang

terbanting. Ia tetap miring dan dapat melihat kakek cebol itu berjalan meng-hampiri

Pendekar Super Sakti yang sama sekali tidak bergerak seolah-olah suara kedatangan kakek

itu tidak terdengar olehnya, atau kalau terdengar juga, tentu tidak dipedulikannya sama

sekali.

Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 615

Sebetulnya kakek cebol itu girang sekali berhasil mencari Pendekar Super Sakti yang amat

ia kagumi. Akan tetapi betapa kecewa hatinya ketika ia meng-hampiri pendekar kaki buntung

itu, ia melihat Suma Han sama sekali tidak peduli kepadanya dan pendekar itu ter-nyata

sedang termenung memandang bulan dengan air muka penuh duka!

Bu-tek Siauw-jin menggeleng-geleng kepala, berjalan hilir-mudik di depan pendekar itu

sambil menaruh kedua ta-ngan di punggungnya. Kadang-kadang dia berhenti di depan

pendekar itu, menatap wajahnya dan melihat reaksi satu-satunya pendekar itu hanya

berulang kali meng-hela napas panjang, kembali ia mengge-leng-geleng kepala dan berjalan

hilir-mu-dik lagi.

Biarpun dirinya menderita nyeri dan belum mampu membebaskan diri, Bun Beng yang

rebah miring itu memandang dengan bengong. Kakek cebol itu agaknya benar-benar sinting!

Akan tetapi mengapa Pendekar Super Sakti diam saja? Apakah mereka telah saling

mengenal? Tadinya dia merasa tegang, tertarik sekali karena pasti akan ramai bukan main

kalau sam-pai kakek cebol yang ia tahu amat sakti itu bertanding ilmu melawan Pendekar

Siluman! Akan tetapi, sungguh sama se-kali tidak diduganya, kini kedua orang sakti itu

bersikap luar biasa sekali. Pen-dekar kaki buntung itu tetap berdiri te-gak sedangkan kakek

cebol itu berjalan hilir-mudik sambil menggeleng-geleng kepala. Hal ini berlangsung sampai

sejam lebih! Benar-benar sinting mereka itu!

Akhirnya terdengar kakek cebol itu bersenandung, suaranya serak parau tidak enak

didengar, akan tetapi kata-katanya aneh dan jelas menyindir keadaan Suma Han.
“Sekali hidupsiapa minta?

segala macam peristiwa menimbulkan suka duka salah siapa?

Apapun yang terjadi tak mungkin dirobah tiada hubungan dengan suka duka mengapa

susah?

Kakek bulan puntidak selalu sempurna mengapa kecewa?

Tuhan tidak mengharuskan setan tidak memaksa tawa atau tangis!

Yang senang memang bodoh tapi yang berduka lebih tolol lagi!”

Kini tubuh Suma Han bergerak. Ter-dengar dia menghela napas panjang lalu menurunkan

muka memandang kakek itu yang telah berdiri di depannya. “Hemm, Bu-tek Siauw-jin. Yang

menonton me-mang berbeda dengan yang merasakan! Memang amat mudah mencela,

semudah membalikkan telapak tangan, akan tetapi yang merasakannya sendiri barulah

dapat menilai akan ringan beratnya.”

Kakek itu tertawa. “Memang baru terasa ringan atau berat kalau dirasakan. Eh, Pendekar

Siluman, engkau kelihatan berduka sekali, lebih muram dan pucat daripada bulan itu. Tentu

engkau merasa betapa berat penanggungan derita hatimu setelah kaurasakan. Kalau begitu,

me-ngapa dirasakan?”

“Karena aku ada pikiran.”

“Siapa menyuruh engkau memikirkan sampai engkau menderita susah?”

“Tidak ada yang menyuruh.”

Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 616

“Nah, kalau begitu engkau tentu tahu betapa bodohnya engkau. Kita mempu-nyai pikiran,

apakah tepat kalau pikiran itu kita pergunakan untuk memikirkan hal-hal yang menimbulkan

duka? Daripada pikiran dipergunakan secara keliru seper-ti itu, jauh lebih baik dipergunakan

untuk memikirkan mengapa kita sampai berdu-ka! Karena sesungguhnya, suka maupun

duka bukan datang dari luar melainkan dari pikiran kita sendiri itulah!”

“Bu-tek Siauw-jin, memang hidup ini isinya suka atau duka. Kita tidak dapat terlepas

daripada pengaruh Im dan Yang, dan kedua unsur inilah yang membentuk hidup, memberi

isi kepada hidup, tanpa mengenal duka, bagaimana kita dapat mengenal suka?” Suma Han

menjawab setelah menghela napas panjang.

“Ha-ha-ha, Suma-taihiap, Pendekar Super Sakti yang namanya tersohor di seluruh dunia,

Pendekar Siluman Majikan Pulau Es yang membuat iblis sendiri menggigil ketakutan,
kiranya hanyalah seorang manusia lemah yang tunduk kepada pengaruh Im dan Yang.

Sungguh mengherankan sekali, engkau yang mem-buka hati dan pikiranku di dalam kamar

tahanan, engkau yang menyalakan api di dalam diriku, ternyata engkau sendiri ti-dak tahu

akan api itu dan masih tinggal terbuai di alam mimpi dalam tidur nye-nyak. Ternyata engkau

yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, hanyalah seorang yang hidupnya tidak bebas, yang

terikat oleh keadaan dari luar, yang ditentukan oleh segala filsafat, pelajaran, dan ke-nangan

masa lampau. Sungguh kasihan!”

Tentu saja Suma Han menjadi penasaran sekali. “Kau sombong, Bu-tek Siauw-jin!” dan

pendekar ini menjatuhkan tu-buhnya duduk bersils di atas sebuah batu.

“Aku hanya bicara tentang kenyataan, dan pendapatmu bahwa aku sombong kembali

membuktikan kelemahanmu, eng-kau tidak mau membuka mata melihat keadaan diriku,

tidak mau mengerti melainkan menurutkan isi pikiran sendiri yang selalu menyesatkan.”

Kakek itupun menggerakkan tubuhnya dan “bruuk!” dia sudah duduk pula di atas sebongkah

batu besar tak jauh di depan Suma Han.

Sejenak keduanya berpandangan. Cuaca mulai gelap dan Bun Beng masih rebah miring,

mendengarkan dengan penuh keheranan. Dia merasa tegang sekali dan juga ingin dia

menyaksikan, bah-kan mengharapkan terjadinya perang tan-ding di antara dua orang yang

memiliki kesaktian tinggi ini. Akan tetapi dia kece-wa! Ternyata kedua orang itu mulai

ber-tanding suara, berbantahan dan berdebatan tentang hidup. Namun, makin dide-ngar,

makin tertariklah hati Bun Beng karena yang dipercakapkan dua orang aneh itu adalah halhal

mengenai rahasia hidup dan makin didengar, makin terbu-kalah mata batin pemuda ini

sehingga dia merasa seolah-olah tubuhnya disiram air dingin yang membuatnya sadar.

“Bu-tek Siauw-jin, bicaramu makin memanaskan perut dan ngawur!” Suma Han menyerang

dengan suara mengejek. “Kau seolah-olah memandang rendah ke-pada pikiran yang

kaukatakan selalu menyesatkan. Tanpa pikiran bagaimanakah manusia dapat hidup?”

“Aku tidak mengatakan bahwa kita harus hidup tanpa pikiran. Akan tetapi engkau, juga aku

selama ini, kita manu-sia selalu diperbudak oleh pikiran, segala gerak hidup dikemudikan

oleh pikiran. Coba buka mata batinmu dan mari kita jenguk kita lihat keadaan kita ini,

keadaan pikiran kita. Memang hidup mem-butuhkan tenaga pikiran untuk mengingat-ingat

dan mengenal benda, untuk bekerja dan untuk menyelesaikan segala macam urusan

lahiriah. Pikiran perlu pula untuk mempelajari hal-hal mengenai keperluan hidup, namun
terbatas kepada urusan lahiriah. Sekali pikiran terjun ke dalam dan mengacau batin, hidup

menja-di rusak karena kita menjadi boneka-boneka hidup yang dikemudikan oleh pikiran!”

“Trakkk!” Ujung batu yang diduduki Suma Han cuwil oleh tangan Si Pendekar yang

mencengkeramnya. “Siauw-jin, siapa sudi bicara main-main denganmu? Hati-hatilah engkau

Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 617

bicara, jangan mencoba mengusik hatiku yang sedang tidak se-nang. Aku tidak ingin

kesalahan tangan membunuh seseorang yang telah bersikap baik kepada keponakanku!”

“Nah, itulah contohnya kalau orang selalu dipengaruhi oleh pikiran sendiri, Suma-taihiap.

Kalau sampai engkau turun tangan dan berhasil membunuhku, bukan-lah aku yang

mengusik hatimu, melainkan pikiranmu sendiri. Pikiran memang men-jadi biang keladi

segala peristiwa di dunia ini, pikiran amat licin dan cerdiknya menipu diri sendiri. Ha-ha-ha!”

“Hemmm, engkau bicara seperti orang gila, seperti teka-teki. Apa maksudmu?”

“Seperti kukatakan tadi, suka maupun duka bukan datang dari luar melainkan dari pikiran

kita sendiri, karena itu, se-bagai seorang yang bijaksana dan sakti sepertimu ini, mengapa

mau saja diper-budak oleh pikiran?”

“Bu-tek Siauw-jin, ucapanmu aneh dan kacau-balau. Aku telah dikurniai pikiran, mengapa

tidak akan kupergunakan?”

“Ha-ha-ha, siapa yang mengurniaimu? Dan siapakah itu yang kausebut aku yang

mempunyai pikiran? Pendekar Super Sak-ti, dengarlah baik-baik segala yang hen-dak

kukemukakan, karena semua kesadar-an ini kudapat setelah mendengar petun-jukmu di

dalam kamar tahanan. Dengarkanlah dengan hati kosong terbuka, tanpa penilaian, tanpa

kesimpulan, dengarkan saja baik-baik. Aku bukan bermaksud memberi pelajaran kepadamu,

bukan bermaksud menguliahi. Sama sekali tidak karena engkau jauh lebih pandai daripada

aku. Maukah engkau mendengarkan?”

“Bicaralah, kakek aneh.”

“Pikiran adalah penampungan masa lalu, gudang dari semua hal yang dialami seratus tahun

yang lalu atau kemarin. Pikiran adalah kenangan dari semua itu, mengenangkan hal yang

menyenangkan dan hal yang tidak menyenangkan. De-ngan sendirinya pikiran menciptakan

Si Aku yang tentu saja segera melakukan pemilihan, menghindarkan hal yang tidak

menyenangkan dan rindu akan hal yang menyenangkan. Kalau sudah begini, bagaimana

tidak akan timbul suka dan duka? Bagaimana tidak akan timbul iri, dendam, benci dan
sengsara?”

“Nanti dulu!” Suma Han berkata nya-ring dan untuk sejenak keduanya berdiam, menerima

ucapan tadi yang meresap di dalam diri mereka. “Coba jelaskan lagi, bagaimana pikiran

mula-mula mengemudi-kan dan menguasai kita.”

“Kita melihat setangkai kembang yang indah dan harum. Tidak akan terjadi aki-bat sesuatu

yang buruk dari kejadian ini. Akan tetapi pikiran masuk dan mengacaunya. Pikiran

membayangkan hal-hal yang menyenangkan dari masa lalu mengenai kembang itu, dan

karena pikir-an berputar dengan pusatnya Si Aku yang diciptakannya, maka timbullah nafsu

keinginan untuk memetik kembang itu, untuk menciumnya, dan untuk mengambilnya

sebagai miliknya pribadi! Nah, setelah demikian, mulailah kekacauan yang akan terus

berekor dan berakibat. Kembang dipetik secara kasar dan marahlah Si Pemilik kembang,

disusul percekcokan dan lain-lain.”

“Aku dapat mengikuti dan mengerti uraianmu itu, Bu-tek Siauw-jin, dan memang agaknya

tidak salah lagi bahwa nafsu keinginan timbul dari pikiran yang mengenangkan pengalaman

masa lalu yang memisah-misahkan kesenangan dan penderitaan. Hal-hal yang

menimbulkan kesenangan melekat dan ingin didapatkan terus, sedangkan hal yang

sebaliknya ingin dihindarkan. Pendapat dibentuk dan ditentukan oleh pusat yaitu Si Aku,

se-hingga yang menyenangkan Si Aku selalu dikejar, yang menyusahkan Si Aku dijauhi. Ini

Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 618

menimbulkan pertentangan-pertentang-an. Benar sekali! Akan tetapi, apa hu-bungannya

dengan iri?”

“Karena nafsu ingin memiliki yang menyenangkan sudah ditimbulkan pikiran, maka melihat

yang menyenangkan dimi-liki orang lain, timbullah kecewa dan iri hati. Yang menimbulkan iri

tentulah hanya yang menyenangkan saja.”

“Bagaimana dengan dendam dan ben-ci?”

“Dendam menimbulkan benci dan keduanya ini memang serupa. Dendam kebencian inipun

ditimbulkan oleh pikiran yang mengenangkan masa lalu, menge-nangkan hal-hal tidak

menyenangkan yang dilakukan orang lain kepadanya. Kebenci-an kepada seseorang akan

melekat terus selama pikiran mengenangkan masa lalu yang tidak menyenangkan dirinya

itu. Si Aku diganggu, dirugikan, dibikin tidak senang, pikiran berupa ingatan atau kenangan

memperkuat ini dan menimbul-kan dendam kebencian. Semua ini tentu saja melahirkan
pertentangan, permusuhan dan kesengsaraan.”

Suma Han duduk bersila, diam tak bergerak seperti arca. Kata-kata yang keluar dari mulut

kakek itu seolah-olah terasa olehnya mengalir dingin ke dalam tubuhnya, menyentuh

kesadarannya, na-mun keadaan dirinya yang semenjak kecil sudah terisi oleh pengaruh Im

dan Yang itu, membuyarkan kembali kekuatan pemersatu yang timbul dari pengertian itu,

dan tubuhnya bergoyang-goyang kembali.

“Apa hubungannya semua itu dengan kedukaanku, Bu-tek Siauw-jin?”

“Kedukaan? Hemmmm.... kedukaan-mu?”

Kakek itu diam sejenak. Pengertian yang tiba-tiba memastikan dirinya, se-olah-olah ada

sesuatu yang membukanya semenjak dia bertemu dengan Pendekar Siluman di kamar

tahanan itu, belum menyerap benar di sanubarinya sehingga dia harus membuka mata batin

lebar-lebar dan menghilangkan segala pengha-lang yang menutupi dirinya sendiri sela-ma

ini. Maka pertanyaan itupun mem-buatnya ragu-ragu. Akan tetapi kemudian dia menjawab

lancar, “Sebelumnya maaf-kan kalau kata-kataku kau anggap tidak tepat. Akupun hanya

seorang pencari yang baru saja mulai, Pendekar Siluman. Marilah kita cari bersama

persoalan duka ini. Apakah sebenarnya duka di hati? Bagaimana timbulnya dan dari mana

timbulnya? Saya berduka misalnya. Tentu berduka tentang sesuatu yang telah lalu. Sebuah

pengalaman lalu yang amat tidak menyenangkan hati, berlawanan dengan keinginan hatiku

dan apa yang kuinginkan tidak tercapai. Dari semua inilah timbul-nya duka, bukan? Dan

bagaimana keduka-an timbul? Tentu saja kalau pikiran kita main-main lagi, mengenangkan

hal yang lalu itu. Jadi, sebetulnya duka itu tidak ada, sahabatku. Yang ada hanyalah

per-mainan pikiran yang menggali masa lalu, bayangan-bayangan masa lalu ini ditekantekankan

sendiri dalam perasaan, maka datanglah duka. Sebetulnya yang ada itu bukan,

karena yang ada itu diadakan oleh pikiran sendiri! Bukankah demikian, Suma-taihiap?”

Bun Beng mendengarkan dengan penuh perhatian. Hatinya tertarik sekali. Cuaca sudah

menjadi gelap dan dia tidak lagi dapat melihat wajah kedua orang itu. Akan tetapi telinganya

dapat menangkap semua percakapan. Kini kedua orang itu berhenti bicara, sampai lama

keadaan sunyi sekali. Kesunyian yang amat dalam, kesunyian yang amat suci dan bersih,

kesunyian yang mencakup segala apa di dunia ini. Bun Beng merasa seolah-olah dia hidup

di dunia yang baru. Sunyi melenggang kosong luas tak terukur, tak terjangkau oleh pikiran.

Suara daun ge-merisik ditiup angin, suara jengkerik dan belalang yang mulai berdendang
menyam-but malam, suara burung kemalaman yang terbang lewat mencicit bingung mencari

sarang mereka, semua suara itu bukanlah lawan kesunyian, bukan pula merusak kesunyian

melainkan menjadi bagian dari kesunyian itu sendiri. Dia rebah di atas tanah, dua orang sakti

yang tidak tampak lagi duduk di atas batu, bau tanah yang sedap, rasa pegal di kedua

Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 619

lengannya dan kakinya yang terikat, rasa di kepalanya yang minta digaruk, semua ini

menjadi bagian dari kesunyian yang luas itu. Kesunyian suci, tidak tersentuh oleh waktu,

tidak ada kemarin dan esok, tidak ada bagaimana dan mengapa!

Dua orang sakti itu masih terus ber-debat atau bertukar pikiran mengenai hidup, dan tentu

saja dalam kesempatan ini, Suma Han membongkar semua penge-tahuan filsafat yang

dimilikinya, untuk melawan ucapan kaken yang selalu me-ngemukakan fakta apa adanya,

bukan sebagai pelajaran atau filsafat baru, melainkan sebagai hasil pandangan mata batin

yang terbuka lebar, tidak lagi di-gelapkan atau dibikin suram oleh segala pendapat dan

pelajaran hafalan yang te-lah lalu. Bun Beng hanya kadang-kadang saja mendengarkan

karena dia merasa betapa dada dan lehernya nyeri bukan main. Teringatlah dia bahwa dia

telah terkena pukulan beracun yang amat jahat dari Wan Keng In. Dia berusaha melepaskan

ikatan tangan kakinya. Kalau menggunakan sin-kang, tentu sekali reng-gut saja akan putus

ikatan kaki tangan-nya itu, akan tetapi bukan hanya ikatan itu yang akan putus, juga

nyawanya mungkin akan putus pula! Luka di dalam tubuhnya akibat pukulan beracun itu

tidak memungkinkan dia mengerahkan sin-kang. Bun Beng perlahan-lahan meng-gulingkan

tubuhnya mendekati sebuah batu karang, kemudian dia mulai meng-gosok-gosokkan tali

pengikat tangannya di belakang tubuh itu kepada pinggiran batu yang tajam. Karena tidak

berani mengerahkan tenaga dalam, Bun Beng bekerja perlahan-lahan, hanya

mengandal-kan tenaga luar. Tekun sekali dia me-ngerjakan semua ini sehingga hanya kalau

dia berhenti mengaso saja dia da-pat mendengar percakapan dua orang itu sekarang.

Baginya, lebih penting melepas-kan ikatan kaki tangannya yang kalau dibiarkan dapat

membuat jalan darahnya terganggu sekali. Karena pekerjaan yang lambat dan makan waktu

ini, maka sete-lah malam terganti pagi, barulah dia berhasil melepaskan ikatan kaki dan

tangannya. Dia cepat duduk bersila dan mengatur pernapasan, memulihkan jalan darah

pada pergelangan kaki tangan yang terlalu lama terikat itu. Terdengar pula olehnya kedua

orang sakti itu masih berdebat!


“Memang enak saja menjadi orang seperti engkau yang tidak dilanda pende-titaan batin

seperti yang kualami semua, Bu-tek Siauw-jin. Enak saja untuk bicara tentang hidup karena

memang agaknya hidupmu berjalan lancar tanpa gangguan! Akan tetapi, aku? Terhadap

orang seper-ti engkau tidak perlu aku menyembunyikannya lagi. Kaudengarlah dan coba

pertimbangkan, bagaimana aku tidak akan berduka selama hidupku?” Pendekar Super Sakti

yang sedang tenggelam dalam ke-dukaan hebat itu lalu membuka semua rahasia hatinya

kepada Bu-tek Siauw-jin. Tanpa disengaja, Bun Beng ikut pula mendengarkan, akan tetapi

sebagian dari rahasia itu memang sudah diketahui oleh pemuda ini. Akan tetapi, mendengar

penuturan semua itu, diapun terkejut, terheran dan merasa terharu sekali. Tidak

disangkanya bahwa pendekar besar yang dikaguminya, yang dijunjungnya tinggi itu adalah

seorang yang telah di-landa kepahitan hidup yang demikian hebatnya!

“Tanpa kusadari aku saling mencinta dengan adik angkatku, dan karena aku buta, karena

aku hendak mengingkari perasaan sendiri, aku setengah memaksa-nya untuk menikah

dengan orang lain! Kemudian aku melibatkan diri dengan Puteri Nirahai yang mengorbankan

kedu-dukannya sebagai puteri kaisar dan pa-nglima besar untuk menjadi isteriku. Namun,

hanya sebulan kemudian dia telah meninggalkan aku karena kami tidak sepaham mengenai

jalan hidup selanjutnya. Kami berpisah dan aku hidup merana, hatiku terobek oleh dua

perasaan cinta kasih, terhadap adik angkatku dan ter-hadap isteriku. Aku berusaha

mengubur semua kedukaan di Pulau Es, menjadi Majikan Pulau Es. Namun, nasib masih

terus mempermainkan diriku, memaksaku berjumpa lagi dengan mereka berdua! Adik

angkatku yang telah berputera seorang itu ternyata telah meninggalkan suaminya yang

gugur dalam perang kare-na patah hati, dan ternyata adik angkat-ku itu pun menderita

karena cintanya kepadaku. Dan engkau tentu tahu siapa dia karena dia menjadi Ketua Pulau

Neraka. Adapun Puteri Nirahai, isteriku yang telah mempunyai seorang anak perempuan,

anak kami berdua, kini malah menjadi Ketua Thian-liong-pang! Coba pikir, menghadapi

semua ini, bagaimana aku dapat bertahan untuk tidak berduka?”

Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 620

Sejenak keadaan sunyi, yang terde-ngar hanya tarikan napas panjang dari kedua orang

sakti itu. Setelah agak lama, Bu-tek Siauw-jin berkata, perlahan “Wahh, aku sendiri

selamanya tidak bera-ni berurusan dengan wanita, Taihiap. Me-nurut dongeng, wanita

adalah satu-satu-nya mahluk yang dapat menguasai pria, satu-satunya mahluk yang paling
aneh dan sukar dimengerti. Katanya, hanya wanita yang sanggup menciptakan surga dunia

maupun neraka dunia bagi seorang pria, dan jatuh bangunnya seorang pria banyak

tergantung kepada seorang wanita. Memang sekarang kusadari bahwa segalanya

tergantung kepada kita sendiri, kepada pikiran kita, akan tetapi aku ngeri kalau

membayangkan betapa daya tarik seorang wanita, polah tingkahnya, wibawa dan

pengaruhnya, akan dapat menghancurkan dan menjatuhkan segala pertahanan hati seorang

pria. Sehingga kini seorang gagah perkasa seperti eng-kau pun roboh dan merana karena

wanita, apalagi kalau engkau dikeroyok oleh dua orang wanita seperti itu! Hukkh, ngeri aku

memikirkannya! Apakah.... apakah mereka itu masih mencintamu, Taihiap?”

“Agaknya demikianlah.”

Anda mungkin juga menyukai