Anda di halaman 1dari 5

KISAH AMR BIN ASH DAN SEPOTONG TULANG ONTA

Para ahli sejarah biasa menggelari Amr bin Ash sebagai “Penakluk Mesir”. Namun gelar
ini tidaklah tepat, yang paling tepat untuk Amr adalah “Pembebas Mesir”. Islam
membuka negeri itu bukanlah menurut pengertian yang lazim digunakan di masa
modern ini, tetapi maksudnya ialah membebaskannya dari cengkraman dua kerajaan
besar yang menjajah negeri ini serta rakyatnya dari perbudakan dan penindasan yang
dahsyat, yaitu imperium Persi dan Romawi.

Mesir sendiri, ketika pasukan perintis tentara Islam memasuki wilayahnya, merupakan
jajahan dari Romawi, sementara perjuangan penduduk untuk menentangnya tidak
membuahkan hasil apa-apa. Maka tatkala dari tapal batas kerajaan-kerajaan itu
bergema suara takbir dari pasukan-pasukan yang beriman: “Allahu Akbar, Allahu
Akbar“, mereka pun dengan berduyun-duyun segera menuju fajar yang baru terbit itu
lalu memeluk Agama Islam yang dengannya mereka menemukan kebebasan mereka
dari kekuasaan kisra maupun kaisar.

Ketegasan Khalifah Umar kepada Amr bin Ash bukan kali itu saja. Amr bin Ash berencana akan
membangun sebuah masjid besar di tempat gubuk tersebut dan otomatis harus menggusur gubuk reot
Yahudi itu. Lalu dipanggil lah si Yahudi itu untuk diajak diskusi agar gubuk tersebut dibeli dan dibayar
dua kali lipat. Akan tetapi si Yahudi tersebut bersikeras tidak mau pindah karena dia tidak punya tempat
lain selain di situ. Karena sama-sama bersikeras, akhirnya turun perintah dari Gubernur Amr bin Ash
untuk tetap menggusur gubuk tersebut. KH Abdurrahman Arroisi dalam salah satu jilid bukunya 30 Kisah
Teladan (1989) menjelaskan, si Yahudi merasa dilakukan tidak adil, menangis berurai air mata, kemudian
dia melapor kepada khalifah, karena di atas gubernur masih ada yang lebih tinggi. Dia berangkat dari
Mesir ke Madinah untuk bertemu dengan Khalifah Sayyidina Umar bin Khattab. Sepanjang jalan si
Yahudi ini berharap-harap cemas dengan membanding bandingkan kalau gubernurnya saja istananya
begitu mewah, bagaimana lagi istananya khalifahnya? Kalau gubernrunya saja galak main gusur apalagi
khalifahnya dan saya bukan orang Islam apa ditanggapi jika mengadu?” Sesampai di Madinah dia
bertemu dengan seorang yang sedang tidur-tiduran di bawah pohon Kurma, dia hampiri dan bertanya,
bapak tau dimana khalifah Umar bin Khattab? Dijawab orang tersebut, ya saya tau, Di mana Istananya?
Istananya di atas lumpur, pengawalnya yatim piatu, janda-janda tua, orang miskin dan orang tidak
mampu.  Pakaian kebesarannya malu dan taqwa. Si Yahudi tadi malah bingung dan lalu bertanya
sekarang orangnya di mana pak? Ya di hadapan tuan sekarang. Gemetar Yahudi ini keringat bercucuran,
dia tidak menyangka bahwa di depannya adalah seorang khalifah yang sangat jauh berbeda dengan
gubernurnya di Mesir.   Baca juga: Umar bin Khattab RA dan Keadilan bagi Nonmuslim Sayiddina Umar
bertanya, kamu dari mana dan apa keperluanmu? Yahudi itu cerita panjang lebar tentang kelakuan
Gubernur Amr bin Ash yang akan menggusur gubuk reotnya di Mesir sana. Setelah mendengar ceritanya
panjang lebar, Sayyidina Umar menyuruh Yahudi tersebut mengambil sepotong tulang unta dari tempat
sampah di dekat situ. Lalu diambil pedangnya kemudian digariskan tulang tersebut lurus dengan ujung
pedangnya, dan disuruhnya Yahudi itu untuk memberikannya kepada Gubernur Amr bin Ash. Makin
bingung si Yahudi ini dan dia menuruti perintah Khalifah Sayyidina Umar tersebut. Sesampai di Mesir,
Yahudi ini pun langsung menyampaikan pesan Sayyidina Umar dengan memberikan sepotong tulang tadi
kepada Gubernur Amr bin Ash. Begitu dikasih tulang, Amr bin Ash melihat ada garis lurus dengan ujung
pedang, gemetar dan badannya keluar keringat dingin lalu dia langsung menyuruh kepala proyek untuk
membatalkan penggusuran gubuk Yahudi tadi. Amr bin Ash berkata pada Yahudi itu, ini nasehat pahit
buat saya dari Amirul Mukminin Umar bin Khattab, seolah-olah beliau bilang ‘hai Amr bin Ash, jangan
mentang-mentang lagi berkuasa, pada suatu saat kamu akan jadi tulang-tulang seperti ini. Maka
mumpung kamu masih hidup dan berkuasa, berlaku lurus dan adillah kamu seperti lurusnya garis di atas
tulang ini. Lurus, adil, jangan bengkok, sebab kalau kamu bengkok maka nanti aku yang akan luruskan
dengan pedang ku. Singkat cerita, setelah melihat keadilan yang dicontohkan Sayyidina Umar tersebut,
akhirnya Yahudi itu menghibahkan gubuknya tadi buat kepentingan pembangunan masjid, dan dia pun
masuk Islam oleh karena keadilan dari Umar bin Khattab.

Sumber: https://islam.nu.or.id/sirah-nabawiyah/khalifah-umar-menegur-gubernur-amr-bin-ash-zDi1j

Masjid Tertua di Mesir, Awalnya Terbuat dari Pohon Palem Kompas.com - 24/05/2020, 08:09 WIB
Lihat Foto Ilustrasi masjid - Bagian dalam area Masjid Amru bin Al-Ash di Mesir.(SHUTTERSTOCK)
Penulis Nabilla Ramadhian | Editor Ni Luh Made Pertiwi F. KOMPAS.com – Masjid Amru bin Al-Ash
merupakan masjid tertua di Mesir yang dibangun oleh sahabat Nabi Muhammad SAW, Amru bin Al-
Ash. Pada 640, mengutip laman resmi Ministry of Tourism and Antiquities Mesir (Kementerian
Pariwisata dan Barang Antik), Amru bin Al-Ash menaklukkan Mesir dan mendirikan ibu kota
pertamanya, Fustat. Jika melihat Kota Kairo masa kini, maka Fustat berada di dalam kota tersebut.
Baca juga: Cerita Masjid Agung Kairouan Tunisia, Dibangun pada Abad Ke-7 Setahun berlalu, Amru
bin Al-Ash mendirikan masjid tas perintah khalifah Umar bin Khattab. Masjid tersebut merupakan
bangunan pertama di Fustat. Bahkan, mengutip Egyptian Streets, masjid yang juga disebut sebagai
Masjid Antik dianggap sebagai universitas pertama, bertahun-tahun sebelum adanya Universitas Al-
Azhar. Masjid tersebut kerap digunakan sebagai tempat pemberian khotbah agama, dan
mempelajari ilmu Al-Quran. Bangunan tersebut mampu menampung hingga 5.000 siswa dalam satu
waktu. Berdiri di atas perkemahan tentara Kendati Masjid Amru bin Al-Ash dibangun atas perintah
Umar bin Khattab, konon katanya alasan utama pembangunan dan posisi bangunan terdapat pada
seekor burung merpati. Lihat Foto Ilustrasi masjid - Gerbang menuju area Masjid Amru bin Al-Ash di
Mesir.(SHUTTERSTOCK) Saat Amru bin Al-Ash menaklukkan Mesir, dia mendirikan tenda di sisi
timur Sungai Nil. Sebelum berangkat ke medan pertempuran lain, dia menemukan bahwa seekor
burung merpati telah meletakkan telur di tendanya. Melihat hal tersebut, dia tidak menyingkirkan
tendanya. Usai kembali dari Alexandria, dia menyatakan situs tersebut sebagai ibu kota baru dan
menamainya Fustat, artinya tenda. Kemudian, Masjid Amru bin Al-Ash dibangun di lokasi tersebut
pada tahun 641. Masjid dibangun menghadap langsung ke Sungai Nil. Lokasinya di sebelah utara
benteng Babilon. Dibangun menggunakan pohon palem Masjid dibangun di lahan seluas kisaran
1.500 hasta persegi, berukuran panjang 29 meter dan lebar 17 meter, digunakan untuk membangun
masjid. Bentuk bangunan terbilang sederhana. Berbentuk kotak kecil terbuat dari kayu dan daun
palem

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Masjid Tertua di Mesir, Awalnya Terbuat dari
Pohon Palem", Klik untuk baca: https://travel.kompas.com/read/2020/05/24/080900427/masjid-
tertua-di-mesir-awalnya-terbuat-dari-pohon-palem?page=all.
Penulis : Nabilla Ramadhian
Editor : Ni Luh Made Pertiwi F.

Kompascom+ baca berita tanpa iklan: https://kmp.im/plus6


Download aplikasi: https://kmp.im/app6
Masuk ke cerita utama artikel ini, suatu malam, Umar bin Abdul Aziz terlihat sibuk
merampungkan sejumlah tugas di ruang kerja istananya. Tak dinyana, putranya masuk
ruangan dan hendak membericarakan sesuatu.

”Untuk urusan apa putraku datang ke sini: urusan negarakah atau keluargakah?” tanya
Umar.

”Urusan keluarga, ayahanda,” jawab si anak.

Tiba-tiba Umar mematikan lampu penerang di atas mejanya. Seketika suasana menjadi
gelap.

”Kenapa ayah memadamkan lampu itu?” tanya putranya merasa heran.

”Putraku, lampu yang sedang ayah pakai bekerja ini milik negara. Minyak yang
digunakan juga dibeli dengan uang negara. Sementara perkara yang akan kita bahas
adalah urusan keluarga,” jelas Umar.

Umar kemudian meminta pembantunya mengambil lampu dari ruang dalam.

”Nah, sekarang lampu yang kita nyalakan ini adalah milik keluarga kita. Minyaknya pun
dibeli dengan uang kita sendiri. Silakan putraku memulai pembicaraan dengan ayah.”

Umar bin Abdul Azis dikenal sebagai Khalifah pada masa Dinasti Umayyah yang bijak,
adil, hati-hati, dan sederhana. Dia sangat memperhatikan nasib rakyatnya. Oleh
karenanya, ia sangat berhati-hati dan ketat dalam mengangkat para pejabatnya. Hal itu
dilakukan agar tidak ada orang yang diangkatnya melakukan korupsi, menyelewengkan
kekuasaan, atau menerima suap sehingga menyengsarakan rakyatnya.

Salah satunya dalam pengangkatan seorang hakim. Bagaimanapun juga posisi hakim
sangat krusial. Ia menjadi pemutus perkara yang hak dan yang batil. Hakim juga yang
menjadi salah satu instrumen utama dalam menegakkan keadilan. Oleh sebab itu, menjadi
hakim bukan lah perkara yang mudah. Ia harus mempunyai kualifikasi-kualifikasi
tertentu.

Baca Juga:  Inilah 7 Manfaat Menjaga Pandangan Mata dari Perkara Haram


Bagi Khalifah Umar bin Abdul Aziz, seorang hakim setidaknya harus menguasai ilmu
syariat dan memiliki kemampuan ilmu agama yang baik. Ini menjadi bekal utama mereka
dalam memutuskan suatu perkara. Di samping itu, merujuk pada buku Umar bin Abdul
Aziz Sosok Pemimpin Zuhud dan Khalifah Cerdas (Abdul Aziz bin Abdullah al-
Humaidi, 2015), Khalifah Umar bin Abdul Aziz menegaskan bahwasannya seorang tidak
lah menjadi hakim sehingga dia memiliki lima hal berikut.

Pertama, kesucian (iffah). Sifat ini penting untuk menjaga seorang hakim dari segala


bentuk praktik suap. Sifat ini menjadi benteng utama agar hakim tidak tergiur dengan
urusan-urusan berbau duniawi.

Kedua, kelembutan (hilmi). Seorang hakim juga harus memiliki sifat ini agar omongan
dan bicaranya terjaga dari hal-hal yang tidak layak.

Ketiga, memiliki pemahaman yang baik (dalam membaca kasus dan putusan apa yang
akan diterapkan). Kapasitas dan kompetensi perihal kehakiman sudah menjadi sesuatu
yang mutlak dimiliki jika seseorang ingin menjadi hakim. Ia harus memiliki keilmuan
yang mendalam serta wawasan yang luas sehingga ia mampu memberikan keputusan
yang terbaik dan seadil-adilnya. Seorang hakim juga harus memahami situasi dan kondisi
seseorang yang mengalami perkara.

Baca Juga:  Tiga Macam Hati Manusia Menurut Imam al Ghozali

Keempat, bersedia berkonsultasi dengan ahlinya. Seorang hakim tidak perlu jaim (jaga


image). Hakim harus mau berdiskusi dan berkonsultasi dengan para ahli dari berbagai
bidang. Dengan begitu, dia akan mendapatkan banyak gagasan dan pencerahan dari para
ahli. Sehingga ia memiliki pemahaman yang komprehensif atas kasus-kasus yang
ditanganinya.

Kelima, tidak peduli dengan celaan orang lain. Seorang harus memutuskan suatu perkara
berdasarkan pengetahuan, pengalaman, dan hati nuraninya. Jika dia sudah mantap bahwa
keputusannya itu benar dan adil, maka segera diputuskan. Jangan sampai celaan dari
orang lain yang memiliki kepentingan tertentu mempengaruhi keputusannya.

Itu lah lima pesan dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz untuk para hakim. Kesimpulannya,
hakim merupakah seorang pemutus perkara yang dituntut untuk berbuat adil serta tidak
dhalim. Jika seseorang tidak memenuhi syarat lima hal yang tertera dalam artikel ini
(pesan Umar Bin Abdul Aziz untuk para hakim), untuk kemaslahatan bersama maka
sebaiknya ia tidak usah menjadi seorang hakim terlebih dahulu. Ia bisa meningkatkan
kapasitasnya sehingga nantinya betul-betul menjadi seorang hakim yang adil. Jika sudah
terlanjur menjadi hakim, sebaiknya diperbanyak pemahaman serta mau berdiskusi
kembali perihal hal yang tidak dipahami.

Anda mungkin juga menyukai