Anda di halaman 1dari 10

AMRU BIN ASH

Amru bin Ash bin Wail bin Hasyim bin Said bin Saham ini adalah pimpinan Arab terkenal yang menaklukkan Mesir dan membangun kota Fustat (Cairo sekarang). Beliau sempat mengikuti arbitrasi seusai perang Shiffin di mana Muawiah menang berkat kecerdikannya. Beliau meninggal di Cairo. Amr bin Ash bukanlah termasuk golongan sahabat yang terdahulu memeluk Islam (assabiqunal awwalun). Ia memeluk Islam bersama Khalid Bin Walid tidak lama setelah dibebaskanya kota Mekkah oleh kaum muslimin (futuh mekah). Menurut para muarikh (ahli sejarah Islam), keislaman Amr bin Ash disebabkan adanya interaksi dengan Raja Habasyah (Ethiopia). Waktu itu Amr sering memberikan hadiah kepada Raja Habasyah dalam setiap kunjungannya. Dalam suatu kunjungan, tersiar kabar tentang adanya Rasul akhir zaman yang bernama Muhammad di Mekkah. Raja Habasyah pun menyarankan kepada Amr bin Ash untuk beriman kepada Rasulullah. Katanya, Sungguh! Demi Allah, ia adalah di atas kebenaran dan akan mengalahkan orang-orang yang menentangnya. Setelah mendengarkan anjuran dari Raja Habasyah, Amr segera memacu kudanya menuju kampung halamannya. Lalu ia mengarahkan langkahnya menuju Madinah untuk berbaiat kepada Rasulullah . Dalam perjalanan ke Madinah itu ia bertemu dengan Khalid Bin Walid dan Utsman Bin Thalhah. Khalid dan Utsman sengaja datang dari Mekah untuk berbaiat kepada Rasulullah. Ketika tiba giliran Amr untuk berbaiat, berkatalah Amr kepada Rasulullah. Wahai Rasulullah! Aku akan berbaiat kepada anda, asal saja Allah mengampuni dosa-dosaku yang terdahulu. Jawab Rasulullah, Hai, Amr! Berbaiatlah, karena Islam akan menghapus dosa-dosa yang sebelumnya. Setelah memeluk Islam, Amr mengabdikan keberanian dan kecerdikannya dalam berjuang membela agama barunya. Amr bin Ash adalah seorang sahabat yang berpikiran tajam, cepat tanggap dan berpandangan jauh ke depan. Pada beberapa peristiwa dan suasana, keberaniannya itu disisipi dengan kelihaiannya, hingga disangka orang ia sebagai pengecut atau penggugup. Padahal itu tiada lain dari tipu muslihat yang istimewa yang oleh Amr digunakannya secara tepat dan dengan kecerdikan mengagumkan untuk membebaskan dirinya dari bahaya yang mengancam. Khalifah Umar Bin Khattab mengenal bakat dan kelebihannya ini dengan baik. Saat ia menugaskannya ke Syria sebelum pergi ke Mesir, ada yang mengatakan bahwa tentara Romawi dipimpin oleh Arthabon, maksudnya panglima yang lihai dan gagah berani. Maka Umar pun mengisaratkan pengiriman Amr bin Ash sebagai jawabannnya. Dan, akhirnya sejarah mencatat ahli tipu muslihat Arab (Amr) itulah yang memenangkan pertempuran melawan Arthabon Romawi. Para muarikh menggelari Amr bin Ash sebagai pembebas Mesir. Amr memiliki andil yang cukup besar dalam membebaskan Mesir dari cengkeraman dua imperium besar di masa itu, Persia dan Romawi. Ketika Mesir berada di bawah dua kerajaan besar itu, rakyatnya hidup sangat menderita, sebagian besar dijadikan budak. Mereka telah mencuri harta penduduk dengan sewenang-wenang. Mesir sendiriketika pasukan perintis Islam datangmerupakan jajahan dari Romawi. Sementara itu perjuangan penduduk untuk menentangnya tidak membuahkan hasil. Ketika dari perbatasan kerajaan itu bergema suara takbir dari pasukan-pasukan Islam, mereka pun berduyun-duyun memeluk Islam. Amr bin Ash sangat berharap akan dapat menghindarkan penduduk Mesir dari peperangan, agar pertempuran terjadi terbatas antara pasukannya dengan tentara Romawi saja. Oleh sebab itulah ia berbicara kepada para pemuka agama Nasrani dan Uskupuskupnya: Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad membawa kebenaran dan menitahkan kebenaran itu. Dan sesungguhnya ia telah menunaikan risalahnya kemudian berpulang seteah meninggalkan kami di jalan yang lurus terang benderang. Di antara perintah-perintah yang disampaikannya kepada kami adalah memberikan kemudahan bagi manusia, maka kami menyeru kalian kepada Islam. Baragsiapa yang memenuhi seruan kami maka ia termasuk golongan kami, memperoleh hak seperti hak-hak kami, dan memikul kewajiban seperti kewajiban-kewajiban kami. Dan barangsiapa yang tidak memenuhi seruan kami, maka kami tawarkan kepadanya membayar pajak, dan kami berikan kepadanya keamanan serta perlindungan. Dan sesungguhnya Nabi kami telah memberitakan bahwa Mesir akan menjadi tangung jawab kami untuk membebaskannya dari penjajah, diwasiatkannya kepada kami agar berlaku baik kepada

penduduknya. Maka jika kalian memenuhi seruan kami ini, hubungan kita semakin kuat dan bertambah erat! Amr menyudahi ucapannya, dan sebagian uskup dan pendeta menyerukan, Sesungguhnya hubungan silaturahmi yang diwasiatkan Nabimu itu adalah suatu pendekatan dengan pandangan jauh, yang tak mungkin disuruh hubungkan kecuali oleh Nabi. Dialog antara Amr dengan tokoh agama Nasrani di atas merupakan strategi permulaan yang baik dalam merebut hati rakyat Mesir yang berbeda keyakinan. Walaupun panglima-panglima Romawi berusaha untuk menggagalkannya, namun usaha mereka itu sia-sia. Karena sudah terjadi saling pengertian antara pasukan kaum muslimin dengan rakyat Mesir. Pada tahun ke-43 Hiriyah, wafatlah Amr bin Ash di Mesir. Waktu itu ia masih menjabat sebagai gubernurnya. Di pangkuan bumi Mesir, negeri yang diperkenalkannya dengan ajaran Islam itu, bersemayamlah tubuhnya. Dan, di atas tanah yang keras, majelisnya yang selama ini digunakannya untuk mengajar, mengadili, dan mengendalikan pemerintahan, masih tegak berdiri melalui kurun waktu, dinaungi oleh atap masjidnya yang telah berusia lanjut, Jamiu Amr.

UMAR BIN ABDUL AZIZ


Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz, ya begitulah rakyatnya memanggilnya. Seorang pemimpin yang saleh, kharimastik, bijaksana, dan dekat dengan rakyatnya. Sosoknya yang begitu melegenda tentu membuat hati penasaran untuk mengenalnya. Peristiwa-peristiwa pada pemerintahannya menimbulkan rasa cinta untuk meneladaninya. Berikut ini bersama kita simak biografi singkat dari sang khalifah yang mulia. Ia adalah Umar bin Abdul Aziz bin Marwan bin Al-Hakam bin Abu Al-Ash bin Umayyah bin Abd Syams bin Manaf, seorang imam dalam permasalahan agama dan dunia, penghafal hadis nawabi, mujtahid, laki-laki yang zuhud, pula ahli ibadah, sosok yang benar-benar layak digelari pemimpin orang-orang yang beriman. Ia dikenal juga dengan Abu Hafs, nasabnya Al-Qurasyi Al-Umawi. Ayahnya adalah Abdul Aziz bin Marwan, salah seorang dari gubernur Klan Umayah. Ia seorang yang pemberani lagi suka berderma. Ia menikah dengan seorang wanita salehah dari kalangan Quraisy lainnya, wanita itu merupakan keturunan Umar bin Khattab, dialah Ummua Ashim binti Ashim bin Umar bin Khattab, dialah ibu Umar bin Abdul Aziz. Abdul Aziz merupakan laki-laki yang saleh yang baik pemahamannya terhadap agama. Ia merupakan murid dari sahabat senior Abu Hurairah. Ibunya Ummu Ashim, Laila binti Ashim bin Umar bin Khattab. Bapaknya Laila merupakan anak Umar bin Khattab, ia sering menyampaikan hadis nabi dari Umar. Ia adalah laki-laki dengan perawakan tegap dan jangkung, satu dari sekian laki-laki mulia di zaman tabiin. Ada kisah menarik mengenai kisah pernikahannya, kisah ini cukup penting untuk diketengahkan karena dampak kejadian ini membekas kepada keturunannya, yakni Umar bin Abdul Aziz. Cerita ini dikisahkan oleh Abdullah bin Zubair bin Aslam dari ayahnya dari kakeknya yang bernama Aslam. Ia menuturkan, Suatu malam aku sedang menemani Umar bin Khattab berpatroli di Madinah. Ketika beliau merasa lelah, ketika beliau merasa lelah, beliau bersandar ke dinding di tengah malam, beliau mendengar seorang wanita berkata kepada putrinya, Wahai putriku, campurlah susu itu dengan air. Maka putrinya menjawab, Wahai ibunda, apakah engkau tidak mendengar maklumat Amirul Mukminin hari ini? Ibunya bertanya, Wahai putriku, apa maklumatnya? Putrinya menjawab, Dia memerintahkan petugas untuk mengumumkan, hendaknya susu tidak dicampur dengan air. Ibunya berkata, Putriku, lakukan saja, campur susu itu dengan air, kita di tempat yang tidak dilihat oleh Umar dan petugas Umar. Maka gadis itu menjawab, Ibu, tidak patut bagiku menaatinya di depan khalayak demikian juga menyelesihinya walaupun di belakang mereka. Sementara Umar mendengar semua perbincangan tersebut. Maka dia berkata, Aslam, tandai pintu rumah tersebut dan kenalilah tempat ini. Lalu Umar bergegas melanjutkan patrolinya. Di pagi hari Umar berkata, Aslam, pergilah ke tempat itu, cari tahu siapa wanita yang berkata demikian dan kepada siapa dia mengatakan hal itu. Apakah keduanya mempunyai suami? Aku pun berangkat ke tempat itu, ternyata ia adalah seorang gadis yang belum bersuami dan lawan bicaranya adalah ibunya yang juga tidak bersuami. Aku pun pulang dan mengabarkan kepada Umar. Setelah itu, Umar langsung memanggil putra-putranya dan mengumpulkan mereka, Umar berkata, Adakah di antara kalian yang ingin menikah? Ashim menjawab, Ayah, aku belum beristri, nikahkanlah aku. Maka Umar meminang gadis itu dan menikahkannya dengan Ashim. Dari pernikahan ini lahir seorang putri yang di kemudian hari menjadi ibu bagi Umar bin Abdul Aziz. Diriwayatkan bahwa pada suatu malam Umar bin Khattab bermimpi, dia berkata, Seandainya mimpiku ini termasuk tanda salah seorang dari keturunanku yang akan memenuhinya dengan keadilan (setelah sebelumnya) dipenuhi dengan kezaliman. Abdullah bin Umar mengatakan, Sesungguhnya keluarga AlKhattab mengira bahwa Bilal bin Abdullah yang mempunyai tanda di wajahnya. Mereka mengira bahwa dialah orang yang dimaksud, hingga Allah kemudian menghadirkan Umar bin Abdul Aziz.

Kelahiran dan Wafatnya


Ahli sejarah berpendapat bahwa kelahiran Umar bin Abdul Aziz terjadi di tahun 61 H. Ia dilahirkan di Kota Madinah An-Nabawiyah, pada masa pemerintahan Yazid bin Muawiyah. Umar bin Abdul Aziz tidak memiliki usia yang panjang, ia wafat pada usia 40 tahun, usia yang masih relatif muda dan masih dikategorikan usia produktif. Namun, di balik usia yang singkat tersebut, ia telah berbuat banyak untuk peradaban manusia dan Islam secara khusus. Ia dijuluki Asyaj Bani Umayah (yang terluka di wajahnya) sebagaimana mimpi Umar bin Khattab.

Saudara-Saudara Umar bin Abdul Aziz


Abdul Aziz bin Marwan (bapak Umar), mempunyai sepuluh orang anak. Mereka adalah Umar, Abu Bakar, Muhammad, dan Ashim. Ibu mereka adalah Laila binti Ashim bin Umar bin Kahttab. Abdul Aziz mempunyai enam anak dari selain Laila, yaitu Al-Ashbagh, Sahal, Suhail, Ummu Al-Hakam, Zabban dan Ummul Banin. Ashim (saudara Umar) inilah yang kemudian menjadi kunyah ibunya (Laila Ummu Ashim).

Anak-Anak Umar bin Abdul Aziz


Umar bin Abdul Aziz mempunyai empat belas anak laki-laki, di antara mereka adalah Abdul Malik, Abdul Aziz, Abdullah, Ibrahim, Ishaq, Yaqub, Bakar, Al-Walid, Musa, Ashim, Yazid, Zaban, Abdullah, serta tiga anak perempuan, Aminah, Ummu Ammar dan Ummu Abdillah. Pada saat Umar bin Abdul Aziz wafat, ia tidak meninggalkan harta untuk anak-anaknya kecuali sedikit. Setiap anak laki-laki hanya mendapatkan jatah 19 dirham saja, sementara satu anak dari Hisyam bin Abdul Malik (khalifah Bani Umayah lainnya) mendapatkan warisan dari bapaknya sebesar satu juta dirham. Namun beberapa tahun setelah itu salah seorang anak Umar bi Abdul Aziz mampu menyiapkan seratus ekor kuda lengkap dengan perlengkapannya dalam rangka jihad di jalan Allah, pada saat yang sama salah seorang anak Hisyam menerima sedekah dari masyarakat. Istri-Istrinya Istri pertamanya adalah wanita yang salehah dari kalangan kerajaan Bani Umayah, ia merupakan putri dari Khalifah Abdul Malik bin Marwan yaitu Fatimah binti Abdul Malik. Ia memiliki nasab yang mulia; putri khalifah, kakeknya juga khalifah, saudara perempuan dari para khalifah, dan istri dari khalifah yang mulia Umar bin Abdul Aziz, namun hidupnya sederhana. Istrinya yang lain adalah Lamis binti Ali, Ummu Utsman bin Syuaib, dan Ummu Walad.

Ciri-Ciri Fisik Umar bin Abdul Aziz


Umar bin Abdul Aziz berkulit cokelat, berwajah lembut dan tampan, berperawakan ramping, berjanggut rapi, bermata cekung, dan di keningnya terdapat bekas luka akibat sepakan kaki kuda. Ada pula yang mengatakan, ia berkulit putih, berwajah lembut dan tampan, berperawakan ramping dan berjenggot rapi. Sumber: Perjalanan Khalifah Yang Agung Umar bin Abdul Aziz, DR. Ali Muhammad Ash-Shallabi Inilah keadaan Umar bin Abdul Aziz ditinjau dari lingkungan domestiknya. Ia tumbuh di lingkungan salehah dan berdarah biru. Namun bagaimanakan ia menjalankan hidupnya ketika dewasa? Bagaimana Ibadah dan muamalahnya? InsyaAllah akan kita simak di kisah selanjutnya.

Umar bin Abdul Aziz (Bagian 2)


Faktor Keluarga Umar bin Abdul Aziz melewati masa kanak-kanaknya di Kota Madinah An-Nabawiyah. Kota yang dipenuhi dengan aroma kenabian. Bagaimana tidak, pada saat itu masih banyak para sahabat berjalan-jalan di kota yang dahulunya disebut Yatsrib ini, di antara pembesar sahabat duduk-duduk di masjid mengajarkan ilmu yang mereka miliki, dan rumah-rumah nabi pun masih meninggalakn jejak-jejaknya yang mulia. Umar bin Abdul Aziz tergolong anak yang cerdas dan memiliki hapalan yang kuat. Kedekatan kekerabtannya dengan Abdullah bin Umar bin Khattab, menyebabkannya sering bermain ke rumah sahabat nabi yang mulia ini. Suatu ketika ia mengatakan kepada ibunya sebuah cita-cita yang mulia dan menunjukkan jati diri Umar kecil, Ibu, aku ingin menjadi seorang laki-laki dari paman ibu. Ibunya pun menanggapi, Sulit bagimu nak untuk meniru pamanmu itu. Terang saja ibunya mengatakan demikian, Abdullah bin Umar adalah salah seorang pembesar dari kalangan sahabat Nabi shalallahu alaihi wa sallam. Ia merupakan salah seorang yang paling banyak meriwayatkan hadis nabi, seseorang putera kesayangan dari orang yang paling mulia di masa Islam setelah Nabi Muhammad dan Abu Bakar Ash-Shiddiq, seorang ahli ibadah lagi mempunyai kedudukan terhormat, dan dicintai umat. Namun, Umar bin Abdul Aziz tak patah semangat, ia memiliki jiwa yang tangguh sebagaimana kakeknya Umar bin Khattab. Ayah Umar bin Abdul Aziz adalah seorang gubernur di Mesir. Suatu ketika ia mengirim surat ke ibu kota yang berisikan mengajak anak dan istrinya untuk menyertainya di Negeri Mesir. Sang ibu pun berkonsultasi dengan Abdullah bin Umar, kemudian Ibnu Umar menasihatinya, Keponakanku, dia adalah suamimu, pergilah kepadanya. Manakala Ummu Ashim hendak berangkat, Ibnu Umar mengatakan, Tinggalkanlah anakmu ini Umar bin Abdul Aziz- bersama kami, dia satu-satunya anakmu yang mirip dengan keluarga besar Al-Khattab. Ummu Ashim tidak membantah, dan dia meninggalkan anaknya bersama pamannya tersebut. Ketika sampai di Mesir, sang ayah pun menanyakan perihal Umar bin Abdul Aziz. Ummu Ashim mengabarkan apa yang terjadi, berbahagialah Abdul Aziz mendengar kabar tersebut. Ia mengirim surat kepada saudaranya, Abdul Malik di Madinah agar mencukupi kebutuhan anaknya di Madinah. Abdul Malik menetapkan seribu dinar setiap bulannya untuk biaya hidup Umar bin Abdul Aziz. Setelah beberapa saat, Umar bin Abdul Aziz pun menyusul ayahnya ke Mesir. Demikianlah lingkungan keluarga Umar bin Abdul Aziz, tumbuh di bawah asuhan pamannya yang saleh dan lingkungan Kota Madinah yang dipenuhi cahaya dengan banyaknya sahabat-sahabat nabi. Di masa mendatang sangat terlihat pengaruh lingkungan tumbuh kembangnya ini dalam kehidupannya.

Kecintaan Umar bin Abdul Aziz Terhadap Ilmu Sejak Dini dan Hafalannya Terhadap Alquran Al-Karim
Umar bin Adbdul Aziz telah menghapal Alquran pada usia anak-anaknya, ia sangat mencintai ilmu agama. Terbukti dengan kebiasaannya berkumpul dengan para sahabat nabi dan menimba ilmu di majlis mereka. Ia sering menadaburi ayat-ayat Alquran sampai menangis tersedu-sedu. Ibnu Abi Dziib mengisahkan, Orang yang menyaksikan Umar bin Abdul Aziz yang saat itu masih menjabat Gubernur Madinah, menyampaikan kepadaku bahwa di depan Umar ada seorang laki-laki membaca ayat,

Dan apabila mereka dilemparkan ke tempat yang sempit di neraka itu dengan dibelenggu, mereka di sana mengharapkan kebinasaan. (QS. Al-Furqon: 13).

Maka Umar pun menangis sampai ia tidak bisa menguasai dirinya, pecahlah isak tangisnya, lalu ia pun pulang ke rumahnya untuk menyembunyikan hal itu. Makna ayat ini adalah, ketika orang-orang yang mendustakan Hari Kiamat itu dicampakkan di tempat yang sempit di neraka, tangan-tangan mereka di belenggu ke leher mereka mereka di sana mengharapkan kebinasaan Harapan binasa di sini sebagai ungkapan sebagai ungkapan penyesalan mendalam dari orangorang itu, karena sewaktu di dunia mereka menjauhi ketaatand dari Allah Subhanahu wa Taala. Abu Maudud mengabarkan, Sampai berita kepadaku bahwa pada suatu hari Umar bin Abdul Aziz membaca,

Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Alquran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu. (QS. Yunus: 61). Umar bin Abdul Aziz pun menangis, sampai orang-orang di rumahnya pun mendengar suara tangisnya. Ketika anaknya Abdul Malik menghampirinya dan bertanya, Wahai ayahanda apa yang terjadi? Umar menjawab, Anakku, ayahmu ini tidak mengenal dunia dan dunia pun tidak mengenalnya. Demi Allah wahai anakku, sungguh aku khawatir binasa. Demi Allah wahai anakku, aku takut menjadi penghuni neraka. Ayat di atas menerangkan bahwasanya Allah mengetahui segala sesuatu yang kita perbuat. Dan Umar bin Abdul Aziz dengan kesalehannya dan jasanya yang banyak terhadap umat Islam khawatir kalau ia menjadi penghuni neraka karena banyak berbuat salah. Lalu bagaimana dengan kita? Abdul Ala bin Abu Abdullah Al-Anzi mengatakan, Aku melihat Umar bin Abdul Aziz keluar di hari Jumat dengna pakaian yang sudah usang. Pada hari itu ia naik mimbar Jumat dan berkhutbah dengan membaca surat At-Takwir Apabila matahari digulung. Ia mengatakan, Ada apa dengan amtahari? kemudian ayat kedua, Dan apabila bintang-bintang berguguran. Sampai pada ayat Dan apabila neraka Jahim dinyalakan dan apabila surge didekatkan. Beliau menangis, dan ketulusan tangisan tersebut menyentuh kalbu jamaah yang hadir pada saat itu, akhirnya mereka terenyuh dan ikut menangis.

Zubair bin Awwam


Ketika Zubair bin Awwam sedang berada di rumahnya di Makkah, tiba-tiba dia mendengar suara teriakan yang berbunyi, Muhammad bin Abdullah telah terbunuh! Mendengar itu, Zubair pun keluar dalam keadaan telanjang dan tidak mengenakan sesuatu pun yang menutupi tubuhnya. Dia keluar sambil memegang pedangnya guna mencari orang yang telah membunuh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, karena dia ingin membunuh orang tersebut. Namun betapa bahagia hatinya tatkala dia menemukan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam masih dalam keadaan hidup dan tidak terluka sedikitpun Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun merasa heran dengan kondisi Zubair yang telanjang itu, maka beliau bertanya, Ada apa denganmu, wahai Zubair? Zubair menjawab, Wahai Rasulullah , tadi aku mendengar berita bahwa engkau telah terbunuh. Sembari tersenyum Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bertanya, Lalu apa yang akan kamu perbuat, wahai Zubair ? Zubair menjawab, Aku akan membunuh semua penduduk Makkah (maksudnya orang-orang kafir ). Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun merasa gembira mendengar hal itu, lalu beliau berdoa agar Zubair mendapatkan kebaikan dan pedangnya mendapatkan kemenangan. Pedang Zubair ini merupakan pedang yang pertama kali dihunuskan dalam rangka berjuang di jalan Allah. Sementara tentara Islam pertama yang berjuang di jalan Allah adalah Zubair bin Awwam bin Khuwailid radhiyallahu anhu, putra dari bibi Rasulullah yang bernama Shafiyah binti Abdil Muthalib. Meskipun usia Zubair masih terbilang kecil, tetapi dia telah masuk Islam, yaitu ketika dia masih berada di Makkah. Saat itu usianya masih delapan tahun. Akan tetapi, iman tidak membedakan antara anak kecil dan orang dewasa, karena iman hanya akan masuk ke dalam hati yang suci dan bersih. Seperti yang biasa terjadi di Makkah, dimana seseorang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya akan merasakan berbagai macam siksaan dan penderitaan, maka Zubair pun jatuh ke dalam api siksaan yang pedih itu. Ketika paman Zubair mengetahui keislaman Zubair, sang paman pun memasukkan tubuh Zubair ke dalam lipatan tikar yang terbuat dari dedaunan, lalu menyalakan api di bawah gulungan tikar tersebut hingga asap tebal pun naik ke atas. Hal ini menyebabkan Zubair hampir meninggal dunia karena merasa sesak nafas. Akan tetapi, dia tidak akan pernah kembali kepada api kekufuran setelah dia dibina di dalam surga iman. Maka, api yang telah dinyalakan oleh sang paman itu pun terasa olehnya seperti sebuah naungan yang menaunginya. Sungguh, cahaya iman telah menerangi hatinya, sehingga dia pun tidak lagi peduli dengan berbagai penderitaan dan siksaan yang dihadapinya saat berjuang di jalan Allah . Maka suara keras pun terdengar dari mulut Zubair guna membalas ajakan pamannya itu. Dia berkata, Demi Allah , aku tidak akan kembali lagi kepada kekufuran untuk selama-lamanya. Zubair tetap bersikukuh untuk mempertahankan keislamannya, sehingga siksaan dari orang-orang musyrik yang ditujukan kepadanya semakin hebat. Karenanya, ketika kaum muslimin berhijrah ke Habasyah, Zubair pun ikut berhijrah kesana sebanyak dua kali. Akan tetapi, dia tidak kuat berada jauh dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Kerinduannya kepada beliau semakin dahsyat, maka dia pun kembali ke Makkah agar bisa merasakan beratnya penderitaan dan cobaan di Makkah bersama Rasulullah . Zubair kemudian berhijrah bersama kaum muslimin ke Madinah dengan tujuan agar dia dapat memulai perjuangannya di jalan Allah melawan pasukan kemusyrikan dan kekafiran. Kaum muslimin berjumah 317 orang keluar menuju ke arah Badar untuk bertempur melawan pasukan kaum musyrikin dalam sebuah peperangan yang terbesar dalam Islam. Jumlah kaum musyrikin pada saat itu adalah 1000 orang. Dengan demikian, setiap pejuang dari kaum muslimin harus berhadapan dengan tiga

orang dari pasukan kaum musyrikin. Akan tetapi, kekuatan seorang laki-laki dari kaum muslimin pada saat itu sama dengan kekuatan seribu orang pasukan berkuda. Saai itu Zubair radhiyallahu anhu mengenakan mantel berwarna kuning. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memposisikan Zubair pada sayap kanan pasukan karena beliau telah mengetahui keberanian dan kekuatan Zubair. Pada hari terjadinya perang Badar ini, Zubair telah di uji oleh Allah dengan ujian yang baik. Nabi shallallahu alaihi wa sallam melihat orang seperti Zubair, lalu beliau bersabda kepadanya, Perangilah mereka, wahai Zubair! Orang itu menjawab, Aku bukan Zubair. Rasulullah pun akhirnya tahu bahwa orang itu merupakan salah satu malaikat yang telah diturunkan oleh Allah dalam sosok Zubair radhiyallahu anhu. Sementara pada hari terjadinya perang Uhud, Zubair termasuk salah seorang yang tetap berada di sekeliling Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Saat itu dia berusaha membela beliau dari serangan kaum musyrikin. Selanjutnya, setelah terjadinya perang Uhud, Zubair bersama Abu Bakar radhiyallahu anhu berjalan membuntuti pasukan kaum musyrikin dengan tujuan mengusir mereka. Kaum musyrikin pun merasa takut, lalu mereka segera kembali ke Makkah, ketika mereka melihat Zubair, seorang pasukan berkuda yang terkenal di Makkah dan seorang tentara Islam. Adapun pada perang Khandaq, kondisi kaum muslimin sangat buruk. Bahkan setiap orang diantara mereka tidak bisa masuk ke toilet karena pengepungan yang dilakukan terhadap mereka sangat ketat, sehingga mereka takut terbunuh. Kondisi semakin memburuk ketika kaum Yahudi Bani Quraidhah mengingkari perjanjian mereka dengan Nabi shallallahu alaihi wa sallam, lalu mereka membuka peluang lebar bagi kaum musyrikin untuk masuk ke Madinah. Karenanya, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berseru kepada kaum muslimin, Siapa yang akan pergi ke Bani Quraidhah untuk memerangi mereka? Melihat situasi yang menakutkan ini, tidak ada seorang pun dari kaum muslimin yang mau keluar untuk memerangi mereka. Saat itu Zubair berdiri, lalu berkata, Akulah yang akan keluar, wahai Rasulullah ! Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengulangi seruannya itu, tetapi tidak ada seorang pun yang mau keluar, kecuali Zubair. Maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda , Demi ayah dan ibuku, sesungguhnya setiap Nabi mempunyai Hawari (pengikut setia) dan Hawariku adalah Zubair. Sejak hari itu Zubair pun menjadi hawari (pengikut setia) Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Zubair keluar untuk memerangi Bani Quraidhah. Saat itu Zubair mengetahui bahwa ibunya, Shafiyyah, telah membunuh seorang laki-laki Yahudi yang memata-matai kaum muslimin dari kalangan wanita. Demikianlah, sang anak dan ibunya sama-sama berjuang untuk memberikan pengabdian kepada agama Allah. Setelah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam wafat, tampuk kekhilafahan dipegang oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu anhu, dan setelah itu diteruskan oleh Umar bin Khaththab. Pada masa-masa itu Zubair radhiyallahu anhu merupakan salah seorang tentara Islam yang kuat yang selalu berdiri di barisan terdepan dengan harapan agar negeri-negeri yang musyrik dapat di taklukan, lalu para penduduknya pun mau masuk Islam dan selamat dari api kekufuran. Zubair pergi sambil menghunuskan pedangnya. Dia dapat mengalahkan kaum musyrikin dan menaklukan sejumlah negeri, lalu para penduduk di negeri-negeri tersebut pun masuk ke dalam agama Allah secara berbondong-bondong. Saat menaklukan sejumlah negeri itu, Zubair teringat akan hari terjadinya perang melawan Bani Quraidhah, maka dia pun berteriak sambil berkata, Ini adalah hari seperti hari (keberuntungan) Hamzah, dimana (saat

itu) dia telah naik ke atas benteng dengan ditemani oleh Ali bin Abi Thalib, lalu mereka berdua pun berhasil membuka benteng-benteng kaum Yahudi. Peristiwa gugurnya Hamzah bin Abdul Muthalib yang merupakan paman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam (dari pihak ayah), singa Allah dan rasul-Nya, serta paman Zubair (dari pihak ibu), masih terus teringat dalam ingatan Zubair hingga Zubair meninggal dunia. Ketika dia memasuki medan peperangan, dia teringat akan sosok Hamzah yang sedang berperang melawan orang-orang musyrik seperti seekor singa yang perkasa. Pada perang Yarmuk yang dilakukan guna menaklukan negeri Syam, teriakan Zubair memiliki kekuatan yang sama dengan kekuatan satu rombongan pasukan, hingga musuh-musuh Allah yang ada di hadapannya pun mengalami kekalahan dan lari terbirit-birit seperti larinya tikus-tikus yang ketakutan. Diantara hal baik yang diterima oleh Zubair radhiyallahu anhu adalah bahwa dirinya termasuk ke dalam rombongan pasukan yang di pimpin oleh Amr bin Ash yang datang ke Mesir guna menaklukan negeri tersebut dan memasukkan agama Islam ke dalamnya. Ketika sampai di depan benteng Babilonia, kaum muslimin berhenti. Usaha mereka guna menjebol benteng yang kokoh ini hampir habis, padahal mereka belum bisa menaklukkannya. Pengepungan terhadap benteng tersebut dilakukan selama berbulan-bulan, hingga Zubair memperlihatkan suatu tindakan yang menarik yang menunjukkan sikap kepahlawanannya. Zubair berkata kepada kaum mukminin, Sesungguhnya aku mempersembahkan jiwaku ini untuk Allah. Aku berharap agar Allah menaklukan benteng itu untuk kaum muslimin. Zubair meletakkan sebuah tangga ke dinding benteng tersebut, lalu dia naik ke atasnya. Sebelum naik, dia berpesan kepada rekan-rekannya, Jika kalian mendengar bacaan takbirku, maka bertakbirlah kalian! Zubair pun menaiki tangga yang sudah diletakkan di dinding benteng, lalu kaum muslimin pun mengikuti jejaknya. Ketika Zubair mengucapkan takbir, kaum muslimin yang berada di belakangnya juga ikut mengucapkan takbir. Hal ini menyebabkan rasa takut mulai merasuk ke dalam hati pasukan Romawi. Maka mereka pun meninggalkan benteng tersebut. Akhirnya, Zubair radhiyallahu anhu berhasil menaklukan benteng itu seorang diri. Setelah itu, seluruh wilayah Mesir pun berhasil ditaklukan satu per satu. Kaum muslimin telah mengetahui betapa besarnya pengorbanan dan perjuangan Zubair. Bahkan salah seorang dari kaum muslimin pernah berkata, Sungguh aku telah melihat dada Zubair, dan sungguh pada dadanya itu terdapat goresan-goresan akibat sabetan pedang dan tusukan tombak yang menyerupai aliranaliran air.

Kerinduan Zubair bin Awwam untuk syahid


Zubair radhiyallahu anhu sangat merindukan derajat gugur sebagai syahid dan mati di jalan Allah. Setiapkali dia memasuki medan peperangan, dia selalu menggenggam ruhnya di telapak tangannya ( maksudnya dia telah siap untuk mati). Akan tetapi, selama mengikuti sejumlah peperangan dalam Islam, Zubair radhiyallahu anhu tidak pernah terbunuh. Karena sangat besar rasa cinta dan kerinduannya kepada derajat gugur sebagai syahid, Zubair pun menamai anak-anaknya dengan nama-nama para syuhada. Dia menamai putranya dengan nama Abdullah dengan maksud meniru nama Abdullah bin Jahsy, orang yang pertama kali dijuluki julukan Amirul Mukminin dan salah seorang yang gugur sebagai syahid dalam perang Uhud. Putranya yang bernama Mushab telah dinamai dengan nama tersebut dengan makud mencontoh nama Mushab bin Umair, seorang yang gugur sebagai syahid dalam perang Uhud dan orang yang pertama kali menjadi delegasi dalam Islam. Sementara putranya yang bernama Hamzah, dinamai dengan nama tersebut dengan maksud mencontoh nama singa Allah dan rasul-Nya, yaitu Hamzah bin Abi Muthalib. Demikian pula dengan nama anak-anaknya yang lain.

Seperti halnya dengan Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu anhu, Zubair adalah orang kaya, dermawan, sering bershadaqah, dan telah membagikan seluruh hartanya kepada orang-orang fakir, sehingga dia tidak meninggalkan sedikitpun dari hartanya itu untuk dirinya sendiri. Bahkan dia telah mencurahkan jiwa dan hartanya di jalan Allah . Zubair dan Thalhah bin Ubaidillah hidup dalam keadaan keduanya saling bersaudara karena Allah , hingga Nabi shallallahu alaihi wa sallam pun bersabda, Thalhah dan Zubair adalah dua tetanggaku di surga (nanti). Setelah terbunuhnya Utsman bin Affan radhiyallahu anhu, Zubair dan Thalhah berperang melawan Ali bin Abi Thalib dalam sebuah peperangan yang dinamakan dengan perang Jamal. Ali pun keluar untuk menemui Zubair, lalu dia berkata kepadanya, Wahai Zubair, tidaklah kamu mendengar sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang ditujukkan kepada dirimu : Sesungguhnya kamu akan memerangi Ali (saat itu) kamu berbuat zhalim kepadanya. Setelah mendengar perkataan Ali itu, Zubair langsung teringat akan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam tersebut, maka dia bersama Thalhah bin Ubaidillah pun segera mundur dari medan pertempuran. Akan tetapi, para pembuat fitnah (kerusuhan) menolak untuk mundur, kecuali setelah mereka membunuh Zubair dan Thalhah. Pertama kali mereka membunuh Thalhah ; dan tatkala Zubair sedang mengerjakan shalat, tiba-tiba seorang laki-laki yang biasa dipangil dengan nama Ibnu Jurmuz melemparkan anak panahnya ke arah Zubair, hingga akhirnya Zubair pun terbunuh. Selanjutnya, Ibnu Jurmuz pergi ke tempat Ali bin Abi Thalib dengan maksud untuk menemuinya. Ali berkata, Sungguh aku telah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda : Berilah kabar buruk kepada orang yang membunuh Ibnu Shaffiyah maksudnya Zubair- bahwa dia akan masuk neraka. Ali radhiyallahu anhu pergi untuk melihat jenazah Zubair yang telah berlumuran darah. Ali membalikkan jenazah Zubair itu guna menciumnya. Saat itu dia menangis sambil berkata : Demi Allah , sungguh dia adalah pedang Allah yang selalu membela Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Jasad Zubair pun dikuburkan di samping jasad Thalhah agar mereka berdua dapat saling berdampingan di dalam kubur, sebagaimana ketika berada di dunia. Mereka telah menjadi dua orang yang saling bersaudara, lalu mereka berdua akan menjadi tetangga Rasulullah di dalam surga, sebagaimana sabda beliau, Thalhah dan Zubair adalah dua tetanggaku di surga. Peristiwa pembunuhan Zubair bin Awwam ini juga terjadi pada tahun ke-26 Hijriyah. Sumber: Kisah Teladan 20 Sahabat Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk Anak, Dr. Hamid Ahmad Ath-Thahir, Irsyad Baitus Salam, 2006 (Dipublikasikan ulang oleh Kisah Muslim)

Anda mungkin juga menyukai