Anda di halaman 1dari 9

Kisah sejarah riwayat hidup umar bin Khattab ketika menjadi seorang muslim adalah salah satu

hal yang paling menyentuh hati dimana Umar Ibn al-Khattab merupakan musuh yang paling
ganas dan beringas, menentang Nabi Muhammad dan Agama Islam habis-habisan namun
dengan hidayah dari Alloh SWT  mendadak Umar Ibn al-Khattab memeluk agama baru itu dan
berbalik menjadi pendukung gigih.Hidayah itu datang dari keluarganya sendiri yaitu dari fatimah
adiknya yang didapatinya bersama suaminya, serta seorang sahabat sedang membaca Al
Quran ayat yang dibacakan adalah surat Thaha

Gemetarlah sekujur tubuh Sayidina Umar setelah membaca surat tersebut.  Sayidina Umar bin
Khattab pun masuk islam  Sikap keras, tegas dan tidak pernah takut beliau gunakan untuk
membela islam, yang awalnya untuk menentang islam. Beliaulah sahabat Rasul yang
mencanangkan untuk berdakwah secara terang-terangan.

Salah satu bentuk kecintaan Sayidina Umar kepada Rasul adalah ketika Rasulullah wafat.
Beliau tak percaya bahwa Rasul wafat, Umar marah ketika ada yang mengatakan Rasulullah
wafat, hingga akhirnya beliau percaya ketika Sayidina Abu Bakar berkata bahwa Rasulullah
Wafat.Beberapa Sikap teladan Umar bin Khattab adalah menolak untuk dijadikan pemimpin
Khalifah mencerminkan beliau bukan orang yang ambisius untuk jadi raja dan kekuasaan ketika
diminta untuk dijadikan Khalifah Amirul Mukminin.

Sikap beliau pada keluarganya, beliau berprinsip bahwa keluarga Umar adalah teladan bagi
rakyatnya. Ketika beliau membuat peraturan baru, beliau merundingkan bersama keluarganya
dan jika keluarga Umar yang melanggar akan mendapat hukuman 2 kali lipat. Kesederhanaan
beliau patut jadi teladan , beliau hanya mempunyai dua buah jubah. Bahkan jubah satunya
adalah milik anaknya. Pernah beliau terlambat untuk shalat jumat. Ternyata jubah beliau belum
kering sehingga beliau menunggu jubahnya kering.

Di masa kekalifahan beliau, Mesir dipimpin oleh seorang Gubernur yang kehidupannya sangat
kaya bagaikan kaisar. Ia bernama Amr bin Ash. Saat itu sang gubernur ingin membangun
sebuah masjid, tetapi diwilayah akan dibangunnya masjid ada gubuk reyot milik seorang
yahudi. Sang gubernur meminta agar yahudi itu menjual rumahnya karena akan dibuat sebuah
masjid. Yahudi itu tidak mau karena disanalah ia hidup sampai sekarang ini. Akhirnya sang
gubernur ingin menggusur gubuk itu. Pergilah yahudi, ingin menemui sang khalifah, untuk
mengadukan hal ini.

Di sepanjang jalan menuju Madinah, Yahudi itu berpikir bagaimana sosok sang khalifah,
apakah ia sama sikapnya dengan sang gubernur. Hingga akhirnya ia sampai di kota Madinah.
Ia bertemu dengan seorang pria yang duduk di bawah pohon kurma. Ia bertanya, “ Wahai tuan,
tahukah anda dimana khalifah?”.Lelaki itu menjawab, “Ada apa kau mencarinya?”. “Aku ingin
mengadukan sesuatu.” Jawabnya. Ia bertanya lagi, “Dimanakah istananya?”. “Ada diatas
lumpur.”jawab lelaki itu. Yahudi itu bingung atas jawabannya kemudian ia bertanya lagi, “Lalu,
siapa pengawalnya?”. “Pengawalnya orang-orang miskin, anak yatim dan janda-janda tua.”.
Yahudi itu brtanya lagi, “Lalu pakaian kebesarannya apa?”. “Pakaian kebesarannya adalah
malu dan taqwa.” Yahudi itu bertanya lagi,”Dimana ia sekarang?”. Lelaki itu menjawab, “Ada di
depan engkau.” Sungguh kaget Yahudi itu. Ternyata yang sejak tadi ia tanya adalah seorang
Khalifah, ia ceritakan segala apa yang dilakukan oleh Gubernur Mesir padanya.
Setelah selesai bercerita, Khalifah Umar menyuruh Yahudi itu menggambil tulang unta di
tumpukan sampah. Yahudi itu kebingungan, bukankah ia menemui khalifah untuk mencari
keadilan, bukan untuk mencari tulang unta. Diambillah tulang itu, Khalifah Umar Amirul
Mukminin ini membuat garis lurus diatas tulang itu.kemudian menyuruh Yahudi itu pulang. Di
perjalanan pulang, ia semakin kebingungan, untuk apa tulang ini.
Sesampainya di Mesir, ia menyerahkan tulang itu. Gemetar tangan Amr bin Ash memerimanya.
Gubernur langsung membatalkan pembangunan masjid itu. Serta mengembalikan hak Yahudi
itu. Yahudi itu semakin bingung. Bertanya ia pada sang gubernur. Gubernur menjawab,
“Apakah kau tidak tahu? Ini nasihat pahit dari amirul mukminin. Beliau berkata, Hai Amr bin Ash
jangan mentang-mentang kau berkuasa, belum menjadi tulang seperti ini. Sebelum kau menjadi
tulang ini, bertindaklah yang lurus dan adil seperti garis di tulang ini. Atau jika tidak, pedangku
yang akan meluruskanmu.”
Yahudi itu mengucapkan syahadat dan ia mengikhlaskan gubuknya sebagai area masjid. Itulah
Khalifah Umar, seorang Yahudi masuk islam berkat keadilan dari Umar

Sayidina Umar berkata, “Bagaimana seorang pemimpin memahami nasib rakyatnya jika
pemimpin itu belum merasakannya sendiri.” Itulah Sayidina Umar, seorang pemimpin yang
berjiwa pemimpin. Seorang yang mengambil urusan dunia seperlunya dan mengutamakan
urusan akhirat. Seorang pahlawan yang paling depan di medan perang, seorang imam yang
khusyu dalam shalat, paling berani dan kuat tetapi mudah menangis ketika beliau membaca
dan mendengar ayat-ayat Al Quran.
Masih banyak sikap-sikap beliau yang menjadi teladan bagi kita. Beliau telah membawa Islam
ke Byzantium hingga Persia. Semoga sepenggal kisah ini bisa menjadi sumbangan moril bagi
kita para pemuda calon pemimpim negeri ini.

sumber http://tipstriksib.blogspot.com/2013/05/kisah-teladan-sejarah-khalifah-sayyidina-Umar-bin-
Khattab.html#ixzz3VNMOGROE

Umar pernah berkata,

“Tidak halal bagiku harta yang diberikan Allah kecuali dua pakaian. Satu untuk dikenakan di musim dingin
dan satu lagi digunakan untuk musim panas. Adapun makanan untuk keluargaku sama saja dengan
makanan orang-orang Quraisy pada umumnya, bukan standar yang paling kaya di antara mereka. Aku
sendiri hanyalah salah seorang dari kaum muslimin.”

Jika menugaskan para gubernurnya, Umar akan menulis perjanjian yang disaksikan oleh kaum Muhajirin.
Umar mensyaratkan kepada mereka agar tidak menaiki kereta kuda, tidak memakan makanan yang
enak-enak, tidak berpakaian yang halus, dan tidak menutup pintu rumahnya kepada rakyat yang
membutuhkan bantuan. Jika mereka melanggar pesan ini maka akan mendapatkan hukuman.

Jika seseorang berbicara kepadanya menyampaikan berita, dan ia berbohong dalam sepatah atau dua
patah kalimat, maka Umar akan segera menegurnya dan berkata, “Tutup mulutmu, tutup mulutmu!” Maka
lelaki yang berbicara kepadanya berkata, “Demi Allah sesungguhnya berita yang aku sampaikan
kepadamu adalah benar kecuali apa yang engkau perintahkan aku untuk menutup mulut.”

Muawiyah bin Abi Sufyan berkata,”Adapun Abu Bakar, ia tidak sedikitpun menginginkan dunia dan dunia
juga tidak datang menghampirinya. Sedangkan Umar, dunia datang menghampirinya namun dia tidak
menginginkannya, adapun kita bergelimang dalam kenikmatan dunia.”

Pernah Umar dicela dan dikatakan kepadanya, “Alangkah baik jika engkau memakan makanan yang
bergizi tentu akan membantu dirimu supaya lebih kuat membela kebenaran.” Maka Umar berkata,
“Sesungguhnya aku telah ditinggalkan kedua sahabatku (yakni Rasulullah dan Abu Bakar) dalam
keadaan tegar (tidak terpengaruh dengan dunia), maka jika aku tidak mengikuti ketegaran mereka, aku
takut tidak akan dapat mengejar kedudukan mereka.”

Beliau selalu memakai jubah yang terbuat dari kulit yang banyak tambalannya, sementara beliau adalah
khalifah, berjalan mengelilingi pasar sambil membawa tongkat di atas pundaknya untuk memukul orang-
orang yang melanggar peraturan. Jika beliau melewati biji ataupun lainnya yang bermanfaat, maka beliau
akan mengambilnya dan melemparkannya ke halaman rumah orang.

Anas berkata, “Antara dua bahu dari baju Umar, terdapat empat tambalan, dan kainnya ditambal dengan
kulit. Pernah beliau khutbah di atas mimbar mengenakan kain yang memiliki 12 tambalan. Ketika
melaksanakan ibadah haji beliau hanya menggunakan 16 dinar, sementara beliau berkata pada anaknya,
“Kita terlalu boros dan berlebihan.”

Beliau tidak pernah bernaung di bawah sesuatu, tetapi beliau akan meletakkan kainnya di atas pohon
kemudian bernaung di bawahnya. Beliau tidak memiliki kemah ataupun tenda.

Ketika memasuki negeri Syam saat penaklukan Baitul Maqdis beliau mengendarai seekor unta yang telah
tua. Kepala beliau yang botak bersinar terkena matahari. Waktu itu beliau tidak mengenakan topi ataupun
surban. Kaki beliau menjulur ke bawah kendaraan tanpa pelana. Beliau membawa satu kantong yang
terbuat dari kulit yang digunakan sebagai alas untuk tidur jika beliau berhenti turun.

Ketika singgah di Baitul Maqdis beliau segera memanggil pemimpin wilayah itu dan berkata, “Panggil
kemari pimpinan wilayah ini.” Orang-orang segera memanggilnya, ketika hadir Umar berkata padanya,
“Tolong cucikan bajuku ini sekaligus jahitkan dan pinjami aku baju.” Maka dibawakan kepada beliau baju
yang terbuat dari katun. Beliau bertanya, “Apa ini?” Dikatakan kepadanya bahwa baju ini terbuat dari
katun. Beliau bertanya kepada mereka, “Apa itu katun? “ Mereka memberitahukan kepadanya apa itu
katun. Umar segera melepas bajunya lalu mencuci kemudian menjahitnya sendiri.

Diriwayatkan dari Anas ia berkata, “Aku pernah bersama Umar, kemudian beliau masuk ke kebun untuk
buang hajat, sementara jarak antara diriku dan dirinya hanyalah pagar kebun, aku dengar ia berkata pada
dirinya sendiri, “Hai Umar bin al-Khaththab, engkau adalah Amirul Mukminin, ya…engkau adalah Amirul
mukminin! Demi Allah takutlah engkau kepada Allah hai Ibn al-Khaththab, jika tidak Allah pasti akan
mengazabmu.”

Disebutkan bahwasanya Umar pernah membawa tempat air di atas pundaknya. Sebagian orang
mengkritiknya, namun beliau berkata, “Aku terlalu kagum terhadap diriku sendiri oleh karena itu aku ingin
menghinakannya.” Pernah beliau melaksanakan shalat Isya’ bersama kaum muslimin, setelah itu beliau
segera masuk ke rumah dan masih terus mengerjakan shalat hingga fajar tiba.

Pada tahun paceklik dan kelaparan, beliau tidak pernah makan kecuali roti dan minyak hingga kulit beliau
berubah menjadi hitam, beliau berkata, “Akulah sejelek-jelek penguasa apabila aku kenyang sementara
rakyatku kelaparan.”

Pada wajah beliau terdapat dua garis hitam disebabkan banyak menangis. Terkadang beliau mendengar
ayat Allah dan jatuh pingsan karena perasaan takut, hingga terpaksa dibopong ke rumah dalam keadaan
pingsan. Kemudian kaum muslimin menjenguk beliau beberapa hari, padahal beliau tidak memiliki
penyakit yang membuat beliau pingsan kecuali perasaan takutnya.

Thalhah bin Ubaidillah berkata, “Suatu ketika Umar keluar dalam kegelapan malam dan masuk ke salah
satu rumah, maka pada pagi hari aku mencari rumah tersebut dan aku datangi, ternyata dalam rumah itu
terdapat seorang perempuan tua yang buta sedang duduk. Aku tanyakan kepadanya, “Mengapa lelaki ini
(Umar) datang ke rumahmu?” Wanita itu menjawab, “Ia selalu mengunjungiku setiap beberapa hari sekali
untuk membantuku membersihkan dan mengurus segala keperluanku.” Aku berkata kepada diriku,
“Celakalah dirimu wahai Thalhah, kenapa engkau memata-matai Umar?”

Aslam Maula Umar, pengawal Umar, berkata, “Pernah datang ke Madinah satu rombongan saudagar,
mereka segera turun di mushalla, maka Umar berkata kepada Abdurrahman bin Auf, “Bagaimana jika
malam ini kita menjaga mereka?” Abdurrahman berkata, “Ya, aku setuju!” Maka keduanya menjaga para
saudagar tersebut sepanjang malam sambil shalat. Namun tiba-tiba Umar mendengar suara anak kecil
menangis, segera Umar menuju tempat anak itu dan bertanya kepada ibunya, “Takutlah engkau kepada
Allah dan berbuat baiklah dalam merawat anakmu.” Kemudian Umar kembali ke tempatnya. Kemudian ia
mendengar lagi suara bayi itu dan ia mendatangi tempat itu kembali dan bertanya kepada ibunya seperti
pertanyaan beliau tadi.

Setelah itu Umar kembali ke tempatnya semula. Di akhir malam dia mendengar bayi tersebut menangis
lagi. Umar segera mendatangi bayi itu dan berkata kepada ibunya, “Celakalah engkau, sesungguhnya
engkau adalah ibu yang buruk, kenapa aku mendengar anakmu menangis sepanjang malam?” Wanita
yang tidak mengenali Umar itu menjawab, “Hai tuan, sesungguhnya aku berusaha menyapihnya dan
memalingkan perhatiannya untuk menyusu tetapi dia masih tetap ingin menyusu. Umar bertanya,
“Kenapa engkau akan menyapihnya?” Wanita itu menjawab, “Karena Umar hanya memberikan jatah
makan terhadap anak-anak yang telah disapih saja.” Umar bertanya kepadanya, “Berapa usia anakmu?”
Dia menjawab baru beberapa bulan saja.” Maka Umar berkata, “Celakalah engkau kenapa terlalu cepat
engkau menyapihnya?” Maka ketika shalat subuh bacaan Umar nyaris tidak terdengar jelas oleh para
makmum disebabkan tangisnya.

Beliau lalu berkata, “Celakalah engkau hai Umar berapa banyak anak-anak bayi kaum muslimin yang
telah engkau bunuh.” Setelah itu ia menyuruh salah seorang pegawainya untuk mengumumkan kepada
seluruh orang, “Janganlah kalian terlalu cepat menyapih anak-anak kalian, sebab kami akan memberikan
jatah bagi setiap anak yang lahir dalam Islam.” Umar segera menyebarkan berita ini ke seluruh daerah
kekuasaannya.
Aslam berkata, “Pernah suatu malam aku keluar bersama Umar ke luar kota Madinah. Kami melihat ada
sebuah tenda dari kulit, dan segera kami datangi, ternyata di dalamnya ada seorang wanita sedang
menangis. Umar bertanya tentang keadaannya, dan dia menjawab, “Aku adalah seorang wanita Arab
yang akan bersalin (melahirkan) sedangkan aku tidak memiliki apapun.” Umar menangis dan segera
berlari menuju rumah Ummu Kaltsum binti Ali bin Abi Thalib, istrinya, dan berkata, “Apakah engkau mau
mendapatkan pahala yang akan Allah karuniakan kepadamu?” Segera Umar memberitakan padanya
mengenai wanita yang dilihatnya tadi, maka istrinya berkata, “Ya, aku akan membantunya.” Umar segera
membawa satu karung gandum beserta daging di atas bahunya, sementara Ummu Kaltsum membawa
peralatan yang dibutuhkan untuk bersalin, keduanya berjalan mendatangi wanita tersebut. Sesampainya
di sana Ummu Kaltsum segera masuk ke tempat wanita itu, sementara Umar duduk bersama suaminya,
yang tidak mengenal Umar, sambil berbincang-bincang.

Akhirnya wanita itu berhasil melahirkan seorang bayi. Ummu Kaltsum berkata kepada Umar, “Wahai
Amirul Mukminin sampaikan berita gembira kepada suaminya bahwa anaknya yang baru lahir adalah
lelaki.” Ketika lelaki itu mendengar perkataan Amirul Mukminin ia merasa sangat kaget dan minta maaf
kepada Umar. Namun Umar berkata kepadanya, “Tidak mengapa.” Setelah itu Umar memberikan kepada
mereka nafkah dan apa yang mereka butuhkan lantas beliaupun pulang.

Aslam berkata, “Suatu malam aku keluar bersama Umar bin al-Khaththab ke dusun Waqim. Ketika kami
sampai di Shirar, kami melihat ada api yang dinyalakan. Umar berkata, “Wahai Aslam di sana ada
musafir yang kemalaman, mari kita berangkat menuju mereka.” Kami segera mendatangi mereka dan
ternyata di sana ada seorang wanita bersama anak-anaknya sedang menunggu periuk yang diletakkan
ke atas api, sementara anak-anaknya sedang menangis. Umar bertanya, “Assalamu alaiki wahai pemilik
api.” Wanita itu menjawab, “Wa alaika as-Salam,” Umar berkata, “Kami boleh mendekat?” Dia menjawab,
“Silahkan!” Umar segera mendekat dan bertanya, “Ada apa gerangan dengan kalian?” Wanita itu yang
juga tak mengenali Umar menjawab, “Kami kemalaman dalam perjalanan serta kedinginan.” Umar
kembali bertanya, “Kenapa anak-anak itu menangis?” Wanita itu menjawab, “Karena lapar.” Umar
kembali bertanya, “Apa yang engkau masak di atas api itu?” Dia menjawab, “Air agar aku dapat
menenangkan mereka hingga tertidur. Dan Allah kelak yang akan jadi hakim antara kami dengan Umar.”

Maka Umar menangis dan segera berlari pulang menuju gudang tempat penyimpanan gandum. Ia segera
mengeluarkan sekarung gandum dan satu ember daging, sambil berkata, “Wahai Aslam naikkan karung
ini ke atas pundakku.” Aslam berkata, “Biar aku saja yang membawanya untukmu.” Umar menjawab
apakah engkau mau memikul dosaku kelak di hari kiamat?” Maka beliau segera memikul karung tersebut
di atas pundaknya hingga mendatangi tempat wanita itu. Setelah meletakkan karung tersebut beliau
segera mengeluarkan gandum dari dalamnya dan memasukkannya ke dalam periuk. Setelah itu ia
memasukkan daging ke dalamnya. Umar berusaha meniup api di bawah periuk hingga asap menyebar di
antara jenggotnya untuk beberapa saat. Setelah itu Umar menurunkan periuk dari atas api dan berkata,
“Berikan aku piring kalian!” Setelah piring diletakkan segera Umar menuangkan isi periuk ke dalam piring
itu dan menghidangkannya kepada anak-anak wanita itu dan berkata, “Makanlah!” Maka anak-anak itu
makan hingga kenyang, wanita itu berdoa untuk Umar agar diberi ganjaran pahala sementara dia sendiri
tidak mengenal Umar.

Umar masih bersama mereka hingga anak-anak itu tertidur pulas. Setelah itu Umar memberikan kepada
mereka nafkah lantas pulang. Umar berkata kepadaku, “Wahai Aslam sesungguhnya rasa laparlah yang
membuat mereka begadang dan tidak dapat tidur.”

Semoga sepenggal kisah yang penuh hikmah kehidupan Umar bin Khattab sewaktu menjadi khalifah ini
bermanfaat.
sumber   http://horizonwatcher.blogdetik.com/2011/06/10/kisah-penuh-hikmah-ketika-umar-bin-
khattab-sebagai-khalifah/

Yarmuk -wilayah perbatasan dengan Syria. Umar tidak memberitakan kepada pasukannya bahwa
Abu Bakar telah wafat dan ia yang sekarang menjadi khalifah. Ia tidak ingin mengganggu
konsentrasi pasukan yang tengah melawan kerajaan Romawi itu.

Di Yarmuk, keputusan Abu Bakar untuk mengambil markas di tempat itu dan kecerdikan serta
keberanian Khalid bin Walid membawa hasil. Muslim bermarkas di bukit-bukit yang menjadi
benteng alam, sedangkan Romawi terpaksa menempati lembah di hadapannya. Puluhan ribu
pasukanRomawi -baik yang pasukan Arab Syria maupun yang didatangkan dari Yunani-tewas.
Lalu terjadilah pertistiwa mengesankan itu.

Panglima Romawi, Gregorius Theodore -orang-orang Arab menyebutnya “Jirri Tudur”– ingin
menghindari jatuhnya banyak korban. Ia menantang Khalid untuk berduel. Dalam pertempuran
dua orang itu, tombak Gregorius patah terkena sabetan pedang Khalid. Ia ganti mengambil
pedang besar. Ketika berancang-ancang perang lagi, Gregorius bertanya pada Khalid tentang
motivasinya berperang serta tentang Islam.

Mendengar jawaban Khalid, di hadapan ratusan ribu pasukan Romawi dan Muslim, Gregorius
menyatakan diri masuk Islam. Ia lalu belajar Islam sekilas, sempat menunaikan salat dua rakaat,
lalu bertempur di samping Khalid. Gregorius syahid di tangan bekas pasukannya sendiri. Namun
pasukan Islam mencatat kemenangan besar di Yarmuk, meskipun sejumlah sahabat meninggal di
sana. Di antaranya adalah Juwariah, putri Abu Sofyan.

Umar kemudian memecat Khalid, dan mengangkat Abu Ubaidah sebagai Panglima Besar
pengganti. Umar khawatir, umat Islam akan sangat mendewakan Khalid. Hal demikian
bertentangan prinsip Islam. Khalid ikhlas menerima keputusan itu. “saya berjihad bukan karena
Umar,” katanya. Ia terus membantu Abu Ubaidah di medan tempur. Kota Damaskus berhasil
dikuasai. Dengan menggunakan “tangga manusia”, pasukan Khalid berhasil menembus benteng
Aleppo. Kaisar Heraklius dengan sedih terpaksa mundur ke Konstantinopel, meninggalkan
seluruh wilayah Syria yang telah lima abad dikuasai Romawi.

Penguasa Yerusalem juga menyerah. Namun mereka hanya akan menyerahkan kota itu pada
pemimpin tertinggi Islam. Maka Umar pun berangkat ke Yerusalem. Ia menolak dikawal
pasukan. Jadilah pemandangan ganjil itu. Pemuka Yerusalem menyambut dengan upacara
kebesaran. Pasukan Islam juga tampil mentereng. Setelah menaklukkan Syria, mereka kini hidup
makmur.Lalu Umar dengan bajunya yang sangat sederhana datang menunggang unta merah. Ia
hanya disertai seorang pembantu. Mereka membawa sendiri kantung makanan serta air.

Kesederhanaan Umar itu mengundang simpati orang-orang non Muslim. Apalagi kaum
GerejaSyria dan Gereja Kopti-Mesir memang mengharap kedatangan Islam. Semasa kekuasaan
Romawi mereka tertindas, karena yang diakui kerajaan hanya Gereja Yunani. Maka, Islam
segera menyebar dengan cepat ke arah Memphis (Kairo), Iskandaria hingga Tripoli, di bawah
komandoAmr bin Ash dan Zubair, menantu Abu Bakar.
Ke wilayah Timur, pasukan Saad bin Abu Waqas juga merebut Ctesiphon –pusat kerajaan
Persia,pada 637 Masehi. Tiga putri raja dibawa ke Madinah, dan dinikahkan dengan Muhammad
anak Abu Bakar, Abdullah anak Umar, serta Hussein anak Ali. Hussein dan istrinya itu
melahirkan Zainal Ali Abidin -Imam besar Syiah.

Dengan demikian, Zainal mewarisi darah Nabi Muhammad, Ismail dan Ibrahim dari ayah, serta
darah raja-raja Persia dari ibu. Itu yang menjelaskan mengapa warga Iran menganut aliran Syiah.
Dari Persia, Islam kemudian menyebar ke wilayah Asia Tengah, mulai Turkmenistan, Azerbaijan
bahkan ke timur ke wilayah Afghanistan sekarang.

Banyak Sekali Sifat-sifat teladan yang patut kita contoh dari Seorang Umar Bin Khatab, Salah
satunya adalah, Suatu ketika Umar bin Khattab sedang berkhotbah di masjid di kota Madinah
tentang keadilan dalam pemerintahan Islam. Pada saat itu muncul seorang lelaki asing dalam
masjid , sehingga Umar menghentikan khotbahnya sejenak, kemudian ia melanjutkan.

“Sesungguhnya seorang pemimpin itu diangkat dari antara kalian bukan dari bangsa lain.
Pemimpin itu harus berbuat untuk kepentingan kalian, bukan untuk kepentingan dirinya,
golongannya, dan bukan untuk menindas kaum lemah. Demi Allah, apabila ada di antara
pemimpin dari kamu sekalian menindas yang lemah, maka kepada orang yang ditindas itu
diberikan haknya untuk membalas pemimpin itu. Begitu pula jika seorang pemimpin di antara
kamu sekalian menghina seseorang di hadapan umum, maka kepada orang itu harus diberikan
haknya untuk membalas hal yang setimpal.”

Selesai khalifah berkhotbah, tiba-tiba lelaki asing tadi bangkit seraya berkata; “Ya Amiirul
Muminin, saya datang dari Mesir dengan menembus padang pasir yang luas dan tandus, serta
menuruni lembah yang curam. Semua ini hanya dengan satu tujuan, yakni ingin bertemu dengan
Tuan.”

“Katakanlah apa tujuanmu bertemu denganku,” ujar Umar.

“Saya telah dihina di hadapan orang banyak oleh Amr bin Ash, gubernur Mesir. Dan sekarang
saya akan menuntutnya dengan hukum yang sama.”

“Ya saudaraku, benarkah apa yang telah engkau katakan itu?” tanya khalifah Umar ragu-ragu.

“Ya Amiirul Muminin, benar adanya.”

“Baiklah, kepadamu aku berikan hak yang sama untuk menuntut balas. Tetapi, engkau harus
mengajukan empat orang saksi, dan kepada Amr aku berikan dua orang pembela. Jika tidak ada
yang membela gubernur, maka kau dapat melaksanakan balasan dengan memukulnya 40 kali.”

“Baik ya Amiirul Muminin. Akan saya laksanakan semua itu,” jawab orang itu seraya berlalu. Ia
langsung kembali ke Mesir untuk menemui gubernur Mesir Amr bin Ash.

Ketika sampai ia langsung mengutarakan maksud dan keperluannya. “Ya Amr, sesungguhnya
seorang pemimpin diangkat oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat. Dia diangkat bukan untuk
golongannya, bukan untuk bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya, dan bukan pula
untuk menindas yang lemah dan mengambil hak yang bukan miliknya. Khalifar Umar telah
memberi izin kepada saya untuk memperoleh hak saya di muka umum.”

“Apakah kamu akan menuntut gubernur?” tanya salah seorang yang hadir.

“Ya, demi kebenaran akan saya tuntut dia,” jawab lelaki itu tegas.

“Tetapi, dia kan gubernur kita?”

“Seandainya yang menghina itu Amiirul Muminin, saya juga akan menuntutnya.”

“Ya, saudara-saudaraku. Demi Allah, aku minta kepada kalian yang mendengar dan melihat
kejadian itu agar berdiri.”

Maka banyaklah yang berdiri.

“Apakah kamu akan memukul gubernur?” tanya mereka.

“Ya, demi Allah saya akan memukul dia sebanyak 40 kali.”

“Tukar saja dengan uang sebagai pengganti pukulan itu.”

“Tidak, walaupun seluruh masjid ini berisi perhiasan aku tidak akan melepaskan hak itu,”
jawabnya .

“Baiklah, mungkin engkau lebih suka demi kebaikan nama gubernur kita, di antara kami mau
jadi penggantinya,” bujuk mereka.

“Saya tidak suka pengganti.”

“Kau memang keras kepala, tidak mendengar dan tidak suka usulan kami sedikit pun.”

“Demi Allah, umat Islam tidak akan maju bila terus begini. Mereka membela pemimpinnya yang
salah dengan gigih karena khawatir akan dihukum,” ujarnya seraya meninggalkan tempat.

Amr binAsh serta merta menyuruh anak buahnya untuk memanggil orang itu. Ia menyadari
hukuman Allah di akhirat tetap akan menimpanya walaupun ia selamat di dunia.

“Ini rotan, ambillah! Laksanakanlah hakmu,” kata gubernur Amr bin Ash sambil
membungkukkan badannya siap menerima hukuman balasan.

“Apakah dengan kedudukanmu sekarang ini engkau merasa mampu untuk menghindari hukuman
ini?” tanya lelaki itu.

“Tidak, jalankan saja keinginanmu itu,” jawab gubernur.


“Tidak, sekarang aku memaafkanmu,” kata lelaki itu seraya memeluk gubernur Mesir itu sebagai
tanda persaudaraan. Dan rotan pun ia lemparkan.

Umar wafat pada tahun 23 Hijriah atau 644 Masehi. Saat salat subuh, seorang asal Parsi Firuz
menikamnya dan mengamuk di masjid dengan pisau beracun. Enam orang lainnya tewas,
sebelum Firus sendiri juga tewas. Banyak dugaan mengenai alasan pembunuhan tersebut. Yang
pasti,ini adalah pembunuhan pertama seorang muslim oleh muslim lainnya.

Umar bukan saja seorang yang sederhana, tapi juga seorang yang berani berijtihad. Yakni
melakukan hal-hal yang tak dilakukan Rasul. Untuk pemerintah, ia membentuk departemen-
departemen.Ia tidak lagi membagikan harta pampas an perang buat pasukannya, melainkan
menetapkan gaji buat mereka. Umar memulai penanggalan Hijriah, dan melanjutkan
pengumpulan catatan ayat Quran yang dirintis Abu Bakar. Ia juga memerintahkan salat tarawih
berjamaah.

Anda mungkin juga menyukai