co, Depok– Nama Umar Bin Khattab sudah sangat populer bagi
umat muslim di seluruh dunia. Umar bin Khattab merupakan khalifah kedua.
Kisahnya pun sudah sering kita dengar dari para ustad, ulama, dan buku-
buku tentang islam.
Umar bukanlah seorang yang lahir dalam keadaan Islam. Ia sempat merasakan
kehidupan kejahiliyah di Mekkah. Sebab, umar terlahir dari Suku Bani Adi, salah
satu suku Quraisy yang terbesar di Mekkah saat itu. Umar bukanlah seseorang
yang terlahir dari keluarga yang biasa, ia merupakan salah satu anak di
sukunya yang cukup cerdas, ia dapat membaca dan juga ia bisa menulis.
Dimana kedua hal tersebut merupakan sesuatu yang langka di zamannya.
Meskipun pada awalnya sosok Umar bin Khattab merupakan penentang agama
yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Ia sangat beringas dan tegas untuk
tidak menerima agama Muhammad. Tetapi karena keyakinan hati dan hidayah
dari Allah Umar pun mempercayai agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah.
Sebelum masuk Islam Umar bin Khattab memang sudah menjadi orang yang
disegani oleh orang-orang Mekkah. Sebab, Umar merupakan sosok yang
pemberani, tegas, dan memiliki tubuh yang kekar. Sebagai teladan bagi kaum
muslimin, banyak sifat-sifat dari Umar bin Khattab yang wajib kita ikuti.
Umar mengatakan bahwa lebih baik harta rampasan perang untuknya yang
berupa kebun pertanian, untuk diberikan kepada para fakir miskin. Ia
mengatakan harta rampasan perang tersebut lebih baik diberikan kepada orang
yang lebih miskin dari dirinya. Bahkan Umar sering menggunakan hartanya
untuk membebaskan para hamba sahaya dan budak-budak yang disiksa oleh
para majikan.
Suatu waktu Umar sedang berkeliling dengan sahabatnya yang bernama Aslam.
Lalu, mereka berdua ketika sedang berjalan mendengar suara tangisan anak
kecil. Umar dan Aslam pun mencari suara tersebut, hingga berhenti di sebuah
rumah yang kecil.
Lalu didalam rumah tersebut Umar melihat seorang ibu yang sedang memasak.
Umar pun bertanya kepada ibu tersebut mengapa anaknya menangis dan ibu
tersebut tetap memasak. Ibu tersebut pun mengatakan anaknya menangis
karena kelaparan. Lalu, Umar mengapa anak kelaparan sang ibu tidak selesai
memasak. Akhirnya Umar melihat apa yang sedang di masak ibu tersebut.
Umar pun kaget, yang di masak adalah batu. Akhirnya pada saat itu Umar
kembali ke rumah dan mengambil satu karung gandum untuk diserahkan
kepada ibu tersebut agar anaknya tidak kelaparan.
Khalifah Umar bin Khattab juga dikenal sebagai pemimpin yang adil, dalam
menegakkan keadilan Umar tidak pernah memandang siapapun. Meski yang
berbuat salah adalah saudaranya sendiri maupun orang yang disegani. Keadilan
yah keadilan.
Keberanian Umar ditunjukan ketika ia dan kaum muslimin ingin hijrah dari
Mekkah ke Madinah. Saat itu semua umat muslim hijrah dengan sembunyi-
sembunyi. Tetapi Umar tidak melakukannya dengan sembunyi-sembunyi.
Ia pun ketika itu menemui para pemuka Quraisy sambil berkata : “Siapa yang
ingin ibunya mati nelangsa, anaknya jadi yatim, dan istrinya menjadi janda,
maka silahkan menghadapi aku di balik lembah ini, dengan syarat tidak ada
seorangpun yang menyertainya. “
Setelah Umar berkata seperti itu, tidak ada satupun kaum Quraisy yang berani
menghadangnya untuk hijrah ke Madinah.
Baca Juga : KH. Hasyim Asy’ari: Pahlawan Agama Islam dan Pahlawan Nasional
Banyak sekali contoh pemimpin yang luar biasa dalam sejarah. Salah satu favorit saya adalah
Umar bin Khatab. Waktu Umar dipilih menggantikan Abu Bakar sebagai khalifah, pemimpin
umat, Umar menganggapnya sebagai tanggung jawab yang sangat besar. “Lebih baik saya
menjadi Umar saja, bukan pemimpin umat, karena tanggung jawabnya besar sekali nanti di
akhirat.” Jadi posisi penting sebagai pemimpin bukanlah hadiah yang disambut gembira oleh
Umar, tapi sesuatu yang tidak ia inginkan karena sangat serius dan bisa memberatkan di akhirat.
Padahal ia adalah salah satu sahabat terdekat Rasulullah saw, pastilah posisinya sudah dijamin di
surga.
Dan demikian pula keluarganya. Banyak pemimpin dan keluarganya yang menjadi mewah
hidupnya setelah menjadi pemimpin, paling jor-joran dan kebal hukum pula. Tapi Umar jauh
dari sifat seperti itu.
Umar menjadikan keluarganya sebagai penopang penting dalam menjalankan tugasnya. Semua
anaknya dikumpulkan di awal masa kepemimpinannya, dan semua diminta untuk tidak mentang-
mentang. Justru karena mereka adalah keluarga dari Amirul Mukminin, pemimpin umat, mereka
harus ikut memikul tanggung jawab yang berat pula.
Saat ada peraturan yang akan ditetapkan, Umar memanggil pula keluarganya untuk berdiskusi
dan kemudian mengatakan, “Kalau sampai ada keluarga Umar yang tidak taat, akan kutetapkan
hukuman dua kali lipat daripada orang biasa, karena kalian adalah keluarga Umar.” Justru
keluarga pemimpin harus memberi contoh ketaatan sebagai warga yang baik. Bukan mentang-
mentang keluarga khalifah lalu mereka kebal hukum.
Salah satu anaknya pernah dilihatnya makan daging. Dipanggilnya anaknya tersebut. “Lihat
rakyat di sana, masih banyak yang makan roti keras, dan kamu seenaknya makan daging.”
Semua harus ikut prihatin, sampai tidak ada lagi yang tidak bisa makan daging, baru anaknya
boleh makan daging. Keluarga pemimpin harus menjadi yang terakhir menikmati kemewahan,
hanya kalau semua sudah bisa menikmati hal yang sama.
Pemimpin dan keluarganya hanya mendapat jatah kalau ada pembagian, kalau ada sisa.
Hafsa, putrinya yang juga istri Rasulullah saw, pernah mengatakan saat ada pembagian harta,
“Ayah, sebagai kerabat khalifah, bolehkah kami mendapat bagian khusus?” Jawab Umar,
“Karena kamu kerabatku, kamu dapat bagianku nanti, kalau masih ada sisa.” Jadi justru karena
kerabat, Hafsa hanya bisa mendapatkan jatah Umar, yang hanya diambil kalau ada sisa. Yang
lain lebih prioritas.
Suatu saat Umar pernah harus berhutang. Maka Hafsa memberikan saran, “Ayah, mungkinkan
sudah saatnya kau naik gaji, jadi kau bisa bayar hutang.” Dimarahinya Hafsa. Tidak ada naik gaji
selama rakyat seluruhnya makmur. Maka Umar pun harus menjual rumahnya agar bisa menutup
hutangnya. Tidak ada cerita pemimpin seenaknya mempengaruhi kebijakan gaji untuk memenuhi
kebutuhan pribadi.
Pernah pula seorang sahabatnya datang menemuinya di tempat kerjanya. Sebelum mereka
bercakap-cakap Umar mematikan pelitanya sehingga ruangan menjadi gelap. Lalu ia berkata,
“Minyak yang menjadi bahan bakar lampu ini dibiayai negara.”
Salah satu anaknya pernah mengelola sapi, dan sapi-sapinya berkembang biak menjadi banyak
dan gemuk-gemuk. Umar sangat khawatir rakyat menilainya memberikan kemudahan pada
bisnis anaknya. Maka dipanggilnya anaknya, “Kau jual saja sapi-sapimu, dan keuntungannya
kauberikan pada kas negara agar bisa diberikan pada masyarakat luas.” Menjadi keluarga
pemimpin bukan berarti lantas mendapat kemudahan dalam berbisnis, malah diwajibkan untuk
menjadi penyumbang utama bagi kas negara.
Umar selalu menyempatkan diri berkeliling semua wilayah-wilayah yang dikuasainya, atau
dalam pandangan Umar, “yang dilayaninya,” untuk melihat kondisi rakyatnya. Ia selalu
memastikan tidak ada yang lapar, tidak ada yang melarat. Maka di masa Umar rakyatnya
sejahtera dan sangat mencintai Umar.
Begitu banyak contoh yang Umar berikan pada kita semua untuk menjadi pemimpin yang baik.
Yuk, kita teladani Umar bin Khatab, Khalifah kedua pengganti Rasulullah saw, yang sangat
bijaksana, adil dan rendah hati. Karena sesungguhnya Allah menciptakan semua manusia sebagai
pemimpin. Pertama bagi diri sendiri, dan kedua baru bagi orang lain.
Kita semua bisa menjadi pemimpin karena kita semua bisa melayani.
Apakah yang saat ini dapat kita lakukan dengan lebih baik lagi sebagai pemimpin?
Bagaimanakah kita dapat terus konsisten menajaga agar kita terus lebih baik lagi setiap hari
sebagai pemimpin?
Dan bagaimanakah kita dapat mengajak orang lain untuk turut menjadi pemimpin yang lebih
baik lagi bagi dirinya dan orang lain?