“Umar, Engkau Berlaku Adil, Engkau Pun Bisa Merasa Aman dan Tidur Nyaman”
Kaisar Romawi mengirim seorang utusan kepada Umar bin Khattab untuk melihat
kondisinya dan melihat langsung tindakan-tindakan yang ia lakukan. Sesampainya di Madinah,
utusan tersebut bertanya kepada penduduk setempat, “Mana raja kalian?” Orang-orang
menjawab, “Kami tidak punya raja. Kami hanya punya seorang amir. Saat ini, ia sedang keluar
Madinah.” Utusan tersebut kemudian mencari-cari Umar, lalu melihatnya sedang tidur di bawah
terik matahari di atas pasir panas berbantal jubah dengan keringat mengucur dari pelipis hingga
membasahi tanah.
Melihat Umar dalam kondisi seperti itu, ketenangan ia rasakan di dalam hatinya lalu
berkata, “Para raja tidak pernah tenang seperti halnya seseorang yang kondisinya seperti ini!
Kamu berlaku adil Umar, sehingga kamu bisa merasa aman dan kamu pun bisa tidur nyaman.
Raja kami berlaku zhalim, sehingga ia selalu terjaga karena takut. Aku bersaksi bahwa agamamu
adalah agama yang benar. Andai saja aku bukan datang sebagai seorang utusan, tentu aku masuk
Islam. Aku akan kembali lagi untuk masuk Islam.” begitulah keteladanan umar bin khattab
dalam hal keadilan, sehingga diakui baik oleh pihak utusan romawi.
Al-Faruq Umat dan lbu Anak-anak Yatim
Suatu malam, sekali lagi keteladanan Umar bin Khattab Amirul Mukminin ditunjukkan
kepada pelayannya Aslam. Malam itu mereka keluar menyusuri jalanan Madinah Al-
Munawwarah untuk memastikan kondisi rakyat. Tiba-tiba, ia melihat sebuah pemandangan aneh!
Di tengah kegelapan nan pekat, ia melihat api menyala dari kejauhan. Saat Amirul Mukminin
Umar bersama pelayannya, Aslam, mendekat, rupanya ada seorang wanita tengah menyalakan
api dan meletakkan wadah besar di atasnya. Di dekatnya ada anak-anak kecil yang sedang
menangis karena lapar.
Yang satu berkata, “lbu, aku ingin makan.” Yang lain berkata, “Ibu, aku akan mati
kelaparan.” Yang satunya lagi hanya menangis tanpa bisa berkata. Umar tersentak melihat
pemandangan yang terpampang. Ia kemudian bertanya kepada wanita itu kenapa anak-anaknya
menangis. lbu itu menjawab, “Mereka menangis karena lapar dan dingin.” Umar melihat wadah
yang diletakkan di atas api dan bertanya, “Bukankah ada makanan di dalam wadah itu?”
Dengan air mata berlinang, ibu itu berkata, “Itu hanya air yang aku masak di atas api agar
mereka ini diam dan tidur. Demi Allah, kami punya urusan dengan Umar.” Si ibu itu tidak tahu
bahwa orang yang sedang berbicara dengannya itu Amirul Mukminin, Umar.
Umar berkata kepadanya, “Bagaimana Umar bisa tahu kondisimu?”. Wanita itu berkata,
“Subhanallah! Ia memimpin kami dan melupakan kami.”
Ibadah Umar
Meski Al-Faruq Umar memikul beban pikiran umat secara keseluruhan, namun ia tidak
pernah melupakan bagian ibadah sebagai bekal untuk meniti perjalanan menuju negeri akhirat.
Di akhir-akhir usia, Umar terus berpuasa dan tidak pernah lowong, selain pada hari raya Idul
Fitri dan Adha. Ia rutin mengerjakan shalat malam seperti yang dikehendaki Allah untuk ia
kerjakan, lalu setelah itu membangunkan keluarganya dan berkata, “Shalat, shalat!” sambil
membaca ayat ini, “Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan shalat dan sabar dalam
mengerjakannya.” (Thaha [20] : 132).
Saat dikatakan kepadanya, “Apa kamu tidak tidur?” Ia berkata, “Jika aku tidur pada siang
hari tentu aku menyia-nyiakan rakyat, dan jika aku tidur pada malam hari, tentu aku menyia-
nyiakan diriku’.”
Begitu kagumnya para sahabat terhadap ibadah Umar, sampai-sampai ada seseorang,
namanya Utsman bin Abu Ash, menikahi salah satu istri Umar setelah Umar wafat, setelah masa
iddahnya berakhir. Saat ditanya alasannya, ia menjawab, “Demi Allah, aku hanya menikahinya
bukan karena harta ataupun anak. Tapi aku menikahinya agar ia memberitahu kepadaku seperti
apa malamnya Umar, bagaimana ia beribadah pada malam hari.”
Umar Al-Faruq Mengikuti Sunnah dengan Baik
Suatu ketika Umar mencium Hajar Aswad dan mengatakan, “Sungguh, aku tahu kamu ini
batu yang tidak bisa menimpakan mara bahaya ataupun memberi manfaat. Andai saja aku tidak
melihat Rasulullah menciummu, tentu aku tidak menciummu.”
Nafi’ menuturkan, “Orang-orang banyak mendatangi pohon tempat Rasulullah
melangsungkan Baiatur Ridhwan, lalu mereka shalat di dekat pohon itu. Hal itu terdengar Umar,
ia pun menyampaikan ancaman terkait hal itu dan memerintahkan agar ditebang, pohon tersebut
akhirnya ditebang.”
Umar memerintahkan untuk menebang pohon tersebut karena khawatir orang-orang
mengiranya dapat memberikan manfaat atau mendatangkan mara bahaya, sehingga mereka
menyembahnya selain Allah seiring perjalanan waktu.