Anda di halaman 1dari 5

Keteladanan Umar Bin Khattab

Al-Faruq sangat gigih menegakkan keadilan selama kekhalifaannya. Karena itulah ia


memilih para gubernur secara selektif. Ia tidak menyerahkan kekuasaan kepada orang ambisius.
Umar bin Khattab hanya menyerahkan kekuasaan kepada orang zuhud, menjaga diri dan
bertakwa. Umar selalu mengikuti berita mereka dan memerintahkan mereka agar
memperlakukan rakyat dengan baik. Keteladanan Umar bin Khattab nampak ketika dalam satu
riwayat yang diriwayatkan dari Abu Utsman, ia menuturkan, “Umar menunjuk salah seorang dari
Bani Asad untuk memegang suatu jabatan. Ia kemudian masuk untuk mengucapkan salam pada
Umar, salah satu anak Umar masuk lalu Umar menciumnya. Orang dari Bani Asad tersebut
berkata, “Wahai Amirul Mukminin! Engkau mencium anak? Demi Allah, aku tidak pernah
mencium anakku sekalipun.”
Umar berkata, “Demi Allah! Berarti kamu lebih tidak sayang pada anak orang lain.
Jangan lagi menjabat apapun untukku.” Umar kemudian mencopotnya dari jabatan yang ia
pegang. Atau ia mengatakan, “Apa salahku jika Allah mencabut kasih sayang dari hatimu.
Karena Allah hanya menyayangi hamba-hamba-Nya yang penyayang.” Umar melanjutkan,
“Robek surat keputusan itu, karena jika dia tidak sayang pada anak-anaknya sendiri, bagaimana
bisa menyayangi rakyat?”.

Keteladanan Umar bin Khattab Selaku Imam yang Baik


Suatu hari, Umar bin Khattab menerima hadiah manisan. Belum juga hadiah diletakkan
di hadapannya, ia lebih dulu bertanya kepada utusan yang membawa hadiah tersebut, “Apa ini?”,
“Manisan buatan penduduk Adzribaijan. Manisan ini dikirimkan Utbah bin Farqad untukmu,”
jawab utusan tersebut. Utbah adalah gubernur Adzribaijan. Umar mencicipi manisan tersebut,
dan ternyata rasanya enak. Umar kembali bertanya kepada utusan, “Apakah seluruh kaum
muslimin di sana memakan makanan ini?” Utusan itu menjawab, “Tidak. Itu makanan orang-
orang khusus.” Umar kemudian bertanya kepada utusan, “Mana untamu? Ambillah untamu,
bawa kembali makanan ini kepada Utbah, dan katakan kepadanya, ‘Bertakwalah kepada Allah
dan kenyangkan kaum muslimin dengan makanan yang membuatmu kenyang.”
“Demi Allah, Aku Tidak Akan Pernah Melupakannya”
Kisah keteladanan Umar bin Khattab lainnya diriwayatkan dari Iyas bin Salamah, dari
ayahnya, ia berkata, “Suatu ketika, Umar bin Khattab melintas, saat itu aku sedang berada di
pasar. Umar saat itu lewat untuk suatu keperluan dengan membawa tongkat kecil. Ia berkata,
“Menyingkirlah dari jalanan, wahai Salamah.” Setelah itu ia memukulku dengan tongkat tersebut
secara pelan dan hanya mengenai ujung bajuku. Aku lantas menyingkir dari jalanan. Umar diam
tidak mau berbicara kepadaku hingga tahun berikutnya.
Suatu hari ia berpapasan denganku di pasar. Ia bertanya, “Hai Salamah, apa tahun ini
kamu hendak melaksanakan ibadah haji?”, “Ya, wahai Amirul Mukminin, jawabku. Umar
kemudian meraih tanganku dan tidak melepasnya hingga membawaku masuk ke dalam
rumahnya. Setelah itu Umar mengeluarkan kantong uang berisi 600 dirham. Ia berkata, “Wahai
Salamah, manfaatkan uang ini. Ketahuilah, uang ini sebagai ganti rugi atas pukulan yang pernah
aku lakukan setahun yang lalu.” Aku berkata, “Demi Allah, wahai Amirul Mukminin, aku baru
teringat saat kamu menyebutnya.” Umar berkata, “Demi Allah, aku tidak pernah melupakannya.”

“Umar, Engkau Berlaku Adil, Engkau Pun Bisa Merasa Aman dan Tidur Nyaman”
Kaisar Romawi mengirim seorang utusan kepada Umar bin Khattab untuk melihat
kondisinya dan melihat langsung tindakan-tindakan yang ia lakukan. Sesampainya di Madinah,
utusan tersebut bertanya kepada penduduk setempat, “Mana raja kalian?” Orang-orang
menjawab, “Kami tidak punya raja. Kami hanya punya seorang amir. Saat ini, ia sedang keluar
Madinah.” Utusan tersebut kemudian mencari-cari Umar, lalu melihatnya sedang tidur di bawah
terik matahari di atas pasir panas berbantal jubah dengan keringat mengucur dari pelipis hingga
membasahi tanah.
Melihat Umar dalam kondisi seperti itu, ketenangan ia rasakan di dalam hatinya lalu
berkata, “Para raja tidak pernah tenang seperti halnya seseorang yang kondisinya seperti ini!
Kamu berlaku adil Umar, sehingga kamu bisa merasa aman dan kamu pun bisa tidur nyaman.
Raja kami berlaku zhalim, sehingga ia selalu terjaga karena takut. Aku bersaksi bahwa agamamu
adalah agama yang benar. Andai saja aku bukan datang sebagai seorang utusan, tentu aku masuk
Islam. Aku akan kembali lagi untuk masuk Islam.” begitulah keteladanan umar bin khattab
dalam hal keadilan, sehingga diakui baik oleh pihak utusan romawi.
Al-Faruq Umat dan lbu Anak-anak Yatim
Suatu malam, sekali lagi keteladanan Umar bin Khattab Amirul Mukminin ditunjukkan
kepada pelayannya Aslam. Malam itu mereka keluar menyusuri jalanan Madinah Al-
Munawwarah untuk memastikan kondisi rakyat. Tiba-tiba, ia melihat sebuah pemandangan aneh!
Di tengah kegelapan nan pekat, ia melihat api menyala dari kejauhan. Saat Amirul Mukminin
Umar bersama pelayannya, Aslam, mendekat, rupanya ada seorang wanita tengah menyalakan
api dan meletakkan wadah besar di atasnya. Di dekatnya ada anak-anak kecil yang sedang
menangis karena lapar.
Yang satu berkata, “lbu, aku ingin makan.” Yang lain berkata, “Ibu, aku akan mati
kelaparan.” Yang satunya lagi hanya menangis tanpa bisa berkata. Umar tersentak melihat
pemandangan yang terpampang. Ia kemudian bertanya kepada wanita itu kenapa anak-anaknya
menangis. lbu itu menjawab, “Mereka menangis karena lapar dan dingin.” Umar melihat wadah
yang diletakkan di atas api dan bertanya, “Bukankah ada makanan di dalam wadah itu?”
Dengan air mata berlinang, ibu itu berkata, “Itu hanya air yang aku masak di atas api agar
mereka ini diam dan tidur. Demi Allah, kami punya urusan dengan Umar.” Si ibu itu tidak tahu
bahwa orang yang sedang berbicara dengannya itu Amirul Mukminin, Umar.
Umar berkata kepadanya, “Bagaimana Umar bisa tahu kondisimu?”. Wanita itu berkata,
“Subhanallah! Ia memimpin kami dan melupakan kami.”

“Apakah Kamu Bisa Memikul Dosa-Dosaku Pada Hari Kiamat Nanti?”


Umar merasa pilu mendengar kata-kata wanita itu. Dan, lebih pilu lagi dengan
pemandangan anak-anak yatim yang menangis kelaparan itu. Umar kemudian berlalu bersama
pelayannya, Aslam, menuju gudang Baitul Mal. Umar kemudian mengeluarkan kantong tepung,
sebotol minyak dan sekantong gula. Umar berkata kepada pelayannya Aslam, “Angkatlah bahan-
bahan makanan itu ke punggungku.”
Aslam berkata kepadanya, “Aku angkat ke punggungmu, atau aku saja yang
memanggulnya?” Umar berkata, “Angkat saja bahan-bahan makanan itu ke punggungku.
Apakah kamu bisa memikul dosa-dosaku pada hari kiamat nanti?!”
Umar segera pergi menghampiri si ibu dan anak-anaknya itu, meletakkan tepung,
minyak, dan gula di hadapannya. Umar kemudian mengeluarkan sedikit bahan makanan tersebut
untuk membuatkan makanan untuk anak-anak si ibu tersebut. Umar meniup api hingga menyala
dan memasaknya sampai makanan matang. Setelah makanan matang, Umar menyuguhkannya
kepada anak-anak tersebut, setelah itu meninggalkan sisa tepung, minyak, dan gula untuknya.
Umar berkata kepada wanita itu, “Esok hari, pergilah menemui Amirul Mukminin. Insya Allah
kamu akan menemuiku di sana.”
Umar memperhatikan anak-anak itu, hingga akhirnya melihat mereka tertawa. Setelah itu
Umar berkata kepada pelayannya, Aslam, “Saat aku datang, mereka menangis. Untuk itu, aku
ingin mereka tertawa saat aku pulang.” Begitulah keteladanan Umar bin Khattab ditunjukkan
kepada rakyatnya.
Wanita itu akhirnya pergi menemui Amirul Mukminin pada hari berikutnya, Begitu
melihat Umar, wanita itu tahu bahwa Umar adalah Amirul Mukminin. Ia pun merasa takut. Umar
berkata kepadanya, “Tidak perlu takut.” Setelah itu Umar memerintahkan agar si ibu dan anak-
anaknya diberi santunan setiap bulan dari Baitul Mal kaum muslimin.”

Ibadah Umar
Meski Al-Faruq Umar memikul beban pikiran umat secara keseluruhan, namun ia tidak
pernah melupakan bagian ibadah sebagai bekal untuk meniti perjalanan menuju negeri akhirat.
Di akhir-akhir usia, Umar terus berpuasa dan tidak pernah lowong, selain pada hari raya Idul
Fitri dan Adha. Ia rutin mengerjakan shalat malam seperti yang dikehendaki Allah untuk ia
kerjakan, lalu setelah itu membangunkan keluarganya dan berkata, “Shalat, shalat!” sambil
membaca ayat ini, “Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan shalat dan sabar dalam
mengerjakannya.” (Thaha [20] : 132).
Saat dikatakan kepadanya, “Apa kamu tidak tidur?” Ia berkata, “Jika aku tidur pada siang
hari tentu aku menyia-nyiakan rakyat, dan jika aku tidur pada malam hari, tentu aku menyia-
nyiakan diriku’.”
Begitu kagumnya para sahabat terhadap ibadah Umar, sampai-sampai ada seseorang,
namanya Utsman bin Abu Ash, menikahi salah satu istri Umar setelah Umar wafat, setelah masa
iddahnya berakhir. Saat ditanya alasannya, ia menjawab, “Demi Allah, aku hanya menikahinya
bukan karena harta ataupun anak. Tapi aku menikahinya agar ia memberitahu kepadaku seperti
apa malamnya Umar, bagaimana ia beribadah pada malam hari.”
Umar Al-Faruq Mengikuti Sunnah dengan Baik
Suatu ketika Umar mencium Hajar Aswad dan mengatakan, “Sungguh, aku tahu kamu ini
batu yang tidak bisa menimpakan mara bahaya ataupun memberi manfaat. Andai saja aku tidak
melihat Rasulullah menciummu, tentu aku tidak menciummu.”
Nafi’ menuturkan, “Orang-orang banyak mendatangi pohon tempat Rasulullah
melangsungkan Baiatur Ridhwan, lalu mereka shalat di dekat pohon itu. Hal itu terdengar Umar,
ia pun menyampaikan ancaman terkait hal itu dan memerintahkan agar ditebang, pohon tersebut
akhirnya ditebang.”
Umar memerintahkan untuk menebang pohon tersebut karena khawatir orang-orang
mengiranya dapat memberikan manfaat atau mendatangkan mara bahaya, sehingga mereka
menyembahnya selain Allah seiring perjalanan waktu.

Kedermawanan dan Murah Hati Umar


Umar berada di puncak sifat murah hati dan dermawan, hingga ketika Nabi mengajak
para sahabat bersedekah, Umar datang menemui Nabi dengan membawa separuh harta miliknya.
Lebih dari itu, salah seorang tabi’in menuturkan keteladanan Umar bin Khattab, “Suatu ketika
aku berada di dekat Umar, lalu ia diberi 22 ribu dirham. Ia tidak beranjak dari tempat duduknya
hingga semua uang tersebut habis ia bagi-bagikan. Saat memiliki harta yang ia sukai, Umar
menyedekahkan harta itu, dan barang yang sering ia sedekahkan adalah gula. Umar ditanya
tentang hal itu, ia menjawab, “Karena aku suka gula. Allah Ta’ala berfirman : “Kamu tidak akan
memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan, apa
pun yang kamu infakkan, tentang hal itu sungguh, Allah Maha Mengetahui.” (Ali ‘Imran [3] :
92)

Anda mungkin juga menyukai