Anda di halaman 1dari 23

ALI BIN ABI THALIB SANG PEJUANG NAHI MUNKAR SEJATI

SMP BINA INSAN MANDIRI, BARON-NGAJUK

Oleh: Kelompok 4

Afifah Thohiroh (
Fahmia Nuha Tsabita ( Man Jadda wa Jada )
Hafidzoh Nurul Fadhillah (
Qurrotul ‘Uyyun (

1
Daftar Isi:

BAB1: MUQADDIMAH
BAB II: BIORRAFI ALI BIN ABI THALIB
A. Nasab dan keturunannya
B. Karakter, sifat, dan akhlaqnya
C. Keislaman dan jihatnya
D. Keteladanan dan keutamaannya
E. Istri –istri dan anak-anaknya
F. Peristiwa wafat dan usianya
BAB III: PERJUANGAN MEMBELA ISLAM
(KEKHOLIFAHANNYA)
A. Perjuangan Ali ra. Dalam membela Islam dan kaum
Muslimin hingga akhir hayatnya.

B. Pengangkatan Ali menjadi Kholifah ke-empat


C. Ali diba’iat menjadi Kholifah
D. Perang Jamal
E. Perang Shiffin
F. Perang Nahrawan
BAB IV: JASA-JASA DAN KARYA-KARYANYA
BABV: PENUTUP
A. Keteladanan
1. Jj
2. Hhj
3.
4.
B. Kesimpulan
A. A
B. D
C. HH
DAFTAR PUSTAKA

2
BAB I: MUQODDIMAH

Segala puji hanya untuk Allah tuhan semesta alam, kita memohon pertolongan hanya kepada-Nya,
memohon ampunan atas dosa-dosa kita hanya kepada-Nya. Kita bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang
benar kecuali Allah SWT dan Muhammad adalah hamba dan utusan Allah.
Berkat rahmat-Nya pula, penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah tentang Siroh Ali bin Abi
Thalib sebagai seorang pejuang nahi mungkar sejati untuk adik-adik kelas di SMP Bina Insan Mandiri ini.
Makalah ini ditulis semata-mata hanya mengharap pahala dan keridhoan Allah SWT. Selain itu, makalah ini
adalah tugas dari ustadz M. Hefni Mubarak sebagai guru pelajaran Siyarul A’lam.
Makalah ini disajikan dam bahasa yang singkat, padat, dan mudah dimengerti oleh siswa. Makalah ini
terdiri dari beberapa bab pokok : Muqaddimah, Biografi lengkap, Masa kekholifahannya, Jasa dan karya-
karyanya, serta penutup yang berisi tentang keteladanan dan kesimpulan.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih belum sempurna karenayang menulis hanyalh
manusia biasa yang luput dari rasa salah dan lupa. Oleh Karena itu, semua kritik dan saran dari pembaca demi
perbaikan maklah ini kami terima dengan senang hati. Mudah-mudahan dapat memberikan manfaat bagi
generai muslim selanjutnya, tumbuh dengan akhlaq Ali bin Abi Thalib yang langsung diajarkan oleh Rasulullah
dan nilai-nilai islam yang telah diperjuangkannya. Akhir kata, semoga keberadaan makalah ini bermanfaat bagi
kita semua.
Wallahu a’lam bis Showab…

Nganjuk, 12 Mei 2013,


Penulis,

PT. Syiarul A’lam SMP Bina Insan Mandiri

BAB II: BIOGRAFI ALI BIN ABI THALIB

A. NASAB DAN KETURUNANNYA

3
Nama lengkap beliau adalah Ali bin Abi Thalib bin Abdi Manaf bin Abdul Muththalib bin Hasyim bin Abdi Manaf
bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhar bin Kinanah, Abul
Hasan dan Husein. beliau mendapat gelari Abu Turab karena Ketika Muhammad mencari Ali menantunya,
ternyata Ali sedang tidur. Bagian atas pakaiannya tersingkap dan debu mengotori punggungnya. Melihat itu
Muhammad pun lalu duduk dan membersihkan punggung Ali sambil berkata, “Duduklah wahai Abu Turab,
duduklah.” Turab yang berarti debu atau tanah dalam bahasa Arab. Julukan tersebut adalah julukan yang paling
disukai oleh Ali. Beliau juga keponakan sekaligus menantu Rasulullah dari puteri beliau yaitu Fathimah az-Zahra’
R.A.

Ibu beliau bernama Fathimah binti Asad bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay, ibunya digelari Wanita Bani
Hasyim pertama yang melahirkan seorang putera Bani Hasyim. Ayah beliau bernama Abu Thalib. Dia adalah
paman kandung yang sangat menyayangi Rasulullah nama sebenarnya adalah Abdi Manaf. Abu Thalib ini sangat
menyayangi Rasulullah namun ia tidak beriman kepada beliau. Bahkan ia mati di atas kekufuran.

Beliau memiliki beberapa orang saudara laki-laki, yaitu Thalib, Aqiel dan Ja’far. Mereka semua lebih tua dari
beliau. Masing-masing terpaut sepuluh tahun. Beliau memiliki dua orang saudara perempua yaitu Ummu Hani’
dan Jumanah. Keduanya adalah puteri Fathimah binti Asad yang telah masuk Islam dan turut berhijrah.
Ali lahir pada hariJum'at, 13 bulan Rajab, 12 tahun sebelum Nabi Muhammad s.a.w. mendapat risalah.
Ketika itu, perut fathimah nampak besar sekali, bersama Abu Thalib melakukan tawaf mengelilingi Ka'bah.
Wanita itu tiba-tiba merasakan perutnya sakit. Ketika rasa sakitnya bertambah, segera diberitahukan kepada
suaminya, Abu Thalib. Mendengar keluhan itu, Abu Thalib segera menggandeng isterinya masuk ke dalam
Ka'bah. Menurut perkiraannya, isterinya sedang kelelahan. Abu Thalib berharap dengan beristirahat sebentar
rasa sakitnya akan berkurang. Kenyataannya tidak seperti yang diperkirakan Abu Thalib. Perut Fatimah malah
bertambah sakit.
Fatimah yang sudah berkali-kali melahirkan telah mengerti isyarat apa yang sedang dialaminya. Sebagai
seorang wanita yang shaleh, ia tidak mengungkapkan isyarat itu kepada suaminya. Dia khawatir jika suaminya
tahu, tentu maksud suaminya menyelesaikan tawaf akan terganggu. Ia tidak ingin berbuat demikian. Suaminya
tetap dianjurkan menyelesaikan tawafnya.
Dalam keheningan dan keredupan Baitullah, Fatimah merasa perutnya bertambah mulas. Disaat itu yang
teringat di hati Fatimah ialah bahwa rasa sakitnya akan berkurang dengan datangnya pertolongan Allah.
Fatimah segera mengangkat tangan, yang sebelumnya memegang perut untuk menahan rasa sakit dan dengan
suara sayu tersengal-sengal berucap:
"Ya Allah, Ya Tuhanku. Aku bernaung kepada-Mu, kepada utusan-utusan-Mu dan Kitab-kitab yang datang
dari-Mu. Aku percaya kepada ucapan datukku Ibrahim, pendiri rumah ini. Maka demi pendiri rumah ini dan demi
jabang bayi yang ada di dalam perutku, aku mohon kepada-Mu untuk dimudahkan kelahirannya".
Beberapa saat seusai mengucapkan doa, lahirlah bayi dengan selamat. Bayi ini adalah putra ke-empat dari
Fatimah. Sepanjang ingatan orang, inilah untuk pertama kali seorang wanita melahirkan puteranya dalam
Ka'bah. Kelahiran bayi ini hanya disaksikan oleh ayah bundanya saja.
4
B. KARAKTER, SIFAT DAN AKHLAKNYA
 Sifat Fisik Ali Bin Abi Thalib 
Beliau memiliki kulit berwarna sawo matang, bola mata beliau besar dan berwarna kemerah-
merahan, berperut besar dan berkepala botak. Berperawakan pendek dan berjanggut lebat. Dada dan kedua
pundak beliau padat dan putih, beliau memiliki bulu dada dan bahu yang lebat, berwajah tampan dan memiliki
gigi yang bagus, ringan langkah saat berjalan.
 Karakter Ali bin Abi Thalib
Cerdas, gagah, berani, semangat juang tinggi, haus akan ilmu, tegas, disiplin, keras dalam membela
kebenaran, lebih mengutamakan kebenaran yang diyakini nya dari pada persatuan, menjunjung tinggi
keputusanyang telah menjadi keputusan mayoritas, sabar menghadapi segala cobaan, welas asih, Setia pada
ajaran islam, pemikir kemasa depan, menginginkan pemerintahan yang efektiff dan efisien, dll.

C. KEISLAMAN DAN JIHADNYA


Ali bin Abi Thalib masuk Islam saat beliau berusia 7 /8 /10 tahun. Dikatakan bahwa beliau adalah orang yang
pertama kali masuk Islam. Namun yang benar adalah beliau merupakan bocah yang pertama kali masuk Islam,
sebagaimana halnya Khadijah adalah wanita yang pertama kali masuk Islam, Zaid bin Haritsah adalah budak
yang pertama kali masuk Islam, Abu Bakar ra adalah lelaki merdeka yang pertama kali masuk Islam. Ali bin Abi
Thalib memeluk Islam dalam usia muda disebabkan ia berada di bawah tanggungan Rasulullah. Yaitu pada
saat penduduk Makkah tertimpa paceklik dan kelaparan, Rasulullah mengambilnya dari ayahnya. Ali bin Abi
Thalib kecil hidup bersama Rasulullah, Dan ketika Allah mengutus beliau menjadi seorang rasul yang
membawa kebenaran, Khadijah serta ahli bait beliau, termasuk di dalamnya Ali bin Abi Thalib, segera memeluk
Islam. Adapun keislaman yang bermanfaat dan menyebar manfaatnya kepada manusia adalah keislaman Abu
Bakar ash-Shiddiq.
Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi berkata, “Wanita pertama masuk Islam adalah Khadijah, kaum lelaki
pertama yang masuk Islam adalah Abu Bakar dan Ali, hanya saja Abu Bakar menyatakan keislamannya
sementara Ali menyembunyikannya.”

Ali as. senantiasa siap siaga di samping Rasulullah saw. untuk melindunginya dan melakukan serangan balik
dalam seluruh peperangan yang disulut oleh kaum kafir Quraisy itu. Sejak muda Ali adalah pemberani hingga
beliau bersedia tidur di kamar Nabi untuk mengelabui orang-orang Quraisy yang akan menggagalkan hijrah
Nabi. Beliau tidur menampakkan kesan Nabi yang tidur sehingga masuk waktu menjelang pagi mereka
mengetahui Ali yang tidur, sudah tertinggal satu malam perjalanan oleh Nabi yang telah meloloskan diri ke
Madinah bersama Abu Bakar. Rasulullah saw. menjadikan Ali as. Sebagai komandan perang yang bertugas di
garis depan. Sebagian peperangan yang pernah diikuti Ali as. adalah berikut ini:

5
1. Perang Badr
Dalam sejarah, peristiwa Badr telah mencatat kemenangan yang gemilang bagi Islam dan muslimin. Perang
ini adalah pukulan yang telak bagi musyrikin. Dalam perang ini, Allah swt. telah memuliakan hamba dan Rasul-
Nya, Muhammad saw., menghinakan dan menaklukan para musuhnya. Pahlawan ksatria pada perang ini
adalah Ali as. Pedang Ali menghantarkan mereka ke ambang kematian. Kepala musyrikin dan para musuh
Allah tertebas habis oleh pedang tersebut. Ketangkasan dan kegigihan Ali dalam perang tidak diragukan lagi
sehingga Jibril turun dan menyampaikan pujian untuknya dengan ungkapan: “Tidak ada pedang selain Dzul
Fiqâr dan tidak ada pemuda selain Ali.”

2. Perang Uhud
Dengan penuh duka yang mendalam, kaum kafir Quraisy menerima informasi kekalahan pasukannya dan
kerugian yang berlipat ganda di front pertempuran Badar. Hindun, ibu Mu’âwiyah, termasuk salah seorang yang
begitu merasa terpukul dan berduka dengan kekalahan itu. Ia melarang orang-orang Quraisy, baik kaum laki-
laki maupun kaum wanita, untuk menangisi para perajurit yang terbunuh di medan Badar. Duka dan kesedihan
itu tidak akan pernah padam di dalam lubuk hati mereka sebelum mereka dapat melakukan balas dendam.
Abu Sufyân bertindak sebagai panglima tertinggi pasukan pada perang Uhud. Dialah yang memberikan
semangat kepada masyarakat jahiliah Quraisy untuk memerangi Rasulullah saw. Mereka mengumpulkan harta
benda dan dana untuk membeli peralatan dan perbekalan perang. Himbauan Abu Sufyân itu disambut baik oleh
masyarakat demi memerangi Rasulullah saw. Pasukan Abu Sufyân keluar menuju medan Uhud dengan penuh
semangat dan hati yang menggelora disertai oleh kaum wanita mereka sampai peperangan berakhir. Hindun
memimpin pasukan wanita. Kaum wanita ini bergerak sembari menabuh genderang dan mendendangkan syair:
“Bangkitlah wahai putra-putra Abdi Dar. Bangkitlah wahai para penjaga negeri tak gentar.
Pukulkan pedang kalian dengan bak halilintar.”
Sementara itu, Hindun sendiri menyanyikan dendang khusus yang ia tujukan kepada pasukan Quraisy
dengan suara yang lantang:
“Jika kalian maju berperang, kami akan peluk kalian dan gelar permadani. Jika kalian mundur, kami akan
berpisah dengan kalian sampai mati.”
Pasukan kaum musyrikin Quraisy ketika itu berjumlah tiga ribu orang. Sementara pasukan muslimin hanya
berjumlah tujuh ratus orang. Seorang prajurit musyrikin yang bernama Thalhah bin Abi Thalhah maju ke depan
dengan bendera komando di tangannya. Ia mengangkat suranya tinggi-tinggi: “Hai para sahabat Muhammad,
apakah kalian yakin bahwa Allah akan mempercepat kami pergi ke neraka dengan pedang-pedang kalian, dan
mempercepat kalian menuju ke surga dengan pedang-pedang kami? Siapakah yang berani duel denganku?” Ali
as., segera menimpali dan menyerangnya. Dengan sabetan pedangnya, lelaki itu jatuh ke tanah dengan

6
berlumuran darah. Ali as. membiarkannya jatuh dan tidak meneruskan perlawanannya. Tidak lama kemudian,
darahnya tumpah dan ia binasa.
Kaum muslimin menyambut kemenangan Ali as. itu dengan penuh gembira, sementara kaum musyrikin
menjadi hina dan nyali mereka surut. Bendera komando pasukan musyrikin Quraisy diambil alih oleh yang lain.
Imam Ali as. menyambut dan melakukan serangan kepada beberapa orang Quraisy seraya menebas kepala-
kepala mereka dengan pedangnya yang tajam. Hindun selalu membangkitkan semangat jiwa prajurit kaum
musyrikin dan mendorong mereka agar menyerang kaum muslimin
Sangat disayangkan, dalam peperangan ini kaum muslimin mengalami kekalahan yang pahit dan kerugian
yang memalukan. Hampir saja bendera Islam jatuh karena itu. Semua itu terjadi karena kecerobohan
sekelompok pasukan Islam yang berani menyalahi pesan Rasulullah saw. Ketika itu Rasulullah saw.
memerintahkan sekelompok pemanah yang dipimpin oleh Abdullah bin Jubair agar tetap diam di atas bukit demi
menjaga kaum muslimin dari arah belakang. Ia sangat menekankan agar mereka tidak bergeser sedikitpun dari
tempat tersebut. Ketika pertempuran sedang terjadi, para pemanah itu berhasil membidikkan panah-panah
mereka ke arah pasukan kafir Quraisy dan banyak membunuh mereka.
Pasukan Quraisy kewalahan menghadapi kaum muslim dan merekapun kabur tunggang-langgang dengan
meninggalkan berbagai senjata dan barang-barang berharga. Melihat harta kekayaan yang melimpah itu,
sebagian besar pasukan pemanah meninggalkan pos mereka untuk turut serta berebut harta rampasan perang.
Mereka telah lupa akan pesan Nabi saw. untuk tetap tinggal di pos tersebut. Khalid bin Walid, pimpinan
pasukan kafir Quraisy, melihat kondisi para pemanah tersebut dan merasa memiliki kesempatan emas. Ia
segera melakukan serangan terhadap para pemanah yang masih tersisa di atas bukit itu sehingga banyak
pasukan muslimin yang terbunuh. Setelah itu, Khalid dan pasukannya menyerang para sahabat Nabi saw. dari
arah belakang dan berhasil memporak-porandakan dan membunuh prajurit muslimin. Dalam serangan ini,
prajurit musyrikin banyak membunuh tokok-tokoh pasukan muslimin.

3. Perang Khandak
Pada peristiwa perang ini, kaum muslimin betul-betul merasa khawatir dan diliputi rasa takut yang dahsyat.
Faktor utamanya adalah karena pasukan musyrikin yang sangat kuat dan orang-orang Yahudi juga turut
bergabung dengan mereka. Seluruh pasukan mereka berjumlah sepuluh ribu prajurit. Sementara pasukan
muslimin hanya berjumlah tiga ribu prajurit saja. Pada perang ini, Allah telah memberikan kemenangan bagi
Islam melalui tangan Ali bin Abi Thalib as. Dialah orang yang telah berhasil menghancurkan dan memporak-
porandakan barisan kaum musyrikin.
Ketika Nabi SAW. mengetahui pasukan Quraisy dan Bani Ghathafân ingin melakukan serangan terhadap
muslimin, ia saw. mengumpulkan para sahabat dan memberitahukan kepada mereka rencana musuh tersebut.
Ia saw. meminta pendapat mereka masing-masing demi menghalau musuh Islam itu. Salman Al-Fârisî, salah
seorang sahabat terkemuka, mengusulkan untuk menggali parit di sekitar kota Madinah.
Nabi saw. menyetujui pandangannya itu dan memerintahkan para sahabat untuk menggali parit. Ide tersebut
merupakan taktik perang yang jitu untuk menyelamatkan pasukan muslimin dari serangan musuh Islam. Melihat

7
parit digali di sekitar kota itu, pasukan musuh bingung dan tidak memiliki jalan lain untuk melancarkan serangan
terhadap muslimin. Dengan terpaksa, mereka hanya dapat menggunakan anak panah. Kaum muslimin pun
menjawab serangan mereka dengan serangan yang sama. Saling-melempar anak panah pun terjadi antara
kedua pasukan tersebut tanpa terjadi perangan terbuka di antara mereka.
Orang-orang kafir Quraisy merasa jengkel dengan kondisi perang semacam ini. Karena hal itu tidak memberi
kemenangan kepada mereka. Mereka berusaha mencari ukuran lebar parit yang agak sempit agar kuda-kuda
mereka dapat melompati dan menyeberangi parit. Di tengah-tengah mereka terlihat ‘Amr bin Abdi Wud. Dia
adalah ksatria Quraisy dan penunggang kuda Kinânah yang tangguh pada masa jahiliah.
‘Amr menggenggam pedang. Ia menaiki kudanya dengan penuh bangga dan congkak. Dengan segenap
kekuatan ia dapat melompati parit. Kaum muslimin yang menyaksikan hal itu merasa ciut, kerdil, dan gemetar.
‘Amr maju menghadap mereka dengan perlahan tapi pasti. Dengan suara yang lantang dan penuh penghinaan
ia berkata: Hai perajurit Muhammad, adakah yang berani melawanku?”
Hati kaum muslimin bak tercabut dari tempatnya. Mereka diliputi rasa takut. Untuk kedua kalinya ‘Amr
angkat suara: “Adakah yang berani melawanku?”
Tak seorang pun berani menjawab. Tetapi pejuang Islam, Imam Amirul Mukminin as. menjawab: “Aku yang
melawannya, ya Rasulullah.”
Rasulullah saw. merasa khawatir atas keselamatan putra pamannya itu. Ia berkata: “Ketahuilah, dia adalah
‘Amr!” Ali as. menaati perintah Rasulullah saw. dan segera duduk kembali.
Kembali ‘Amr mengejek kaum muslimin dan berkata: “Hai para sahabat Muhammad, mana surga yang
kalian duga akan memasukinya jika kalian terbunuh? Siapakah di antara kalian yang menginginkannya?”
Pasukan muslimin diam seribu bahasa. Ali as. memaksa Nabi saw. agar memberi izin untuk melawannya.
Tak ada lagi alasan bagi Nabi untuk menolak desakan Ali as. Nabi saw. menetapkan sebuah predikat bagi Ali
as. sebagai tanda keagungan dan kehormatan.
Setelah itu Nabi saw. mengangkat kedua tangan seraya memanjatkan doa dan harapan kepada Allah swt.
agar menjaga putra pamannya itu. Ia saw. berkata: “Ya Allah, Engkau telah mengambil Hamzah dariku di
perang Uhud dan mengambil ‘Ubaidah di perang Badar. Maka jagalah Ali pada hari ini. Wahai tuhanku,
janganlah Engkau biarkan aku sendirian. Sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pewaris.”
Ali as. maju menyerang dengan penuh semangat. Ia tidak merasa takut dan gentar sedikitpun terhadap ‘Amr
bin Abdi Wud. Ia bangkit dengan tekad yang kokoh membaja bak ksatria yang tak ada bandingannya. ‘Amr
terkejut dengan pemuda yang berani maju untuk melawan dan tak gentar.
‘Amr bertanya: “Siapa kamu?”
Ali menjawab dengan meremehkannya: “Aku adalah Ali bin Abi Thalib.”
‘Amr menampakkan rasa kasihan kepadanya seraya berkata: “Dahulu, ayahmu adalah teman baikku.”
Ali as. menjawab: “Hai ‘Amr, engkau telah berjanji kepada kaummu bahwa tidak seorang pun dari Quraisy
yang mengajakmu kepada tiga karakter melainkan engkau pasti menerimanya?”
‘Amr menjawab: “Ya, itulah janjiku.”
Ali as. berkata: “Aku mengajakmu kepada Islam.”
‘Amr tertawa seraya berkata kepada Ali sembari menghina: “Jadi, aku harus meninggalkan agama nenek
moyangku? Jangan usik masalah ini!”

8
Ali as. berkata: “Aku akan menahan tanganku untuk membunuhmu, dan engkau bebas kembali.”
Mendengar ucapan lancang itu, ‘Amr marah dan berkata: “Jika begitu, bangsa Arab pasti membincangkan
kepengecutanku.”
Ali as. melontarkan tawaran ketiga yang ‘Amr sendiri telah berjanji untuk menerimanya. Ali berkata: “Kalau
begitu, aku mengajakmu duel.”
‘Amr sangat terkejut dengan keberanian pemuda yang telah berani menantang dan menginjak-injak
kehormatannya. ‘Amr turun dari kudanya dan dengan cepat melayangkan pedangnya ke arah leher Ali as. Ali
menangkis serangannya dengan prisai. Tetapi pedang ‘Amr dapat menembus ke bagian kepala Ali as. hingga
melukainya. Kaum Muslim yakin bahwa Ali as. telah menjumpai ajal. Tetapi Allah swt. menolong dan
menjaganya. Ali as. kembali menyerang ‘Amr dengan pedang hingga ia roboh. Ksatria Quraisy dan simbol
kemusyrikan itu jatuh tersungkur di atas tanah dengan berlumuran darah seperti seekor sapi yang disembelih
berlumuran darah.
Ali as. segera mengucapkan takbir yang diikuti oleh pasukan muslimin. Tulang punggung kemusyrikan telah
runtuh dan kekuatannya telah lumpuh. Sementara Islam telah menggapai kemenangan yang gemilang melalui
kegagahan Ali as. Nabi saw. menghadiahkan predikat agung kepada Imam Ali as. di sepanjang sejarah. Beliau
bersabda: “Sesungguhnya pertempuran Ali bin Abi Thalib atas ‘Amr bin Abdi Wud pada perang Khandak adalah
lebih utama daripada amal umatku hingga Hari Kiamat.”
Di samping itu, Ali as. juga berhasil membunuh seorang prajurit Quraisy lainnya yang bernama Naufal bin
Abdullah. Dengan demikian, Quraisy mengalami kekalahan yang telak. Ketika itu Rasulullah saw. bersabda:
“Kini kita telah mengalahkan mereka, dan mereka tidak akan mampu mengalahkan kita.” Akhirnya, pasukan
kafir Quraisy mengalami kerugian dan kegagalan yang fatal. Sebaliknya, muslimin tidak mengalami kekalahan
sedikit pun dalam peperangan ini.

4. Penaklukan Benteng Khaibar


Pusat kekuatan Yahudi dan eksistensi mereka terletak di benteng Khaibar. Benteng ini adalah pusat
produksi senjata modern pada masa itu. Di antara senjata yang mereka produksi adalah manjanik yang mampu
menembakkan peluru-peluru api. Ketika itu Yahudi adalah sebuah kekuatan yang siap membantu setiap
golongan yang ingin memerangi Islam dengan berbagai senjata dari pedang, panah, hingga prisai.
Nabi saw. memerintah pasukan muslimin agar melakukan serangan terhadap benteng Khaibar. Ia
menyerahkan komando pasukan kepada Abu Bakar. Ketika Abu Bakar tiba di benteng Khaibar dengan
pasukannya, orang-orang Yahudi melemparinya dengan manjanik sehingga Abu Bakar merasa kalah dan
kembali dengan ketakutan dan gemetar. Pada hari kedua, Rasulullah saw. menyerahkan komando pasukan
kepada Umar bin Khattab. Ternyata Umar tidak berbeda dengan sahabatnya itu. Ia kembali dengan membawa
kegagalan. Selama benteng Khaibar tetap tegar dan tertutup rapat, tak seorang pun yang akan berhasil
menguasai benteng tersebut.
Setelah muslimin tidak mampu menumbangkan benteng Khaibar dan kepemimpinan Abu Bakar dan Umar
dianggap gagal, Nabi saw. mengumumkan bahwa ia akan mengangkat seorang komandan perang yang Allah
swt. akan memberikan kemenangan di tangannya. Ia
adalah Ali as. Karena pada saat itu ia sedang menderita sakit mata.

9
Nabi saw. memanggil Ali as. Ketika itu kedua matanya dibalut dengan kain. Setelah berada di hadapan Nabi
saw., ia melepaskan kain pembalut itu dari kedua mata Ali as. Lalu Nabi saw. memoleskan ludahnya kepada
kedua matanya. Seketika itu juga sakit mata Ali as. sembuh.
Rasulullah saw. berkata: “Hai Ali, ambillah bendera ini sehingga Allah memberikan kemenangankepadamu!”
Pejuang Islam itu menerima bendera komando tersebut dari Nabi saw. dengan tekad yang kuat membaja dan
gagah perkasa.
Ali as. bertanya kepada Rasulullah saw.: “Apakah aku perangi mereka sampai mereka memeluk Islam?”
Nabi saw. menjawab: “Laksanakanlah tugas ini sampai engkau dapat menundukkan mereka. Lalu ajaklah
mereka kepada Islam. Beritahukan kepada kewajiban-kewajiban mereka. Demi Allah, jika Allah memberikan
petunjuk kepada seorang saja dari mereka melalui tanganmu, niscaya hal itu lebih baik bagimu daripada
memiliki unta merah.”
Sang panglima perang, Ali as., segera melakukan serangan dengan gagah berani. Tak sebersit pun rasa
takut dan gentar tergores di dalam hatinya. Ia mengangkat bendera komando itu tinggi-tinggi menuju benteng
Khaibar. Ia berhasil mencabut pintu benteng Khaibar dan menjadikannya sebagai prisai untuk menangkal
serangan orang-orang Yahudi. Pasukan Yahudi pun merasa gentar ketakutan dan pucat pasi
Marhab adalah seorang ksatria Yahudi yang gagah berani. Ia menantang Imam Ali as. untuk bertanding.
Marhab maju dengan mengenakan penutup wajah pelindung buatan Yaman dan batu berlobang yang ia
letakkan di kepalanya seraya bersyair:
“Khaibar tahu aku adalah Marhab. Penghunus pedang pahlawan tangguh.
Bagai singa kekar menyerang musuh.”
Ali as. menyambutnya. Ia mengenakan jubah berwarna merah. Sebagai jawabân syair Marhab, ia bersyair:
“Akulah yang dinamai oleh ibuku Haidar. Sang pemberani dan singa tak gentar.
Singa penerkam musuh bak halilintar. Kedua lenganku terbuka lebar kekar.
Kekar dan tangguh bak singa hutan keluar. Kan kutebas setiap batang leher pengingkar.
Kan kuperangi mereka untuk yang benar. Kan kuperangi mereka dengan pedangku yang tegar.”
Ali as. maju menghadapi Marhab dengan keberaniannya yang luar biasa. Dengan cepatnya menyabetkan
pedangnya ke arah kepala Marhab hingga menembus penutup kepalanya. Marhab pun terhuyung jatuh ke atas
tanah dengan darah yang bersimbah. Kemudian ia menyeret mayat Marhab dan membiarkannya terkapar
menjadi mangsa binatang-binatang buas dan burung-burung pemakan bangkai. Dengan itu, Allah swt. telah
menetapkan kemenangan yang gemilang bagi Islam.
5. Penaklukan Kota Mekah
Rasulullah saw. melihat bahwa kemenangan yang gemilang bagi Islam tidak akan terwujud sepenuhnya,
kecuali dengan penaklukan kota Mekah sebagai benteng kemusyrikan dan kekufuran kala itu yang senantiasa
memeranginya selama masih berada di sana. Nabi saw. meninggalkan kota Mekah dan telah memiliki
kekuatan. Beliau bergerak menuju kota itu dengan bala tentara yang terlatih sebanyak sepuluh ribu atau lebih
prajurit bersenjata lengkap.
Tetapi beliau menyembunyikan tujuan keberangkatan itu kepada para prajuritnya. Karenanya khawatir jika
orang-orang kafir Quraisy tahu, mereka akan mengadakan perlawanan dan terjadi pertumpahan darah di tanah

10
Haram. Oleh karena itu, ia merahasiakan tujuan perjalanan tersebut sehingga kedatangan pasukan muslimin
yang secara tiba-tiba tersebut dapat mengejutkan penduduk Mekah.
Pasukan muslimin bergerak dengan cepat dan tanpa menyia-nyiakan kesempatan sedikitpun hingga mereka
memasuki daerah pinggiran kota Mekah, sementara penduduknya tengah lelap dan lalai. Rasulullah saw.
segera memerintahkan para sahabat agar mengumpulkan kayu bakar. Seketika itu juga, setumpuk besar kayu
bakar telah terkumpul menggunung.
Pada malam gelap gulita itu, Nabi saw. memerintahkan agar para sahabat menyulut kayu bakar-kayu bakar
itu, sehingga jilatan-jilatan api terlihat dari dalam kota Mekah.
Melihat kejadian itu, Abu Sufyân betul-betul terkejut dan khawatir atas jiwa raganya. Ia berkata kepada Badîl
bin Warqâ’ yang tengah berada di sampingnya: “Aku belum pernah melihat sinar api seterang malam ini sama
sekali.”
Badîl segera menimpali: “Demi Allah, ini adalah kobaran api peperangan.”
Abu Sufyân mencemooh Badîl sembari berkata: “Kobaran api peperangan! Cahaya api dan bala tentaranya
tidak mungkin sesedikit ini.”
Rasa takut menyelimuti Abu Sufyân. Abbâs segera mendatanginya. Ia mengetahui kedatangan pasukan
Islam untuk menguasai kota Mekah. Ia berkata kepada Abu Sufyân: “Hai Abu Hanzhalah!” . Abu sufyân yang
mengenalnya segera berkata: “Apa ini Abul Fadhl?”
“Ya”, jawab Abbâs pendek.
“Ayah dan ibuku menjadi tebusanmu”, tegas Abu Sufyân.
Abbâs menimpali: “Celaka engkau, hai Abu Sufyân. Itu adalah Rasulullah di tengah-tengah khalayak. Esok
paginya akan menaklukkan Quraisy.”
Darah Abu Sufyân seketika itu membeku. Ia sangat khawatir terhadap diri dan kaumnya. Dia berkata dengan
nada gemetar: “Apa yang harus kita lakukan?”
Abbâs segera memberikan solusi sehingga darahnya terjaga. Ia berkta: “Demi Allah, jika Rasulullah berhasil
menangkapmu, ia pasti akan menebas batang lehermu. Naikilah ke punggung keledai tua ini. Aku akan
mendatangi Rasulullah untuk mohon perlindungan untukmu.”
Abbâs membonceng Abu Sufyân yang sedang gemetar ketakutan. Abu Sufyân tidak bisa tidur semalam
suntuk. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi atas dirinya karena berat dan banyaknya kejahatan yang telah ia
lakukan atas kaum muslimin. Setibanya di hadapan Rasulullah saw., ia berkata kepadanya: “Celaka engkau, hai
Abu Sufyân! Apakah hingga kini belum tiba waktunya untuk kamu mengakui bahwa tidak ada tuhan selain
Allah?”
Nabi saw. tidak menampakkan dendam atas berbagai kejahatan yang telah dilakukan oleh Abu Sufyân
terhadapnya. Ia telah mengulurkan tirai atas kejadian-kejadian tersebut demi menyebarkan ajaran Islam yang
tidak menaruh dendam terhadap kejahatan musuh-musuhnya. Abu Sufyân merengek di hadapan Nabi saw.
untuk memohon maaf seraya berkata: “Demi ayah dan ibuku, betapa engkau pemaaf, berkepribadian mulia,
dan penyambung persaudaraan. Demi Allah, sungguh aku mengira bahwa sekiranya ada tuhan lain selain
Allah, pasti ia tidak akan membutuhkanku.”
Nabi saw. menoleh ke arah Abu Sufyân seraya berkata dengan lemah lembut: “Celaka engkau, hai Abu
Sufyân! Belumkah tiba waktunya untuk kamu mengenal bahwa aku adalah utusan Allah?”

11
Ketika itu Abu Sufyân tidak mampu lagi menyembunyikan kemusyrikan dan kekufuran yang sudah terukir
dalam relung hatinya. Dia berkata kepada Rasulullah saw.: “Demi ayah dan ibuku, betapa lembutnya engkau
dan betapa mulia dan penyambung persaudaraan engkau. Adapun masalah ini, hingga saat ini di dalam hatiku
masih terdapat sesuatu.” Abbâs yang mendengar hal itu segera memberikan peringatan kepadanya bila ia tidak
bersaksi atas kenabian dan tidak masuk Islam. Abbâs berkata: “Celakalah engkau. Masuklah Islam! Bersaksilah
bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhamamd adalah Rasulullah sebelum lehermu ditebas!
Abu Sufyan terpaksa masuk Islam dengan lisannya. Sementara kekufuran dan kemusyrikan masih tetap
terpendam di dalam relung hatinya.
Nabi saw. memerintahkan pamannya, Abbâs, agar menahan Abu Sufyân di sebuah lembah yang sempit
sehingga prajurit Islam melewatinya dan ia menyaksikan mereka. Hal itu agar Quraisy merasa takut untuk
mengadakan perlawanan. Abbâs melaksanakan perintah Nabi saw.
Kemudian Nabi saw. lewat dengan membawa pasukan berkuda yang berpakain hijau dengan pedang
terhunus. Ia dikelilingi para sahabatnya yang pemberani. Melihat itu, Abu Sufyân merasa gentar. Ia bertanya:
“Siapakan pasukan berkuda itu?”
“Itu adalah Rasulullah bersama Muhajirin dan Anshar”, jawab Abbâs pendek.
“Sungguh kerajaan keponakanmu telah hebat”, tukas Abu Sufyân.
Abbâs menimpali: “Hai Abu Sufyân, itulah kenabian.”
Abu Sufyân menggeleng-gelengkan kepalanya seraya berkata dengan menghina: “Ya, kalau begitu.”
Setelah itu Abbâs membebaskannya. Abbâs segera masuk ke dalam kota Mekah dan berteriak dengan keras:
“Hai kaum Quraisy, Muhammad telah datang kepada kalian dengan pasukan yang kalian tidak mungkin dapat
melawannya. Barang siapa yang memasuki rumah Abu Sufyân, maka ia akan aman.”
Orang-orang Quraisy berkata kepada Abbâs: “Rumahmu tidak dapat menjamin kemanan kami?”
“Barang siapa yang menutup pintunya, maka ia akan aman. Dan barang siapa yang masuk ke dalam masjid,
maka ia akan aman”, teriak Abbâs lagi.
Hati kaum Quraisy menjadi tenang. Mereka segera masuk ke dalam rumah mereka dan masjid. Sementara
itu, Hindun menentang Abu Sufyân. Hatinya dipenuhi kekecewaan. Ia berteriak dengan keras untuk
membangkitkan amarah kaum Quraisy terhadap Abu Sufyân: “Bunuhlah lelaki keji dan kotor ini! Tindakannya
tidak sesuai dengan tindakan seorang pemimpin suatu kaum.”
Abu Sufyân memperingatkan kaum Quraisy agar tidak melawan dan mengajak mereka untuk menyerah.
Nabi saw. memasuki kota Mekah bersama bala tentara Islam. Allah swt. telah menghinakan Quraisy dan
membahagiakan muslimin yang tertindas selama ini. Nabi saw. segera menuju ke Ka’bah untuk
menghancurkan patung-patung sembahan orang-orang kafir Quraisy. Ia saw. menikamkan tombak di bagian
mata Hubal sambil berkata: “Telah datang kebenaran dan telah sirna kebatilan. Sesungguhnya kebatilan itu
pasti sirna.”
Kemudiannya saw. memerintahkan Ali as. agar menaiki pundaknya untuk menghancurkan patung-patung
dan membersihkan Baitullah yang suci itu darinya. Ali as. mengangkat patung-patung itu dan melemparkannya
ke atas tanah hingga hancur.

6. Haji Wadâ’

12
Nabi saw. merasa bahwa ia tidak lama lagi akan berangkat menghadap ke haribaan suci Ilahi. Karena
itu,beliau merasa perlu untuk melakukan haji ke Baitullah untuk menetapkan jalan-jalan keselamatan buat umat
manusia. Pada tahun ke-10 Hijriah, beliau berangkat menunaikan ibadah haji. Beliau mengumumkan kepada
segenap penduduk bahwa tidak lama laginya akan berangkat menuju ke alam akhirat dan meninggalkan dunia
fana ini untuk selamanya. Beliau bersabda: “Aku tidak tahu, barangkali setelah tahun ini aku tidak dapat
berjumpa lagi dengan kalian untuk selamanya dalam kondisi seperti ini.” Dengan informasi itu, jamaah haji
merasa takut dan khawatir. Mereka melakukan tawaf dengan perasaan sedih sembari berguman: “Nabi saw.
telah memberitahukan kematian dirinya.”
Nabi saw. menetapkan jalan-jalan keselamatan yang dapat menjaga umat dari segala fitnah dan menjamin
kehidupan mereka yang mulia. Ia saw. bersabda: “Hai manusia, aku tinggalkan buat kalian dua pusaka yang
sangat berharga, yaitu kitab Allah dan ‘Itrahku, keluargaku.”
Ya, berpegang teguh kepada kitab Allah, mengamalkan isinya, dan ber-wilâyah kepada Ahlul Bait as. adalah
sebuah jaminan bagi umat dari penyimpangan dalam kehidupan dunia ini. Setelah selesai melakukan ibadah
haji, Rasulullah saw. menyampaikan sebuah ceramah yang sangat indah. Dalam ceramah ini ia telah
menjelaskan poin-poin yang sangat penting dan ajaran-ajaran Islam yang sangat benderang.
Ia mengakhiri ceramah itu dengan pesan: “Sepeninggalku nanti, jangan sampai kalian kembali kepada
kekufuran dan kesesatan sehingga segolongan dari kalian membunuh segolongan yang lain. Sesungguhnya
aku telah meninggalkan untuk kalian dua buah pusaka yang kalian pasti tidak akan tersesat untuk selamanya
bila berpegang teguh kepadanya. Yaitu kitab Allah dan ‘Itrahku, keluargaku. Apakah aku telah menyampaikan
hal ini kepada kalian?”
“Ya”, jawab mereka serentak. Kemudian Nabi saw. bersabda lagi: “Ya Allah, saksikanlah! Sesungguhnya
kalian akan dimintai tanggung jawab. Hendaknya kalian yang hadir di sini menyampaikan kepada yang gaib.”
Setelah Nabi saw. menunaikan ibadah haji, ia kembali ke kota Madinah bersama rombongan jamaah haji.
Ketika ia sampai di Ghadir Khum, malaikat Jibril turun kepadanya dengan membawa perintah Allah swt. yang
maha penting. Allah swt. memerintahkan agarnya menghentikan rombongan di tempat tersebut guna
mengangkat Ali as. sebagai khalifah dan imam atas umat setelahnya wafat. Juga ditekankan bahwa beliau tidak
boleh menunda-nunda pelaksanaan perintah itu. Ketika itu turun ayat: “Hai Rasulullah, sampaikanlah apa yang
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Jika engkau tidak melakukannya, maka berarti engkau belum
menyapaikan semua risalah-Nya. Dan Allah menjagamu dari kejahatan manusia.” (QS. Al-Mâ’idah [5]:67)
Rasulullah saw. menerima perintah tersebut dengan penuh perhatian. Dengan tekad yang kuat membaja
dan kehendak yang bulat, beliau menghentikan perjalanan di tengah-tengah terik matahari padang pasir. Beliau
memerintahkan agar kafilah jamaah haji berhenti untuk mendengarkan ceramah yang akannya sampaikan
kepada mereka. Nabi saw. mengerjakan salat. Setelah usai salat, beliau memerintahkan supaya pelana-pelana
unta disusun menjadi mimbar. Setelah itu, nabi saw. menyampaikan ceramah dengan penuh semangat. Beliau
menyampaikan berbagai kesulitan dan rintangan yang melitang jalan dakwah Islam yang pada saat itu umat
manusia beada dalam kesesatan. Kemudian ia saw. menoleh kepada mereka seraya berkata: “Lihatlah
bagaimana kalian memperlakukan dua puaka berharga ini.”
Ketika itu sebagian orang bertanya: “Apakah dua pusaka itu, ya Rasulullah?”
Rasulullah saw. menjawab: “Pusaka yang lebih besar adalah kitab Allah satu bagian ujungnya berada di tangan

13
Allah dan satu ujungnya yang lain berada di tangan kalian. Maka berpegang teguhlah kepadanya dan janganlah
kalian tersesat. Pusaka lainnya adalah lebih kecil, yaitu keluargaku. Sesungguhnya Allah Yang Maha Lembut
dan Mengetahui memberitahukan kepadaku bahwa kedua pusaka itu tidak akan berpisah hingga keduanya
menjumpaiku di telaga Haudh. Kemudian aku mohon hal itu kepada Tuhanku. Maka janganlah kalian
mendahului keduanya, karena kalian pasti akan binasa, dan janganlah kalian lalai dari keduanya, niscaya kalian
akan hancur ….”
Kemudian Nabi saw. mengangkat tangan washî dan pintu kota ilmunya, Ali as. dan mewajibkan muslimin
untuk ber-wilâyah kepadanya. Nabi telah menobatkan dia sebagai pemimpin umat untuk menunjukkan mereka
kepada jalan yang lurus. Beliau saw. bersabda: “Hai manusia, siapakah yang lebih utama terhadap orang-orang
beriman daripada diri mereka sendiri?”
Mereka menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Nabi saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah
adalah pemimpinku dan aku adalah pemimpin kaum mukminin. Maka aku lebih utama terhadap mereka
daripada diri mereka sendiri. Barang siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya, maka Ali ini adalah
pemimpinnya.” Ia mengulangi ucapan ini sampai tiga kali.
Setelah itunya melanjutkan: “Ya Allah, bimbinglah orang yang ber-wilâyah kepada Ali dan musuhilah orang
yang memusuhinya. Cintailah orang yang mencintainya dan murkailah orang yang memurkainya. Tolonglah
orang yang menolongnya dan hinakanlah orang yang menghinakannya. Dan sertakanlah hak bersamanya di
mana saja dia berada. Hendaknya yang hadir menyampaikan hal ini kepada yang gaib ….”
Dengan ucapan tersebut, Nabi Muhammad saw. mengakhiri pidatonya, sebuah pidato yang menentukan Ali
as. sebagai rujukan seluruh umat manusia sepeninggalnya saw. Ia telah menentukan seorang pemimpin yang
mengatur seluruh urusan kamu muslimin setelahnya.
Kaum muslimin menyambut hal itu dengan membaiat Ali as. dan menyampaikan ucapan selamat atas
jabatannya sebagai pemimpin muslimin. Nabi saw. memerintahkan para Ummul Mukminin agar membaiatnya.
Umar bin Khaththab pun maju menghadap Ali as. untuk mengucapkan selamat dan menyalamînya.
Ketika itu Umar mengucapkan ucapannya yang masyhur: “Selamat, hai putra Abi Thalib, engkau telah
menjadi pemimpinku dan pemimpin setiap mukmin laki-laki dan perempuan.”

7. Duka Abadi
Setelah Nabi saw. menyampaikan risalah Tuhan dan menjadikan Ali as. sebagai pemimpin umat,
kesehatannya mulai menurun hari demi hari. Beliau terjangkit penyakit demam berat seperti panas yang
membakar. Beliau hanya mengenakan sehelai selimut. Jika istri-istrinya dan para penjenguk meletakkan tangan
mereka di atas selimut tersebut, mereka pasti merasakan panasnya. Ia memberitahukan kepada mereka
tentang ajalnya dan menyampaikan wasiatnya yang terakhir. Ia berkata: “Hai manusia, sebentar lagi nyawaku
segera akan diambil, lalu aku akan dibawa. Aku sampaikan kepada kalian sebuah amanat demi
menyempurnakan hujah bagi kalian. Aku tinggalkan untuk kalian kitab Allah dan ‘Itrahku, Ahlul Baitku.”

D. KETELADANAN DAN KEUTAMAAN


Ali Termasuk Orang yang Mencintai Allah dan RasulNya, Kelembutan Rasulullah Kepada Ali dan Pemberian
Kuniyah untuknya, Ali bin Abi Thalib Membenci Perselisihan, Ali bin Abi Thalib seseorang yang memiliki

14
kecakapan dalam bidang militer dan strategi perang, Ali bin Abi Thalib memberi wasiat agar berpegang teguh
pada kitabullah dan memelihara ahli bait.
Rasulullah bersabda: “Wahai Ali, kamu adalah penghulu di dunia dan penghulu di akhirat, kekasihmu
adalah kekasihku, dan kekasihku adalah kekasih Allah. Musuhmu adalah musuhku, dan musuhku adalah
musuh Allah, celakalah orang yang membencimu sesudahku.”

E. ISTRI-ISTRI DAN ANAK-ANAKNYA

 Istri pertama yang dinikahi Ali adalah Fathimah binti Rasulullah. Ia berkumpul dengannya setelah pulang
dari peperangan Badar. Beliau memperoleh dua orang putera yaitu, al-Hasan dan al-Husain. Ada yang
mengatakan putera ketiga beliau bernama Muhasin, namun meninggal dunia saat masih bayi. Beliau
memperoleh dua orang puteri, yaitu Zainab al-Kubra dan Ummu Kaltsum al-Kubra yang kemudian dinikahi
oleh Umar bin Khaththab . Ali tidak menikahi wanita lain di samping Fathimah hingga ia wafat enam bulan
setelah wafatnya Rasulullah.
 Ummul Banin binti Hizam. Dari Ummul Banin beliau memperoleh empat orang putera, al-Abbas, Ja’far,
Abdullah dan Utsman. Mereka semua terbunuh bersama saudara mereka, yakni al-Husein di padang Karbala.
Tidak ada generasi penerus keturunan ini kecuali al-Abbas.
 Laila binti Mas’ud bin Khalid bin Malik dari Bani Tamim. Dari Laila beliau memperoleh dua orang putera,
Ubaidullah dan Abu Bakar. Hisyam bin al-Kalbi berkata, “Keduanya juga terbunuh di padang Karbala. Menurut
al-Waqidi, Ubaidullah dibunuh oleh Mukhtar bin Abi Ubaid pada peperangan al-Madzar.
 Asma’ binti ‘Umais al-Khats’amiyyah, darinya beliau memperoleh dua orang putera: Yahya dan
Muhammad al-Ashghar. Al-Waqidi mengatakan, “Beliau memperoleh dua orang putera darinya, Yahya dan
‘Aun, adapun Muhammad al-Ashghar berasal dari ummul walad (budak wanita).”
 Ummu Habib binti Rabi’ah bin Bujair bin al-Abdi bin ‘Alqamah, ia adalah ummu walad (budak wanita) dari
tawanan yang ditawan oleh Khalid bin Walid dari Bani Taghlib ketika ia menyerbu wilayah ‘Ainut Tamr.
Darinya beliau memperoleh seorang putera bernama Umar -yang diberi umur panjang 85 tahun dan seorang
puteri bernama Ruqayyah.
 Ummu Sa’id binti Urwah bin Mas’ud bin Mu’attib bin Malik ats- Tsaqafi, darinya beliau memperoleh dua
orang puteri, Ummul Hasan dan Ramlah al-Kubra.
 Binti Umru’ul Qais bin Ady bin Aus bin Jabir bin Ka’ab bin Ulaim bin Kalb al-Kalbiyah. Darinya beliau
memperoleh seorang puteri. Suatu ketika Ali membawanya saat ia masih kecil ke masjid, ditanyakan
kepadanya, “Siapakah bibimu?” Ia menjawab, “Hugh, hugh!” Maksudnya Bani Kalb.
 Umamah binti Abil Ash bin ar-Rabi’ bin Abdil Uzza bin Abdi Syams bin Abdi Manaf bin Qushay, ibunya
adalah Zainab binti Rasulullah dialah yang digendong oleh Rasulullah ketika shalat, saat bangkit beliau
menggendongnya dan saat sujud beliau meletakkannya. Darinya Ali memperoleh seorang putera bernama
Muhammad al-Ausath.
 Khaulah binti Ja’far bin Qais bin Maslamah bin Ubaid bin Tsa’lab bin Yarbu’ bin Tsa’labah. Ia ditawan
oleh Khalid bin Walid pada masa kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq pada peperangan melawan kaum
murtad. Ia berasal dari Bani Hanifah. Kemudian ia diserahkan kepada Ali bin Abi Thalib. Dari Khaulah ini Ali
memperoleh seorang putera bernama Muhammad al-Akbar (lebih dikenal dengan sebutan Muhammad bin al-
Hanafiyah). Di antara kaum Syi’ah ada yang menganggap beliau sebagai imam yang ma’shum. Ia memang
termasuk tokoh kaum muslimin, namun bukanlah ma’shum, ayahnya juga tidak ma’shum bahkan orang yang
lebih utama dari ayahnya, yaitu Khulafa’ur Rasyidin sebelum beliau, juga tidak ma’shum, wallahu a’lam.

Ali bin Abi Thalib memiliki banyak anak keturunan lainnya dari sejumlah ummu walad (budak wanita). Saat
wafat beliau meninggalkan empat istri dan sembilan belas budak wanita. Di antara putera puteri beliau yang
tidak diketahui nama ibunya adalah: Ummu Hani’, Maimunah, Zainab ash-Shughra, Ramlah ash-Shughra,
Ummu Kaltsum ash-Shughra, Fathimah, Umamah, Khadijah, Ummul Kiram, Ummu Ja’far, Ummu Salamah,
Jumanah dan Nafisah. Ibnu Jarir berkata, “Jumlah keseluruhan anak kandung beliau adalah empat belas orang
15
putera dan tujuh belas orang puteri.” Al-Waqidi berkata, “Generasi penerus Ali ada lima; al-Hasan, al-Husain,
Muhammad bin al-Hanafiyah, al-Abbas al-Kilabiyah dan Umar bin at-Taghlibiyah.”

F. PERISTIWA WAFAT DAN USIANYA

Setelah perang Nahrawan berakhir, Ali as kembali mengimbau umat untuk bersiap-siap menyerang
Muawiyah di Syam yang melakukan pembangkangan dan merusak persatuan kaum muslimin.. Sejumlah orang
seperti Asy’ats bin Qais sangat berperan dalam mengendurkan semangat para pendukung khalifah untuk
kembali menyusun kekuatan di bawah kepemimpinan Ali bin Abi Thalib as. Akibatnya, dengan alasan letih
karena perang, mereka memilih untuk meninggalkan pemimpin mereka di kamp Nukhailah. Menyaksikan
kondisi yang demikian, Amirul Mukminin terpaksa kembali ke Kufah.
Ali as memendam kekecewaan yang mendalam terhadap warga Kufah. Berkali-kali beliau mengecam warga
kota itu karena ketidakloyalan mereka kepada khalifah. Dalam sebuah khotbahnya, beliau mengatakan, “Aku
terjebak di tengah orang-orang tidak menaati perintah dan tidak memenuhi panggilanku. Wahai kalian yang
tidak mengerti kesetiaan! Untuk apa kalian menunggu? Mengapa kalian tidak melakukan tindakan apapun untuk
membela agama Allah? Mana agama yang kalian yakini dan mana kecemburuan yang bisa membangkitkan
amarah kalian?”.
Pada kesempatan yang lain beliau berkata, “Wahai umat yang jika aku perintah tidak menggubris
perintahku, dan jika aku panggil tidak menjawab panggilanku! Kalian adalah orang-orang yang kebingungan
kala mendapat kesempatan dan lemah ketika diserang. Jika sekelompok orang datang dengan pemimpinnya,
kalian cerca mereka, dan jika terpaksa melakukan pekerjaan berat, kalian menyerah. Aku tidak lagi merasa
nyaman berada di tengah-tengah kalian. Jika bersama kalian, aku merasa sebatang kara.”.
Meski kecewa akan sikap dan perlakuan warga Kufah terjhadap dirinya, Imam Ali as terus berusaha
menyadarkan mereka dan menggerakkan semangat mereka untuk kembali berjihad di jalan Allah. Dalam
banyak kesempatan, beliau mengingatkan mereka akan kebenaran yang berada di pihaknya dan bahwa
berperang melawan Muawiyah adalah tugas suci yang harus dilaksanakan, sebab Muawiyah memecah belah
umat dan berusaha menyebarkan kebatilan di tengah umat.
Berbeda dengan kondisi Kufah, di Syam, Muawiyah menikmati kesetiaan warga di negeri itu yang siap
mengorbankan nyawa deminya. Muawiyah yang mendengar berita pengkhianatan warga Kufah terhadap
pemimpin mereka, berusaha memanfaatkan kesempatan itu untuk mengguncang dan merongrong
pemerintahan Ali bin Abi Thalib as. Salah satu caranya adalah dengan melakukan penyerangan ke sejumlah
wilayah kekuasaan khalifah yaitu Jazirah Arabia dan Irak. Dengan cara ini, Muawiyah berupaya menjatuhkan
mental para pendukung Ali.
Usaha Imam Ali as untuk kembali menyusun kekuatan, mulai menampakkan hasil. Kelompok demi kelompok
menyatakan kesediaan mereka untuk bergabung dengan pasukan beliau. Upaya menggalang kekuatan terus
dilakukan oleh orang-orang dekat dengan Imam Ali as, termasuk kedua putra beliau Al-Hasan dan Al-Husein

16
as. Dalam kondisi seperti itu, Allah ternyata berkehendak lain. Setelah berjuang sekian tahun menjaga amanah
imamah yang diberikan oleh Rasulullah, dan setelah menyaksikan pengkhianatan demi pengkhianatan orang-
orang di sekelilingnya, Imam Ali a.s. harus menghadap Sang Pencipta, Allah SWT.
Hari itu, tanggal 19 ramadhan tahun 40 hijriyah. Amirul Mukminin Ali as keluar dari rumahnya menuju masjid
Kufah untuk memimpin shalat subuh berjamaah. Di tengah shalat, saat beliau mengangkat kepala dari
sujudnya, sebilah pedang beracun terayun dan mendarat tepat di atas dahi putra Abu Thalib itu. Darah
mengucur deras membahasi mihrab masjid. Jemaah masjid tersentak mendengar suara Ali, “Fuztu wa rabbil
ka’bah. Demi pemilik Ka’bah, aku telah meraih kemenangan.”.
Ali roboh di mihrabnya dengan luka yang parah, sementara warga dengan cepat menangkap sang
pembunuh yang tak lain adalah Abdurrahman bin Muljam, seorang khawarij. Al-Hasan membawa ayahnya ke
rumah. Berita itu segera menyebar di seluruh penjuru kota Kufah. Berbagai usaha dilakukan untuk
menyelematkan jiwa Imam Ali as. Tetapi takdir Allah berkehendak lain. Ali bin Abi Thalib gugur syahid pada
tanggal 21 Ramadhan atau dua hari setelah peristiwa pemukulan itu terjadi.
Sebelum meninggalkan dunia yang fana ini, Amirul Mukminin mewasiatkan beberapa hal kepada putra-
putranya dan kepada umat. Di antara pesan beliau adalah menjalin hubungan sanak keluaga atau silaturrahim,
memperhatikan anak yatim dan tetangga, mengamalkan ajaran Al-Qur’an, menegakkan shalat yang merupakan
tiang agama, melaksanakan ibadah haji, puasa, jihad, zakat, memperhatikan keluarga Nabi dan hamba-hamba
Allah, serta menjalankan amr maruf dan nahi munkar.
Menurut sejumlah riwayat, Imam Ali as menghembuskan nafasnya yang terakhir ketika bibir beliau berulang-
ulang mengucapkan “Lailahaillallah” dan membaca ayat, “Faman ya’mal mitsqala dzarratin khairan yarah.
Waman ya’mal mitsqala dzarratin syarran yarah.” Artinya, “Siapapun yang melakukan kebaikan sebiji atompun,
dia akan mendapatkan balasannyanya, dan siapa saja melakukan keburukan meski sekecil biji atom, kelak dia
akan mendapatkan balasannya.”.
Banyak riwayat yang menyebutkan bahwa Imam Ali as sejak lama telah mengetahui kapan dan bagaimana
beliau akan meneguk cawan syahadah. Suatu ketika, Nabi Muhammad SAW menjelaskan kemuliaan bulan
Ramadhan kepada para sahabatnya. Kepada Nabi, Ali bertanya, di bulan suci ini, amalan apakah yang terbaik?
Rasul SAW menjawab, “Meninggalkan perbuatan dosa.” Mendadak mata Nabi berkaca-kaca. Ali menanyakan
apa yang membuat beliau menangis? Rasul menjawab, bahwa Ali kelak akan dibunuh di bulan Ramadhan.
Kepergian Imam Ali as meninggalkan kedukaan yang mendalam di tengah umat Islam. Betapa tidak, Ali
adalah orang yang mewarisi ilmu Nabi dan pemimpin besar umat ini. Akan tetapi, beliau ternyata harus
meninggalkan ummat setelah mengalami berbagai macam pengkhianatan dan fitnah. Kondisi yang ada saat itu
memaksa keluarga besar Rasulullah untuk memakamkannya di malam hari secara diam-diam di luar kota
Kufah. Tempat itu di kemudian hari menjadi sebuah kota bernama Najaf.
Bab III
A. Perjuangan Ali ra. Dalam membela Islam dan kaum Muslimin hingga akhir hayatnya.
17
Sejak muda Ali adalah pemberani hingga beliau bersedia tidur di kamar Nabi untuk mengelabui orang-orang
Quraisy yang akan menggagalkan hijrah Nabi. Beliau tidur menampakkan kesan Nabi yang tidur sehingga
masuk waktu menjelang pagi mereka mengetahui Ali yang tidur, sudah tertinggal satu malam perjalanan oleh
Nabi yang telah meloloskan diri ke Madinah bersama Abu Bakar.
Beberapa saat setelah menikah, pecahlah perang Badar, perang pertama dalam sejarah Islam. Di sini Ali
betul-betul menjadi pahlawan disamping Hamzah, paman Nabi. Banyaknya Quraisy Mekkah yang tewas di
tangan Ali masih dalam perselisihan, tapi semua sepakat beliau menjadi bintang lapangan dalam usia yang
masih sangat muda sekitar 25 tahun.
Perang Khandaq juga menjadi saksi nyata keberanian Ali bin Abi Thalib ketika memerangi Amar bin Abdi
Wud . Dengan satu tebasan pedangnya yang bernama dzulfikar, Amar bin Abdi Wud terbelah menjadi dua
bagian.
Nabi bersabda : "Besok, akan aku serahkan bendera kepada seseorang yang tidak akan melarikan diri, dia
akan menyerang berulang-ulang dan Allah akan mengaruniakan kemenangan baginya. Allah dan Rasul-Nya
mencintainya dan dia mencintai Allah dan Rasul-Nya".
Maka, seluruh sahabat pun berangan-angan untuk mendapatkan kemuliaan tersebut. Namun, temyata Ali
bin Abi Thalib yang mendapat kehormatan itu serta mampu menghancurkan benteng Khaibar dan berhasil
membunuh seorang prajurit musuh yang berani bernama Marhab lalu menebasnya dengan sekali pukul hingga
terbelah menjadi dua bagian. Hampir semua peperangan beliau ikuti kecuali perang Tabuk karena mewakili
nabi Muhammad untuk menjaga kota Madinah
B. Proses pengangkatan Ali sebagai kholifah ke-empat
Peristiwa pembunuhan terhadap Khalifah Utsman bin Affan mengakibatkan kegentingan di seluruh dunia
Islam yang waktu itu sudah membentang sampai ke Persia dan Afrika Utara. Pemberontak yang waktu itu
menguasai Madinah tidak mempunyai pilihan lain selain Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, waktu itu Ali
berusaha menolak, tetapi Zubair bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah memaksa beliau, sehingga akhirnya Ali
menerima bai'at mereka. Menjadikan Ali satu-satunya Khalifah yang dibai'at secara massal, karena khalifah
sebelumnya dipilih melalui cara yang berbeda-beda.
Sebagai Khalifah ke-4 yang memerintah selama sekitar 5 tahun. Masa pemerintahannya mewarisi kekacauan
yang terjadi saat masa pemerintah Khalifah sebelumnya, Utsman bin Affan. Untuk pertama kalinya perang
saudara antara umat Muslim terjadi saat masa pemerintahannya, Pertempuran Basra. 20.000 pasukan
pimpinan Ali melawan 30.000 pasukan pimpinan Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah, dan Ummul
mu'minin Aisyah binti Abu Bakar, janda Rasulullah. Perang tersebut dimenangkan oleh pihak Ali.
Peristiwa pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan yang menurut berbagai kalangan waktu itu kurang dapat
diselesaikan karena fitnah yang sudah terlanjur meluas dan sudah diisyaratkan (akan terjadi) oleh Nabi
Muhammad SAW ketika beliau masih hidup, dan diperparah oleh hasutan-hasutan para pembangkang yang
ada sejak zaman Utsman bin Affan, menyebabkan perpecahan di kalangan kaum muslim sehingga
18
menyebabkan perang tersebut. Tidak hanya selesai di situ, konflik berkepanjangan terjadi hingga akhir
pemerintahannya. Pertempuran Shiffin yang melemahkan kekhalifannya juga berawal dari masalah tersebut.
C. Ali dibai’at sebagai kholifah
Masyarakat umum yang merasakan kekosongan kepemimpinan menyerbu rumah Ali dan mengajukan baiat
mereka. Putra Abu Thalib menolak baiat tersebut dan meminta umat untuk membaiat orang selain dirinya.
Ketika desakan massa semakin kuat, Ali menerima baiat mereka. Praktis dengan baiat yang dilakukan umat
secara aklamasi terhadap dirinya, Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah kaum muslimin.
Kebijakan pertama yang dilakukan Ali adalah mencopot para pejabat yang tidak layak lalu mengganti mereka
dengan orang-orang yang cakap dan adil. Ali yang dikenal dengan keadilannya juga mencabut undang-
undang yang diskriminatif. Beliau memutuskan untuk membatalkan segala konsesi yang sebelumnya
diberikan kepada orang-orang Quresy dan menyamaratakan hak umat atas kekayaan baitul mal.
D. Perang Jamal
Sikap inilah yang mendapat penentangan sejumlah orang yang selama bertahun-tahun menikmati
keistimewaan yang dibuat oleh khalifah sebelumnya. Ketidakpuasan itu kian meningkat sampai akhirnya
mendorong sekelompok orang untuk menyusun kekuatan melawan beliau. Thalhah, Zubair dan Aisyah
berhasil mengumpulkan pasukan yang cukup besar di Basrah untuk bertempur melawan khalifah Ali bin Abi
Thalib.
Mendengar adanya pemberontakan itu, Ali mengerahkan pasukannya. Kedua pasukan saling berhadapan. Ali
terus berusaha membujuk Thalhah dan Zubair agar mengurungkan rencana berperang. Beliau mengingatkan
keduanya akan hari-hari manis saat bersama Rasulullah SAW dan berperang melawan pasukan kafir.
Meski ada riwayat yang menyebutkan bahwa himbauan Ali itu tidak berhasil menyadarkan kedua sahabat
Nabi itu, tetapi sebagian sejarawan menceritakan bahwa Thalhah dan Zubair saat mendengar teguran Ali,
bergegas meninggalkan medan perang.
Perang tak terhindarkan. Ribuan nyawa melayang sia-sia, hanya karena ketidakpuasan sebagian orang
terhadap keadilan yang ditegakkan oleh Imam Ali as. Pasukan Ali berhasil memukul mundur pasukan yang
dikomandoi Aisyah, yang saat itu menunggang unta. Perang Jamal atau Perang Unta berakhir setelah unta
yang dinaiki oleh Aisyah tertusuk tombak dan jatuh terkapar.
Sebagai khalifah yang bijak, Ali memaafkan mereka yang sebelum ini menghunus pedang untuk
memeranginya. Aisyah juga dikirim kembali ke Madinah dengan dikawal oleh sepasukan wanita bersenjata
lengkap. Fitnah pertama yang terjadi pada masa kekhalifahan Imam Ali as berhasil dipadamkan. Namun
masih ada kelompok-kelompok lain yang menghunus pedang melawan Ali yang oleh Rasulullah SAW disebut
sebagai poros kebenaran.

E. Perang Shifin

19
Setelah api fitnah pasukan Jamal berhasil dipadamkan, pemerintahan Imam Ali as kembali diguncang oleh
pemberontakan pasukan Syam pimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan. Perang ini terjadi setelah Muawiyah yang
menjabat sebagai gubernur Syam sejak masa khalifah Umar bin Khatthab, menolak berbaiat dan tidak
bersedia tunduk kepada pemerintahan Imam Ali as. Saat Imam Ali melalui sepucuk surat memintanya untuk
berbaiat, Muawiyah mengumpulkan warga Syam di masjid dan mengatakan bahwa ia akan menuntut darah
khalifah Usman yang dibunuh oleh para pemberontak.
Muawiyah mendapat dukungan warga Syam yang siap melakukan pembalasan atas darah khalifah. Pasukan
Syam telah disiagakan untuk memberontak. Berita akan kesiapan pasukan Syam sampai ke telinga Imam Ali
as. Beliau segera memanggil para sahabatnya untuk meminta pendapat mereka mengenai rencana serangan
ke Syam. Sebagian besar sahabat mendukung rencana itu, bahkan beberapa diantaranya mencaci pasukan
Syam. Imam melarang mereka dan mengatakan bahwa beliau tidak menyukai orang yang suka mencaci.
Ammar bin Yasir, salah seorang sahabat besar Nabi SAW dan pengikut setia Imam Ali as turut menyatakan
dukungan.
Setelah Imam Ali as yakin bahwa Muawiyah hanya mengenal bahasa kekerasan, beliau mengumumkan
rencananya menyerang Syam kepada seluruh warga. Al-Hasan dan Al-Husein as, dua putra Imam Ali as
memikul tugas mengajak masyarakat untuk menyertai pasukan Kufah menuju Syam.
Mendengar kesiapan pasukan Kufah, Muawiyah mengumpulkan warga Syam di masjid. Di atas mimbar
masjid Syam, dia mengangkat tinggi-tinggi sebuah baju yag berlumur darah seraya mengatakan, “Inilah baju
khalifah Usman yang masih berlumur darah.” Muawiyah mengajak warga Syam untuk menyertai pasukannya
menyerang pasukan Irak yang dipimpin oleh Imam Ali as.
Dua pasukan besar Syam dan Kufah bertemu. Kepada para sahabatnya, Imam Ali berpesan untuk tidak
memulai perang sebelum pasukan Syam menyerang. Tanggal 1 Shafar tahun 37 hijriyah, kedua pasukan
terlibat pertempuran sengit. Perang yang dikenal dengan nama perang Shiffin ini berlangsung cukup lama.
Korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Diantara mereka yang gugur di pasukan Imam Ali adalah Ammar
bin Yasir, Khuzaimah yang disebut nabi dengan nama dzu syahadatain atau orang memiliki dua syahadah,
Uwais Al-Qarani, seorang arif yang dipuji Nabi serta sejumlah sahabat besar lainnya.
Ketika Muawiyah menyaksikan keletihan dan ketidakmampuan pasukannya untuk melanjutkan perang, ia
memerintahkan orang-orangnya untuk mengangkat Al-Qur’an di atas tombak seraya memekikkan suara
gencatan senjata. Tipu muslihat itu berhasil membuat pasukan Kufah ragu melangkah. Mereka tertipu oleh
tipu daya ini dan tidak lagi mengacuhkan perintah Imam Ali as untuk melanjutkan perang. Ketidakpatuhan
pasukan Kufah kepada pemimpinnya memaksa Imam Ali as untuk menerima ajakan damai yang sebenarnya
hanyalah tipu muslihat Muawiyah untuk lolos dari kekalahan yang sudah di depan mata dalam perang Shiffin.
Gencatan senjata dilanjutkan dengan masing-masing pasukan mengirimkan juru runding. Muawiyah menunjuk
Amr bin Ash yang dikenal licik ke meja perundingan. Sementara Imam Ali menunjuk Abdullah bin Abbas yang
di kalangan Quresy dikenal sebagai orang cerdik dan arif. Tetapi lagi-lagi, pasukan Irak menentang keputusan
20
Imam Ali. Dengan berdalih bahwa Ibnu Abbas adalah anggota pasukan Irak, maka dia tidak berhak duduk di
meja perundingan. Mereka lantas memilih Abu Musa Al-Asy’ari yang tidak terlibat dalam perang Shiffin. Imam
Ali yang kecewa dengan sikap pasukannya yang tidak lagi menghiraukan pemimpin mereka mengatakan,
“Silahkan lakukan apa yang kalian inginkan.”.
Dalam perundingan itu, Amr bin Ash dan Abu Musa sepakat untuk bersama-sama mengumumkan pencabutan
jabatan Imam Ali dan dan Muawiyah. Setelah terlebih dahulu Abu Musa menyatakan keputusan menurunkan
Ali dari khilafah, Amr dengan licik menyatakan bahwa dia menunjuk Muawiyah untuk menjadi pemimpin dan
khalifah atas umat Islam.

F. Perang Nahrawan
Peristiwa hakamiyyah atau perundingan setelah perang Shiffin menjadi percikan awal munculnya kelompok
baru yang dinamakan Khawarij. Kelompok ini mengangkat slogan “Tidak ada keputusan kecuali keputusan
Allah.” Dengan slogan ini mereka menyatakan penentangan atas keputusan Imam Ali yang bersedia
berunding dengan Muawiyah. Setelah mendengar jawaban dan keterangan dari khalifah ini, sebagian besar
orang yang semula bergabung dengan kelompok itu memisahkan diri dan kembali ke barisan Imam Ali as.
Tak lama kemudian Khawarij membentuk pasukan dan memilih salah seorang diantara mereka sebagai
pemimpin. Pasukan ini bergerak ke arah daerah bernama Nahrawan. Siapa saja yang ditemui dan
menyatakan mendukung kepemimpinan Imam Ali as tidak selamat dari tebasan pedang mereka.
Keberingasan Khawarij membulatkan tekad Imam Ali untuk menghabisi mereka.
Saat dua pasukan berhadapan, sekali lagi Ali menasehati mereka untuk kembali ke jalan yang benar.
Kelompok demi kelompok memisahkan diri dari pasukan khawarij, sampai jumlah mereka berkurang menjadi
hanya 1.800 penunggang kuda dan 1.500 pejalan kaki. Imam Ali berpesan kepada pasukannya yang
berjumlah 14 ribu orang untuk tidak memulai perang. Khawarij secepat kilat menyerang dengan beringas dan
dengan cepat pula barisan mereka kucar kacir. Pasukan ini lumpuh hanya beberapa saat setelah perang
dimulai. Dari barisan Imam Ali hanya kurang dari 10 orang yang gugur. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 9
Shafar tahun 38 hijriyah.

Bab IV JASA-JASA DAN KARYA-KARYANYA


 Mengganti Pejabat yang kurang cakap, Karena Ali Bin Abi Tholib menginginkan sebuah pemerintahan
yang efektif dan efesien
 Membenahi keuangan Negara ( Baitul Mall ) digunakan untuk kesejahteraan rakyat
 Memajukan ilmu bidang bahasa untuk menghindari kesalahan fatal dalam bacaan al qur’an dan hadist.
Kholifah Ali bin Abi Tholib memerintahkan Abul Aswad Ad-Duali agar mengembangkan pokok-pokok ilmu
nahwu
 Bidang Pembangunan. Salah satu nya adalah Pembangunan Kota Kuffah
21
BAB V: PENUTUP
a. Keteladanan
Kita sebagai generasi muslim di akhir-akhir zaman tentunnya menginginkan sebuah Negara yang bisa
memberikan kesejahteraan dunia dan akhirat. Semua itu terangkum dalam sebuah Negara Khilafah ala
minhajj an nubuwwah, yaitu sebuah Negara yang menggunakan islam sebagai Ideologinya. Sebuah Negara
pasti mempunyai pasukan-pasukan untuk menyebarkan Dakwah islam ke seluruh penjuru dunia agar umat
islam tidak lagi terjerumus ke lubang biawak yang telah dibangun oleh Negara- Negara Barat yang kufur
terhadap islam, Seperti Amerika, Inggris, Spanyol, Israel, dan Sebagainnya.
Pasukan-pasukan islam harus mempunyai karakter yang kuat, pemberani, gagah, cerdas strategi perang
seperti Pejuang – pejuang islam pada masa nabi dan Khulafaur Rosyidin. Contohnya adalah Khalid bin Walid,
Abu Ubaidah ibn Jarroh, Zaid bin Haritsah, Usamah bin Zaid, Ali bin Abi Thalib, dan sebagainnya.
Sosok Ali bin Abi Tholib adalah Seorang yang tinggi di hadapan Allah dan Rosulnya, juga seorang pejuang
Nahi Munkar Sejati yang patut diteladani dan dicontoh Sifat dan perjuanganya agar bisa menjadi Ali bin Abi
Tholib masa kini. Banyak Perjuangan yang dilakukan Ali bin Abi Tholib untuk menjadi Seorang Sahabat Rosul,
pembela kebenaran dan juga seorang Pejuang Nahi Munkar Sejati. Tidak hanya harta yang dikorbankan di
jalan Allah tapi juga Jiwa dan Raga nya selalu ada untuk Allah.
Sekarang sudah saatnya generasi muslim berubah menjadi Pejuang- pejuang islam masa kini yang
meneladani dan mencontoh sifat-sifat dan perjuangan pejuang – pejuang islam masa lampau yang
mengorbankan dirinya semata- mata mendapatkan ridho dan surga Allah. Juga untuk semata-mata
meninggikan kalimat Lailahaillah di Seluruh penjuru dunia ini yang akan dipimpin oleh Negara Khilafah yang
sebentar menjadi kenyataan. Janji dan pertolongan Allah pasti akan datang. Oleh karena itu, mari kita
bergerak bersama untuk memperjuangkan Khilafah ala Minhajj an-Nubuwwah.
Allahu Akbar!!!!!!

b. Kesimpulan
Sahabat Ali bin Abi Thalib adalah seorang sahabat, sepupu dan seorang menantu Nabi yang mulia, Nabi
Muhammad. Ali kecil masuk islam ketika melihat Rasul dan Siti Khadijah sedang melakukan shalat. Ali kecil
pun menjadi seorang yang tergolong orang yang pertama-tama masuk islam (Assabiqunal Awwalun) dari
golongan anak kecil. Ali tumbuh dalam asuhan langsung dari nabi jadi Ali sangat dekat dan sangat mencontoh
prilaku nabi yang mulia. Setelah berjuang bersama nabi di Mekkah, Nabi pun disuruh oleh Allah untuk hijrah
ke Yastrib (Madinah). Ali pun juga diperintah agar menggantikan Rasul di tempat tidurnya. Tapi, atas
kehendak Allah Ali tidak sampai dibunuh oleh orang-orang Quraisy.

22
23

Anda mungkin juga menyukai