Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

KEMAJUAN DAN KEMUNDURAN DI MASA


KEHKOLIFAHAN ALI BIN ABI THALIB .

Dosen Pengampu
IBU KAMSIAH M.H

Disusun Oleh :

Robi maulana ( 020.1130 )


Muhammad ardan ( 020.1121 )

PROGRAM STUDI AHWALU ASY-SYAKHSIYYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ( STAI ) SAMARINDA .

2021.
1

DAFTAR ISI

BAB I . PENDAHULUAN

A. Latar Belakang …………………………………………… 2

B. Rumusan Masalah ………………………………………. 3

BAB II . PEMBAHASAN

A. Riwayat hidup khalifah ali bin abi tholib …………………… 4

B. Pengangkatan kekhalifahan ali bin abi thalib ……………… 11

C. Kebijakan dan permasalahan di masa kekhalifahan ali bin abi tholib


……………..…………………………………………………… 18

BAB III . PENUTUP


A. Kesimpulan ……………………………………………… 24

DAFTAR PUSTAKA . ……………………………………. 25


2

BAB I

PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG

Setelah Rasulullah SAW. Wafat, mulailah periode al-Khulafâ al-Rasyidîn


atau pase baru. Pada pase ini muncul persoalan baru yang dapat
diselesaikan dengan pemikiran/ijtihad. Pada saat para sahabat sibuk dalam
pengurusan jenazahnya, Abu Bakar dan Umar menuju ke Tsaqifah bani
Sa’adah, di mana kaum Anshar telah berkumpul. Mereka mencalonkan
Sa’ad ibn ‘Ubadah dan hampir memilihnya sebagi pengganti Nabi. Lalu
Abu Bakar berpidato di hadapan para sahabat yang ada di sana dengan
alasan hadis Nabi SAW. al-Aimmatu min Quraisy (kepemimpinan dalam
Islam adalah dari kalangan Quraiy), setelah melalui perdebatan akhinya
Abu Bakar terpilih sebagai khalifah al-Rasul ( Pengganti Rasul). Dan
dilakukan pembaiatan.

Dengan demikian pengangkatan Khulafâ al-Rasyidîn dilakukan dengan


musyawarah dan melalui bai’at. Dengan bai’at dimaksudkan sebagai
pengakuan dan persetujuan pemuka masyarakat atau masyarakat pada
umumnya terhadap seseorang untuk menjabat suatu jabatan. Abu Bakar
dibai’at dari calon yang diajukan sendiri oleh masyarakat, karena
Rasulullah SAW sampai meninggal dunia tidak pernah menunjuk seorang
sahabat sebagai penggantinya.

Pembai’atan terhadap Umar Bin Khattab dilaksanakan setelah ditetapkan


oleh Abu Bakar sebagai calon penggantinya.

Usman Bin Affan dibai’at setelah ditetapkan oleh suatu komite yang
dibentuk oleh khlifah Umar bin Khattab menjelang wafatnya.
Pemerintahan Khalifah ‘Usman Ibn’Affan selama 12 tahun. Enam tahun
pertama dikenal sebagai periode kemajuan dan enam tahun berikutnya
3

adalah periode kemunduran yang diawali dengan munculnya keresahan-


keresahan akibat ketidak puasan masyarakat terhadap kebijaksanaan politik
dan pemerintahan yang dijalankan oleh Khalifah Usman Bin ‘Affan beserta
gubernur-gubernurnya di propinsi-propinsi yang pada akhirnya memuncak
dalam bentuk pemberontakan yang tidak terelakkan. Pemberontakan ini
pada akhirnya membawa kematian Khalifah Usman Bin Affan. Peristiwa
tersebut telah membawa akibat yang sangat besar terhadap perjalanan
sejarahIslam selanjutnya menimbulkan kerusuhan yang memecah belah
kesatuan umat .

Setelah Khalifah ‘Usman Ibn ‘Affan wafat, Ali Ibn Abi Talib terpilih
menjadi khalifah keempat. Persoalan pertama yang dihadapinya adalah
Talha dan Zubeir yang mewakili kelompok Mekah, keduanya tidak mau
mengakui kekhalifahan Ali Ibn Abi Talib yang pada akhirnya menyebabkan
terjadinya perang jamal dan disusul dengan perang Siffin pada pertengahan
abad ketujuh Masehi antara Ali Ibn Abi Talib sebagai khalifah dan
Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai Gubernur Damsyik3 yang berakhir
dengan perdamaian yang disebut dengan tahkim.

B. RUMUSAN MASALAH

1.Seperti apa riwayat hidup Ali bin abi thalib ?

2.bagaimana pengangkatan kekhalifahan ali bin abi tholib ?

3.apa saja kebijakan ,kemajuan dan permasalahan di masa kekhalifahan ali


bin abi thalib ?
4

BAB II

PEMBAHASAN

A. Riwayat Hidup Khalifah Ali bin Abi Thalib

Ia bernama Ali bin Abi Thalib (nama Abu Thalib sendiri Abdu Manaf) ibn Abdul
Muthallib (namanya adalah Syaibah) ibn Hasyim (namanya adalah Amr) ibn Abdi
Manaf (namanya adalah Mughirah) ibn Qusyhai (namanya aslinya adalah Zaid)
ibn kilab ibn Murrah ibn Ka’ab ibn Lu’ay ibn Ghalib ibn Fihr Malik ibn kinanah.
Ali adalah satu dari sepupu orang yang mendapat jaminan dari Rasulullah Saw
untuk masuk surga. Ia adalah saudara Rasulullah sewaktu terjadi Mu’akhat
(jalinan ukhuwah dari Madinah). Ali adalah juga menantu Rasulullah Saw karena
ia menikahi putri beliau, Fatimah, pemimpin perempuan sedunia. Ali adalah salah
satu ulama Rabbaniyyin, seorang pejuang yang gagah berani, seorang zuhud yang
terkenal ia seorang orator ulung. Ia adalah diantara penghimpun al-Quran dan ia
bacakan dihadapan Rasulullah Saw.1

Julukannya adalah Abul Aasan. Dinasabkan kepaa anaknya yang paling besar
yaitu Hasan, dari keturunan istrinya yang bernama Fatimah putri Rasulullah Saw.
Julukan Ali yang lain adalah Abu Turab, yaitu julukan pemberian Rasulullah Saw,
dan Ali merasa senang jika dipanggil nama itu. Kisah berawal dari peristiwa
ketika Rasulullah datang ke rumah Fatimah putrinya, lalu beliau tidak mendapati
Ali sedang dirumah. Lalu beliau berkata kepada putrinya, “Dimana anak
pamanmu (suamimu)?

Kemudian Fatimah menjawab: “Sebelumnya antara aku dan dia telah terjadi
perselisihan, lalu dia marah padaku dan kemudia dia keluar dan meninggalkan
rumah dan tidak tidur bersamaku.” Lalu Nabi berkata kepada seseorang laki-laki
yang ada dirumah tersebut, “Carilah ada dimana dia?” tidak lama kemudia orang
tersebut datang kembali dan berkara kepada Rasul, “Wahai Rasulullajh aku
temukan Ali sedang tidur dimasjid.” Lalu pergilah Rasulullah untuk menemui
1 Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa: Sejarah Para Khalifah, Penerjemah,
Muhammad Ali nurdin, (Jakarta: Qisthi press, 2014), h. 179-180
5

mendatanginya, dan benar beliau mendapati Ali sedang sedang tidur di masjid
dalam keadaan sarungnya terlepas dari badannya sehingga badannya bertaburan
debu. Melihat hal itu, Rasulullah mengusap debu yang ada dibadanya itu seraya
berkata, “Bangunlah wahai Abu at-Turab (bapak debu)!”

Diantara julukan lain yang dimiliki Ali adalah Abul hasan wan Husain, Abu
Qashim Al-Hasyim, dan abu As-Sabhtaini (dua cucu Rasullah).2

Gelar ini dipakai kemudian dipakai oleh lawan-lawannya dan ini didukung oleh
beberapa Orientalis. Kabarnya orang-orang Syi’ah disebut orang Turabiyah dan
pengikut Ali disebut Turabi. Gelar lain yang diperoleh Ali adalah Abu al-Hasan
karena ia memiliki seorang anak yang bernama Hasan.3

Terjadi perselisihan di antara para sejarah tentang tahun kelahiran Ali bin Abi
Thalib. Menurut Hasan Al-Bashri, kelahiran ali bin Abi Thalib terjadi pada 15
atau 16 tahun sebelum diutusnya Nabi Muhammad sebagai Nabi.

Sedangkan menurut Ibnu Ishak, Ali bin Abi Thalib dilahirkan 10 Tahun sebelum
diutusnya Nabi Muhammad menjadi nabi. Pendapat ibnu ishak ini didukung dan
dikuatkan oleh Ibnu hajar.Menurut Al-Faqihi, Ali bin Abi Thalib adalah orang
yang pertama dari keturunan Bani Hasyim yang dilahirkan di dalam Ka’bah.
Sebagaimana Al-Hakim juga menyebutkan, terdapat banyak berita yang secara
muawatir menyatakan bahwa bahwa Ali bin Abi Thalib adalah manusia pertama
yang lahir di Ka’bah.4

Seperti diketahui Ali adalah keturunan Bani Hasyim dari suku Quraisy. Dalam
sejarah, semua orang mengakui ketinggian dan kemuliaan nasab suku Quraisy.
Mereka dikenal memiliki bahasa yang fasih dan kemampuan lisan untuk
menjelaskan sesuatu dengan gmblang. Keluhuran akhlak, keberanian, dan
kedermawanan mereka sudah dikenal setiap orang. Sudah banyak teladan dan
contoh orang-orang mulia dari mereka. Pada masa jahiliyah mereka dikenal hidup
2 Ash-Shalabi Ali Muhamamd, Biografi Ali bin Abi Talib, (Jakarta: Pustaka
alKautsar, 2008), h. 14
3 Audah Ali, Ali bin Abi Thalib sampai kepada Hasan dan Husein, (Jakarta:
Litera Antar Nusa Pustaka Nasional, 2010), h. 28
4 As-Shalabi, Biografi,... ..., h. 15.
6

rukun dan banyak berpegang teguh dengan Syariat Nabi Ibrahim. Mereka tidak
sebagaimana orang-orang Arab lainnya ketika itu yang tidak dibimbing dan
muliakan oleh agama, serta tidak dihiasi dengan akhlak.

Mereka juga dikenal menyangi anak-anak mereka, menunaikan ibadah haji ke


Baitullah, mengerjakan amal ibadah, merawat dan memuliakan jenazah mereka,
serta terbebas dari keburukan dan kenistaan perilaku masyarkat pada zaman itu.
Mereka tidak melakukan pernikahan yang terlarang (seperti dengan anak
perempuan, cucu perempuan, saudara perempuan, dll), menjaga kehormatan istri-
istri mereka, dan jauh dari perilaku orang-orang majusi.5

Abdul Muthalib adalah kakek Nabi Muhammad dan juga kakek Ali bin Abi
Thalib. Pada masa jahilihiyah ia dikenal sebagai pemberi makan dan minum
orang-orang yang menunaikan ibadah haji, setelah sebelumnya tugas mulia itu
diemban oleh pamannya yang bernama Al-Muthalib.6

Termasuk sikap yang menambah kemuliaan mereka pada saat itu adalah mereka
mengizinkan terjadinya pernikahan kepada kabilah apa saja. Tanpa adanya syarat
apapun dan sikap fanatik atas kabilah mereka. Mereka tidak menikahkan putra-
putri mereka kecuali kepada orang-orang yang berpegang teguh kepada ajaran-
ajaran agama mereka. Ketentuan itu berlaku bagi mereka dan lebih-lebih bagi
tokoh-tokoh mereka.

Kemuliaan ini juga diwarisi oleh Abu Thalib ayah Ali sendiri. Ia juga sangat
disegani oleh suku Quraisy. Ia sangat menyayangi Nabi Muhammad
memeliharanya semenjak kecil, dan membelanya mati-matian dari keinginan
orang Quraisy yang membenci Nabi saw. Walaupun tidak sempat syahadat, Abu
Thalib telah membela Nabi termasuk menyampaikan tugas dakwah Nabi.7

Terkait atau tidak terkait dengan hal itu, selain mendapat bimbingan dari Nabi
semenjak kecil, Ali juga mewarisi kemuliaan dan sikap-sikap baik dari nenek

5 As-Shalabi, Biografi,... ..., h. 18.


6 As-Shalabi, Biografi,... ..., h. 19.
7 As-Shalabi, Biografi,... ..., h. 21.
7

moyangnya. Kemuliaan itu semakin bertambah karena ia dibimbing oleh Nabi


sendiri. Sinar al-Quran yang menjadi akhlak Nabi terpantulkan kepada diri Ali.8

Meskipun masih sangat muda Ali selalu mendampingi Nabi Saw. dalam setiap
kegiatan dakwah dan menjadi pejuang terkemuka di kalangan Islam. Dia
merupakan seorang pemberani, menjadi prajurit agung, lihai dalam berperang dan
terkenal dalam setiap pertempuran yang dilakukan umat Islam melawan orang-
orang kafir dan orang-orang Yahudi.9

Hidup Ali dari awal sudah mendapat cahaya Islam, dan ketika berumur 10 tahun
ia menerima Islam tanpa ragu-ragu dan tanpa berunding dengan siapa pun,
termasuk dengan ayahnya Abu Thalib sendiri. Ketika Nabi dan Khadijah shalat
Ali datang. Ia tidak mengerti ketika melihat keduanya ruku’ dan sujud serta
membaca beberapa ayat. Selesai shalat Ali bertanya kepada Nabi kepada siapa
mereka sujud. Nabi menjelaskan bahwa mereka sujud kepada Allah yang
mengajak manusia untuk menyembah-Nya. Kemudian Nabi mengajak Ali untuk
beribadah kepada Allah dan menerima agama Islam secara sempurna dengan
kesadaran sendiri tanpa paksaan.10

Baik karena keagungan dan keistimewaan suku Qurasiy maupun dari bimbingan
Nabi Muhammad saw Ali telah mewarisi berbagai sifat terbaik, seperti kefasihan
berbahasa, memiliki akhlak yang luhur, pemberani, dermawan, rendah hati,
menjauhi kesombongan, sangat memuliakan tamu, ramah, terlepas dari sikap dan

prilaku jahiliah. Di antara nikmat Allah Swt yang dikaruniakan kepada Ali bin
Abi Thalib dan kebaikan-kebaikan yang Allah limpahkan kepadanya bahwa suatu
masa, kaum Quraisy ditimpa krisis, dan Abu Thalib memiliki keluarga besar
(anak banyak), melihta itu Rasulullah Sawberkata kepada Abbas pamannya yang
dianggap lebih berkecukupan dari Bani Hasyim, kata Rasul, “Wahai Abbas,
sesungguhnya saudaramu Abu Thalib memiliki keluarga yang besar. Kamu tahu
krisis yang saat ini sedang melanda masyarakat, maka marilah kau berada

8 As-Shalabi, Biografi,... ..., h. 32


9 Mahmudunnasir, Islam, hlm. 194
10 Audah, Ali,... ..., h. 28.
8

bersama kami untuk meringankan beban mereka, saya akan mengambil satu orang
dari anaknya dan kamu juga mengambil satu orang anaknya untuk kita cukupi
segala kebutuhannya.”Lalu Abas berkata, wahai Rasulullah, lalu keduanya
berangkat menuju rumah Abu Thalib. Sampai di sana keduanya berkata, “Wahai
Abu Thalib, sesungguhnya kami berniat untuk meringankan beban keluargamu.”
Berkatalah Abu Thalib kepada keduanya, “Jika kalian berkehendak, maka
tinggalkanlah untuk kami anak kami yang bernama Ukail lali ambil siapa yang
kalian kehendaki selain dia.Kemudian Rasulullah Saw mengambil Ali untuk
hidup bersamanya, dan Abbas mengambil ja’far untuk hidup bersamanya.

Berawal dari situlah maka kemudian Ali hidup bersama Raslullah hingga
datangnya risalah kenabian. Selama itu, Ali selalu mendampinginya, dan termasuk
orang pertama dari golongan anak-anak yang mengakui dan mempercayainya.
Begitu pula Ja’far juga tetap tinggal bersama Al-Abbas hingga dia masuk Islam
dan hidup mandiri Dari sini kita perhatikan Rasulullah Saw hendak membalas
kebaikan yang dilakukan pamannya Abu Thalib kepada dirinya yang telah
merawat dan mencukupi segala kebutuhannya pasca kematian kakeknya Abdul
Muthalib. Ini merupakan jalan hadirnya nikmat Allah yang sangat besar kepada
Ali karena dari sinilah kemudian Ali dirawat dan dididik oleh Rasulullah sesuai
dengan petunjuk Allah. Kepribadian Rasulullah yang bersumber dari al-Qur’an
terpantulkan kepada diri Ali.

Ali tumbuh dan berkembang di dalam rumah Islam, dia tahu segala rahasia-
rahasia Islam semenjak usia dini. Hal itu terjadi sebelum dakwah Islam mulai
melangkah keluar dari rumah Nabi dan mencari pertolongan yang memperkuat
dakwahnya kepada manusia, dan mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju
cahaya.11

Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib suatu ketika datang menemui
Nabi Saw saat setelah keIslaman Khadijah. Ali mendapati keduanya sedang shalat
lalu Ali pun berkata, “Ini apa wahai Muhammad?” Kemudian Nabi pun bersabda,
“Ini adalah agama Allah yang telah Allah pilih dengan kehendak-Nya, dengan Dia

11 As-Shalabi, Biografi… …, h. 31-34


9

mengutus rasul-Nya. Saya ajak engkau wahai Ali untuk bersaksi terhadap Allah
yang Maha Esa dan utuk menyembah-Nya. Dan agar engkau mengingkari Latta
dan Uzza.” Ali pun berkata kepada Nabi, “Ini adalah perkara yang aku belum
pernah mendengarnya sama sekali sebelum hari ini, tetapi aku bukanlah orang
yang memiliki keputusan atas perkaraku sehingga aku harus berbicara dulu
kepada Abu Thalib.”

Namun Rasulullah tidak ingin Ali menceritakan rahasianya kepada siapa pun
termasuk Abu Thalib sebelum dia diperintahkan oleh Allah untuk menceritakan
urusan itu. Beliau pun berkata kepada Ali, “Wahai Ali jika engkau tidak berkenan
masuk Islam maka jaga rahasia ini.” Ali pun berdiam diri selama satu malam itu
sehingga kemudian Allah memberi kepadanya hidayah Islam. Pada suatu pagi ia
menghadap kepada Rasulullah dan berkata, “Apa yang engkau perintahkan
kepadaku wahai Muhammad?” Rasulullah bersabda,” Kamu bersaksi bahwa tidak
ada tuhan kecuali Allah dan tidak menyekutukannya serta engkau mengingkari
tuhan Latta dan Uzza, serta melepaskan diri dari segala bentuk penentangan
kepada Allah.” Ali pun melakukan apa yang diperintahkan Rasul kepadanya dan
menyatakan diri masuk Islam.Setelah itu, Ali sempat mengalami masa-masa
khawatir dan takut kemarahan bapaknya Abu Thalib karena dia telah menganut
agama Islam. Mula-mula dia menyembunyikan keIslamannya itu, tidak berani
menampakkannya.Ibnu Ishaq bercerita bahwa sebagian ahli ilmu menceritakan,

setiap kali datang waktu shalat, Rasulullah Saw keluar menuju tempat perbukitan
di Makkah. Dan Ali bin Abi Thalib ikut bersama beliau secara diam-diam dan
sembunyi-sembunyi. Ia menyembunyikan keIslamannya dari bapak, paman-
paman, dan keluarganya yang lain.

Keduanya mengerjakan shalat di tempat itu. Bila waktu petang tiba, keduanya
baru bersiap-siap untuk pulang dengan sembunyi-sembunyi. Pada suatu ketika
Abu Thalib pun menemukan keduanya secara sembunyi-sembuyi sedang
mengerjakan shalat. Lalu Abu Thalib bertanya kepada Rasulullah: “Wahai anak
saudara laki-lakiku, agama apa yang sedang kalian anut ini ? Rasulullah
10

menjawab, “Ini adalah agama Allah, agama para malaikat-Nya, agama para nabi-
Nya, dan agama bapak kita Ibrahim, aku telah diutus menjadi seorang Rasul

kepada sekalian umat manusia, dan engkau wahai paman, adalah orang yang lebih
berhak untuk menerima nasehat dariku, mendapatkan dakwahku, memenuhi
seruanku, dan menolong diriku.” 12

Mendengar jawaban itu, Abu thalib berkata “Wahai anak saudara laki-laki,
sesungguhnya aku tidak mampu meninggalkan agama nenek moyangku dan apa
yang telah mereka kerjakan. Tetapi demi Allah, tidaklah sampai sesuatu
kepadamu yang kau benci kecuali aku yang senantiasa menolongmu.” Lalu
kemudia Abu Thalib berkata kepada Ali, “Wahai anakku, agama apa yang
sekarang engkau anut?”

Ali menjawab, “Wahai bapakku, aku beriman kepada Allah, Rasul-Nya, dan saya
membenarkan apa yang dibawanya, dan saya pun melakukan solat bersamanya
karena Allah serta menjadi pengikutnya “Lalu Abu Thalib berkata,
“Sesungguhnya Muhammad tidak mengajakmu kecuali kepada kebaikan, selalu
ikutilah dia.’13

Sebagai muslim yang sangat kuat Ali tidak ragu untuk mengorbankan dirinya
untuk memperjuangkan agama Islam. Pada malam hijrah, Rasulullah saw
menugasinya untuk tidur di tempat tidur beliau. Ia ditugaskan Nabi untuk
mengembalikan barang-barang kepada orang-orang musyrik pada pagi harinya. Ia
pernah ditugaskan untuk membawa panji Rasulullah dalam berbagai peperangan.
Rasulullah juga pernah mendelegasikannya untuk membacakan surat Al-Bara’ah

di hadapan kaum muslimin pada musim haji tahun 9 H. 14 Ia memiliki 29 anak, 14


laki-laki dan 15 perempuan. Di antara anak laki-lakinya adalah Hasan dan Husein,
pemuka pemuda surga, Muhammad ibn Al-Hanafiyah, Abbas, dan Umar.

12 As-Shalabi, Biografi,... ..., h. 33.


13 As-Shalabi, Biografi… …, h. 34.
14 Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah,
(Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2007), h. 20.
11

B. Seputar Pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah

Baiat terhadap Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah berjalan dengan suka rela dari
kaum muslimin, hal itu berlangsung setelah terjadi pembunuhan terhadap
Khalifah Utsman oleh tangan-tangan kotor para pemberontak yang datang dari
berbagai penjuru daerah, sehingga peristiwa tersebut menghantarkan sang
Khalifah Rasulullah itu syahid menghadap Allah Swt.15

Mereka membunuh Utsman secara zhalim, keji, dan penuh kebencian. Terjadi
pada hari jumat tanggal 18 Dzulhijah tahun 35 H.Ketika itu terjadi
pengelompokan-pengelompokan masyarakat, pada satu bagian kaum pemberontak
membuat perkumpulan, dibagian lain orang-orang Muhajirin dan Anshar
membuat suatu kelompok pula, termasuk tabi’in dari kota Madinah. Yang mereka
pikirkan ialah bagaimana dengan umat Islam yang sudah berkembang,
membentang dari perbatasan Rum sampai ke Yaman dan dari Afganistan sampai
ke Afrika utara, yang selama beberpa hari tidak memiliki pemimpin.16

Atas dasar itulah mereka berusaha untuk memilih seorang khalifah secapat
mungkin dan dilakukan di Madinah karena kita itu satu-satunya yang menjadi ibu
kota Islam. Di sana juga tinggal ahl al-halli wa al-„aqd, semacam dewan
perwakilan yang berhak memilih melakukan bai’at kepada seorang khalifah.
Karena kondisi yang sangat genting tidak mungkin meminta pendapat dari daerah
dan provinsi yang bertebaran di seluruh negeri. Keadaan yang sangat berbahaya
ini memerlukan pengangkatan seorang pimpinan yang layak dengan segera untuk
menghindari perpecahan dan kehancuran yang mengancam keutuhan negara. Pada
waktu itu ada empat orang sahabat Nabi saw dari enam yang dipilih Umar
sebelum wafat, yaitu Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair dan Saad bin Abi
Waqas. Dilihat dari berbagai segi Ali dianggap yang paling utama. Dalam sebuah
pertemuan permusyawaratan Abdurrahman bin Auf menetapkan Ali sebagai tokoh

15 As-Shalabi,… …, h. 219
16 Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, (Bandung: Mizan, 1978), h 155
12

yang paling dipercayai umat setelah Utsman bin Affan.17

Atas dasar itu mereka memandang wajar memilih Ali sebagai pemimpin mereka.
Dan tidak pula ada seorang pun yang dipercaya selain Ali. Jika ada seseorang
yang mencalonkan diri di samping Ali pasti tidak akan terpilih karena levelnya
jauh di bawah Ali. Karena itu semua sahabat Rasulullah Saw berbondong-
bondong membai’at Ali sebagai khalifah.18 Mereka mengatakan bahwa
masyarakat tidak akan tertib, keadaan tidak akan aman tanpa adanya seorang
pemimpin.Sebelumnya Ali menolak untuk memikul jabatan itu, tetapi orang
banyak berulang-ulang memintanya untuk dibai’at, dan akhirnya ia mau dibai’at.
Tetapi bai’at harus dilakukan di mesjid, dan di depan masyarakat banyak dan
tidak tersembunyi, dan atas kerelaan kaum muslimin. Bai’at berlangsung di
Mesjid Nabawi, termasuk kaum Muhajirin dan Anshar dan tidak ada penolakan,
termasuk para sahabat besar, kecuali ada tujuh belas sampai dua puluh orang.19

Dengan demikian kekhalifahan Ali sudah berlangsung secara benar, sempurna dan
sesuai dengan prinsip yang mendasari tegaknya khilafah. Ali tidak menguasai
pemerintahan dengan kekuatan dan tidak dengan mencurahkan tenaga sedikit pun
untuk mencapai kedudukan Khalifah. Ia telah dipilih oleh orang banyak dengan
cara musyawarah yang bebas dan dibai’at oleh mayoritas yang besar kemudian
diakui oleh seluruh daerah kecuali daerah Syam.Walaupun sudah dibiat oleh
masyarakat umum, namun masih ada sekitar tujuh belas hingga dua puluh orang
sahabat Nabi Muhammad Saw yang tidak mau membai’at Ali. Penulis melihat
bahwa tidak dijelaskan nama-nama yang tidak mau membai’at Ali itu. Namun
dengan penolakan itu tidak berarti penolakan itu tidak berarti ke Khalifahan Ali
tidak sah karena penolak itu bersifat pasif, sementara masyarakat umum sudah
melakukan bai’at. Dengan demikian pengangkatan Ali sebagai khalifah telah
memperoleh kesempatan untuk menutup lobang yang sangat berbahaya dalam
sistem khilafah rasyidah setelah pembunuhan Utsman bin Affan. Tetapi ada tiga

17 Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan,... ..., h. 156


18 Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan,... ..., h. 219.
19 Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, h. 156. Tidak disebutkan siapa
nama-nama yang yang tidak dapat melakukan bai’at itu.
13

faktor yang tidak memungkinkan pulihya keretakan atau tertutupnya lubang itu.
Pertama, kaum pembangkang yang datang dari berbagai daerah untuk
memberontak kepada Utsman terlibat dalam membai’at Ali bin Abi Thalib. Di
antaranya ada pelaku yang membunuh Utsman, dan ada provokasi yang
mengobarkan semangat orang lain untuk membunuhnya dan ada pula yang
membantu mereka untuk melaksanakan pembunuhan itu. Atas pundak mereka
terpikul tanggung jawab kericuhan dan kekacauan tersebut. Oleh sebab itu
keikutsertaan mereka dalam pemilihan khalifah telah menyebabkan terjadinya
kekacauan besar.20 Salah satu upaya yang memungkinkan menghambat terjadinya
fitnah adalah sepakatnya para sahabat besar dalam membai’at Ali dan mengawasi.
Cara ini memungkinkan para pemberontak yang telah membunuh Utsman dapat
ditangkap dan mempertanggung jawabkan perbuatannya. Namun suasana yang
terjadi di kota madinah ketika itu tidak mungkin mencegah orang-orang yang
terlibat dalam pembunuhan Utsman dari keikutsertaan mereka dalam pemilihan
khalifah yang baru.Kedua, yang membuat sulitnya memulihkan suasana itu adalah
sikap netral para sahabat besar dalam pembai’atan kepada Ali. Sikap netral itu
memang menurut mereka merupakan niat baik dengan tujuan mencegah
timbulnya fitnah, tetapi ternyata berakibat fatal karena menimbulkan fitnah baru.
Para sahabat Nabi itu adalah tokoh yang paling berpengaruh, berwibawa dan
menjadi panutan sebagian besar umat Islam. Beribu-ribu orang menaruh
kepercayaan kepada mereka. Karena itu sikap netral dan memisahkan diri dari Ali
telah menimbulkan keraguan di hati orang banyak pada saat umat seharusnya
bersatu dan membantu memulihkan suasana bersama Ali untuk mengembalikan
perdamaian dan keamanan, namun hal itu tidak terjadi.21

Ketiga, faktor yang menyebabkan sulit pemulihan kondisi adalah munculnya


penuntuntutan terhadap pelaku pembunuhan Utsman bin Affan oleh kelompok
Aisyah, Thalhah dan Zubair di satu sisi dan kelompok Mu’awiyah bin Abi Sofyan
di pihak lain. Tanpa mengurangi penghormatan dan kedudukan kedua kelompok
ini mereka, namun jika ditinjau dari segi hukum harus dikatakan bahwa sikap

20 Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan,… …, h. 157-158.


21 Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan,……, hlm. 159.
14

mereka tidak dapat dibenarkan. Alasannya masa itu bukanlah masa sistem
kesukuan yang dikenal pada zaman Jahiliyah yang membolehkan setiap orang,
dengan cara bagaimanapun, menuntut balas atas seseorang yang terbunuh dan
menggunakan cara-cara apa saja yang ia ingini. Yang benar ialah bahwa pada
waktu itu ada pemerintahan yang memiliki peraturan dan aturan yang berdasarkan
undang-undang dan Syari’at untuk setiap tuduhan yang diajukan. Adapun hak
menuntut bela atas pembunuhan, terletak di tangan pewaris-pewaris Utsman yang
masih hidup. Sekiranya pemerintah tidak bersungguh-sungguh dalam menangkap
kaum penjahat dan mengajukan mereka untuk diadili secara sengaja barulah
orang-orang lain dapat menuntutnya agar ia berpegang pada keadilan dan
kebijaksanaan.Tapi apakah yang dilakukan oleh kedua kelompok itu merupakan
jalan yang benar untuk menuntut suatu pemerintahan agar bertindak adil dan
bijaksana? Dasar apakah yang dapat mereka kemukakan dalam menolak sama
sekali adanya pemerintahan yang sah semata-mata disebabkan ia tidak mau
tunduk kepada tuntutan mereka itu? Dan sekiranya Sayyidina Ali tidak dianggap
sebagai khalifah yang sah, lalu mengapa mereka menuntutnya agar menangkap
kaum penjahat dan menghukum mereka? Apakah Sayyidina Ali adalah seorang
pemimpin suku yang dapat menangkap dengan begitu saja siapa pun dan
menghukumnya tanpa berlandaskan hukum?Pada hakikatnya tindakan yang dapat
disebut sebagai “lebih tidak sesuai dengan hukum” dan “lebih tidak sah” ialah
tindakan kelompok yang pertama. Sebab mereka itu seharusnya menuju ke kota
Madinah dan mengajukan tuntutannya di sana, yaitu di tempat kediaman khalifah
dan juga tempat kaum penjahat dan pewaris-pewaris orang yang terbunuh itu
berada, dan di tempat tindakan-tindakan peradilan akan dapat terlaksana dengan
sebaik-baiknya. Namun sebaliknya, mereka pergi ke Basrah dan mengumpulkan
pasukan-pasukan yang besar kemudian mencoba menuntut balas atas kematian
Utsman. Sebagai akibatnya, maka terjadilah pertumpahan darah sepuluh ribu
orang sebagai ganti penumpahan darah satu orang saja, dan juga menyebabkan
kekuasaan negara goyah dan kekacauan berkembang. Sungguh ini adalah cara
yang tidak mungkin dianggap sebagai suatu tindakan yang sah, baik dalam
15

pandangan undang-undang Allah dan syari’at-Nya, atau bahkan dalam pandangan


undang-undang apa pun di antara undang-undang sekular.22

Adapun yang lebih tidak sah lagi adalah tindakan kelompok Mu’awiyah yang
menuntut balas untuk Sayyidina Utsman, bukan dalam kedudukannya sebagai
pribadi Mu’awiyah bin Abu Sufyan, tapi dalam kedudukannya sebagai penguasa
wilayah Syam. Ia telah menolak mentaati pemerintah pusat dan menggunakan
tentara wilayahnya untuk mencapai tujuannya ini. Dalam hal ini ia tidak hanya
menuntut Sayyidina Ali agar mengajukan pembunuh-pembunuh Utsman ke
pengadilan dan menghukum mereka, tapi lebih daripada itu, ia menuntut agar
Sayyidina Ali menyerahkan mereka semua kepadanya agar ia (Mu’awiyah)
membunuh mereka dengan tangannya. Semuanya itu benar-benar lebih mirip
dengan kekacauan kesukuan yang biasa terjadi sebelum datangnya agama Islam,
dan sama sekali tidak sesuai dengan pemerintahan yang sudah teratur di masa
Islam.Seandainya Mu’awiyah dibolehkan mengajukan tuntutan itu berdasarkan
hubungan kekeluargaan maka hal itu adalah atas nama pribadinya karena memang
Mu’awiyah bin Abi Sufyan memang kerabat Sayyidina Utsman. Secara pribadi ia
mempunyai hak meminta bantuan khalifah untuk menangkap orang-orang jahat
itu dan mengadili mereka. Adapun kedudukannya sebagai wali daerah Syam sama
sekali ia tidak berhak menuntut dan tidak boleh menolak untuk taat kepada
khalifah yang telah dibai‟at secara sah, dan telah diakui kekhalifannya oleh
seluruh wilayah negara kecuali daerah-daerah di bawah kekuasaan Mu’awiyah
sendiri.23

Demikian pula, ia tidak mempunyai hak menggunakan tentara daerahnya itu


untuk menghadapi pemerintahan pusat dan, secara jahiliyah, menuntut agar
diserahkan kepadanya kaum tertuduh, bukan kepada pengadilan, tetapi kepada
penuntut hukum qishash agar ia berkesempatan membalas dengan tangannya
sendiri.Dalam kitabnya, ahkamul-Qur‟an, al-Qadhi Abu Bakar bin Arabi
menyebutkan kedudukan masalah ini dalam hubungannya dengan perundang-
undangan yang benar. Katanya: “Setelah Utsman menjadi syahid, tidak mungkin
22 Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan,… …, h. 160.
23 Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan,… …, h. 161-162
16

membiarkan penduduk tanpa pimpinan. Oleh sebab itu kepemimpinan umat


ditawarkanlah kepada beberapa sahabat anggota syura bentukan Umar sebelum
wafatnya. Orang-orang itu menolak termasuk Ali sendiri. Tetapi kemudian Ali
menerima jabatan itu demi menyelamatkan umat dari pertumpahan darah yang
lebih besar dengan saling tuduh menuduh dalam kebatilan. Ali khawatir akan
memuncaknya kekacauan yang sulit diatasi, dan mungkin akan menyebabkan
rusaknya agama serta runtuhnya tiang-tiang Islam. Maka ketika ia telah dibai‟at,
orang-orang Syam mengajukan syarat untuk membai‟atnya, yaitu agar Ali r.a
memberikan kesempatan kepada mereka untuk menangkap pembunuh-pembunuh
Utsman dan menjatuhi hukuman atas mereka. Maka Ali r.a. berkata kepada
mereka :

“Masuklah kalian dalam bai‟at dan tuntutlah hak itu, niscaya kamu akan
memperoleh suatu bai‟at sedangkan pembunuh-pembunuh Utsman ada
bersamamu”. Kami melihat mereka terus-menerus dari pagi sampai senja, sudah
barang tentu pendapat Ali lebih tepat dan ucapannya lebih benar. Sebab andaikata
Ali langsung menjalankan hukuman atas mereka itu, niscaya kabilah-kabilah
mereka akan bersatu padu untuk menentang Ali dan akan terjadilah perang yang
ketiga. Karena itu, ia menunggu hingga kekuasaan benar-benar berada di
tangannya dan bai‟at telah berlangsung secara umum dan tuntutan terhadap para
pembunuh dapat diajukan oleh para ahli waris yang sah dalam suatu majelis
pengadilan. Dengan demikian, keputusan akan dijatuhkan secara benar. Dan tidak
ada perselisihan pendapat di antara umat tentang kebolehan menunda hukum
qishash apabila hal itu akan menyebabkan berkobarnya kekacauan atau bercerai-
berainya umat.24

Demikian pula yang terjadi dalam hubungan Thalhah dan Zubair, mereka berdua
tidak pernah memakzulkan Ali dari kekuasaan atas suatu wilayah, dan mereka
berdua juga tidak pernah meragukan Ali dalam agamanya, tapi keduanya hanya
berpendapat bahwa mendahulukan tuntutan terhadap pembunuh-pembunuh
Utsman adalah suatu tindakan yang lebih utama. Namun Ali tetap pada

24 Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan,… …, h. 163.


17

pendirianya, ucapan-ucapan kedua orang itu tidak pernah menggoyahkan apa


yang telah diputuskannya dan dalam hal ini dia berada di pihak yang
benar.Kemudian al-Qadhi Abu Bakar bin Arabi menjelaskan ketika menafsirkan
ayat :

Artinya: “Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu‟min berperang maka
damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim
terhadap (golongan) yang lain maka perangilah golongan yang berbuat zalim itu,
sehingga golongan itu kembali, kepada perintah Allah; jika golongan itu telah
kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil
dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku
adil.” (Q.S. 49:9).

Sesungguhnya Allah Swt memerintahkan agar diusahakan perdamaian sebelum


dimulainya peperangan, dan Ia telah menetapkan dibolehkannya berperang ketika
timbul perbuatan aniaya. Maka Ali r.a telah bertindak sesuai dengan petunujuk
Allah Swt, ia memerangigolongan aniaya yang hendak melanggar wewenang
imam dan membatalkan hasil ijtihad nya, kemudian mereka itu menjauhkan diri
dari pusat nubuwwah dan khilafah dengan membawa serta sekelompok orang
yang menuntut apa yang sebenarnya tidak berhak mereka tuntut,kecuali dengan
syarat mereka itu menghadiri majelis-majelis peradilan dan mengajukan hujjah-
hujjah mereka atas lawan. Dan seandainya mereka berbuat yang demikian itu, lalu
Ali tidak menjatuhkan hukuman atas mereka, niscaya mereka tidak usah
bertengkar dengan Ali atau berusaha menjatuhkannya, sebab dengan sendirinya
umat secara keseluruhan pasti akan mencabut kembali bai‟at kepadanya dan
memakzulkannya.Itulah tiga benih kericuhan yang ada ketika Sayyidina Ali
memulai jabatan khalifahnya. Dan ketika ia memulai pemerintahannya, pada saat
di kota Madinah masih ada sekitar 2000 kaum pembangkang, tiba-tiba Thalhah
dan Zubair, di damping beberapa orang sahabat yang lain, mendatanginya dan
berkata kepadanya : “Kami telah memberikan bai‟at kami kepada Anda demi
melaksanakan hukuman atas kaum penjahat, maka laksanakanlah hal itu terhadap
orang-orang yang telah membunuh Utsman.” Ali menjawab : “Wahai saudara-
18

saudaraku, bukannya aku tidak megetahui apa yang kalian ketahui, tapi apa yang
dapat aku lakukan dengan suatu kelompok yang memiliki kekuatan atas kita
sedangkan kita tidak memiliki kekuatan atas mereka.25Itulah kondisi yang terjadi
sekitar pengangkatan Ali bin Abi Thalib. Kondisi-kondisi itu ternyata menjadi
batu pengganggu yang sangat rumit dan sulit bagi Ali dalam menjalankan
pemerintahan.

C. Kebijakan-kebijakan Khalifah Ali bin Abi Thalib

Setelah pengangkatan sebagai Khalifah pasca terbunuhnya Utsman, Ali bin Abi
Thalib berusaha keras memulihkan keamanan yang tidak kondusif. Di atas telah
dijelaskan bahwa pengangkatan Ali berada dalam kondisi yang amat sulit.
Stabilitas yang tidak terjamin menyebabkan Ali mengalami berbagai kesulitan
yang tidak sedikit. Beratnya tugas pemerintahan, Ali harus mengambil berbagai
kebijakan, walaupun kadang - kadang kebijakan itu tidak populer, atau
bertentangan dengan kecenderungan yang berkembang dalam masyarakat.26

Di antara langkah-langkah yang dilakukan Ali bin Abi Thalib:

Pertama, memberhentikan sebagian besar gubernur yang diangkat pendahulunya


Utsman bin Affan, kemudian menggantinya dengan tokoh-tokoh lain.
Pemberhentian itu kelihatan bertujuan untuk mengamankan kekhalifahannya. Di
antara gubernur yang diberhentikan adalah Ya’la bin Umayyah dan mengangkat
sepupunya Ubaidillah bin Abbas untuk Yaman. Dalam pemberhentian dan
pengangkatan ini Ali tidak mendapat kesulitan karena ketika Ubaidillah tiba di
Yaman Ya’la sudah meninggalkan Yaman dan pergi ke Mekah serta membawa
hartanya”. Banyak orang yang meninggalkan negerinya dan pergi ke Mekah untuk
mendapatkan keamanan sebab orang yang berada di negeri Mekah tidak boleh
diganggu.27

25 Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan… h. 164


26 H. A. Dzajuli, Fiqh Siyasah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2003), h. 21.
27 Ali Audah, Ali bin Abi Thalib, Sampai Kepada Hasan dan Husain,… …,
h. 203
19

Kemudian Ali memberhentikan Abdullah bin Amir al-Hadrami, gubernur Basrah


dan menggantinya dengan Utsman bin Hunaif. Dalam hal ini Ali tidak mendapat
kesulitan karena ketika Utsman bin Hunaif tiba di Basrah Abudllah sudah
meninggalkan kota itu menuju Mekah serta membawa sebagian harta.Berbeda
dengan di atas Khalifah Ali mendapat kesulitan dalam memberhentikan Abu
Musa al-Asy’ari, Gubernur Kufah dan menggantinya dengan Umarah bin Syihab.
Ketika mendekati kota itu penduduk kota itu dipimpin oleh Thulaihah bin
Khuwailid al-Asadi yang tidak mengharapkan kedatangan Umarah bin Syihab dan
memintanya untuk kembali ke Madinah. Penduduk Kufah kelihatannya lebih
mempertahankan Abu Musa al-Asy’ari.Setelah Umarah kembali ke Madinah Abu
Musa berkirim surat kepada Khalifah Ali yang isinya menyatakan sang Gubernur
bersama rakyatnya membaiat Ali sebagai khalifah yang baru. Dengan demikian
kebijakan Ali mengganti Gubernur Kufah tidak berhasil, tetapi karena Abu Musa
al-Asy’ari, gubernur Kufah bersama rakyatnya sudah membaiat Ali maka hal itu
tidak terlalu bermasalah. Berbeda dengan pemberhentian dan pengangkatan
gubernur sebelumnya Ali mendapat kesulitan besar dalam pemberhentian
Gubernur Syam. Untuk daerah ini Ali menunjuk Sahl bin Hunaif salah seorang
politikus ulung menggantikan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Sesampainya di Tabuk,
pos perbatasan Siria Sahl ditahan oleh pasukan Mu’awiyah dan disuruh kembali.
Dengan kembalinya Sahl rakyat Syiria merasa gelisah karena ini menurut
pandangan masyarakat adalah ulah Mu’awiyah yang suka berperang. Mereka
ingin tahu apa yang akan terjadi sebab ini merupakan pembangkangan dari pihak
Mu’awiyah dan Ali harus menghadapinya dengan tangan besi atau akan berusaha
mencari kompromi.28

Dalam menghadapi Mu’awiyah Ali tidak mau tergesa-gesa, tetapi itu dilakukan
dengan penuh hati-hati agar jangan terjadi perpecahan di kalagan umat Islam.
Oleh sebab itu Ali mengutus seseorang kepada Mu’awiyah yang menyuruh
membai’atnya dan datang ke Madinah sepengetahuan penduduk Syam agar terjadi
kompromi politik yang baik. Surat itu tidak langsung dibalas dengan dalih
menurut Mu’awiyah tidak ada suara bulat di kalangan tokoh terkemuka untuk ikut
28 Audah, Ali Sampai Kepada Hasan dan Husain,… …, h. 204
20

membai’atnya, walaupun mayoritas umat Islamsudah membai’atnya. Alasan lain


yang dikemukakan Mu’awiyah akan membai’at setelah Ali terlebih dahulu
berhasil menangkap dan menghukum pembunuh Utsman.29

Tiga bulan kemudian Mu’awiyah mengirim surat kepada Ali yang dibawa
seseorang dari Bani Abas. Surat dibuat dalam bentuk gulungan bersegel dengan
format “Dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan kepada Ali Bin Abi Thalib” tanpa
menyebut kata “Amir al-Mukminin” dengan perintah bila sudah memasuki kota
Madinah gulungan itu diangkat supaya alamatnya dapat dibaca sehingga orang
tahu bahwa Mu’awiyah menantang Amir al-Mukminin. Setelah itu surat tersebut
langsung dibawa kepada Ali sehingga masyarakat tahu bahwa isinya adalah
jawaban Mu’awiyah terhadap Ali dan ingin mengetahui lebih jauh apa maksud
Mu’awiyah dengan perlakuan seperti ini. Setelah surat dibuka ternyata tulisan
yang ada dalam surat itu adalah bismillahir rahmanir rahim. Melihat isi surat yang
ganjil dan dinilai suatupenghinaan dan mempertanyakan apa maksudnya. Ini
dipahami bahwa tuntutan itu ternyata mengada-ada sementara tujuan yang
sesungguhnya adalah ingin mengambil kepemimpinan dari Ali.

Buktinya setelah Ali wafat Mu’awiyah mengadakan kesepakatan dengan Hasan,


anak sulung Ali sampai ia sendiri yang memegang kekuasaan. Setelah kekuasaan
berada di tangan Mu’awiyah persoalan pembunuhan Utsman hilang sama sekali
dan tidak pernah disinggung-singgung lagi.30

Kebijakan Ali dalam bidang fiqih siyasah antara lain yaitu dalam : (1) urusan
korespondensi (2) urusan pajak (3) urusan angkatan bersenjata (4) urusan
administrasi peradilan. Demikian juga strategi pada Perang Shiffin. Ia
memerintahkan pasukannya agar tidak mundur dari medan perang.31

Kemudian kebijakan Ali yang lain dalam pemerintahan adalah menarik tanah-
tanah yang dulu oleh Utsman dihadiahkan kepada para pendukungnya dan hasil

29 Audah, Ali,… …, h. 204.


30 Ali Audah, Ali bin Abi Thalib, Sampai Kepada Hasan dan Husain,… …, h.
204
31 H.A Djazuli, Fiqih Siyasah,… …, h. 21
21

tanah itu diserahkan kepada kas negara.32Kebijakan ini didasarkan atas


kepribadian Ali, antara lain akidah yang lurus, jujur, berani, menjaga kehormatan
diri, zuhud, senang berkorban, rendah hati, sabar, bercita-cita tinggi, adil dan lain-
lain. Sifat itu dipetik dari pengalaman hidup bersama Rasulullah saw selama di
Mekah dan Madinah.33 Ketika Ali menjabat sebagai khalifah peran itu yang ingin
ditegakkannya dalam memimpin dunia Islam.Setelah melihat adanya tanah dan
harta rampasan dan lain-lain yang seharusnya tersimpan dalam baitul mal ternyata
berada di tangan para sahabat Utsman dan keluarganya, maka wajar ia
mengembalikannya ke kas negara. Orang-orang yang merasa memiliki tanah dan
harta yang diperoleh semasa Utsman merasa takut apa yang sudah mereka miliki
akan diambil lagi dan mereka tidak akan dapat menikmati lagi.34

Khalifah Ali ibn Abi Talib dalam menjalankan kebijakan pertamanya


menolakusulan kerabatnya termasuk Ibn Abbas yang berkonsultasi dengannya
untuk menundapelaksanaan kebijaksanaan politiknya untuk memberhentikan
Muawiayah dan parapejabat lain dari keluarga Bani Umayyah sampai situasi
masyarakat tenang dan stabil.Ali menolak dengan mengatakan “ Aku tidak
berpura-pura dalam agamaku dan akutidak akan memberi noda dalam urusanku”.
Ia juga menambahkan ia tidak akanmempekerjakan para pejabat Usman satu hari
pun, dan ia tidak ragu bahwa tindakannyaitu baik dan benar untuk memperbaiki
keadaan.41 Konsekwensi dari keputusan khalifahAli ibn Abi Talib berakibat pada
keluarga bani Umayyah memperkuat barisan mendukung Muawiyah untuk
melawan Ali. Demikian juga Aisyah, Thalhah dan Zubeir menyusun kekuatan di
Basrah. Alasan utama mereka beroposisi terhadap Ali adalah untuk menuntut
kematian Usman. Akhirnya situasi politik yang eksplosif itu tak dapat dibendung.
Setelah Khalifah Ali mengetahui persiapan kedua kubu, Muawiyah dan Aisyah,
segera mengirim utusan untuk mencari jalan damai . Namun usaha itu gagal, maka
Khalifah Ali memberlakukan hukum darurat dan menyatakan perang terhadap
para pembangkang dan pemberontak itu. Kubu pertama dihadapi Ali dan
32 Abdul Karim, Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam,… …, h. 107.
33 Ali Muhammad Ash-Shalabi, Biografi Ali bin Abi Thalib,… …, h. 255.
34 Ali Audah, Ali bin Abi Thalib, Sampai Kepada Hasan dan Husain,… …, h.
206.
22

pasukannya adalah pasukan yang dipimpin oleh Aisyah, Thalhah dan Zubeir pada
tahun 36 H./656M. yang terkenal dengan perang Unta (Jamal). Saat itu Zubeir dan
Thalhah terbunuh ketika hendak melarikan diri, sedang kan Aisyah ditawan dan
dikirim kembali ke Madinah. Kemenangan ada pada pihak Ali. Dalam
pertempuran tersebut 20.000.kaum Muslim gugur. Selanjutnya setelah
menyelesaikan gerakan Thalhah dan kawan-kawan Khalifah Ali memindahkan
ibu kota dari Madinah ke kota Kufah pada bulan januari tahun 657 M. karena
pengikut Ali yang paling banyak berada di Kufah. Pada perang jamal tersebut
tentara Khalifah Ali Bin Abi Thalib telah syahid sekitar 5.000 orang. Namun
kedudukan beliau sebagai khalifah memungkinkannya untuk mengorganisir
pasukan perang menghadapi siapapun. Pada tahun 37 H., terjadi pertempuran
antara Khalifah Ali dan Muawiyah, kedua lasykar bertempur di Shiffin, di lembah
sungai Efrat yang terkenal dengan perang Shiffin. Ali dengan keberanian
pribadinya dapat membangkitkan semangat dan kekuatan lasykarnya, sehingga
kemenangan sudah membayang baginya. Mu’awiyah yang sudah cemas dan
kehilangan akal, buru-buru memanggil ‘Amr ibn al-‘Ash dan berkata: “Mana
simpananmu wahai ‘Amr ibn al- Ash? Keluarkanlah! Kita Sudah Hampir
binasa!”35

‘Amr ibn al-‘Ash berseru kepada lasykar-lasykarnya: “Barang siapa


yangmembawa mushhaf (Kitab al-Qur’an) supaya diangkatnya dengan tombaknya
ke atas! Mendengar seruan itu beberapa orang lasykar “Amr ibn al-‘Ash
mengangkat mushhaf dengan ujung tombaknya, dengan seruan yang ditujukan
kepada lasykar Ali : “Inilah Kitabullah yang akan menjadi hakim antara kami dan
kamu!” Akhirnya kedua belah pihak bersepakat untuk bertahkim dan masing-
masingnya memilih seorang hakim. ‘Amr ibn al-‘Ash dari pihak Mu’wiah dan
Abu Musa Al-Asy’ari dari pihak Khalifah Ali Bin Abi Thalib. Hasil akhir dari
majlis tahkim ini bukannya menyelesaikan ketegangan untuk mewujudkan
perdamaian melainkan terjadinya dualisme pemerintahan. Karena majlis tahkim,
atas rekayasa dan siasat Amr bin Ash, secara sepihak memberhentikan Ali dari
jabatan khalifah dan mengukuhkan Muawiyah menjadi khalifah, sehingga secara
35 A. Syalaby, Op. Cit., h. 29
23

de jure Muawiyah berada dipihak yang menang. Namun setelah peristiwa majlis
tahkim itu, mayoritas umat Islam tetap mengakui Ali sebagai khalifah. Sebagian
pengikut Ali memprotes keputusan majlis tahkim dan menyatakan keluar dari
kelompok Ali dengan alasan Ali melakukan kesalahan besar menerima tahkim.
Kelompok ini terkenal dengan Khawârij (orang- orang yang keluar) dan dianggap
sebagai sekte pertama dalam Islam Kaum Khawarij mulailah memberontak dan
meninggalkan Ali, dengan alasan bahwa Ali menerima tahkim, padahal
kebanyakan kaum Khawarij tadinya memaksa Ali supaya menerima tahkim.
Mereka bukan tidak mengakui bahwa mereka tadinya mendesak Ali supaya
menerima tahkim. Tetapi mereka masih menyalahkan Ali, kata mereka : “Kami
telah salah, tetapi kenapa engkau ikut perkataan kami, padahal engkau tahu bahwa
kami salah. Sebagai seorang khalifah, harus mempunyai pandangan yang jauh,
melebihi pandangan kami, dan pendapat yang lebih tepat dari pendapat kami.”

Pemberontakan kaum Khawarij dibalas oleh Khalifah Ali Bin Abi Thalibnamun
mereka tidak bisa ditumpas secara tuntas bahkan pada suatu malam
merekamembentuk komplotan untuk membunuh Khalifah Ali Bin Abi Thalib,
Muawiyah dan ‘Amr ibn al-‘Ash yang mereka anggap telah melanggar hukum
Allah. Komplotan kaum Khawarij tersebut terdiri dari : Abdurrahman ibn Muljam
ke Kufah untuk membunuh Khalifah Ali Bin Abi Thalib, Barak ibn Abdillah at-
Tamimi ke Syam untuk membunuh Mu’awiyah dan ‘Amr ibnu Bakr at Tamimi
berangkat ke Mesir untuk membunuh ‘Amr ibn al-‘Ash. Di antara ketiga anggota
komplotan tersebut hanya Abdurrahman ibnu.Muljam yang berhasil membunuh
Khalifah Ali Bin Abi Thalib. Ibnu Muljam menusuk Khalifah Ali ibn Abi Thalib
dengan pedang ketika beliau sedang menuju ke mesjid untuk mengimami shalat
subuh. Peristiwa ini terjadi pada tahun 40 Hijriyah.

III. KESIMPULAN
24

Berdasarkan uraian di atas, maka pemakalah dapat menarik beberapa kesimpulan


sebagai berikut :

1. Ali Ibn Abi Talib adalah sepupu nabi Muhammad SAW.. Beliau lahir pada saat
nabiMuhammad berusia du puluh sembilan tahun.Ali adalah generasi pertama
yangmasuk Islam. Ia selalu menemani Nabi Muhammad dalam perjuangan
menegakkan Islam baik di Mekkah maupun di Madinah.

2. pada masa pemerintahan Khalifah Usman Bin Affan telah dimanfaatkan oleh
para keluarganya dari Bani Umaiyyah untuk mendapatkan kekuasaan dan
kekayaan yangmenimbulkan tuduhan adanya praktek nepotisme dalam
menjalankan rodapemerintahan. Yang menimbulkan pemberontakan terhdap
khalifah Usman dan membawah pada pembunuhan Khalifah Usman ibn ‘Affan.

3.Khalifah Ali ibn Abi Talib dibaiat menjadi khalifah oleh mayoritas umat Islam
dimesjid Madinah pada tahun 656M. Kebijakan politiknya memecat para
gubernur yang diangkat oleh khalifah Usman dan menarik kembali tanah yang
telah dihadiahkannya kepada penduduk,menyebabkab keluarga bani Umayyah
memperkuat barisan mendukung Muawiyah untuk melawan Khalifah Ali ibn Abi
Talib. Demikian juga Aisyah, Talhah dan Zubeir di Basrah dengan alasan
menuntuk kematian khalifah Usmanibvn ‘Affan. Akhirnya terjadi perang jamal
yang disusul dengan perang Siffin yang berakhir dengan tahkim yang
memberhentikan Ali dari jabatan khaslifah dan mengangkat Muawiah atas
siasatdan rekayasa Amr ibn al-Ash. Karena itu sebagian pengikut Ali menyatakan
keluar dari kelompok Ali yang.disebut dengan Khawarij. Ditangan kaum
khawarijlah khalifah Ali terbunuh pada tahun 40 H.
25

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Ahmad, Islam dari Masa Kemasa, ( Cet. III Bandung:


Rosdakarya,1993 ). Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
Departemen Agama,

Ensiklopedi Islam Indonesia, ( Jakarta: Proyek Peningkatan Prasarana dan


Sarana Perguruan Tinggi Agama IAIN, 1992/1993 ).

Glasse, Cyril, Ensiklopedi Islam (ringkas), diterjemahkan oleh Ghufron A,


Mas’adi, Ed.I. Cet. II; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999.

Hamka , Sejarah Umat Islam, Singapura: PT.LTD. Pustaka Nasional, 1994, h.


236 Haekal, Muhammad Husain, Usman bin ‘Affan. Diterjemahkan oleh Ali
Audah., Cet.V;

Jakarta: 2007. Ibn Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, Juz 1, t.t., Dâr al-Fikr,
1981M/1401H.

Jalaluddin al-Suyuthi, Hâfiz, Târikh al-Khulafâu, Cet. I; Bairut-Libnan: Dâr


al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1408 H./1988 M.

Karim, M. Abdul, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam.Cet.I; Yogyakarta:


Pustaka Book Publisher, 2007.

Mufrodi, Ali, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, ( Cet.I Jakarta: Logos,


1997 ). Muhammad Khalid, Khalid, Khulafaur Rasul yang diterjemahkan oleh
Muhyiddin Syah dkk, dengan judul Karakteristik Perihidup Kalifah Rasulullah
( Cet. II, Bandung : CV. Diponegoro, 1995 ).

Nasution, Harun Prof. Dr., Islam RasionalGagasan dan Pemikiran, Cet. IV;
Bandung: Penerbit Mizan, 1995. Rida, Muhammad, Usman Bin Affan Zu Nurain,
( Beirut : Dar al-Kutub al-Islamiyyat,1987 ).

Rogerson, Barnaby, Para Pewaris Muhammad, Diterjemahkan oleh Ahmad


Asnawi dari Buku Asli The Heirs of The Prophet Muhammad, Cet. I; Yogyakarta:
26

Diglossia Media, 2007, h. 23-24.

Shiddiqy, Nourouzzaman, Menguak Sejarah Muslim, (Jogjakarta: PLP2M,


1984).

Syalabi, Ahmad Syalabi, Mausu’at al-Tarikh al-Islam al-Hadarat al-Islamiyat,


( Kairo: Maktabat al-Nahdat, Jilid 1 1978 ). ______., Sejarah dan Kebudayaan
Islam, (Cet.9, Jakarta: Al-Husnah Zikra, 1997).

Pulungan, J. Suyuthi Dr., M.A., Fiqh Siyasah Ajaran Sejarah dan Pemikiran, Ed.
I. Cet.II; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995.

Yatim, Badri, Drs. M.A., Sejarah Peradaban Islam, Ed. I. Cet. VII; Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1998.

Anda mungkin juga menyukai