Anda di halaman 1dari 15

Biografi Ulama Dalam Silsilah Wali Songo

1. ‘Alī bin Abī Thālib

‘Alī bin Abī Thālib (lahir sekitar 13 Rajab 23 SH/599 Masehi – wafat 21 Ramadan 40
Hijriah/661 Masehi) adalah khalifah keempat yang berkuasa pada tahun 656 sampai 661. Dia
termasuk golongan pemeluk Islam pertama dan salah satu sahabat utama Nabi. Secara silsilah,
'Ali adalah sepupu dari Nabi Muhammad. Pernikahan 'Ali dengan Fatimah az-Zahra juga
menjadikannya sebagai menantu Nabi Muhammad.

Kelahiran & Kehidupan Keluarga

Kelahiran

Ali dilahirkan di Mekkah, daerah Hejaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13 Rajab. Menurut sejarawan,
Ali dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian Muhammad, sekitar tahun 599 Masehi atau
600 (perkiraan). Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dilahirkan di dalam Ka'bah. Usia Ali terhadap
Nabi Muhammad masih diperselisihkan hingga kini, sebagian riwayat menyebut berbeda 25
tahun, ada yang berbeda 27 tahun, ada yang 30 tahun bahkan 32 tahun.

Dia bernama asli Assad bin Abu Thalib, bapaknya Assad adalah salah seorang paman dari
Muhammad ‫ﷺ‬. Assad yang berarti Singa adalah harapan keluarga Abu Thalib untuk
mempunyai penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani di antara kalangan
Quraisy Mekkah.

Setelah mengetahui anaknya yang baru lahir diberi nama Assad,[butuh rujukan] Ayahnya memanggil
dengan Ali yang berarti Tinggi (derajat di sisi Allah).

Kehidupan Awal

Ali dilahirkan dari ibu yang bernama Fatimah binti Asad, di mana Asad merupakan anak dari
Hasyim, sehingga menjadikan Ali, merupakan keturunan Hasyim dari sisi bapak dan ibu.

Kelahiran Ali bin Abi Thalib banyak memberi hiburan bagi Nabi ‫ ﷺ‬karena dia tidak
punya anak laki-laki. Uzur dan faqir nya keluarga Abu Thalib memberi kesempatan bagi Nabi
‫ ﷺ‬bersama istri dia Khadijah untuk mengasuh Ali dan menjadikannya putra angkat.
Hal ini sekaligus untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh Nabi sejak dia
kecil hingga dewasa, sehingga sedari kecil Ali sudah bersama dengan Muhammad.

Masa Remaja

Ketika Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬menerima wahyu, riwayat-riwayat lama seperti Ibnu


Ishaq menjelaskan Ali adalah lelaki pertama yang mempercayai wahyu tersebut atau orang ke 2
yang percaya setelah Khadijah istri Nabi sendiri. Pada titik ini, Ali berusia sekitar 10 tahun.[butuh
rujukan]

Pada usia remaja setelah wahyu turun, Ali banyak belajar langsung dari Nabi ‫ﷺ‬
karena sebagai anak asuh, berkesempatan selalu dekat dengan Nabi hal ini berkelanjutan hingga
dia menjadi menantu Nabi. Hal inilah yang menjadi bukti bagi sebagian kaum Sufi bahwa ada
pelajaran-pelajaran tertentu masalah ruhani (spirituality dalam bahasa Inggris atau kaum Salaf
lebih suka menyebut istilah 'Ihsan') atau yang kemudian dikenal dengan istilah Tasawuf yang
diajarkan Nabi khusus kepada dia tetapi tidak kepada Murid-murid atau Sahabat-sahabat yang
lain.

Karena bila ilmu Syari'ah atau hukum-hukum agama Islam baik yang mengatur ibadah maupun
kemasyarakatan semua yang diterima Nabi harus disampaikan dan diajarkan kepada umatnya,
sementara masalah ruhani hanya bisa diberikan kepada orang-orang tertentu dengan kapasitas
masing-masing.

Didikan langsung dari Nabi kepada Ali dalam semua aspek ilmu Islam baik aspek zahir
(eksterior) atau syariah dan batin (interior) atau tasawuf menggembleng Ali menjadi seorang
pemuda yang sangat cerdas, berani dan bijak.

Kehidupan di Mekkah sampai Hijrah ke Madinah

Ali bersedia tidur di kamar Nabi untuk mengelabui orang-orang Quraisy yang akan menggagalkan
hijrah Nabi. Dia tidur menampakkan kesan Nabi yang tidur sehingga masuk waktu menjelang
pagi mereka mengetahui Ali yang tidur, sudah tertinggal satu malam perjalanan oleh yang telah
meloloskan diri ke Madinah bersama Abu Bakar.

Kehidupan di Madinah

Pernikahan

Setelah masa hijrah dan tinggal di Madinah, Ali menikah dengan Fatimah az-Zahra, putri Nabi
Muhammad. Ali tidak menikah dengan wanita lain ketika Fatimah masih hidup. Tertulis dalam
Tarikh Ibnu Atsir, setelah itu Ali menikah dengan Ummu Banin binti Haram, Laila binti Mas'ud,
Asma binti Umais, Sahba binti Rabia, Umamah binti Abil Ash, Haulah binti Ja'far, Ummu Said
binti Urwah, dan Mahabba binti Imru'ul Qais.[5]

Julukan

Ketika Muhammad mencari Ali menantunya, ternyata Ali sedang tidur. Bagian atas pakaiannya
tersingkap dan debu mengotori punggungnya. Melihat itu Muhammad pun lalu duduk dan
membersihkan punggung Ali sambil berkata, "Duduklah wahai Abu Turab, duduklah." Turab
yang berarti debu atau tanah dalam bahasa Arab. Julukan tersebut adalah julukan yang paling
disukai oleh Ali. Kelahiran & Kehidupan Keluarga

Perbedaan pandangan mengenai pribadi Ali bin Abi Thalib

Ahlussunnah (Sunni)

Ahlussunnah memandang Ali bin Abi Thalib sebagai salah seorang sahabat Nabi yang
terpandang. Hubungan kekerabatan Ali dan Rasulullah sangat dekat sehingga ia merupakan
seorang ahlul bait dari Nabi ‫ﷺ‬. Ahlussunnah juga mengakui Ali bin Abi Thalib
sebagai salah seorang Khulafaur Rasyidin (khalifah yang mendapat petunjuk).

Sunni menambahkan nama Ali di belakang dengan Radhiyallahu Anhu atau semoga Allah ridha
padanya. Tambahan ini sama sebagaimana yang juga diberikan kepada sahabat Nabi yang lain.

Sufi
Sufi menambahkan nama Ali bin Abi Thalib dengan Karramallahu Wajhah atau semoga Allah
memuliakan wajahnya. Doa kaum Sufi ini sangat unik, berdasarkan riwayat bahwa dia tidak suka
menggunakan wajahnya untuk melihat hal-hal buruk bahkan yang kurang sopan sekalipun.[butuh
rujukan]
Dibuktikan dalam sebagian riwayat bahwa dia tidak suka memandang ke bawah bila sedang
berhubungan intim dengan istri. Sedangkan riwayat-riwayat lain menyebutkan dalam banyak
pertempuran, bila pakaian musuh terbuka bagian bawah terkena sobekan pedang dia, maka Ali
enggan meneruskan duel hingga musuhnya lebih dahulu memperbaiki pakaiannya.

Ali bin Abi Thalib dianggap oleh kaum Sufi sebagai Imam dalam ilmu al-hikmah (divine wisdom)
dan futuwwah (spiritual warriorship). Dari dia bermunculan cabang-cabang tarekat (thoriqoh)
atau spiritual-brotherhood. Hampir seluruh pendiri tarekat Sufi, adalah keturunan dia sesuai
dengan catatan nasab yang resmi mereka miliki. Seperti pada tarekat Qadiriyah dengan pendirinya
Syekh Abdul Qadir Jaelani, yang merupakan keturunan langsung dari Ali melalui anaknya Hasan
bin Ali seperti yang tercantum dalam kitab manaqib Syekh Abdul Qadir Jailani (karya Syekh
Ja'far Barzanji) dan banyak kitab-kitab lainnya.

2. Al-Husain bin ‘Alī bin Abī Thālib (3 Sya‘bān 4 H - 10 Muharram 61 H; 8 Januari 626 - 10
Oktober 680 AD) adalah putra Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az-Zahra dan cucu Nabi.
Husain menghabiskan tujuh tahun pertama hidupnya bersama kakeknya, Muhammad. Nabi
dikutip mengatakan tentang Husain dan saudaranya, Hasan. Seperti: "Hasan dan Husain adalah
penguasa para pemuda surga.

3. Ali bin Husain

Kelahiran

Ali bin Husain dilahirkan di Madinah pada tahun 38 H/658-659 M menurut mayoritas riwayat
yang ada, riwayat lainnya menyatakan ia dilahirkan pada tanggal 15 Jumadil Ula 36 H. Dua tahun
tinggal bersama kakeknya, Ali bin Abi Thalib, 12 tahun tinggal bersama pamannya, al-Hasan, 23
tahun tinggal bersama ayahnya, al-Husain. Dia wafat di Madinah pada 95 H/713 M dalam usia 57
tahun, ada pula yang menyatakan wafat pada 25 Muharram 95 H. 34 tahun setelah kewafatan
ayahnya. 34 tahun ia menjadi Imam dan dimakamkan di Pekuburan al-Baqi, Madinah sebelah
pamannya, al-Hasan.[2]

Ibu

Ada beberapa riwayat yang menyatakan tentang siapa ibu dari Ali Zainal Abidin, antara lain:

 Riwayat pertama menyatakan bahwa ibunya bernama Syahzanan putri dari Yazdigard bin
Syahriyar bin Choesroe. Selain itu disebut juga ia bernama Syahrbanawaih. Khalifah Ali
bin Abi Thalib mengangkat Huraits bin Jabir al-Hanafi untuk menangani urusan bagian
provinsi-provinsi timur, Huraits memberikan kepada Ali dua putri Yazdigard bin
Syahriyar bin Choesroe. Salah satu putri Yazdigard ini yang bernama Syahzanan diberikan
Ali kepada putranya yang bernama al-Husain. Syahzanan kemudian memberikan anak
lelaki kepada al-Husain. Anak lelaki ini bernama Zainal Abidin. Ali memberikan putri
Yazdigard yang satunya lagi kepada Muhammad bin Abu Bakar, yang melahirkan seorang
anak lelaki bernama Al-Qasim bin Muhammad.[2]
 Riwayat lainnya menyatakan bahwa ibunya bernama Syahrbanu, putri Yazdigird, kaisar
terakhir Sasaniyah, Persia. Oleh karena itu, Ali Zainal Abidin dijuluki pula Ibn al-
Khiyaratyn, yaitu anak dari dua yang terbaik, yaitu Quraisy di antara orang Arab dan
Persia di antara orang non-Arab. Menurut riwayat itu ibunya dibawa ke Madinah sebagai
tahanan pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab yang hendak menjualnya. Namun Ali
bin Abi Thalib menyarankan sebaiknya Syahrbanu terlebih dahulu diberi pilihan untuk
menjadi istri salah seorang Muslim, dan mas kawinnya diambil dari Baitul Mal. Khalifah
Umar menyetujuinya, dan akhirnya Syahrbanu memilih putra Ali bin Abi Thalib yaitu
Husain. Konon Syahrbanu wafat tak lama setelah melahirkan anak semata wayangnya ini.
[1]

Keturunan

Dia memiliki 15 orang keturunan,

11 anak laki-laki

1. Muhammad al-Baqir, ibunya adalah Ummu Abdullah binti al-Hasan bin Ali bin Abi
Thalib. Merupakan Imam selanjutnya menurut Imamiyah.
2. Abdullah al-Bahir[3]
3. al-Hasan
4. al-Husain al-Akbar[3]
5. Zaid, imam pengganti menurut Zaidiyah.
6. Al-Husain al-Asghar[3]
7. Abdurrahman
8. Sulaiman
9. Muhammad al-Asghar atau Qaim[3]
10. Umar al-Asyraf[3]
11. Ali, merupakan anak bungsu

4 anak perempuan

1. Khadijah, saudara seibu dengan Ali


2. Fatimah
3. Aliyah
4. Ummu Kultsum

4. Muhammad al-Baqir

Muhammad al-Baqir bin Ali bin Husain (676–743), (Bahasa Arab: ‫ )محمد ألباقر إبن علي‬adalah
Ahlul Bait Nabi, cicit Imam Ali, cucu Husain, dan imam ke-5 dalam tradisi Syi'ah Imamiyah,
sedangkan menurut Ismailiyah, ia merupakan imam ke-4. Dia lahir pada tanggal 1 Rajab 57
Hijriyah, di Madinah. Ayahnya adalah Imam Ali Zainal Abidin dan ibunya adalah Fatimah[1] binti
Hasan bin Ali. Dia mendapatkan penghormatan yang tinggi di kalangan Sunni karena
pengetahuan agamanya.

Nasab

Muhammad bin Ali bin Husain bin Fatimah binti Rasulullah bin Abdullah bin Abdul Mutthalib
bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Lu'ay bin Ghalib bin
Fihr[2] bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar
bin Nizar bin Ma'ad bin Adnan bin Ismail bin Ibrahim[3][4][5]
5. Ja'far ash-Shadiq
Ja'far ash-Shadiq (Bahasa Arab: ‫)جعفر الصادق‬, nama lengkapnya adalah Ja'far bin Muhammad bin
Ali bin Husain bin Ali bin Abu Thalib, adalah Imam ke-6 dalam tradisi Syi'ah. Ia lahir di Madinah
pada tanggal 17 Rabiul Awwal 83 Hijriyah / 20 April 702 Masehi (M), dan meninggal pada
tanggal 25 Syawal 148 Hijriyah / 13 Desember 765 M. Ja'far yang juga dikenal dengan julukan
Abu Abdillah dimakamkan di Pekuburan Baqi', Madinah. Ia merupakan ahli ilmu agama dan ahli
hukum Islam (fiqih). Aturan-aturan yang dikeluarkannya menjadi dasar utama bagi mazhab Ja'fari
atau Dua Belas Imam; ia pun dihormati dan menjadi guru bagi kalangan Sunni karena riwayat
yang menyatakan bahwa ia menjadi guru bagi Abu Hanifah (pendiri Mazhab Hanafi) dan Malik
bin Anas (pendiri Mazhab Maliki). Perbedaan tentang siapa yang menjadi Imam setelahnya
menjadikan mazhab Ismailiyah berbeda pandangan dengan mazhab Dua Belas Imam.

Kelahiran

Ia dilahirkan di Madinah pada tanggal 17 Rabiul Awwal 83 Hijriyah atau kurang lebih pada
tanggal 20 April 702 Masehi. Ia merupakan anak sulung dari Muhammad al-Baqir, sedangkan
ibunya bernama Fatimah (beberapa riwayat menyatakan Ummu Farwah) binti al-Qasim bin
Muhammad bin Abu Bakar. Melalui garis ibu, ia dua kali merupakan keturunan Abu Bakar,
karena al-Qasim menikahi putri pamannya, Abdurahman bin Abu Bakar.

Keluarga

Ia memiliki saudara satu ibu yang bernama Abdullah bin Muhammad. Sedangkan saudara lainnya
yang berlainan ibu adalah Ibrahim dan Ubaydullah yang beribukan Umm Hakim binti Asid bin al-
Mughirah. Ali dan Zaynab beribukan wanita hamba sahaya, dan Umm Salamah yang beribukan
wanita hamba pula.

Keturunan

Anak laki-laki

Memiliki keturunan selanjutnya:[2]

1. Isma'il al-Aaraj (Imam ke-7 menurut Ismailiyah)


2. Musa al-Kadzim (Imam ke-7 menurut Dua Belas Imam)
3. Ishaq al-Mu'taman[2]
4. Muhammad al-Dibaj, yang mendeklarasikan dirinya sebagai Amirul Mukminin setelah
Salat Jumat pada tanggal 6 Rabiul akhir 200 Hijriyah, dan kemudian berperang melawan
Khalifah Abbasiyah pada saat itu, al-Ma'mun, tetapi dengan cepat ia tertangkap dan
dibawa ke Khurasan.[3]
1. Qasim[4]
1. Abdullah
2. Yahya
2. Ali[5]
5. Ali al-Uraidhi, menetap di kota Uraidh dekat Madinah.

Tidak memiliki keturunan selanjutnya:[2]

1. Abdullah al-Afthah
2. Abbas
3. Yahya
4. Muhsin
5. Ja'far
6. Hasan
7. Muhammad al-Ashgar

Anak perempuan

1. Fatimah binti Ja'far


2. Asma binti Ja'far
3. Ummu Farwah binti Ja'far

6. Ali bin Ja'far


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Ali bin Ja`far atau lebih dikenal dengan Ali al-Uraidhi adalah putra dari Imam Ja'far ash-Shadiq
dan saudara dari Imam Musa al-Kadzim. Dia dikenal dengan julukan al-`Uraidhi, karena ia
tinggal di suatu daerah yang bernama `Uraidh (sekitar 4 mil dari Madinah), selain itu ia juga
dipanggil dengan julukan Abu Hasan.

Kelahiran

Dilahirkan dan dibesarkan di Madinah, dan kemudian memilih untuk tinggal di daerah 'Uraidh. Ia
merupakan seorang yang tekun beribadah, dermawan dan seorang ulama besar. Di antara saudara-
saudaranya, ia adalah anak yang paling bungsu, paling panjang umurnya dan salah satu yang
menonjol. Ayahnya, Ja'far ash-Shadiq meninggal pada saat ia masih kecil.

Ali al-'Uraidhi, lebih mengutamakan menghindari ketenaran dan takut dari hal-hal yang dapat
menyebabkan dikenal. Ia dikaruniai umur panjang, sampai dapat menjumpai cucu dari cucunya.

Keturunan

Kebanyakan sayyid dan habib yang berada di Indonesia dan Asia Tenggara merupakan
keturunannya dari jalur Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir. Putra-putranya adalah:

1. Hasan
o Abdullah
2. Ahmad asy-Sya'rani
3. Ja'far al-Ashgar
4. Muhammad an-Naqib
o Isa ar-Rumi
 Ahmad al-Muhajir
 Ubaidillah
 Basri
 Jadid
 Alawi, leluhur Bani Alawi
o Hasan, tinggal di Basra

Wafat

Dia meninggal pada tahun 112 H di kota 'Uraidh dan disemayamkan di kota tersebut. Makamnya
sempat tak diketahui, lalu Zain bin Abdullah Bahasan menampakkannya, sehingga terkenal
hingga sekarang.
Keilmuan

Keilmuan didapat dari ayah dan sahabat ayahnya, selain itu didapat pula dari saudaranya, Musa
al-Kadzim. Ia juga belajar dari Hasan bin Zaid bin Ali. Banyak pula yang meriwayatkan hadits
dari jalur Ali al-Uraidhi, di antaranya adalah kedua putranya (Ahmad dan Muhammad), cucunya
(Abdullah bin Hasan bin Ali), putra keponakan (Ismail bin Muhammad bin Ishaq bin Ja'far ash-
Shadiq) dan juga al-Imam al-Buzzi.

Pendapat perawi hadits

 Berkata Al-Imam Adz-Dzahabi di dalam kitabnya Al-Miizaan, "Ali bin Ja'far Ash-Shadiq
meriwayatkan hadits dari ayahnya, juga dari saudaranya (yaitu Musa al-Kadzim), dan juga
dari Sufyan ats-Tsauri. Adapun yang meriwayatkan hadits dari dia di antaranya Al-
Jahdhami, Al-Buzzi, Al-Ausi, dan ada beberapa lagi. At-Turmudzi juga meriwayatkan
hadits dari dia di dalam kitabnya."
 Adz-Dzahabi menulis dalam kitab lainnya, Al-Kaasyif, "Ali bin Ja'far bin Muhammad
meriwayatkan hadits dari ayahnya, dan juga dari saudaranya (yaitu Musa al-Kadzim).
Adapun yang meriwayatkan hadits dari dia adalah dua putranya (yaitu Muhammad dan
Ahmad) dan juga ada beberapa orang. Ia meninggal pada tahun 112 H..."
 Adz-Dzahabi juga meriwayatkan suatu hadits dengan mengambil sanad dari dia, dari
ayahnya terus sampai kepada Imam Ali bin Abi Thalib, "Sesungguhnya Nabi SAW
memegang tangan Hasan dan Husain, sambil berkata, 'Barangsiapa yang mencintaiku dan
mencintai kedua orang ini dan ayah dari keduanya, maka ia akan bersamaku di dalam
kedudukanku (surga) pada hari kiamat.' "
 Ibnu Hajar juga berkata di dalam kitabnya At-Taqrib, "Ali bin Ja'far bin Muhammad bin
Ali bin Husain adalah salah seorang tokoh besar pada abad ke-10 H..."
 Al-Yaafi'i memujinya di dalam kitab Tarikh-nya. Demikian juga Al-Qadhi
menyebutkannya di dalam kitabnya Asy-Syifa', dan juga mensanadkan hadits dari dia, serta
meriwayatkan hadits yang panjang tentang sifat-sifat Nabi SAW. Ahmad bin Hanbal di
dalam Musnad-nya juga meriwayatkan hadits dari jalur dia. Demikian juga beberapa orang
menyebutkan nama dia, di antaranya As-Sayyid Ibnu 'Unbah, Al-'Amri, dan As-Sayyid
As-Samhudi.

7. Muhammad an-Naqib
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Muhammad bin Ali bin Ja'far, adalah putra ketiga Ali al-Uraidhi.

Nasab

Isa bin Muhammad an-Naqib bin Ali bin Ja'far bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Fatimah
binti Rasulullah bin Abdullah bin Abdul Mutthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Qushay bin
Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Lu'ay bin Ghalib bin Fihr[2] bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah
bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma'ad bin Adnan bin Ismail bin
Ibrahim[3][4][5]

8. Isa ar-Rumi

Isa bin Muhammad bin Ali bin Ja'far, adalah imam besar, terdidik dalam ilmu hadits, ilmu
fiqih dan ilmu agama lain oleh ayahnya Imam Muhammad bin Ali. Imam Isa bin Muhammad
mempunyai kulit berwarna putih kemerah-merahan yang merupakan sebaik-baiknya warna,
sebagaimana perkataan Imam Ali bahwa warna kulit Rasulullah adalah putih kemerah-merahan.[2]

Gelar

Beliau juga dinamakan al-Rumi dan al-Naqib,[3] karena beliau mempunyai rupa putih kemerah-
merahan seperti pria yang berasal dari negeri Rum, sedangkan sebutan al-Naqib disebabkan
kedudukannya sebagai pemimpin para kaum syarif yang selalu menjaga dan menjamin keamanan
kaumnya, nama beliau juga merupakan nama salah satu nabi yaitu nabi Isa alaihi salam. Adapun
gelar yang lain yaitu al-Azraq, karena beliau mempunyai mata yang berwarna biru.[4]

Nasab

Isa bin Muhammad an-Naqib bin Ali bin Ja'far bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Fatimah
binti Rasulullah bin Abdullah bin Abdul Mutthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Qushay bin
Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Lu'ay bin Ghalib bin Fihr[5] bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah
bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma'ad bin Adnan bin Ismail bin
Ibrahim[6][7][8]

Keturunan

Imam al-Rumi dikaruniai tiga puluh orang anak laki-laki dan lima orang anak perempuan,
diantaranya adalah Imam Ahmad al-Muhajir yang merupakan nenek moyang kaum Alawiyin di
Hadramaut. Adapun anak laki-laki Imam Isa al-Rummi adalah :[9]

1. Abdullah, tidak mempunyai keturunan.


2. Abdurahman, tidak mempunyai keturunan.
3. Abdullah al-Akbar, tidak mempunyai keturunan.
4. Abdullah al-Ahwal, tidak mempunyai keturunan.
5. Abdullah al-Asghor, tidak mempunyai keturunan.
6. Daud, tidak mempunyai keturunan.
7. Yahya, tidak mempunyai keturunan.
8. Ali, tidak mempunyai keturunan.
9. Abbas, tidak mempunyai keturunan.
10. Yusuf, tidak mempunyai keturunan.
11. Hamzah, tidak mempunyai keturunan.
12. Sulaiman, tidak mempunyai keturunan.
13. Ismail,
14. Zaid,
15. Qasim,
16. Hamzah,
17. Harun,
18. Yahya,
19. Ali,
20. Musa,
21. Ibrahim,
22. Ja’far,
23. Ali al- Asghor,
24. Ishaq,
25. Husin,
26. Abdullah,
27. Muhammad,
28. Isa,
29. Ahmad al-Muhajir

Di antara keturunannya ialah penyebar Islam di tanah Jawa yang kita kenal dengan sebutan Wali
Songo, Al Imam Isa meninggal di kota Bashrah sekitar tahun 298 Hijriah.

9. Ahmad al-Muhajir
Ahmad al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali bin Ja'far bin Muhammad bin Ali bin
Husain bin Ali bin Abu Thalib (820-924) (bahasa Arab: ‫ )أحمد المهاجر‬adalah Imam Ahlul Bait
dari Basra, Irak yang terkenal hijrah ke Hadramaut untuk menyelamatkan anak cucunya dari
fitnah yang sedang gencar kala itu di kawasan Irak dan Jazirah Arab.
Hijrah ke Hadramaut

Ahmad bin Isa dinamakan Al-Muhajir karena ia meninggalkan Basrah, Irak pada zaman
pemerintahan Khalifah Abbassiyah yang berpusat di Baghdad, pada tahun 317H (896 M). Mula-
mula ke Madinah dan Mekkah, kemudian pada tahun 318 H dari Mekkah ke Yaman kurang lebih
sekitar tahun 319 H.

Menurut Dr Muhammad Hasan al Aydrus, pengajar sejarah di Universitas Uni Emirat Arab, nama
al Muhajir adalah gelar karena al Imam Ahmad bin Isa hijrah dari Bashrah setelah kota itu
menghadapi serangan massal dari kaum Khawarij dan pemberontakan orang-orang yang berasal
dari Afrika. Awalnya, ia memutuskan berangkat ke Hijaz dan menetap setahun di Kota Madinah
ketika Kota Makkah menghadapi serangan orang-orang Qaramithah.

Kaum Alawiyyin dikenal sangat ketat menjaga tradisi keberagamaannya. Maka, apapun
rintangannya akan dihadapi demi menyelamatkan agama anak keturunan. Mereka kaum
pemberani dalam menghadapi tantangan, tapi lembut dan low profile terhadap sesama saudara dan
ikhwan seagama.

Ia wafat pada tahun 345h (924 M) di Husayyisah, sebuah kota antara Tarim dan Seiyun,
Hadramaut. Makamnya di atas sebuah bukit umumnya salah-satu yang pertama kali diziarahi oleh
para pengunjung yang datang ke Hadramaut.
Keturunan dan status

Imam Ahmad al-Muhajir wafat pada tahun 345 Hijriyah, dan dikarunia keturunan:[3]

1. Muhammad (Keturunannya tersebar di negri Baghdad )


2. Abdullah / Ubaidillah (Abu Alawy). Lahir di Basrah dan meninggal pada 383 H di Somal,
Yaman.[4]
1. Basri[5]
2. Jadid[5]
3. Alawi al-Awwal
1. Muhammad Shahib as-Saumi'ah
1. Alawi ats-Tsani
1. Salim[6]
2. Ali Khali' Qasam[6]
1. Muhammad Shahib Mirbath[7]
1. Alawi[8]
1. Abdul Malik[9] Azmatkhan
2. Abdullah
3. Abdurrahman[10]
2. Ahmad[11]
3. Ali[12]
1. Muhammad al-Faqih Muqaddam[13]
4. Abdullah
2. Abdullah[14]
3. Husain[14]

Para sayyid dari keluarga Bani Alawi yang berasal dari Hadramaut bernasab kepadanya. Sebagian
besar para Walisongo di Indonesia juga adalah keturunan Al-Imam Ahmad Al-Muhajir bin Isa ini.

Imam Ahmad Al-Muhajir ialah seorang Imam Mujtahid, yang lebih banyak diikuti daripada
mengikuti.

10. Ubaidillah bin Ahmad


Abdullah/Ubaidillah bin Ahmad,[1] adalah seorang keturunan Muhammad yang hijrah bersama
ayah, sebagian keluarga dan pengikutnya dari Basra ke Hadramaut.
Berkata Sayyid Ali bin Abubakar kepribadian beliau: "Abdullah/Ubaidillah adalah orang yang
menjaga dirinya dalam agama, paling terkemuka dalam kedermawanan dan keagungan ilmunya.
Datuk para keturunan mulia, sumber kedermawanan, dan lautan ilmu, itulah tuan kami yang
mulia."[2]
Nasab

Ubaidillah bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali bin Ja'far bin Muhammad bin Ali bin
Husain bin Ali (dan Fatimah bin Muhammad) bin Abu Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim

Biografi

Keilmuan

Beliau pertama mengambil ilmu dari ayahnya, Imam Ahmad. Selain itu, beliau juga mengambil
ilmu dari para ulama di kota Mekkah, beliau berguru kepada Syeikh Abu Thalib Al Makki. Di
bawah asuhan gurunya, beliau berhasil menamatkan pelajaran dari kitab gurunya tersebut yang
berjudul Kitab Guut Al Guluub. Setelah bertahun-tahun menuntut ilmu dari para ulama Mekkah
dan Madinah, beliau kembali ke Hadramaut. Setibanya di Hadhramaut, yang disambut hangat
oleh sang ayah dan para pelajar di sana, beliau diberi izin oleh ayahnya untuk mengajar dan
memberikan fatwa kepada pelajar dan masyarakat setempat.

Kepribadian

Mengenai kedermawanannya, beliau jika menggiling kurma dan meletakkannya di tempat


penggilingan, maka kurma itu semuanya beliau sedekahkan, meskipun jumlahnya banyak.
Beliauajuga u mewarisi sifat-sifat mulia dari ayahnya, baik itu di dalam kezuhudannya, ilmunya
ataupun ibadahnya.

Tampak pada beliau karomah, salah satunya beliau suatu saat meletakkan tangannya pada orang
yang sakit, lalu beliau meniupnya dan mengusapkan di tubuhnya, maka sembuhlah si sakit itu.[3]

Tinggal di Sumal

Tidak lama setelah ayahandanya meninggal, beliau memutuskan untuk pindah ke kampung Sumal
yang terletak tidak jauh dari kampung semula, Al-Husayisah. Sedangkan harta kekayaan berupa
rumah dan perkebunan, semuanya dihibahkan pada pembantunya, Ja’far bin Makhdam. Di
kampong barunya, Imam Ubaidillah membangun rumah dan membeli beberapa petak tanah yang
kemudian dia tanami pohon kurma dan pepohonan lainya.

Setelah beliau menetap di kampung Sumal, ia mempersunting gadis setempat. Kemudian ia


dikarunia putra dari istri barunya yang diberi nama Jadid. Sebelum Jadid, beliau juga telah
dikarunia dua putra dari istri pertamanya yang diberi nama Ismail dan Alawi.[4]

Wafat

Imam Ubaidillah meninggal dunia pada tahun 383 H, dalam usia 93 tahun. Ia wafat meninggalkan
istri dan 3 orang putra yaitu Ismail (Basri), Alawi dan Jadid.[5]

11. Alawi bin Ubaidillah

Alawi[1] bin Ubaidillah bin Ahmad, adalah leluhur Ba 'Alawi yakni sebuah qabilah keturunan
Imam Husain yang terkenal berasal dari Hadramaut, Yaman.

Al Habsyi[2] menyatakan bahwa keturunan Rasulullah s.a.w. yang pertama diberi nama 'Alawi
adalah cucu Imam Ahmad al-Muhajir yang pertama dilahirkan di Hadhramaut yaitu al-Imam as-
Sayyid 'Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir.[3]

Beliau lahir dan dibesarkan di Hadramaut. Semenjak kecil beliau dididik langsung oleh ayahnya
dan berjalan pada thariqah yang telah ditempuh oleh ayahnya. Beliau gemar mendalami ilmu dan
selalu menyibukkan dirinya untuk menuntut ilmu, sehingga beliau berhasil menguasai berbagai
macam ilmu. Beliau juga adalah seorang yang hafal Al-Qur’an. Selain menuntut ilmu di
Hadramaut, beliau juga menuntut ilmu sampai ke kota Makkah dan Madinah.[4]

Diceritakan dalam salah satu riwayat, yaitu ketika beliau hendak melaksanakan perintah haji dan
berziarah ke makam kakeknya Rasulullah SAW. Ikut di dalam rombongan beliau sekitar 80
orang, belum termasuk para pembantu dan sanak kerabatnya. Ikut juga di dalamnya saudaranya
yang bernama Jadid. Itu semua beliau yang menanggung biaya perjalanannya. Ditambah lagi
beliau sering bersedekah kepada orang lain di saat perjalanan pulangnya. Beliau juga membawa
unta-unta dalam jumlah yang banyak untuk dipakai buat orang-orang yang lemah dalam
rombongannya.[4]

Nasab

Isa bin Muhammad an-Naqib bin Ali bin Ja'far bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Fatimah
binti Rasulullah bin Abdullah bin Abdul Mutthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Qushay bin
Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Lu'ay bin Ghalib bin Fihr[5] bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah
bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma'ad bin Adnan bin Ismail bin
Ibrahim[6][7][8]

Keturunan

1. Muhammad Shahibus Shaumah


1. Alawi ats-Tsani
1. Ali Khali' Qasam
1. Muhammad Shahib Mirbath
1. Alawi Ammul Faqih
1. Abdul Malik Azmatkhan
2. Abdurrahman
2. Ali
1. Muhammad al-Faqih Muqaddam

12. Ali Khali' Qasam

Ali bin Alwi (‫)علي بن علوي‬, atau julukannya Ali Khali' Qasam (‫)علي خالع قسم‬, adalah seorang
ulama besar Ahlus Sunnah, ahli fiqih Syafi'i, serta manhaj Asy'ariyah, dan keturunan ahlul bait
yang berasal dari Hadhramaut, Yaman.[1] Nama lengkapnya adalah al-Imam Ali Khali' Qasam bin
Alwi ats-Tsani bin Muhammad bin Alwi al-Awwal bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir.[1]

Gelar Khali' Qasam (penanam Qasam) didapatkan karena ia membeli sebidang tanah yang
dinamakannya Qasam, seperti nama tanah leluhurnya dulu di Basra, Irak; yang lalu ditanaminya
dengan kurma.[1][2][3] Qasam kemudian berkembang menjadi sebuah desa, dan kini termasuk dalam
wilayah Kegubernuran Hadhramaut, Yaman.

Ali bin Alwi lahir dan dibesarkan di desa Bait Jubeir,[1][4][5] Hadhramaut, yang dijuluki kota
Alawiyin, berupa wadi yang subur dan banyak airnya. Ia belajar agama dari ayahnya, dan setelah
dewasa ia sering berkunjung ke kota Tarim, hingga pada tahun 521 H ia pindah ke sana.[5] Dengan
demikian, ia lah yang pertama dari keluarga Ba' Alawi yang tinggal di Tarim bersama anak
keturunannya.[5] Ia memiliki beberapa orang anak, di antaranya yang juga menjadi ulama terkenal
ialah Muhammad Shahib Mirbath.[1]

Ali bin Alwi meninggal pada 527 H/1133 M, dan dimakamkan di pemakaman Zanbal, Tarim.[5][6]
[7]

13. Muhammad Shahib Mirbath


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Muhammad Shohib Mirbath)
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
Muhammad Shahib Mirbath adalah ulama besar yang berasal dari Hadramaut, Yaman pada
abad ke-12 Masehi. Nama selengkapnya adalah al-Imam Waliyullah Muhammad bin Ali Khali'
Qasam bin Alwi ats-Tsani bin Muhammad bin Alwi al-Awwal bin Ubaidillah bin Ahmad al-
Muhajir. Gelar Shahib Mirbath diberikan karena ia bermukim di kota Mirbath, wilayah Dhafar,
Oman selatan, setelah pindah dari kota Tarim, wilayah Hadramaut, Yaman. Kata shahib yang
bersinonim dengan kata maula, yang berarti seseorang yang bermukim atau berkuasa di suatu
tempat.[1] Muhammad Shahib Mirbath diperkirakan wafat di Mirbath pada tahun 556 Hijriah
(1161 M).[1]

Keilmuan

Sebagaimana disebut oleh penulis buku al-Masyra' al-Rawy, Muhammad Shahib Mirbath adalah
Syaikh Masyayikhil Islam (guru besar ilmu agama Islam) dan Ilmul-'Ulama al-A'lam (ilmunya
kaum ulama kenamaan). Dinyatakan bahwa ia adalah "Seorang ulama ahli syariat dan tarekat dan
guru besar terkemuka bagi kaum penghayat ilmu hakikat, ahli fiqih dan mufti negeri Yaman,
seorang penasihat berbagai cabang ilmu dan pengetahuan agama di negeri itu …".[1]

Keturunan

Muhammad Shahib Mirbath dilahirkan di kota Tarim, Yaman. Ia dikaruniai empat orang anak
laki-laki, yaitu:

1. Abdullah
2. Ahmad
3. Alwi
4. Ali

Abdullah dan Ahmad tidak menurunkan keturunan, sedangkan Alwi dan Ali menjadi cikal-bakal
keturunan para Sayyid dari kaum Alawiyyin (Habaib), termasuk yang berada di kawasan Asia
Tenggara.

Dua orang putera Muhammad Shahib Mirbath yang menjadi pangkal keturunan semua Sayyid
kaum Alawiyin adalah:

1. Ali bin Muhammad, bergelar al-A'dham al-Faqih al-Muqaddam, yang kemudian


mempunyai anak bernama Muhammad
2. Alwi bin Muhammad, bergelar `Ammul-Faqih al-Muqaddam, kemudian mempunyai tiga
orang anak yaitu Abdulmalik,[2] Abdullah,[2] dan Abdurrahman.[2]

Abdul Malik bin Alwi[3] memiliki anak bernama Abdullah[4] dan Alwi[5][6] Abdullah bin Alwi
kemudian memiliki anak bernama Ali,[7] sedangkan Abdurrahman bin Alwi memiliki anak
bernama Ahmad.[7]

Di Indonesia

Di Indonesia, banyak para kyai pesantren yang dianggap merupakan keturunan Muhammad
Shahib Mirbath melalui jalur keturunan para Walisongo. Sedangkan para keturunannya dari kaum
Alawiyin yang memakai gelar Syarif, Sayyid, Syekh, Sidi, Habib, Wan, dan lain-lain banyak pula
yang menjadi pemuka agama Islam terkenal dan raja-raja di berbagai kerajaan Islam di Nusantara.

14. Alwi ‘Ammil Faqih


15. Abdul Malik Azmatkhan
16. Amir Abdullah Azmatkhan
17. Ahmad Syah Jalaluddin
18. Husein Jamaluddin Akbar

19. Jamaluddin Akbar al-Husaini


Husain Jamaluddin Akbar atau Syekh Jumadil Kubra (1310-1453M) dikenal sebagai seorang
mubaligh terkemuka, dia menyebarkan Islam di Nusantara. Wali Songo yang terkenal kemudian
berasal dari keturunannya. Ia dilahirkan pada tahun 1310 M di negeri Malabar, di dalam wilayah
Kesultanan Delhi. Ayahnya adalah seorang Gubernur Amir negeri Malabar, yang bernama Amir
Ahmad Syah Jalaluddin.
Silsilah

1. Husein Jamaluddin Akbar bin


2. Ahmad Syah Jalaluddin bin
3. Amir Abdullah Azmatkhan bin
4. Abdul Malik Azmatkhan bin
5. Alwi ‘Ammil Faqih bin
6. Muhammad Shohib Mirbath bin
7. Ali Khali' Qasam bin
8. Alwi Shohib Baiti Jubair/'Alwi Ats Tsani bin
9. Muhammad Shohibus Saumah bin
10. Alawi bin
11. Ubaidillah
12. Ahmad al-Muhajir bin
13. Isa bin
14. Muhammad an-Naqib bin
15. Ali bin
16. Imam Ja’far ash-Shadiq bin
17. Imam Muhammad al-Baqir bin
18. Imam Ali bin Husain bin
19. Imam Husain Asy-Syahid bin
20. Ali bin Abu Thalib

Keluarga

Maulana Husain lahir di Malabar India 1310 ibu dari samarqand uzbekistan, memiliki banyak
saudara di antaranya: adik bungsu HUSEIN lahir 1326 di AGRA sewaktu dilantik jadi raja 1351
bergelar JAMALUDDIN di champa sekitarnya mendapat gelar ALKABIR; AHMAD JUMADIL
KUBRO LAHIR 1311 DIDELHI DARI IBU BINTI NIZAMULMULK; Aludeen Abdullah, Amir
Syah Jalalluddeen (Sultan Malabar), Alwee Khutub Khan, Hasanuddeen, Qodeer Binaksah, Ali
Syihabudeen Umar Khan, Syeikh Mohamad Ariffin Syah (Datuk Kelumpang Al Jarimi Al Fatani)
dan Syeikh Thanauddeen (Datuk Adi Putera) .

Maulana Muhammad dianggap memiliki beberapa nama panggilan yg salah, diantaranya Sayyid
Husain Jamaluddin, Syekh Maulana Al-Akbar atau Syekh Jamaluddin Akbar Gujarat, ia tercatat
memiliki 6 istri, yaitu:

1. Lalla Fathimah binti Hasan bin Abdullah Al-Maghribi Al-Hasani (Maroko), memperoleh
seorang anak, yang kemudian dikenal dengan nama Maulana Muhammad Al-Maghribi.
2. Puteri Nizam Al Mulk dari Delhi, memperoleh 4 anak yaitu: Maulana Ahmad Jumadil
Kubra (maqom Terboyo Semarang), Maulana Muhammad ‘Ali Akbar, Maulana
Muhammad Al-Baqir (Syekh Subakir), Syaikh Maulana Wali Islam.
3. Puteri Linang Cahaya, (menikah tahun 1350 M), memperoleh 3 anak, yaitu: Pangeran
Pebahar, Fadhal (Sunan Lembayung), Sunan Kramasari (Sayyid Sembahan Dewa Agung),
Syekh Yusuf Shiddiq (Ayah dari Syekh Quro, Karawang).
4. Puteri Ramawati (Puteri Jeumpa/Pasai) (Menikah tahun 1355 M), memperoleh seorang
anak yang bernama Maulana Ibrahim Al Hadrami.
5. Puteri Syahirah dari Kelantan (Menikah tahun 1390 M) memperoleh 3 anak. yaitu ’Abdul
Malik, ‘Ali Nurul ‘Alam dan Siti ‘Aisyah (Putri Ratna Kusuma.
6. Puteri Jauhar (Diraja Johor), memperoleh anak bernama Muhammad Berkat Nurul Alam
dan Muhammad Kebungsuan

Keempat isterinya yang terakhir, ia nikahi selepas tiap-tiap seorang daripadanya meninggal dunia

Sejarah Dakwah

Pada tahun 1349 M besama adiknya Syeikh Thanauddeen (Datuk Adi Putera), tiba di Kelantan
dalam menjalankan misi dakwahnya.

Dari Kelantan ia menuju Samudra Pasai, dan ia kemudian bergerak ke arah Tanah Jawa. Di Jawa
ia menyerahkan tugas dakwah ke anakanda tertuanya Maulana Malik Ibrahim. Jamaluddin Akbar
al-Husaini sendiri bergerak ke arah Sulawesi dan mengislamkan Raja Lamdusalat (La Maddusila
Toappasawe' Datu Tanete) pada tahun 1380 M.

Pada awal abad ke-15, Maulana Husain mengantar puteranya Maulana Ibrahim Al Hadrami ke
tanah Jawa.

Pada akhirnya ia memutuskan untuk bermukim di Sulawesi, hal ini dikarenakan, sebagian besar
orang Bugis ketika itu belum masuk Islam. Ia wafat pada tahun 1453, dan dimakamkan di Wajo
Sulawesi.

Anda mungkin juga menyukai