Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

Syirkah dan Ji’alah


Disusun untuk memenuhi tugas
Mata kuliah: Fiqh Muamalah
Dosen Pengampu : Miftahul Jannah, S.H.I., M.E

Di susun oleh :
Fajar Luqman Hadi (020.1124)
Nisfa Noer Azizah (020. 1125)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM


PROGRAM STUDI AHWALUL SYAHSYIAH SMT-3
Jl M.Said RT12 Kelurahan Lok Bahu Kec Sungai Kunjang Samarinda

TAHUN PEMBELAJARAN 2021


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah tentang “Syirkah dan Ji’alah” ini dengan baik meskipun
banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami mengucapkan terima kasih yang
sebesar besarnya kepada Ibu Miftahul Jannah, S.H.I., M.E selaku Dosen di mata
kuliah “Fiqih Muamalah”yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai Musaqah, Muzara’ah, dan Mukhabarah.
Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan
dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan
usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya.Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami
sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan
saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Samarinda, 07 November 2021


Penyusun

II
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.......................................................................................................................ii
Daftar Isi ..................................................................................................................................iii

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .......................................................................................... iv


B. Rumusan Masalah .......................................................................................v
C. Tujuan .........................................................................................................v
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Syirkah ......................................................................................1
B. Rukun dan Syarat Syirkah ...........................................................................2
C. Jenis jenis syirkah .......................................................................................3
D. Hikmah Syirkah ..........................................................................................5
E. Pengertian Jia’alah ......................................................................................5
F. Perbedaan Ji’alah dan Ijarah ....................................................................... 8
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan ...............................................................................................10
B. Saran ..........................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA 11

III
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam upaya memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari, manusia tidak
akan terlepas dari hubungan terhadap sesama manusia. Tanpa hubungan dengan
orang lain, tidak mungkin berbagai kebutuhan hidup dapat terpenuhi. Islam sebagai
agama terakhir yang telah dijamin kebenarannya oleh Allah SWT, berisi tentang
segala aturan hukum dan moral dengan tujuan membimbing dan mengarahkan
umat-Nya menuju terbentuknya komunitas manusia yang mampu melaksanakan
peranannya sebagai khalifatullah dimuka planet bumi. Khalifatullah bukanlah suatu
tugas ringan yang bisa dengan sendirinya terlaksana tanpa adanya kreasi dan
inovasi yang dinamis untuk menggali semua potensi yang telah disediakan oleh
Allah. Guna menggali untuk memanfaatkan potensi alam secara maksimal inilah
manusia kemudian perlu mengadakan interaksi dengan sesamanya yang tidak
mustahil terjadi kesenjangan dan perbenturan kepentingan yang satu dengan yang
lainnya. Oleh karena itu, Islam sangat menganjurkan kepada umatnya untuk berlaku
tolong-menolong dengan sesamanya.
Agama islam telah mengatur prilaku para pengikutnya dalam segala hal,
salah satunya yaitu tentang hubungan dengan sesama manusia, segala hal tentang
masalah tersebut telah dijelaskan dalam ilmu fiqih mualamah. Dalam hubungan
sesama manusia, kita pasti sudah mengetahui bahwa terdapat akad syirkah dan
ji’alah. Akad ji’alah identik dengan sayembara, yakni menawarkan sebuah
pekerjaan yang belum pasti dapat diselesaikan. Jika seseorang mampu
menyelesaikan maka ia berhak mendapat hadiah atau upah. Secara harfiah ji’alah
bermakna sesuatu yang dibebankan kepada orang lain untuk dikerjakan, atau
perintah yang dimandatkan kepada seseorang untuk dijalankan.
Terkait dengan hal ini maka perlu diciptakan suasana yang baik terhadap
sesama manusia. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengadakan akad syirkah
dengan pihak lain. Di sini dipaparkan berbagai macam definisi dan teori-teori
tentang Syirkah dan Jialah.

IV
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian syirkah?
2. Apa saja rukun serta syarat syirkah ?
3. Apa saja jenis-jenis syirkah serta penerapanya?
4. Bagaimana pelaksanaan dan pembatalan ji’alah?
5. Apa saja hikmah-hikmah ji’alah?

C. Tujuan Makalah
1. Memahami pengertian syirkah dan ji’alah.
2. Untuk mengetahui rukun serta syarat syirkah dan ji’alah.
3. Untuk mengetahui jenis-jenis syirkah dan penerapanya pada lembaga bisnis.

V
BAB II
KERJA SAMA (SYIRKAH) DAN JI’ALAH

A. Pengertian Syirkah

Syirkah ( ‫ )شركة‬dalam arti bahasa adalah:

‫اال ختال ط أي خلت أحد املا لني اب االخر حبيث ال ميتزا ن عن بعضهما‬
“Bercampur yakni bercampurnya salah satu dari dua harta dengan yang lainnya,
sehingga tidak dapat dibedakan antara keduanya”.Menurut istilah, yang dimaksud
dengan syirkah para fuqaha berbeda pendapat sebagai berikut:1

1. Menurut Hanafiayah

‫الشركة هي عبا رة عن عقد بني املتشا ركني يف رأس املال و الربح‬


“Syirkah adalah sesuatu ungkapan tentang akad (perjanjian) antara dua orang
berserikat di dalam modal dan keuntungan”

2. Menurut Malikiyah

‫الشركة هي اذن يف التصرف هلما مع أنفسهما أي أن أيذن كل واحد من الشريكني لصاحبه يف أن‬

‫يتصرف يف مال هلما مع ابقاء حق التصرف لكل منهما‬


“Syirkah adalah persetujuan untuk melakukan tasarruf bagi keduanya beserta diri
mereka, yakni setiap orang yang berserikat memberikan persetujuan kepada teman
serikatnya untuk melakukan tasarruf terhadap harta keduanya di samping masih
tetapnya hak tasarruf bagi masing-masing peserta”2

3. Menurut Syafi’iyah
Syirkah adalah suatu ungkapan tentang tetapnya hak atas suatu barang bagi
dua orang atau lebih secara bersama-sama.

4. Menurut Hanabilah

1
Wahbah Zuhaili, Al-fiqh Al-Islamiy wa Adillatuh, juz 4, Dar Al-Fikr, Damaskus, cet.
III, 1989, hlm. 792.
2
Wahbah Zuhaili, op. Cit., Juz 4 hlm. 793.

1
‫الشركة هي االجتماع يف استحقاق أو تصرف‬
“Syirkah adalah berkumpul atau bersama-sama dalam kepemilikan atau hak atau
tasarruf”3

Setelah diketahui definisi-definisi di atas, maka yang dimaksud dengan syirkah


adalah kerja sama antara dua orang atau lebih dalam berusaha, yang keuntungan
dan kerugiannya ditanggung bersama.

Adapun yang dijadikan dasar hukum syirkah oleh para ulama adalah:

• Surah An-Nisa ayat 12

‫فان كانوا أكثر من ذلك فهم شركاء يف الثلث‬


“Tetapi jika saudara-saudara seibu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu
dalam yang sepertiga itu”4

• Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abi Hurairah dari Nabi
Saw

‫ أان اث لث الشريكني ما مل خين أحدمها صاحبه فاذا خانه‬: ‫ ان هللا يقول‬: ‫عن أيب هريرة رفعه قال‬
‫خرجت من بينهما‬
“Dari Abu Hurairah, ia merafa’kannya kepada nabi, beliau bersabda: Saya adalah
pihak ketiga dari dua orang yang berserikat, selagi salah satunya tidak mengkhianati
temannya. Apabila ia berkhianat kepada temannya, maka saya akan keluar dari
antara keduanya. (HR. Abu Dawud). Dari Al-Qur’an dan Sunnah tersebut, jelaslah
bahwa syirkah merupakan akad yang dibolehkan oleh syara’5

B. Rukun dan Syarat Syirkah


a. Rukun Syirkah
Secara garis besar, ada tiga rukun syirkah:

3
Ibid, Juz 4, hlm. 792.
4
Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad, Khifayah Al-Akhyar, Juz 1, Dar Al-‘Ilmi,
Surabaya, t. t., hlm. 226.
5
Abu Dawud, Sulaiman bin Al-Asy’ats As-Sajstani, Sunan Abu Dawud, Juz 3, Dar Al-
Fikr, Beirut, t. t., hlm. 256.

2
1. Kedua belah pihak yang akan berakad (‘aqidani). Persyaratan orang yang akan
melakukan akad adalah harus memiliki kecakapan (ahliyah) dan melakukan
tasharruf (pengelolaan harta).
2. Objek akad yang disebut juga ma’qud ‘alaihi mencakup pekerjaan ataupun
modal. Adapun persyaratan pekerjaan atau benda yang boleh dikelola didalam
syirkah harus halal dan diperbolehkan didalam agama dan pengelolaannya juga
dapat diwakilkan.
3. Akad atau bisa disebut juga dengan istilah shigat. Adapun syarat sah akad harus
berupa tasharruf, yaitu harus adanya aktivitas yang berupa pengelolaan.
b. Syarat Syirkah
Syarat Syirkah terbagi menjadi tiga yaitu:

1. Syarat lafadz, Kalimat akad hendaklah mengandung arti izin untuk


menjalankan barang perserikatan. Misalnya, salah satu pihak diantara
keduanya berkata: “kita berserikat untuk barang yang ini, dan saya izinkan kau
menjalankannya dengan jalan jual beli dan lain-lain” jawab pihak lainnya, “
saya seperti yang engkau katakan tersebut”.
2. Syarat untuk menjadi anggota perserikatan adalah: Berakal, Baligh dan
Merdeka.
3. Syarat dari modal perkongsian: Modal hendaknya berupa uang ( emas atau
perak) ataupun barang yang dapat ditimbang atau ditakar. Contohnya: beras,
gula dll.6
C. Jenis- Jenis Syirkah
Secara garis besar syirkah terbagi kepada dua bagian:

a. Syirkah Al-Amlak

Pengertian syirkah al-amlak adalah:

‫الشركة األمالك هي أن يتملك شخصان فأكثر عينا من غريه عقد الشركة‬

6
Saleh Al-Fauzan, Loc.Cit

3
“Syirkah milik adalah kepemilikan oleh dua orang atau lebih terhadap satu barang
tanpa melalui akad syirkah”.
Syirkah Milik terbagi kepada dua bagian:

1. Syirkah ikhtiyariyah, yaitu suatu bentuk kepemilikan bersama yang timbul


karena perbuata orang-orang yang berserikat.
2. Syirkah Jabariyah, yaitu bentuk kepemilikan bersama yang timbul bukan
karena perbuatan orang-orang yang berserikat, melainkan harus terpaksa
diterima oleh mereka.

b. Syirkah Al-Uqud
Pengertian syirkah al-uqud adalah:

‫هي عبارة عن العقد الواقع بني اثنني فأكثر لال شرتاك يف مال ورحبه‬
“Syirkah ‘uqud adalah suatu ungkapan tentang akad yang terjadi antara dua
orang atau lebih untuk bersekutu di dalam modal dan keuntungan”

Menurut Hanabilah, syirkah ‘uqud ada 5 macam:

a) Syirkah ‘Inan
Syirkah ‘Inan adalah suatu persekutuan atau kerja sama antara dua pihak
dalam harta (modal) untuk diperdagangkan dan keuntungan dibagi di antara
mereka.

b) Syirkah Amwal
Syirkah Amwal adalah ibarat kesepakatan dua orang atau lebih untuk
menyerahkan harta mereka masing-masing supaya memperoleh hasil dengan cara
mengelola harta itu, bagi setiap yang berserikat memperoleh bagian yang
ditentukan dari keuntungan.

c) Syirkah Wujuh
Syirkah Wujuh adalah suatu kerja sama antara dua orang atau lebih untuk
membeli suatu barang tanpa menggunakan modal.7

7
Warsi Muslich Ahmad, Fiqh Muamalah, Amzah, Jakarta, hlm. 343.

4
d) Syirkah Abdan
Syirkah Abdan atau disebut juga dengan Syirkah A’mal adalah suatu bentuk
kerja sama antara dua orang atau lebih untuk mengerjakan suatu pekerjaan bersama-
sama, dan upah kerjanya dibagi di antara mereka sesuai dengan persyaratan yang
disepakati bersama.

e) Syirkah Mufawadhah
Syirkah Mufawadhah adalah suatu perjanjian kerja sama antara beberapa
orang untuk mengerjakan sesuatu pekerjaan, di mana setiap peserta menjadi
penanggung jawab atas peserta yang lainya.

D. Hikmah Syirkah
Hikmah dari pada syirkah adalah:

1. Terciptanya kekuatan dan kemajuan khususnya dibidang ekonomi.


2. Pemikiran untuk kemajuan perusahaan bias lebih mantap, karena hasil
pemikiran dari banyak orang.
3. Semakin terjalinnya rasa persaudaraan dan rasa soldaritas untuk kemajuan
bersama.
4. Jika usaha berkembang dengan baik, jangkauan operasi rasionalnya semakin
meluas, maka dengan sendirinya membutuhkan tenaga kerja yang banyak, ini
berarti syirkah akan menampung banyak tenaga kerja sehingga dapat
mensejahterakan sebagian masyarakat.8

E. Pengertian Al-Jialah
Bagi seseorang yang kehilangan sesuatu yang berharga menurut
pendapatnya, tentu akan berupaya menemukan kembali benda-benda yang hilang.
Salah satu cara mencari benda-benda yang hilang dan boleh menurut para ulama
adalah dengan pengumuman, baik melalui media massa, radio, pamflet-pamflet,
maupun yang lainnya. Pengumuman ini biasanya dibarengi dengan imbalan
(memberikan imbalan) bagi penemunya sebagai daya tarik . Al-Jialah boleh juga
diartikan sebagai sesuatu yang mesti diberikan sebagai pengganti suatu pekerjaan

8
Mardani, Fiqih Ekonomi Syariah, Kencana, Jakarta, 2012, hlm 220

5
dan padanya terdapat suatu jaminan, meskipun jaminan itu tidak dinyatakan, al-
Jialah dapat diartikan pula sebagai upah mencari benda-benda yang hilang.9

a. Syarat-syarat al-Ji’alah
Secara esensial pada al-ji’alah disyaratkan supaya nyata (jelas). Syarat-
syarat jelasnya al-ji’alah adalah sebagai berikut:

1. Kalimat atau lafaz yang menunjukan izin pekerjaan, yang merupakan syarat
atau tuntutan dengan tukaran tertentu. Bila seseorang mengerjakan perbuatan,
tetapi tanpa seizin orang yang menyuruh (yang punya barang), maka baginya
tidak ada (tidak memperoleh) suatu apapun, jika barang itu ditemukannya.
2. Keadaan al-ji’alah itu hendaknya ditentukan, uang atau barang sebelum
seseorang mengerjakan pekerjaan itu.10

b. Hukum Ji’alah
Ji’alah hukumnya mubah (Boleh), dasar hukumnya bermula dari Firman
Allah SWT. :

‫ك َولِ َم ْن َجاءَبِِه ِِحْ ٌل بَعِ ٍْريَوأ ََانبِِه َز ِعْي ٌم‬


ِ ِ‫قَالُوا نَ ْف ِق ُدصو َاع الْمل‬
َ َُ ُ

“Penyeru-penyeru itu berkata :”Kami kehilangan Piala Raja dan barang siapa yang
dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta,
dan akan menjanjikan terhadapnya“ (QS. Yusuf : 72)
Para ahli fiqih sepakat bahwa akad Ji‟alah merupakan hal yang boleh (Jaiz),
termasuk mazhab Maliki, Syafi‟i, Hambali, Serta Syi‟ah. Walaupun para imam
mazhab berbeda pendapat penggunaan akad ji‟alah untuk melakukan mu‟amalah,
mazhab Hanafi dan Zhahiri melarang menggunakan akad ini untuk mu‟amalah
dengan alasan adanya unsur gharar, karena dalam akad ji‟alah boelh saja tidak
dijelaskan secara jelas batas waktu, bentuk atau cara melakukanya. 11 Mazhab
Maliki mendefinisikan ji‟alah: “Suatu upah yang dijanjikan sebagai imbalan atas

9
Ghufron A Masadi, Fiqih Muamalah Kontekstual, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2002, hlm 191
10
Wahbah Az- Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Op. Cit, h. 433
11
Suhendi Hendi, Fiqh Muamalah, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 127.

6
suatu jasa yang belum pasti dapat dilaksanakan oleh seseorang”. Mazhab
Syafi‟iyah dan Hanabilah berpendapat ja‟il (pemilik pekerjaan) dibolehkan
menambahkan atau mengurangi upah yang harus diberikan kepada amil (pekerja).
Karena ju‟alah merupakan akad ja‟iz gair lazim (diperbolehkan dan tidak
mengikat). Namun, Syafi‟iyyah membolehkan penambahan atau pengurangan
tersebut sebelum selesainya pekerjaan ataupun sesudahnya.

c. Sifat Akad Ji’alah


Mazhab Maliki, Syafi'i dan Hambali memandang bahwa akad ju’alah
bersifat sukarela, sehingga apa-apa yang dijanjikan boleh saja dibatalkan oleh
kedua belah pihak. Mengenai waktu pembatalan terjadi perbedaan pendapat.
Mazhab Maliki berpendapat bahwa ju'alah hanya dapat dibatalkan oleh pihak
pertama sebelum pekerjaan dimulai oleh pihak kedua.

Sedangkan menurut Mazhab Syafi'i dan Hambali, pembatalan itu dapat


dilakukan oleh salah satu pihak setiap waktu, selama pekerjaan itu belum selesai
dilaksanakan. Namun jika pihak pertama membatalkannya sedangkan pihak kedua
belum selesai melaksanakannya, maka pihak kedua harus mendapatkan imbalan
yang pantas sesuai dengan kadar pekerjaan yang telah dilaksanakannya.

d. Aplikas Ji’alah
Ju’alah biasa diaplikasikan dalam membuat pengumuman akan suatu
barang yang hilang dan menginformasikan hal itu ke baliho-baliho, surat kabar,
media telekomunikasi dan lain-lain, serta akan memberikan upah bagi siapa yang
menemukan barang tersebut.

Contoh : “Siapa yang dapat menemukan SIM atau KTP saya yang hilang, maka
akan saya beri imbalan upah lima puluh ribu rupiah.”

e. Pembatalan Ji’alah
Pembatalan ju’alah dapat dilakukan oleh kedua belah pihak (orang yang
kehilangan barang dengan orang yang dijanjikan ju’alah atau orang yang
mencarikan barang) sebelum bekerja. Jika pembatalan datang dari orang yang
bekerja mencari barang, maka ia tidak dapat upah sekalipun ia telah bekerja. Tetapi,

7
jika yang membatalkannya itu pihak yang menjanjikan upah maka yang bekerja
berhak menuntut upah sebanyak pekerjaan yang telah dilakukan.12

f. Hikmah Ji’alah
Ju’alah merupakan pemberian penghargaan kepada orang lain berupa materi
karena orang itu telah bekerja dan membantu mengembalikan sesuatu barang yang
berharga. Baik itu berupa materi (barang yang hilang), mengembalikan kesehatan
atau membantu seseorang menghafal Alquran. Hikmah yang dapat dipetik adalah
dengan ju’alah dapat memperkuat persaudaraan dan persahabatan, menanamkan
sikap saling tolong menolong dan bahu membahu. Dengan ju’alahakan terbangun
suatu semangat dalam melakukan sesuatu bagi para pekerja.

Terkait dengan ju’alahsebagai satu pekerjaan yang baik, Islam mengajarkan


bahwa Allah selalu menjanjikan balasan surga bagi mereka yang mau
melaksanakan perintah-Nya, seseorang akan memperoleh pahala dari pekerjaan
baik yang ia kerjakan. Allah berfirman,
ۡ
ٗ‫فَ َم ۡن يَّ ۡع َم ۡل ِمث َق َال َذ َّرٍة َخ ۡي ًرا يََّره‬
“Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan
melihat (balasan)nya” (QS. Al-Zalzalah: 7)13

F. Perbedaan Ji’alah dengan Ijarah


Akad ju’alah berbeda dengan akad ijarah, terutama terkait dengan
kesepakatan yang ada di dalamnya Perbedaan tersebut dapat dilihat dari beberapa
poin di bawah ini:
1. Pemilik pekerjaan (ja’il) baru akan merasakan manfaat, ketika pekerjaan telah
usai dilakukan. Berbeda dengan ijarah, penyewa (musta’jir) bisa menerima
manfaat ketika mu’ajjir telah melakukan sebagaian pekerjaannya.
Konsekuensinya, pekerja dalam akad ju’alah tidak akan menerima upah jika
pekerjaanya tidak selesai. Sedangkan dalam ijarah, mu’ajjir (pekerja) berhak

12
Ibid, hlm. 206.
13
Ibid, hlm. 207.

8
mendapat upah atas pekerjan yang telah dikerjakan walaupun pekerjaannya
belum selesai.
2. Akad ju’alah mengandung unsur gharardi dalamnya, yakni ketidakjelasan jenis
pekerjaan atau jangka waktu yang dibutuhkan dan hal ini diperbolehkan.
Berbeda dengan ijarah, jenis pekerjaan, upah dan jangka waktu yang diperlukan
harus dijelaskan secara detail. Akad ijarah harus dibatasi dengan waktu berdeda
dengan ju’alah. Yang terpenting adalah selesainya sebuah pekerjaan, tidak
tergantung kepada pembatasan waktu.
3. Dalam akad ju’alah tidak diperbolehkan mensyaratkan adanya pemberian upah
di muka. Berbeda dengan akad ijarah, upah bisa dipersyaratkan untuk dibayar di
muka.
4. Akad ju’alah bersifat jaiz ghair lazim (diperbolehkan dan tidak mengikat),
sehingga boleh untuk dibatalkan. Berbeda dengan akad ijarah yang bersifat
lazim (mengikat), yakni tidak bisa dibatalkan sepihak14

14
Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad, Khifayah Al-Akhyar, Juz 1, Dar Al-‘Ilmi,
Surabaya, t. t., hlm. 740.

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pengertian-pengertian diatas dapat di tarik kesimpulan, bahwa syirkah
adalah persekutuan dalam urusan harta oleh dua orang atau lebih yang melakukan
akad untuk urusan harta, yang modalnya bisa dibagi dua atau berdasarkan
keputusan bersama. Biasanya syirkah dilakukan di perusahaan, yang mana dari
mereka ada yang mempunyai saham dan ada yang menjalankan saham. Syirkah
akan berlaku jika masing-masing pihak berakad untuk melakukan syikrah itu.
Syarat-syarat syirkah pun harus terpenuhi dengan jelas, agar syirkah tersebut sah.
Hukumnya sangat dianjurkan jika kedua belah pihak saling amanah, haram jika
keduanya saling berkhianat. Syirkah dinyatakan sah jika memenuhi rukun dan
syarat.
Pengupahan (ju’alah) menurut bahasa ialah apa yang diberikan kepada
seseorang karena sesuatu yang dikerjakannya sesuai dengan rukun dan syarat
tertentu, sedangkan pengupahan (ju’alah) menurut Al-Jazairi menyebutkan hadiah
atau pemberian seseorang dalam jumlah tertentu kepada orang yang mengerjakan
perbuatan khusus, diketahui atau tidak diketahui. Ji’alah juga dapat dilaksanakan
dan juga pula dapat dibatalkan sesuai dengan keadaan tertentu yang telah
dipaparkan. Hikmah Ji’alah antara lain; Memacu prestasi dalam suatu bidang yang
disayembarakan (dilombakan), menumbuhkan sikap saling tolong menolong antar
sesama manusia, adanya penghargaan terhadap suatu prestasi dari pekerjaan yang
dilaksanakan.

B. Saran
Penulis banyak berharap para pembaca memberikan kritik dan saran yang
membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah
di kesempatan–kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis
pada khususnya juga para pembaca pada umumnya..

10
DAFTAR PUSTAKA

Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2010.

Zuhdi, Masjfuk, Masail Fiqhiyah, Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, 1997.

Wardi Muslich, Ahmad, Fiqh Muamalat, Jakarta: Amzah, 2010.

Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad, Khifayah Al-Akhyar, Juz 1, Dar Al-‘Ilmi,
Surabaya: Gunung Jati, 2001.

Nawawi, H. Ismail, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, Bogor: Galia


Indonesia, 2012.

11

Anda mungkin juga menyukai