Anda di halaman 1dari 12

ABDULLAH BIN UMAR YANG PENUH KELEBIHAN

Abdullah bin Umar termasuk seorang sahabat yang memiliki keistimewaan dalam ilmu dan amal.
Sejak masih kecil, ia sudah masuk Islam bersama Ayahnya, Umar bin Khattab. Ia termasuk anak cerdas
dan hebat yang menjadi kesayangan orang tuanya. Ayahnya benar-benar mendidik kedisiplinan dan
ketaatan kepada agamanya. Apalagi lingkungan keluarga dan masyarakat sekitar sangat mendukungnya
dalam hal-hal keislaman. Ia ikut hijrah (pindah) ke Kota Madinah bersama Ayahnya ketika usianya baru
menginjak sepuluh tahun.

Ketika itu, Kota Madinah sedang memainkan peranan yang sangat menonjol sebagai pusat
pemikiran dan intelektual Islam setelah masa Rasulullah SAW. Abdullah bin Umar mendengar, mencatat
dan mempertimbangkan dengan sangat kritis semua cerita dan anekdot tentang Rasulullah yang
dituturkan penduduk Madinah. Oleh karena itu, ia bersama sahabat Abdullah bin Abbas menjadi perintis
paling awal yang membuka bidang kajian baru, yaitu hadis (tradisi) Rasulullah, disamping menghafal Al-
Quran secara sempurna. Abdullah bin Umar sering bergaul dan selalu dekat dengan Rasulullah.

Kecintaannya kepada Rasulullah sangat mengagumkan. Kemana pun Rasulullah pergi, ia sering
turut menyertainya. Ia memang tercatat masih ipar Rasulullah, karena saudari kandungnya yang bernama
Hafsah binti Umar menjadi istri Rasulullah. Ia senantiasa berusaha mencontoh sifat, kebiasaan harian dan
meniru segala gerak-gerik Rasulullah, seperti cara memakai pakaian, makan, minum, bergaul, dan hal
lainnya. Atas dasar inilah, ia disegani dan dihormati banyak orang. Bahkan, ia pernah menjadi guru yang
mengajari murid-muridnya yang datang dari berbagai tempat, meski tidak lama.

Keistimewaan ibnu Umar adalah pemuda teladan yang tekun beribadah dan senang mendekatkan
diri kepada Allah SWT. Apabila sedang membaca Al-Quran atau ketika shalat, dia tak sadarkan diri
sampai menangis. Sebelum tidur, ia membentangkan sajadah untuk mengerjakan shalat. Setelah selesai,
sajadah itu dibiarkan tetap terbentang di dekat tempat tidurnya. Sejenak ia tidur, lalu bangun lagi untuk
mengambil air wudhu dan shalat malam. Hampir setiap malamnya tidak kurang dari empat atau lima
rakaat. Begitu rutinitas setiap malam hingga waktu istirahatnya berkurang. Ia selalu memohon ampun
kepada Allah.

Semua itu dikarenakan rasa takwa dan takutnya kepada Allah.


Keistimewaan lain yang melekat pada diri Abdullah bin Umar ialah keluasan ilmu, kerendahan hati,
kebulatan tekad dan ketegasan pendirian, kedermawanan, serta keteguhannya pada contoh yang telah
diberikan Rasulullah. Kepribadiannya yang sungguh mengagumkan nyaris tanpa cela sedikit pun. Orang-
orang yang semasa dengan Abdullah bin Umar umumnya mengatakan: “Tak seorang pun di antara
sahabat-sahabat Rasulullah yang lebih berhati-hati agar tidak  terselip atau terkurangi sehuruf pun dalam
menyampaikan hadis Rasulullah sebagaimana halnya Abdullah bin Umar.”

Ada lagi kehebatan Abdullah bin Umar. Dikisahkan dalam satu perjalanan, ia di tengah jalan tiba-
tiba dihadang seekor singa besar dan galak. Singa itu mengaum berkali-kali, seperti hendak
memangsanya. Suaranya menggelegar, membuat bulu kuduk merinding. Abdullah bin Umar
menghentikan untanya, lalu turun menghampirinya. Mendadak singa itu diam saja dan menjadi penurut.
Kedua telinganya kemudian digosok-gosok secara perlahan oleh Abdullah bin Umar.
Selang beberapa menit, singa itu mengibaskan ekornya, lantas pergi meninggalkan Abdullah bin Umar.
Seseorang yang mengetahui peristiwa itu merasa takjub. Ia segera mendekat, lalu bertanya kepadanya,
”Bagaimana caranya agar singa itu tidak menerkam Anda?”. Abdullah bin Umar menjawab, dirinya
pemah mendengar Rasulullah SAW bersabda, ”Jika manusia hanya takut kepada Allah SWT, maka tidak
ada hal lain yang bisa menguasainya.” Orang itu langsung menganggukkan kepalanya, sementara ibnu
Umar melanjutkan perjalanannya.

Kemurahan Abdullah bin Umar termasuk orang yang hidup makmur, kaya raya dan
berpenghasilan banyak. Ia pedagang dan saudagar yang jujur dan berhasil dalam sebagian besar
kehidupannya. Di samping itu, gajinya dari Baitul maal (kas negara) tidak sedikit pula. Tetapi, tunjangan
itu tidak satu dirham pun disimpannya, melainkan dibagi-bagi sebanyak-banyaknya kepada fakir miskin
dan anak yatim. Ia banyak memberi kepada orang lain karena ia dikenal sangat pemurah. Bahkan, ia tidak
peduli apakah kemurahannya itu akan menyebabkannya miskin atau kelaparan. Ia memang zahid, yakni
orang yang tidak berminat terhadap pesona dunia. Seseorang bernama Ayub bin Ma’il Ar Rasibi pernah
menceritakan salah satu contoh kedermawanan Abdullah bin Umar. Pada suatu hari, Abdullah bin Umar
menerima uang sebanyak 4.000 dirham dan sehelai baju dingin. Hari berikutnya, Ayub bin Ma’il
melihatnya di pasar sedang membeli makanan untuk hewan tunggangannya secara berhutang. Maka,
Ayub bin Ma’il pergi menemui keluarga Abdullah bin Umar.

“Bukankah kemarin Abdullah bin Umar menerima kiriman 4.000  dirham dan sehelai  baju
dingin?” Tanya Ayub bin Ma’il. “Benar,” jawab salah seorang dari keluarga Abdullah bin Umar.
“Saya lihat ia tadi di pasar membeli makanan untuk hewan tunggangannya dan tidak punya uang untuk
membayarnya,” kata Ayub bin Ma’il. “Tidak sampai malam hari, uang itu telah habis dibagi-bagikannya.
Mengenai baju dingin, mula-mula dipakainya, lalu ia pergi keluar. Saat ia kembali, baju itu tidak
kelihatan lagi. Ketika kami tanyakan, jawabnya bahwa baju itu telah diberikannya kepada seorang
miskin,” tutur keluarganya. Setelah mendengar penjelasan tersebut, Ayub bin Ma’il pamitan pulang.

Dalam perjalanan, Ayub bin Ma’il berkata dalam hati, sungguh kedermawanan Abdullah bin
Umar bukanlah sebagai alat untuk mencari nama, popularitas atau memperoleh penghormatan dari
manusia. Semua niatan itu berasal dari dalam hatinya yang tulus dan semata karena Allah SWT.
Pemberiannya pun hanya ditujukan kepada fakir miskin, anak yatim dan orang yang benar-benar
membutuhkan. Ayub bin Ma’il menambahkan, jarang sekali ia makan seorang diri, karena pasti disertai
anak-anak yatim dan kaum fakir miskin. Satu waktu, Khalifah Utsman bin Affan pernah menawari
Abdullah bin Umar untuk menjabat sebagai hakim. Tetapi ia tidak mau menerimanya. Ia lebih memilih
menjadi warga biasa. Memasuki masa tua, Abdullah bin Umar mendapat cobaan dari Allah SWT, yakni
kehilangan pengelihatannya. Sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis –sejumlah 2.630 hadis
setelah Abu Hurairah—ini kemudian wafat pada tahun 72 hijriyah dalam usia 84 tahun. Ia merupakan
salah satu sahabat Rasulullah yang paling akhir yang meninggal di Kota Mekkah.***

Abdullah ibn Umar ra.- Sahabat Rasul, Sahabat Malam

Perang Khandak berkecamuk. Beredar kabar, siapa saja lelaki berusia 15 tahun ke atas berhak ikut
berjihad. Mendengar itu seorang pemuda berseri-seri. Usianya saat itu masuk 15 tahun. Ia segera
mendaftarkan diri. Itulah idamannya selama ini: berjihad bersama Rasulullah. Keikutsertaannya dalam
berbagai medan jihad tak pernah lepas dalam sejarah hidup pemuda itu. Saat perang membuka kota
Mekah (Futuh Makkah), ia berusia 20 tahun dan termasuk pemuda yang menonjol di medan perang.
Dialah, Abdullah ibn Umar, atau Ibn Umar.

"Penting sekali mendapatkan pengakuan (baiat) dari penduduk Madinah. Yang paling kukhawatirkan ada
tiga orang: Husain ibn Ali, Abdullah ibn Zubair, dan Abdullah ibn Umar," Muawiyah berwasiat kepada
anaknya, Yazid, yang telah dia nobatkan sebagai putra mahkota. Tiga orang itu telah menyatakan
penentangannya pada pengangkatan Yazid ibn Muawiyah.

"Adapun Husain ibn Ali, aku berharap kamu dapat mengatasinya. Adapun Abdullah ibn Zubair, kalau
kamu berhasil mengatasinya, kamu harus menghancurkannya hingga berkeping-keping. Sedangkan Ibn
Umar, orang ini sebenarnya terlalu sibuk dengan urusan akhirat. Asal kamu tidak mengusik urusan
akhiratnya ini, maka ia akan membiarkan urusan duniamu."

Berkawan Malam. Menurut sebagian penulis riwayat, kaum muslimin masa itu sedang jaya-jayanya.
Muncul daya tarik harta dan kedudukan membuat sebagian orang tergoda memperolehnya. Maka para
sahabat melakukan perlawanan pengaruh materi itu dengan mempertegas dirinya sebgai contoh gaya
hidup zuhud dan salih, menjauhi kedudukan tinggi.

Ibn Umar pun dikenal sebagai pribadi yang berkawan malam untuk beribadah, dan berkawan dengan
dinihari untuk menangis memohon ampunan-Nya. Akan halnya soal salat malam ini, ada riwayatnya. Di
masa hayat Rasulullah, Ibn Umar mendapat karunia Allah. Setelah selesai salat bersama Rasulullah, ia
pulang, dan bermimpi. "Seolah-olah di tanganku ada selembar kain beludru. Tempat mana saja yang
kuingini di surga, kain beledru itu akan menerbangkanku ke sana. Dua malaikat telah membawaku ke
neraka, memperlihatkan semua bagian yang ada di neraka. Keduanya menjawab apa saja yang
kutanyakan mengenai keadaan neraka," begitulah diungkapkan Ibn Umar kepada saudarinya yang juga
istri Rasul, Hafshah, keesokan harinya.

Hafshah langsung menanyakan mimpi adiknya kepada Rasulullah. Rasulullah SAW bersabda,
ni’marrajulu 'abdullah, lau kaana yushallii minallaili fayuksiru, akan menjadi lelaki paling utamalah
Abdullah itu, andainya ia sering salat malam dan banyak melakukannya. Semenjak itulah, sampai
meninggalnya, Ibn Umar tak pernah meninggalkan qiyamul lail, baik ketika mukim atau bersafar. Ia
demikian tekun menegakkan salat, membaca Al-Quran, dan banyak berzikir menyebut asma Allah. Ia
amat menyerupai ayahnya, Umar ibn Khatthab, yang selalu mencucurkan airmata tatkala mendengar ayat-
ayat peringatan dari Al-Quran.

Soal ini, 'Ubaid ibn 'Umair bersaksi, "Suatu ketika kubacakan ayat ini kepada Abdullah ibn Umar." 'Ubaid
membacakan QS 4:41-42 yang artinya: Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami
datangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat, dan Kami mendatangkan kamu (Muhamad) sebagai
saksi atas mereka itu (sebagai umatmu). Di hari itu orang-orang kafir dan yang mendurhakai Rasul
berharap kiranya mereka ditelan bumi, dan mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) sesuatu
kejadian pun." Maka Ibn Umar menangis hingga janggutnya basah oleh air mata.

Pada kesempatan lain, Ibn Umar tengah duduk di antara sahabatnya, lalu membaca QS 83:-6 yang
maknanya: Maka celakalah orang-orang yang berlaku curang dalam takaran. Yakni orang-orang yang
apabila menerima takaran dari orang lain meminta dipenuhi, tetapi mengurangkannya bila mereka
menakar atau menimbang untuk orang lain. Tidakkah mereka merasa bahwa mereka akan dibangkitkan
nanti menghadapi suatu hari yang dahsyat, yaitu ketika manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam.
Lantas Ibn Umar mengulang bagian akhir ayat ke enam, "yauma yaquumun naasu lirabbil 'alamiin",
ketika manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam. Sembari air matanya bercucuran, sampai
akhirnya ia jatuh karena sekapan rasa duka mendalam dan banyak menangis.

Abdullah ibn Umar adalah salah satu sahabat Nabi yang berhati lembut dan begitu mendalam cintanya
kepada Rasulullah. Sepeninggal Rasulullah SAW, apabila ia mendnegar nama Rasulullah disebut di
hadapannya, ia menangis. Ketika ia lewat di sebuah tempat yang pernah disinggahi Rasulullah, baik di
Mekah maupun di Madinah, ia akan memejamkan matanya, lantas butiran air bening meluncur dari sudut
matanya.

Sebagai sahabat Rasul, ahli ibadah dan dikaruniai mimpi yang haq, karena mimpinya dibenarkan
Rasulullah, ia menjadi sosok yang tak punya minat lagi kepada dunia. Sebuah kecenderungan yang sudah
nampak sejak ia remaja, ketika pertama kali gairahnya bangkit untuk ikut berjihad.
Dermawan. Bagaimana mungkin Ibn Umar dikatakan tak berhasrat pada dunia, sedang ia pedagang yang
sukses? Bisa saja. Sebagai pedagang ia berpenghasilan banyak karena kejujurannya berniaga. Selain itu ia
menerima gaji dari Baitul Maal. Tunjangan yang diperolehnya tak sedikitpun disimpan untuk dirinya
sendiri, tetapi dibagi-bagikannya kepada fakir miskin. Berdagang buat Ibn Umar hanya sebuah jalan
memutar rezeki Allah di antara hamba-hambanya.

Suatu ketika Ibn Umar menerima uang sebanyak 4.000 dirham dan sehelai baju dingin. Sehari kemudian,
periwayat yang bernama Ayub ibn Wail Ar-Rasibi melihat Ibn Umar sedang membeli makanan untuk
hewan tunggangannya dengan berutang. Maka Ayub ibn Wail ini mencari tahu kepada keluarganya.
Bukankah Abu Abdurrahman (maksudnya Ibn Umar) menerima kiriman empat ribu dirham dan sehelai
baju dingin? Mengapa dia berutang untuk membeli pakan hewan tunggangannya? "Tidak sampai malam
hari, uang itu telah habis dibagikannya. Mengenai baju dingin itu, mula-mula dipakainya, lalu ia pergi
keluar, saat kembali ia sudah tak lagi memakai baju dingin itu. Ketika kami tanya ke mana baju dingin
itu, Ibn Umar bilang sudah diberikannya kepada seorang miskin," demikian jawab keluarga Ibn Umar.

Segera saja Ayub ibn Wail bergegas menuju pasar. Ia berdiri di tempat yang agak tinggi dan berteriak.
"Hai kaum pedagang, apa yang Tuan-tuan lakukan terhadap dunia. Lihatlah Ibn Umar, datang kiriman
kepadanya sebanyak empat ribu dirham, lalu dibagi-bagikannya hingga esok pagi ia membelikan hewan
tunggangannya makanan secara berutang."

Kedermawanan Ibn Umar antara lain juga ditunjukkan dengan sikap hanya memberi mereka yang fakir
miskin. Ia pun jarang makan sendirian. Anak-anak yatim atau golongan melarat kerap diajaknya makan
bersama-sama. Ia pernah menyalahkan anak-anaknya sendiri lantaran mengundang jamuan makan untuk
kalangan hartawan. "Kalian mengundang orang-orang yang dalam kekenyangan, dan kalian biarkan
orang-orang kelaparan."

Sang dermawan memang bukan mencari nama dengan kedermawanannya. Dalam kesehariannya, kaum
dhuafa akrab dengan Ibn Umar. Sifat santunnya, terutama kepada fakir miskin, bukan basa-basi. Orang-
orang fakir dan miskin sudah duduk menunggu di tepi jalan yang diduga bakal dilewati Ibn Umar, dengan
harapan mereka akan terlihat oleh Ibn Umar dan diajak ke rumahnya.

Hati-hati. Adalah Abdullah ibn Umar orangnya, yang kalau dimintai fatwa enggan berijtihad. Karena
takut berbuat kesalahan, meskipun ajaran Islam yang diikutinya sejak berusia 13 tahun memberi satu
pahala bagi yang keliru berijtihad, dan dua pahala bagi yang benar ijtihadnya. Karena khawatir keliru
berijtihad, ia pun menolak jabatan kadi atau kehakiman. Padahal ini jabatan tertinggi di antara jabatan
kenegaraan dan kemasyarakatan, jabatan yang juga "basah".

Pernah khalifah Utsman r.a. mau memberi jabatan kadi, tapi Ibn Umar menolak. semakin Khalifah
mendesak, Abdullah ibn Umar makin tegas menolak.

"Apakah antum tak hendak menaati perintahku?"

"Sama sekali tidak. Hanya, saya dengar para hakim itu ada tiga macam: pertama hakim yang mengadili
tanpa ilmu, maka ia dalam neraka; kedua, yang mengadili berdasarkan nafsu, ia pun dalam neraka; dan
ketiga, yang berijtihad sedang ijtihadnya betul, maka ia dalam keadaan berimbang, tidak berdosa tapi
tidak pula beroleh pahala. Dan saya atas nama Allah memohon kepada antum agar dibebaskan dari
jabatan itu."

Khalifah menerima keberatan itu dengan syarat, Ibn Umar tak menyamnpaikan alasan penolakannya
kepada siapa pun. Sebab, jika seorang yang bertakwa lagi salih mengetahui hal ini, niscaya akan
mengikuti jejak Ibn Umar. Kalau sudah demikian, pupuslah harapan khalifah mendapatkan kadi yang
takwa dan salih.

Penolakan itu sendiri sebenarnya karena Ibn Umar masih melihat di antara sahabat Rasulullah masih
banyak yang salih dan wara’ yang lebih pantas memegang jabatan itu. Ibn Umar sendiri sadar, penolakan
itu takkan sampai berakibat jatuhnya posisi kadi ke tangan yang tak pantas memegangnya.

Calon Khalifah Ketiga. Penerus kekhalifahan Islam sepeninggal Abu Bakar Ash-Shiddiq, adalah Umar
ibn Khattab. Khalifah Umar ibn Khattab suatu ketika mendapat serangan mematikan dari Abu Lu’lu’ah.
Dalam keadaan terluka parah, sejumlah sahabat menemui Khalifah memberi saran. "Wahai Amirul
Mu’minin, bukankah sebaiknya engkau segera menunjuk salah seorang wakil yang akan menggantikan
engkau?"

"Siapakah orangnya? Andaikata Abu Ubaidah Ibn Jarrah masih hidup, niscaya aku akan tunjuk dia
sebagai pengganti." Salah satu sahabat berkata, "Saya akan menunjukkan nama pengganti itu. Tunjuklah
Abdullah ibn Umar."

"Demi Allah, engkau keliru. Aku tak bermaksud menunjuk orang yang kau usulkan itu. Apa yang kau
harapkan dari keluargaku untuk pekerjaan ini, sudah cukuplah dan dari keluargaku aku seorang diri saja
yang akan diperiksa Allah dan yang akan ditanya tentang hal-hal mengenai umat Muhamad saw ini."

Kondisi Umar terus memburuk, belum juga ada nama penggantinya. Sekali lagi para sahabat menemui
Khalifah, mendorong menunjuk calon penerusnya. Khalifah pun memberi nama-nama calon itu.
"Hendaklah kamu berpegang teguh kepada calon yang terdiri dari beberapa orang, dan orang yang
kucalonkan ini ialah beberapa orang yang sewaktu Rasulullah wafat, beliau rela kepada orang-orang ini,
dan orang-orang ini termasuk yang dijanjikan Rasulullah masuk surga. Mereka ialah Ali ibn Abi Thalib,
Utsman ibn Affan, Saad ibn Abi Waqqash, Abdurrahman ibn Auf, Thalhah ibn Ubaidillah, dan Abdullah
ibn Umar."

Akhirnya masuk juga nama anak Umar ini. Tapi, kata Umar, Ibn Umar hanya berhak memilih, tapi tidak
berhak dipilih. Menurut periwayat, Abdullah ibn Umar sampai mendorong terpilihnya Usman ibn Affan
dengan pertimbangan, Utsman ibn Affan luas ilmunya, wara’, dan memiliki kelebihan dan keistimewaan.
Antara lain, Utsman ibn Affan menjadi suami dari dua anak perempuan Rasulullah SAW.

Tak heran, dalam masa kepemimpinan Utsman ibn Affan, Abdullah ibn Umar kerap dimintai nasihat.
Puncaknya, Utsman meminta Ibn Umar memegang jabatan kadi yang kemudian ditolaknya dengan
hujjah, alasan yang kuat.

Syahid setelah Mengingatkan Penguasa. Namanya tak kalah terkenal dibanding ayahandanya, Umar ibn
Khattab. Ia lahir di Mekah, 10 tahun sebelum Hijrah atau 612 Masehi. Dalam usia 10 tahun, Abdullah
cilik ikut ayahnya berhijrah. Abdullah adalah contoh sahabat Nabi yang amat terpelajar di Madinah, di
masa kejayaan Islam. Selain Basrah, Madinah memang tumbuh menjadi pusat pemikiran Islam pasca
masa Nabi SAW.

Kegairahan Abdullah seolah melengkapi kekurangan yang ada di kalangan penuntut ilmu-ilmu Islam,
karena ia mendalami segi ajaran Islam yang saat itu kurang memperoleh perhatian serius. Yakni tradisi
atau hadis Rasulullah saw. Menurut para periwayat, Abdullah mendapatkan inspirasi luar biasa karena ia
tinggal di Madinah, yakni tumbuhnya kecenderungan mendengarkan, mencatat, dan mengkritisi berbagai
hal mengenai Nabi, termasuk anekdot-anekdot yang sepeninggal Nabi banyak diungkapkan penduduk
Madinah.
Putra Umar ini perintis awal bersama sahabat yang lainnya yakni Abu Hurairah dalam bidang hadis
(tradisi) Nabi SAW. Ia periwayat hadis kedua terbanyak setelah Abu Hurairah, yakni meriwayatkan 2.630
hadis. Ia pun hapal Quran secara sempurna. Selain itu, ia banyak menerima hadis langsung dari Nabi
SAW, dari para sahabat Nabi termasuk ayahnya, Umar ibn Khattab ra.

Selama 60 tahun setelah Nabi wafat, ia menjadi salah satu mata air pengetahuan menyangkut hadis yang
banyak dihapalnya, baik karena ia mendengar langsung dari Nabi atau bertanya kepada orang-orang yang
menghadiri majelis Nabi menyangkut tutur dan perbuatan Nabi. Ia kerap diminta fatwa dan pertimbangan,
tetapi ia juga saking berhati-hatinya ia menolak diminta ijtihadnya. Kecintaannya kepada Rasulullah,
kemampuannya mengingat tutur dan perbuatan Nabi, menjaga substansi ajaran sebagaimana dulu Nabi
menyampaikannya, membuat Abdullah ibn Umar bersama Abdullah ibn Abbas dianggap pemula bagi
golongan yang kemudian disebut golongan sunni.

Abdullah ibn Umar memang hidup dalam beberapa masa kekhalifahan, di antaranya ada masa-masa
penuh pergolakan antar kelompok Islam. Menghadapi situasi keras, Ibn Umar tak berubah menjadi kasar
dan pembalas. Suatu ketika, Gubernur Mu’awiyah, Al-Hajjaj ibn Yusuf, yang berkedudukan di Hijaz
tengah berpidato di masjid. Sang gubernur terkenal kejam dan fasik. Kebetulan Abdullah ibn Umar ada di
masjid itu.

Saat itulah, orang-orang semasanya mendapat bukti, betapa kelembutan dan kesabaran Ibn Umar, tidak
berarti lemah terhadap kezaliman. Dengan tenang, Ibn Umar berdiri masih saat Gubernur Hajjaj masih di
mimbar, dan berkata, "Engkau musuh Allah. Engkau menghalalkan barang yang diharamkan Allah.
Engkau meruntuhkan rumah Allah, dan engkau membunuh banyak wali Allah." Al Hajjaj menyetop
pidatonya. "Siapakah orang bicara tadi?" Seseorang menjawab, itu Abdulah ibn Umar. Lalu Hajjaj
meneruskan pidatonya. "Diam, wahai orang yang sudah pikun."

Seteleh Al-Hajjaj kembali ke kantornya, diperintahkannya pembantunya menikam Abdullah ibn Umar
dengan pisau beracun. Si pembantu berhasil menorehkan pisau beracun itu ke tubuh Abdullah ibn Umar
yang lantas jatuh sakit. Di pembaringan, Ibn Umar dijenguk Al-Hajjaj. Al-Hajjaj beruluk salam, Ibn
Umar tak menjawab. Al-Hajjaj menanyakan sesuatu, berbicara dengan Abdullah ibn Umar tetapi
Abdullah ibn Umar tak menjawab sepatah katapun.

Ibn Umar wafat tahun 72 Hijriyah dalam usia 84 tahun. Putra Umar ibn Khattab sebagaimana ayahnya,
sama-sama penggiat Islam, telah pergi. Kalau Umar ibn Khattab hidup di suatu masa di mana banyak pula
sahabat Rasulullah yang wara’ dan ahli ibadah, maka orang-ornag semasa Abdullah ibn Umar
mengatakan, zaman ketika Ibn Umar hidup sulit menemukan sosok yang sealim dan seteguh dia.

Menghindari Jabatan, Antikekerasan

Benar, Ibn Umar bergairah kala panggilan jihad berkumandang. Tetapi, sungguh suatu kenyataan, ia anti
kekerasaan, terlebih ketika yang bertikai adalah sesama golongan Islam. Kendati ia berulangkali
mendapat tawaran berbagai kelompok politik untuk menjadi khalifah.

Hasan r.a. meriwayatkan, tatkala Utsman ibn Affan terbunuh, sekelompok umat Islam memaksanya
menjadi khalifah. Mereka berteriak di depan rumah Ibn Umar, "Anda adalah seorang pemimpin, keluarlah
agar kami minta orang-orang berbai’at kepada anda." Tapi Ibn Umar menyahut, "Demi Allah, seandainya
bisa janganlah ada walau darah setetas tertumpah disebabkan daku." Massa di luar mengancam. "Anda
harus keluar. Atau, kalau tidak kami bunuh di tempat tidurmu." Diancam begitu, Umar tak tergerak.
Massa pun bubar.
Sampai suatu ketika datang lagi ke sekian kali tawaran menjadi khalifah. Ibn Umar mengajukan syarat,
yakni asal ia dipilih seluruh kaum muslimin tanpa paksaan. Jika bai’at dipaksakan sebagian orang atas
sebagian lainnya di bawah ancaman pedang, ia akan menolak jabatan khalifah yang dicapai dengan cara
semacam itu. Saat itu, sudah pasti syarat ini takkan terpenuhi. Mereka sudah terpecah menjadi beberapa
firqah, saling mengangkat senjata pula. Ada yang kesal lantas menghardik Ibn Umar.

"Tak seorang pun lebih buruk perlakuannya terhadap umat manusia, kecuali engkau."

"Kenapa? Demi Allah tak pernah aku menumpahkan darah mereka, tidak pula aku berpisah dengan
jamaah mereka apalagi memecah-mecah persatuan mereka?" saut Ibn Umar heran.

"Seandanya kamu mau menjadi khalifah, tak seorang pun akan menentang."

"Saya tak suka kalau dalam hal ini seorang mengatakan setuju, sedang yang lain tidak."

Lagi-lagi, Ibn Umar menghindari posisi pemimpin tertinggi umat Islam ini. Meski demikian, saat ia
berusia lanjut pun harapan orang dipimpin Ibn Umar tetap ada. Ketika Muawiyah II putera Yazid
beberapa kali menduduki jabatan khalifah. Datang Marwan menemui Ibn Umar. "Ulurkan tangan Anda
agar kami berbaiat. Anda adalah pemimpin Islam dan putra dari pemimpinnya."

"Lantas apa yang kita lakukan terhadap orang-orang masyriq?"

"Kita gempur mereka sampai mau berbaiat."

"Demi Allah, aku tak sudi dalam umurku yang tujuhpuluh tahun ini, ada seorang manusia yang terbunuh
disebabkan olehku."

Mendengar jawaban ini, Marwan pun berlalu, dan melontarkan syair.

"Api fitnah berkobar sepeninggal Abu Laila, dan kerajaan akan berada di tangan yang kuat lagi perkasa."
Abu Laila yang dimaksudkannya, ialah Muawiyah ibn Yazid.

Sikap penolakan Ibn Umar ini karena ia ingin netral di tengah kekalutan para pengikut Ali dan
Muawiyah. Sikap itu diungkapkannya dengan pernyataan, "Siapa yang berkata 'Marilah salat’, akan
kupenuhi. Siapa yang berkata 'Marilah menuju kebahagiaan’, akan kuturuti pula. Tetapi siapa yang
mengatakan 'Marilah membunuh saudaramu seagama dan merampas hartanya’ aku katakan: tidak!"

Ini bukan karena Ibn Umar lemah, tapi karena ia sangat berhati-hati, dan amat sedih umat Islam
berfirkah-firkah. Ia tak suka berpihak pada salah satunya. Pernah, Abul 'Ali Al-Barra berada di belakang
Ibn Umar tanpa sepengetahuannya. Didengarnya Ibn Umar bicara pada dirinya sendiri, "Mereka letakkan
pedang-pedang mereka di atas pundak-pundak lainnya, mereka berbunuhan lalu berkata, hai Abdulah ibn
Umar ikutlah dan berikan bantuan. Sungguh menyedihkan." Begitulah, gambaran suasana hati Abdulah
ibn Umar.

Meskipun pada akhirnya, pernah Abdulah ibn Umar berkata, "Tiada sesuatu pun yang kusesalkan karena
tak kuperoleh, kecuali satu hal, aku amat menyesal tak mendampingi Ali memerangi golongan
pendurhaka." Tapi kemudian, Ibn Umar tak mampu menyetop peperangan, sehigga ia menjauhi
semuanya. Seseorang menggugatnya. Mengapa ia tak membela Ali dan pengikutnya kalau ia merasa Ali
di pihak yang benar, Abdullah ibn Umar menjawab, "Karena Allah telah mengharamkan atasku
menumpahkan darah Muslim." Lalu dibacanya Q.2:193, perangilah mereka itu hingga tak ada lagi fitnah
dan hingga orang-orang beragama itu ikhlas semata-mata karena Allah.

Ibn Umar melanjutkan, "Kita telah melakukan itu, memerangi orang-orang musyrik hingga agama itu
semata bagi Allah. Tetapi sekarang apa tujuan kita berperang? Aku sudah mulai berperang semenjak
berhala-berhala memenuhi Masjidil Haram dari pintu sampai ke sudut-sudutnya, hingga akhirnya semua
dibasmi Allah dari bumi Arab. Sekarang, apakah aku akan memerangi orang yang mengucapkan "laa
ilaaha illallah"?

Selain mendaftar keutamaan sifat-sifat Ibnu Umar, bapak sosiologi Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah
mengkritisi Ibnu Umar. Menurutnya Abdullah bin Umar melarikan diri dari urusan kenegaraan karena
sifatnya memang senang menghindar dari ikut campur dalam urusan apapun, baik yang boleh maupun
yang terlarang. Wallahu’alam

Abdullah bin Umar RA

Abdullah bin Umar adalah putra Umar bin Khaththab, ia telah memeluk Islam semenjak kanak-
kanak. Ia melihat seorang lelaki yang selalu mendatangi Nabi SAW untuk menceritakan mimpinya jika ia
bermimpi, karenanya ia sangat ingin bisa bermimpi dan menceritakan mimpinya kepada Nabi SAW
seperti lelaki tersebut. Saat itu ia masih muda dan ia sering tidur di masjid.
Suatu ketika ia bermimpi melihat dua malaikat datang dan membawanya ke neraka. Di sana ia
melihat bangunan seperti sumur yang mempunyai dua cabang, dan di dalamnya banyak orang yang
dikenalinya, sehingga ia berkata, "Semoga Allah melindungiku dari neraka ini…!"
Datanglah malaikat yang lain dan mengatakan agar ia tidak takut, dan ia terbangun.
Ia tidak punya keberanian untuk menceritakan mimpinya tersebut kepada Nabi SAW seperti yang
diinginkan sebelumnya, karena itu ia menceritakannya kepada kakaknya yang juga istri Nabi SAW,
Hafshah. Ketika Hafshah menceritakan mimpi tersebut kepada Nabi SAW, beliau bersabda, "Abdullah
bin Umar adalah anak yang baik, saya berharap semoga ia selalu melaksanakan shalat malam."
Sejak itulah ia banyak mengerjakan shalat malam, dan tidur hanya sebentar, padahal saat itu ia
masih sangat muda remaja.
Abdullah bin Umar dikenal sebagai sahabat yang paling banyak meneladani Nabi SAW, bahkan
pada hal-hal yang sebenarnya tak berarti. Ia selalu memperhatikan apa yang dilakukan beliau, dan
kemudian ditirunya dengan cermat dan teliti. Misalnya ia melihat Nabi SAW shalat di suatu tempat, maka
di tempat yang sama, ia akan melakukan shalat seperti beliau. Jika Nabi SAW berdoa dengan berdiri, ia
juga akan berdoa dengan berdiri di tempat tersebut. Pernah, di suatu tempat di Makkah, ia melihat Nabi
SAW berputar dua kali dengan untanya sebelum turun dan shalat dua rakaat. Maka setiap kali ia melewati
tempat itu, ia akan memutar untanya dua kali, kemudian turun dan shalat dua rakaat seperti yang pernah
dilakukan Nabi SAW. Padahal bisa saja unta Nabi SAW itu memutar sekedar untuk mencari tempat yang
tepat untuk berhenti dan beristirahat.
Begitulah kesetiaannya dalam mengikuti jejak langkah Nabi SAW, sehingga Ummul Mukminin
Aisyah RA pernah berkata, "Tak seorangpun mengikuti jejak Rasulullah SAW di tempat-tempat
pemberhentian beliau, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Umar…."
Hampir tidak ada suatu perilaku Nabi SAW, yang diketahuinya yang tidak ditirunya. Setelah
lama waktu berlalu sepeninggal Nabi SAW, ia ingat sesuatu yang ia tidak tahu apa yang dilakukan oleh
beliau dan ia belum menirunya. Waktu Fathul Makkah, beliau masuk ke dalam Ka'bah. Yang
diketahuinya beliau menghancurkan berhala-berhala, setelah itu ia tidak tahu. Karenanya ia segera
mencari Bilal bin Rabah yang saat itu mengikuti beliau masuk ke dalam Ka'bah untuk menanyakan hal
tersebut. Atas pertanyaannya ini Bilal berkata, "Beliau berdiri di antara dua tiang Ka'bah dan shalat dua
rakaat…."
Mendengar penjelasan ini Abdullah bin Umar menangis penuh penyesalan. Beberapa kali ia
mengunjungi Ka'bah dan ia tidak pernah meneladani perilaku beliau ini. Seolah sekian banyak ibadah,
jihad dan kedermawanan dalam membelajakan hartanya di jalan Allah, tidak bisa menebus kelalaiannya
dalam mengamalkan dua rakaat yang dilakukan Nabi SAW di dalam Ka'bah tersebut.

Tausiyah In Tilawatun Islamiyah


ِ َّ‫ق هَّللا ِ َذلِكَ الدِّينُ ْالقَيِّ ُم َولَ ِك َّن َأ ْكثَ َر الن‬
َ‫ون‬QQ‫اس اَل يَ ْعلَ ُم‬ ِ ‫اس َعلَ ْيهَا تَ ْب ِدي َل لِخَ ْل‬ ْ ِ‫ِّين َحنِيفا ً ف‬
َ َّ‫ط َرةَ هَّللا ِ الَّتِي فَطَ َر الن‬ ِ ‫ ﴾ فََأقِ ْم َوجْ هَكَ لِلد‬Artinya : "Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang
lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui". Q.s. Ar-Rum:30 ).

Penyakit Kejiwaan Khalifah Umar Bin Khattab Dan Kelebihan Indera Beliau

Memang betul, Khalifah Umar bin Khaththab telah berubah ingatan. Banyak yang melihatnya dengan
mata kepala sendiri. Barangkali karena Umar di masa mudanya sarat dengan dosa, seperti merampok,
mabuk-mabukan, malah suka mengamuk tanpa berperi kemanusiaan, sampai orang tidak bersalah banyak
yang menjadi korban. Itulah yang mungkin telah menyiksa batinnya sehingga ia ditimpa penyakit jiwa.
Dulu Umar sering menangis sendirian sesudah selesai menunaikan salat. Dan tiba-tiba ia tertawa
terbahak-bahak, juga sendirian. Tidak ada orang lainyang membuatnya tertawa. Bukankah hal itu
merupakan isyarat yang jelas bahwaUmar bin Kaththab mengidap penyakit kejiwaan?

Abdurrahman bin Auf, sebagai salah seorang sahabat Umar yang paling akrab,merasa tersinggung dan
sangat murung mendengar tuduhan itu. Apalagi, hampir semua rakyat Madinah telah sepakat
menganggap Umar betul-betul sinting. Dan,sudah tentu, orang sinting tidak layak lagi memimpin umat
atau negara.

Yang lebih mengejutkan rakyat, pada waktu melakukan salat Jum’at yang lalu,ketika sedang berada di
mimbar untuk membacakan khotbahnya,sekonyong-konyong Umar berseru, “Hai sariah, hai tentaraku.
Bukit itu, bukititu, bukit itu!” Jemaah pun geger. Sebab ucapan tersebut sama sekali tidak ada kaitannya
dengan isi khotbah yang disampaikan. “Wah, khalifah kita benar-benar sudah gila,” gumam rakyat
Madinah yang menjadi makmum salat Jumat hari itu.

Tetapi Abdurrahman tidak mau bertindak gegabah, ia harus tahu betul, apa sebabnya Umar berbuat
begitu. Maka didatanginya Umar, dan ditanyainya,”Wahai Amirul Mukminin. Mengapa engkau berseru-
seru di sela-sela khotbah engkau seraya pandangan engkau menatap kejauhan?” Umar dengan tenang
menjelaskan, “Begini, sahabatku. Beberapa pekan yang lewat aku mengirimkan Suriah, pasukan tentara
yang tidak kupimpin langsung, untuk membasmi kaum pengacau. Tatkala aku sedang berkhotbah, kulihat
pasukan itu dikepung musuh dari segala penjuru. Kulihat pula satu-satunya benteng untuk
mempertahankan diri adalah sebuah bukit dibelakang mereka. Maka aku berseru: bukit itu,bukit itu, bukit
itu!”

Setengah tidak percaya, Abdurrahman megerutkan kening. “Lalu, mengapa engkau dulu sering menangis
dan tertawa sendirian selesai melaksanakan salat fardhu?” tanya Abdurrahman pula. Umar menjawab,
“Aku menangis kalau teringat kebiadabanku sebelum Islam. Aku pernah menguburkan anak
perempuankuhidup-hidup. Dan aku tertawa jika teringat akan kebodohanku. Kubuat patung dari tepung
gandum, dan kusembah-sembah seperti Tuhan.”

Abdurrahman lantas mengundurkan diri dari hadapan Khalifah Umar. Ia belumbisa menilai, sejauh mana
kebenaran ucapan Umar tadi. Ataukah hal itu justru lebih membuktikan ketidakwarasannya sehingga
jawabannya pun kacau balau?Mungkinkah ia dapat melihat pasukannya yang terpisah amat jauh dari
masjid tempatnya berkhotbah?

Akhirnya, bukti itupun datang tanpa dimintanya. Yaitu manakala sariah yang dikirimkan Umar tersebut
telah kembali ke Madinah. Wajah mereka berbinar-binar meskipun nyata sekali tanda-tanda kelelahan dan
bekas-bekas luka yang diderita mereka. Mereka datang membawa kemenangan.

Komandan pasukan itu, pada hari berikutnya, bercerita kepada masyarakat Madinah tentang dahsyatnya
peperangan yang dialami mereka. “Kami dikepungoleh tentara musuh, tanpa harapan akan dapat
meloloskan diri dengan selamat.Lawan secara beringas menghantam kami dari berbagai jurusan. Kami
sudah luluh lantak. Kekuatan kami nyaris terkuras habis. Sampai tibalah saat salat Jumat yang seharusnya
kami kejakan. Persis kala itu, kami mendengar sebuah seruan gaib yang tajam dan tegas: “Bukit itu, bukit
itu, bukit itu!” Tigakali seruan tersebut diulang-diulang sehingga kami tahu maksudnya.Serta-merta kami
pun mundur ke lereng bukit. Dan kami jadikan bukit itu sebagai pelindung di bagian belakang. Dengan
demikian kami dapat menghadapi serangn tentara lawan dari satu arah, yakni dari depan. Itulah awal
kejayaan kami.”

Abdurrahman mengangguk-anggukkan kepala dengan takjub. Begitu pula masyarakat yang tadinya
menuduh Umar telah berubah ingatan. Abdurrahman kemudian berkata, “Biarlah Umar dengan
kelakuannya yang terkadang menyalahi adat. Sebab ia dapat melihat sesuatu yang indera kita tidak
mampu melacaknya”

Dari buku Kisah Teladan – K.H. Abdurrahman Arroisi


LINEAR EQUATION SYSTEM WITH TWO VARIABLES

A. General Form Of Linear Equation System With Two Variables

The general form of linear system in two variables x and y as follows :

a 1x + b 1y =c 1

a 2x + b 2y =c 2

with a 1 , b 1,c 1, a 2, b 2,c 2 constant.

Determine the complection of the system of linear equation in two variables over the
means determine the pair of numbers x and y that satisfy the equation.

System of linear equation of two variables :

2x + y = 12

x+y=7

1. Equation system because more than one equation


2. Linear because the variable power one
3. Two variables because the composed of two variables, namely x and y.

x = 5 and y = 2 is the completion of a system of linear equation, because is meets the


above two equation, namely :

2 . 5 + 2 = 12

5+2=7

B. General Form Of Linear Equation System With Two Variables

1. Difference PDLV and SPLDV


a. Linear Equation In Two Variables ( PLDV )
Linear equation in two variables that has two variables and variable lift each
one. If two variables x and y, than it can be written PLDV :

ax + by = c, b ≠ 0

Anda mungkin juga menyukai