Anda di halaman 1dari 9

Kisah Sahabat Nabi Yang Mengharukan

1. Kisah Syahidnya Mush'ab bin Umair dalam Perang Uhud


Mush’ab bin Umair telah mengislamkan separuh penduduk Madinah dan menyiapkan kota
itu menjadi tujuan hijrah. Tapi kini, ia harus mempertahankannya dari serbuan pasukan kafir
Quraisy. Bersama sekitar 700 muslim lainnya, Mush’ab bin Umair bergerak menuju bukit
Uhud.

Awalnya, peperangan dimenangkan oleh umat Islam. Pasukan kafir Quraisy terpukul mundur.
Sementara pasukan berkuda mereka tak bisa banyak membantu karena pasukan pemanah
kaum muslimin berjaga-jaga di atas bukit, siap melesatkan anak-anak panah jika mereka
mendekat. Menyaksikan pasukan kafir Quraisy kocar-kacir meninggalkan banyak ghanimah,
kaum muslimin merasa mereka telah menang. Mereka pun mengumpulkan ghanimah itu.
Melihat pemandangan di bawah, pasukan pemanah tergoda untuk turun. “Kita sudah menang,
mari bergabung dengan teman-teman di bawah” kata mereka. Kini tinggal satu dua pemanah
di atas bukit itu. “Kita diperintahkan Rasulullah untuk tetap di sini, apapun yang terjadi
hingga ada perintah turun.” Kata-kata itu seperti tak terdengar. Para pemanah pergi ke bawah.

Melihat atas bukti kosong, Khalid bin Walid yang sedari tadi mengamati segera memberi
instruksi. Dalam sekejap, pemimpin pasukan berkuda yang masih musyrik itu mengomando
pasukannya untuk memutari bukit dan menghantam pasukan Islam. Mengetahui pasukan
berkuda berhasil mendobrak pertahanan umat Islam, pasukan kafir Quraisy yang sebelumnya
tercerai berai kini kembali. Mereka berbalik dan gantian menyerang pasukan Islam. Kondisi
genting.

Tujuan kafir Quraisy dalam perang itu adalah menghentikan dakwah dengan melenyapkan
pemimpinnya; Muhammad Rasulullah. Maka mereka mengkonsentrasikan serangan untuk
mencari Rasulullah dan bertekad membunuhnya. Kondisi ini disadari oleh Mush’ab bin
Umair. Maka ia pun mengibarkan bendera tinggi-tinggi, sambil berkelebat ke sana kemari
menghadapi musuh. Ia ingin mengalihkan konsentrasi pasukan kafir Quraisy agar tidak
mengejar Rasulullah.

Dan benar. Banyak pasukan kafir Quraisy yang kemudian mengerumuninya.


Mengeroyoknya. Mereka terpancing untuk menjatuhkan bendera Islam dari tangan Mush’ab.

Mush’ab bertarung dengan gagah berani. Hingga Ibnu Qaimah, salah seorang pasukan
berkuda menyerangnya dan menebas tangan kanannya. Tangan itu jatuh ke tanah. Berdarah-
darah. Tetapi Mush’ab seperti tak merasa kesakitan. Ucapannya menggambarkan ingatannya
akan nasib Rasulullah. Ia tidak mengaduh tetapi membaca ayat 44 dari surat Ali Imran. “Wa
maa Muhammadun illa Rasuul, qad khalat min qablihir rusul. Afa-in maata au qutilan
qalabtum ‘alaa a’qaabikum” (Tidaklah Muhammad melainkan seorang utusan sebagaimana
utusan-utusan sebelumnya. Apakah jika Ia meninggal dunia atau terbunuh, kalian akan
kembali ke belakang).

Musha’b mengambil bendera dengan tangan kirinya, mengibarkannya tetap meninggi.


Namun kemudian musuh menebas tangan kirinya. Ia kembali mengulang ayat itu, sembari
membungkuk berupaya menahan bendera dengan kedua pangkal lengannya.

Pasukan berkuda itu lantas menyerangnya lagi dengan tombak. Menghunjamkannya ke dada
Mush’ab. Maka jatuhlah duta Islam yang tampan itu. Ia gugur sebagai syuhada’. Dan bendera
pun roboh.

Ketika peperangan usai, kafir Quraisy telah pergi, para sahabat memeriksa satu per satu
jenazah para syuhada’.

Betapa berdukanya Rasulullah dan para sahabat mengetahui Mush’ab telah syahid. Yang
membuat pilu, Mush’ab yang dulunya kaya raya lalu meninggalkan kekayaan itu, kini tak
memiliki apa pun sebagai kain kafan. Ia hanya mendapatkan kain kafan pendek. Jika
ditutupkan ke kepalanya, maka kakinya kelihatan. Jika ditutupkan ke kakinya, kepalanya
kelihatan. Rasulullah memerintahkan agar kain itu ditutupkan ke kepala Mush’ab.

Memandang jenazah Mush’ab, dengan mata yang basah Rasulullah membaca firman Allah
yang artinya: “Diantara orang-orang mukmin, terdapat orang-orang yang telah menepati janji
mereka kepada Allah” (QS. Al Ahzab : 23)

Rasulullah kemudian bersabda kepada jasad Mush’ab, yang mengundang tangis siapapun
yang mendengarnya: “Dulu ketika di Makkah, tak seorang pun yang lebih halus pakaiannya
dan lebih rapi rambutnya daripada engkau. Tapi sekarang ini, rambutmu kusut, hanya dibalut
sehelai burdah.”

2. Kisah Mengharukan Adzan Terakhir Bilal bin Rabbah


Sejak Rasulullah wafat, Bilal meyakinkan dirinya sendiri untuk tidak lagi melantukan Adzan
di puncak Masjid Nabawi di Madinah. Bahkan permintaan Khalifah Abu Bakar ketika itu,
yang kembali memintanya untuk menjadi muadzin tidak bisa Ia penuhi.

Dengan kesedihan yang mendalam Bilal berkata : “Biarkan aku hanya menjadi muadzin
Rasulullah saja. Rasulullah telah tiada, maka aku bukan muadzin siapa-siapa lagi.”

Khalifah Abu Bakar pun bisa memahami kesedihan Bilal dan tak lagi memintanya untuk
kembali menjadi muadzin di Masjid Nabawi, melantunkan Adzan panggilan umat muslim
untuk menunaikan shalat fardhu.

Kesedihan Bilal akibat wafatnya Rasulullah tidak bisa hilang dari dalam hatinya. Ia pun
memutuskan untuk meninggalkan Madinah, bergabung dengan pasukan Fath Islamy hijrah ke
negeri Syam. Bilal kemudian tinggal di Kota Homs, Syria.

Sekian lamanya Bilal tak berkunjung ke Madinah, hingga pada suatu malam, Rasulullah
Muhammad SAW hadir dalam mimpinya. Dengan suara lembutnya Rasulullah menegur Bilal
: “Ya Bilal, Wa maa hadzal jafa? Hai Bilal, mengapa engkau tak mengunjungiku? Mengapa
sampai seperti ini?“

Bilal pun segera terbangun dari tidurnya. Tanpa berpikir panjang, Ia mulai mempersiapkan
perjalanan untuk kembali ke Madinah. Bilal berniat untuk ziarah ke makam Rasulullah
setelah sekian tahun lamanya Ia meninggalkan Madinah.

Setibanya di Madinah, Bilal segera menuju makam Rasulullah. Tangis kerinduannya


membuncah, cintanya kepada Rasulullah begitu besar. Cinta yang tulus karena Allah kepada
Baginda Nabi yang begitu dalam.

Pada saat yang bersamaan, tampak dua pemuda mendekati Bilal. Kedua pemuda tersebut
adalah Hasan dan Husein, cucu Rasulullah. Masih dengan berurai air mata, Bilal tua
memeluk kedua cucu kesayangan Rasulullah tersebut.

Umar bin Khattab yang telah jadi Khalifah, juga turut haru melihat pemandangan tersebut.
Kemudian salah satu cucu Rasulullah itupun membuat sebuah permintaan kepada Bilal.

“Paman, maukah engkau sekali saja mengumandangkan adzan untuk kami? Kami ingin
mengenang kakek kami.”

Umar bin Khattab juga ikut memohon kepada Bilal untuk kembali mengumandangkan Adzan
di Masjid Nabawi, walaupun hanya satu kali saja. Bilal akhirnya mengabulkan permintaan
cucu Rasulullah dan Khalifah Umar Bin Khattab.

Saat tiba waktu shalat, Bilal naik ke puncak Masjid Nabawi, tempat Ia biasa kumandangkan
Adzan seperti pada masa Rasulullah masih hidup. Bilal pun mulai mengumandangkan Adzan.

Saat lafadz “Allahu Akbar” Ia kumandangkan, seketika itu juga seluruh Madinah terasa
senyap. Segala aktifitas dan perdagangan terhenti. Semua orang sontak terkejut, suara
lantunan Adzan yang dirindukan bertahun-tahun tersebut kembali terdengar dengan
merdunya.

Kemudian saat Bilal melafadzkan “Asyhadu an laa ilaha illallah“, penduduk Kota Madinah
berhamburan dari tempat mereka tinggal, berlarian menuju Masjid Nabawi. Bahkan
dikisahkan para gadis dalam pingitan pun ikut berlarian keluar rumah mendekati asal suara
Adzan yang dirindukan tersebut.

Puncaknya saat Bilal mengumandangkan “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah“, seisi


Kota Madinah pecah oleh tangis dan ratapan pilu, teringat kepada masa indah saat Rasulullah
masih hidup dan menjadi imam shalat berjamaah.

Tangisan Khalifah Umar bin Khattab terdengar paling keras. Bahkan Bilal yang
mengumandangkan Adzan tersebut tersedu-sedu dalam tangis, lidahnya tercekat, air matanya
tak henti-hentinya mengalir. Bilal pun tidak sanggup meneruskan Adzannya, Ia terus terisak
tak mampu lagi berteriak melanjutkan panggilan mulia tersebut.

Hari itu Madinah mengenang kembali masa saat Rasulullah masih ada diantara mereka. Hari
itu, Bilal melantukan adzan pertama dan terakhirnya semenjak kepergian Rasulullah. Adzan
yang tak bisa dirampungkannya. [Sumber: 1001kisahteladan.com]

3. Kisah Mengharukan Syahidnya Hamzah bin Abdul Muthalib Pemimpin Para


Syuhada
Pada suatu hari Hamzah bin Abdul Muthalib keluar dari rumahnya sambil membawa busur
dan anak panah untuk berburu. Sejak muda, paman Rasulullah ini memang hobi dan gemar
berburu binatang.

Setelah hampir seharian menghabiskan waktunya di tempat perburuan tanpa mendapatkan


hasil, ia pun beranjak pulang. Sebelum kembali ke rumahnya, ia lebih dulu mampir di Ka'bah
untuk melakukan thawaf.

Sebelum sampai di Ka'bah, seorang budak perempuan milik Abdullah bin Jud'an At-Taimi
menghampirinya seraya berkata,"Hai Abu Umarah, andai saja tadi pagi kau melihat apa yang
dialami oleh keponakanmu, Muhammad bin Abdullah, niscaya kamu tidak akan
membiarkannya. Ketahuilah, bahwa Abu Jahal bin Hisyam telah memaki dan menyakiti
keponakanmu itu, hingga akhirnya ia mengalami luka-luka di sekujur tubuhnya."

Usai mendengarkan panjang lebar peristiwa yang dialami oleh keponakannya, Hamzah
terdiam sambil menundukkan kepalanya sejenak. Ia kemudian membawa busur dan anak
panahnya, kemudian bergegas menuju Ka'bah dan berharap dapat bertemu Abu Jahal di sana.

Sampai di Ka'bah ia melihat Abu Jahal dan beberapa pembesar Quraisy sedang berbincang-
bincang. Dengan tenang Hamzah mendekati Abu Jahal. Lalu dengan gerakan yang cepat ia
lepaskan busur panahnya dan dihantamkan ke kepala Abu Jahal berkali-kali hingga jatuh
tersungkur. Darah segar mengucur deras dari dahinya.

"Mengapa kamu memaki dan mencederai Muhammad, padahal aku telah menganut
agamanya dan meyakini apa yang dikatakannya? Sekarang, coba ulangi kembali makian dan
cercaanmu itu kepadaku jika kamu berani!" bentak Hamzah kepada Abu Jahal.

Dalam beberapa saat, orang-orang yang berada di sekitar Ka'bah lupa akan penghinaan yang
baru saja menimpa pemimpin mereka. Mereka begitu terpesona oleh kata-kata yang keluar
dari mulut Hamzah yang menyatakan bahwa ia telah menganut dan menjadi pengikut
Muhammad.

Tiba-tiba beberapa orang dari Bani Makhzum bangkit untuk melawan Hamzah dan menolong
Abu Jahal. Tetapi Abu Jahal melarang dan mencegahnya seraya berkata,"Biarkanlah Abu
Umarah melampiaskan amarahnya kepadaku. Karena tadi pagi, aku telah memaki dan
mencerca keponakannya dengan kata-kata yang tidak pantas."
Hamzah bin Abdul Muthalib adalah seorang yang mempunyai otak yang cerdas dan pendirian
yang kuat. Ia adalah paman Nabi dan saudara sepersusuannya. Dia memeluk Islam pada
tahun kedua kenabian. Ia juga hijrah bersama Rasulullah SAW dan ikut dalam perang Badar.
Pada Perang Uhud syahid dan Rasulullah menjulukinya dengan "Asadullah" (Singa Allah)
dan menyebutnya "Sayidus Syuhada" (Penghulu atau Pemimpin Para Syuhada).

Ketika sampai di rumah, ia duduk terbaring sambil menghilangkan rasa lelahnya dan
membawanya berpikir serta merenungkan peristiwa yang baru saja dialaminya.

Sementara itu, Abu Jahal yang telah mengetahui bahwa Hamzah telah berdiri dalam barisan
kaum Muslimin berpendapat, perang antara kaum kafir Quraisy dengan kaum Muslimin
sudah tidak dapat dielakkan lagi.

Oleh sebab itu, ia mulai menghasut dan memprovokasi orang-orang Quraisy untuk
melakukan tindak kekerasan terhadap Rasulullah dan pengikutnya. Bagaimanapun Hamzah
tidak dapat membendung kekerasan yang dilakukan kaum Quraisy terhadap para sahabat
yang lemah. Akan tetapi harus diakui, bahwa keislamannya telah menjadi perisai dan benteng
pelindung bagi kaum Muslimin lainnya.

Lebih dari itu menjadi daya tarik tersendiri bagi kabilah-kabilah Arab yang ada di sekitar
Jazirah Arab untuk lebih mengetahui agama Islam lebih mendalam. Sejak memeluk islam,
Hamzah telah berniat untuk membaktikan segala keperwiraan, keperkasaan, dan juga jiwa
raganya untuk kepentingan dakwah Islam.

Pada Perang Badar, Rasulullah menunjuk Hamzah sebagai salah seorang komandan perang.
Ia dan Ali bin Abi Thalib menunjukkan keberanian dan keperkasaannya yang luar biasa
dalam mempertahankan kemuliaan agama Islam. Akhirnya, kaum Muslimin berhasil
memenangkan perang tersebut secara gilang gemilang.

Kaum kafir Quraisy tidak mau menelan kekalahan begitu saja, maka mereka mulai
mempersiapkan diri dan menghimpun segala kekuatan untuk menuntut balas. Akhirnya,
tibalah saatnya Perang Uhud di mana kaum kafir Quraisy disertai beberapa kafilah Arab
lainnya bersekutu untuk menghancurkan kaum Muslimin. Sasaran utama perang itu adalah
Rasulullah dan Hamzah bin Abdul Muthalib.

Seorang budak bernama Washyi bin Harb diperintahkan oleh Hindun binti Utbah, istri Abu
Sufyan bin Harb, untuk membunuh Hamzah. Wahsyi dijanjikan akan dimerdekakan dan
mendapat imbalan yang besar pula jika berhasil menunaikan tugasnya.

Akhirnya, setelah terus-menerus mengintai Hamzah, Wahsyi melempar tombaknya dari


belakang yang akhirnya mengenai pinggang bagian bawah Hamzah hingga tembus ke bagian
muka di antara dua pahanya. Tak lama kemudian, Hamzah wafat sebai syahid.
Usai sudah peperangan, Rasulullah dan para sahabatnya bersama-sama memeriksa jasad dan
tubuh para syuhada yang gugur. Sejenak beliau berhenti, menyaksikan dan membisu seraya
air mata menetes di kedua belah pipinya. Tidak sedikitpun terlintas di benak beliau bahwa
moral bangsa arab telah merosot sedemikian rupa, hingga dengan teganya berbuat keji dan
kejam terhadap jasad Hamzah. Dengan keji mereka telah merusak jasad dan merobek dada
Hamzah dan mengambil hatinya.

Kemudian Rasulullah mendekati jasad Sayyidina Hamzah bin Abdul Muthalib, Singa Allah,
Seraya berkata,"Tak pernah aku menderita sebagaimana yang kurasakan saat ini. Dan tidak
ada suasana apa pun yang lebih menyakitkan diriku daripada suasana sekarang ini."

Setelah itu, Rasulullah dan kaum Muslimin menyalatkan jenazah Hamzah dan para syuhada
lainnya satu per satu.

Ibnu Atsir dalam kitab Usud Al-Ghabah, mengatakan dalam Perang Uhud, Hamzah berhasil
membunuh 31 orang kafir Quraisy. Sampai pada suatu saat ia tergelincir sehingga terjatuh
kebelakang dan tersingkaplah baju besinya, dan pada saat itu ia langsung ditombak dan
dirobek perutnya. Lalu hatinya dikeluarkan oleh Hindun kemudian dikunyahnya. Namun
Hindun memuntahkannya kembali karena bisa menelannya.

Ketika Rasulullah melihat keadaan tubuh pamannya Hamzah bin Abdul Muthalib, Beliau
sangat marah dan Allah menurunkan firmannya: "Dan jika kamu memberikan balasan, maka
balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi
jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar." (QS
An-Nahl: 126)

Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq Sirah-nya, bahwa Ummayyah bin Khalaf bertanya pada
Abdurahman bin Auf, "Siapakah salah seorang pasukan kalian yang dadanya dihias dengan
bulu bulu itu?"

"Dia adalah Hamzah bin Abdul Muthalib," jawab Abdurrahman bin Auf.

"Dialah yang membuat kekalahan kepada kami," ujar Khalaf.

Abdurahman bin Auf menyebutkan bahwa ketika perang Badar, Hamzah berperang
disamping Rasulullah dengan memegang dua bilah pedang.

Diriwayatkan dari Jabir bahwa ketika Rasulullah SAW melihat Hamzah terbunuh, maka
beliau menagis.

[Sumber : Sirah Ibnu Ishaq dan sumber lain/republika.co.id]

4. Kisah Saad bin Muadz, Kematian yang Mengguncang Arsy


Sa’ad bin Mu’adz berjuluk Abu Amr. Ia seorang pemuda Aus yang dikenal jago menunggang
kuda, dan pemberani. Ayahnya adalah Mu’adz bin An-Nu’man dan ibunya bernama Kabsyah
bintu Rafi’. Adapun istri Sa’ad adalah Hindun binti Sammak, bibi Usaid bin Hudhair. Sa’ad
adalah pemimpin Bani Abdul Asyhal.

Pada saat duta Islam, Mush’ab bin Umair, berdakwah di Yatsrib (Madinah) dan berhasil
mengajak beberapa orang untuk beriman kepada Rasulullah SAW, Sa’ad tercengang. Ia
langsung memerintahkan sahabat karibnya, Usaid bin Hudhair, untuk menemui Mush’ab
yang ketika itu bersama As’ad bin Zurarah (anak bibi Sa’ad bin Mu’adz) agar mau
menghentikan aksinya.

Namun, sesampai ditempat Mush’ab dan setelah berdialog dengannya, Usaid malah
menyatakan keislamannya. Ia pun segera pulang untuk menemui Sa’ad dengan harapan agar
Sa’ad juga dapat mengikuti jejaknya.

Melihat keadaan Usaid yang raut wajahnya sudah tidak seperti ketika perginya, Sa’ad
bertanya, “Apa yang terjadi pada dirimu?”

Usaid menjawab, “Aku sudah berbicara dengan dua orang tersebut. Demi Allah, aku tidak
melihat keduanya tidak mempunyai kekuatan. Aku sudah melarang mereka berdua, lalu
keduanya berkata, ‘Kami akan melakukan sesuatu yang engkau sukai. Aku sudah diberi tahu
bahwa Bani Haritsah sudah menemui As’ad bin Zurarah untuk membunuhnya, karena mereka
tahu bahwa anak bibimu telah menghinamu.”

Mendengar hal itu, Sa’ad bangkit dengan marah, mengambil tombaknya lalu menghampiri
As’ad bin Zurarah dan Mush’ab. Namun, tatkala Sa’ad melihat keduanya yang duduk tenang-
tenang saja, barulah ia menyadari bahwa Usaid bermaksud mengakalinya agar dia bisa
mendengar apa yang disampaikan mereka berdua.

Dengan wajah cemberut Sa’ad berdiri di hadapan mereka berdua, lalu berkata kepada As’ad
bin Zurarah, “Demi Allah wahai Abu Umamah, kalau bukan karena ada hubungan
kekerabatan antara kita, aku tidak menginginkan hal ini terjadi. Engkau datang ke
perkampungan kami dengan membawa sesuatu yang tidak kami sukai.”

Mush’ab berkata kepada Sa’ad, “Bagaimana jika engkau duduk dan mendengar apa yang aku
sampaikan? Jika engkau suka terhadap sesuatu yang aku sampaikan, maka engkau bisa
menerimanya. Dan jika engkau tidak menyukainya, maka kami akan menjauhkan darimu apa
yang tidak kau sukai.”

“Engkau cukup adil” kata Sa’ad, sembari menancapkan tombaknya, dan duduk bersama
keduanya.

Lalu Mush’ab menjelaskan Islam kepadanya dan membacakan Alquran dari permulaan surat
Az-Zukhruf.
Kemudian Sa’ad bertanya, “Apa yang kalian lakukan tatkala dahulu kalian masuk Islam?”

“Hendaklah engkau mandi, bersuci dan mempersaksikan dengan kesaksian yang benar,”
jawab Mush’ab.

Maka Sa’ad segera mandi dan bersyahadat, kemudian shalat dua rakaat. Ia memungut
tombaknya, lalu kembali menuju balairung, yang di sana ada kaumnya. Setelah berdiri di
hadapan mereka, ia berkata, “Wahai Bani Abdul Asyhal, apa pendapat kalian tentang diriku di
tengah kalian?”

Mereka menjawab, “Engkau adalah pemimpin kami, orang yang paling kami ikuti
pendapatnya di antara kami dan orang yang paling kami percaya.”

Sa’ad melanjutkan, “Tak seorang pun diantara kalian, baik laki-laki maupun wanita dilarang
berbicara denganku sebelum kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Belum sampai
petang hari, tak seorang pun, baik laki-laki maupun perempuan di Bani Abdul Asyhal
melainkan sudah menjadi Muslim dan Muslimah.

Sesudah itu, jalan hidup Sa’ad berubah. Mengabdi dan berjuang untuk Islam adalah
pilihannya. Dalam waktu yang singkat ia telah mengukir banyak momen-momen
kepahlawanan yang luar biasa.

Saat Rasulullah SAW harus perang di Badar, Sa’ad yang mewakili orang-orang Anshar
memberikan sikap dan dukungan yang tegas. Pada Perang Uhud yang bergejolak, Sa’ad
menjadi tameng Rasulullah, tegak berdiri di sisi beliau. Di Khandaq, ia turut
mempertahankan Madinah mati-matian. Ia terluka terkena panah Hibban bin Qais Al-Araqah.
Kemudian Rasulullah memerintahkan untuk merawat Sa’ad di kemah Rufaidhah agar
memudahkan beliau untuk menjenguknya.

Pada saat itu Madinah dikepung dan tiba-tiba orang-orang Yahudi dari kaum Bani Quraidzah
berkhianat. Mereka turut bersekutu dengan Quraisy, padahal sebelumnya telah melakukan
perjanjian dengan Rasulullah SAW. Setelah kemenangan di Perang Khandaq, Rasulullah
langsung mengadakan pengepungan terhadap perkampungan Bani Quraidzah yang telah
berkhianat.

Setelah 25 hari, akhirnya orang-orang Yahudi Bani Quraidzah menyerah. Mereka meminta
dihakimi oleh orang dari kaumnya sendiri. Maka Sa’ad bin Mu’adz yang disepakati dan
Rasulullah menyetujui. Di tengah rasa sakit karena luka yang terus memburuk, Sa’ad berdoa ,
“Ya Allah, janganlah Engkau cabut nyawaku, sampai aku menyelesaikan urusanku dengan
Bani Quraidzah.”

Sa’ad bersikap tegas, ia memutuskan. “Hukumannya adalah para laki-laki dewasa dibunuh,
para wanita dijadikan tahanan dan harta mereka dibagi rata!”
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya engkau telah menghukumi dengan apa yang ada di atas
langit.”

Sesudah itu, hari-hari Sa’ad adalah penantian menuju keabadian. Ia memohon agar luka-luka
itu mengantarkannya kepada kesyahidan. Ia kerap dijenguk oleh Rasulullah. Beliau berdoa
untuk Sa’ad. “Ya Allah, sesungguhnya Sa’ad ini telah berjuang di jalan-Mu. Maka terimalah
ruhnya dengan penerimaan yang sebaik-baiknya.”

Sa’ad ingin hari terakhir yang dilihatnya adalah wajah Rasulullah yang mulia. Ia pun
mengucap salam. “Assalamu’alaika, ya Rasulullah. Ketahuilah bahwa saya mengakui bahwa
Anda adalah Rasulullah.”

Rasulullah memandang wajah Sa’ad lalu berkata, “Kebahagiaan bagimu, wahai Abu Amr!”

Dan Sa’ad pun pergi menuju keabadian, menghadap Ilahi. Orang-orang berduka cita dan
berkabung. Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh, kematian Sa’ad telah membuat Arys Allah
terguncang.”

Anda mungkin juga menyukai