Abu Sufyan bin Harb al-Qurasyi al-Umawi. Ia memeluk Islam pada penaklukkan
Kota Mekah. Dan setelah itu ia menjadi muslim yang taat, yang baik
keislamannya. Setelah memeluk Islam, ia turut serta di Perang Hunain dan Perang
Yarmuk menghadapi Romawi.
Allah muliakan Abu Sufyan dengan menjadi salah seorang sahabat Rasulullah
bahkan menjadi mertua beliau. Dan di masa tuanya, beliau mengalami kebutaan.
Sebelum memeluk Islam, Abu Sufyan juga pernah menangkap salah seorang
sahabat Rasulullah, Zaid bin ad-Datsinah radhiallahu ‘anhu. Ia berkata kepada
Zaid, “Aku bersumpah atas nama Allah wahai Zaid, apa kau mau kalau sekarang
Muhammad berada dalam posisimu agar kami penggal dia. Sementara kau bebas
berkumpul bersama keluargamu.”
Memeluk Islam
Dalam perjalanan Fathu Mekah, saat Rasulullah tiba di Marr al-Zahran, Abbas bin
Abdul Muttalib berkata, “Wahai orang-orang Quraisy, kalau Muhammad berhasil
masuk Mekah dengan cara kekerasan sebelum kalian meminta jaminan
keamanan, itu adalah kehancuran untuk Quraisy selama-lamanya.”
Abbas melanjutkan, “Demi Allah, saat aku berjalan menuju Rasulullah dan berpikir
apa yang bisa kulakukan, tiba-tiba aku mendengar suara Abu Sufyan yang
sedang ngobrol bersama Budail bin Warqa’. Keduanya hendak pulang menuju
Mekah.
Abu Sufyan berkata, ‘Aku tidak pernah melihat kumpulan api unggun sebanyak
ini dan pasukan sebesar ini sebelumnya’. Lalu Budail menyambut, ‘Itu adalah
apinya orang-orang Khuza’ah. Mereka mengobarkannya untuk untuk berperang’.
Abu Sufyan menimpali, ‘Khuza’ah?! Semoga Allah menghinakan mereka. Untuk
apa mereka membuat api dan mengumpulkan pasukan’?”
“Aku tahu, itu adalah suara Abu Sufyan”, kata Abbas. Aku memanggilnya, “Abu
Hanzhalah”! Ia pun mengenali suaraku. Ia bertanya meyakinkan, “Abu al-Fadhal”?
“Iya”, jawabku. “Sedang apa kau di sini”? tanya Abu Sufyan heran. Kujawab,
“Celaka engkau Abu Sufyan, itu adalah Rasulullah di tengah pasukan. Demi Allah,
dia akan menyerang Quraisy.” “Lalu, bagaimana jalan keluarnya”? tanya Abu
Sufyan.
Hingga akhirnya kami melewati api unggunnya Umar bin al-Khattab. Ia bertanya,
“Siapa itu”? Ia berdirinya menyambutku. Namun saat ia melihat Abu Sufyan yang
berada di boncenganku, ia mengangkat suara, “Itu Abu Sufyan, musuh Allah!
Segala puji bagi Allah yang mempertemukanku denganmu tanpa ikatan
perjanjian.”
Aku pun membawa Abu Sufyan menginap bersamaku. Pagi harinya, aku
bersegera membawanya menemui Rasulullah. Tatkala melihat Abu Sufyan,
Rasulullah berkata, “Celaka kau ini, Abu Sufyan. Belumkah datang waktunya
bagimu untuk bersaksi tidak ada Tuhan yang layak disembah kecuali Allah?!
Belumkah datang saatnya kau bersaksi aku ini utusan Allah?!
Abu Sufyan berkata, “Demi Ayah dan Ibuku, betapa sabar dan mulianya Anda.
Sampai sekarang masih ada keraguan di hatiku.” Abbas yang geram menimpali,
“Celaka kau ini Abu Sufyan, engkau mau tidak memeluk Islam dan bersaksi tidak
ada Tuhan yang benar kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah
sebelum kutebas lehermu”! Abbas geram karena keduanya berteman dekat.
Semalam Abbas sudah membelanya habis-habisan dari Umar. Dan melobi
Rasulullah untuk menjaganya, padahal ia adalah orang yang paling keras
permusuhannya kepada Rasulullah. Rasulullah masih bersikap tenang dengannya.
Setelah semua itu, ia malah meresponnya dengan ucapan tersebut.
Ucapan Abbas tadi membuat Abu Sufyan tersadar. Ia pun bersyahadat dengan
syahadat yang tulus dan memeluk Islam.
Kedua: Keberanian. Hal ini terlihat di Perang Hunain. Saat kaum muslimin kocar-
kacir di awal perang, Abu Sufyan tidak gentar. Tetap kokoh di medan tempur.
Ketiga: Berkarakter sebagai leader. Ia tidak senang terlihat rendah diri. Ia senang
orang-orang bernaung dengannya. Karakter ini terlihat saat penaklukkan Kota
Mekah. Dan Nabi tidak mencelanya karena sifat ini.
Keempat: pelit. Pelit di sini bukan berarti ia tidak suka berderma. Hanya saja, ia
mau mengeluarkan hartanya kalau pamornya semakin meningkat. Sifat ini adalah
sifat masyarakat jahiliyah secara umum. Lalu Islam datang meluruskannya.
Menjadikan kedermawanan mereka karena Allah semata.
Bersama Rasulullah
Dalam Asad al-Ghabah, Ibnu Atsir menyampaikan sebuah riwayat: Di hari Fathu
Mekah, panji perang dipegang oleh Saad bin Ubadah. Lalu ia melewati Abu
Sufyan. Saat itu Abu Sufyan telah memeluk Islam. Saad berkata padanya, “Hari ini
adalah hari peperangan. Hari dimana yang haram menjadi halal. Dan pada hari
ini, Allah akan hinakan orang-orang Quraisy.”
Lalu Rasulullah lewat bersama battalion Anshar. Abu Sufyan memanggil beliau,
“Wahai Rasulullah, apakah Anda diperintahkan membunuh kaummu sendiri?
Saad mengatakan bahwa ia akan memerangi kami.” Utsman bin Affan dan
Abdurrahman bin Auf mengatakan, “Wahai Rasulullah, Saad merasa tidak tenang
sebelum ia menyerang Quraisy.” Bisa jadi ini dikarenakan apa yang telah
dilakukan Quraisy terhadap Rasulullah. Dan Saad bin Ubadah adalah seorang
Anshar yang sangat menyayangi Rasulullah.
Rasulullah berkata pada Abu Sufyan, “Abu Sufyan, hari ini adalah hari yang
haram. Dan pada hari ini, Allah muliakan orang-orang Quraisy.” Lalu Nabi
mengambil panji perang dari tangan Saad dan menyerahkannya pada anaknya,
Qais bin Saad bin Ubadah.
Abu Sufyan datang dalam ingin memperbarui lagi perjanjian yang telah ternodai
itu. Ia pun mengunjungi rumah putrinya, Ummu Habibah. Berharap agar sang
putri melobi suaminya. Sampai di rumah putrinya, ternyata putrinya punta
mengizinkan sang ayah duduk di karpet rumahnya. Karena karpet itu adalah
karpetnya Rasulullah. Sementara ayahnya masih dalam keadaan musyrik.
Wafatnya
Sejarawan berbeda pendapat tentang tahun wafat Abu Sufyan. Ada yang
menyebutkan bahwa ia wafat tahun 31 H. Ada pula yang berpendapat tahun 32
H. Dan ada pula yang menyatakan ia wafat di tahun 34 H. Saat itu Utsman bin
Affan yang mengimami shalat jenazahnya.