Harits
Abu Sufyan adalah anak paman Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. yang
paling dekat. Karena Al-Harits, ayah kandung Abu Sufyan, dengan Abdullah ayahanda
Rasululah Shallallahu alaihi wassalam. adalah kakak beradik dari putra Abdul
Muthallib. Di samping itu, Abu Sufyan adalah saudara susuan Rasululah. Kedua-duanya
disusui oleh Halimatus Sa’diyah secara bersama-sama. Setelah itu keduanya menjadi
kawan bermain yang saling mengasihi dan sahabat terdekat bagi Rasulullah sebelum
kenabian. Abu Sufyan adalah salah seorang yang sangat mirip dengan Rasulullah.
Maka, hubungan keluarga mana lagi yang lebih dekat dan kuat dari hubungan
Muhammad bin Abdullah dengan Abu Sufyan?
“Ketika Islam sudah berdiri teguh dan kuat, gencarlah berita bahwa Rasulullah
akan datang menaklukkan Mekah. Sementara itu, bumi yang terbentang luas semakin
sempit terasa bagiku. Aku bertanya kepada diriku sendiri, “Hendak ke mana kau? Siapa
temanku? Dan, dengan siapa aku?
Kemudian, aku panggil istri dan anak-anakku, lalu kukatakan, “Bersiaplah
kalian untuk mengungsi dari Mekah ini, karena tidak lama lagi tentara Muhammad akan
tiba. Aku pasti akan dibunuh oleh kaum muslimin. Hal itu tidak mustahil terjadi jika
mereka menemukan aku.
Mereka menjawab, “Apakah belum tiba juga masanya bagi Bapak untuk
menyaksikan bangsa-bangsa Arab dan bukan Arab tunduk patuh dan setia kepada
Muhammad dan agamanya, sedangkan Bapak senantiasa memusuhinya. Seharusnya
Bapaklah orang yang pertama-tama memperkuat barisan Muhammad dan membantu
segala kegiatannya.
“Saya bangkit dan berkata kepada pelayanku, Madzkur, ‘Siapkan bagi kami unta
dan kuda.’ Lalu, anakku Ja’far kubawa bersama-sama denganku. Kami mempercepat
jalan menuju Abwa’, yaitu daerah antara Mekah dan Madinah. Kami mendapat kabar
bahwa Muhammad telah sampai di sana dan menduduki tempat itu dan di sana aku
masuk Islam. Ketika kami hampir tiba, aku menyamar, sehingga tidak seorang pun
mengenalku, lalu aku menyatakan Islam di hadapan beliau.
“Aku meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki. Setalah satu mil aku
berjalan, aku bertemu dengan pasukan perintis kaum muslimin menuju Mekah. Pasukan
demi pasukan lewat. Aku menghindar dari jalan mereka, karena khawatir ada di antara
mereka yang mengenalku.
“Aku tidak pernah ragu, jika aku mendatangi Rasulullah, beliau akan gembira
dengan keislamanku. Dan, para sahabat akan gembira pula karena nabinya gembira.
Tetapi, ketika kaum muslimin melihat Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. berpaling
dariku, mereka pun memperlihatkan muka masam dan semuanya memalingkan muka
dariku.”
“Aku bertemu dengan Abu Bakar, tetapi dia memalingkan mukanya dariku. Aku
memandang kepada Umar bin Khattab dengan pandangan lembut, tetapi Umar
melongos dengan cara yang menjengkelkan. Bahkan, ada seorang Anshar berkata
dengan semangat kepadaku, ‘Hai Musuh Allah! Engkau telah banyak menyakiti
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. dan para sahabat. Kejahatanmu telah sampai ke
ujung timur dan barat permukaan bumi ini’.
Jawab Abbas, “Demi Allah, saya tidak berani satu kalimat pun bicara dengannya
setelah kulihat dia memalingkan muka darimu. Kecuali, bila datang kesempatan lain
yang lebih baik, akan saya coba.
“Aku sungguh susah dan sedih karena jawaban paman Abbas kepadaku. Tidak
lama kemudian aku melihat adik sepupuku, Ali bin Abi Thalib. Maka, kubicarakan
dengannya maksudku. Ali pun menjawab seperti jawaban paman Abbas.
“Aku kembali menemui paman Abbas. Aku berkata, ‘Jika paman tidak sanggup
membujuk Rasulullah mengenai diriku, tolong cegah orang-orang itu mengejekku, atau
yang menghasut orang lain mengejekku’.
“Maka, kuterangkan ciri-ciri orang itu kepada paman Abbas. Ia lalu berkata,
‘Oh, itu adalah Nu’aiman bin Harits an-Najjary’.”
“Ketika Rasulullah berhenti di Jahfah, saya duduk di muka pintu rumahnya bersama
anakku, Ja’far. Ketika beliau keluar rumah, beliau melihatku, tetapi dia tetap
memalingkan muka dariku. Tetapi, aku tidak putus asa untuk mendapatkan ridanya.
Setiap kali dia keluar masuk rumah, aku senantiasa duduk di muka pintu. Sedangkan
anakku, Ja’far, kusuruh berdiri di dekatku. Dia tetap memalingkan muka bila melihatku.
Lama juga kualami keadaan seperti ini, hingga akhirnya aku merasa susah sendiri.”
“Lalu, aku berkata kepada isteriku, ‘Demi Allah, bila aku dan anakku ini pergi
mengasingkan diri sampai kami mati kelaparan dan kehasusan, tentu Rasulullah akan
meridaiku’.”
“Tatkala berita mengenai diriku itu sampai kepada Rasulullah, beliau merasa kasihan.
Ketika beliau keluar dari kubah untuk pertama kali beliau memandang lembut
kepadaku. Aku berharap semoga beliau tersenyum melihatku.”
“Kemudian Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. memasuki kota Mekah. Aku turut
dalam rombongan pasukan beliau. Belau langsung menuju masjid, aku pun segera
mendampingi dan tidak berpisah semenit pun dengannya.”
Saat terjadi perang Hunein seluruh kabilah Arab bersatu padu, persatuan Arab yang
belum pernah terjadi sebelumnya untuk memerangi Rasulullah dan kaum muslimin.
Mereka membawa perlengkapan perang dan jumlah tentara yang cukup banyak. Bangsa
Arab bertekad hendak membuat perhitungan kalah atau menang dengan kaum muslimin
dalam perang kali ini.
Abbas menjawab, “Ini saudara Anda, anak paman Anda, Sufyan bin Harits. Ridakanlah
dia, ya Rasulullah.”
Beliau menjawab, “Sudah kuridai. Dan, Allah telah mengampuni segala dosanya.”
“Hatiku bagai terbang kegirangan mendegar Rasulullah rida mengampuni segala dosa-
dosaku. Lalu, kuciumi kaki beliau yang terjuntai di kendaraan. Beliau menoleh
kepadaku seraya berkata, ‘Saudaraku, demi hidupku, majulah menyerang musuh’.”
Abu Sufyan memendam rasa penyesalan yang dalam di hatinya, berhubung dengan
masa hitam jahiliah yang menutupnya dari cahaya Allah, dan melempar jauh-jauh
kitabullah. Maka, dia sekarang bagaikan tengkurap di atas mushaf Alquran siang
malam, membaca ayat-ayat, mempelajari hukum-hukum, dan merenungkan pengajaran-
pengajaran yang terkandung di dalamnya. Dia berpaling dari dunia dan segala
godaannya, menghadap kepada Allah semata-mata dengan seluruh jiwa dan raganya.
Pada suatu ketika Rasulullah melihatnya dalam masjid, lalu beliau bertanya kepada
Aisyah ra. “Hai Aisyah, tahukah kamu siapa itu?”
“Dia adalah anak pamanku, Abu Sufyan bin Harits, perhatikanlah dia yang paling
dahulu masuk masjid dan paling belakang keluar. Pandangannya tidak pernah beranjak
dan tetap menunduk ke tempat sujud,” kata beliau.
Ketika Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. meninggal, Abu Sufyan sedih bagaikan
seorang ibu kehilangan putra satu-satunya. Dia menangis seperti seorang kekasih
menangisi kekasihnya, sehingga jiwa penyairnya kembali memantulkan rangkuman
sajak yang memilukan dan menyanyat hati setiap pembaca atau pendengarnya.
Pada zaman pemerintahan Umar al-Faruq (Umar bin Khattab) , Abu Sufyan merasa
ajalnya sudah dekat. Lalu, digalinya kuburan untuk dirinya sendiri. Tidak lebih tiga hari
setelah itu, maut datang menjemputnya, seakan sudah berjanji sebelumnya.
Dia berpesan kepada istri dan anak-anaknya, “Kalian sekali-kali jangan menangisiku.
Demi Allah! Aku tidak berdosa sedikit pun sejak aku masuk Islam.” Lalu, ruhnya yang
suci pergi ke hadirat Allah.
Khalifah Umar bin Khattab turut menyalatkan jenazahnya. Beliau menangis kehilangan
Abu Sufyan bin Harits, sahabat yang mulia.