Anda di halaman 1dari 69

DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Daftar Isi
Semangkuk acar untuk tuhan dan cinta ......................................................................... 1
Kiamat memang sudah dekat ......................................................................................... 3
Nasi goreng cinta ........................................................................................................... 5
Air mata ......................................................................................................................... 7
500 kata .......................................................................................................................... 9
Aku dan sepi .................................................................................................................. 11
Si cacat ........................................................................................................................... 12
Tak ada uang hukum ditentang, ada uang hukum disayang .......................................... 14
Curahan hati gadis galau ................................................................................................ 16
Bulpoin ........................................................................................................................... 18
DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi
1. Semangat pagi guruku .......................................................... 1
2. Upacara atau pacaran .......................................................... 2
3. Cermin seekor burung ........................................................... 4
4. Do’aku untukmu .................................................................. 6
5. Malaikat pelindung ............................................................... 7
6. Pesahabatan yang indah ....................................................... 10
7. Ikan kecil dan air ................................................................. 12
8. Hargai hidupmu, kawan ........................................................ 13
9. Kisah seorang penjual koran ................................................... 14
10. Gadis penjaja tikar ............................................................... 15
11. Semangkuk bakso ............................................................... 16
12. Pesan ibu .......................................................................... 17
13. Bersyukur dan bahagia .......................................................... 18
14. Peenyesalanku .................................................................... 19
15. Persahabatan yang rapuh ...................................................... 20
16. Sakit hati ........................................................................... 21
17. Sahabat tanpa bayangan ....................................................... 22
18. Surat sahabat ..................................................................... 23
19. Apel merah untuk Uni ........................................................... 25
20. Diantara bimbang dan ragu .................................................... 27
21. Rahma, istriku .................................................................... 29
22. Dia .................................................................................. 30
23. Gunung dan cinta ................................................................ 32
24. Ketika kami tak cocok lagi ..................................................... 33
25. Cermin seekor burung ........................................................... 35
Semangkok Acar untuk Tuhan dan Cinta

Berikut ini dua pertanyaan yang paling kubenci: Apa itu cinta? Apa itu Tuhan? Aku membenci
kedua pertanyaan itu sepenuh hati sampai kudedikasikan seluruh hidupku untuk mencari
jawabnya, agar kedua pertanyaan itu berhenti menghantui. Dan tidak ada yang lebih memahitkan
mulut, memualkan perut, menyesakkan jantung, ketika seseorang muncul dengan kertas dan
pulpen, atau alat perekam, di tengah jam makan siang, saat rahangmu sedang sibuk mengunyah,
saat makanan di piring memohon perhatian penuhmu, dan orang itu bertanya: "Menurut Anda,
apa itu cinta?" Demi sopan santun dan etika budaya, aku tahankan garpu agar tak mencelat ke
bola matanya, dan kugenggam erat-erat piringku agar tak pecah jadi dua di atas batok kepala
wartawan itu.

Aku hanya menggeram dan mengulang: "Cinta?"


Si wartawan pun berpikir bahwa pertanyaan brilian berikutnya akan memancing jawaban lebih
panjang dan lebih mencengangkan, yang akan menghibur para pembaca majalahnya bersama-
sama artikel 10+1 cara bercinta paling panas dan peta terbaru menuju spot-spot orgasmik yang
selama ini tersembunyi. Dan dia sungguhan nekat bertanya:
 "Menurut Anda, apa itu Tuhan?" Jemariku bergetar, menahan garpu, pisau, piring, gelas, dan
benda-benda dalam radiusku yang sangat mungkin kujadikan senjata pembelaan diri atas
serangan pertanyaan-pertanyaan paling muskil dijawab tapi selalu ditanyakan itu.

Dan aku teringat baris-baris panjang tentang cinta dan Tuhan yang pernah dimuntahkan mulutku
seperti peluru dari senapan otomatis yang begitu hebat dan jenius hingga menembusi hati
orangorang yang mendengarnya. Aku teringat buih dan busa di sudut mulutku saat berdiskusi
tentang cinta dan Tuhan yang jika dikumpulkan barangkali bisa merendam tubuhku sendiri di
bak mandi. Aku teringat jerih payah, keringat, air mata, pegal-pegal, kurang tidur, tak makan,
tak minum, yang telah kutempuh demi mencari apa itu cinta dan Tuhan. Dan kini, meski
sanggup, tak muncul secuil keinginan pun untuk mengutip data dalam ingatanku.

Tanpa terburu-buru, kuselesaikan kunyahan, lalu minum air seteguk.


"Begini," aku mulai menjelaskan, "pertama-tama, dengan mengetahui apa itu cinta, kita akan
mengetahui Tuhan. Dan ketika kita mengetahui Tuhan, kita juga jadi tahu apa itu cinta. Jadi, kita
bisa mengungkap keduanya sekaligus." Mendengarnya, wartawan itu kian mencondongkan
badannya ke depan, matanya berbinar antusias. Semakin yakinlah ia betapa cemerlangnya
pertanyaan-pertanyaan itu, betapa bermutu dan menantangnya. "Tapi saya tidak ingin menjawab
ini sendirian.

Meski ragu, si wartawan mulai ikut. Mukanya tampak enggan dan berkernyit-kernyit tanda tak
rela.
"Ayo. Terus, sampai habis."
Sesekali aku mengingatkan, karena sering kali dia berhenti atau  melambat. Demikianlah kami
berdua, dengan mata mengerjap-ngerjap perih, mengupasi bawang dengan kuku yang akhirnya
jadi lebih mirip mencacah, dengan serpih-serpih bawang yang berantakan mengotori meja. Dan
akhirnya kami berhenti ketika serpih terakhir sudah terlampau kecil untuk bisa dikupas.
Berlinangan airmata, yang jatuh bukan karena duka atau suka, aku pun berkata:
"Inilah cinta. Inilah Tuhan. Tangan kita bau menyengat, mata kita perih seperti disengat, dan
tetap kita tidak menggenggam apa-apa." Sambil terisak, yang bukan karena haru bahagia atau
haru nelangsa, lagi aku berkata: "Itulah cinta. Itulah Tuhan.

Pengalaman, bukan penjelasan. Perjalanan, dan bukan tujuan. Pertanyaan, yang sungguh tidak
berjodoh dengan segala jawaban." Ditandai airmata 'cinta' yang menghiasi pipi kami berdua
serta aroma 'tuhan' yang meruap segar dari kuku, wawancara siang itu usai. Artikel itu kemudian
terbit. Tanpa baris-baris kalimat. Hanya gambar besar semangkok acar bawang. Dan mereka
yang membacanya menyangka bahwa itu resep afrodisiak. Mereka lalu melahap semangkok acar
bawang, bercinta, sambil terus bertanya-tanya: apa itu cinta? Apa itu Tuhan
Kiamat Memang Sudah Dekat

Kiamat bagi sebagian orang adalah peristiwa magis cenderung komikal, melibatkan naga
berkepala tujuh atau jembatan dari rambut dibelah tujuh. Peristiwa ini merupakan intervensi
pihak eksternal, yakni Tuhan, yang akan datang menghakimi manusia di hari yang tak terduga.
Lalu, jika tiba peristiwa alam yang meluluhlantakkan sebagian besar Bumi sebelah utara,
melenyapkan sebagian besar Eropa, menihilkan kehidupan di Rusia, menyusutkan populasi AS
hingga separuh, merusak berat Australia, Jepang, dan menenggelamkan pesisir pantai dunia
hingga enam meter, menciutkan populasi Bumi sekurangnya duapuluh persen, lalu membiarkan
sisanya dicengkeram iklim ekstrem dan kekacauan global, akankah ini cukup untuk sebuah
definisi hari kiamat? Saya terusik ketika membaca buku Graham Hancock "Fingerprints of the
Gods". Dengan buktibukti yang ia kompilasi dari peradaban kuno Aztec, Maya, Hopi, dan
Mesir, Hancock menemukan jejak peradaban yang kecanggihannya melebihi peradaban modern
hari ini, tapi hilang sekitar 10,000 tahun SM oleh sebuah bencana katastrofik yang
mengempaskan ras manusia kembali ke Zaman Batu. Bukti geologis pun mendukung bahwa
Bumi telah beberapa kali mengalami climate shift.

Suku Maya dikenal sangat obsesif terhadap hari kiamat. Mereka percaya lima siklus kehidupan
(atau 'matahari') telah terjadi. Dan sistem canggih kalendar mereka (Hancock meyakininya
sebagai warisan dan bukan temuan) menghasilkan perhitungan bahwa matahari ke-5 (Tonatiuh),
yakni zaman kita sekarang, berlangsung 5125 tahun dan berakhir pada tanggal 23 Desember
2012 AD. Sementara itu, peradaban Mesir Kuno menghitung siklus axial Bumi terhadap kedua
belas rasi bintang. Siklus yang totalnya 25,920 tahun ini bergeser teratur, masing-masing 2160
tahun untuk tiap rasi. Posisi kita sekarang, rasi Pisces, telah menuju penghabisan, bertransisi ke
Aquarius dengan pergolakan dahsyat. Dengan pendekatan yang lebih esoterik, Gregg Braden
dalam bukunya "Awakening to Zero Point" meninjau fenomena polar shifting, yakni
bertukarnya Kutub Utara dan Kutub Selatan yang ditandai oleh melemahnya intensitas medan
magnet Bumi tercatat sudah turun sebanyak tigapulu delapan persen dibandingkan 2000 tahun
lalu dan dipercaya akan sampai ke titik nol sekitar tahun 2030 AD. Fenomena alam ini sudah 14
kali terjadi dalam kurun waktu 4,5 juta tahun. Di luar dari kontroversi saintifik soal teori
Hancock dan Braden, sukar untuk disangkal bahwa Bumi kita memang tak lagi sama. Tahun
1998 tercatat sebagai salah satu puncak perilaku alam yang luar biasa. El Nino, disusul oleh La
Nina, lalu Tibet dan Afrika Selatan masing-masing mengalami musim dingin dan banjir terburuk
dalam limapuluh tahun terakhir. Memasuki tahun 2005, tsunami memporak-porandakan Asia,
lalu Katrina menghantam Amerika Serikat. Entah apa lagi yang akan kita hadapi. Namun
pemahaman kita merangkak lamban seperti siput dibandingkan alam yang bagai kuda
mengamuk. Isu pemanasan global membutuhkan satu dekade lebih untuk diakui para skeptis dan
birokrat. Di Indonesia, sumber energi alternatif baru ramai dibahas setelah harga BBM
melonjak, setelah bangsa ini terlanjur ketergantungan minyak. Isu pengolahan sampah dapur
hanya sampai taraf bisik-bisik, itu pun setelah gunung sampah longsor dan memakan korban.
Selain upaya kalangan industri yang dirugikan oleh turunnya konsumsi energi fosil, lambannya
respons kita juga disebabkan perkembangan sains ke pecahan-pecahan spesialiasi hingga
fenomena yang tersebar acak jarang diintegrasikan menjadi satu gambaran utuh, dan tanpa
sebuah model analisa yang sanggup menunjuk satu tanggal pasti, bencana katastrofik ini hanya
menjadi wacana spekulatif. Sekarang ini bisa dibilang kita dibanjiri data dan gejala tanpa sebuah
kerangka diagnosa.

Pengetahuan kita tentang akhir dunia pun stagnan dalam kerangka mitos biblikal yang sulit
dikorelasikan dengan efek panjang kebakaran hutan atau eksploitasi alam, hingga lazimlah jika
orang beribadah jungkir-balik demi mengantasipasi hari penghakiman tetapi terus membuang
sampahnya sembarangan. Untuk itu dibutuhkan pemahaman akan bahaya dari pemanasan
global, dan tindakan nyata untuk meresponsnya dengan urgensi skala hari kiamat. Ada tidaknya
hubungan knalpot mobil kita dengan cairnya es di kutub, bukankah kualitas udara yang baik
berefek positif bagi semua? Lupakan plang 'Sayangilah Lingkungan'. Kita telah sampai pada era
tindakan nyata. Banyak hal kecil yang bisa kita lakukan dari rumah tanpa perlu menunggu siapa-
siapa. Perubahan gaya hidup adalah tabungan waktu kita, demi peradaban, demi yang kita cinta.
Angkot kita satu dan sama: Bumi. Tarif yang kita bayar juga sama, mau kiamat jauh atau dekat.
Tidak ada angkot lain yang menampung kita jika yang satu ini mogok. Penumpang yang baik
akan memelihara dan membantu kendaraan satu-satunya ini. Sekuat tenaga.
NASI GORENG CINTA

Kruuk,,, kruukk,, suara perut ku berdendang dengan indah, menyanyikan lagu dangdut bang haji
roma irama dan cacing – cacing pun ikut bergoyang ngebor ala inul daratista menambah
semaraknya bunyi perut ku. “ laper ya?” Goda ka Nova teman sekantor ku. “Iya nih ka laper
banget dari tadi nih perut bunyi terus”. Ujar ku sambil memegang perut yang sedari tadi terus
berdendang tanpa diminta.
Gimana kalau sepulang kerja kita makan dulu?’ Usul ka Nova
“Hmmm boleh juga tuh ka mumpung Bela lagi laper neh” ujar ku
“Rencana nya mau makan dimana?”

Gimana ka kalau kita makan nasi goreng aja?”


“Ide bagus tuh, mumpung kaka dah lama gak makan nasi goreng pete di tempat mank Dulah.”
Ujar ka Nova dengan sangat antusias, apalagi kalau sudah mengenai makanan favoritnya yang
satu itu. Akhirnya kami pun setuju dan berencana makan nasi goreng di tempat mang Dulah.
Jam dinding terus berdetak tanpa henti, seperti detakan jantung ku yang terus berpacu dengan
kencangnya. Tak terasa akhirnya jam kerja telah berakhir, kami pun langsung melesat ketempat
mang Dulah.
“Mang nasi goreng pete satu, nasi goreng special satu ya”.  Ka nova memesan makanan kepada
mang dulah.
“minumnya Apa neng?” mang Dulah menyerahkan menu makanan ke meja kami
“Saya jus Melon, kalau kamu apa Bel?
“ Aku jus jeruk aja kak”.
“Jus jeruk satu, Jus melon satu ya mang, jangan Pake lama”.

Mang dulah pun berlalu dari hadapan kami untuk menyiapkan pesanan dari kami berdua. Sambil
menunggu pesanan datang aku dan ka Novi bergosip ria dari gosip ibu-ibu arisan, artis, pasar
sampai dengan politik. Apapun kini menjadi bahan gosip kami sampai-sampai penjual nasi
goreng pun jadi bahan gosipan kami.
Nasi goreng pesanan kini telah dihidangkan dimeja makan. Aroma nya yang menggugah selera
membuat air liur ku ingin menetes, namun mampu ku tahan dengan segenap kemampuan yang
ku punya. Nasi goreng special yang ku pesan begitu menarik hati, warnanya merah kecoklatan di
taburi ayam goreng yang dicabik-cabik di atasnya dan telur mata sapi pun ikut nongkrong di
piring. Tak lupa seledri, kacang polong, timun dan krupuk juga ikut bergabung memeriahkan
nasi goreng yang kupesan. 

Tak lama kemudian Handpone ku bergetar. Tertera dengan jelas nama My honey di layar
handpone ku.
“Hallo, ada apa honey?”
“Lagi dimana? Aku kangen pengen ketemu nih?” ujar suara diseberang sana.
“Lagi makan sama ka Nova, honey mau kesini ya?” ujar ku dengan hati yang berbunga-bunga.
“Iya, boleh gak aku jemput kamu”.
“Boleh banget, Ok ku tunggu ya honey. Byee umachh”. Sambungan telepon pun langsung ku
putus dengan segera. Jantung ku berdetak dengan kencang, sekencang aliran air terjun
Niagara.Peluh bercucuran di kedua belah telapak tangan ku yang dingin. Aku sungguh gugup
sekali, saking gugupnya aku tak bisa lagi menelan nasi yang masih tersisa separo didalam piring
ku.
“Hai, dah selesai makan nya?”

Aku pun menoleh kearah suara barusan. “Honey, kok gak bilang-bilang kalau sudah sampai”.
Ujar ku sambil terbata-bata. Dia pun hanya tersenyum cengar-cengir saja. Kami pun akhirnya
pamit pulang kepada ka Nova. Hari ini aku sangat bahagia karena telah diantar pulang kekasih
pujaan hatiku. Dunia ini begitu indah memancarkan pesona nya yang tiada taranya. Hati ku
begitu berbunga-bunga seindah taman syurga yang selalu bermekaran setiap harinya.
AIR MATA

“ada yang lain di senja ini?” begitu kata hatiku bertanya, ketika kupandangi matahari senja yang
terus meluncur dan siap bersembunyi di balik cakrawala.
“ada apa, mengapa angin di pantai ini tak sesepoi dangan senja kemarin?” kata hatiku terus
bertanya disaat mataku menatap debur ombak yang sesekali datang menyapa putihnya pasir
pantai.

Sekurang-kurangnya puluhan pasang muda-mudi ada di pantai itu. Belasan anak lagi bermain
sambil berlarian menelusuri garis pantai memutih salju. Kupandangi mereka terus yang lagi
asyik menikmati matahari senja sambil tersenyum
“aku yakin, pasti mereka tak sadar bahwa ada yang lain di pantai ini!” bisik hatiku pada angin
menyambar daun telingaku.
Matahari senja semakin enggan tampakkan tubuhnya. Ku terus duduk dan sesekali menghisap
rokok yang ada di sela-sela jemariku. Debur ombak masih seperti yang tadi hanya sesekali
manyapa dan menciumi pasir putihnya pantai.

Mungkin lantaran matahari senja yang sudah enggan nampakkan wajahnya, satu persatu
pasangan pemuda itu beranjak dari tempat duduknya menuju kendaraannya masing-masing.
Begitu pun dengan belasan anak-anak itu. Wajah menggambarkan sangat kelelahan bermain,
mereka pun berembuk pulang ke peraduannya masing-masing.
Kini, tak sedikit pun wajah matahari senja yang nampak lagi. Satu persatu bintang gemintang
bermunculan dengan memainkan tarian kedipnya. Akupun seakan-akan terjebak dalam penjara
malam. Ku berniat beranjak dari tempat lamunku, namun berat rasanya ketika tiba-tiba
kupandangi 2 genangan Air Mata di tempat yang berbeda. Semakin ku pandangi 2 Air Mata itu,
ingin rasanya aku menyapanya dan bertanya padanya.
Malam semakin larut, selarut pandanganku ke arah Air Mata yang entah milik siapa. Tak terasa
tubuhku gemetar, hatiku berdebar bagaikan dentuman rebana mengiringi tarian sayyang
pattu’du. Heran. Mengapa aku begini?

Malam semakin sepi, di pantai terbuyar seketika di saat teriakan berkumandang di gendang
telingaku “PELACUUUR”. Entah suara dari mana, yang ada hanya 2 leningan air mata
menemani kesendirianku.
“apa aku bermimpi?” tanya hatiku semakin menyimpan rasa tanya mendalam.
“tidak, aku tidak bermimpi?” bisik hatiku si sudut lain.

Sura debur ombak semakin tak terdengar lagi. Kuharap angin datang menyapa, namun tak sudi
jua. Entah itu rasa apa, tak terasa olehku kedua telapak kakiku malangkah menuju ke genangan
Air Mata yang seolah-olah ingin membentuk sebuah telaga air mata.
“kamu milik siapa?” sapaku di Air Mata pertama
“aku air mata seorang wanita!” jawabnya penuh rasa haru.
“tapi mengapa kamu ada di pantai ini?” tanyaku dengan rasa ingin tahu.
“aku dibuang di sini karena wanita itu sakit hati karena ia tahu ia talah disia-siakan oleh seorang
pria yang sangat dicintainya”

Tiba-tiba aku termenung dan tak mampu berkata apa-apa lagi. Kuputuskan tuk beranjak darinya.
Lalu ku coba mendekat dan menyapa Air Mata yang ke dua itu.
“mengapa kamu ada di sini juga?” tanyaku persis sama dengan Air Mata milik wanita itu.
“aku adalah air mata seorang pria yang menyia-nyiakan cinta dari seorang wanita yang sangat
mencintainya”.

Angin yang dahulu enggan bertiup, kini mulai membisik di ke dua daun telingaku. Debur ombak
yang enggan menyapa bibir pantai kini mulai terdengar dan terlihat bergantian menggulungkan
tubuhnya lagi.
Entah itu karena siapa? Apakah mereka terharu mendengar pengakuan 2 genangan Air Mata itu,
ataukah teriakan kata “PELACUR” tadi.
Aku yang kini hanya bisa terdiam dan termenung memikirkan diriku sendiri.
“apakah aku brsalah?” kata hatiku kemudian bertanya lagi. Lalu akupun pergi dan beranjak
dengan menghapus 2 genangan Air Mata itu yang telah kugantikan menjadi 1 genangan Air
Mata milikku sendiri, lalu ku tinggalkan untuk mewakili air mata milik wanita dan pria di pantai
itu.
500 KATA

Hari 1. Suara merdu burung terbangun terlampau pagi. Kucing masih sibuk mengais makanan.
Sejuk, dingin, dan lembab pagi ini. Teringat kemarin saat selesai acara dan mendapat bingkisan
untuk semua.
Hari ini belum ada yang istimewa. Setumpuk jadwal di kampus dan kantor, menyusul jadwal
jalan – jalan selalu tergambar di sepanjang jalan. Kapan mereka akan hadir menyenangkan di
hari – hariku ?. Sejauh mata memandang, hanya dipandang kosong oleh mata yang memandang.
Mengharapkan mendapat uang, pakaian, atau hal lain yang tidak biasa.

Kehadiaran orang – orang yang hanya ingin didengar tapi tidak bisa mendengar orang lain
dengan baik, membuat suasana semakin kacau. Tidak bisa mengontrol diri dan selalu ingin
diikuti. Lalu diminta perhatian dan perintah menjadi prioritas kehidupan. Dan  tidak pernah lagi
memandang orang lain sebagai orang yang bisa menolong.

Hari 2. Rutinitas yang hnaya bisa diatur oleh kehendak hati. Memberi suatu pengharapan akan
datangnya imajainasi menjadi kenyataan. Membicarakan hal yang hanya dpat direalisasi dalam
otak, tanpa melakukan suatu hal. Sangat sepele.

Di sisi lain, banyak  orang berpikir bagaimana menyesuaikan dengan peradaban. Tetapi
perubahan banyak tak disukai. Masalah timbul seiring ketidaktahuan yang  sama – sama tidak
ingin dimengerti. Memberi nasihat dan saling mengutuk mewarnai berbagai hal. Apakah tidak
ada cara lain dalam berinteraksi ?
Dua sisi yang seharusnya datang berjalan beriringan dan memberi kontribusi yang seimbang,
sering dipandang sebelah mata. Ketakutan, ketidakmampuan belum dapat menyatukan
perbedaan itu. Tiadalah kuasa yang mampu mempertahankan ego. Tak tahulah apa yang mereka
pikirkan.

Hari 3. Saling memandang tanpa rasa curiga merupakan anugerah yang selalau diimpikan orang.
Apakah itu tua, muda, dewasa, pria, atau wanita. Semua mempunyai niat masing – masing
dalam kehidupan. Pintu yang terbuka selalu menginginkan orang untuk masuk ke dalamnya.
Tetapi dipaksa untuk mengikuti tradisi yang ada di dalamnya. Ketidaktahuan membuat semua
berjalan lancar, dan mengakibatkan perselisihan di belakang, karena ketidaktahuan pula. Betapa
lucunya ini.

Selalu menginginkan agar orang lain mengikuti aturan yang ada. Tanpa melihat bagaimana
memperlakukan orang lain dahulu sebleum memberikan aturan  itu. Cara menyapa, berbicara,
makan, dan sebagainya tak pernah dilihat. Selalu hanya ingin dimengerti, tapi orang lain yang
harus mengerti. Apa tidak ada pekerjaan lain, selain tugas kuliah yang terus – terusan di dalam
otak? tak pernah kah terpikirkan untuk berkerja di luar?
Sayang, mereka tak pernah sekalipun mendengar ajakan untuk itu.

Hari 4 Sebelum yang terakhir. Banyak kesan – kesan dari seorang anak kos. Mereka sedang
belajar bagaimana bermasyarakat, ingin dihargai dan dihormati layaknya orang tua meraka di
kampung halaman. Bagaimana tidak, seorang anak kos sendirian, di sebuah kamar berukuran 3 x
4 m dengan menyimpan semua keperluan pribadinya. Dia ingin selalau terlihat berguna untuk
orang. Tapi sayangnya banyak orang yang tidak mengerti yang ia inginkan dan yang orang
inginkan terhadap dia.

Hari 5. Di hari yang terakhir ini, ingin kukatakan, bahwa tidak lain tidak bukan menjadi prioritas
anak kos untuk menjadi yang terbaik di kelasnya. Kelas bukan hanya di ruang kuliah, jurusan,
fakultas, atau universitas. Tapi kelas adalah dunia. Di dunia inilah kita mempertaruhkan
segalanya. Tak ada yang tak mungkin, selama itu masih bisa diusahakan. Kepercayaan diri yang
tinggi, tapi pengaruh dari teman lebih tinggi sering membuat mereka kehilangan kepercayaan.
Bak anak kecil belajar mengetik dengan papan alphabet di komputer. Inilah yang seharusnya
kita perhatikan bersama, kehidupan anak kos adalah magangnya seorang anak di kehidupan
sebenarnya.
AKU DAN SEPI

Duduk diam di pinggir sebuah danau di daerah jakarta utara entah apa namaya, setelah lelah
seharian berkendara melintasi jalanan kota tanpa tujuan, hari itu aku memang sedang tak ada
kegiatan, aku memarkirkan motorku di pinggir jalan di tepi danau itu, banyak juga orang yang
sedang duduk di tepi danau tersebut untuk hanya sekedar beristirahat ataupun memancing,
akupun duduk beristirahat sambil melihat orang-orang yang sedang asik mancing, di tengah
danau ada juga orang yang sedang berolahraga air ( ski air dan kayak ).

Riak air menemaniku dalam sepi, suara air yang memecah kesepianku, mata ku tertuju ke
seberang danau, karena dari kejauhan aku mendengar suara nyanyian samar-samar terbawa
angin, ternyata di seberang danau sedang di adakan pentas seni, semakin sore semakin banyak
orang yang datang ke tempat itu, ku lihat jam di HP baru menunjukan pukul lima sore, mau
pulang di rumah ga ada kerjaan jadi kuputuskan untuk tetap duduk disini, setelah lama duduk
perutku terasa sangat lapar, tak jauh dari tempatku duduk ada seorang bapak tua menjual jagung
bakar, aku menghampirinya ," jagungnya satu pak," seruku , bapak tua itu menanyakan "pedas
atau asin ??? " , " pedas... !!" jawabku cepat, pak tua itu membakarkan sebongkol jagung
pesananku, setelah beberapa lama dia membakar, di sajikannya lah kepadaku, Pak tua itu duduk
di sampingku dan bertanya " sendirian dek ???", " iya pak???" jawabku, " ga malam mingguan
sama pacarnya dek??" lanjut dia bertanya, " ngak pak !!!" jawabku dengan tawa kecil, akhirnya
bapak tua si penjual jagun

g itu ngobrol denganku panjang lebar, dia bercerita tentang pengalaman hidupnya, dari mulai
berjualan sayur, roti, klontong, hingga sekarang berjualan jagung. Dia bercerita dahulu dia hidup
sendriri di jakarta, tak ada sanak famili satu pun, dia berjuang sendiri banting tulang untuk
menafkahi dirinya sendiri, sampai akhirnya dia menemukan seorang gadis pujaannya yang
kemudian di nikahinya, dari ceritanya tersebut aku mendapatkan banyak pelajaran berharga
bahwa suatu saat kita akan menemukan seseorang yang akan menemani dan mewarnai hidup
kita, dan kita tidak boleh berhenti berharap dan terus berjuang untuk hidup dan kehidupan, dan
jangan pernah merasa sendiri karena masih ada tuhan yang slalu menemani hambanya
kapanpun, di manapun, dan di dalam  situasi apapun. Tak terasa haripun telah sore, dari ujung
danau terlihat matahari telah lelah menyinari bumi  dan hendak beristirahat,

langit pun menjadi gelap, anginpun terasa kencang menerpa pohon-pohon palem yang ada di
pinggir danau, setelah aku membayar kepada pak tua si penjual jagung aku pun bergegas
memakai jaketku, dan hendak pergi Pak tua itu berkata " Inget ya...!!! jangan pernah merasa
sendiri dan jangan berhenti berharap dan berjuang untuk hidup dan kehidupan", aku menjawab "
ya pak, terimakasih juga atas ceritanya"......
SI CACAT

Kembali ia berjalan tertatih. Menyeret separuh bagian tubuhnya dengan terpaksa. Ia merayap,
memelas kepada hampir semua orang yang berlalu-lalang di sekitar jalan protocol ini.
Perawakannya kumuh, amat kucel. Tak betahlah mata ini memandangnya berlama-lama.
Dengan melasnya ia memita belas kasih dari orang yang lewat. Setengah memaksa, ia meminta
beberapa nilai uang dari orang-orang sekitar. Tak tega benar jika melihatnya bertingkah seperti
itu. Sungguh memancing rasa empati tiap individu di sekitarnya.

Keadaan kota kian gelap. Mentari perlahan meringkuh ke peristirahatannya sementara waktu.
Keelokan langit sore tergambar indah pada cakrawala barat. Induk burung beterbangan menuju
sarangnya, berharap buah hatinya puas akan mekanan yang telah dibawanya. Hiruk pikuk kota
makin padat. Tiap insan berlomba untuk segera tiba di rumah dan menikmati ketenangan mandi
dengan air hangat. Di sisi lain jalan protocol yang kian padat ini, tepat di pinggir jalan ini, sosok
yang telah seharian memelas dan menyeret separuh tubuhnya itu mengambil duduk sejenak. Ia
tersenyum puas. Bibir sumbing yang siang tadi ia tunjukan, tak tampak lagi. Perlahan ia
mengambil sikap siap, dan berdiri sempurna. Sangat kontras dengan keadaan tubuhnya siang
tadi. Ia melangkah normal, tak menyeret tubuhnya lagi. Dengan bangga ia menghitung jumlah
uang yang ia dapatkan. “Dasar orang-orang bodoh! Mudah sekali untuk mengelabuhi mereka.
Dengan begini aku akan kaya! Kaya…. Ya KAYA!!! Hahahahahaha…..!!!!” tawanya lepas.
Penuh dengan ketamakan dalam dirinya.
“Wah, Bang banyak banget tuh fulusnya. Ngobjek dimana nih?”

“Eh ya iya lah, siapa dulu, Gue gitu!!! Hahaha!!” jawab Si Cacat sombong.

Seperti kecanduan, Si Cacat terus melakuakan penipuan dengan menjatuhkan harga dirinya.
Kembali ia merayap, meronta, berharap belas kasih dari individu yang tengah berlalu-lalang di
sekitar jalan protocol tempat ia mangkal. Serasa semua sudah habis hati untuk berempati
kepadanya, kian hari makin kecil pula pendapatanya. Suatu ketika ia mulai geram. Saat mentari
sudah makin membubung tinggi, tak satu keping uangpun masuk ke dalam gelasnya. Lewat satu
orang, berbelas kasih dengan Rp200,00. Tak terima, ia berteriak “Dasar pelit Lu!!!”. “Awas Lu
ya, gue sumpain lu jadi kere tau rasa Lu!!!” geramnya dalam hati.

Merasa tempat ia mangkal kurang strategis, ia pindah ke sisi lain jalan protocol yang sama.
Tentunya dengan harapan mendapat pemasukan lebih. Pucuk dicita, ulam pun tiba. Bak ditimpa
durian montong, selembar uang berwarna biru bertuliskan nominal Rp50.0000,00 masuk kealam
gelasnya. Senang bukan kepalang Si Cacat. Tak pernah ia menerima uang sebesar itu. Bahkan
penghasilan tertingginya pun, tak mencapai angka Rp50.0000,00. Ia berterima kasih kepada
dermawan itu. Tentunya masih dengan gaya sumbingnya. Dimulai dari bagian bawah tubuh
Sang Derma, berlanjut ke tengah hingga ke atas. Betapa terkejutnya Si Cacat. Sang Derma
merupakan peyandang cacat. Ia berdiri dengan dibantu sebilah tongkat. Rambutnya telah
beruban pula. Dengan senyum penuh keramahan, Sang Derma menyapa Si Cacat. “Semoga ini
cukup untuk makan,” ujarnya singkat dan berlalu. Langkahnya tertatih. Namun raut wajahnya
gambarkan ketegaran. Bak ditimpali rasa malu yang tiada habis, Si Cacat menangis. Ia terdiam.
Lidahnya terasa kelu. Badannya gemetar. Per
lahan ia berdiri. Ia lepas perban-perban palsu di kakinya. Ia hapus noda-noda gambaran yang
menyerupai borok di badannya. Air mukanya tampak geram, marah, malu. Marah akan dirinya
sendiri. Geram akan segala ketamakannya. Malu akan sikap bodoh yang telah ia lakukan. Ia
menangis. Ia menyesal. Dilihatnya seorang bocah perempuan kecil yang tengah mengamen.
Dipanggilnya bocah itu. “Dek, ini buat kamu. Sekarang kamu pulang gih!!” ujar Si Cacat bijak.
Ia menyerahkan selembaran Rp50.000,00 kebanggaannya beberapa menit yang lalu. “Aku
bukanlah lagi Si Cacat bodoh. Aku tidak cacat. Sama sekali tidak. Harga diriku masih jauh lebih
baik daripada ini semua,” tekad Si Cacat dalam hati, tulus. “Tuhan, maafkan semua
kebodohanku dan ketamakanku ini. Sungguh aku telah sesat dibuatnya.
Astaghfirullaha’adziim….. astaghfirullahal’aziim…. Astaghfirulahal’adziim…” sesal Si Cacat.
Ia melangkah pergi meninggalkan markas besarnya. Langkahnya gontai. Airmata pun tak henti
temani langkah-demi langkah yang ia jejaki.

Si Cacat telah jera. Ia telah lenyap dari muka bumi ini. Bukankah tangan di atas jauh lebih baik
dari tangan di bawah?
“Setiap orang mampu membohongi orang lain dengan segala kepura-puraannya…… Namun,
tiada satupun orang yang mampu membohongi hati nuraninya”   
TAK ADA UANG HUKUM DITENTANG, ADA UANG HUKUM DISAYANG

Ada ungkapan yang mengatakan di setiap lini kehidupan dunia pasti ada oknum, tetapi mengapa

banyak sekali oknum di negara ini dan yang bukan oknum itu yang mana? dan hukum itu

berpihak pada uang, bukti kasus nenek pencuri jagung, seorang ibu yang mengeluhkan kinerja

sebuah RS di negara ini, dan seorang ibu terdakwa kasus bank Century dan masih banyak lagi

yang lain tetapi tidak terekspos. masalah yang mereka hadapi adalah bukan pada pasal apa yang

sudah mereka langgar tetapi berapa uang yang mereka punya agar hukum dapat berpihak pada

mereka. jadi berbahagialah penduduk negara ini dengan uang di kantong dapat membeli

kebenaran di negara ini. aparat penegak hukum negara ini tidak pandang bulu dalam

menegakkan hukum tetapi memandang berapa rupiah yang akan masuk ke rekening pribadi

mereka jika membuat hukum dapat berpihak pada tertuduh..

pesan untuk diri sendiri dan keterunan ku:

kejarlah uang sampai ke negeri Cina karena kita sebagai manusia kita tak luput dari salah tetapi

jika karena uang lalu kita menjadi si pendosa atas kesalahan yang tidak kita lakukan apalah arti

hidup ini.

dan untuk bayi2 yang kan di lahirkan jangan pernah berani2 sanggup dilahirkan ke dunia ini jika

belum ada uang di kantong.

tidak semua memerlukan uang tetapi semuanya harus ada uang nya.
akan kuajari anak dan keturunanku cara memproduksi uang. jika sudah memiliki uang banyak

buat apa akal budi pekerti, iman, norma.

kupanjatkan do'a pada Tuhan: jadikan aku orang yang memiki banyak uang karena aku manusia

biasa yang tak kan luput dari salah dan dosa. dengan uang yang aku miliki aku yakin kan dapat

menjdi manusia sempurna di muka bumi ini tanpa cela dan cacat.

entah nanti jika sudah di akhirat.


CURAHAN HATI GADIS GALAU

Harus mulai dari mana?


Yah, pertanyaan ini tiba-tiba saja muncul dikepalaku. Bagaimana caranya mengungkapkan rasa
kekagumanku padanya. Hanya bisa memandangnya dari jauh, yaaaaah,, mungkin jantungku
berdebar-debar jika aku tiba-tiba saja berpapasan dengannya. Mungkin semua orang seperti itu
jika sedang jatuh cinta,, hehehe,,

Awal mula aku mengenalnya semenjak aku bekerja sebagai staff di sebuah perusahaan
pertambangan di kotaku. Dengan tekad yang bulat, aku harus tinggal di mess dengan anak-anak
perempuan yang lain. Sebagian besar waktuku dihabiskan dsana, hanya hari Sabtu dan Minggu
aku baru bisa balik ke kota asalku. Hfffft,,, berat rasanya harus jauh dari keluargaku, apalagi
sebagai bungsu, aku terbiasa dengan segala sesuatunya sudah siap tersedia sekarang aku harus
bisa hidup mandiri. Fightiiing…. >: )

Dan, akupun untuk pertama kali melihat dirinya. Ketika aku sedang makan siang di kantin.
Jantungku seperti biasa berdegup dengan kencangnya. Yaah.. mudahan saja temanku yang ada
disampingku tak merasakannya. Aku pun berusaha untuk tenang dan tak terlihat canggung. Aku
harus bisa menjaga perasaan ini, karena aku tidak mau semua teman kerjaku mengetahuinya.
Haaaah,, bisa jadi bulan-bulanan aku dengan mereka.. 

ckckckkck…
Rasanya seperti lilin yang meleleh (huaaaaa, gedabruuuk!!!!)
Cara jalannya, penampilannya, wajahnya, mungkin menurut orang lain biasa saja. Tapi
menurutku, dia istimewa. Karena aku pun menganggapnya biasa saja. Tapi hatiku berkata lain,,,
(gedabruuuk,, ) sebenarnya aku ingin bilang,, kalau aku menyukainya apa adanya… plok plok
plok plok….. :D

Suatu malam ketika aku sedang bersantai sambil menonton TV dengan teman satu mess ku,
Lidya, aku ungkapkan segalanya.
“Ada deh pokoknya… “ jawabku setelah diberondong dengan berbagai pertanyaan investigasi
dari Lidya
“Satu aja deh Alba clue nya, mmmmmh,,, dia naik bis atau bawa mobil? Dari departemen apa?
Huruf depannyaaaaaa aja,,, mmmmhhh,,, pakai sepatu atau lebih sering pakai sandal? Ayolah
Albaaa,, kasih tahu namanya, jadi aku bisa cari tahu, dia sudah merried atau belum, nanti kan
buat kamu juga,, hehehe” ujar Lidya sambil tertawa. Haaaaaah…. Maaf Lidya,,, ingin rasanya
memberitahumu. Tapi aku pun terlalu takut dengan kenyataan….

Kenyataannya, aku pun belum pernah bertegur sapa dengannya. Atau mungkin dia sudah
memiliki kekasih disana yang sangat dicintainya. Yaaaah,,, sekali lagi aku hanya bisa
memandangnya dari jauh. Dengan melihat wajahnya saja, sudah membuat hatiku teduh. Sudah
lama aku tidak merasakan hal ini. Yang ada hanya seperti biasa, tidak ada yang istimewa. Hanya
berlalu begitu saja. Dan pada akhirnya aku tak mengungkapkan segalanya.

Satu hal yang pasti, aku tidak merasa sedih dengan perasaanku yang tidak jelas ini. Dibilang
kasihan juga bisa, tapi tidak terlalu kasihan juga. Yaaah.. sedang-sedang saja. Karena, perasaan
ini membahagiakanku. Dia sudah membuat hidupku lebih bersemangat. Dia yang sudah
membuatku tersenyum sendiri (mudahan g’gila, xixixi). Segalanya lebih terasa berwarna
sekarang.

Aku pernah kutip satu puisi indah yang menyentuh jiwa. Dimana, cinta itu tidak harus selalu
memiliki. Cinta yang tulus akan selalu bahagia walaupun tersakiti. Akan selalu mendoakan yang
terbaik untuk orang yang terkasih. Yaaah… dari Lidya aku petik satu kalimat cantik… apa
yaaah,, aku juga lupa,, heee,, intinya,, Ikhlas.
BULPOIN

Hari membawa hari keberuntungan.Salah seorang siswa yang tengah beruntung menemukan
sebuah bulpoin.Dirasa tidak ada yang punya,siswa tersebut seakan tak tau apa apa dan seraya
tangannya memanjang dan mengambil bulpoin yang tergeletak dilantai kelas itu.
“Lumayan....aku kan tidak punya bulpoin.Tumben tuhan sudah sangat baik padaku.” Pikirnya
dalam ayang ayang.

Tiga menit berlalu.kemudian muncullah juga seorang siswi berkacamata dan bertubuh setengah
bungkuk itu.Mondar mandir kanan kiri sesambil melihat kearah bawah bangku. “Apa kau
melihat bulpoin ku?.” Tanya siswi yang bernama Malvis itu.Seakan tak tau tentang apa
apa,siswa itupun menjawab, “Maaf,mungkin kamu salah orang.Seharusnya bukan aku yang kau
tanyai.Mungkin kau bisa bertanya pada siswa yang lain.Karena aku rasa,aku sama sekali tidak
tau soal bulpoinmu itu.jangan kan tidak tau,melihatpun aku tidak pernah.”
“Apakah kamu tau masalah yang sedang saya hadapi?” tanya Malvis dengan mata yang melirik
kearah laci bangku milik siswa yang ia tanyai.Ditengokkannya kepala siswa itu.Sehinnga
matanya tak luput dari pandangannya.Diam sejenak.Siswa itu tak langsung menjawab
pertanyaan Malvis.makin saja matanya memperhatikan gerak gerik si Malvis yang selalu ia tatap
erat laci mejanya. “Mungkin saja,tuhan sudah tau kalaulah aku berpura pura tidak tau akan
bulpoinnya.Tetapi biarlah.Bukankah ini adalah hari keberuntungan pertamaku.Sia sia saja kalau
aku jujur padanya.”
“Ya....aku tau masalahmu sekarang!.kamu kehilangan bulpoinmu kan?.” jawabnya.
“Bagaimana bisa kamu tau masalahku?”. Tanya malvis sekali lagi.
“Gerak gerik tubuhmu memberi jawabannya padaku.”
Dengan cetus,si Malvispun melanjutkan pencariannya.Sampai sampai anak sekelas pun sudah ia
tanyai.
********

Keesokan harinya.dalam situasi belajar mengajar,siswa penemu bulpoin itu mencoba untuk
menulis di secarik kertas bersobek.Berkali kali bulpoin itu di corat coret,tapi taj ada satupun
bekas coretannya. “Sial.....Percuma saja aku berbohong dan berpura pura tidak tau hanya untuk
mendapatkan bulpoin ini.Ternyata saja,isinya sudah habis.” Katanya seraya bergegas untuk
membuang bulpoin itu ke sampah.
Terdiam,terbisu dan terpaku.Tanpa sengaja si malvis melihat jelas kalaulah bulpoin miliknya di
buang .Ia seakan diam terbisu seribu kata kala mulutnya terkunci.

Berlarilah Si Malvis tanpa menghiraukan apapun.Bahkan tatapannya yang begitu tajam


memendang bulpoin,membuatnya nyaris dan hamper saja menabrak seorangb guru yang barusan
keluar dari kelas.
“Bagaimana bisa bulpoin itu ada di genggamanmu? Lalu kenapa kau membuang bulpoin itu?”.
Tanya si Malvis sesambil membersihkan sepatu yang penuh dengan debu.Detak jantungnya tersa
berdebar debar.Sehabis berlari sekencang kuda dan hamper saja menabrak guru sastrawan itu. “
Hmmmmm……aku hanya ingin bilang padamu.Jawabanmu tentang masalahku kemarin sangat
amat salah.Kau tau,bulpoin itu sudah tidak ada lagi isinya.Dan aku juga takut jikalah guru yang
kuanggap bersihan itu memarahi apalagi menghukumku jikalah dia tau sebeji bulpoin itu tidak
aku buang.Untuk itulah,aku berusaha mati matian untuk menemukan bulpoin itu.Aku piker,aku
akan menerina omelan pedas dari guru yang kurasa bersihan itu.”.

Siswa yang barusan membuang bulpoin itupun seakan mematung dan mengaku telah berdosa
besar.Berusaha berbohong dan berpura pura tidak tau demi mendapatkan sebiji bulpoin tetapi
seujung kuku pun tidak ada manfaatnya. “Mungkin tuhan merasa tak suka padaku.Sehingganya
aku telah berdosa besar.” Katanya yang hamper saja terdengar oleh Malvis. “ Kenapa kau diam
saja?. Bukankah aku sudah mengucapkan terima kasih padamu?”. SahutMalvis keheranan. “
Dengar..kalau engkau marah padaku,silahkan kau marah karena sebenarnya,kemaren aku yang
menemukan bulpoin itu.Hanya saj aku berusaha berbohong dan seakan akan aku berpura pura
agar aku bias memiliki bulpoin itu.Aku rasa,hal itu merupakan hari awal keberuntunganku.Tapi
ternyata aku salah.” Jawabnya penuh sesal. “ Guys……keberuntungan itu bukan didapat saat
kita tengah berbohong.Tetapi setelah kita melakukan kejujuran.Dosa besar adalah
keberuntungan yang engkau dapat saat engkau melekukan kesalahan.Dan berlipat ganda pahala
yang kau terima sesaat engkau melakukan kebaikan.Itu juga sebuah keberuntungan
Guys.Makanya,semumpung kita masih diberi kehidupan,jangan pernah melalaikan kebaikan
Guys.Semakin banyak kebaikan yang kita kerjakan,itu berarti,semakin banyak pula engkau
menerima keberuntungan.”
Semangat Pagi Guruku

Jam 7.45 WIB ku lihat seorang lelaki tua yang belum terlihat tua berjalan gagah penuh semangat
di jalanan desa. Dengan baju rapih dan rambut klimisnya, tidak lupa dengan parfumnya yang
menyengat bahkan ketika dia sudah berlalu bau parfum itu masih tercium jelas.
Pak Sari nama lelaki itu, seorang guru SD yang sudah berpuluhan tahun mengajar di SDN
Darussalam Kota Tangerang dekat rumahku.

Perjalanan yang lumayan jauh ditempuhnya berjalan kaki dengan semangat menyapa setiap
orang yang dilaluinya dengan senyum ramahnya. Padahal umur sudah tidak memungkinkan
untuk itu. Tapi semangat mengalahkan usia tuanya untuk tetap mengajar para siswanya.

Aku Kiki siswi yang pernah sekolah disana lebih tepatnya alumni SDN Darussalam Kota
Tangerang. Kira-kira sudah 6 tahun aku lulus sekolah SD dan sekarang aku sudah tamat sekolah
SMK di 2013 ini.

Bertahun-tahun lamanya pak Sari belum terlihat perubahan darinya. Tetap tegas, gagah,
semangat dan bau parfumnya yang menyengat itu :D juga terkadang dengan guyonan khasnya.
Dan sudah selama itu juga aku tidak pernah masuk ke sekolah itu lagi yang sudah berubah 100%
dari 6 tahun lalu. Dan tanggal 15 Juli 2013 ini aku masuk kesana mengantarkan adikku Sevi
yang duduk di kelas 2.

Kuperhatikan guru-guru disana banyak yang tidak ku kenal. Perhatianku tertuju pada satu guru
yang kuceritakan di atas.

Pak Sari dengan wajah ceria tapi tetap gagah berbicara di depan murid-muridnya yang berbaris
di lapangan. Pak Sari menjelaskan tentang kelas baru mereka karena hari itu adalah tahun ajaran
baru.

Aku coba membandingkan pak Sari dengan guru-guru yang lebih muda disana tapi tetap saja
yang lebih beraura adalah pak Sari bakan yang lain terkesan biasa saja.

Semoga sosok pak Sari bisa menjadi inspiratif bagi guru-guru yang lain dan remaja seperti
aku :).
Upacara atau Pacaran ?

Hari kian memanas, dahaga mulai mengeringkan tenggorokanku. Tiba-tiba kulihat sosok
seorang pemuda tak lain dan tidak bukan adalah sahabat sejatiku yaitu si Raka. Dia kelihatan
kelelahan dan kepanasan. Baju rapi warna putih di pakainya dengan kelihatan berwibawa. Saat
kulihat dia sedang duduk di sebuah kursi pinggiran jalan nampak menunggu sesuatu. Kemudian
tanpa ragu aku mulai menghampirinya aku pun mulai berbincang dengannya.
“Hai Ra, kenapa kamu terlihat  kelelahan begitu trus kamu pake baju beginian mau
ngapain ?” tanyaku padanya
“loe gila apa, nih tanggal berapa ?” jawab Raka dan malah balik nanya
“Tanggal 17 Agustus 2015, Waah kamu jadi petugas upacara ya.. widih keren coy
pakaianmu keren” Jawabku
“Ya biasa aja kali” Sahut Raka
“Kamu kok murung gitu, kamu capek ya ?” Tanya aku sambil kutepuk bahunya
Raka pun menjawab  “bukan capek, Cuma kesel aja sama si Andini masak nggak tau apa
kalau ini hari kemerdekaan. Eh dia malah ngajak ketemuan, ngajak jalan, ngajak makan, ngajak
shooping.... Padahal udah tau kalau aku ini petugas upacara tapi dia malah begitu . Dan dia... ”
“dia cerewet.......”
(tiba tiba suara itu muncul dan ternyata itu adalah suara Andini si pacarnya Raka)
“ehmm... A,,,A...Andini kamu kok ada disini” tanya Raka
“Gue udah dengar apa kata loe semua,, sekarang tinggal gue ngasih pilihan kamu mau
ngajak aku jalan-jalan atau kamu lebih memilih untuk upacara. Ingat,,, jauh-jauh hari kamu udah
pernah janji kalau suatu saat ingin ngajak begini” Ucap si Andini
“Iya.. tapi ini kan hari kemerdekaan dan aku harus upacara, masak kamu gak ngertiin aku
banget sih.. Kamu nggak tau apa kalau aku udah dipercaya dan tiga puluh menit lagi aku harus
pergi ke lapangan upacara...” Jawab Raka dengan kesal
“oke,, terserah kamu aku mau pergi sendiri....” balas Andini dengan sangat marah
kemudian ia langsung pergi
Aku hanya sebagai penonton mereka bertengkar. Karena aku sendiri tak mau ikut urusan
mereka. Namun dalam pikiranku berkata gila banget si cewek ini kok nggak ada pengertiannya
sama sekali ya. Raka pun terlihat pasrah dan terdiam tanpa mengurusi pacarnya itu. Lalu ia
berkata padaku dia akan pergi ke lapangan upacara karena saat itu udah jam 9.30 sementara
upacara dimulai jam 10 pagi.
Raka lalu berangkat dengan menaiki sepeda motor keren yang dimilikinya. Aku pun
melihat wajahnya aneh sedikit terbebani. Namun aku tak terlalu mempedulikannya dan aku
langsung meninggalkan tempat duduk tadi lalu langsung pulang kerumah. Karena aku kebetulan
tidak mengikuti upacara bendera.
Sesampai dirumah tiba-tiba hape ku bunyi. Dan ternyata ada telpon masuk. Yakni dari
nomor hapenya Raka. Namun yang menelepon kini adalah orang tuanya. Orang tuanya
mengabarkan jika Raka kecelakaan saat menuju ke lapangan upacara dan sekarang dirawat di
Rumah Sakit.
Aku pun langsung shok mendengarnya lalu langsung menuju rumah sakit itu. Terlihat
disitu beberapa keluarga Raka mulai dari ayah, ibu, paman, dan neneknya ada disitu semuanya.
Juga terlihat ada Andin disitu sedang menangis menyesal. Namun nampaknya Tuhan sudah
tidak bisa menahan Raka agar hidup lebih lama di dunia. Dokter berkata bahwa Raka sudah
tidak bisa diselamatkan lagi.  Aku langsung menangis merasakan kesedihan ini, rasanya baru
beberapa jam tadi ketemu Raka. Eh sekarang dia harus kecelakaan dan nyawanya tidak
terselamatkan lagi. Dan aku juga melihat tangisan orang tua serta kerabat keluarga Raka disana.
Kemudian Andini memanggilku, dan dia berkata kepadaku :
“Hari ini adalah hari paling buruk dalam hidupku, aku sangat menyesal dengan hari ini.
Hari dimana aku kehilangan orang yang paling aku cintai. Mungkin Tuhan terlalu sayang kepada
Raka sehingga Tuhan mengambilnya. Dan memang hari kemerdekaan ini sudah menjadi tak
merdeka lagi buatku karena aku tak menganggap hari ini adalah hari kemerdekaan”
Cermin seekor Burung

Ketika musim kemarau baru saja mulai. Seekor burung pipit mulai merasakan tubuhnya
kepanasan, lalu mengumpat pada lingkungan yang dituduhnya tidak bersahabat. Dia lalu
memutuskan untuk meninggalkan tempat yang sejak dahulu menjadi habitatnya, terbang jauh ke
utara, mencari udara yang selalu dingin dan sejuk.

Benar, pelan pelan dia merasakan kesejukan udara, makin ke utara makin sejuk, dia semakin
bersemangat memacu terbangnya lebih ke utara lagi.

Terbawa oleh nafsu, dia tak merasakan sayapnya yang mulai tertempel salju, makin lama makin
tebal, dan akhirnya dia jatuh ke tanah karena tubuhnya terbungkus salju.

Sampai ke tanah, salju yang menempel di sayapnya justru bertambah tebal. Si burung pipit tak
mampu berbuat apa apa, menyangka bahwa riwayatnya telah tamat.

Dia merintih menyesali nasibnya. Mendengar suara rintihan, seekor kerbau yang kebetulan lewat
menghampirinya. Namun si burung kecewa mengapa yang datang hanya seekor kerbau. Dia
menghardik si kerbau agar menjauh dan mengatakan bahwa makhluk yang tolol tak mungkin
mampu berbuat sesuatu untuk menolongnya.

Si kerbau tidak banyak bicara, dia hanya berdiri, kemudian kencing tepat di atas burung tersebut.
Si burung pipit semakin marah dan memaki maki si kerbau. Lagi-lagi si kerbau tidak bicara, dia
maju satu langkah lagi, dan mengeluarkan kotoran ke atas tubuh si burung. Seketika itu si
burung tidak dapat bicara karena tertimbun kotoran kerbau. Si Burung mengira lagi bahwa mati
tak bisa bernapas.

Namun perlahan lahan, dia merasakan kehangatan, salju yang membeku pada bulunya pelan-
pelan meleleh oleh hangatnya tahi kerbau, dia dapat bernapas lega dan melihat kembali langit
yang cerah. Si burung pipit berteriak kegirangan, bernyanyi keras sepuas puasnya.

Mendengar ada suara burung bernyanyi, seekor anak kucing menghampiri sumber suara,
mengulurkan tangannya, mengais tubuh si burung dan kemudian menimang nimang, menjilati,
mengelus dan membersihkan sisa-sisa salju yang masih menempel pada bulu si burung. Begitu
bulunya bersih, si burung bernyanyi dan menari kegirangan, dia mengira telah mendapatkan
teman yang ramah dan baik hati.

Namun apa yang terjadi kemudian, seketika itu juga dunia terasa gelap gulita bagi si burung, dan
tamatlah riwayat si burung pipit ditelan oleh si kucing.
Hmm… tak sulit untuk menarik garis terang dari kisah ini, sesuatu yang acap terjadi dalam
kehidupan kita: halaman tetangga tampak selalu lebih hijau; penampilan acap menjadi ukuran;
yang buruk acap dianggap bencana dan tak melihat hikmah yang bermain di sebaliknya; dan
merasa bangga dengan nikmat yang sekejap. Burung pipit itu adalah cermin yang memantulkan
wajah kita
DOAKU UNTUKMU

Berawal dari sebuah pertemuan di suatu pasar sekitar 7 tahun yang lalu dengan seorang
wanita yang teramat sangat tidak bersahabat pada waktu itu, Tapi karna hal itu lah yang
membuat ku penasaran untuk bisa berkenalan dengan nya.
Tanpa di sadari aku pun berkenalan dengan wanita tersebut, Sungguh sangat senang
sekali karna bisa berkenalan dengannya karna menurutku itu adalah sebuah tantangan yang tidak
mudah. Tapi sebenarnya bukan ini yang ingin aku ceritakan melainkan ada sebuah kesedihan
ketika mendengar kabar darinya.
Kami pun bertemu kembali pada saat hari raya, berkumpul bersama dengan teman teman
yang lain sambil silaturahmi dan berbagai cerita karna sudah cukup lama tidak pernah bertemu
atau berkumpul seperti itu. Namun ada yang membuat ku tersentak ketika dia berkata bahwa
harus meninggalkan kota ini dan kembali ke kampung halamannya. Oh ya dia berasal dari
seberang pulau yang cukup jauh dari kota ini, Awalnya tidak percaya dengan kabar berita yang
disampaikan karna aku pikir dia sudah cukup betah berada di kota ini.
Sambil terdiam sejenak kemudian aku kembali bertanya kepadanya kapan rencananya
dia akan meninggalkan kota ini dan dia menjawab belum tahu tapi yang jelas beberapa bulan ke
depan ujarnya. Sejak saat itu aku mulai merasa gelisah akan kepergiannya dari kota ini.
Ya, aku sangat mengakui aku takut kehilangan dia karna dia adalah salah satu orang
yang sangat berarti dan pernah mengisi di dalam kehidupan ku. Entah mengapa aku sangat
menyayangi dan mencintai nya, sudah berulang kali aku mencoba meyakinnya namun entah apa
yang membuat nya tidak yakin dengan perasaanku ini. Mungkin karna aku tidak bisa
memberikan yang terbaik untuknya dan sering membuat kesal atau kecewa dan bahkan mungkin
menangis.
Beberapa minggu yang lalu aku melihat di status blackberry messengernya bahwa dia
sedang sakit, tanpa buang waktu akupun langsung menghubunginya dengan tujuan menanyakan
kabarnya dan memang benar dia sedang sakit karna kelelahan dengan aktifitasnya. Aku sadar
inilah saat yang tepat untuk melakukan sesuatu untuknya karna aku teringat sebuah kalimat yang
keluar dari seorang teman dekatnya yang ditujukan untukku "katanya kamu peduli! tapi kemana
kamu saat dia dalam kesusahan ?" hmmm aku sangat mengakui kesalahanku pada saat itu.
Siang itu aku datang ke rumah kontrakannya sambil membawa makanan untuk dia,
Sesampai disana sedih rasanya melihat wajahnya yang pucat seakan tak berdaya. Sambil
menemaninya makan aku kembali menanyakan kepastian rencananya untuk kembali ke
kampung halamannya, diapun menjawab minggu depan. Ya, aku semakin gelisah! tapi tak ada
yang bisa ku lakukan tuk tetap bisa menahannya disini.
Beranjak ku meninggalkan rumah kontrakan nya sambil termenung memikirkan hal itu,
hari hari ku semakin terasa berat untuk melepaskannya. ingin berteriak rasanya tapi apakah itu
mampu menahannya tuk tetap disini ? Ternyata tidak! dia tetap harus meninggalkan kota ini.
Setiap hari ku berfikir apa yang bisa ku berikan sebagai kenangan yang akan di bawanya
dan tak akan terlupakan olehnya, kesana kemari ku bertanya dengan teman temanku ya maklum
ini kali pertamanya aku memberikan sesuatu untuk seseorang. Hingga pada saatnya aku memilih
sesuatu yang akan ku berikan untuknya, mungkin dari sisi materi tidak terlalu mewah tapi hanya
itulah yang bisa aku berikan. Tidak terasa subuh telah hadir kembali dan aku pun telah selesai
menyiapkan kenang kenangan untuknya. Sakit dan lelah sungguh tidak terfikir ketika kita ingin
memberikan yang terbaik untuk seseorang yang berarti.
Dan kemarin kesedihan itu tak terbendung ketika dia benar benar kembali ke kampung
halamanya, tak kuasa sebenarnya melepas kepergiannya saat di bandara namun aku menyadari
ini yang terbaik untuknya dan aku berfikir ketika aku ikut bersedih maka siapa yang akan
menguatkan di kala dia dan teman teman menangis ? Aku yakin suatu saat pasti masih bisa
bertemu meski dengan situasi dan keadaan yang berbeda.
“Malaikat Pelindung”

Ada kedua sahabat yang sedang bermain di kamarnya Rinta. Mereka sedang asyik
memandang poste dapat dari pemberian pamannya Rinta dari Inggris. Lalu Anya pun memegang
posternya, iba-tiba tidak sengaja posternya sobek.
“Apa-apaan sih kamu? Posternya kan sobek!!”
“Maaf, Rin! Aku benar-benar nggak sengaja!”
Rinta sama sekali tidka mendengar pembelaan Anya. Ia masih memandangi poster blur
kesayangannya yang kini sudah terbagi dua karea sobek.
“Rin, maaf ya aku ....”
“Ahh! Udah deh sana pulang! “potong Rinta kesal, matanya pun sudah berkaca-kaca
hampir nangis.
Anya tidka mau memperburuk keadaan. Ia pun langsung keluar dari kamar dan bergegas
pulang.
Keesokan harinya, Rinta ke sekolah dengan perasaan campur aduk seperti kemarin. Ia
masih setengah mati kesalnya pada Anya. Walaupun ia sadar bahwa hari itu Anya idak masuk
sekolah, ia sama sekali tidak peduli.
Dua hari berlalu, Anya masih belum berangkat sekolah juga. Rinta masih tidak peduli
dengan hal itu. Hal ini membuat seluruh heran kelasnya karena biasanya mereka selalu berdua,
begitu juga Andre meerupakan sepupu Anya bingung dengan hal itu.
“Anya kemana Rin?” tanya Andre.
“Nggak tau.”
“Dia kenapa?” tanya Andre lagi.
“Nggak tau.”
“Kamu kenapa sih?”
“Iiih bawel amat sih kami Ndre! Nanya aja diem bentar bisa nggak?”
“Yaah, ko gitu sih?”
“Eh, tengok Anya yuk!” ajak Andre pada Rinta.
“Ngapain nengok kalu nggak kenapa-kenapa?”
“Loh? Kamu nggak tau kalau dia kecelakaan waktu pulang dari rumah Eva? Wah wah
wah ... dia kan ketabrak bus ...”
“Nggak! Kenapa kamu taddi nanya aku kalau ternyata kamu lebih tau keadaan Anya
sekarang.”
“Ehh, mau kemana? Ntar dulu dong. Ceritain dulu kejadiannya gimana bisa kamu nggak
peduli gitu sama Anya?”
“Nggak ada apa-apa” jawab Riinnta sambil membuang muka.
“Aku kan sahabat kamu sejak SD, mangkanya cerita dong...”
Dan akhirnya Rinta pun menceritakan kejadian dua hari yang lalu.
“Hah? Cuma gara-gara poster?” tanya Andre tak percaya.
“Kamu nggak ngerasain perasaan aku sih! Jadi, kamu nggak tau gimana rasanya
kehilangan benda yang paling berharga buat aku. Pokoknya aku nggak bakal maafin dia”
Ketika Rinta waktu bangun tidur lalu telepon berdering mengagetkannya.
“Hallo Rinta, selamat pagi!” sapa suara dari telepon itu.
“”Siapa ini?” tanya Rinta heran.
“Aku malaikat pelindungmu!”
“Hah ... pake bercanda, serius dong”
“Serius? Dua rius malah, aku memang malaikat pelindung kamu, aku tau segalanya
tentang kamu.”
“Kalau iseng, jangan kesini teleponnya” kata Rinta sambil menutup teleponnya.
“Siapa sih? Minggu pagi-pagi begini sudah iseng dengan semangat kaya gitu?”
Baru saja Rinta mau ke kamar mandi, telepon pun berdering kembali.
“Eh jangan marah dong sama malaikat pelindung sendiri kok marah, kamu kaya nggak
tau apa malaikat pelindung itu.”
Siapa bilang aku nggak tau? Tau kok! Malaikat pelindung itu adalah orang yang nggak
ada kerjaan, yang iseng nelepon orang.”
“Yaah kok ngotot sih? Gimana kalau aku bilang kamu adalah Rinta Yuliani, cewek yang
lahir 25 Juli punya hobi baca, tinggi 159 cm, berat 40 kg, hmmm .... kurus juga iya?”
“Siapa sih ini?” kata Rinta sambil melongo.
“Ya udah padahal tadinya aku mau kasih kabar buat kamu, kabar penting, tapi karena
kamunya nggak percaya, jadi buat apa aku kasih tau!”
“Eeeh ... tunggu dulu kabar apa yang mau kamu nkasih tau?”
“Oke, sekarang jam 7 ya? Berarti tinggal satu, dua, tiga puluh jam lagi jadi siap-siap
besok sekitar jam 1 siang bakal ada yang jemput.”
Maksudnya, aku besok meninggal? Tanya Rinta nggak percaya.
“Jadi sekarang kamu berbuat baik dulu deh”
“Apa tuh?”
“Enak aja pengen dikasih tau cari tau sendiri dong!” telepon itu ditutup.
Besoknya Rinta ke sekolah dengan perasaan makin sampur aduk dari kemarin. Karena
sekarang ada pikiran mau meninggal. Saat dia memikirkan kesalahan yang besassr yang dia
kerjakan, tiba-tiba Rinta teringat kepada Anya.
“Mungkin kesalahan besar yang aku lakuin adalah nggak maafin Anya kali ya?”
Ia pun akhirnya memutuskan untuk mencari Andre. Siapa tau dia bisa nganter Rinta ke
rumah sakit tempat Anya dirawat. Akhirnya Andre pun ditemukan dan akhirnya Rinta pun
menceritakan apa yang dialaminya kemarin.
“Wah Rin, masa kamu mau nengok Anya cuma gara-gara mau meninggal aja? Jadi kalau
kamu nggak bakal meninggal bentar lagi, kamu nggak bakal nengok dong?”
“Aku baru sadar, aku yang salah, dia nggak sengaja.”
Akhirnya mereka pun segera pergi ke rumah sakit. Setibanya di rumah sakit Rinta kaget
melihat keadaan Anya.
“Anya maafin aku, ya?” aku yang salah. Aku tau kamu nggak sengaja. Aku nggak mau
kehilangan sahabat cuma gara-gara poster yang nggak seberapa dibandingkan dengan kamu, aku
egois, maaf ya Nya?”
Anya tersenyum manis yang berarti Anya udah maafin Rinta. Kedua sahabat itu akhirnya
saling berpelukan erat. Hati Rinta sekarang udah merasa lega. Akhirnya Rinta pun pamit pulang.
Di perjalanan pulang tiba-tiba telepon umum berdering, mau nggak mau Rinta angkat telepon
itu.
“Hallo?”
“Rinta, ini aku. Kesalahan kamu udah kamu perbaiki?”
“Malaikat? Eh ini kan udah jam setengah 2 kok aku belum meninggal?”
“Nggak kok, kamu nggak meninggal sekarang, nanti entah kapan.”
“Terus?”
“Itu Cuma usaha aku biar kamu baikan sama Anya.”
“Loh??”
“Iya lah, emang malaikat pelindung kaya gitu ada? Kaya yang nggak beriman aja
percaya kapan meninggal.”
“Hah? Jadi kamu bukan malaikat pelindung? Terus ini siapa dong?”
“Hmmm ... Andre Rin ...”
PERSAHABATAN YANG INDAH

Bagiku, persahabatan itu indah. Karena sahabat bisa membuat kita merasakan
senang, tertawa, bersedih, marah, jengkel, dan lain lain.Dan itulah yang terjadi padaku. Aku
mempunyai seorang sahabat, namanya Dina. Kami selalu tertawa riang bersama. Hingga
pada suatu hari Dina menjauhi dan melupakanku. Entah kenapa sejak aku sering
membuatnya jengkel, ia pergi. Mencari teman penggantiku. Mungkin ia merasa sakit hati
padaku. Aku sedih dan menyesal. Aku ingin minta maaf padanya, tapi aku malu. Karena
telah menyakiti perasaannya

Karena peristiwa itulah, persahabatanku dan Dina pun menjadi renggang. Bahkan,
senyum pun tak pernah dilemparkan saat kami bertemu

Melihat situasi yang sudah sangat parah ini, aku pun bertekad ingin mengucapkan
maaf secara langsung kepadanya. Tak kupedulikan lagi rasa malu dan bersalah itu. Aku
pergi ke rumahnya, dan berharap ia bisa menerima dan memaafkanku. kuketuk pintu
rumahnya. Tapi, setelah pintu dibuka. Kulihat Dina berdiri dengan wajah yang cemberut,
ke arahku

“Hai, Dina. Lama kita tak berbicara. Bagaimana kabarmu?” tanyaku penuh harap
cemas.

“Tenanglah, aku baik tanpa kamu. Sebenarnya apa maksud kedatanganmu ke sini?
Tapi maaf, kalau soal kesalahanmu yang dulu itu, aku belum bisa memaafkan!”

“Tapi…”, belum aku menjelaskan sesuatu halpun, Dina langsung menutup pintu
dengan kerasnya

Aku langsung pulang ke rumah. Takut nanti Dina tambah marah kepadaku kalau
aku masih tetap berdiri di depan rumahnya. Aku telah gagal membuat hubungan kami
menjadi baik kembali. Aku pun hampir putus asa. Mungkin tak ada jalan lain lagi. Aku dan
Dina mungkin sudah ditakdirkan untuk tidak bersama

Hari demi hari pun berganti. Tak terasa, aku dan Dina tidak pernah lagi berpapasan
apalagi bercakap-cakap. Hidupku tambah suram saja

Hari itu, kebetulan aku sedang bersepeda untuk pulang ke rumah melintasi jalan
yang menuju ke rumahku. Tiba-tiba, sayup-sayup kudengar orang meminta tolong.
“Tolong… Tolong…!”

Langsung kudekati arah suara itu. Saat kudekati ternyata itu adalah Dina yang
terjatuh dari sepedanya. Kakinya terkilir dan luka. Lalu langsung kubantu berdiri dan
kuajak Dina dengan susah payah kembali ke rumahnya, untuk diobati.

Setelah Dina diobati, Dina menatap ke arahku sambil menahan isak tangis, “Terima
kasih, ya, Hani, atas pertolonganmu. Dan aku minta maaf karena selama ini tak
memaafkanmu. Membuatmu sedih.”

“Tidak apa-apa, Din. Aku ikhlas menolongmu karena kamu adalah sahabatku, dan
aku sangat senang kamu bisa memaafkan kesalahanku. Akhirnya, beban yang menggumpal
di hatiku ini sudah lenyap.”

Aku tersenyum setelah mengucapkan kata-kata itu. sungguh, aku sangat senang
bisa bersahabat kembali dengan Dina. Dan itulah yang kusebut sahabat, seseorang
yang`kan selalu ada buatmu, walaupun ia telah menyakiti hatimu.
Ikan Kecil dan Air

Suatu hari seorang anak dan ayahnya sedang duduk berbincang-bincang ditepi sungai.

Kata ayah kepada anaknya, “Lihatlah anakku, air begitu penting dalam kehidupan ini, tanpa air

kita semua akan mati.”

Pada saat yang bersamaan seekor ikan kecil mendengarkan percakapan itu dari bawah

permukaan air, ia mendadak menjadi gelisah dan ingin tahu apakah air itu, yang katanya begitu

penting dalam kehidupan ini. Ikan kecil ini berenang dari hulu sampai ke hilir sungai sambil

bertanya kepada setiap ikan yang ditemuinya. “ Hai, tahukah kamu dimana air itu? Aku telah

mendengar percakapan manusia bahwa tanpa air kehidupan akan mati.”

Ternyata semua ikan tidak ada yang mengetahui dimana air itu, si ikan kecil mulai

gelisah, lalu ia berenang menuju mata air untuk bertemu dengan ikan sepuh yang sudah

berpengalaman, kepada ikan sepuh itu, ikan kecil ini menanyakan hal yang serupa, Dimanakah

air itu?”

Jawaban ikan sepuh adalah, “Tak usah gelisah anakku, air itu telah mengelilingimu,

sehingga bahkan kamu tidak menyadari kehadirannya. Memang benar, tanpa air kita akan mati.”

Apa arti cerita tersebut diatas? Manusia kadang-kadang mengalami situasi seperti si ikan

kecil, mencari kesana kemari tentang kehidupan dan kebahagiaan, padahal ia sedang

menjalaninya, kebahagiaan sedang melingkupinya sampai-sampai tidak menyadarinya.


Hargai Hidupmu, Kawan

Alkisah, ada seorang pemuda yang hidup sebatang kara. Pendidikan rendah, hidup dari
bekerja sebagai buruh tani milik tuan tanah yang kaya raya. Walaupun hidupnya sederhana
tetapi sesungguhnya dia bisa melewati kesehariannya dengan baik.
Pada suatu ketika, si pemuda merasa jenuh dengan kehidupannya. Dia tidak mengerti,
untuk apa sebenarnya hidup di dunia ini. Setiap hari bekerja di ladang orang demi sesuap nasi.
Hanya sekadar melewati hari untuk menunggu kapan akan mati. Pemuda itu merasa hampa,
putus asa, dan tidak memiliki arti.
"Daripada tidak tahu hidup untuk apa dan hanya menunggu mati, lebih baik aku
mengakhiri saja kehidupan ini," katanya dalam hati. Disiapkannya seutas tali dan dia berniat
menggantung diri di sebatang pohon.
Pohon yang dituju, saat melihat gelagat seperti itu, tiba-tiba menyela lembut. "Anak
muda yang tampan dan baik hati, tolong jangan menggantung diri di dahanku yang telah
berumur ini. Sayang, bila dia patah. Padahal setiap pagi ada banyak burung yang hinggap di situ,
bernyanyi riang untuk menghibur siapapun yang berada di sekitar sini."
Dengan bersungut-sungut, si pemuda pergi melanjutkan memilih pohon yang lain, tidak
jauh dari situ. Saat bersiap-siap, kembali terdengar suara lirih si pohon, "Hai anak muda. Kamu
lihat di atas sini, ada sarang tawon yang sedang dikerjakan oleh begitu banyak lebah dengan
tekun dan rajin. Jika kamu mau bunuh diri, silakan pindah ke tempat lain. Kasihanilah lebah dan
manusia yang telah bekerja keras tetapi tidak dapat menikmati hasilnya."
Sekali lagi, tanpa menjawab sepatah kata pun, si pemuda berjalan mencari pohon yang
lain. Kata yang didengarpun tidak jauh berbeda, "Anak muda, karena rindangnya daunku,
banyak dimanfaatkan oleh manusia dan hewan untuk sekadar beristirahat atau berteduh di bawah
dedaunanku. Tolong jangan mati di sini."
Setelah pohon yang ketiga kalinya, si pemuda termenung dan berpikir, "Bahkan sebatang
pohonpun begitu menghargai kehidupan ini. Mereka menyayangi dirinya sendiri agar tidak
patah, tidak terusik, dan tetap rindang untuk bisa melindungi alam dan bermanfaat bagi makhluk
lain".
Segera timbul kesadaran baru. "Aku manusia; masih muda, kuat, dan sehat. Tidak pantas
aku melenyapkan kehidupanku sendiri. Mulai sekarang, aku harus punya cita-cita dan akan
bekerja dengan baik untuk bisa pula bermanfaat bagi makhluk lain".
Si pemuda pun pulang ke rumahnya dengan penuh semangat dan perasaan lega.
Kisah Seorang Penjual Koran

Di ufuk timur, matahari belum tampak. Udara pada pagi hari terasa dingin. Alam pun
masih diselimuti embun pagi. Seorang anak mengayuh sepedanya di tengah jalan yang masih
lengang. Siapakah gerangan anak itu? Ia adalah seorang penjual Koran, yang bernama Doni.
Menjelang pukul lima pagi, ia telah sampai di tempat agen koran dari beberapa penerbit.
“Ambil berapa Doni?” tanya Bang Karno. “Biasa saja.”jawab Doni. Bang Karno
mengambil sejumlah koran dan majalah yang biasa dibawa Doni untuk langganannya. Setelah
selesai, ia pun berangkat.
Ia mendatangi pelanggan-pelanggan setianya. Dari satu rumah ke rumah lainnya.
Begitulah pekerjaan Doni setiap harinya. Menyampaikan koran kepada para pelanggannya.
Semua itu dikerjakannya dengan gembira, ikhlas dan rasa penuh tanggung jawab.
Ketika Doni sedang mengacu sepedanya, tiba-tiba ia dikejutkan dengan sebuah benda.
Benda tersebut adalah sebuah bungkusan plastik berwarna hitam. Doni jadi gemetaran. Benda
apakah itu? Ia ragu-ragu dan merasa ketakutan karena akhir-akhir ini sering terjadi peledakan
bom dimana-mana. Doni khawatir benda itu adalah bungkusan bom. Namun pada akhirnya, ia
mencoba membuka bungkusan tersebut. Tampak di dalam bungkusan itu terdapat sebuah
kardus. “Wah, apa isinya ini?’’tanyanya dalam hati. Doni segera membuka bungkusan dengan
hati-hati. Alangkah terkejutnya ia, karena di dalamnya terdapat kalung emas dan perhiasan
lainnya. “Wah apa ini?”tanyanya dalam hati. “Milik siapa, ya?” Doni membolak-balik cincin
dan kalung yang ada di dalam kardus. Ia makin terperanjat lagi karena ada kartu kredit di
dalamnya. “Lho,…ini kan milik Pak Alif. Kasihan sekali Pak Alif , rupanya ia telah
kecurian.”gumamnya dalam hati.
Apa yang diperkirakan Doni itu memamg benar. Rumah Pak Alif telah kemasukan
maling tadi malam. Karena pencuri tersebut terburu-buru, bungkusan perhiasan yang telah
dikumpulkannya terjatuh. Doni dengan segera memberitahukan Pak Alif. Ia menceritakan apa
yang terjadi dan ia temukan. Betapa senangnya Pak Alif karena perhiasan milik istrinya telah
kembali. Ia sangat bersyukur, perhiasan itu jatuh ke tangan orang yang jujur. Sebagai ucapan
terima kasihnya, Pak Alif memberikan modal kepada Doni untuk membuka kios di rumahnya.
Kini Doni tidak lagi harus mengayuh sepedanya untuk menjajakan koran. Ia cukup menunggu
pembeli datang untuk berbelanja. Sedangkan untuk mengirim koran dan majalah kepada
pelanggannya, Doni digantikan oleh saudaranya yang kebetulan belum mempunyai pekerjaan.
Itulah akhir dari sebuah kejujuran yang akan mendatangkan kebahagiaan di kehidupan kelak.
Gadis Penjaja Tikar

Suasana Kebun Raya Bogor dipenuhi dengan pengunjung. Laki-laki, perempuan, tua
maupun muda semuanya ada disana. Saat itu adalah hari libur panjang sekolah sehingga banyak
pengunjung yang pergi liburan. Mereka ingin menikmati suasana malam dan menghilangkan
kejenuhan.
Seorang anak kecil tiba-tiba datang. Dengan pakaian sederhana, ia menjajakan tikar dari
plastik kepada para pengunjung ke pengunjung lain, ia terus menawarkan tikarnya. “Pak, mau
sewa tikar?”katanya pada Pak Umar. “Berapa harga sewa satu lembar tikarnya?”tanya Pak
Umar. “Lima ribu rupiah, Pak!”jawabnya dengan suara lembut. “Bagaimana kalau Bapak ambil
tiga puluh ribu rupiah?”tanya Pak Umar lagi. Gadis itu diam sejenak. Kemudian ia pun
berkata,”Baiklah kalau begitu. Silahkan pilih, Pak!”
Pak Umar memilih tikar plastik yang akana disewanya. Dalam hati Pak Umar ada rasa
tak tega terhadap gadis itu. Gadis berusia delapan tahun harus bekerja keras untuk mendapatkan
uang. “Kamu sekolah?”tanya Pak Umar. “Sekolah, Pak! Saya kelas empat SD.
“jawabnya.”Mengapa kamu menyewakan tikar plastik ini?”tanya Pak Umar lagi. “Saya harus
membantu ibu saya. “jawab gadis itu. “Kemana ayahmu?”Pak Umar bertanya lagi. “Bapak telah
lama meninggal dunia. Untuk itu, saya harus membantu ibu untuk mencari uang,”jawab gadis itu
pelan. Mendengar cerita gadis tersebut, Pak Umar merasa terharu.
Pak Umar merasa kasihan terhadap anak tersebut. Diambilnya beberapa lembar uang dua
puluh ribuan lalu diberikannya kepada gadis kecil itu. “Pak maaf, saya tidak boleh menerima
uang jika tidak bekerja, “katanya sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Mengapa?”tanya Pak
Umar heran. “Kata ibu, saya boleh menerima uang kalau memamg hasil bekerja. Saya tidak
boleh meminta belas kasihan dari orang. “Mendengar perkataan gadis itu, Pak Umar makin
terharu. Ia tahu kalau ibu gadis kecil itu seorang yang berbudi luhur. “Begini saja, kalau
memang harus bekerja, sekarang bantu Bapak beserta keluarga. Tolong kamu bawakan rantang
ini. Kita akan makan bersama di bawah pohon yang rindang itu!” kata Pak Umar ramah. Pak
Umar dan keluarga menuju ke bawah pohon yang rindang tersebut. Mereka pun menggelar tikar
plastik yang baru saja disewanya. Gadis kecil itu pun diajak untuk makan bersama
Semangkuk Bakso

Dikisahkan, biasanya di hari ulang tahun Putri, ibu pasti sibuk di dapur memasak dan
menghidangkan makanan kesukaannya. Tepat saat yang ditunggu, betapa kecewa hati si Putri,
meja makan kosong, tidak tampak sedikit pun bayangan makanan kesukaannya tersedia di sana.
Putri kesal, marah, dan jengkel.
"Huh, ibu sudah tidak sayang lagi padaku. Sudah tidak ingat hari ulang tahun anaknya
sendiri, sungguh keterlaluan," gerutunya dalam hati. "Ini semua pasti gara-gara adinda sakit
semalam sehingga ibu lupa pada ulang tahun dan makanan kesukaanku. Dasar anak manja!"
Ditunggu sampai siang, tampaknya orang serumah tidak peduli lagi kepadanya. Tidak
ada yang memberi selamat, ciuman, atau mungkin memberi kado untuknya.
Dengan perasaan marah dan sedih, Putri pergi meninggalkan rumah begitu saja. Perut
kosong dan pikiran yang dipenuhi kejengkelan membuatnya berjalan sembarangan. Saat
melewati sebuah gerobak penjual bakso dan mencium aroma nikmat, tiba-tiba Putri sadar,
betapa lapar perutnya! Dia menatap nanar kepulan asap di atas semangkuk bakso.
"Mau beli bakso, neng? Duduk saja di dalam," sapa si tukang bakso.
"Mau, bang. Tapi saya tidak punya uang," jawabnya tersipu malu.
"Bagaimana kalau hari ini abang traktir kamu? Duduklah, abang siapin mi bakso yang
super enak."
Putri pun segera duduk di dalam.
Tiba-tiba, dia tidak kuasa menahan air matanya, "Lho, kenapa menangis, neng?" tanya si
abang.
"Saya jadi ingat ibu saya, bang. Sebenarnya... hari ini ulang tahun saya. Malah abang,
yang tidak saya kenal, yang memberi saya makan. Ibuku sendiri tidak ingat hari ulang tahunku
apalagi memberi makanan kesukaanku. Saya sedih dan kecewa, bang."
"Neng cantik, abang yang baru sekali aja memberi makanan bisa bikin neng terharu
sampai nangis. Lha, padahal ibu dan bapak neng, yang ngasih makan tiap hari, dari neng bayi
sampai segede ini, apa neng pernah terharu begini? Jangan ngeremehin orangtua sendiri neng,
ntar nyesel lho."
Putri seketika tersadar, "Kenapa aku tidak pernah berpikir seperti itu?"
Setelah menghabiskan makanan dan berucap banyak terima kasih, Putri bergegas pergi.
Setiba di rumah, ibunya menyambut dengan pelukan hangat, wajah cemas sekaligus lega,
"Putri, dari mana kamu seharian ini, ibu tidak tahu harus mencari kamu ke mana. Putri,
selamat ulang tahun ya. Ibu telah membuat semua makanan kesukaan Putri. Putri pasti lapar
kan? Ayo nikmati semua itu."
"Ibu, maafkan Putri, Bu," Putri pun menangis dan menyesal di pelukan ibunya. Dan yang
membuat Putri semakin menyesal, ternyata di dalam rumah hadir pula sahabat-sahabat baik dan
paman serta bibinya. Ternyata ibu Putri membuatkan pesta kejutan untuk putri kesayangannya.
Pesan Ibu

Suatu hari, tampak seorang pemuda tergesa-gesa memasuki sebuah restoran karena
kelaparan sejak pagi belum sarapan. Setelah memesan makanan, seorang anak penjaja kue
menghampirinya, "Kak, beli kue kak, masih hangat dan enak rasanya!"
"Tidak Dik, saya mau makan nasi saja," kata si pemuda menolak.
Sambil tersenyum si anak pun berlalu dan menunggu di luar restoran.
Melihat si pemuda telah selesai menyantap makanannya, si anak menghampiri lagi dan
menyodorkan kuenya. Si pemuda sambil beranjak ke kasir hendak membayar makanan berkata
"Tidak Dik, saya sudah kenyang."
Sambil berkukuh mengikuti si pemuda, si anak berkata, "Kuenya bisa dibuat oleh-oleh
pulang, Kak."
Dompet yang belum sempat dimasukkan ke kantong pun dibukanya kembali.
Dikeluarkannya dua lembar ribuan dan ia mengangsurkan ke anak penjual kue. "Saya tidak mau
kuenya. Uang ini anggap saja sedekah dari saya."
Dengan senang hati diterimanya uang itu. Lalu, dia bergegas ke luar restoran, dan
memberikan uang pemberian tadi kepada pengemis yang berada di depan restoran.
Si pemuda memperhatikan dengan seksama. Dia merasa heran dan sedikit tersinggung.
Ia langsung menegur, "Hai adik kecil, kenapa uangnya kamu berikan kepada orang lain? Kamu
berjualan kan untuk mendapatkan uang. Kenapa setelah uang ada di tanganmu, malah kamu
berikan ke si pengemis itu?"
"Kak, saya mohon maaf. Jangan marah ya. Ibu saya mengajarkan kepada saya untuk
mendapatkan uang dari usaha berjualan atas jerih payah sendiri, bukan dari mengemis. Kue-kue
ini dibuat oleh ibu saya sendiri dan ibu pasti kecewa, marah, dan sedih, jika saya menerima uang
dari Kakak bukan hasil dari menjual kue. Tadi kakak bilang, uang sedekah, maka uangnya saya
berikan kepada pengemis itu."
Si pemuda merasa takjub dan menganggukkan kepala tanda mengerti. "Baiklah, berapa
banyak kue yang kamu bawa? Saya borong semua untuk oleh-oleh." Si anak pun segera
menghitung dengan gembira.
Sambil menyerahkan uang si pemuda berkata, "Terima kasih Dik, atas pelajaran hari ini.
Sampaikan salam saya kepada ibumu."
Walaupun tidak mengerti tentang pelajaran apa yang dikatakan si pemuda, dengan
gembira diterimanya uang itu sambil berucap, "Terima kasih, Kak. Ibu saya pasti akan gembira
sekali, hasil kerja kerasnya dihargai dan itu sangat berarti bagi kehidupan kami."
Bersyukur dan Bahagia

Alkisah, ada seorang pedagang kaya yang merasa dirinya tidak bahagia. Dari pagi-pagi
buta, dia telah bangun dan mulai bekerja. Siang hari bertemu dengan orang-orang untuk
membeli atau menjual barang. Hingga malam hari, dia masih sibuk dengan buku catatan dan
mesin hitungnya. Menjelang tidur, dia masih memikirkan rencana kerja untuk keesokan harinya.
Begitu hari-hari berlalu.
Suatu pagi sehabis mandi, saat berkaca, tiba-tiba dia kaget saat menyadari rambutnya
mulai menipis dan berwarna abu-abu. "Akh. Aku sudah menua. Setiap hari aku bekerja, telah
menghasilkan kekayaan begitu besar! Tetapi kenapa aku tidak bahagia? Ke mana saja aku
selama ini?"
Setelah menimbang, si pedagang memutuskan untuk pergi meninggalkan semua
kesibukannya dan melihat kehidupan di luar sana. Dia berpakaian layaknya rakyat biasa dan
membaur ke tempat keramaian.
"Duh, hidup begitu susah, begitu tidak adil! Kita telah bekerja dari pagi hingga sore,
tetapi tetap saja miskin dan kurang," terdengar sebagian penduduk berkeluh kesah.
Di tempat lain, dia mendengar seorang saudagar kaya; walaupun harta berkecukupan,
tetapi tampak sedang sibuk berkata-kata kotor dan memaki dengan garang. Tampaknya dia juga
tidak bahagia.
Si pedagang meneruskan perjalanannya hingga tiba di tepi sebuah hutan. Saat dia berniat
untuk beristirahat sejenak di situ, tiba-tiba telinganya menangkap gerak langkah seseorang dan
teriakan lantang, "Huah! Tuhan, terima kasih. Hari ini aku telah mampu menyelesaikan tugasku
dengan baik. Hari ini aku telah pula makan dengan kenyang dan nikmat. Terima kasih Tuhan,
Engkau telah menyertaiku dalam setiap langkahku. Dan sekarang, saatnya hambamu hendak
beristirahat."
Setelah tertegun beberapa saat dan menyimak suara lantang itu, si pedagang bergegas
mendatangi asal suara tadi. Terlihat seorang pemuda berbaju lusuh telentang di rerumputan.
Matanya terpejam. Wajahnya begitu bersahaja.
Mendengar suara di sekitarnya, dia terbangun. Dengan tersenyum dia menyapa ramah,
"Hai, Pak Tua. Silahkan beristirahat di sini."
"Terima kasih, Anak Muda. Boleh bapak bertanya?" tanya si pedagang.
"Silakan."
"Apakah kerjamu setiap hari seperti ini?"
"Tidak, Pak Tua. Menurutku, tak peduli apapun pekerjaan itu, asalkan setiap hari aku
bisa bekerja dengan sebaik2nya dan pastinya aku tidak harus mengerjakan hal sama setiap hari.
Aku senang, orang yang kubantu senang, orang yang membantuku juga senang, pasti Allah juga
senang di atas sana. Ya kan? Dan akhirnya, aku perlu bersyukur dan berterima kasih kepada
Allah atas semua pemberiannya ini".
Penyesalan Ku

Nama ku indah, aku sekarang duduk di kelas VIII l di smp negeri 01 kauman tulungagung. Aku
pernah beberapa kali menjalin hubungan alias pacaran sama teman satu sekolah. Dan disaat aku
kenal sama kakak kelas aku yang dia duduk di kelas IX C aku mulai ada perasaan sedikit demi
sedikit. Waktu itu ada teman dia satu kelas yang suka sama aku dan dia ingin menjadi pacar aku
namun aku tidak mempunyai perasaan sama sekali sama dia dan akhirnya aku tolak dia. Dan aku
masih menunggu temannya. Entah aku sedang bermimpi apa aku saat itu dia menyatakan
cintanya pada ku. Dan tanpa berfikir panjang lebar aku langsung menerimanya untuk jadi pacar
aku. Di di saat itu aku gak mikirin perasaan temennya dia yang sebelum itu menyatakan cintanya
pada aku.

Hari-hari aku lewati bersamanya senang, sedih, canda, tawa kita nikmati namun di balik itu
semua banyak teman-teman yang gak setuju dengan hubungan aku sama dia entah apa alasanya.
Disaat itu kita saling berjanji untuk tidak menyakiti satu sama lain tidak meninggalkan. Disaat
itu aku senang sekali kita berjanji tidak pernah meninggalkan satu sama lain, aku pun ingin terus
bersama dia sampai kapan pun. Namun pada suatu hari aku dan dia saling marah-marahan dan
apa yang terjadi aku pun mengucapakan kata-kata kotor yang menyakitkan hatinya. Aku pun
berusaha minta maaf sama dia namun itu semua hanya sia sia dan dia langsung mengatakan kita
putus, betapa hancurnya hati ini setelah dia bilang kata-kata itu, aku pun terus menerus
mengeluarkan air mata dan akhirnya aku jatuh sakit.

Hari-hari aku lalui dengan sendiri aku pun sering menangis jika ingat dengan dia. Aku ingin
kembali bersama-sama dia lagi namun apa upaya aku itu gak berhasil sama sekali. Dan akhirnya
aku kenal sama adik kelas aku dan dia duduk di kelas VII H dan kita pun akhirnya jadian,
namun aku tetap saja belum bisa lupa sama dia dan akhirnya aku memutuskan untuk putus sama
adik kelas karena aku sadar aku belum bisa move on dari dia.

Sudah 4 bulan aku putus sama kakak kelas itu namun aku terus saja ingin move on dari dia
namun semakin aku ingin lupa dari dia semakin aku menyayanginya. Dan setiap hari aku update
status tentang dia namun apa yang terjadi dia malah gak ngerespon sama sekali.
Pesahabatan yang Rapuh

`Alkisah ada persahabatan yang damai. Persahabatan itu hanya ada dua orang. Namanya
Lina dan Rika. Dua orang itu sangat berbeda, Rika sangat kaya dan sombong. Sedangkan Lina
seorang anak yang sederhana dan baik hati. Pada suatu hari Lina mengajak Rika berenang di
pantai. Sesampainya di pantai dia berganti baju dan berenang. Rika menantang Lina, dia ingin
berenang sampai ke bawah laut dan harus menemukan benda yang berharga. Sesampainya di
bawah laut Lina dan Rika mencari benda itu, Lina di kiri dan Rika di kanan. Rina melihat
banyak harta hingga matanya berkaca-kaca, begini katanya “Aku harus bisa mengalahkan Lina”.
Dia langsung naik ke atas, sementara Lina masih di bawah.
Rika menunggu Lina sampai lama dan dia berteriak, “Lina cepat naik ke atas”.
Lina pun menuruti perintah Rika tetapi dia belum mendapatkan benda satu pun.
Sesampainya di atas Rika pura – pura bertanya seperti ini “Lina mengapa kamu tidak membawa
benda berharga?”
“Kan sudah kamu panggil”, ujar Lina.
“Kalau begitu, aku yang jadi pemenangnya dong”, kata Rika.
”Ya sudah kita pulang saja yuk,” ajak Lina.
“Ayo”.
Sesampainya di rumah Rika, Lina tidur siang sedangkan Rika bermain dengan benda
yang didapatkannya. Pada malamnya Lina dan Rika sedang menonton TV sambil mereka
berbicara banyak hal disertai dengan senda gurau yang membuat persahabatan mereka sungguh
indah.
Pada waktu Lina dan Rika sedang asyik berbicara, tiba-tiba mama Rika memberikan pop
corn sambil berkata, “Anak-anak, ini untuk kalian berdua.”
”Iya Ma,” jawab Rika.
“Terima kasih, Tante,” ujar Lina.
Pada saat mama Rika pergi lalu keduanya berebutan pop corn hingga mereka bertengkar
dan lupa akan makna pembicaraan yang baru saja mereka bicarakan. Mereka saling dorong-
mendorong sehingga Rika terjatuh dan menangis. Datang mamanya Rika untuk mendamaikan
pertengkaran mereka.
“Rika, Lina, ayo kalian jangan bertengkar. Bertengkar bisa membuat persahabatan kalian
menjadi hancur serta saling marah. Marah itu teman setan. Kalian tidak mau jadi teman setan,
kan?” mama Rika menasehati keduanya.
“Tidak mau, Ma. Tapi Lina yang nakal mendorong saya hingga terjatuh,” Rika berkata
sembari terisak tangis.
“Saya juga tidak mau jadi teman setan, Tante,” Lina turut berbicara.”Saya tidak sengaja
mendorongnya,” tambah Lina seolah bersalah.
“Ya sudah, Mama tidak membela siapa-siapa. Siapa yang mau minta maaf lebih dulu
disayang Tuhan,” kata mama Rika dengan bijaksana. 
SAKIT HATI

Pdkt, teman, sahabat, suka, jatuh cinta, pacaran, putus, ujung-ujungnya sakit hati.
Bahkan ada sebagian pasangan yang tadinya saling menyukai pada akhirnya jadi memusuhi, 
hampir kebanyakan orang pasti pernah ngerasain yang namanya sakit hati, terutama dikalangan
remaja sekarang. Mereka hanya mencari kesenangan pada pasangannya, dan kalau kesenangan
yang mereka cari tidak ada, pasangannya ditinggal gitu aja. Ujung-ujungnya pasti ada yang
tersakiti. Ada yang tersakiti yang melihat mantannya jalan bareng pacar barunya, apalgi habis
putus remaja sekarang langsung tuh cari penggantinya, karna berbagai alasan. Contohnya, ada
yang nggak bisa sendiri, nggak ada yang merhatiin, nggak ada yang antar-jemput sekolah/kerja,
disangka pacarnya ojek apa yaaa? Memang sih anak sekarang beda banget sama anak dulu.
Anak-anak dulu itu belum ngerti sama yang namanya pacaran, jadi mereka nggak pernah
ngerasain yang namanya sakit hati, mereka hanya fokus menuntut ilmu dan membahagiakan
orang tuanya. Beda sama anak sekarang, dikit-dikit galau, nangis, curhat tentang pacarnya,
bayangkan nggak sih baru SD aja sudah ngerti pacar-pacaran, hadeeh!!!
Anak remaja jaman sekarang lebih mementingkan pacar dibanding orang tua mereka.
Senang bareng pacar, sedih bareng orang tua, nggak adil banget sih menurut gue. Sakit hati siih
sakit hati, tapi yaaa seharusnya mereka sadar dong resiko dari apa yang sudah  mereka lakukan,
jangan orang tua dijadikan tempat terakhir kalo sudah sedih, apalagi sedihnya gara-gara pacar.
Nggak kasian sama orang tua mereka? Orang tua itu selalu berusaha untuk memperlihatkan
wajah gembira didepan anak-anaknya, walaupun terkadang hatinya terlukaa banget. Tapi
balasan anak ke orang tua, selalu memperlihatkan wajah sedih, galau, nangis, sakit hati, marah.
Dan semua itu cuma gara-gara pacar? Nggak punya hati yaa itu anak.Gue sih selalu berusaha
untuk membahagiakan orang tua gue, nggak ngelakuin apa yang mereka larang. Contohnya aja
pacaran, memang kalau sudah sekali pacaran nggak bisa tuh nggak pacaran lagi, kaya orang
ngerokok, ketagihan terus, walaupun itu dilarang.
Sakit hati itu sudah biasa bagi orang yang kebal, tapi nggak bagi orang yang cengeng.
Kenapa? Karna mereka hanya ingin merasakan kesenangannya saja, nggak dengan kesedihannya
dan mereka juga hanya ingin mencoba tanpa berfikir panjang. Dan akhirnya orang tua dijadikan
tempat terakhir mereka untuk bersandar. Kemana ajaa selama mereka senang? Sama pacar?
Terus kalau sudah sakit hati, sama orang tua? Giliran kita sudah sedih pacar pergi gitu aja kan.
Dia pergi karna dia nggak mau bertanggung jawab atas apa yang sudah dia perbuat, dia hanya
menjadikan perempuan untuk kesenangan sementara.
Sahabat Tanpa Bayangan

"Setiap manusia pasti pernah mengalami rasa sakit dan perihnya ditinggal bahkan diacuhkan.
Apalagi yang melakukannya adalah orang terdekat, terlebih orang yang seharusnya ada untuk menjaga
dan terus mendampingi kita. Sakit memang, saat mereka yang seharusnya membela kita, justru
sebaliknya menghancurkan, menindas, menjelekkan, menjatuhkan kita. Kecewa memang, saat mereka
yang seharusnya menjaga rahasia kita, justru membuka semua aib yang ada bahkan semakin diperparah
dengan hal yang tidak-tidak. Aku mengalaminya, dan semua sangat sakit.
Bagaimana bisa,o rang yang seharusnya ada disamping kita selalu sibuk dengan urusan diluar
rumah. Aku tahu mereka punya hal yang harus dikerjakan disana. Tapi, tidakkah mereka rindu denganku,
rindu suasana bersama yang dulu.
Aku terpuruk sendiri. Ketika aku membutuhkan, mereka tak pernah ada. Mereka tak pernah
mendengar keluh kesahku, masalahku. Mereka tak pernah menanyakan kabar hebat yang aku dapatkan.
Kadang aku rindu pelukan mereka, rindu belaian tangang mereka. Aku terasing sendiri. Bila mereka bisa
memberikannya pada dia, kenapa tidak untuk ku? Aku iri. Aku iri. Sekali lagi, aku iri. Setiap kali harus
kuhapus airmata ini sendiri. Setiap kali harus tertatih terbangun sendiri. Setiap kali aku menangis
mendekap udara hampa karena menghadapi ketakutan seorang diri. Semua aku lakukan sendiri. Mereka
menuntutku menjadi makhluk yang sempurna sesuai kemauan mereka. Tapi mereka tak pernah
mengajarkan bagaimana caranya. Mereka hanya menuntut terus-menerus. Sedang aku tak mampu walau
aku berusaha. Dan mereka terus menyalahkanku ketika aku tersandung, tanpa pernah membenarkanku.
Mana aku tahu?
Aku bagai hidup sendiri disini. Teman yang ada selalu hadir silih berganti. Aku bagai tak punya
sahabat dalam hidupku. Yah, semua orang punya masalah masing-masing. Aku hanya berteman dengan
jiwaku sendiri. Aku nyaman dengan cara ini. Karena jiwaku tak pernah mengecewakan ku seperti yang
telah mereka lakukan. Hingga aku menemukan satu titik kejenuhan. Aku berlari kesana-kemari. Aku
berlari dan terus berlari tanpa henti. Berlari jauh ketempat yang asing bagiku, tempat yang belum pernah
kujamah sebelumnya. Hingga aku bertemu segerombolan anak-anak yang aku yakin bernasib sama
sepertiku. Aku tahu, mereka senasib denganku.
Kuberanikan diri masuk. Mereka langsung menyambut hangat dengan senyum kuat mereka.
Tanpa menanyakan siapa aku, mereka merangkulku. Seorang anak, yang au yakin dia adalah pemimpin
kelompok ini mempersilahkan ku untuk bercerita, menumpahkan seluruh beban dan curahan dadaku.
Tanpa piker panjang dan meikirkan hal lain aku mulai meluapkan semua yang ingin kukatakan, semua
yang selama ini tertahan didadaku. Aku menangis, tapi mereka tersenyum dengan tatapan hangat mereka.
Mereka semua merangkulku lagi. “Kita semua saudara, karena kita bernasib sama. Kita pernah terjatuh,
dan sakit. Namun kita bangkit bersama. Tenang saja, kami akan mengajarimu bangkit. Kami tidak
meminta imbalan apa-apa atas ini semua. Tapi, satu permintaan kami. Saat kau sembuh dan kuat untuk
melangkah setelah bangkit, tolong bantu saudara kita yanglain, yang bernasib sama seperti kita. Bawa dia
kemari, kita akan menyembuhkan mereka bersama-sama. “ kata pemimpin kelompok. 
Aku mengerti apa yang dia katakan. Dari sisni lah kutemukan keluarga baru. Keluarga yang
mampu mendengarkan semua kesahku. Keluarga bernama sahabat. Aku tak pernah memandang wajah
mereka. Aku menemukan mereka tanpa kusengaja ditengah pelarianku. Tapi aku menyimpan nama
meraka dibibirku. Aku bangga mengenal kalian. Kalian terjatuh, tapi kalian mampu bangkit. Walau harus
terjatuh berkali-kali, kalian tetap melankah. Kalian tak peduli pada rasa sakit atas luka dikaki kalian yang
semakin lebar terbuka. Yang kalian pikirkan hanyalah kalian harus terus maju. Dan aku belajar itu dari
kalian. Terima kasih kakak. Karena aku senang memiliki sahabat seperti kalian. Aku menganggap kalian
kakak yang selalu menemani candaku ketika aku ingin bermanja. Kalian lah sahabat tanpa bayangan
yang tak pernah kutemui didunia nyataku. Yang kutahu hanya nama dan apa yang telah kalian berikan
untukku."
Surat Sahabat
Cerpen Persahabatan - Surat Sahabat - Alkisah, siang yang terik di sebuah perempatan jalan raya sebuah
kota besar. Putra yang sedang berkendara, melihat lampu diperempatan jalan berubah dari kuning ke
merah. Bukannya melambatkan laju mobilnya, dia malah ’tancap’ gas. Ia tahu, lampu merah di
persimpangan itu biasanya menyala cukup lama. Keengganannya menunggu membuatnya nekad
menerobos lampu lalu lintas.

Cerpen Persahabatan - Surat Sahabat

Pelanggaran yang dilakukan pun segera menuai reaksi dan terdengar suara peluit keras sekali.

“Priiiiiiitttt!” Seorang polisi melambaikan tangan memintanya berhenti.

Dengan hati mengumpat jengkel, Putra menepikan kendaraannya. Dari kaca spion, ia memperhatikan
polisi yang mendatanginya. Wajahnya familiar.

“Ah, itu kan Andi, teman SMA-ku dulu!” Putera merasa lega, segera turun dari mobil dan menyambut
Andi layaknya teman lama. 

“Hai, Andi. Apa kabar? Senang sekali bisa ketemu kamu lagi! Maaf nih, karena lagi buru-buru, aku
terpaksa menerobos lampu merah.”

“Halo Putra,” sapa Andi.

Namun, dengan wajah serius dan tanpa senyuman di wajahnya.

“Aku mengerti. Tapi Put, jujur aja, kami sering memperhatikan kamu melanggar lampu merah di
persimpangan ini.”

“Oh ya?” Putra memasang tampang kurang senang. “Kalau begitu, silakan tilang saja!” 

Dengan kasar, Putra menyerahkan SIM-nya kepada Andi dan masuk ke mobilnya sambil membanting
pintu. Melalui sudut matanya, Putra memperhatikan Andi menulis. Hatinya jengkel, mengingat
perlakuan teman lamanya yang dirasanya kurang simpatik itu.

Tak lama, Andi menghampiri mobil Putra dan Putra pun menurunkan kaca jendela sedikit, mengambil
kertas yang diselipkan melalui celah sempit itu, dan melemparnya begitu saja ke atas dashboard mobil.
Andi sempat tertegun melihat kelakuan teman lamanya itu.

Setelah tiba di tempat tujuan, sebelum turun dari mobil, Putra mengambil kertas dari Andi. Tiba-tiba, ia
menyadari SIM-nya terselip di situ. Dan kertas yang dikiranya surat tilang ternyata adalah secarik surat
untuknya.

Sambil terheran-heran, ia segera membaca isi surat Andi.


“Putra, mungkin kamu masih jengkel ya.  Aku mau berbagi cerita.  Dulu, aku punya seorang anak
perempuan. Sayangnya, dia meninggal, tertabrak seorang pengemudi yang ngebut menerobos lampu
merah. Orang itu dipenjara selama beberapa bulan dan setelah masa tahanannya berakhir, ia bisa
bertemu dan memeluk anak-anaknya lagi. Sedangkan, anakku satu-satunya sudah tiada. Mungkin kamu
berpikir pelanggaran lalu lintas sebagai hal remeh. Namun bagiku, pelanggaran semacam ini adalah hal
besar yang mempengaruhi seluruh kehidupanku. Aku harap kamu berhati-hati dalam berkendara.
Semoga selamat sampai di tujuan. Salam, Andi.”

Putera terhenyak. Matanya berkaca-kaca, ada rasa sedih dan sesal di situ. Ia berjanji dalam hati akan
meminta maaf kepada Andi dan sejak saat itu akan berhati-hati dalam berkendara.

Sahabat Pustaka Seni yang Bijaksana,

Sering kali ketidak hati-hatian kita dalam bersikap bisa menyebabkan celaka bagi orang lain. Saat itu
terjadi, yang tersisa hanyalah kesedihan dan penyesalan. Mari tingkatkan kewaspadaan kita dan lebih
berhati-hati dalam bersikap, untuk menghargai kehidupan kita sendiri dan orang lain.Salam
Apel Merah Untuk Uni
Cerpen Persahabatan - Uni keluar dari kelasnya ketika bel istirahat berbunyi. Aku masih duduk di
bangkuku, menunggu Pak Ahmad keluar kelas. Setelah Pak Ahmad keluar kelas, aku mengikuti Uni
keluar kelas. Kulihat dia memandangi pohon apel yang belum kunjung berbuah. Aku menghampiri Uni
yang berdiri di dekat pohon apel.

Aku duduk di sebuah kursi panjang di belakang Uni. Tiba-tiba saja sesuatu pertanyaan terbesit di hatiku.
Apakah Uni menginginkan apel? Begitulah pertanyaanku. Ingin kutanyakan itu kepadanya, tapi entah
mengapa begitu sulit untuk mengucapkannya.

Karena bingung, aku memainkan jari jariku. Aku membuat nada dengan jari-jari yang memukul dengan
lembut alas kursi. Uni berbalik. Ia tampaknya mendengar nada buatanku yang sangat kecil suaranya.

“Eh, Ika! Sudah lama, ya, di sini?” tanya Uni.

“Enggak, kok. Aku baru saja di sini,” jawabku. “Kamu ngapain, sih, selalu ke sini?” aku balik bertanya.

“Ka, kamu tahu, kan, kalau aku baru sekali makan apel! Aku ingin makan apel lagi, apalagi apel merah.
Hmmm, pasti enak dimakan panas-panas begini,” jelas Uni.

Aku mendongak ke atas. Hari ini memang panas. Banyak murid yang membeli es hanya untuk
menyegarkan tenggorokan. Padahal, ada air galon yang lebih sehat. Aku kembali memperhatikan Uni
yang terus-terusan memandangi pohon apel.

“Memangnya itu pohon apel merah?” tanyaku kurang yakin.

“Iya! Waktu aku masih TK, aku ke sini sambil makan apel merah. Bijinya aku buang di sini, persis!” Uni
meyakinkan.

Aku berdiri lalu meninggalkan Uni yang masih asyik dengan pohon apel merahnya. Aku berjalan ke
kelas, mengambil gelas plastik dari dalam laci mejaku. Aku isi gelas itu dengan air galon yang sangat
menyegarkan.

Glek … glek … glek …Air galon itu sangat segar. Aku sampai terheran-heran, mengapa teman-teman
tidak mau meminumnya. Tiba-tiba, aku teringat kembali akan keinginan Uni untuk memakan apel
merah. Bersamaan dengan itu, aku mempunyai ide untuk memberikan kejutan kepada Uni.

Keesokan harinya, aku datang lebih pagi dengan apel-apel merah yang cukup banyak. Setelah
meletakkan tas di kelas yang masih sepi, aku mengambil plastik putih yang berisi beberapa apel dan tali
rafia. Aku berlari menuju pohon apel merah Uni yang dekat dengan kelas.

Aku berdiri di dekat pohon apel merah Uni. Aku mencari tangga agar aku bisa mengaitkan apel-apel
merah ke ranting-ranting pohon apel merah Uni. Setelah cukup lama mencari, aku akhirnya
menemukan tangga lalu segera mendirikannya di dekat pohon apel merah Uni yang cukup besar.

Satu per satu apel telah aku kaitkan di ranting pohon apel Uni. Uni pasti akan terkejut ketika
melihatnya. Ia akan bersorak gembira. Ia juga akan tertawa terbahak-bahak karena apelnya
bertangkaikan tali rafia.

Setelah melewati pelajaran yang cukup panjang, bel istirahat berbunyi. Seperti biasa, Uni keluar kelas
lebih dulu untuk melihat pohon apel merahnya. Aku meengikuti Uni dari belakang dengan langkah
perlahan, agar ia tidak tahu.
Sesampainya di tujuan, aku duduk di kursi penjang. Aku memainkan jari-jariku lagi. Kali ini, Uni tidak
mendengarnya. Tiba-tiba, aku mendengar jeritan dari balik pohon apel. Aku berdiri lalu menghampiri
sumber suara tersebut.

“Ika, lihat! Pohon apelnya sudah berbuah! Asyik …, aku akan makan apel merah!” seru Uni.

Aku mengangguk, ikut senang. Uni berlari ke halaman belakang lalu kembali dengan sebuah tangga. Ia
segera mendirikan tangga itu ke dekat pohon apel. Uni mulai menaikinya dan mengambil satu per stau
apel yang ada di ranting pohon.

Uni turun dari tangga. Tampak beberapa apel di tangannya. Tapi, setelah itu ia tampak terheran-heran
karena ada tali rafia di tangkai apelnya. Uni pun berniat mengambil apel lagi untuk memcocokkan. Ia
naik lagi untuk mengambil apel lebih banyak lagi. Ketika turun, ia mendapati hal yang serupa.

“Kok, pakai tali rafia? Wah, pasti ini apel ajaib,” kata Uni.

“Ngawur! Itu pasti ada orang yang mengaitkannya!” serbuku.

“Masa? Hahahaha … keren juga idenya! Makasih untuk yang sudah mengaitkan apel ini untukku!” seru
Uni dengan tawanya yang khas.

Aku senang, bisa memberi Uni apel merah yang sangat ia impikan. Semoga saja ia senang dengan apa
yang telah ia dapat, apel merah. Di kelas, Uni membagi-bagikan apel merah kepada teman-teman yang
ada di kelas. Semua murid di kelasku makan apel merah bersama-sama. Dan …, yang habis paling
banyak adalah Uni! ( Cerpen Azka Syamila )
Di Antara Bimbang dan Ragu

Sungguh indah, pantai Nias ini. Dengan hamparan pasir putih nan indah, hijaunya nyiur di
pantai, tiupan angin yang mendayu-dayu pakaian yang kukenakan, lanscape sunset yang
mengingatkanku akan kenangan masa lalu aku bersama suamiku, semuanya lengkap
tertata di depan mataku kali ini. Ya, aku seorang diri di sini, berharap berlari menjauh dari
semua masalah yang kini sedang menghantui diriku. Padahal aku tahu, suamiku masih
berharap aku kembali dalam dekapan hangatnya.

Meski aku berusaha melupakan sejenak permasalahan ini, tetap saja permasalahanku
begitu angkuh hadir dalam bayang-bayang ingatan ini. Indahnya pantai Nias tak juga bisa
merubah akan kegundahan hatiku. Air mata ini meleleh jatuh satu demi satu tak terelakkan
lagi, saat ku teringat apa yang sedang terjadi antara aku dan Alexa, suamiku. Haruskah
kuhapus kenangan manis itu ? Sebuah pertanyaan yang tak pernah bisa aku jawab sampai
kini.

Jika dirunut ulang, kisah awal cinta kami berdua begitu indah dan kuat. Ia teramat setia
bagiku. Penantiannya begitu kuat, saat dia menikahiku setelah aku menyelesaikan kuliah
S1-ku di perguruan tinggi Negeri terkemuka di Jogja. Padahal, baginya begitu mudah
mencari gadis lain pengganti diriku, mengingat Alexa memiliki postur tubuh ideal dan
ketampanan yang tak diragukan lagi. Apalagi, dia sudah menjadi seorang yang mapan,
dengan bekerja di sebuah perusahaan bonafit dengan jabatan yang karriernya sedang
beranjak naik. Ah, Wanita mana yang tak melirik dirinya !

Antara Jakarta dan Jogja, meski jarak memisahkan aku dengannya, cinta kami berakhir
pada sebuah pernikahan yang indah. Jalinan kasih yang begitu teramat kuat selalu
menyertai kehidupan kami setelahnya. Tahun-tahun pertama dan kedua pernikahan kami
nampak begitu bahagia. Aku dan Alexa begitu mabuk dalam keindahan kasih yang begitu
dalam.

Namun di tahun ketiga mulailah aral yang tiada pernah aku kira sebelumnya. Kami belum
dikaruniai seorang anak. Mungkin Tuhan belum mempercayakan kami, mungkin perjuangan
kami belum cukup selama ini. Kegundahan ini membuatku gelisah, sekecil apapun bisa
menjadi pertengkaran-pertengkaran yang sulit dihindari. Aku menjadi seorang yang sangat
sensitif. Bagaimana mungkin buah cinta hadir jika kami saling bertengkar ?

Tapi, Alexa begitu tegar. Di setaip marahku, ia selalu menjadi pahlawan bagiku. Di pagi
hari, kala aku membuka mata, semuanya telah terhidang manis di meja makan. Dari Nasi,
lauk pauk dan minuman hangat semuanya sudah siap untuk disantap untuk kita berdua.
Seisi rumah juga sudah rapi dan bersih. Alexa sudah mengepel lantai dengan keharuman
karbol yang kami suka. Tapi, lagi-lagi aku begitu angkuh padanya, hingga wajahku masih
berkerut tanpa senyuman sedikitpun. Aku masih marah ! Rupanya Alexa begitu sabar
padaku. Ia sama sekali tak menyerang balik kekonyolanku. "Hayuk kita makan, sayang !"
Akhirnya aku luluh juga akan panggilan sayangnya untukku.

Di suatu malam saat kami terbaring di kamar pembaringan kami, kuberanikan diri meminta
Alexa, "Gimana kalau kita angkat seorang anak yang kita ambil dari panti asuhan ?" Alexa
seperti kebingungan, tampak sekali jika raut wajahnya tak menyetujui aku. Ia hanya
menggeleng-gelengkan kepala tanpa ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Kami
saling membisu diantara pecahnya malam yang senyap. Kembali aku dalam hati yang
penuh dengan ketidak pastian.

Keesokan harinya aku semakin galau. Amarahku semakin membuncah, namun tak pernah
mampu kulepaskan. Dada ini terasa sesak sekali. Lagi-lagi Alexa bersikap manis padaku.
Akhirnya semua kuakhiri. Aku pergi meninggalkan Alexa seorang diri. Karena Alexa
kuanggap tidak mau menuruti kemauanku. Mungkin aku terlalu egois, tak mau bersabar
bersama Alexa. Alexa begitu sayang padaku, perhatiannya, kesetiaannya sangat jauh
dibanding diriku. Teganya aku jika meninggalkannya seorang diri. Namun Egoku nyatanya
lebih tinggi. Aku lebih condong mengikuti kemauan burukku. Mungkin dengan aku pergi,
kita akan mampu sama-sama saling introspeksi diri. 
Rahma, Istriku

Seketika istriku jatuh tergeletak di teras ruang tamu dalam sebuah pukulan dari
tanganku. Namun setelahnya istriku sama sekali tak bergerak. Aku mencoba menyentuh
wajahnya. Ia hanya diam membisu. Kucoba menepuk-nepuk pipinya, namun istriku sama
sekali tak menjawab apapun. Tampak darah mengalir di dahinya. Serta merta kugendong
tubuhnya yang ringan menuju ke mobil.
"Bi, tolong di rumah saja ya, saya mau bawa ibu ke rumah sakit", aku hanya bicara
seperlunya saja. Wajah bibi, pembantu rumahku tampak gusar, seolah ia mengetahui apa
yang telah terjadi saat itu. Wajar jika ia tak berani berbuat apa-apa saat kami sedang ribut.
Di rumah sakit, istriku langsung ditempatkan di UGD. Aku hanya bisa menunggu di luar
ruangan. Saat-saat penantian ini membuatku tersiksa. Pikiranku melayang - layang ke sana
kemari tak beraturan. Antara cemas dan takut menghantui adrenalinku. Cemas akan
bagaimana nasib istriku kelak. Takut jika seandainya istriku tak tertolong, aku yang
bersalah ! 
Kali ini aku menangis. Air mata ini nampaknya sangat sulit kubendung. Kenapa aku begitu
tega terhadap istriku ? Aku tau, jika istriku sabar menghadapi aku yang sangat-sangat
egois terhadapnya selama ini. Aku marah karena istriku memanggil aku dengan sebutan
"KAMU". Padahal jauh di balik itu rupanya istriku telah memendam rasa kecewa
terhadapku. Aku pernah menyamakan dirinya sebagai pelacur, karena di rumah ia
mengenakan pakaian yang seksi. Sedang aku tak menyukainya karena kakak perempuanku
sedang menginap di rumah kami. Aku sadar seharusnya aku tak menyebutnya atau
menyamakan dirinya seperti itu. Tapi aku kelepasan bicara. Tapi mengapa ego ini
menyelimuti aku, hingga tak ada kata maaf sedikitpun untuknya.
Aku juga sering melontarkan kata-kata yang seharusnya sangat tak layak untuknya. Aku
sering menyebutnya sebagai Tolol dan bodoh. Padahal berkali-kali istriku mengingatkan
aku, "Mencela seorang muslim merupakan kefasikan" dan ia juga bilang, " mengapa kata-
kata itu berani ia ucapkan untuk orang yang akan menemani hidupnya ? mengapa dengan
orang lain aku masih bisa menjaga ?" . Ah, Mengapa aku tak mau mendengar kata-
katanya. 

Tertata lagi kenagangan-kengan manis, saat aku dengannya masih menjadi sebuah
pasangan yang indah. Betapa ia menjaga anak-anakku dengan rasa kasih sayangnya meski
terkadang aku iri, sebab ia begitu sangat sayang terhadap anak-anakku. 

Tersadar, aku tengah menunggu di ruang tunggu. Kuusap beberapa kali air mata yang
tumpah begitu saja. Yaa . . . Tuhan, maafkan aku. Aku begitu menyia-yiakan dia. Aku
benar-benar menyesal Tuhan. Beri aku kesempatan untuk membalas apa yang telah
kulakukan untuk istriku selama ini. Aku janji tak akan menyia-nyiakan dirinya lagi.
Sesaat dokter keluar dari pintu UGD. "Bapak Raka ?" Aku berdiri. Namun dokter tersebut
nampak gelisah, meski berusaha untuk tenang. "Maaf, istri anda tak tertolong lagi."
Seketika itu aku berlari ke jasad istriku yang kini sudah tak bernyawa lagi. "Rahma istriku,
maafkan aku !" aku berteriak keras, seolah aku menyesal untuk seumur hidup.
DIA

Dia adalah Seseorang yang sangat aku sayangi dan aku cintai, seseorang yang selalu memendam
permasalahan sendiri, selalu tampak tegar ditengah kerapuhannya. Selalu tersenyum ditengah
kemarahannya, hal itu yang membuat aku sayang padanya, tetapi dia juga yang membuat aku terhanyut
dalam kesedihan ini.

Dia bernama Andri, aku bertemu dengannya di sebuah acara kemahasiswaan, dia anak yang baik
dan humoris, makanya gak heran dalam waktu singkat kami bisa berteman akrab, teman-temanku
mengira kami pacaran dan mereka sangat mendukung. Aku hanya tersenyum geli melihat teman-teman
ku menjahili dia, terfikir olehku apa benar yang mereka katakan. Tapi aku menepisnya, aku gak mau
memikirkan hal itu, karena aku pernah bertekad untuk tidak pacaran sampai aku selesai kuliah dan aku
berusaha menjaga itu.

Waktu terus berlalu, aku juga tak mengerti kapan rasa itu datang dan hinggap di hati ini, berawal
saat kami bermain ke rumah Hilman, saat itu hilman mengajak ku keluar untuk membeli makanan, kami
bercerita banyak hal sampai hilman menyinggung tentang Andri dan pacarnya, aku terperanjat sejenak,
tapi cepat-cepat kusembunyikan rasa itu, aku kembali bercerita seolah-olah aku tau kalau dia sudah
memiliki pacar, baru aku tersadar hatiku sakit mandengarkan cerita dari hilman.

Sepulang dari rumah hilman, aku lebih banyak diam begitu juga dengannya, dia marah karena
aku terlalu lama pergi bersama hilman, tapi bukan itu yang ku pikirkan, aku memikirkan diriku, ada apa
denganku, aku hanya temannya, mengapa aku cemburu dan sakit hati kalau dia memiliki pacar, mengapa
tidak terpikirkan olehku kalau orang semanis dia pasti ada yang memiliki, dasar bego!. Aku tersenyum
sendiri dikamar, mencoba untuk ceria, menganggap hal ini biasa dan pasti bisa ku atasi, aku bertekad
pada diriku untuk menjadi teman yang baik, selalu ada disisinya saat suka dan duka. Semangat teriakku
pagi itu.

Namun perasaan itu muncul kembali saat kami pergi makan di suatu café, disana dia
mencurahkan semua isi hati yang selama ini di pendamnya, aku terkejut melihatnya menangis layaknya
seorang anak kecil di hadapanku, belum pernah aku melihat dia seperti itu, tarnyata dibalik keceriaannya
selama ini tersimpan luka yang sangat dalam, aku terharu ketika dia mengatakan percaya padaku, aku
sangat sayang padanya tapi aku tak mungkin memilikinya.

Setelah kejadian itu dia lebih terbuka padaku tentang pacarnya yang selama ini dia tutupi, aku
semakin mengerti bagaimana dirinya, makin memahami apa yang diinginkannya, harapku suatu hari dia
memiliki seseorang yang benar-benar mengerti dirinya dan sayang padanya, walau hati ini hancur setiap
kali mendengarkan dia bercerita tentang pacarnya. Akan tetapi yang tak ku mengerti, kerap kali dia
mengatakan satu hal yang membangkitkan kembali perasaan ku, bahwa dia tak ingin melepaskanku
karena aku telah menjadi sebagain dari dirinya, aku bingung, tapi aku juga gak punya nyali untuk
bertanya kepadanya bagaimana perasaan dia terhadapku.
Sampai pada puncaknya aku tak kuat membendung perasaanku sendiri, aku mengatakan padanya
kalau aku sayang padanya dan aku tau perasaan ini gak boleh terbina, aku hanya sekedar mengeluarkan
uneg-uneg yang ada dalam hatiku, terserah dia menganggap apa yang penting hatiku lega, aku tidak akan
membahas masalah ini lagi, karena aku berjanji akan selalu menjadi teman dan sahabat yang baik
buatnya

Namun rasa sayang dan cinta sudah bersemi dalam hatiku, tak mudah untuk menepisnya, walau
aku sudah berusaha, ternyata benar kata pepatah cinta itu datang tiba-tiba walau kita tidak
menginginkannya, tapi setelah kita tau mengapa terasa sakit jadinya. Entah mengapa, setelah kejadian itu
dia makin perhatian padaku, aku gak pernah tau apa maksudnya karena dia tak pernah mengatakannya
padaku, yang aku tau dia memberikan perhatian lebih dari biasanya, seakan-akan menjawab semua
pertanyaan tanpa harus diungkapkan, aku gak peduli aku hanya ingin menjalani apa yang aku jalani
sekarang, tidak mau berfikir yang muluk-muluk tentang masa depan, apa yang terjadi antara aku dan dia
biarlah berjalan seperti sekarang ini, tanpa kata-kata tapi saling mengerti dan memahami maksud satu
dengan yang lain, walau entah sampai kapan hal ini akan berlanjut, akupun tak tau. Tapi biarlah kisah ini
berjalan seiring dengan waktu yang kami pun tak pernah tau akhir dari semua ini, tapi aku tetap berharap
semoga…….
Gunung dan Cinta

Gunung dan Cinta

Ada sebuah kisah tentang seorang bocah sedang mendaki gunung bersama ayahnya.

Tiba-tiba si bocah tersandung akar pohon dan jatuh. “Aduhh!” jeritannya memecah keheningan
suasana pegunungan. Si bocah amat terkejut, ketika ia mendengar suara di kejauhan menirukan
teriakannya persis sama, “Aduhh!”.

Dasar anak-anak, ia berteriak lagi, “Hei! Siapa kau?”


Jawaban yang terdengar, “Hei! Siapa kau?”

Lantaran kesal mengetahui suaranya selalu ditirukan, si anak berseru, “Pengecut kamu!” Lagi-
lagi ia terkejut ketika suara dari sana membalasnya dengan umpatan serupa.

Ia bertanya kepada sang ayah, “Apa yang terjadi?”

Dengan penuh kearifan sang ayah tersenyum, “Anakku, coba perhatikan.”

Kemudian Lelaki itu berkata keras, “Saya kagum padamu!”

Suara di kejauhan menjawab, Saya kagum padamu!”

Sekali lagi sang ayah berteriak “Kamu sang juara!”

Suara itu menjawab, “Kamu sang juara!”

Sang bocah sangat keheranan, meski demikian ia tetap belum mengerti. Lalu sang ayah
menjelaskan, “Suara itu adalah gema, tapi sesungguhnya itulah kehidupan.” Kehidupan memberi
umpan balik atas semua ucapan dan tindakanmu.

Dengan kata lain, kehidupan kita adalah sebuah pantulan atau bayangan atas tindakan kita. Bila
kamu ingin mendapatkan lebih banyak cinta di dunia ini, ya ciptakan cinta di dalam hatimu. Bila
kamu menginginkan tim kerjamu punya kemampuan tinggi, ya tingkatkan kemampuan itu.
Hidup akan memberikan
kembali segala sesuatu yang telah kau berikan kepadanya.

Ingat, hidup bukan sebuah kebetulan tapi sebuah bayangan dirimu.


Ketika Kami Tak Cocok Lagi
Suami saya adalah seorang insinyur, saya mencintai sifatnya yang alami dan saya menyukai
perasaan yang hangat yang muncul ketika saya bersender di bahunya yang bidang. Tiga tahun
dalam masa kenalan dan bercumbu, sampai sekarang, dua tahun dalam masa pernikahan, harus
saya akui, saya mulai merasa lelah dengan semua itu.

Alasan saya mencintainya pada waktu dulu, telah berubah menjadi sesuatu yang melelahkan.
Saya seorang wanita yang sentimentil dan benar-benar sensitif serta berperasaan halus. Saya
merindukan saat-saat romantis seperti seorang anak kecil yang menginginkan permen. Dan
suami saya bertolak belakang dari saya, rasa sensitifnya kurang, dan ketidakmampuannya untuk
menciptakan suasana yang romantis di dalam pernikahan kami telah mematahkan harapan saya
tentang cinta.

Suatu hari, akhirnya saya memutuskan untuk mengatakan keputusan saya kepadanya. Saya
menginginkan perceraian.

“Mengapa?” dia bertanya dengan terkejut.

“Saya lelah. Terlalu banyak alasan yang ada di dunia ini,” jawab saya.

Dia terdiam dan termenung sepanjang malam dengan rokok yang tidak putus-putusnya.
Kekecewaan saya semakin bertambah. Seorang pria yang bahkan tidak dapat mengekspresikan
perasaannya, apalagi yang saya bisa harapkan darinya? Dan akhirnya dia bertanya, “Apa yang
dapat saya lakukan untuk mengubah pikiranmu?”

Seseorang berkata, mengubah kepribadian orang lain sangatlah sulit, dan itu benar. Saya pikir,
saya mulai kehilangan kepercayaan bahwa saya bisa mengubah pribadinya. Saya menatap
dalam-dalam matanya dan menjawab dengan pelan, “Saya punya pertanyaan untukmu. Jika
kamu dapat menemukan jawabannya yang ada di dalam hati saya, mungkin saya akan mengubah
pikiran. Seandainya, katakanlah saya menyukai setangkai bunga yang ada di tebing gunung, dan
kita berdua tahu, jika kamu memanjat gunung itu, kamu akan mati. Apakah kamu akan
melakukannya untuk saya?”

Dia berkata, “Saya akan memberikan jawabannya besok.”

Hati saya langsung gundah mendengar responnya. Keesokan paginya, dia tidak ada di rumah,
dan saya melihat selembar kertas dengan coret-coretan tangannya, di bawah sebuah gelas yang
berisi susu hangat, yang bertuliskan:

“Sayang, Saya tidak akan mengambil bunga itu untukmu. Tetapi izinkan saya untuk menjelaskan
alasannya.”

Kalimat pertama ini menghancurkan hati saya. Saya mencoba untuk kuat melanjutkan
membacanya kembali…
“Kamu hanya bisa mengetik di komputer dan selalu mengacaukan program di PC-nya dan
akhirnya menangis di depan monitor. Lalu saya harus memberikan jari-jari saya untuk
memperbaiki programnya.

“Kamu selalu lupa membawa kunci rumah ketika kamu keluar rumah, dan saya harus
memberikan kaki saya supaya bisa masuk mendobrak rumah, membukakan pintu untukmu.

“Kamu suka jalan-jalan ke luar kota tetapi selalu nyasar di tempat-tempat baru yang kamu
kunjungi: saya harus memberikan mata untuk mengarahkanmu.

“Kamu selalu pegal-pegal pada waktu ‘tamu’ kamu datang setiap bulannya: saya harus
memberikan tangan saya untuk memijat kakimu yang pegal.

“Kamu senang diam di dalam rumah, dan saya kuatir kamu akan jadi ‘aneh’. Lalu saya harus
memberikan mulut saya untuk menceritakan lelucon dan cerita-cerita untuk menyembuhkan
kebosananmu.

“Kamu selalu menatap komputer dan itu tidak baik untuk kesehatan matamu. Saya harus
menjaga mata saya sehingga ketika nanti kita tua, saya masih dapat menolong mengguntingkan
kukumu dan mencabuti ubanmu. Saya akan memegang tanganmu, menelusuri pantai, menikmati
sinar matahari dan pasir yang indah. Menceritakan warna-warna bunga kepadamu yang bersinar
seperti wajah cantikmu….

“Juga sayangku, saya begitu yakin ada banyak orang yang mencintaimu lebih dari cara saya
mencintaimu. Tapi saya tidak akan mengambil bunga itu lalu mati….”

Air mata saya jatuh ke atas tulisannya dan membuat tintanya menjadi kabur dan saya membaca
kembali…

“Dan sekarang sayangku, kamu telah selesai membaca jawaban saya. Jika kamu puas dengan
semua jawaban ini, tolong bukakan pintu rumah kita, saya sekarang sedang berdiri di sana
dengan susu segar dan roti kesukaanmu….”

Saya segera membuka pintu dan melihat wajahnya yang dulu sangat saya cintai. Dia begitu
penasaran sambil tangannya memegang susu dan roti. Saya tidak kuat lagi dan langsung
memeluknya dan rebah di bahunya yang bidang sambil menangis….
Cermin seekor Burung
Ketika musim kemarau baru saja mulai. Seekor burung pipit mulai merasakan tubuhnya
kepanasan, lalu mengumpat pada lingkungan yang dituduhnya tidak bersahabat. Dia lalu
memutuskan untuk meninggalkan tempat yang sejak dahulu menjadi habitatnya, terbang jauh ke
utara, mencari udara yang selalu dingin dan sejuk.

Benar, pelan pelan dia merasakan kesejukan udara, makin ke utara makin sejuk, dia semakin
bersemangat memacu terbangnya lebih ke utara lagi.

Terbawa oleh nafsu, dia tak merasakan sayapnya yang mulai tertempel salju, makin lama makin
tebal, dan akhirnya dia jatuh ke tanah karena tubuhnya terbungkus salju.

Sampai ke tanah, salju yang menempel di sayapnya justru bertambah tebal. Si burung pipit tak
mampu berbuat apa apa, menyangka bahwa riwayatnya telah tamat.

Dia merintih menyesali nasibnya. Mendengar suara rintihan, seekor kerbau yang kebetulan lewat
menghampirinya. Namun si burung kecewa mengapa yang datang hanya seekor kerbau. Dia
menghardik si kerbau agar menjauh dan mengatakan bahwa makhluk yang tolol tak mungkin
mampu berbuat sesuatu untuk menolongnya.

Si kerbau tidak banyak bicara, dia hanya berdiri, kemudian kencing tepat di atas burung tersebut.
Si burung pipit semakin marah dan memaki maki si kerbau. Lagi-lagi si kerbau tidak bicara, dia
maju satu langkah lagi, dan mengeluarkan kotoran ke atas tubuh si burung. Seketika itu si
burung tidak dapat bicara karena tertimbun kotoran kerbau. Si Burung mengira lagi bahwa mati
tak bisa bernapas.

Namun perlahan lahan, dia merasakan kehangatan, salju yang membeku pada bulunya pelan-
pelan meleleh oleh hangatnya tahi kerbau, dia dapat bernapas lega dan melihat kembali langit
yang cerah. Si burung pipit berteriak kegirangan, bernyanyi keras sepuas puasnya.

Mendengar ada suara burung bernyanyi, seekor anak kucing menghampiri sumber suara,
mengulurkan tangannya, mengais tubuh si burung dan kemudian menimang nimang, menjilati,
mengelus dan membersihkan sisa-sisa salju yang masih menempel pada bulu si burung. Begitu
bulunya bersih, si burung bernyanyi dan menari kegirangan, dia mengira telah mendapatkan
teman yang ramah dan baik hati.

Namun apa yang terjadi kemudian, seketika itu juga dunia terasa gelap gulita bagi si burung, dan
tamatlah riwayat si burung pipit ditelan oleh si kucing.

Hmm… tak sulit untuk menarik garis terang dari kisah ini, sesuatu yang acap terjadi dalam
kehidupan kita: halaman tetangga tampak selalu lebih hijau; penampilan acap menjadi ukuran;
yang buruk acap dianggap bencana dan tak melihat hikmah yang bermain di sebaliknya; dan
merasa bangga dengan nikmat yang sekejap. Burung pipit itu adalah cermin yang memantulkan
wajah kita
Mimpi yang Menjadi Kenyataan

Suatu pagi yang cerah, seorang anak bernama Andrew memasuki sekolahnya, SMAN
22 Bandar Lampung. Andrew adalah seorang anak yang memiliki mimpi untuk menjadi
seorang musisi yang terkenal. Tetapi tak seorang pun yang mempercayai mimpinya itu. Dia
berjalan dengan sangat santai menuju kelasnya, XI IPS 1. Namun, langkahnya mendadak
terhenti saat dia melihat papan pengumuman, dimana ada pengumuman bahwa ada lomba
band antar kelas XI SMAN 2 pada hari Sabtu, dan seluruh siswa-siswi kelas XI, wajib untuk
mengikuti lomba dengan membentuk band yang beranggotakan 5 orang, dan wajib
mengumpulkan data tentang band mereka paling lambat hari Jum’at. Setelah membaca
pengumuman itu, segera saja Andrew berkeliling mencari anggota band. Namun sayang,
anak-anak yang diajak Andrew, rata-rata sudah punya band sendiri, Teman – teman sekelas
Andrew membentuk band tanpa mengajak Andrew.
Tak terasa waktu berlalu, jam istirahat pun tiba. Andrew duduk di bangku taman dan
termenung. Michael, anak XI IPS 2 yang melihat Andrew sedang termenung, berniat
mengusili Andrew.
Michael dan Andrew mencari anggota dengan berkeliling sekolah. Namun sayangnya,
mencari anggota band tidak semudah yang dikira Michael dan Andrew, karena mereka sama
sekali tidak menemukan anggota band sampai bel pulang berbunyi. Michael dan Andrew pun
pulang dengan tangan hampa.
Dua hari berlalu, Michael dan Andrew masih belum menemukan anggota band.
Mereka jadi pusing dan hampir putus asa. Namun , mereka tidak mau menyerah begitu saja.
Setelah berjuang cukup keras, perlahan mereka menemukan anggota. Dimulai dari Thomas,
siswa XI IPS 3, yang bergabung menjadi bassist, lalu disusul dengan bergabungnya George,
siswa kelas XI IPA 1, sebagai keyboardist. Lalu, Richard, anak kelas XI IPA 2, juga
bergabung sebagai drummer.
Akhirnya band mereka pun lengkap, lalu mereka berlima mendiskusikan nama untuk
band mereka. Sempat terjadi perdebatan, sampai tiba-tiba Andrew mengusulkan nama Project
Revolution Band, yang bermakna bahwa band itu adalah proyek mereka untuk merevolusi
dunia musik. Michael, Thomas, George, dan Richard pun menyetujui usul Andrew . Jadilah,
band Project Revolution mendaftar dan akhirnya Project Revolution pun mengikuti lomba.
Project Revolution tampil dengan sempurna Hingga Akhirnya band mereka pun berhasil
menjuarai lomba band tersebut. Andrew merasa senang bahwa dia bisa membuktikan kepada
teman sekelasnya akan kemampuan bermusiknya.
Setelah lomba berakhir, kelima anggota Project Revolution berjanji untuk selalu
kompak sampai kapanpun. Sesuai dengan janji mereka, kelima anggota band Project
Revolution pun kompak menjaga persahabatan diantara mereka .
Kini kakiku sudah mempunyai tujuan, melangkah menuju sekolah hijau yang berada di
Puncak Bukit. Sekarang langkah kakiku sangat ringan karena aku dapat melihat senyuman
anak-anak yang memiliki impian yang besar. Senyuman yang mengobati semua rasa sakit
yang kurasakan.

Aku masih ingat, semua penolakkan yang diberikan oleh orangtua yang kurang mengerti
pentingnya pendidikan dan indahnya menghargai perbedaan. Aku seorang Wanita, yang
awalnya tidak dikenal siapapun memiliki nama ‘Andini’. Saat itu, aku sedang mengerjakan
skripsi. Aku duduk di bawah pohon rindang yang berada di Puncak Bukit. Tiba-tiba saja,
Seorang anak mendekatiku, aku mengira dia ingin melihat apa yang sedang aku tulis.
Ternyata aku salah, ia hanya ingin bertanya, mengapa aku mengenakan hijab yang sangat
panjang.
Akupun menjawab “Seorang Wanita harus menjaga auratnya agar hidupnya merasa tenang”.
Mendengar jawabanku, iapun merasa kebingungan dan pergi meninggalkanku.

Karena penasaran dengan anak itu, aku pun mengikutinya sampai ke rumahnya. Aku
melihatnya bekerja membantu orangtuanya, yang mana hal itu tidak pantas untuk anak seusia
dia yang masih muda. Aku mendekatinya dan bertanya “Apakah kamu tidak sekolah, Dek?”
sambil mengusap kepalanya.
“Aku ingin sekolah, tetapi aku tidak tahu akan sekolah di mana. Orangtuaku tidak pernah
menyuruhku untuk sekolah” jawab anak itu.
“Apa kakak boleh tahu siapa namamu?” tanyaku kembali.
“Namaku Sisi” jawabnya.

Aku pun memberanikan diri untuk berbicara dengan orangtuanya. “Permisi… Bu, kenapa
Sisi tidak sekolah?, dia itu masih muda” tanyaku kepada Ibunya Sisi.
“Untuk apa Sisi sekolah?, lebih baik Sisi membantu orangtuanya di rumah” jawab Ibunya
Sisi dengan tegas. Aku terus menasehati ibunya Sisi agar mau menyekolahkan anaknya,
namun beliau tetap menolaknya.

Aku pun mengajak teman-teman Sisi agar mau ikut belajar dengan Sisi di Puncak Bukit. Aku
bangga dengan anak-anak disini. Walaupun orangtua mereka tidak setuju, mereka tetap pergi
ke Puncak Bukit untuk belajar.
Lalu, suatu hari salah satu orangtua murid dari murid yang kudidik, tidak sengaja melewati
tempat kami belajar. Berawal dari satu orangtua hingga akhirnya seluruh orangtua yang ada
di desa berkumpul dan membangun sekolah hijau untuk anak-anak.

Waktupun berlalu, aku masih mengajar di tempat ini karena aku telah terpaku oleh senyuman
mereka. Tiba-tiba Sisi menghampiriku “Kak Andini… Aku ingin menjadi seperti kakak,
seorang Muslimah yang kuat dan dapat membimbing kami semua menjadi seorang anak yang
hebat” ujarnya.
Akupun menjawab “Jangan pernah menjadi orang lain, jadilah dirimu sendiri dan
percayalah… Allah merencanakan yang terbaik untuk hambanya”. Kami pun berdua
tersenyum dan kembali melanjutkan pelajaran.
My Hero
Cerpen Karangan: Mei Purple
Kategori: Cerpen Fantasi (Fiksi), Cerpen Islami (Religi)
Lolos moderasi pada: 12 July 2018

“La, pake jilbabmu kalau ingin keluar, sayang.” Ucapan Ibu yang samar terdengar dari dalam
rumah.
“Nanti aja, Bu. Kapan-kapan.” Melanjutkan langkahku menuju mobil xenia berwarna silver.
Menyalakan mesin, dan melaju dengan sempurna.

Pagi yang cerah ini, menjadi pagi yang muram ketika Ibu sudah menyuruh lagi, dan lagi
untuk berjilbab. Aku ini sudah besar tentu saja akan menentukan jalan mana yang akan aku
pilih. Ibu selalu saja mengaturku seperti anak kecil.

Kampus terlihat masih lengang, hanya terlihat satu atau dua mahasiswa yang lalu lalang.
Lorong demi lorong terlewati menuju ruanganku yang berada di sudut gedung ini.

Tiba-tiba, langkahku terhenti. Hatiku seakan tercabik-cabik, lidahku kelu, melihat Renia
-sahabatku mengenakan jilbab. Aku menatap tajamnya tidak percaya.

“La, ini buat lo. Pake yak, untuk tutup aurat. Sebelum kain kafan yang menutupnya.” Jilbab
berwarna magenta diberikan, dengan manut aku menerimanya tanpa sempat bertanya Renia
pergi ke dalam ruangan.

Entah, perasaan apa ini. Hanya sepatah kata yang ungkapkan Renia tadi membuatku tidak
dapat menolaknya. Bahkan, Ibu yang setiap saat mengeluarkan celotehannya agar aku
menutup aurat selalu saja tak kuacuhkan.

Langkah kaki ini berputar menuju toilet. Aku mulai memakai jilbab untuk menutupi helaian
rambut yang begitu indah. Aku terpana menatap cermin, perasaan apa ini? Mengapa terasa
begitu nyaman aku mengenakannya?
Setelah, terasa nyaman aku mengenakannya. Aku berjalan, dengan pikiran yang melayang.
Seperti masih tak menyangka bahwa semudah ini aku melakukannya. Dan perasaan nyaman,
tenang menyelimuti jiwa. ‘Kalau saja rasanya senyaman ini, mungkin dari dulu aku akan
memakainya.’ batinku.

Ibu selalu, dan tidak pernah lelah memberitahukan ayat ayat-Nya seorang gadis yang
seumuranku sudah menjadi kewajiban menutup aurat. Selangkah aku keluar pintu tanpa
mengenakan jilbab, sama saja selangkah membuat Ayah menuju Neraka. Sewaktu Ibu
berceramah seperti itu, hanya bagaikan angin yang lewat sekejap. Setiap Ibu memberitahu itu
selalu kudengarkan, karena tidak ingin membuat hati Ibu malah terluka hanya karena sikap
yang masih belum cocok mengenakan jilbab.

Tanpa kusadari, aku melangkahkan kaki ini ke Jalan Raya. Dan mobil sedan berwarna hitam
melaju cepat ke arahku. Brakk. Kemudian gelap.

Aku terbangun terasa pegal mengerubungi tubuh ini. Di dalam ruangan yang berdinding
serba putih. Bau obat-obatan yang menyelusup ke hidung membuatku tidak sanggup berlama-
lama di ruangan ini dan bergegas keluar. Aku tidak tahu pasti di mana sekarang. yang pasti
harus secepatnya mencari pintu keluar dari ruangan yang menyesakkan ini.

Mataku menatap liar, malam terlihat sudah pekat. Namun, ada beberapa temanku yang masih
menetap. Meraka terduduk di sebuah deretan bangku besi, hening, dan telapak tangan Renia
menutupi wajahnya. ‘Mungkin Renia tengah kelelahan, biarkanlah.’ batinku. Aku
memutuskan untuk kembali ke Rumah, walau pun sebenarnya tidak tahu arah pulang.
Langkah demi langkah. Perasaan aneh menelusup ke hati.

“Hai, Za.” Sapaku terhadap Reza -teman sekelasku, yang tengah berpangkuan dagunya
dengan kedua tangannya. Tetapi, ia hening tanpa menoleh sedikit pun ke arahku. Aku
ayunkan telapak tangan ini ke kanan dan kiri, nihil. Ia tetap fokus pada pikirannya sendiri.
‘Sudahlah, Mungkin dia tidak mengenaliku, karena tengah mengenakan jilbab’ batinku.

Aku berusaha menghilangkan rasa yang mengganjal hati ini.

Ketika hendak melanjutkan langkahku, terhenti. Melihat Ibu yang berlari dengan tergopoh-
gopoh dan rasa panik dan kesedihan mendalam yang tergambarkan dari raut wajahnya. ‘Ada
apa?’

“Ibu, ini Della.” Hening, Ibu melaju masuk ke dalam ruangan, menggubrisku.

Aku berbalik, mengikuti Ibu.


Temanku yang terduduk di bangku besi, semua serentak bangkit mengekor di belakang Ibu.
‘Ada apa ini?’

Perasaan buruk, aneh menikam hatiku. aku terhenti di depan pintu ruangan terdengar isak
tangis semua orang terutama Ibu yang amat sangat kukenal.

Aku mulai memasuki ruangan, dan mendekati Ibu yang tengah membuka selimut seseorang
yang terselimuti oleh kain putih sekujur tubuhnya. Terbuka, wajahnya mulai terlihat.
Seseorang yang terbaring di kasur adalah aku. ‘Bagaimana mungkin? Ini tidak mungkin’
lirihku menahan tangis, menoleh ke arah Ibu yang terisak.
“Ibu, ini aku. Aku baik-baik saja, Bu.” Nihil, Ibu tidak menoleh ke arahku sedikit pun.

Ibu berusaha menghentikan tangisannya, “Alhamdulillah, sayang. Kamu mengakhiri


hidupmu dalam keadaan menutup aurat. Ibu bangga padamu, Nak.” Ucapan Ibu dengan
terbata-bata kemudian menutupi mulut dengan telapaknya menahan isak tangisnya.

Aku limbung. Tidak kuat lagi kaki ini berperan, “Maafkan aku, Ibu. Maafkan aku…” Aku
menangis sesenggukan, merasakan sebuah yang menyesakkan. Kalut. Tiba-tiba tanganku
seperti ada seseorang yang menarik. Aku meronta-ronta, namun tidak menghasilkan apa pun.
Orang yang menarikku begitu kuat. Hingga akhirnya menjauh dari keramaian orang di
ruangan, suaranya tangisan itu mengecil.

“Lepaskan aku… Kumohon lepaskan aku….” Seorang yang menarikku tak mengacuhkanku.
Ia begitu kuat dan cepat. Sehingga tidak ada yang dapat kulihat kecuali bayangan hitam.
Tahun

Mungkin seperti itulah aku rasa malu yang seharusnya dimiliki setiap wanita tak kumiliki,
aku melupakan rasa malu bahkan untuk melindungi diri. Kukira aku sudah bisa membentengi
diri dari lelaki yang hanya inginkan kepuasan bukan cinta dariku.

Pertemuan ini berawal dari sosmed yang kemarin ajang siaturahmi menjadi ajang mencari
jodoh. Ya aku tertipu dengan kata manis dan janji butanya, kami berkenalan dari salah satu
aplikasi di Handphone awalnya kami bercanda, berbincang dan mencoba saling mengenal
satu sama lain. Dengan gombalan, janji dan cerita kehidupannya aku tertarik untuk
mengenalnya. Satu minggu masa berkenalan itu dia mengatakan cinta lewat Handphone dan
dengan konyolnya aku menerimanya tanpa berpikir

Belum cukup satu minggu ikatan itu terjalin dia mendatangi tempat tinggalku, dan dari
pertemuan itu rasa ingin memiliki muncul dari dalam pikiranku dia mulai menciumku,
awalnya aku kaget tapi entah mengapa keingintahuanku akan rasa itu kembali bergejolak.

Dua minggu hubungan ini, pertemuan kedua denganya membuatku ingin tahu lebih dalam
tentangnya tanpa berfikir panjang dia membawaku ke rumahnya dengan alasan akan
diperkenalkan dengan orangtuanya, tapi belum sampai di rumahnya dia kembali menciumku
di jalan gelap itu bukti dia telah melukaiku, sesampainya di sana aku kira dia akan
memperkenalkanku sebagai wanita yang dia cintai tapi dia memperkenalkanku sebagai
teman. Dia kembali merayuku dan membuat janji dengan tingginya aku jatuh dalam
pelukannya aku tak berfikir bahwa yang kulakukan saat itu adalah kesalahan yang akan
mempengaruhi masa depanku, saat semuanya sudah mulai hilang aku sadar bahwa kesalahan
itu adalah kesalahan terbesar dalam hidupku, kenikmatan itu hanya datang sesaat tapi
penyesalan itu tak pernah pergi bahkan untuk bertahun-tahun lamanya.
Pertama dan Terakhir

Namaku Susi, umurku memang baru 15 tahun. Tetapi, beban pikiranku melebihi
umurku. Tanggung jawabku sama seperti orangtuaku, semuanya demi kebahagiaanku dan
keluargaku. Hari ini adalah hari yang sangat kutunggu-tunggu, hari dimana semua orang
bekerja di tempat ini, termasuk juga aku untuk menerima gaji yang mungkin tidak besar,
tetapi harus aku syukuri. Karena masih banyak yang harus aku pikirkan.
Saat aku melangkah pulang, langkah kakiku terhenti di depan toko baju yang sangat
bagus. Bukan baju yang bagus itu yang membuatku terhenti, tetapi mukena yang tergantung
di depan toko tersebut yang membuat aku teringat pada ibuku. Aku memandangi mukena itu
sangat lama, dan harga mukena itu melekat pada kainnya. Harga yang sangat jauh untuk aku
capai, dengan gaji yang besarnya hanya sekali makan saja. Kakiku pun mulai melangkah
pergi dari depan toko baju itu.
Akhirnya aku pun sampai di rumahku, aku mengetuk pintu rumahku yang penuh
dengan lubang. Ku melangkah masuk ke rumahku yang sangat kumuh dan tidak layak untuk
ditempati lagi, ku mendengar adikku menangis sangat keras namanya Leni. Dia satu-satunya
adikku. Aku mendekatinya dan bertanya kepadanya mengapa ia menangis. Ternyata ia lapar
karena dari pagi ia belum makan. Hatiku terasa teriris mendengar jawaban adikku, aku pun
berlari keluar dan membeli beberapa telur dan setengah Kilogram beras. Aku pun
memasaknya untuk adik dan ibuku. Melihat adikku makan dengan lahap, membuatku ingin
menangis, tetapi aku menahannya karena aku harus tegar di depan adikku. Ibuku tidak bisa
bekerja karena sakit yang dideritanya.
Tak sadar, Adzan Maghrib sudah berkumandang. Aku pun pergi berwudhu dan
langsung menjalankan Shalat Maghrib. Dalam do’aku aku berharap akan datang sebuah
kebahagiaan untuk keluarga kecilku. Saat semuanya sudah tertidur, aku teringat tentang
mukena yang aku lihat tadi. Mengingat uangku sudah habis untuk membeli makanan. Aku
tidak tahu bagaimaa cara mendapatkan uang itu lagi, aku hanya bisa pasrah dengan kondisi
yang aku alami. Semoga esok ada secercah harapan yang datang dalam hidupku.
Bulan pergi meninggalkan langit yang gelap, Matahari mulai tampak di ufuk timur.
Aku sudah bangun dan bersiap-siap untuk pergi ke Sekolah. Setelah aku sampai di Sekolah,
aku langsung masuk ke Kelas. beberapa menit kemudian bel masuk pun berbunyi, tanda
pelajaran akan dimulai. Setelah beberapa jam aku belajar, bel istirahat pun berbunyi, semua
siswa berlari ke kantin. Tidak dengan diriku, aku membawa kue tidak untuk dimakan olehku,
melainkan untuk dijual.
Disaat aku melangkah pulang, aku melihat Seorang Kakek, ia terjatuh dan aku
menolongnya. Sampai di rumahnya, ternyata ia adalah orang yang sangat kaya. Tiba-tiba ia
memberikan uangnya kepadaku. Aku pun menolaknya, tetapi beliau memaksa. Akhirnya aku
pun menerima uang itu, lalu mengucapkan terima kasih dan melangkah pergi.
Aku teringat, jika aku memiliki uang yang banyak, aku akan membelikan mukena
untuk ibuku. Akhirnya aku menuju ke toko itu, namun sayang mukena itu baru saja dibeli
oleh seorang Ibu yang baru saja keluar dari toko itu. Aku mengejar ibu itu dan mencoba
membujuknya agar mau menjual mukena itu padaku. Beribu kata aku jelaskan padanya dan
akhirnya hatinya terbuka dan memberikan mukena itu padaku tanpa menerima uang yang
kumiliki. Karena kebahagiaan yang sangat meluap-luap hingga aku tidak sadar bahwa lampu
merah sudah berakhir. Sebuah mobil tidak sengaja menyenggolku hingga aku terjatuh. Aku
tidak peduli dengan lukaku, aku tetap berlari menuju rumahku.
Tanggungjawabku terhadap adikku tidak menjadi bebanku, tetapi aku berpikir hadiah
ini adalah yang pertama dan ada yang selanjutnya yang akan aku berikan kepada ibuku.
Tetapi takdir mengatakan ssebaliknya, ternyata ini adalah… Pertama dan terakhirnya.
Hikmah Ketabahan

Sasmita adalah seorang anak perempuan yang cantik. Rambutnya bergelombang dan hitam
sepinggang. Kulitnya berwarna kuning langsat. Wah, cantik sekali ya!.

Namun masalahnya, ia selalu direndahkan dan diejek oleh teman-temannya, karena Sasmita
lahir di keluarga yang sangat-sangat tidak mampu. Teman-temannya juga selalu mengejek
mimpi besar, impian dan cita-cita Sasmita. Hampir setiap hari, Sasmita mendapat masalah
dan cobaan.

Akan tetapi, Sasmita selalu berpegang erat pada pedoman hidup yang diberikan almarhumah
ibunya. Yaitu “Hadapi semua cobaan dengan tenang. Karena cobaan akan selalu Allah SWT.
berikan kepadamu. Kau perlu berpegang teguh pada kata TABAH. Bukan meminta kepada
Allah supaya kita tak diberi cobaan. Ingat! Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya!” itulah
salah satu nasehat ibunya yang Sasmita jadikan pedoman hidupnya.

Oh iya, sehari-hari, Sasmita berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya dengan menjual Telur
Goreng Rempah-rempah. Sebenarnya, Sasmita bercita-cita untuk menjadi seorang chef atau
koki yang handal dan terkenal. Oleh sebab itu, Sasmita selalu berlatih memasak dengan
penuh semangat, agar impiannya tercapai. Tak dipedulikannya cemooh yang dilontarkan dari
mulut teman-temannya.

Beberapa tahun kemudian, cita-cita Sasmita akhirnya terwujud. Banyak sekali perubahan
dalam hidupnya. Dulu ia sendiri, kini ia ditemani sahabat-sahabatnya sesama koki. Intinya,
kehidupannya berubah 180 derajat. Ia juga menjadi koki handal yang mendunia. Itulah
hikmah dari ketabahan. Yang Sasmita rasa, sangat berpengaruh pada kehidupannya di masa
datang.
Sahabat Yang Hilang

Lina terdiam di bawah dewi malam, dia hanya menangis mengingat kejadian malam
itu. Tuhan yang telah merenggut sahabatnya darinya. Shara gadis malang yang
menyelamatkan nyawa Lina. Tawa Shara menghantui fikiran Lina. Berkali-kali Lina
mencoba melupakan Shara namun bayangan Shara selalu menghampirinya.
Kejadian malam itu…
Pagi itu, Lina melihat Raka kekasihnya duduk berdua dengan Shara di sebuah Cafe.
Mereka terlihat sangat akrab seperti sepasang kekasih. Betapa hati Lina serasa terbakar
melihat pujaan hatinya berduaan Shara sahabatnya. Air mata Lina menetes. Hati Lina sudah
tak terkontrol. Lina pun pergi meninggalkan cafe itu menuju rumahnya sambil menangis.
“Apa yang di lakukan Shara dan Raka di cafe itu? Apakah mereka Selingkuh? Oh tuhan,
mengapa harus Shara! Mengapa?” Lina begitu terpukul dan mengunci dirinya di kamar.
Malam pun tiba, handphone Lina yang dari tadi berbunyi tak dihiraukan. Banyak
pesan dan panggilan masuk di handphonenya. Dengan berat hati Lina menggangkat telepon
dari Shara.
“Halo, Lin kamu ke mana aja sih? Kok jawabnya baru sekarang? Halo Lin? Lina?”
Kata Shara dengan cemas. Lina hanya terdiam mendengar suara Shara. Lina terdengar
menangis.
“Lho! Kamu nangis Lin, kamu kenapa? aku ke sana ya!” Shara menutup teleponnya
dan segera menuju rumah Lina.
“Tok!! Tok!! Tok” suara pintu rumah Lina diketok.
“Lho Shara! Kamu gak sama Lina. Tante kira kamu keluar sama Lina” ucap tante
dewi ibu Lina.
“Lho tadi Shara udah bilang kok sama Lina kalo mau ke sini. Lina pergi ke mana
tante?” kata Shara panik.
“Waduh tante juga gak tau ra, tante kira Lina sama kamu. Soalnya dari tadi pagi dia
ngurung diri di kamar. Dia keluar belum lama kok. Dia masih bisa dikejar ra.” ibu Lina
terlihat bingung.
“Ya udah, aku mau nyusul Lina dulu ya tante. Assalamualaikum.” jawab Shara
bergegas mencari Lina.
Sekian lama Shara mencari tapi tak menemukan Lina. Lalu Shara pergi ke taman
tempat biasa Lina dan Shara menghabiskan waktu. Ternyata benar Lina di sana sendirian dan
menangis. Shara menghampirinya. “Lin, kamu ngapain di sini sendirian malem-malem?”
tanya Shara tak dihiraukan. “Kok diem sih Lin? Kamu marah sama aku?” sekali lagi
perkataan Shara tak dihiraukan. “kamu kenapa Lin? Bilang sama aku siapa yang nyakitin
kamu?” Shara benar-benar khawatir dengan Lina yang hanya terdiam dan menangis.
Plakkk!! Sebuah tamparan melesat di pipi kanan Shara. “loe tau gak gue tadi pagi liat
loe berduaan sama Raka di cafe. Loe mau ngerebut Raka dari gue? Loe tuh kenapa sih ra gue
salah apa sama loe? Loe kok tega banget sama gue? Gue bener-bener gak nyangka sama
kelakuan loe di belakang gue! Gue kecewa sama loe ra.” Lina pun lari meninggalkan Shara
tanpa mendengarkan penjelasan Shara sedikit pun. Shara dari jauh memanggil-manggil Lina.
Lina berlari menuju jalan raya. Sebuah truk besar melaju sangat kencang dari arah kiri. Shara
yang melihat hal itu bergegas menghampiri Lina. “Lina awasss” Shara mendorong tubuh
Lina dan membiarkan tubuhnya menjadi santapan truk besar itu. Shara tergeletak dengan
darah di sekujur tubuhnya. Lina tak sadarkan diri karena kepalanya terbentur trotoar jalan.
Saat Lina membuka matanya dia sudah terbaring di rumah sakit. Raka yang saat itu
menemani Lina. Menceritakan mengapa mereka berduaan di cafe. Tak disangka ternyata
Raka akan melamar Lina. Dan dia meminta bantuan dari Shara. Dan Raka juga memberi tau
Lina jika nyawa Shara tak bisa terselamatkan. Shara meninggal di tempat. Betapa
terpukulnya Lina yang kehilangan Shara sahabatnya.
“Betapa bodohnya aku tak mempercayai kesetiaanmu. Dan betapa egoinya aku
mempertaruhkan nyawa Shara demi keselamatanku” Ucap Lina tak kuasa menahan air mata.
“sudah lah Lina, semuanya sudah terjadi. Shara sudah bahagia di sana nak. Jangan kamu
membebaninya dengan air mata. Ikhlaskan dia Lina” ujar ibu Lina menenangkan.
Kini Shara telah pergi… Dan hilang untuk slamanya…
Teman Lamaku Kembali Lagi

Gerimis pagi itu membuatku tak ingin beranjak dari tempat tidur. Apalagi rasa
ngantuk yang tak ingin terkalahkan membuatku enggan untuk membuka mata terlebih lagi
jika harus beranjak dari tempat tidur. Namun tiba-tiba saja hpku berdering, tanda pesan
masuk di Messanger. Perlahan aku pun membaca pesan tersebut. Orang itu sepertinya sangat
mengenaliku meski baru pertama kali dia mengirim pesan lewat akun sosmedku. Dia juga
mengirim permintaan pertemanan di akunku. Awalnya, aku tidak ingin mengkonfirmasi
permintaan pertemanannya namun sepertinya wajahnya tak asing bagiku, makanya aku
menerima permintaan pertemanannya. Sungguh sebuah tanda tanya bagiku tentang orang itu.
Sepertinya aku sering melihatnya dulu tapi entah di mana dan kapan.
Kami pun saling berbalas pesan dan setelah aku bertanya lebih jauh mengenai
identitas dirinya, barulah aku sadar bahwa ternyata dia adalah teman masa kecilku. Pantas
saja wajahnya tak asing bagiku. Hampir 10 tahun lebih kami tak pernah bertemu dan
berkabar. Mungkin terakhir kali aku melihatnya ketika aku masuk SMP dan dia telah
menamatkan sekolahnya di tingkat SMA. Saat itu aku bersama teman sekelasku hendak
menuju sekolah, tiba-tiba di jalan kami berpapasan. Dia menyapaku dan mengatakan “belajar
yang rajin agar impiannya bisa terwujud”.
Aku pun membalas senyumannya dan mengatakan “pasti, itu sudah menjadi tugasku
sebagai seorang pelajar untuk terus belajar”. Kami hanya sekedar menyapa karena
nampaknya dia punya urusan lain yang harus segera diselesaikan.
Sejak saat itu kami tak pernah bertemu dan saling berkabar lagi. Perbedaan usia antara
aku dan dia bukanlah menjadi suatu penghalang untuk menjalin pertemanan. Masa kanak-
kanakku cukup berkesan dibanding dengan masa kanak-kanak anak jaman sekarang. Dulu
kami sering ke kebun mencari kayu bakar. Sesekali kami beristirahat jika kami merasa lelah.
Kami juga sering memetik buah dari kebun orang lain hingga kami dikejar oleh pemilik buah
kebun tersebut. Aku sungguh menikmati masa kecilku.
Sekarang kami sudah beranjak dewasa. Tak sengaja Tuhan memperkenalkan kami,
teman lamaku kembali lagi. Kami juga saling bertukar nomor dan memberitahukan alamat
baruku. Hingga beberapa minggu kemudian, dia datang menemuiku di kampus. Hari itu
bertepatan dengan hari yudisiumku. Aku sungguh tak meyangka dia akan datang. Aku pun
memperkenalkannya kepada teman-temanku yang lain.
Hari itu sungguh hari yang menyenangkan bagiku karena di hari pengukuhan gelarku,
teman masa kecilku datang dan malam harinya dia juga yang menemaniku di malam ramah
tamah kampusku. Aku tak pernah membayangkan sebelumnya jika di malam ramah tamahku,
dia yang menemaniku, namun aku bersyukur dia bisa hadir. Sebelumnya aku memang pernah
mengharapkan jika di malam ramah tamahku nanti, aku ingin Pangeran yang pernah menjadi
kekasihku dulu yang akan menemaniku di malam ramah tamahku, namun jauh sebelumnya,
dia telah pergi meninggalkanku tanpa sebuah penjelasan. Dia tidak bersamaku lagi.
Sejak hubunganku dengannya sudah berakhir, sejak itu pula aku menutup hatiku
untuk orang lain. Bukan karena aku belum bisa move on dari dia. Bukan pula karena trauma
hubunganku akan berakhir seperti yang lainnya, melainkan karena aku menempatkan
pendidikan di atas segalanya melebihi rasa cintaku sendiri. Aku lebih ingin berfokus pada
studiku agar karirku kelak bisa lebih baik.
Sekarang pun dengan kedatangan teman lamaku, hatiku masih tertutup untuk
siapapun karena kami memang dari dulu hanya berteman. Aku tetap bersyukur, meski tidak
memiliki kekasih seperti temanku yang lain yang datang bersama kekasihnya, sedangkan aku
hanya datang bersama teman lamaku, setidaknya aku datang bukan seorang diri. Pendamping
itu tidak harus kekasih, teman juga boleh. Anggap aja dia adalah Pangeran yang lagi
menunggu seseorang tapi tak pernah datang namun bukan Pangeran yang dulu yang pernah
meninggalkanku tanpa alasan melainkan Pangeran yang akan menemaniku tanpa harus
meninggalkanku lagi..
The End

Anda mungkin juga menyukai