Anda di halaman 1dari 4

ADU DZAR AL-GHIFARI

Biografi
Abu Dzar berasal dari suku Ghifar (dikenal sebagai penyamun pada masa sebelum datangnya Islam). Ia
memeluk Islam dengan sukarela. Ia salah seorang sahabat yang terdahulu dalam memeluk Islam. Ia
mendatangi Nabi Muhammad langsung ke Mekah untuk menyatakan keislamannya.
Setelah menyatakan keislamannya, ia berkeliling Mekkah untuk mengabarkan bahwa ia kini adalah
seorang Muslim, hingga memicu kekhawatiran serta kemarahan kaum kafir Quraisy dan membuatnya
menjadi bulan - bulanan kaum Quraisy. Berkat pertolongan Abbas bin Abdul Muthalib, ia selamat dan
suku Quraisy membebaskannya setelah mereka mengetahui bahwa orang yang dipukuli berasal dari
suku Ghifar. Ia mengikuti hampir seluruh pertempuran-pertempuran selama Nabi Muhammad hidup.
Orang-orang yang masuk Islam melalui dia, adalah : Ali-al-Ghifari, Anis al-Ghifari, Ramlah al-
Ghifariyah.
Dia dikenal sangat setia kepada Rasulullah. Kesetiaan itu misalnya dibuktikan sosok sederhana ini
dalam satu perjalanan pasukan Muslim menuju medan Perang Tabuk melawan kekaisaran Bizantium.
Karena keledainya lemah, ia rela berjalan kaki seraya memikul bawaannya. Saat itu sedang terjadi
puncak musim panas yang sangat menyayat.
Dia keletihan dan roboh di hadapan Nabi SAW. Namun Rasulullah heran kantong airnya masih penuh.
Setelah ditanya mengapa dia tidak minum airnya, tokoh yang juga kerap mengkritik penguasa semena-
mena ini mengatakan, "Di perjalanan saya temukan mata air.
Saya minum air itu sedikit dan saya merasakan nikmat. Setelah itu, saya bersumpah tak akan minum air
itu lagi sebelum Nabi SAW meminumnya." Dengan rasa haru, Rasulullah berujar, "Engkau datang
sendirian, engkau hidup sendirian, dan engkau akan meninggal dalam kesendirian. Tapi serombongan
orang dari Irak yang saleh kelak akan mengurus pemakamanmu." Abu Dzar Al Ghifary, sahabat setia
Rasulullah itu, mengabdikan sepanjang hidupnya untuk Islam.

Sebelum Masuk Islam


Tidak diketahui pasti kapan Abb Dzar lahir. Sejarah hanya mencatat, ia lahir dan tinggal dekat jalur
kafilah Mekkah, Syria. Riwayat hitam masa lalu Abizar tak lepas dari keberadaan keluarganya.
Abu Dzar yang dibesarkan di tengah-tengah keluarga perampok besar Al Ghiffar saat itu, menjadikan
aksi kekerasan dan teror untuk mencapai tujuan sebagai profesi keseharian. Itu sebabnya, Abu Dzar
yang semula bernama Jundab, juga dikenal sebagai perampok besar yang sering melakukan aksi teror
di negeri-negeri di sekitarnya.
Kendati demikian, Jundab pada dasarnya berhati baik. Kerusakan dan derita korban yang disebabkan
oleh aksinya kemudian menjadi titik balik dalam perjalanan hidupnya: Insyaf dan berhenti dari aksi
jahatnya tersebut. Bahkan tak saja ia menyesali segala perbuatan jahatnya itu, tetapi juga mengajak
rekan-rekannya mengikuti jejaknya. Tindakannya itu menimbulkan amarah besar sukunya, yang
memaksa Jundab meninggalkan tanah kelahirannya.
Bersama ibu dan saudara lelakinya, Anis Al Ghifar, Abizar hijrah ke Nejed Atas, Arab Saudi. Ini
merupakan hijrah pertama Abu Dzar dalam mencari kebenaran. Di Nejed Atas, Abu Dzar tak lama
tinggal, sekalipun banyak ide-idenya dianggap revolusioner sehingga tak jarang mendapat tentangan
dari masyarakat setempat.
Masuk Islam
Mendengar datangnya agama Islam, Abu Dzar pun berpikir tentang agama baru ini. Saat itu, ajaran
Nabi Muhammad ini telah mulai mengguncangkan kota Mekkah dan membangkitkan gelombang
kemarahan di seluruh Jazirah Arab. Abu Dzar yang telah lama merindukan kebenaran, langsung
tertarik kepada Rasulullah, dan ingin bertemu dengan Nabi SAW. Ia pergi ke Mekkah, dan sekali-
sekali mengunjungi Ka'bah. Sebulan lebih lamanya ia mempelajari dengan saksama perbuatan dan
ajaran Nabi. Waktu itu masyarakat kota Mekkah dalam suasana saling bermusuhan.
Demikian halnya dengan Ka'bah yang masih dipenuhi berhala dan sering dikunjungi para penyembah
berhala dari suku Quraisy, sehingga menjadi tempat pertemuan yang populer. Nabi juga datang ke sana
untuk salat.
Seperti yang diharapkan sejak lama, Abu Dzar berkesempatan bertemu dengan Nabi. Dan pada saat
itulah ia memeluk agama Islam, dan kemudian menjadi salah seorang pejuang paling gigih dan berani.
Bahkan sebelum masuk Islam, ia sudah mulai menentang pemujaan berhala. Dia berkata: "Saya sudah
terbiasa bersembahyang sejak tiga tahun sebelum mendapat kehormatan melihat Nabi Besar Islam."
Sejak saat itu, Abu Dzar membaktikan dirinya kepada agama Islam.
Kisah Masuk Islamnya
Diceritakan oleh (Abu Jamra): Ibnu Abbas r.a. berkata pada kami: Maukah kalian aku ceritakan kisah
tentang masuk Islamnya Abu Żar? Kami menjawab: "Ya"
Abu Żar berkata, "Aku adalah seorang pria dari kabilah Gifar, Kami mendengar bahwa ada seseorang
mengaku nabi di Mekkah. Aku bilang pada seorang saudaraku,
'Pergilah temui orang itu, bicaralah dengannya lalu kabarkanlah beritanya padaku'. Dia pergi
menjumpainya dan kembali. Aku bertanya padanya, 'Ada kabar apa yang kau bawa?', Dia berkata,
'Demi Allah, aku melihat seorang pria mengajak pada hal-hal yang baik dan melarang hal-hal yang
buruk', Aku berkata padanya, 'Kamu tidak memuaskan keingintahuanku dengan keterangan yang hanya
sedikit itu' .
Aku mengambil kantung air dan tongkat lalu pergi menuju Mekkah. Aku tak tahu siapa dan seperti apa
nabi itu, dan aku pun tak mau menanyakan hal itu pada siapapun. Aku terus minum air zam-zam dan
terus berdiam diri di sekitar Ka'bah. Lalu Ali lewat didepanku, dia bertanya, 'Sepertinya anda orang
asing di sini? 'Aku jawab 'Ya'.
Dia mengajakku ke rumahnya, aku lalu mengikutinya. Dia tidak menanyakan apa pun padaku, Aku pun
tidak mengatakan apa-apa padanya.
Besok paginya aku pergi lagi ke Ka'bah untuk menanyakan perihal nabi itu pada orang-orang di sana,
tetapi tak seorang pun mengatakan sesuatu tentangnya. Ali kembali lewat di hadapanku dan bertanya,
'Adakah seseorang yang belum juga menemukan tempat tinggalnya?', Aku bilang,'Tidak'. Dia berkata,
'Kemari mendekatlah padaku'. Lalu dia bertanya,
'Anda punya urusan apa di sini? Apa yang membuat Anda datang ke kota ini?'. Aku bilang kepadanya,
'Jika kamu bisa menjaga rahasiaku, maka aku akan mengatakannya ', Dia menjawab,
'Akan aku lakukan'. Aku berkata padanya,
'Kami mendengar bahwa ada seseorang di kota ini mengaku dirinya nabi... Aku lalu mengutus seorang
saudaraku untuk bicara dengannya dan waktu dia kembali, dia membawa kabar yang tidak memuaskan.
Jadi, aku berpikir untuk bertemu dengannya secara langsung'.
Ali berkata, 'Tercapailah sudah tujuanmu, Aku mau menemui dia sekarang. Jadi, ikutlah aku. Bila aku
masuk ke suatu tempat, masuklah setelahku. Jika aku menjumpai seseorang yang mungkin akan
menyusahkanmu, aku akan berdiri di dekat tembok berpura-pura memperbaiki sepatuku (sebagai tanda
peringatan) bahwa anda harus segera pergi'.
Kemudian Ali berjalan dan aku mengikutinya sampai dia masuk ke suatu tempat dan aku masuk
dengannya menemui sang nabi yang padanya aku berkata,
'Terangkanlah hakikat Islam itu kepadaku'. Waktu dia menjelaskannya, aku langsung menyatakan
masuk Islam seketika itu juga.
Nabi bersabda,'Wahai Abu Żar, simpanlah perkataanmu itu sebagai rahasiamu dan pulanglah ke daerah
asalmu dan apabila kamu mendengar kabar tentang kemenangan kami, kembalilah temuilah kami'. Aku
berkata,
'Demi Dia Yang telah mengutus engkau dalam kebenaran, aku akan mengumumkan keislamanku
secara terang-terangan di hadapan mereka (kaum musyrikin)'. Abu Żar pergi ke Ka'bah di mana banyak
orang-orang Quraisy berkumpul, lalu berseru,
'Hai, Kalian orang-orang Quraish! Aku bersaksi (Asyhadu a lâ ilâha ill-Allah wa asyhadu anna
Muhammadan abduhu wa rasuluhu) Tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi Muhammad itu hamba
dan rasul Allah!'. (Mendengar hal itu) Orang-orang Quraisy itu berteriak,
'Tangkap Sâbi itu (Muslim itu)! Mereka bangkit lalu memukuliku sampai hampir mati. Al Abbas
melihatku lalu menabrakkan badannya ke badanku untuk melindungiku. Lalu dia menghadapi mereka
dan berkata,
'Ada apa dengan kalian ini! Apakah kalian mau membunuh seorang dari kabilah Gifar? Padahal selama
ini kalian berdagang dan berkomunikasi dengan dunia luar melewati daerah kekuasaan mereka?!'.
Mereka lalu meninggalkanku...
Besok paginya aku kembali ke Kakbah dan berseru sama persis seperti yang aku lakukan kemarin,
mereka kembali berteriak,
'Tangkap Sâbi itu (Muslim itu)!'. Lalu aku dipukuli (sampai hampir mati) sama seperti kemarin, dan
kembali Al Abbas menghampiri diriku dan menabrakkan badannya ke badanku untuk melindungiku,
dan dia berkata pada mereka sama seperti yang dia lakukan kemarin.
Begitulah kisah tentang masuk Islamnya Abu Żar r.a. (4:725-OB)
Menjadi Sahabat Nabi
Mendapat kepercayaan Nabi saw., Abizar ditugaskan mengajarkan Islam di kalangan sukunya. Meskipun tak
sedikit rintangan yang dihadapinya, misi Abizar tergolong sukses. Bukan hanya ibu dan saudara-saudaranya,
hampir seluruh sukunya yang suka merampok berhasil diislamkan. Itu pula yang mencatatkan dirinya sebagai
salah seorang penyiar Islam fase pertama dan terkemuka.
Rasulullah sendiri sangat menghargainya. Ketika dia meninggalkan Madinah untuk terjun dalam "Perang
pakaian compang-camping", dia diangkat sebagai imam dan administrator kota itu. Saat akan meninggal dunia,
Nabi memanggil Abizar. Sambil memeluknya, Rasulullah berkata: "Abizar akan tetap sama sepanjang
hidupnya." Ucapan Nabi ternyata benar, Abizar tetap dalam kesederhanaan dan sangat saleh. Seumur hidupnya
ia mencela sikap hidup kaum kapitalis, terutama pada masa khalifah ketiga, Usman bin Affan, ketika kaum
Quraisy hidup dalam gelimangan harta.
Bagi Abizar, masalah prinsip adalah masalah yang tak bisa ditawar-tawar. Itu sebabnya, hartawan yang
dermawan ini gigih mempertahankan prinsip egaliter Islam. Penafsirannya mengenai "Ayat Kanz" (tentang
pemusatan kekayaan), dalam surah Attaubah, menimbulkan pertentangan pada masa pemerintahan Usman,
khalifah ketiga.
"Mereka yang suka sekali menumpuk emas dan perak dan tidak memanfaatkannya di jalan Allah, beritahukan
mereka bahwa hukuman yang sangat mengerikan akan mereka terima. Pada hari itu, kening, samping dan
punggung mereka akan dicap dengan emas dan perak yang dibakar sampai merah, panasnya sangat tinggi, dan
tertulis: Inilah apa yang telah engkau kumpulkan untuk keuntunganmu. Sekarang rasakan hasil yang telah
engkau himpun."
Atas dasar pemahamannya inilah, Abizar menentang keras ide menumpuk harta kekayaan dan menganggapnya
sebagai bertentangan dengan semangat Islam. Soal ini, sedikit pun Abizar tak mau kompromi dengan
kapitalisme di kalangan kaum muslimin di Syria yang diperintah Muawiyah, saat itu.
Menurutnya, sebagaimana dikutip dalam buku Tokoh-tokoh Islam yang Diabadikan Alquran, merupakan
kewajiban Muslim sejati menyalurkan kelebihan hartanya kepada saudara-saudaranya yang miskin.
Untuk memperkuat pendapatnya itu, Abizar mengutip peristiwa masa Nabi: "Suatu hari, ketika Nabi Besar
sedang berjalan bersama-sama Abizar, terlihat pegunungan Ohad.
Nabi berkata kepada Abizar, 'Jika aku mempunyai emas seberat pegunungan yang jauh itu, aku tidak perlu
melihatnya dan memilikinya kecuali bila diharuskan membayar utang-utangku. Sisanya akan aku bagi-bagikan
kepada hamba Allah'."n her
Pelayan Dhuafa dan Pelurus Penguasa
Semasa hidupnya, Abizar Al Gifari sangat dikenal sebagai penyayang kaum dhuafa. Kepedulian
terhadap golongan fakir ini bahkan menjadi sikap hidup dan kepribadian Abizar. Sudah menjadi
kebiasaan penduduk Giffar pada masa jahiliah merampok kafilah yang lewat. Abizar sendiri, ketika
belum masuk Islam, kerap kali merampok orang-rang kaya. Namun hasilnya dibagi-bagikan kepada
kaum duafa. Kebiasaan itu berhenti begitu menyatakan diri masuk agama terakhir ini.
Prinsip hidup sederhana dan peduli terhadap kaum miskin itu tetap ia pegang di tempat barunya, di
Syria. Namun di tempat baru ini, ia menyaksikan gubernur Muawiyah hidup bermewah-mewah. Ia
malahan memusatkan kekuasaannya dengan bantuan kelas yang mendapat hak istimewa, dan dengan
itu mereka telah menumpuk harta secara besar-besaran. Ajaran egaliter Abizar membangkitkan massa
melawan penguasa dan kaum borjuis itu. Keteguhan prinsipnya itu membuat Abizar sebagai 'duri
dalam daging' bagi penguasa setempat.
Ketika Muawiyah membangun istana hijaunya, Al Khizra, salah satu ahlus shuffah (sahabat Nabi SAW
yang tinggal di serambi Masjid Nabawi) ini mengkritik khalifah, "Kalau Anda membangun istana ini
dari uang negara, berarti Anda telah menyalahgunakan uang negara. Kalau Anda membangunnya
dengan uang Anda sendiri, berarti Anda melakukan 'israf' (pemborosan)." Muawiyah hanya terpesona
dan tidak menjawab peringatan itu.
Muawiyah berusaha keras agar Abizar tidak meneruskan ajarannya. Tapi penganjur egaliterisme itu
tetap pada prinsipnya. Muawiyah kemudian mengatur sebuah diskusi antara Abizar dan ahli-ahli
agama. Sayang, pendapat para ahli itu tidak memengaruhinya.
Muawiyah melarang rakyat berhubungan atau mendengarkan pengajaran salah satu sahabat yang ikut
dalam penaklukan Mesir, pada masa khalifah Umar bin Khattab ini. Kendati demikian, rakyat tetap
berduyun-duyun meminta nasihatnya. Akhirnya Muawiyah mengadu kepada khalifah Usman. Ia
mengatakan bahwa Abizar mengajarkan kebencian kelas di Syria, hal yang dianggapnya dapat
membawa akibat yang serius.
Keberanian dan ketegasan sikap Abizar ini mengilhami tokoh-tokoh besar selanjutnya, seperti Hasan
Basri, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Taimiyah, dan lainnya. Karena itulah, tak berlebihan jika sahabat Ali
Ra, pernah berkata: "Saat ini, tidak ada satu orang pun di dunia, kecuali Abuzar, yang tidak takut
kepada semburan tuduhan yang diucapkan oleh penjahat agama, bahkan saya sendiri pun bukan yang
terkecuali."

Anda mungkin juga menyukai