Anda di halaman 1dari 5

Nama : Zaskia Khaerunnisa

Kelas : XI . 4
Tugas : Keteladanan Abu Dzar Al-Ghifari

1. Sebelum Masuk Islam


Tidak diketahui pasti kapan Abizar lahir. Sejarah hanya mencatat,
ia lahir dan tinggal dekat jalur kaϐilah Makkah, Syria. Riwayat hitam
masa lalu Abizar tak lepas dari Keberadaan keluarganya. Abizar yang
dibesarkan di tengah-tengah keluarga perampok besar Al Ghiffar saat
Itu, menjadikan aksi kekerasan dan teror untuk mencapai tujuan
sebagai profesi keseharian. Itu sebabnya, Abizar yang semula
bernama Jundab, juga dikenal sebagai perampok besar yang sering
melakukan aksi teror di negeri-negeri di sekitarnya. Kendati
demikian, Jundab pada dasarnya berhati baik. Kerusakan dan derita
korban yang disebabkan oleh aksinya kemudian menjadi titik balik
dalam perjalanan hidupnya, insaf dan berhenti dari aksi jahatnya
tersebut. Bahkan tak saja ia menyesali segala perbuatan jahatnya itu,
tapi juga mengajak rekan-rekannya mengikuti jejaknya. Tindakannya
itu menimbulkan amarah besar sukunya, yang memaksa Jundab
meninggalkan tanah kelahirannya.
Bersama ibu dan saudara lelakinya, Anis Al Ghifar, Abizar hijrah ke
Nejed Atas, Arab Saudi. Ini merupakan hijrah pertama Abizar dalam
mencari kebenaran. Di Nejed Atas, Abizar tak lama tinggal. Sekalipun
banyak ide-idenya dianggap revolusioner sehingga Tak jarang
mendapat tantangan dari masyarakat setempat.
2. Masuk Islam
Mendengar datangnya agama Islam, Abizar pun berpikir tentang
agama baru ini. Saat Itu, ajaran Nabi Muhammad ini telah mulai
mengguncangkan kota Mekah dan membangkitkan gelombang
kemarahan di seluruh Jazirah Arab. Abizar yang telah lama
merindukan kebenaran, langsung tertarik kepada Rasulullah, dan
ingin bertemu dengan Nabi SAW. Ia pergi ke Makkah, dan sekali-
sekali mengunjungi Ka’bah. Sebulan lebih lamanya Ia mempelajari
dengan seksama perbuatan dan ajaran Nabi. Waktu itu masyarakat
kota Mekah dalam suasana saling bermusuhan.
Demikian halnya dengan Ka’bah yang masih dipenuhi berhala dan
sering dikunjungi Para penyembah berhala dari suku Quraisy,
sehingga menjadi tempat pertemuan yang Populer. Nabi juga datang
ke sana untuk salat. Seperti yang diharapkan sejak lama, Abizar
berkesempatan bertemu dengan Nabi. Dan pada saat itulah ia
memeluk agama Islam, dan kemudian menjadi salah seorang Pejuang
paling gigih dan berani. Bahkan sebelum masuk Islam, ia sudah mulai
menentang pemujaan berhala. Dia berkata: “Saya sudah terbiasa
bersembahyang sejak tiga tahun sebelum mendapat kehormatan
melihat Nabi Besar Islam.” Sejak saat itu, Abizar membaktikan dirinya
kepada

3. Menjadi Sahabat Nabi


Mendapat kepercayaan Nabi SAW, Abizar ditugaskan mengajarkan
Islam di kalangan Sukunya. Meskipun tak sedikit rintangan yang
dihadapinya, misi Abizar tergolong sukses. Bukan hanya ibu dan
saudara-saudaranya, hampir seluruh sukunya yang suka merampok
berhasil diIslamkan. Itu pula yang mencatatkan dirinya sebagai salah
seorang Penyiar Islam fase pertama dan terkemuka. Rasulullah
sendiri sangat menghargainya. Ketika dia meninggalkan Madinah
untuk Terjun dalam “Perang pakaian compang-camping”, dia
diangkat sebagai imam dan administrator kota itu. Saat akan
meninggal dunia, Nabi memanggil Abizar. Sambil memeluknya,
Rasulullah berkata: “Abizar akan tetap sama sepanjang hidupnya.”
Ucapan Nabi ternyata benar, Abizar tetap dalam kesederhanaan dan
sangat saleh. Seumur hidupnya ia mencela sikap hidup kaum
kapitalis, terutama pada masa khalifah ketiga, Utsman bin
Affan, ketika kaum Quraisy hidup dalam gelimangan harta. Bagi
Abizar, masalah prinsip adalah masalah yang tak bisa ditawar-tawar.
Itu sebabnya, hartawan yang dermawan ini gigih mempertahankan
prinsip egaliter Islam. Penafsirannya mengenai “Ayat Kanz” (tentang
pemusatan kekayaan), dalam surat Attaubah, menimbulkan
pertentangan pada masa pemerintahan Utsman, khalifah ketiga.
“Mereka yang suka sekali menumpuk emas dan perak dan tidak
memanfaatkannya di jalan Allah, beritahukan mereka bahwa
hukuman yang sangat mengerikan akan mereka terima. Pada hari itu,
kening, samping dan punggung mereka akan dicap dengan emas dan
perak yang dibakar sampai merah, panasnya sangat tinggi, dan
tertulis: Inilah apa yang telah engkau kumpulkan untuk
keuntunganmu. Sekarang rasakan hasil ytelah engkau himpun.”
Atas dasar pemahamannya inilah, Abizar menentang keras ide
menumpuk harta kekayaan dan menganggapnya sebagai
bertentangan dengan semangat Islam. Soal ini, sedikit pun Abizar tak
mau kompromi dengan kapitalisme di kalangan kaum Muslimin di
Syria yang diperintah Muawiyah, saat itu.Menurutnya, sebagaimana
dikutip dalam buku Tokoh-tokoh Islam yang Diabadikan Al-Quran,
merupakan kewajiban Muslim sejati menyalurkan kelebihan
hartanya kepada saudara-saudaranya yang miskin. Untuk
memperkuat pendapatnya itu, Abizar mengutip peristiwa masa Nabi:
“Suatu hari, ketika Nabi Besar sedang berjalan bersama-sama Abizar,
terlihat pegunungan Ohad.Nabi berkata kepada Abizar, “Jika aku
mempunyai emas seberat pegunungan yang jauh itu, aku tidak perlu
melihatnya dan memilikinya kecuali bila diharuskan membayar
utang-utangku. Sisanya akan aku bagi-bagikan kepada hamba Allah
4. Pelayan Dhuafa dan Pelurus Penguasa
Semasa hidupnya, Abizar Al Ghifary sangat dikenal sebagai
penyayang kaum dhuafa. Kepedulian terhadap golongan fakir ini
bahkan menjadi sikap hidup dan kepribadian Abizar. Sudah menjadi
kebiasaan penduduk Ghiffar pada masa jahiliyah merampok kafilah
yang lewat. Abizar sendiri, ketika belum masuk Islam, kerap kali
merampok orangrang kaya. Namun hasilnya dibagi-bagikan kepada
kaum dhuafa. Kebiasaan itu berhenti Begitu menyatakan diri masuk
agama terakhir ini.
Prinsip hidup sederhana dan peduli terhadap kaum miskin itu
tetap ia pegang di Tempat barunya, di Syria. Namun di tempat baru
ini, ia menyaksikan gubernur Muawiyah hidup bermewah-mewah. Ia
malahan memusatkan kekuasaannya dengan bantuan Kelas yang
mendapat hak istimewa, dan dengan itu mereka telah menumpuk
harta secara besar-besaran. Ajaran egaliter Abizar membangkitkan
massa melawan penguasa dan kaum borjuis itu. Keteguhan
prinsipnya itu membuat Abizar sebagai ‘duri dalam daging’ bagi
penguasa setempat.
Ketika Muawiyah membangun istana hijaunya, Al Khizra, salah satu
ahlus shuffah (sahabat Nabi saw yang tinggal di serambi Masjid
Nabawi) ini mengkritik khalifah, “Kalau Anda membangun istana ini
dari uang negara, berarti Anda telah menyalahgunakan uang negara.
Kalau Anda membangunnya dengan uang Anda sendiri, berarti Anda
melakukan ‘israf’ (pemborosan).” Muawiyah hanya terpesona dan
tidak menjawab peringatan itu.
Muawiyah berusaha keras agar Abizar tidak meneruskan
ajarannya. Tapi penganjur egaliterisme itu tetap pada prinsipnya.
Muawiyah kemudian mengatur sebuah diskusi antara Abizar dan
ahli-ahli agama. Sayang, pendapat para ahli itu tidak
mempengaruhinya. Muawiyah melarang rakyat berhubungan atau
mendengarkan pengajaran salah satu sahabat yang ikut dalam
penaklukan Mesir, pada masa khalifah Umar bin Khattab ini. Kendati
demikian, rakyat tetap berduyun-duyun meminta nasihatnya.
Akhirnya Muawiyah mengadu kepada khalifah Utsman. Ia
mengatakan bahwa Abizar mengajarkan kebencian kelas di Syria, hal
yang dianggapnya dapat membawa akibat yang serius.Keberanian
dan ketegasan sikap Abizar ini mengilhami tokoh-tokoh besar
selanjutnya, seperti Hasan Basri, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Taimiyah,
dan lainnya. Karena itulah, tak berlebihan jika sahabat Ali Ra, pernah
berkata: “Saat ini, tidak ada satu orang pun di dunia, kecuali Abuzar,
yang tidak takut kepada semburan tuduhan yang diucapkan oleh

Anda mungkin juga menyukai