Anda di halaman 1dari 8

Nama : Umi Salamah

Kelas : Manajemen A’19

Grup : Annisa Dzahabiyah

RESUME 3 SAHABAT NABI YANG DIJAMIN MASUK SURGA

ِ ‫بِــــــــــس ِْم هلَّلا ِ الرَّحْ َمنِالر‬


‫َّحيْم‬
1. Sa’ad bin Abi Waqqash

 Salah satu assabiqunal awwalun.

Sa’ad bin Abi Waqqash adalah salah satu dari orang-orang yang pertama memeluk Islam. Ia
menyatakan keislamannya bersama orang yang didakwahi Abu Bakar yaitu: Utsman bin Affan,
Zubair bin al-Awwam, Abdurrahman bin Auf, dan Thalhah bin Ubaidillah. Itu artinya ia adalah
orang pertama yang masuk Islam setelah Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, dan Zaid
bin Haritsah RA ajma’in. Saat masuk Islam, usia Sa’ad tergolong masih muda, yaitu 17 tahun.

 Orang pertama yang melepaskan anak panah di jalan Allah.

Sejak sebelum masuk Islam, Sa’ad memang memiliki hobi berperang, ia seorang penunggang
kuda yang berani dan ahli memanah. Tak heran jika kemudian Sa’ad adalah orang pertama yang
melepaskan panahnya di jalan Allah. Meskipun ia pula orang yang pertama kali terkena panah
saat sedang berperang di jalan Allah. Sa’ad pernah diamanahi untuk memimpin sebuah
peperangan besar, yaitu perang qadisiyah.

 Dikenal patuh dan taat kepada ibunya.

Ia sangat patuh kepada kedua orang tua, terutama ibunya yang bernama Hamnah binti Sufyan bin
Abu Umayyah. Hamnah adalah keturunan bangsawan Quraisy yang cantik dan anggun lagi
cerdik. Sayang, ia sangat setia kepada agama nenek moyangnya ayng merupakan penyembah
berhala. Saat tahu Sa’ad masuk Islam, ibunya sangat marah dan mengancam tidak akan makan
ataupun minum sebelum Sa’ad meninggalkan agama Islam.

Meski ibunya adalah orang yang paling ia cintai, ia tak goyah saat diminta keluar dari Islam. Hal
ini bahkan diabadikan dalam Alquran: “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan
dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti
keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman: 15).
 Meski kaya, Sa’ad sangat dermawan.

Suatu kali dalam peristiwa Haji Wada’ (haji perpisahan) bersama Nabi, Sa’ad sempat jatuh sakit.
Tatkala Nabi datang menjenguknya, Sa’ad bertanya: “Wahai Rasulullah, aku memiliki harta
namun satu-satunya keturunanku hanyalah anak perempuanku. Apakah sebaiknya kuserahkan
dua pertiga hartaku sebagai shadaqah?”.

“Tidak,” jawab Nabi. “Bagaimana kalau setengahnya?” tanya Sa’ad lagi dan sekali lagi Nabi
menjawab ‘tidak’. “Sepertiga?”. “Ya,” jawab Nabi. “Sepertiga itu banyak. Sebenarnya,
meninggalkan keturunanmu berkecukupan itu lebih baik daripada membuat mereka hidup
meminta dan bergantung pada orang lain. Apa saja yang engkau nafkahkan untuk mencari ridha
Allah, pahala pulalah yang akan kau terima meskipun nafkah itu berupa sebutir makanan di
mulut istrimu.”

 Sahabat yang doanya sangat mustajab.

Qais meriwayatkan bahwa Rasulullah saw pernah bersabda, “Ya Allah, kabulkanlah Sa’ad jika
dia berdoa”. Sejak itu ia dikenal memiliki doa yang sangat manjur atau mustajab. Orang-orang
mengenalnya memiliki dua senjata yang luar biasa yaitu panah dan doa.

 Sa’ad dijamin sebagai penghuni surga.

Pada suatu hari, Rasulullah SAW sedang duduk bersama para sahabat. Tiba-tiba beliau menatap
ke langit seolah mendengar bisikan malaikat. Kemudian Rasulullah kembali menatap para
sahabat dengan bersabda, “Sekarang akan ada di hadapan kalian seorang laki-laki penduduk
surga.” Mendengar hal tersebut, mereka pun menengok ke kanan dan ke kiri pada setiap arah,
untuk melihat siapakah gerangan lelaki berbahagia yang menjadi penduduk surga. Tidak lama
berselang datanglah Sa’ad bin Abi Waqqash.

Tentang wafatnya ada dua pendapat, di Guangzhou banyak orang meyakini terdapat makam
Sa’ad di sana. Namun di Madinah pun demikian, tepatnya di pemakaman Baqi’.

Abu Bakar ash-Shiddiq adalah merupakan sahabat Nabi yang paling awal memeluk Islam. Ia
dikenal sebagai khalifa pertama yang meneruskan perjuangan Nabi Muhammad SAW dalam
memimpin ummat islam.

Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW beliau menjadi khalifah Islam yang pertama pada
tahun 632 hingga tahun 634 M. Dan merupakan satu di antara empat khalifah yang diberi gelar
Khulafaur Rasyidin atau khalifah yang diberi petunjuk.
2. Abu Bakar

 Silsilah kekeluargaan

Nama lengkap Abu Bakar adalah ‘Abdullah bin ‘Utsman bin Amir bi Amru bin Ka’ab bin Sa’ad
bin Tayyim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Quraisy. Bertemu nasabnya dengan
nabi pada kakeknya Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai, dan ibu dari abu Bakar adalah Ummu al-Khair
salma binti Shakhr bin Amir bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim yang berarti ayah dan ibunya sama-
sama dari kabilah Bani Taim.

Abu Bakar merupakan ayah dari Aisyah yang merupakan istri Nabi Muhammad SAW. Nama
sebelum masuk islam adalah Abdul Ka’bah yang artinya ‘hamba Ka’bah’. Setelah masuk islam
namanya diubah oleh Muhammad menjadi Abdullah yang artinya ‘hamba Allah.

Selain itu Nabi Muhammad SAW juga memberinya gelar Ash-Shiddiq yang artinya ‘yang
berkata benar’ setelah beliau membenarkan dan mempercayai peristiwa Isra Mi’raj yang
diceritakan oleh Nabi Muhammad SAW kepada para pengikutnya. Dan dari situlah ial lebih
dikenal dengan nama “Abu Bakar ash-Shiddiq”.

Abu Bakar ash-Shiddiq merupakan keturunan Bani Taim, sub-suku bangsa Quraisy. Dan
menururt beberapa catatan sejarawan Islam ia adalah seorang pedagang, hakim dengan
kedudukan tinggi, seorang yang terpelajar, serta dipercaya sebagai orang yang bisa menafsirkan
mimpi.

 Masa mengenal Nabi dan memeluk islam

Saat Muhammad menikah dengan Khadijah binti Khuwailid, ia pindah dan hidup bertetangga
bersama Abu Bakar. Sejak saat itulah mereka saling berkenalan. Usia mereka berdua sama dan
sama-sama seorang pedagang dan ahli berdagang.

Dalam kitab Hayatussahabah, bab Dakwah Muhammad kepada perorangan, dituliskan bahwa
Abu bakar memeluk Islam oleh ajakan nabi. Dan setelah itu ia meneruskan dakwah islaminya
kepada Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqas
dan beberapa tokoh penting dalam Islam lainnya.

Namun istri beliau Qutaylah binti Abdul Uzza dan anaknya Abd Rahman bin Abu Bakar tidak
mau memeluk Islam sehingga Abu Bakar menceraikannya dan berpisah dengan anaknya. Tetapi
istrinya yang lain, Ummu Ruman, menjadi Muslimah.

Saat Nabi Muhammad hijrah ke Madinah (622 M), Abu Bakar adalah satu-satunya orang yang
menemaninya. Setelah beberapa saat Hijrah, Nabi Muhammad SAW menikah dengan anak Abu
Bakar, sehingga ikatan kekeluargaannya makin erat.
 Masa wafat Nabi dan diangkatnya Abu Bakar menjadi Khalifa pertama

Selama masa sakit Rasulullah saat menjelang wafat, dikatakan bahwa Abu Bakar ditunjuk untuk
menjadi imam salat menggantikannya, banyak yang menganggap ini sebagai indikasi bahwa Abu
Bakar akan menggantikan posisinya.

Bahkan setelah Nabi SAW telah meninggal dunia, Abu Bakar Ash-Shiddiq dianggap sebagai
sahabat Nabi yang paling tabah menghadapi meninggalnya Nabi SAW ini. Setelah kematian
Nabi, dilakukanlah musyawarah di kalangan para pemuka kaum Anshar dan Muhajirin di
Madinah, yang akhirnya menghasilkan penunjukan Abu Bakar sebagai pemimpin baru umat
Islam atau khalifah Islam pada tahun 632 M.

Namun hasil musyawarah tersebut menjadi perdebatan dan menjadi sumber perpecahan pertama
dalam Islam. Saat itu umat Islam terpecah menjadi kaum Sunni dan Syi’ah. Kaum Syi’ah
percaya bahwa seharusnya Ali bin Abi Thalib (menantu nabi Muhammad) yang menjadi
pemimpin dan dipercayai ini adalah keputusan Rasulullah sendiri, sementara kaum sunni
berpendapat bahwa Rasulullah menolak untuk menunjuk penggantinya.

Kaum sunni berargumen bahwa Muhammad mengedepankan musyawarah untuk penunjukan


pemimpin. Sementara muslim syi’ah berpendapat bahwa nabi dalam hal-hal terkecil seperti
sebelum dan sesudah makan, minum, tidur, dan lain-lain, tidak pernah meninggal umatnya tanpa
hidayah dan bimbingan apalagi masalah kepemimpinan umat terahir.

Banyak hadits yang menjadi rujukan dari kaum Sunni maupun Syi’ah tentang siapa khalifah
sepeninggal rasulullah, serta jumlah pemimpin Islam yang dua belas. Terlepas dari kontroversi
dan kebenaran pendapat masing-masing kaum tersebut, Ali sendiri secara formal menyatakan
kesetiaannya (berbai’at) kepada Abu Bakar dan dua khalifah setelahnya (Umar bin Khattab dan
Usman bin Affan).

Kaum sunni menggambarkan pernyataan ini sebagai pernyataan yang antusias dan Ali menjadi
pendukung setia Abu Bakar dan Umar. Sementara kaum syi’ah menggambarkan bahwa Ali
melakukan baiat tersebut secara pro forma, mengingat ia berbaiat setelah sepeninggal Fatimah
istrinya yang berbulan bulan lamanya dan setelah itu ia menunjukkan protes dengan menutup diri
dari kehidupan publik.

 Perang Ridda

Masa kepemimpinan Abu Bakar terjadi beberapa masalah yang mengancam persatuan diantara
umat Islam saat itu. Beberapa suku Arab yang berasal dari Hijaz dan Nejed membangkang
kepada khalifah baru dan sistem yang ada. Beberapa di antaranya menolak membayar zakat
walaupun tidak menolak agama Islam secara utuh. Beberapa yang lain kembali memeluk agama
dan tradisi lamanya yakni penyembahan berhala.
Suku-suku tersebut mengklaim bahwa hanya memiliki komitmen dengan Nabi Muhammad dan
dengan kematiannya komitmennya tidak berlaku lagi. Berdasarkan hal ini Abu Bakar
menyatakan perang terhadap mereka yang dikenal dengan nama perang Riddah. Dalam perang
Ridda peperangan terbesar adalah memerangi “Ibnu Habib al-Hanafi” yang lebih dikenal dengan
nama Musailamah al-Kazab (Musailamah si pembohong), yang mengklaim dirinya sebagai nabi
baru menggantikan Nabi Muhammad.

Pasukan Musailamah kemudian dikalahkan pada pertempuran Akraba oleh Khalid bin Walid.
Sedangkan Musailamah sendiri terbunuh di tangan Al Wahsyi, seorang mantan budak yang
dibebaskan oleh Hindun istri Abu Sufyan karena telah berhasil membunuhHamzah Singa Allah
dalam Perang Uhud. Al Wahsyi kemudian bertaubat dan memeluk Islam serta mengakui
kesalahannya atas pembunuhan terhadap Hamzah. Al Wahsyi pernah berkata, “Dahulu aku
membunuh seorang yang sangat dicintai Rasulullah (Hamzah) dan kini aku telah membunuh
orang yang sangat dibenci rasulullah (yaitu nabi palsu Musailamah al-Kazab).”

Selama dua tahun masa kepemimpinan Abu Bakar, masyarakat Arab di bawah Islam mengalami
kemajuan pesat dalam bidang sosial, budaya dan penegakan hukum. Selama masa
kepemimpinannya pula, Abu bakar berhasil memperluas daerah kekuasaan islam ke Persia,
sebagian Jazirah Arab hingga menaklukkan sebagian daerah kekaisaran Bizantium.

3. Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu

Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu (599-661) adalah Khalifah keempat (terakhir) dari Khulafa'
Ar-Rasyidun yang berkuasa sekitar 4-5 tahun. Ali adalah sepupu Nabi Muhammad shallalalhu
'alaihi wa sallam (SAW) yang kemudian menjadi menantunya setelah menikahi Fatimah Az-
Zahra.

Ayahnya Abu Talib bin Abdul Mutthalib bin Hasyim bin Abd Manaf, adalah kakak kandung
ayah Nabi SAW, Abdullah bin Abdul Mutthalib. Ibunya bernama Fatimah binti As'ad bin
Hasyim bin Abd Manaf. Sewaktu lahir ia diberi nama Haidarah oleh ibunya. Nama itu kemudian
diganti ayahnya dengan Ali.

Keseharian Ali dikenal sangat sederhana dan zuhud. Tidak tampak perbedaan kehidupan rumah
tangganya antara sebelum dan sesudah diangkat sebagai khalifah.

Ali juga terkenal sebagai panglima perang yang berani. Keberaniannya menggetarkan hati
musuh-musuh Allah. Ia mempunyai sebilah pedang (warisan dari Nabi SAW) bernama 'Zul
Faqar'. Ia turut-serta pada hampir semua peperangan yang terjadi di masa Nabi SAW dan selalu
menjadi berada di barisan terdepan.
Beliau juga dikenal cerdas dan menguasai banyak ilmu agama secara mendalam, sebagaimana
dalam sabda Nabi SAW: "Aku kota ilmu pengetahuan sedang Ali adalah pintu gerbangnya."
Karena itu, nasihat dan fatwanya selalu didengar para khalifah sebelumnya. Ia selalu
ditempatkan pada jabatan kadi atau mufti.

 Ujian Kepemimpinan

Pada akhir masa pemerintahan Umar bin Khattab, Ali termasuk salah seorang yang ditunjuk
menjadi anggota Majlis As-Syura, forum yang membahas penggantian khalifah. Forum ini
beranggotakan enam orang. Kelima orang lainnya adalah Utsman bin Affan, Talhah bin
Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa'd bin Abi Waqqas, dan Abdur Rahman bin Auf. Hasil
musyawarah menentukan Usman bin Affan sebagai khalifah pengganti Umar bin Khattab.

Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan, Ali banyak mengkritik kebijaksanaannya yang
dinilai terlalu memperhatikan kepentingan keluarganya. Ali menasihatinya agar bersikap tegas
terhadap kaum kerabatnya yang melakukan penyelewengan dengan mengatasnamakan dirinya.
Namun, nasihat itu tidak diindahkannya.

Akibatnya, terjadilah peristiwa berdarah yang berakhir dengan terbunuhnya Sayyidina Utsman di
tangan para Khawarij (kaum pemberontak).

Kritik Ali terhadap Utsman antara lain menyangkut Ubaidillah bin Umar, yang menurut Ali
harus dihukum hadd (hukuman dalam fiqih) sehubungan dengan pembunuhan yang
dilakukannya terhadap Hurmuzan. Utsman juga dinilai keliru ketika tidak melaksanakan
hukuman cambuk terhadap Walib bin Uqbah yang kedapatan mabuk. Cara Utsman memberi
hukuman kepada Abu Zarrah juga tidak disetujui Ali.

Utsman meminta bantuan kepada Ali ketika ia sudah dalam keadaan terdesak akibat protes dan
huru-hara yang dilancarkan oleh orang-orang yang tidak setuju kepadanya. Ketika rumah
Utsman dikepung oleh kaum pemberontak, Ali memerintahkan kedua putranya Hasan dan
Husein untuk melindungi Utsman. Akan tetapi karena pemberontak berjumlah banyak, Utsman
tidak dapat diselamatkan.

Setelah terbunuhnya Sayyidina Utsman, kaum muslimin meminta kesediaan Ali untuk dibaiat
(janji setia) menjadi khalifah. Mereka beranggapan tidak ada lagi orang yang patut menduduki
kursi khalifah setelah Utsman, kecuali Sayyidina Ali.

Dalam suasana yang masih kacau, akhirnya Ali dibaiat. Pembaiatan dimulai oleh sahabat-sahabat
besar, yaitu Talhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa'd bin Abi Waqqas, dan para sahabat
lainnya pada tanggal 25 Zulhijah 33 Hijriyah di Masjid Madinah.
Setelah dibaiat, Ali mengambil langkah-langkah politik, yaitu, memecat para pejabat yang
diangkat Utsman, termasuk di dalamnya beberapa gubernur, dan menunjuk penggantinya.
Mengambil tanah yang telah dibagikan Utsman kepada keluarga dan kaum kerabatnya tanpa
alasan kedudukan sebagai khalifah sampai terbunuh pada tahun 661.

Pemberontakan ketiga datang dari kaum Khawarij, yang semula merupakan bagian dari pasukan
Ali dalam menumpas pemberontakan Mu'awiyah, tetapi kemudian keluar dari barisan Ali karena
tidak setuju atas sikap Ali yang menerima tawaran berdamai dari pihak Mu'awiyah.

Karena mereka keluar dari barisan Ali, mereka disebut 'Khawarij' (orang-orang yang keluar).
Jumlah mereka ribuan orang. Dalam keyakinan mereka, Ali adalah Amirul Mukminin dan
mereka yang setuju untuk bertahkim telah melanggar ajaran agama. Menurut mereka, hanya
Tuhan yang berhak menentukan hukum, bukan manusia.

Ali dan sebagian pasukannya dinilai membuat keputusan keliru, yaitu berunding dengan lawan.
Kelompok Khawarij menyingkir ke Harurah, sebuah desa dekat Kufah. Mereka mengangkat
pemimpin sendiri, yaitu Syibis bin Rub'it at-Tamimi sebagai panglima angkatan perang dan
Abdullah bin Wahhab Ar-Rasibi sebagai pemimpin keagamaan.

Posisi Ali pun menjadi serba sulit. Di satu pihak, ia ingin menghancurkan Mu'awiyah yang
semakin kuat di Syam. Di pihak lain, kekuatan Khawarij menjadi sangat berbahaya jika tidak
segera ditumpas. Akhirnya Ali mengambil keputusan untuk menumpas kekuatan Khawarij
terlebih dahulu, baru kemudian menyerang Syam. Tetapi tercurahnya perhatian Ali untuk
menghancurkan kelompok Khawarij dimanfaatkan Mu'awiyah untuk merebut Mesir.

Pertempuran sengit antara pasukan Ali dan pasukan Khawarij terjadi di Nahrawan (di sebelah
timur Baghdad) pada tahun 658, dan berakhir dengan kemenangan di pihak Ali. Kelompok
Khawarij berhasil dihancurkan, hanya sebagian kecil yang dapat meloloskan diri. Pemimpin
mereka, Abdullah bin Wahhab ar-Rasibi, ikut terbunuh.

Sejak itu, kaum Khawarij menjadi lebih radikal. Kekalahan di Nahrawan menumbuhkan dendam
di hati mereka. Secara diam-diam kaum Khawarij merencanakan untuk membunuh tiga orang
yang dianggap sebagai biang keladi perpecahan umat, yaitu Ali, Mu'awiyah, dan Amr bin As.
Pembunuhnya ditetapkan tiga orang, yaitu: Abdurrahman bin Muljam ditugaskan membunuh Ali
di Kufah, Barak bin Abdillah at-Tamimi ditugaskan membunuh Mu'awiyah di Syam, dan Amr
bin Bakar at-Tamimi ditugaskan membunuh Amr bin As di Mesir.

Hanya Ibnu Muljam yang berhasil menunaikan tugasnya. Ia membunuh Ali dengan pedangnya
ketika Ali salat subuh di Masjid Kufah. Sayyidina Ali mengembuskan nafas terakhir sebagai
khalifah pada 21 Ramadan 40 Hijriyah (29 Januari 661). Beliau terluka oleh pedang yang
diracuni Abdurrahman bin Muljam.
 Dijuluki Karramallahu Wahjah

Ali bin Abi Thalib diberi gelar 'Karramallahu Wajhah' yang artinya semoga Allah memuliakan
wajahnya. Berdasarkan riwayat bahwa Beliau tidak suka menggunakan wajahnya untuk melihat
hal-hal buruk bahkan yang kurang sopan sekalipun.

Dalam sebagian riwayat disebutkan Beliau tidak suka memandang ke bawah bila sedang
berhubungan intim dengan istri. Sedangkan riwayat-riwayat lain menyebutkan dalam banyak
pertempuran, apabila pakaian musuh terbuka bagian bawah terkena sobekan pedangnya , maka
Ali enggan meneruskan duel hingga musuhnya lebih dahulu memperbaiki pakaiannya.

Ali bin Abi Thalib dijadikan oleh kaum sufi sebagai Imam dalam ilmu al-hikmah. Dari Beliau
bermunculan cabang-cabang tarekat (thoriqoh). Hampir seluruh pendiri tarekat Sufi adalah
keturunan dia sesuai dengan catatan nasab yang resmi mereka miliki.

Seperti tarekat Qadiriyah dengan pendirinya Syekh Abdul Qadir Jaelani, yang merupakan
keturunan langsung dari Ali melalui anaknya Hasan bin Ali seperti yang tercantum dalam kitab
manaqib Syekh Abdul Qadir Jailani (karya Syekh Ja'far Barzanji) dan banyak kitab-kitab
lainnya.

Anda mungkin juga menyukai