Anda di halaman 1dari 2

Krisis ketatanegaraan

Dari awal, para pendiri negara secara eksplisit sudah menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar (UUD)
1945 adalah konstistusi yang bersifat sementara. Bahkan, Soekarno menyebutnya sebagai UUD atau
revolutiegrondwet. Kondisi obyektif ini sudah diantisipasi oleh the fouding fathers dengan menyediakan
Pasal 37 UUD 1945 sebagai sarana untuk melakukan perubahan. Karena kelalaian menjalankan amanat
itu, sejak awal kemerdekaan proses penyelengaraan negara dilaksanakan dengan konstitusi yang
bersifat sementara.

Menelusuri perjalanan sejarah ketatanegaraan selama hampir setengah abad di bawah UUD 1945
(1945-1949 dan 1959-2002), persoalan mendasar tidak hanya terletak pada sifat kesementaraan tetapi
lebih kepada kelemahan-kelemahan elementer yang terdapat dalam UUD 1945. Misalnya, sangat
fleksibel untuk diterjemahkan sesuai dengan keinginan pemegang kekuasaan, terperangkap dalam
design ketatanegaraan yang rancu sehingga tidak membuka ruang untuk melaksanakan paradigma
checks and balances atau akuntabilitas horizontal dalam menciptakan good governance.

Kedua kelemahan itu sangat mewarnai perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia di bawah UUD
1945, yang kemudian bermuara pada multi-krisis yang terjadi pada penghujung abad XX dan sampai dua
tahun pertama awal abad XXI belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Misalnya dalam hal
penafsiran, pergantian sistem presidentil kepada sistem parlementer pada tanggal 14 November 1945.
Di dua era yang berbeda, Soekarno menafsirkan (memahami) demokrasi dalam UUD 1945 sebagai
Demokrasi Terpimpin sementara Soeharto menafsirkannya sebagai Demokrasi Pancasila dan kedua-
duanya melahirkan rejim otoriter.

Krisis ketatanegaraan yang diawali dengan kejatuhan Soeharto pada tahun 1998 memberikan
kesempatan untuk melakukan perubahan secara mendasar terhadap UUD 1945. Banyak anggapan
bahwa salah satu penyebab krisis itu adalah ketidakmampuan UUD 1945 mengantisipasi
penyelewengan-penyelewengan dalam praktek penyelenggaraan negara. Dalam waktu yang panjang,
UUD 1945 telah menjadi instrumen politik yang ampuh berkembangnya otoritarianisme dan
menyuburkan praktek kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) di sekitar kekuasaan Presiden. Oleh karena
itu, di masa reformasi menyusul berakhirnya kekuasaan Soeharto, agenda perubahan UUD 1945
menjadi sesuatu yang niscaya. Ini dapat dipahami bahwa tidak mungkin melakukan reformasi politik dan
ekonomi tanpa melakukan reformasi hukum. Reformasi hukum pun tidak mungkin dilakukan tanpa
melakukan perubahan terhadap konstitusi (constitutional reform).

Berikut ini akan dijelaskan secara ringkas implikasi perubahan UUD 1945 terhadap sistem
ketatanegaraan Indonesia.

Pertama, MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara dan pemegang kedaulatan
rakyat tertinggi. Penghapusan sistem lembaga tertinggi negara adalah upaya logis untuk keluar dari
perangkap design ketatanegaraan yang rancu dalam menciptakan mekanisme check and balances di
antara lembaga-lembaga negara. Selama ini, model MPR sebagai “pemegang kedaulatan rakyat
sepenuhnya” telah menjebak Indonesia dalam pemikiran-pemikiran kenegaraan yang berkembang
pasca-abad pertengahan untuk membenarkan kekuasaan yang absolut. Model supremasi MPR lebih
dekat kepada teori Jean Bodin bahwa kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi terhadap warga negara
tanpa ada pembatasan bersifat ‘tunggal’, ‘asli’, ‘abadi’, dan ‘tidak dapat dibagi-bagi’.

Kedua, hapusnya sistem unikameral dengan supremasi MPR dan munculnya sistem bikameral. Dalam
sistem bikameral, masing-masing kamar mencerminkan jenis keterwakilan yang berbeda yaitu DPR
merupakan representasi penduduk sedangkan DPD merupakan representasi wilayah (daerah).
Perubahan ini terjadi menjadi sebuah keniscayaan karena selama ini Utusan Daerah dalam MPR tidak
ikut membuat keputusan politik nasional dalam peringkat undang-undang. Menurut Ramlan Surbakti
keterwakilan daerah dalam MPR sangat tidak efektif dalam mewujudkan aspirasi dan kepentingan
daerah.

Ketiga, perubahan proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dari sistem perwakilan menjadi sistem
pemilihan langsung. Perubahan ini tidak terlepas pengalaman “pahit” yang terjadi pada proses pengisian
jabatan Presiden dan Wakil Presiden selama Orde Baru dan pemilihan Presiden tahun 1999. Paling tidak
ada empat alasan mendasar (raison d’etre) pergantian ini.

Anda mungkin juga menyukai