Anda di halaman 1dari 13

ABU DZAR AL-GHIFARI

Abu Dzar adalah salah satu sahabat nabi yang terdahulu memeluk Islam. Ia
mendatangi Nabi Muhammad langsung ke Mekkah untuk menyatakan keislamannya. Abu Dzar
Al Ghifari berasal dari suku Ghifar.

Bani Ghifar

Bani Ghifar adalah qabilah Arab suku badui yang tinggal di pegunungan yang jauh dari
peradaban orang-orang kota. Lebih-lebih lagi suku ini terkenal sebagai gerombolan perampok
yang senang berperang dan menumpahkan darah serta pemberani. Bani Ghifar terkenal juga
sebagai suku yang tahan menghadapi penderitaan dan kekurangan serta kelaparan. Latar
belakang tabi’at kesukuan, apakah itu tabiat yang baik ataukah tabi’at yang jelek, semuanya
terkumpul pada diri Abu Dzar.

Sebelum Masuk Islam

Tidak diketahui pasti kapan Abizar lahir. Sejarah hanya mencatat, ia lahir dan tinggal dekat jalur
kafilah Mekkah, Syria. Riwayat hitam masa lalu Abizar tak lepas dari keberadaan keluarganya.

Abizar yang dibesarkan di tengah-tengah keluarga perampok besar Al Ghiffar saat itu,
menjadikan aksi kekerasan dan teror untuk mencapai tujuan sebagai profesi keseharian. Itu
sebabnya, Abizar yang semula bernama Jundab, juga dikenal sebagai perampok besar yang
sering melakukan aksi teror di negeri-negeri di sekitarnya.

Kendati demikian, Jundab pada dasarnya berhati baik. Kerusakan dan derita korban yang
disebabkan oleh aksinya kemudian menjadi titik balik dalam perjalanan hidupnya: Insyaf dan
berhenti dari aksi jahatnya tersebut. Bahkan tak saja ia menyesali segala perbuatan jahatnya itu,
tapi juga mengajak rekan-rekannya mengikuti jejaknya. Tindakannya itu menimbulkan amarah
besar sukunya, yang memaksa Jundab meninggalkan tanah kelahirannya.
Bersama ibu dan saudara lelakinya, Anis Al Ghifar, Abizar hijrah ke Nejed Atas, Arab Saudi. Ini
merupakan hijrah pertama Abizar dalam mencari kebenaran. Di Nejed Atas, Abizar tak lama
tinggal. Sekalipun banyak ide-idenya dianggap revolusioner sehingga tak jarang mendapat
tentangan dari masyarakat setempat.

Awal masuk Islam

Nama lengkapnya yang mashur ialah Jundub bin Junadah Al Ghifari dan terkenal dengan
kuniahnya Abu Dzar. Di suatu hari tersebar berita di kampung Bani Ghifar, bahwa telah muncul
di kota Makkah seorang yang mengaku sebagai utusan Allah dan mendapat berita dari langit.
Berita ini membuat penasaran Abu Dzar, sehingga dia mengutus adik kandungnya, Unais Al
Ghifari untuk mencari berita ke Makkah. Unais sendiri adalah seorang penyair yang sangat
piawai dalam menggubah syair-syair Arab.

Setelah beberapa lama, kembalilah Unais kekampungnya dan melaporkan kepada Abu Dzar
tentang yang dilihat dan didengar di Makkah berkenaan dengan berita tersebut. Unais
menjelaskan bahwa ia telah menemui seseorang yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah
dari perbuatan jelek. Orang tersebut adalah yang benar ucapannya.

Abu dzar semakin penasaran sehingga iapun pergi ke mekah, saat itu ia bertemu dengan Ali bin
Abi Thalib, kemudian Ali bin Abi Thalib mengajaknya pergi menemui rasulullah.

Inilah saat yang paling dinanti oleh Abu Dzar dan ketika Rasulullah menawarkan Islam
kepadanya, segera Abu Dzar menyatakan masuk Islam dituntun Nabi Muhammad sallallahu
alaihi wa aalihi wasallam dengan mengucapkan dua kalimah syahadat. Rasulullah sallallahu
alaihi wa aalihi wa sallam berwasiat kepadanya : “Wahai Aba Dzar, sembunyikanlah
keislamanmu ini, dan pulanglah ke kampungmu !, maka bila engkau mendengar bahwa kami
telah menang, silakan engkau datang kembali untuk bergabung dengan kami”.
Mendengar wasiat tersebut Abu Dzar menegaskan kepada Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi
wa sallam: “Demi yang Mengutus engkau dengan kebenaran, sungguh aku akan meneriakkan di
kalangan mereka bahwa aku telah masuk Islam”. Dan Rasulullah mendiamkan tekat Abu Dzar
tersebut.

Setelah menyatakan keislamannya, ia berkeliling Mekkah untuk meneriakkan bahwa ia seorang


Muslim, hingga ia dipukuli oleh suku Quraisy. Atas bantuan dari Abbas bin Abdul Muthalib, ia
dibebaskan dari suku Quraisy, setalah suku Quraisy mengetahui bahwa orang yang dipukuli
berasal dari suku Ghifar.

Hijrah Ke Al Madinah :

Dengan telah masuk Islamnya seluruh kampung Bani Ghifar, dan setelah peperangan Badar,
Uhud dan Khandaq, Abu Dzar bergegas menyiapkan dirinya untuk berhijrah ke Al Madinah dan
langsung menemui Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam di masjid beliau. Dan sejak itu
Abu Dzar berkhidmat melayani berbagai kepentingan pribadi dan keluarga Rasulullah sallallahu
alaihi wa aalihi wasallam. Dia tinggal di Masjid Nabi dan selalu mengawal dan
mendampingi Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam kemanapun beliau berjalan.

Begitu dekatnya Abu Dzar dengan Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam, dan begitu
sayangnya beliau kepada Abu Dzar, sehingga disuatu hari pernah Abu Dzar meminta jabatan
kepada Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam. Maka beliau langsung menasehatinya :

(tulis hadisnya di Thabaqat Ibnu Sa’ad 3 / 164)

“Sesungguhnya engkau adalah orang yang lemah, dan sesungguhnya jabatan itu adalah
amanah, dan sesungguhnya jabatan itu akan menjadi kehinaan dan penyesalan bagi orang yang
menerima jabatan itu, kecuali orang yang mengambil jabatan itu dengan cara yang benar dan
dia menunaikan amanah jabatan itu dengan benar pula”. HR. Ibnu Sa’ad dalam Thabaqatnya.

Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam pernah berpesan kepadanya :

(tulis haditsnya di kitab Hilyatul Auliya’ 1 / 162)

“Wahai Abu Dzar, engkau adalah seorang yang shaleh, sungguh engkau akan ditimpa berbagai
mala petaka sepeninggalku”. Maka Abu Dzarpun bertanya : Apakah musibah itu sebagai ujian
di jalan Allah ?”, Rasulullahpun menjawab : “Ya, di jalan Allah”. Dengan penuh semangat Abu
Dzarpun menyatakan : “Selamat datang wahai mala petaka yang Allah taqdirkan”. HR. Abu
Nu’aim Al Asfahani dalam kitab Al Hilyah jilid 1 hal. 162.

Pendirian Abu Dzar

Abu Dzar sangat keras dengan pendiriannya. Dia berpendapat bahwa menyimpan harta yang
lebih dari keperluannya itu adalah haram. Sedangkan keumuman para Shahabat
Nabi berpendapat, bahwa boleh menyimpan harta dengan syarat bahwa harta itu telah dizakati
(yakni dikeluarkan zakatnya). Bahkan Abu Dzar menjauh dari para Shahabat Nabi sallallahu
alaihi wa aalihi wasallam yang mulai makmur hidupnya karena menjabat jabatan di
pemerintahan.

Meninggal dunia di tempat pengasingan :

Dengan sikap hidup yang demikian, Abu Dzar tidak punya teman dari kalangan sesama para
Shahabat Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam. Dia pernah tinggal di negeri Syam di zaman
pemerintahan Utsman bin Affan radhiyallahu anhu. Waktu itu gubernur negeri Syam
adalah Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu anhu. Maka Mu’awiyah merasa terganggu
dengan sikap hidupnya, sehingga meminta kepada Amirul Mu’minin Utsman bin Affan untuk
memanggilnya ke Madinah kembali. Abu Dzar akhirnya dipanggil kembali ke Madinah
oleh Utsman dan tentu dia segera menta’ati panggilan itu. Sesampainya di Madinah segera saja
Abu Dzar menghadap Amirul Mu’minin Utsman bin Affan. Abu Dzar diberi tahu oleh Amirul
Mu’minin bahwa dia dikehendaki untuk tinggal di Madinah menjadi orang dekatnya Amirul
Mu’minin Utsman. Mendengar penjelasan itu Abu Dzar menegaskan kepada beliau : “Wahai
Amirul Mu’minin, aku tidak senang dengan posisi demikian. Izinkanlah aku untuk tinggal di
daerah perbukitan Rabadzah di luar kota Madinah”. Di sanalah beliau wafat.

Saat wafat ia dikafani dengan jubah hasil pintalan ibu dari seorang pemuda Anshar. Saat bertemu
Abu dzar, pemuda itu memiliki dua buah jubah, satu ada di kantong tas baju, sedang yang
lainnya ialah baju yang sedang dipakai.

Abu Dzar amat gembira, kemudian dengan serta merta menyatakan kepadanya : “Engkaulah
orang yang aku minta mengkafani jenazahku nanti dengan jubbahmu itu”. Dengan penuh
kegembiraan, Abu Dzar menghembuskan nafas terakhirnya.

Penutup

Sejak menjadi orang muslim, Abu Dzar al Ghiffari benar-benar telah menghias sejarah
hidupnya dengan bintang kehormatan tertinggi. Dengan berani ia selalu siap berkorban untuk
menegakkan kebenaran Allah dan Rasul-Nya.Tanpa tedeng aling-aling ia bangkit memberontak
terhadap penyembahan berhala dan kebatilan dalam segala bentuk dan manifestasinya. Kejujuran
dan kesetiaan Abu Dzar dinilai oleh Rasulullah Saw sebagai "cahaya terang benderang."

Pada pribadi Abu Dzar tidak terdapat perbedaan antara lahir dan batin. Ia satu dalam ucapan dan
perbuatan. Satu dalam fikiran dan pendirian. Ia tidak pernah menyesali diri sendiri atau orang
lain, namun ia pun tidak mau disesali orang lain. Kesetiaan pada kebenaran Allah dan Rasul-Nya
terpadu erat degan keberaniannya dan ketinggian daya-juangnya. Dalam berjuang melaksanakan
perintah Allah Swt dan Rasul-Nya, Abu Dzar benar-benar serius, keras dan tulus. Namun
demikian ia tidak meninggalkan prinsip sabar dan hati-hati.
UWAIS AL-QARNI

Pemuda dari Yaman ini telah lama menjadi yatim, tak punya sanak famili kecuali hanya
ibunya yang telah tua renta dan lumpuh. Hanya penglihatan kabur yang masih tersisa. Untuk
mencukupi kehidupannya sehari-hari, Uwais bekerja sebagai penggembala kambing. Upah yang
diterimanya hanya cukup untuk sekadar menopang kesehariannya bersama Sang ibu, bila ada
kelebihan, ia pergunakan untuk membantu tetangganya yang hidup miskin dan serba kekurangan
seperti keadaannya.

Kesibukannya sebagai penggembala domba dan merawat ibunya yang lumpuh dan buta,
tidak memengaruhi kegigihan ibadahnya, ia tetap melakukan puasa di siang hari dan bermunajat
di malam harinya.

Uwais al-Qarni telah memeluk Islam pada masa negeri Yaman mendengar seruan Nabi
Muhammad ‫ﷺ‬. yang telah mengetuk pintu hati mereka untuk menyembah Allah, Tuhan Yang
Maha Esa, yang tak ada sekutu bagi-Nya. Islam mendidik setiap pemeluknya agar berakhlak
luhur.

Peraturan-peraturan yang terdapat di dalamnya sangat menarik hati Uwais, sehingga setelah
seruan Islam datang di negeri Yaman, ia segera memeluknya, karena selama ini hati Uwais selalu
merindukan datangnya kebenaran. Banyak tetangganya yang telah memeluk Islam, pergi
ke Madinah untuk mendengarkan ajaran Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬secara langsung. Sekembalinya di
Yaman, mereka memperbarui rumah tangga mereka dengan cara kehidupan Islam.

B. Bertemu Dengan Nabi


Alangkah sedihnya hati Uwais setiap melihat tetangganya yang baru datang dari Madinah.
Mereka itu telah "bertamu dan bertemu" dengan kekasih Allah penghulu para Nabi, sedang ia
sendiri belum. Kecintaannya kepada Rasulullah menumbuhkan kerinduan yang kuat untuk
bertemu dengan sang kekasih, tetapi apalah daya ia tak punya bekal
Di ceritakan ketika terjadi Pertempuran Uhud Rasulullah ‫ ﷺ‬mendapat cedera dan giginya
patah karena dilempari batu oleh musuh-musuhnya. Kabar ini akhirnya terdengar oleh Uwais. Ia
segera memukul giginya dengan batu hingga patah. Hal tersebut dilakukan sebagai bukti
kecintaannya kepada dia ‫ﷺ‬, sekalipun ia belum pernah melihatnya. Hari berganti dan musim
berlalu, dan kerinduan yang tak terbendung membuat hasrat untuk bertemu tak dapat dipendam
lagi. Uwais merenungkan diri dan bertanya dalam hati, kapankah ia dapat menziarahi Nabinya
dan memandang wajah dia dari dekat?

Tapi, bukankah ia mempunyai ibu yang sangat membutuhkan perawatannya dan tak tega
ditinggalkan sendiri, hatinya selalu gelisah siang dan malam menahan kerinduan untuk
berjumpa. Akhirnya, pada suatu hari Uwais mendekati ibunya, mengeluarkan isi hatinya dan
memohon izin kepada ibunya agar diperkenankan pergi menziarahi Nabi ‫ ﷺ‬di Madinah. Sang
ibu, walaupun telah uzur, merasa terharu ketika mendengar permohonan anaknya.

Dia memaklumi perasaan Uwais, dan berkata, "Pergilah wahai anakku! temuilah Nabi di
rumahnya. Dan bila telah berjumpa, segeralah engkau kembali pulang". Dengan rasa gembira ia
berkemas untuk berangkat dan tak lupa menyiapkan keperluan ibunya yang akan ditinggalkan
serta berpesan kepada tetangganya agar dapat menemani ibunya selama ia pergi.

Sesudah berpamitan sambil menciumi sang ibu, berangkatlah Uwais menuju Madinah yang
berjarak kurang lebih empat ratus kilometer dari Yaman. Medan yang begitu ganas dilaluinya,
tak peduli penyamun gurun pasir, bukit yang curam, gurun pasir yang luas yang dapat
menyesatkan dan begitu panas di siang hari, serta begitu dingin di malam hari, semuanya dilalui
demi bertemu dan dapat memandang sepuas-puasnya paras baginda Nabi ‫ ﷺ‬yang selama ini
dirindukannya. Tibalah Uwais al-Qarni di kota Madinah. Segera ia menuju ke rumah Nabi ‫ﷺ‬,
diketuknya pintu rumah itu sambil mengucapkan salam. Keluarlah Sayyidah Fathimah binti
Muhammad ‫ﷺ‬, sambil menjawab salam Uwais.

Segera saja Uwais menanyakan Nabi yang ingin dijumpainya. Namun ternyata dia ‫ ﷺ‬tidak
berada di rumah melainkan berada di medan perang. Betapa kecewa hati sang perindu, dari jauh
ingin berjumpa tetapi yang dirindukannya tak berada di rumah. Dalam hatinya bergolak perasaan
ingin menunggu kedatangan Nabi ‫ ﷺ‬dari medan perang.

Tapi, kapankah dia pulang ? Sedangkan masih terngiang di telinga pesan ibunya yang sudah
tua dan sakit-sakitan itu, agar ia cepat pulang ke Yaman," Engkau harus lekas pulang".

Karena ketaatan kepada ibunya, pesan ibunya tersebut telah mengalahkan suara hati dan
kemauannya untuk menunggu dan berjumpa dengan Nabi ‫ﷺ‬. Ia akhirnya dengan terpaksa mohon
pamit kepada Sayyidah Fathimah Radliyallahu 'anh untuk segera pulang ke negerinya. Dia hanya
menitipkan salamnya untuk Nabi ‫ ﷺ‬dan melangkah pulang dengan perasaan haru.

Sepulangnya dari perang, Nabi ‫ ﷺ‬langsung menanyakan tentang kedatangan orang yang
mencarinya. Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬menjelaskan bahwa Uwais al-Qarni adalah anak yang taat
kepada ibunya. Ia adalah penghuni langit (sangat terkenal di langit).Mendengar perkataan
baginda Rasulullah ‫ﷺ‬, Sayyidatina Fathimah a.s. dan para sahabatnya tertegun. Menurut
informasi Sayyidah Fathimah Radliyallahu 'anh, memang benar ada yang mencari Nabi ‫ ﷺ‬dan
segera pulang kembali ke Yaman, karena ibunya sudah tua dan sakit-sakitan sehingga ia tidak
dapat meninggalkan ibunya terlalu lama.

Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda : "Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia (Uwais al-Qarni),
perhatikanlah, ia mempunyai tanda putih di tengah-tengah telapak tangannya." Sesudah itu
dia ‫ﷺ‬, memandang kepada Imam Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Khattab dan bersabda, "Suatu
ketika, apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah do'a dan istighfarnya, dia adalah penghuni
langit dan bukan penghuni bumi".

Tahun terus berjalan, dan tak lama kemudian Nabi ‫ ﷺ‬wafat, hingga kekhalifahan Abu
Bakar telah diestafetkan kepada Khalifah Umar bin Khattab. Suatu ketika, khalifah Umar
teringat akan sabda Nabi ‫ﷺ‬. tentang Uwais al-Qarni, sang penghuni langit. Ia segera
mengingatkan kepada Imam Ali untuk mencarinya bersama. Sejak itu, setiap ada kafilah yang
datang dari Yaman, dia berdua selalu menanyakan tentang Uwais al-Qorni, apakah ia turut
bersama mereka.
Di antara kafilah-kafilah itu ada yang merasa heran, apakah sebenarnya yang terjadi sampai-
sampai ia dicari oleh dia berdua. Rombongan kafilah dari Yaman menuju Syam silih berganti,
membawa barang dagangan mereka.

C. Datang Ke Madinah

Suatu ketika, Uwais al-Qorni turut bersama rombongan kafilah menuju kota Madinah.
Melihat ada rombongan kafilah yang datang dari Yaman, segera khalifah Umar bin Khattab dan
Imam Ali mendatangi mereka dan menanyakan apakah Uwais turut bersama mereka.
Rombongan itu mengatakan bahwa ia ada bersama mereka dan sedang menjaga unta-
unta mereka di perbatasan kota. Mendengar jawaban itu, dia berdua bergegas pergi menemui
Uwais al-Qorni.

Sesampainya di kemah tempat Uwais berada, Khalifah Umar bin Khattab dan Imam Ali
memberi salam. Namun rupanya Uwais sedang melaksanakan salat. Setelah mengakhiri salatnya,
Uwais menjawab salam kedua tamu agung tersebut sambil bersalaman. Sewaktu berjabatan,
Khalifah Umar segera membalikkan tangan Uwais, untuk membuktikan kebenaran tanda putih
yang berada di telapak tangan Uwais, sebagaimana pernah disabdakan oleh Nabi ‫ﷺ‬. Memang
benar! Dia penghuni langit. Dan ditanya Uwais oleh kedua tamu tersebut, siapakah nama
saudara? "Abdullah", jawab Uwais.

Mendengar jawaban itu, kedua sahabatpun tertawa dan mengatakan, "Kami juga Abdullah,
yakni hamba Allah. Tapi siapakah namamu yang sebenarnya?" Uwais kemudian berkata, "Nama
saya Uwais al-Qorni".

Dalam pembicaraan mereka, diketahuilah bahwa ibu Uwais telah meninggal dunia. Itulah
sebabnya, ia baru dapat turut bersama rombongan kafilah dagang saat itu. Akhirnya, Khalifah
Umar dan Imam Ali memohon agar Uwais berkenan mendo'akan untuk mereka.

Uwais enggan dan dia berkata kepada khalifah, "Sayalah yang harus meminta do'a kepada
kalian". Mendengar perkataan Uwais, Khalifah berkata, "Kami datang ke sini untuk mohon do'a
dan istighfar dari anda".
Karena desakan kedua sahabat ini, Uwais al-Qorni akhirnya mengangkat kedua tangannya,
berdo'a dan membacakan istighfar. Setelah itu Khalifah Umar berjanji untuk menyumbangkan
uang negara dari Baitul Mal kepada Uwais, untuk jaminan hidupnya. Segera saja Uwais menolak
dengan halus dengan berkata, "Hamba mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang. Untuk
hari-hari selanjutnya, biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui orang lagi".

Setelah kejadian itu, nama Uwais kembali tenggelam tak terdengar beritanya. Tapi ada
seorang lelaki pernah bertemu dan ditolong oleh Uwais, waktu itu kami sedang berada di atas
kapal menuju tanah Arab bersama para pedagang, tanpa disangka-sangka angin topan berhembus
dengan kencang. Akibatnya hempasan ombak menghantam kapal kami sehingga air laut masuk
ke dalam kapal dan menyebabkan kapal semakin berat. Pada saat itu, kami melihat seorang laki-
laki yang mengenakan selimut berbulu di pojok kapal yang kami tumpangi, lalu kami
memanggilnya. Lelaki itu keluar dari kapal dan melakukan salat di atas air.

Betapa terkejutnya kami melihat kejadian itu. "Wahai waliyullah, tolonglah kami!" tetapi
lelaki itu tidak menoleh. Lalu kami berseru lagi, "Demi Zat yang telah memberimu kekuatan
beribadah, tolonglah kami!" Lelaki itu menoleh kepada kami dan berkata,

"Apa yang terjadi ?"

"Tidakkah engkau melihat bahwa kapal dihembus angin dan dihantam ombak?" tanya kami.

"Dekatkanlah diri kalian pada Allah!" katanya.

"Kami telah melakukannya."

"Keluarlah kalian dari kapal dengan membaca bismillahirrohmaani rrohiim!"

Kami pun keluar dari kapal satu persatu dan berkumpul di dekat itu. Pada saat itu jumlah kami
lima ratus jiwa lebih. Sungguh ajaib, kami semua tidak tenggelam, sedangkan perahu kami
berikut isinya tenggelam ke dasar laut.

Lalu orang itu berkata pada kami ,"Tak apalah harta kalian menjadi korban asalkan kalian semua
selamat". "Demi Allah, kami ingin tahu, siapakah nama Tuan ? "Tanya kami.

"Uwais al-Qorni". Jawabnya dengan singkat.


Kemudian kami berkata lagi kepadanya, "Sesungguhnya harta yang ada dikapal tersebut adalah
milik orang-orang fakir di Madinah yang dikirim oleh orang Mesir."

"Jika Allah mengembalikan harta kalian. Apakah kalian akan membagi-bagikannya kepada
orang-orang fakir di Madinah?" tanyanya.

"Ya, "jawab kami. Orang itu pun melaksanakan salat dua rakaat di atas air, lalu berdo'a. Setelah
Uwais al-Qorni mengucap salam, tiba-tiba kapal itu muncul ke permukaan air, lalu kami
menumpanginya dan meneruskan perjalanan. Setibanya di Madinah, kami membagi-bagikan
seluruh harta kepada orang-orang fakir di Madinah, tidak satupun yang tertinggal.

Beberapa waktu kemudian, tersiar kabar kalau Uwais al-Qorni telah pulang ke Rahmatullah.

Anehnya, pada saat dia akan dimandikan tiba-tiba sudah banyak orang yang berebutan untuk
memandikannya. Dan ketika dibawa ke tempat pembaringan untuk dikafani, di sana sudah ada
orang-orang yang menunggu untuk mengkafaninya.

Demikian pula ketika orang pergi hendak menggali kuburnya. Di sana ternyata sudah ada orang-
orang yang menggali kuburnya hingga selesai. Ketika usungan dibawa menuju ke pekuburan,
luar biasa banyaknya orang yang berebutan untuk mengusungnya.

Dan Syeikh Abdullah bin Salamah menjelaskan, "ketika aku ikut mengurusi jenazahnya hingga
aku pulang dari mengantarkan jenazahnya, lalu aku bermaksud untuk kembali ke tempat
penguburannya guna memberi tanda pada kuburannya, akan tetapi sudah tak terlihat ada bekas
kuburannya. (Syeikh Abdullah bin Salamah adalah orang yang pernah ikut berperang bersama
Uwais al-Qorni pada masa pemerintahan Umar bin Khattab)

D. Wafatnya Uwais Al Qarni


Meninggalnya Uwais al-Qorni telah menggemparkan masyarakat kota Yaman. Banyak
terjadi hal-hal yang amat mengherankan. Sedemikian banyaknya orang yang tak dikenal
berdatangan untuk mengurus jenazah dan pemakamannya, padahal Uwais adalah seorang fakir
yang tak dihiraukan orang.

Sejak ia dimandikan sampai ketika jenazahnya hendak diturunkan ke dalam kubur, di situ
selalu ada orang-orang yang telah siap melaksanakannya terlebih dahulu. Penduduk kota Yaman
tercengang. Mereka saling bertanya-tanya, "Siapakah sebenarnya engkau wahai Uwais al-Qorni?
Bukankah Uwais yang kita kenal, hanyalah seorang fakir yang tak memiliki apa-apa, yang
kerjanya hanyalah sebagai penggembala domba dan unta? Tapi, ketika hari wafatmu, engkau
telah menggemparkan penduduk Yaman dengan hadirnya manusia-manusia asing yang tidak
pernah kami kenal. Mereka datang dalam jumlah sedemikian banyaknya. Agaknya mereka
adalah para malaikat yang di turunkan ke bumi, hanya untuk mengurus jenazah dan
pemakamannya. Baru saat itulah penduduk Yaman mengetahuinya siapa "Uwais al-Qorni"
ternyata ia tak terkenal di bumi tetapi terkenal di langit.

Walaupun Uwais setiap hari selalu menyendiri dan tidak pernah berkumpul dengan orang
lain, namun pada saat-saat tertentu seperti ketika ada panggilan jihad untuk membela dan
mempertahankan agama Allah SWT, maka beliau ikut terpanggil bersama orang Islam lainnya
untuk berperang membela kebenaran.

Ketika terjadi perang shiffin antara golongan Ali melawan golongan Muawiyah, Uwais berada
pada golongannya Ali bin Abi Thalib. Ketika orang-orang Islam membebaskan daerah romawi,
beliau ikut barisan tentara Islam, dan ketika kembali ditengah perjalanan beliau terserang
meninggal pada penyakit dan tahun 39 H.

E. Keistimewaan Uwais Al Qarni

a. Setiap hari beiau selalu dalam keadaan lapar dan hanya memiliki pakaian yang melekat pada
tubuhnya. Ini menunjukkan bahwa beliau hidup sangat sederhana sekali. Daan dalam
kesederhanaan itu beliau selalu berdo'a kepada Allah SWT, "Ya Allah, janganlah ENGKAU
siksa aku karena ada yang mati kelaparan dan jangan pula ENGKAU siksa aku karena ada yang
kedinginan".

b. Beliau selalu bersam Tuhan dan orang-orang yang lemah. Beliau dapat merasakan penderitaan
yang dialami oleh orang-orang yang lemah dan membuat dirinya seperti mereka sebagaimana
yang pernah diamalkan Rasulullah SAW.

c. Pada hari kiamat nanti, dimana semua manusia akan dibangkitkan kembali, Uwais Al Qarni
akan memberikan syafa'at kepada sejumlah manusia sebanyak domba yang dimiliki Rabi'ah dan
Mundhar, demikian yang disabdakan Rasulullah SAW kepada Ali bin Abi Thalib dan Umar bin
Khattab.

d. Beliau adalah seorang sufi yang amat sederhana, takut dan ta'at pada Allah SWT, ta'at pada
Rasulullah SAW dan kedua orang tuanya. Pada waktu siang hari beliau selalu giat bekerja, tetapi
walaupun beliau pada siang hari giat bekerja, mulutnya selalu membaca istighfar dan membaca
ayat-ayat Al Quran.

e. Walaupun beliau tidak pernah bertemu dengan Rasulullah SAW, tetapi rohaninya selalu
berhubungan.

Anda mungkin juga menyukai