Anda di halaman 1dari 15

Abu Dzar Al Ghifari radhiyallahu’anhu

Muhamad Nurdin Fathurrohman Saturday, July 12, 2014 Sahabat Nabi


Artikel "Abu Dzar Al Ghifari radhiyallahu’anhu" adalah bagian dari seri "Kisah Sahabat Nabi
Muhammad SAW"

Makam Abu Dzar Al Ghifari (Foto:catatan fahmi hasan)


Abu Dzar adalah salah satu sahabat nabi yang terdahulu memeluk Islam. Ia mendatangi Nabi
Muhammad langsung ke Mekkah untuk menyatakan keislamannya. Abu Dzar Al Ghifari berasal
dari suku Ghifar.

Bani Ghifar
Bani Ghifar adalah qabilah Arab suku badui yang tinggal di pegunungan yang jauh dari
peradaban orang-orang kota. Lebih-lebih lagi suku ini terkenal sebagai gerombolan perampok
yang senang berperang dan menumpahkan darah serta pemberani. Bani Ghifar terkenal juga
sebagai suku yang tahan menghadapi penderitaan dan kekurangan serta kelaparan. Latar
belakang tabi’at kesukuan, apakah itu tabiat yang baik ataukah tabi’at yang jelek, semuanya
terkumpul pada diri Abu Dzar.

Sebelum Masuk Islam


Tidak diketahui pasti kapan Abizar lahir. Sejarah hanya mencatat, ia lahir dan tinggal dekat jalur
kafilah Mekkah, Syria. Riwayat hitam masa lalu Abizar tak lepas dari keberadaan keluarganya.

Abizar yang dibesarkan di tengah-tengah keluarga perampok besar Al Ghiffar saat itu,
menjadikan aksi kekerasan dan teror untuk mencapai tujuan sebagai profesi keseharian. Itu
sebabnya, Abizar yang semula bernama Jundab, juga dikenal sebagai perampok besar yang
sering melakukan aksi teror di negeri-negeri di sekitarnya.

Kendati demikian, Jundab pada dasarnya berhati baik. Kerusakan dan derita korban yang
disebabkan oleh aksinya kemudian menjadi titik balik dalam perjalanan hidupnya: Insyaf dan
berhenti dari aksi jahatnya tersebut. Bahkan tak saja ia menyesali segala perbuatan jahatnya itu,
tapi juga mengajak rekan-rekannya mengikuti jejaknya. Tindakannya itu menimbulkan amarah
besar sukunya, yang memaksa Jundab meninggalkan tanah kelahirannya.

Bersama ibu dan saudara lelakinya, Anis Al Ghifar, Abizar hijrah ke Nejed Atas, Arab Saudi. Ini
merupakan hijrah pertama Abizar dalam mencari kebenaran. Di Nejed Atas, Abizar tak lama
tinggal. Sekalipun banyak ide-idenya dianggap revolusioner sehingga tak jarang mendapat
tentangan dari masyarakat setempat.

Awal masuk Islam


Nama lengkapnya yang mashur ialah Jundub bin Junadah Al Ghifari dan terkenal dengan
kuniahnya Abu Dzar. Di suatu hari tersebar berita di kampung Bani Ghifar, bahwa telah muncul
di kota Makkah seorang yang mengaku sebagai utusan Allah dan mendapat berita dari langit.
Berita ini membuat penasaran Abu Dzar, sehingga dia mengutus adik kandungnya, Unais Al
Ghifari untuk mencari berita ke Makkah. Unais sendiri adalah seorang penyair yang sangat
piawai dalam menggubah syair-syair Arab.

Setelah beberapa lama, kembalilah Unais kekampungnya dan melaporkan kepada Abu Dzar
tentang yang dilihat dan didengar di Makkah berkenaan dengan berita tersebut. Unais
menjelaskan bahwa ia telah menemui seseorang yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah
dari perbuatan jelek. Orang tersebut adalah yang benar ucapannya.

Abu dzar semakin penasaran sehingga iapun pergi ke mekah, saat itu ia bertemu dengan Ali bin
Abi Thalib, kemudian Ali bin Abi Thalib mengajaknya pergi menemui rasulullah.

Inilah saat yang paling dinanti oleh Abu Dzar dan ketika Rasulullah menawarkan Islam
kepadanya, segera Abu Dzar menyatakan masuk Islam dituntun Nabi Muhammad sallallahu
alaihi wa aalihi wasallam dengan mengucapkan dua kalimah syahadat. Rasulullah sallallahu
alaihi wa aalihi wa sallam berwasiat kepadanya : “Wahai Aba Dzar, sembunyikanlah
keislamanmu ini, dan pulanglah ke kampungmu !, maka bila engkau mendengar bahwa kami
telah menang, silakan engkau datang kembali untuk bergabung dengan kami”.

Mendengar wasiat tersebut Abu Dzar menegaskan kepada Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi
wa sallam: “Demi yang Mengutus engkau dengan kebenaran, sungguh aku akan meneriakkan di
kalangan mereka bahwa aku telah masuk Islam”. Dan Rasulullah mendiamkan tekat Abu Dzar
tersebut.

Setelah menyatakan keislamannya, ia berkeliling Mekkah untuk meneriakkan bahwa ia seorang


Muslim, hingga ia dipukuli oleh suku Quraisy. Atas bantuan dari Abbas bin Abdul Muthalib, ia
dibebaskan dari suku Quraisy, setalah suku Quraisy mengetahui bahwa orang yang dipukuli
berasal dari suku Ghifar.
Hijrah Ke Al Madinah :
Dengan telah masuk Islamnya seluruh kampung Bani Ghifar, dan setelah peperangan Badar,
Uhud dan Khandaq, Abu Dzar bergegas menyiapkan dirinya untuk berhijrah ke Al Madinah dan
langsung menemui Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam di masjid beliau. Dan sejak itu
Abu Dzar berkhidmat melayani berbagai kepentingan pribadi dan keluarga Rasulullah sallallahu
alaihi wa aalihi wasallam. Dia tinggal di Masjid Nabi dan selalu mengawal dan mendampingi
Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam kemanapun beliau berjalan.

Begitu dekatnya Abu Dzar dengan Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam, dan begitu
sayangnya beliau kepada Abu Dzar, sehingga disuatu hari pernah Abu Dzar meminta jabatan
kepada Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam. Maka beliau langsung menasehatinya :

(tulis hadisnya di Thabaqat Ibnu Sa’ad 3 / 164)

“Sesungguhnya engkau adalah orang yang lemah, dan sesungguhnya jabatan itu adalah
amanah, dan sesungguhnya jabatan itu akan menjadi kehinaan dan penyesalan bagi orang yang
menerima jabatan itu, kecuali orang yang mengambil jabatan itu dengan cara yang benar dan
dia menunaikan amanah jabatan itu dengan benar pula”. HR. Ibnu Sa’ad dalam Thabaqatnya.

Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam pernah berpesan kepadanya :

(tulis haditsnya di kitab Hilyatul Auliya’ 1 / 162)

“Wahai Abu Dzar, engkau adalah seorang yang shaleh, sungguh engkau akan ditimpa berbagai
mala petaka sepeninggalku”. Maka Abu Dzarpun bertanya : Apakah musibah itu sebagai ujian
di jalan Allah ?”, Rasulullahpun menjawab : “Ya, di jalan Allah”. Dengan penuh semangat Abu
Dzarpun menyatakan : “Selamat datang wahai mala petaka yang Allah taqdirkan”. HR. Abu
Nu’aim Al Asfahani dalam kitab Al Hilyah jilid 1 hal. 162.

Pendirian Abu Dzar


Abu Dzar sangat keras dengan pendiriannya. Dia berpendapat bahwa menyimpan harta yang
lebih dari keperluannya itu adalah haram. Sedangkan keumuman para Shahabat Nabi
berpendapat, bahwa boleh menyimpan harta dengan syarat bahwa harta itu telah dizakati (yakni
dikeluarkan zakatnya). Bahkan Abu Dzar menjauh dari para Shahabat Nabi sallallahu alaihi wa
aalihi wasallam yang mulai makmur hidupnya karena menjabat jabatan di pemerintahan.

Meninggal dunia di tempat pengasingan :


Dengan sikap hidup yang demikian, Abu Dzar tidak punya teman dari kalangan sesama para
Shahabat Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam. Dia pernah tinggal di negeri Syam di zaman
pemerintahan Utsman bin Affan radhiyallahu anhu. Waktu itu gubernur negeri Syam adalah
Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu anhu. Maka Mu’awiyah merasa terganggu dengan sikap
hidupnya, sehingga meminta kepada Amirul Mu’minin Utsman bin Affan untuk memanggilnya
ke Madinah kembali. Abu Dzar akhirnya dipanggil kembali ke Madinah oleh Utsman dan tentu
dia segera menta’ati panggilan itu. Sesampainya di Madinah segera saja Abu Dzar menghadap
Amirul Mu’minin Utsman bin Affan. Abu Dzar diberi tahu oleh Amirul Mu’minin bahwa dia
dikehendaki untuk tinggal di Madinah menjadi orang dekatnya Amirul Mu’minin Utsman.
Mendengar penjelasan itu Abu Dzar menegaskan kepada beliau : “Wahai Amirul Mu’minin, aku
tidak senang dengan posisi demikian. Izinkanlah aku untuk tinggal di daerah perbukitan
Rabadzah di luar kota Madinah”. Di sanalah beliau wafat.

Saat wafat ia dikafani dengan jubah hasil pintalan ibu dari seorang pemuda Anshar. Saat bertemu
Abu dzar, pemuda itu memiliki dua buah jubah, satu ada di kantong tas baju, sedang yang
lainnya ialah baju yang sedang dipakai.

Abu Dzar amat gembira, kemudian dengan serta merta menyatakan kepadanya : “Engkaulah
orang yang aku minta mengkafani jenazahku nanti dengan jubbahmu itu”. Dengan penuh
kegembiraan, Abu Dzar menghembuskan nafas terakhirnya.

Penutup
Sejak menjadi orang muslim, Abu Dzar al Ghiffari benar-benar telah menghias sejarah hidupnya
dengan bintang kehormatan tertinggi. Dengan berani ia selalu siap berkorban untuk menegakkan
kebenaran Allah dan Rasul-Nya.Tanpa tedeng aling-aling ia bangkit memberontak terhadap
penyembahan berhala dan kebatilan dalam segala bentuk dan manifestasinya. Kejujuran dan
kesetiaan Abu Dzar dinilai oleh Rasulullah Saw sebagai "cahaya terang benderang."

Pada pribadi Abu Dzar tidak terdapat perbedaan antara lahir dan batin. Ia satu dalam ucapan dan
perbuatan. Satu dalam fikiran dan pendirian. Ia tidak pernah menyesali diri sendiri atau orang
lain, namun ia pun tidak mau disesali orang lain. Kesetiaan pada kebenaran Allah dan Rasul-Nya
terpadu erat degan keberaniannya dan ketinggian daya-juangnya. Dalam berjuang melaksanakan
perintah Allah Swt dan Rasul-Nya, Abu Dzar benar-benar serius, keras dan tulus. Namun
demikian ia tidak meninggalkan prinsip sabar dan hati-hati. (berbagai sumber)
bu Dzar al-Ghifari
Sahabat

Abu Dzar al-Ghifari


Info pribadi

Jundub bin Junadah bin Sufyan al-


Nama lengkap
Ghifari

Julukan Abu Dar

Garis keturunan Bani Ghifar

Muhajir/Anshar Muhajir

Tempat Tinggal Madinah • Suriah • Rabadzah

Wafat/Syahadah 32 H/653

Tempat
Rabadzah
dimakamkan

Informasi Keagamaan

Hijrah ke Madinah

Peran utama Sahabat Imam Ali as

Protes terhadap para Khalifah


khususnya dalam peristiwa Saqifah
Aktivitas lain
dan pencegahan penulisan dan
penukilan hadis

Jundub bin Junadah bin Sufyan al-Ghifari (bahasa Arab:‫جنادَة بن سفيان ال ِغفاري‬ ُ ْ‫) ُج ْندُب‬
ُ ‫بن‬
yang dikenal dengan nama Abu Dzar Ghifari (‫ )أبوذر الغفاري‬adalah sahabat utama Nabi
Muhammad saw dan penolong setia Imam Ali serta termasuk empat pilar sahabat Nabi saw. Ia
termasuk sahabat dan pencinta hakiki Nabi saw dan Ahlulbait as yang memiliki sifat-sifat dan
keutamaan banyak baik menurut Syiah maupun Sunni. Kritikan Abu Dzar yang dilancarkan
kepada Utsman, khalifah ketiga membuatnya diungsikan ke Syam (Suriah) dan selanjutnya ke
Rabadzah hingga meninggal di sana.
Wiladah, Nasab dan Sifat-sifat

Abu Dzar, lahir 20 tahun sebelum munculnya agama Islam dalam sebuah keluarga dari kabilah
Ghifar yang merupakan kabilah asli suku Arab. [1] Ayahandanya, Junadah adalah putra Ghifar,
ibundanya Ramlah binti al-Waqi'ah dari kabilah Bani Ghifar bin Malil. [2] Ahli sejarah
mengatakan bahwa terdapat perbedaan pendapat mengenai nama Ayahanda Abu Dzar: Yazid,
Jundub, 'Asyraqah, Abdullah dan Sakan juga disebut-sebut sebagai nama ayah Abu Dzar. [3]

Ibnu Hajar 'Asqalani menulis: Abu Dzar adalah seorang pria berperawakan tinggi dan berbadan
kurus. [4] Ibnu Sa'd mengenalkan Abu Dzar sebagai seorang laki-laki yang berbadan tinggi dan
berjanggut warna putih. [5] Dzahabi berkata: Abu Dzar seorang laki-laki yang memiliki
perawakan yang kuat dan janggut tebal.[6]

Nama-nama dan Julukan

Ia dipanggil dengan nama Abu Dzar karena memiliki putra bernama "Dzar". Kebanyakan orang
mengenal dengan julukan itu namun terkait dengan nama aslinya terjadi perbedaan seperti Badar
bin Jundub, Burair bin Abdullah, Burair bin Junadah, Burairah bin 'Asyraqah, Jundub bin
Abdullah, Jundub bin Sakan dan Yazid bin Junadah. [7] Nama yang masyhur dan benar
nampaknya adalah Jundub bin Yazid. [8]

Istri dan Anak

Berdasarkan sumber-sumber yang ada, ia mempunyai seorang putra bernama "Dzar". Kulaini
mencatat hal ini dalam bab wafatnya Dzar. [9] Istrinya bernama Ummu Dzar. [10]

Islam

Ia adalah orang yang terdahulu dan terdepan dalam Islam. [11] Menurut sebagian pendapat, Abu
Dzar sebelum memeluk Islam adalah pemeluk ajaran monoteisme, dan tiga tahun sebelum bi'tsah
Nabi saw ia beriman kepada Allah Swt. [12] Ibnu Habib Baghdadi berkata bahwa Abu Dzar
termasuk orang-orang yang berkeyakinan bahwa minum-minuman keras dan azlam (mengundi
nasib dengan anak panah) pada zaman jahiliyah adalah haram. [13] Setelah Islam muncul, ia
termasuk menjadi pribadi-pribadi yang paling pertama masuk Islam. Terdapat sebuah riwayat:
Aku adalah orang ke-empat yang mendatangi Nabi saw dan berkata, "Salam bagimu, Wahai
Rasulullah! Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa
Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Kemudian aku melihat muka nabi pun nampak
bahagia. [14]

Ibnu Abbas begini menceriterakan ke-Islaman Ibnu Abbas: Ketika Abu Dzar mendengar bi'tsah
Nabi di Mekah, kepada saudaranya, Anis berkata: Pergilah ke negeri itu, dan kabarkan kepadaku
tentang seorang laki-laki yang telah menerima kabar, dengarkanlah kata-katanya kemudian
kembalilah kepadaku. Abu Dzar berkata: Karena pagi telah datang, aku pun bersama dengan
Imam Ali pergi ke rumah Nabi saw. [15]
Kisah tentang ke-Islaman Abu Dzar dalam referensi-referensi Syiah diceriterakan dengan bentuk
lain. Kulaini dalam riwayat yang berasal dari Imam Shadiq As, disamping menceriterakan
kekagumannya tentang kisah itu, juga menukilkan tentang ke-Islaman Abu Dzar.[16]

Keutamaan Abu Dzar

Nabi Muhammad berkata kepada Abu Dzar: Selamat datang wahai Abu Dzar! Anda bagian dari
kami Ahlulbait. [17] Atau di tempat lain tentang Abu Dzar berkata: Tidak ada seorang yang lebih
jujur dari Abu Dzar. [18] Rasulullah saw dalam riwayat yang lain mensifati Abu Dzar dengan
zuhud dan rendah hati seperti Isa bin Maryam as. [19] Imam Ali ketika ditanya mengenai Abu
Dzar, bersabda: Ia memiliki ilmu yang tidak mampu dimiliki oleh orang lain dan bersandar
terhadap ilmu itu, padahal ilmu itu bukan sesuatu yang sedikit. [20] Imam Ali as berkata bahwa
surga sangat merindukan Abu Dzar. [21]

Imam Baqir as bersabda: Setelah Rasulullah saw meninggal, semua manusia murtad dan menarik
diri dari Imam Ali, kecuali tiga orang: Salman, Abu Dzar dan Miqdad. Bahkan Ammar pun
mengalami keraguan, namun kemudian ia kembali. [22]

Imam Shadiq as terkait dengan ibadah Abu Dzar bersabda, ibadah yang paling banyak
dilakukannya adalah tafakur, ia sedemikan takut kepada Allah, sehingga matanya luka. [23] Imam
Shadiq as dalam riwayat yang lain bersabda: Abu Dzar berkata: Aku mencintai 3 hal yang
dibenci oleh orang lain: kematian, kefakiran dan bencana. Imam Shadiq as melanjutkan: yang
dimaksud oleh Abu Dzar dengan kematian dalam ketaatan kepada Allah lebih baik dari pada
kemaksiatan dalam kehidupannya dan bermaksiat kepada Allah; bencana dalam ketaatan lebih ia
sukai dari pada kesehatan dalam kemaksiatan kepada-Nya; kefakiran dalam ketaatan kepada
Allah Swt lebih baik dari pada ketidakbutuhan dalam bermaksiat kepada-Nya. [24]Menurut
literatur-literatur Syiah, Abu Dzar Ghifari merupakan 4 pilar sahabat dalam agama Islam
termasuk Miqdad, Ammar. [25] Syaikh Mufid meriwayatkan hadis dari Imam Kazhim As bahwa
pada hari kiamat akan ada seruan bahwa dimanakah engkau wahai hawariyyun Nabi Muhammad
saw yang tidak pernah mengingkari janjinya? Kemudian, Salman, Miqdad dan Abu Dzar pun
berdiri dari tempatnya. [26]Agha Buzurg Tehrani, dua kitab "Akhbār Abi Dzar" karangan Abu
Mansur Dhafar bin Hamsun Badarai[27] dan "Akhbār Abi Dzar wa Fadhilahu" karya Syaikh
Shaduq[28] menulis dalam bab Ahwalat dan Fadhilah Abu Bakar.

Sayid Alikhan Madani mengenai Abu Dzar berkata: Abu Dzar termasuk seorang alim besar dan
memiliki maqam dalam kezuhudan yang dalam tahun-tahun yang lama memberi uang sebanyak
400 dinar dan tidak mengumpulkan apa-apa untuk dirinya. [29]

Bahrul Ulum menyebutkan bahwa Abu Dzar merupakan salah seorang Hawariyun yang berjalan
di samping Sayidul Mursalin dan selalu menyebutkan keutamaan Ahlulbait As serta bersikap
keras terhadap musuh-musuhnya. [30]

Abu Na'min Isfahani juga berkata: Abu Dzar berkhidmat kepada Nabi Muhammad saw dan
belajar usul Islam dari Nabi saw dan ia pun berada di sisi Nabi dalam kesempatan yang lainnya,
Ia adalah orang yang tidak memakan riba semenjak syairat Islam belum turun dan sebelum
Ahkam Ilahi ditentukan. Ia berjuang di jalan kebenaran, ia tidak menghiraukan hardikan dan
tidak pernah taat kepada para penguasa tiran.[31]

Mencintai Imam Ali as

Irbili meriwayatkan bahwa Abu Dzar menjadikan Imam Ali sebagai washi bagi dirinya dan
berkata: Aku bersumpah dan Ali in Abi Thalib as adalah pelaksana wasiatku. Meski kalian telah
berpisah darinya dan khilafahnya telah dirampas. [32] Ibnu Abil Hadid juga berkata: Ketika Abu
Dzar berada di Rabadzah kepada Ibnu Rafi' berkata: fitnah akan segera terjadi, takutlah kepada
Tuhan dan lindungilah Ali bin Abi Thalib as. [33] Pertemanan dan kecintaan kepada Ali bin Abi
Thalib as ini menyebabkan ia turut serta dalam menguburkan pemakaman Sayidah Fatimah
Zahra. [34]

Pada Masa Kehilafahan

Abu Dzar tidak pernah melepaskan pembelaannya dari hak Imam Ali pada permulaan baiat
kepada Abu Bakar.[35] Ia pada zaman khalifah ke dua, Umar bin Khattab, adalah seseorang yang
tidak mempedulikan adanya pelarangan pencatatan hadis atas perintah Umar dan berkata: Demi
Allah! Apabila pedang itu disabetkan ke lidahku sehingga aku tidak meriwayatkan hadis dari
Nabi saw, maka aku akan lebih memilih perobekan lidahku dengan pedang dari pada harus tidak
meriwayatkan hadis dari Nabi. [36]Periwayatan hadis ini menyebabkan Abu Dzar dan beberapa
orang lainnya dipenjara pada zaman Umar.[37]

Dibuang ke Suriah

Menurut Ibnu Abil Hadid sebab diasingkannya Abu Dar ke Suriah adalah karena khalifah
Utsman membagi-bagikan uang baitul mal kepada Marwan bin Hakam, Zaid bin Tsabit. Abu
Dzar berteriak dan memprotes kebijakan Utsman sehingga ia diusir dari Madinah dan diasingkan
ke Syam (Suriah). [38]

Di Suriah ia mengkritik kebijakan yang dijalankan oleh Muawiyah. Pada suatu ketika, Muawiyah
mengirimkan uang sebanyak 300 dinar kepada Abu Dzar. Abu Dzar berkata kepada orang yang
membawa uang itu, Apabila uang ini adalah bagianku dari baitul mal, maka hal ini tidak pernah
anda berikan, namun jika hal itu adalah hadiah, maka aku tidak memerlukan uang itu dan
kirimkanlah kembali uang itu kepada Muawiyah. Ketika Muawiyah membagun istana Khizra
(istana hijau) di Damaskus, Abu Dzar berkata: Wahai Muawiyah! Apabila uang itu berasal dari
Allah, maka sesungguhnya anda telah berkhianat dan apabila uang itu berasal dari dirimu sendiri,
maka sesungguhnya anda telah bertindak israf (berlebihan).

Oleh itu, Abu Dzar selalu melancarkan kritikan kepada Muawiyah. Kepada Muawiyah, ia
berkata: anda telah melakukan berbagai pekerjaan yang tidak aku ketahui, aku bersumpah demi
Tuhan! Tindakan-tindakan yang anda lakukan ini tidak ada dalam Al-Qur'an dan hadis Nabi, aku
melihat kebenaran yang tidak akan pernah padam, melihat kebatilan yang akan hidup dan aku
melihat kejujuran yang dianggap sebagai kedustaan sehingga pada suatu hari, karena Muawiyah
geram dengan perkataan ini, maka ia memerintahkan untuk menangkap Abu Dzar dan
mencapnya sebagai musuh Tuhan dan musuh Rasul. Abu Dzar dalam menjawab perkataan
Muawiyah berujar: aku bukan musuh Tuhan, bukan pula musuh Nabi saw namun anda dan
ayahmulah yang merupakan musuh Tuhan dan musuh Nabi saw. Secara lahir anda memeluk
Islam tapi kekufuran Anda ada dalam hati, dan pasti Nabi saw melaknat Anda dan telah beberapa
kali melaknat Anda dan Anda-pun tidak pernah puas dengan perkataan ini. Muawiyah berkata:
Aku bukanlah orang yang kamu sebutkan itu. Abu Dzar berkata: tidak, sesungguhnya itulah
dirimu. Rasulullah saw bersabda kepadaku: aku sendiri mendengar bahwa Nabi saw berkata:
Tuhanku, laknatlah ia (Muawiyah) dan jangan kenyangkan ia kecuali dengan tanah. Pada
kesemputan itulah Muawiyah memerintahkan supaya memenjarakan Abu Dzar. [39] Dikatakan
juga bahwa di Syam, Abu Dzar menjelaskan tentang fadhilah Rasulullah saw dan Ahlulbait,
Muawiyah melarang masyarakat untuk mendatangi majelis Abu Dzar dan menulis surat kepada
Utsman untuk melaporkan perkataan Abu Dzar. Setelah menerima surat jawaban dari Utsman,
Muawiyah mengasingkan Abu Dzar ke Madinah. [40]

Pengasingan ke Rabadzah

Abu Dzar di Madinah bertemu dengan Utsman. Ia tidak menerima dinar yang diberikan oleh
khalifah dan justru melakukan kritik pedas kepada pemerintahannya. Utsman tidak tahan dalam
menerima kritikan itu sehingga ia mengasingkan Abu Dzar dengan keadaan yang paling buruk.
Rekaman tentang percakapan antara Abu Dzar dan Utsman tersebar dalam kitab sejarah. [41]
Utsman melarang seseorang untuk mengawal dan mengajak berbicara ketika Abu Dzar dibuang
ke Rabadzah. Dengan demikian, tidak ada seorang pun yang berani menyertainya, namun
walaupun begitu, Imam Ali as dan dua bersaudara, Imam Hasan as dan Imam Husain, Ammar
dan Yasir siap untuk mengawal Abu Dzar dan melepas kepergiannya.[42]

Wafat

Abu Dzar meninggal bulan D

zulhijjah meninggal pada pemerintahan khalifah Utsman di Rabadzah, [43]Ibnu Katsir menulis:
Ketika Abu Dzar meninggal, tidak ada seorang pun berada di sisinya, kecuali istrinya. [44] Zirikli
berkata: Ia meninggal dalam keadaan dirumahnya tidak mempunyai apa-apa sehingga tidak ada
kain untuk mengkafankannya. [45] Mihran bin Maimun menceriterakan: yang aku lihat di rumah
Abu Dzar tidak lebih bernilai dari 2 dirham. [46]

Telah dinukilkan bahwa ketika Ummu Dzar menangis dan kepada suaminya berkata: engkau
akan meninggal di padang pasir dan aku tidak mempunyai kain untuk mengkafanimu, Abu Dzar
berkata kepada istrinya: Jangan menangis dan bergembiralah! Karena pada suatu hari Rasulullah
bersabda: salah seorang dari kalian akan meninggal di padang pasir dan sekelompok dari kaum
Mukminin akan menguburkanmu. Semua orang yang bersamaku kala itu meninggal di kota dan
diantara masyarakat dan perkataan Nabi itu tentang diriku. [47]

Setelah itu, Abdullah bin Mas'ud dan sebagian penolong setianya (Hajar bin Adabir, Malik
Asytar dan sekelompok pemuda dari Kaum Anshar) secara kebetulan lewat dari sana dan
kemudian sibuk memandian dan mengkafankan. Kemudian Abdullah bin Mas'ud pun mensalati
jenazahnya. [48]
Sesuai dengan laporan Tarikh Ya'qubi, Hudzaifah bin Yaman, sejumlah tokoh masyarakat pun
ikut bergabung dalam acara pemakaman Abu Dzar. [49] Berdasarkan semua sumber, kuburan Abu
Dzar berada di Rabadzah. [50]

Abu Dzar al-Ghifari


radhiyallahu anhu

Jundub bin Junadah bin Sakan (Arab: ‫ ) ُجندب بن َجنادة‬atau lebih dikenal dengan nama Abu Dzar
al-Ghifari atau Abizar al-Ghifari adalah sahabat Nabi Muhammad.

Biografi

Abu Dzar berasal dari suku Ghifar (dikenal sebagai penyamun pada masa sebelum datangnya
Islam). Ia memeluk Islam dengan sukarela. Ia salah seorang sahabat yang terdahulu dalam
memeluk Islam. Ia mendatangi Nabi Muhammad langsung ke Mekah untuk menyatakan
keislamannya.

Setelah menyatakan keislamannya, ia berkeliling Mekkah untuk mengabarkan bahwa ia kini


adalah seorang Muslim, hingga memicu kekhawatiran serta kemarahan kaum kafir Quraisy dan
membuatnya menjadi bulan - bulanan kaum Quraisy. Berkat pertolongan Abbas bin Abdul
Muthalib, ia selamat dan suku Quraisy membebaskannya setelah mereka mengetahui bahwa
orang yang dipukuli berasal dari suku Ghifar. Ia mengikuti hampir seluruh pertempuran-
pertempuran selama Nabi Muhammad hidup.

Orang-orang yang masuk Islam melalui dia, adalah : Ali-al-Ghifari, Anis al-Ghifari, Ramlah al-
Ghifariyah.

Dia dikenal sangat setia kepada Rasulullah. Kesetiaan itu misalnya dibuktikan sosok sederhana
ini dalam satu perjalanan pasukan Muslim menuju medan Perang Tabuk melawan kekaisaran
Bizantium. Karena keledainya lemah, ia rela berjalan kaki seraya memikul bawaannya. Saat itu
sedang terjadi puncak musim panas yang sangat menyayat.

Dia keletihan dan roboh di hadapan Nabi SAW. Namun Rasulullah heran kantong airnya masih
penuh. Setelah ditanya mengapa dia tidak minum airnya, tokoh yang juga kerap mengkritik
penguasa semena-mena ini mengatakan, "Di perjalanan saya temukan mata air.

Saya minum air itu sedikit dan saya merasakan nikmat. Setelah itu, saya bersumpah tak akan
minum air itu lagi sebelum Nabi SAW meminumnya." Dengan rasa haru, Rasulullah berujar,
"Engkau datang sendirian, engkau hidup sendirian, dan engkau akan meninggal dalam
kesendirian. Tapi serombongan orang dari Irak yang saleh kelak akan mengurus
pemakamanmu." Abu Dzar Al Ghifary, sahabat setia Rasulullah itu, mengabdikan sepanjang
hidupnya untuk Islam.

Sebelum Masuk Islam

Tidak diketahui pasti kapan Abb Dzar lahir. Sejarah hanya mencatat, ia lahir dan tinggal dekat
jalur kafilah Mekkah, Syria. Riwayat hitam masa lalu Abizar tak lepas dari keberadaan
keluarganya.

Abu Dzar yang dibesarkan di tengah-tengah keluarga perampok besar Al Ghiffar saat itu,
menjadikan aksi kekerasan dan teror untuk mencapai tujuan sebagai profesi keseharian. Itu
sebabnya, Abu Dzar yang semula bernama Jundab, juga dikenal sebagai perampok besar yang
sering melakukan aksi teror di negeri-negeri di sekitarnya.

Kendati demikian, Jundab pada dasarnya berhati baik. Kerusakan dan derita korban yang
disebabkan oleh aksinya kemudian menjadi titik balik dalam perjalanan hidupnya: Insyaf dan
berhenti dari aksi jahatnya tersebut. Bahkan tak saja ia menyesali segala perbuatan jahatnya itu,
tetapi juga mengajak rekan-rekannya mengikuti jejaknya. Tindakannya itu menimbulkan amarah
besar sukunya, yang memaksa Jundab meninggalkan tanah kelahirannya.

Bersama ibu dan saudara lelakinya, Anis Al Ghifar, Abizar hijrah ke Nejed Atas, Arab Saudi. Ini
merupakan hijrah pertama Abu Dzar dalam mencari kebenaran. Di Nejed Atas, Abu Dzar tak
lama tinggal, sekalipun banyak ide-idenya dianggap revolusioner sehingga tak jarang mendapat
tentangan dari masyarakat setempat.

Masuk Islam

Mendengar datangnya agama Islam, Abu Dzar pun berpikir tentang agama baru ini. Saat itu,
ajaran Nabi Muhammad ini telah mulai mengguncangkan kota Mekkah dan membangkitkan
gelombang kemarahan di seluruh Jazirah Arab. Abu Dzar yang telah lama merindukan
kebenaran, langsung tertarik kepada Rasulullah, dan ingin bertemu dengan Nabi SAW. Ia pergi
ke Mekkah, dan sekali-sekali mengunjungi Ka'bah. Sebulan lebih lamanya ia mempelajari
dengan saksama perbuatan dan ajaran Nabi. Waktu itu masyarakat kota Mekkah dalam suasana
saling bermusuhan.

Demikian halnya dengan Ka'bah yang masih dipenuhi berhala dan sering dikunjungi para
penyembah berhala dari suku Quraisy, sehingga menjadi tempat pertemuan yang populer. Nabi
juga datang ke sana untuk salat.

Seperti yang diharapkan sejak lama, Abu Dzar berkesempatan bertemu dengan Nabi. Dan pada
saat itulah ia memeluk agama Islam, dan kemudian menjadi salah seorang pejuang paling gigih
dan berani.
Bahkan sebelum masuk Islam, ia sudah mulai menentang pemujaan berhala. Dia berkata: "Saya
sudah terbiasa bersembahyang sejak tiga tahun sebelum mendapat kehormatan melihat Nabi
Besar Islam." Sejak saat itu, Abu Dzar membaktikan dirinya kepada agama Islam.

Kisah masuk Islamnya Abu Żar

Diceritakan oleh (Abu Jamra): Ibnu Abbas r.a. berkata pada kami: Maukah kalian aku ceritakan
kisah tentang masuk Islamnya Abu Żar? Kami menjawab: "Ya"

Abu Żar berkata, "Aku adalah seorang pria dari kabilah Gifar, Kami mendengar bahwa ada
seseorang mengaku nabi di Mekkah. Aku bilang pada seorang saudaraku,

'Pergilah temui orang itu, bicaralah dengannya lalu kabarkanlah beritanya padaku'. Dia pergi
menjumpainya dan kembali. Aku bertanya padanya, 'Ada kabar apa yang kau bawa?', Dia
berkata,

'Demi Allah, aku melihat seorang pria mengajak pada hal-hal yang baik dan melarang hal-hal
yang buruk', Aku berkata padanya, 'Kamu tidak memuaskan keingintahuanku dengan keterangan
yang hanya sedikit itu' .

Aku mengambil kantung air dan tongkat lalu pergi menuju Mekkah. Aku tak tahu siapa dan
seperti apa nabi itu, dan aku pun tak mau menanyakan hal itu pada siapapun. Aku terus minum
air zam-zam dan terus berdiam diri di sekitar Ka'bah. Lalu Ali lewat didepanku, dia bertanya,
'Sepertinya anda orang asing di sini? 'Aku jawab 'Ya'.

Dia mengajakku ke rumahnya, aku lalu mengikutinya. Dia tidak menanyakan apa pun padaku,
Aku pun tidak mengatakan apa-apa padanya.

Besok paginya aku pergi lagi ke Ka'bah untuk menanyakan perihal nabi itu pada orang-orang di
sana, tetapi tak seorang pun mengatakan sesuatu tentangnya. Ali kembali lewat di hadapanku dan
bertanya,

'Adakah seseorang yang belum juga menemukan tempat tinggalnya?', Aku bilang,'Tidak'. Dia
berkata,

'Kemari mendekatlah padaku'. Lalu dia bertanya,

'Anda punya urusan apa di sini? Apa yang membuat Anda datang ke kota ini?'. Aku bilang
kepadanya,

'Jika kamu bisa menjaga rahasiaku, maka aku akan mengatakannya ', Dia menjawab,

'Akan aku lakukan'. Aku berkata padanya,


'Kami mendengar bahwa ada seseorang di kota ini mengaku dirinya nabi... Aku lalu mengutus
seorang saudaraku untuk bicara dengannya dan waktu dia kembali, dia membawa kabar yang
tidak memuaskan. Jadi, aku berpikir untuk bertemu dengannya secara langsung'.

Ali berkata, 'Tercapailah sudah tujuanmu, Aku mau menemui dia sekarang. Jadi, ikutlah aku.
Bila aku masuk ke suatu tempat, masuklah setelahku. Jika aku menjumpai seseorang yang
mungkin akan menyusahkanmu, aku akan berdiri di dekat tembok berpura-pura memperbaiki
sepatuku (sebagai tanda peringatan) bahwa anda harus segera pergi'.

Kemudian Ali berjalan dan aku mengikutinya sampai dia masuk ke suatu tempat dan aku masuk
dengannya menemui sang nabi yang padanya aku berkata,

'Terangkanlah hakikat Islam itu kepadaku'. Waktu dia menjelaskannya, aku langsung
menyatakan masuk Islam seketika itu juga.

Nabi bersabda,'Wahai Abu Żar, simpanlah perkataanmu itu sebagai rahasiamu dan pulanglah ke
daerah asalmu dan apabila kamu mendengar kabar tentang kemenangan kami, kembalilah
temuilah kami'. Aku berkata,

'Demi Dia Yang telah mengutus engkau dalam kebenaran, aku akan mengumumkan keislamanku
secara terang-terangan di hadapan mereka (kaum musyrikin)'. Abu Żar pergi ke Ka'bah di mana
banyak orang-orang Quraisy berkumpul, lalu berseru,

'Hai, Kalian orang-orang Quraish! Aku bersaksi (Asyhadu a lâ ilâha ill-Allah wa asyhadu anna
Muhammadan abduhu wa rasuluhu) Tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi Muhammad itu
hamba dan rasul Allah!'. (Mendengar hal itu) Orang-orang Quraisy itu berteriak,

'Tangkap Sâbi itu (Muslim itu)! Mereka bangkit lalu memukuliku sampai hampir mati. Al Abbas
melihatku lalu menabrakkan badannya ke badanku untuk melindungiku. Lalu dia menghadapi
mereka dan berkata,

'Ada apa dengan kalian ini! Apakah kalian mau membunuh seorang dari kabilah Gifar? Padahal
selama ini kalian berdagang dan berkomunikasi dengan dunia luar melewati daerah kekuasaan
mereka?!'. Mereka lalu meninggalkanku...

Besok paginya aku kembali ke Kakbah dan berseru sama persis seperti yang aku lakukan
kemarin, mereka kembali berteriak,

'Tangkap Sâbi itu (Muslim itu)!'. Lalu aku dipukuli (sampai hampir mati) sama seperti kemarin,
dan kembali Al Abbas menghampiri diriku dan menabrakkan badannya ke badanku untuk
melindungiku, dan dia berkata pada mereka sama seperti yang dia lakukan kemarin.

Begitulah kisah tentang masuk Islamnya Abu Żar r.a. (4:725-OB)


Menjadi Sahabat Nabi

Mendapat kepercayaan Nabi saw., Abizar ditugaskan mengajarkan Islam di kalangan sukunya.
Meskipun tak sedikit rintangan yang dihadapinya, misi Abizar tergolong sukses. Bukan hanya
ibu dan saudara-saudaranya, hampir seluruh sukunya yang suka merampok berhasil diislamkan.
Itu pula yang mencatatkan dirinya sebagai salah seorang penyiar Islam fase pertama dan
terkemuka.

Rasulullah sendiri sangat menghargainya. Ketika dia meninggalkan Madinah untuk terjun dalam
"Perang pakaian compang-camping", dia diangkat sebagai imam dan administrator kota itu. Saat
akan meninggal dunia, Nabi memanggil Abizar. Sambil memeluknya, Rasulullah berkata:
"Abizar akan tetap sama sepanjang hidupnya." Ucapan Nabi ternyata benar, Abizar tetap dalam
kesederhanaan dan sangat saleh. Seumur hidupnya ia mencela sikap hidup kaum kapitalis,
terutama pada masa khalifah ketiga, Usman bin Affan, ketika kaum Quraisy hidup dalam
gelimangan harta.

Bagi Abizar, masalah prinsip adalah masalah yang tak bisa ditawar-tawar. Itu sebabnya,
hartawan yang dermawan ini gigih mempertahankan prinsip egaliter Islam. Penafsirannya
mengenai "Ayat Kanz" (tentang pemusatan kekayaan), dalam surah Attaubah, menimbulkan
pertentangan pada masa pemerintahan Usman, khalifah ketiga.

"Mereka yang suka sekali menumpuk emas dan perak dan tidak memanfaatkannya di jalan
Allah, beritahukan mereka bahwa hukuman yang sangat mengerikan akan mereka terima. Pada
hari itu, kening, samping dan punggung mereka akan dicap dengan emas dan perak yang dibakar
sampai merah, panasnya sangat tinggi, dan tertulis: Inilah apa yang telah engkau kumpulkan
untuk keuntunganmu. Sekarang rasakan hasil yang telah engkau himpun."

Atas dasar pemahamannya inilah, Abizar menentang keras ide menumpuk harta kekayaan dan
menganggapnya sebagai bertentangan dengan semangat Islam. Soal ini, sedikit pun Abizar tak
mau kompromi dengan kapitalisme di kalangan kaum muslimin di Syria yang diperintah
Muawiyah, saat itu.

Menurutnya, sebagaimana dikutip dalam buku Tokoh-tokoh Islam yang Diabadikan Alquran,
merupakan kewajiban Muslim sejati menyalurkan kelebihan hartanya kepada saudara-
saudaranya yang miskin.

Untuk memperkuat pendapatnya itu, Abizar mengutip peristiwa masa Nabi: "Suatu hari, ketika
Nabi Besar sedang berjalan bersama-sama Abizar, terlihat pegunungan Ohad.

Nabi berkata kepada Abizar, 'Jika aku mempunyai emas seberat pegunungan yang jauh itu, aku
tidak perlu melihatnya dan memilikinya kecuali bila diharuskan membayar utang-utangku.
Sisanya akan aku bagi-bagikan kepada hamba Allah'."n her

Pelayan Duafa dan Pelurus Penguasa


Semasa hidupnya, Abizar Al Gifari sangat dikenal sebagai penyayang kaum dhuafa. Kepedulian
terhadap golongan fakir ini bahkan menjadi sikap hidup dan kepribadian Abizar. Sudah menjadi
kebiasaan penduduk Giffar pada masa jahiliah merampok kafilah yang lewat. Abizar sendiri,
ketika belum masuk Islam, kerap kali merampok orang-rang kaya. Namun hasilnya dibagi-
bagikan kepada kaum duafa. Kebiasaan itu berhenti begitu menyatakan diri masuk agama
terakhir ini.

Prinsip hidup sederhana dan peduli terhadap kaum miskin itu tetap ia pegang di tempat barunya,
di Syria. Namun di tempat baru ini, ia menyaksikan gubernur Muawiyah hidup bermewah-
mewah. Ia malahan memusatkan kekuasaannya dengan bantuan kelas yang mendapat hak
istimewa, dan dengan itu mereka telah menumpuk harta secara besar-besaran. Ajaran egaliter
Abizar membangkitkan massa melawan penguasa dan kaum borjuis itu. Keteguhan prinsipnya
itu membuat Abizar sebagai 'duri dalam daging' bagi penguasa setempat.

Ketika Muawiyah membangun istana hijaunya, Al Khizra, salah satu ahlus shuffah (sahabat Nabi
SAW yang tinggal di serambi Masjid Nabawi) ini mengkritik khalifah, "Kalau Anda membangun
istana ini dari uang negara, berarti Anda telah menyalahgunakan uang negara. Kalau Anda
membangunnya dengan uang Anda sendiri, berarti Anda melakukan 'israf' (pemborosan)."
Muawiyah hanya terpesona dan tidak menjawab peringatan itu.

Muawiyah berusaha keras agar Abizar tidak meneruskan ajarannya. Tapi penganjur egaliterisme
itu tetap pada prinsipnya. Muawiyah kemudian mengatur sebuah diskusi antara Abizar dan ahli-
ahli agama. Sayang, pendapat para ahli itu tidak memengaruhinya.

Muawiyah melarang rakyat berhubungan atau mendengarkan pengajaran salah satu sahabat yang
ikut dalam penaklukan Mesir, pada masa khalifah Umar bin Khattab ini. Kendati demikian,
rakyat tetap berduyun-duyun meminta nasihatnya. Akhirnya Muawiyah mengadu kepada
khalifah Usman. Ia mengatakan bahwa Abizar mengajarkan kebencian kelas di Syria, hal yang
dianggapnya dapat membawa akibat yang serius.

Keberanian dan ketegasan sikap Abizar ini mengilhami tokoh-tokoh besar selanjutnya, seperti
Hasan Basri, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Taimiyah, dan lainnya. Karena itulah, tak berlebihan jika
sahabat Ali Ra, pernah berkata: "Saat ini, tidak ada satu orang pun di dunia, kecuali Abuzar,
yang tidak takut kepada semburan tuduhan yang diucapkan oleh penjahat agama, bahkan saya
sendiri pun bukan yang terkecuali."

Anda mungkin juga menyukai