Bani Ghifar
Bani Ghifar adalah qabilah Arab suku badui yang tinggal di pegunungan yang jauh dari
peradaban orang-orang kota. Lebih-lebih lagi suku ini terkenal sebagai gerombolan perampok
yang senang berperang dan menumpahkan darah serta pemberani. Bani Ghifar terkenal juga
sebagai suku yang tahan menghadapi penderitaan dan kekurangan serta kelaparan. Latar
belakang tabi’at kesukuan, apakah itu tabiat yang baik ataukah tabi’at yang jelek, semuanya
terkumpul pada diri Abu Dzar.
Abizar yang dibesarkan di tengah-tengah keluarga perampok besar Al Ghiffar saat itu,
menjadikan aksi kekerasan dan teror untuk mencapai tujuan sebagai profesi keseharian. Itu
sebabnya, Abizar yang semula bernama Jundab, juga dikenal sebagai perampok besar yang
sering melakukan aksi teror di negeri-negeri di sekitarnya.
Kendati demikian, Jundab pada dasarnya berhati baik. Kerusakan dan derita korban yang
disebabkan oleh aksinya kemudian menjadi titik balik dalam perjalanan hidupnya: Insyaf dan
berhenti dari aksi jahatnya tersebut. Bahkan tak saja ia menyesali segala perbuatan jahatnya
itu, tapi juga mengajak rekan-rekannya mengikuti jejaknya. Tindakannya itu menimbulkan
amarah besar sukunya, yang memaksa Jundab meninggalkan tanah kelahirannya.
Bersama ibu dan saudara lelakinya, Anis Al Ghifar, Abizar hijrah ke Nejed Atas, Arab Saudi.
Ini merupakan hijrah pertama Abizar dalam mencari kebenaran. Di Nejed Atas, Abizar tak
lama tinggal. Sekalipun banyak ide-idenya dianggap revolusioner sehingga tak jarang
mendapat tentangan dari masyarakat setempat.
Setelah beberapa lama, kembalilah Unais kekampungnya dan melaporkan kepada Abu Dzar
tentang yang dilihat dan didengar di Makkah berkenaan dengan berita tersebut. Unais
menjelaskan bahwa ia telah menemui seseorang yang menyeru kepada kebaikan dan
mencegah dari perbuatan jelek. Orang tersebut adalah yang benar ucapannya.
Abu dzar semakin penasaran sehingga iapun pergi ke mekah, saat itu ia bertemu dengan Ali
bin Abi Thalib, kemudian Ali bin Abi Thalib mengajaknya pergi menemui rasulullah.
Inilah saat yang paling dinanti oleh Abu Dzar dan ketika Rasulullah menawarkan Islam
kepadanya, segera Abu Dzar menyatakan masuk Islam dituntun Nabi Muhammad sallallahu
alaihi wa aalihi wasallam dengan mengucapkan dua kalimah syahadat. Rasulullah sallallahu
alaihi wa aalihi wa sallam berwasiat kepadanya : “Wahai Aba Dzar, sembunyikanlah
keislamanmu ini, dan pulanglah ke kampungmu !, maka bila engkau mendengar bahwa kami
telah menang, silakan engkau datang kembali untuk bergabung dengan kami”.
Mendengar wasiat tersebut Abu Dzar menegaskan kepada Rasulullah sallallahu alaihi wa
aalihi wa sallam: “Demi yang Mengutus engkau dengan kebenaran, sungguh aku akan
meneriakkan di kalangan mereka bahwa aku telah masuk Islam”. Dan Rasulullah
mendiamkan tekat Abu Dzar tersebut.
Begitu dekatnya Abu Dzar dengan Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam, dan begitu
sayangnya beliau kepada Abu Dzar, sehingga disuatu hari pernah Abu Dzar meminta jabatan
kepada Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam. Maka beliau langsung menasehatinya
:
“Sesungguhnya engkau adalah orang yang lemah, dan sesungguhnya jabatan itu adalah
amanah, dan sesungguhnya jabatan itu akan menjadi kehinaan dan penyesalan bagi orang
yang menerima jabatan itu, kecuali orang yang mengambil jabatan itu dengan cara yang
benar dan dia menunaikan amanah jabatan itu dengan benar pula”. HR. Ibnu Sa’ad dalam
Thabaqatnya.
“Wahai Abu Dzar, engkau adalah seorang yang shaleh, sungguh engkau akan ditimpa
berbagai mala petaka sepeninggalku”. Maka Abu Dzarpun bertanya : Apakah musibah itu
sebagai ujian di jalan Allah ?”, Rasulullahpun menjawab : “Ya, di jalan Allah”. Dengan
penuh semangat Abu Dzarpun menyatakan : “Selamat datang wahai mala petaka yang Allah
taqdirkan”. HR. Abu Nu’aim Al Asfahani dalam kitab Al Hilyah jilid 1 hal. 162.
Saat wafat ia dikafani dengan jubah hasil pintalan ibu dari seorang pemuda Anshar. Saat
bertemu Abu dzar, pemuda itu memiliki dua buah jubah, satu ada di kantong tas baju, sedang
yang lainnya ialah baju yang sedang dipakai.
Abu Dzar amat gembira, kemudian dengan serta merta menyatakan kepadanya : “Engkaulah
orang yang aku minta mengkafani jenazahku nanti dengan jubbahmu itu”. Dengan penuh
kegembiraan, Abu Dzar menghembuskan nafas terakhirnya.
Penutup
Sejak menjadi orang muslim, Abu Dzar al Ghiffari benar-benar telah menghias sejarah
hidupnya dengan bintang kehormatan tertinggi. Dengan berani ia selalu siap berkorban untuk
menegakkan kebenaran Allah dan Rasul-Nya.Tanpa tedeng aling-aling ia bangkit
memberontak terhadap penyembahan berhala dan kebatilan dalam segala bentuk dan
manifestasinya. Kejujuran dan kesetiaan Abu Dzar dinilai oleh Rasulullah Saw sebagai
"cahaya terang benderang."
Pada pribadi Abu Dzar tidak terdapat perbedaan antara lahir dan batin. Ia satu dalam ucapan
dan perbuatan. Satu dalam fikiran dan pendirian. Ia tidak pernah menyesali diri sendiri atau
orang lain, namun ia pun tidak mau disesali orang lain. Kesetiaan pada kebenaran Allah dan
Rasul-Nya terpadu erat degan keberaniannya dan ketinggian daya-juangnya. Dalam berjuang
melaksanakan perintah Allah Swt dan Rasul-Nya, Abu Dzar benar-benar serius, keras dan
tulus. Namun demikian ia tidak meninggalkan prinsip sabar dan hati-hati.