Anda di halaman 1dari 11

1

Dermatitis Herpetiformis: Dari Genetika sampai Terjadinya Lesi Kulit

Abstrak

Dermatitis herpetiformis (DH) merupakan sebuah penyakit autoimun yang


terkait dengan sensitifitas gluten dengan perjalanan yang kambuh-kronis.
Penyakit ini sekarang dianggap sebagai manifestasi kutaneous spesifik
dari penyakit seliak (CD). Kedua kondisi ini diperantarai oleh golongan
antibodi IgA, dan diagnosis DH bergantung pada pendeteksian deposit-
deposit IgA granular dalam kulit. Ada predisposisi genetik untuk terjadinya
DH, tetapi faktor lingkungan juga penting. Makalah ini membahas faktor-
faktor berbeda ini dan membahas mekanisme-mekanisme yang diketahui
yang mengarah para terjadinya lesi kulit.

1. Pendahuluan

Dermatitis herpetiformis (DH) adalah penyakit autoimun yang

terkait dengan sensitifitas gluten dengan perjalanan kambuh-kronis, yang

ditandai dengan lesi-lesi polimorfis pruritus dan gambaran histopatologis,

imunopatologis dan serologis yang tipikal. Kondisi ini sekarang dianggap

sebagai manifestasi kutaneous spesifik dari penyakit seliak (CD).

Pasien-pasien yang mengalami DH dan CD memiliki banyak

kesamaan seperti sensitifitas gluten, hubungan antigen leukosit manusia

(HLA) yang sama kuatnya, keberadaan IgA antitissue (tTG) yang

bersirkulasi, dan antibodi transglutaminase (eTG) epidermal. Selain itu,

DH dan dan CD menunjukkan gambaran histologis tipikal yang sama

berupa atrofi villous pada usus kecil. Pada DH, spektrum enteropati

bervariasi, dan 20% pasien menunjukkan arsitektur mukosa usus-kecil

yang tampak normal, tetapi hampir selalu ada perubahan inflamatori yang

sejalan dengan CD laten.


2

Ruam dan enteropati membaik setelah diberikannya diet bebas

gluten.

DH terjadi dengan lesi-lesi difusif, simetris, polimorfis berkelompok

yang terdiri dari eritema, plak urtikaria, papula, vesikula herpetiformis, dan

lepuh yang diikuti dengan erosi, eksoriasi, dan hiperpigmentasi. Tempat

yang paling umum terlibat adalah siku (90%), lutut (30%), bahu, bokong,

area sakral, dan wajah. Gatal-gatal dengan intensitas bervariasi,

penggarukan, dan sensasi luka bakar yang mendahului terjadinya lesi

cukup umum.

Keberadaan deposit-deposit granular IgA pada ujung-ujung dermis

papiler dianggap sangat menandakan penyakit ini, bahkan jika DH bisa

memiliki pola deposisi IgA fibrilar ketimbang granular saat diperiksa

dengan mikroskop imunofluoresensi langsung, dan pasien dengan pola ini

bisa tidak memiliki autoantibodi yang bersirkulasi.

Walaupun DH adalah penyakit yang jarang terjadi, namun

frekuensinya lebih umum pada ras Kaukasoid, sementara lebih jarang

pada populasi Asia, termasuk Jepang. Beberapa perbedaan antara DH

Kaukasoid dan DH Jepang telah dilaporkan, seperti frekuensi pola fibrilar

yang lebih tinggi, enteropati sensitif gluten (GSE) yang lebih jarang, dan

haplotipe HLA berbeda pada orang Jepang.

Patofisiologi DH cukup kompleks dan melibatkan faktor-faktor

genetik, seperti perdisposisi HLA, pemicu lingkungan (gluten), dan

disregulasi sistem imun.


3

2. Faktor Genetik

Seperti pada CD, hampir semua pasien dengan DH membawa

haplotipe DLA HQ2 atau HLA DQ8. Hubungan ini telah ditunjukkan pada

model manusia dan hewan.

Dalam sebuah penelitian oleh Spurkland, yang membandingkan 50

pasien DH dengan 289 kontrol sehat, sebanyak 86% dari pasien yang

terkena membawa alel HLA DQ2 dan 12% membawa alel HLA DQ8.

Keberadaan salah satu dari kedua alel ini memberikan sensitifitas yang

mendekati 100% untuk CD dan DH. Pada individu yang tidak memiliki alel-

alel ini, CD dan DH hampir tidak ada.

Model mencit NOD DQ8+ yang direproduksi oleh Marietta dan

rekan-rekannya telah mengonfirmasi hubungan ini. Sebanyak lima belas

mencit NOD DQ8+ dari 90 yang disensitisasi terhadap gluten mengalami

patologi melepuh yang mirip dengan yang terlihat pada DH. Demikian

juga, infiltrasi neutrofil pada dermis, deposisi IgA pada junction dermis-

epidermis (DEJ), dan pembalikan utuh fenomena pelepuhan dengan

pemberian GFD dengan atau tanpa dapson juga diamati. Walaupun ini

merupakan model penyakit imunokompleks gliadin dan bukan DH

eksperimental, namun model seperti ini menekankan peran haplotipe

HLA-DQ8. Pada kenyataannya, menurut penulis, penambahan DQ8

berkontribusi bagi sensitifitas terhadap gliadin, sementara penambahan

NOD berkontribusi bagi diatesis autoimun.


4

Penelitian-penelitian genetika sebelumnya yang dilakukan di tahun

1970an dan 1980an menunjukkan peningkatan ekspresi haplotipe HLA-

A1, HLA-B8, dan HLA-DR3 pad apasien yang mengalami DH dan CD.

Untuk HLA-B8, hubungan dengan DH adalah 58-87% beranding 20-30%

untuk pasien kontrol. Untuk HLA-DR3, hubungan dengan DH adalah 90-

95% berbanding 23% untuk pasien kontrol. Akan tetapi, hubungan-

hubungan ini belum dikonfirmasi oleh penelitian lebih lanjut, dan tidak

tampak signifikan secara statistik dalam kaitannya dengan haplotipe

HLADQ2 dan HLA DQ8.

Beberapa penelitian menunjukkan perbedaan haplotipe HLA

diantara pasien Kaukasoid dan pasien Asia. Lebih khusus di Jepang,

frekuensi HLA-B8/DR3/DQ2 sangat rendah pada populasi umum (1% atau

kurang), dan tidak ada haplotipe HLA-B8/DR3/DQ2 yang ditemukan pada

pasien DH.

Banyak penelitian menekan bahwa faktor genetik, selain HLA,

memegang peran penting dalam patogenesis DH. Kecocokan tinggi

ditunjukkan pada kembar monozigotik (rasio kecocokan 0,91), dan

insidens CD dan DH lebih tinggi diantara kerabat keturunan pertama

dibanding pada populasi umum.

Baru-baru ini, sebuah gen kandidat terbaru, yaitu myosin IXB

(MYO98) pada kromosom 19p13, terbukti terkait dengan CD pada

populasi Belanda dan Spanyol. Myosin IXB berfungsi dalam signaling sel

dan regulasi dinamika sitoskeleton actin, sehingga meregulasi integritas


5

sel dan permeabilitas sawar usus. Pada pasien dengan mutasi myosin

IXB, kemungkinan ada peningkatan permeabilitas usus dengan lebih

banyak penetrasi gluten dan pemicuan imunologi berikutnya

menghasilkan CD atau DH yang tampak secara klinis.

Kosiknen dan rekan-rekannya telah meneliti rangkai genetik dan

hubungan empat polimorfisme nukleotida-tunggal MYO9B (SNP) pad

akromosom 19p13 dengan CD pada total 1259 pasien dengan CD; 161

(13%) diantaranya menderita DH.

Hasilnya menunjukkan rangkai genetik signifikan dengan 19p13

yang mendukung adanya faktor risiko murni untuk CD pada lokus ini,

disamping bukti lemah tentang hubungan dengan DH yang ditemukan.

Pada kenyataannya, ketika material keluarga pasien dengan penyakit ini

dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan kejadian DH< maka alel SNP

risiko MYO9B ditemukan ditransmisikan secara berlebih ke keturunan

hanya pada keluarga yang mengalami DH.

3. Faktor Lingkungan

Faktor pemicu lingkungan untuk DH direpresentasikan oleh

pencernaan gluten (sebuah protein simpanan glikosilasi dalam seral

seperti gandum, gandum hitam dan barley), komponen sama yang

penambahan atau pengurangannya bisa menghasilkan proses penyait

pada CD. DH dan CD adalah contoh signifikan dimana faktor lignkungan

memegang peran penting dalam patogenesis penyakit.


6

Gliadin adalah bagian terlarutkan alkohol dari gluten dengan

kandungan glutamin dan prolin yang sangat tinggi. Gliadin hanya dicerna

secara parsial dalam usus yang terdiri dari peptida-peptida yang resisten

terhadap pencernaan. Peptida yang resisten terhadap pencernaan ini bisa

dimodifikasi oleh tTG dengan dua cara alternatif yang memicu deamidasi

dan transamidasi. Penelitian-penelitian in vitro telah menunjukkan bahwa

transamidasi adalah reaksi utama sehingga meningkatkan antigenisitas

peptida gliadin. Neoantigen-neoantigen diciptakan oleh modifikasi

enzimatis ini terhadap gluten diet. Pengikatan silang juga berada di luar

sisi aktif tTG sehingga menyebabkan kompleks gliadin deaminasi/peptida,

tTG terikat secara kovalen yang ditemukan dalam biopsi-biopsi usus kecil

pasien yang mengalami CD.

Gliadin dipisahkan menurut mobilitas elektroforetik-nya menjadi

empat kelompok, yaitu (, , , and ), masing-masing dibagi lagi menjadi

beberapa fraksi lain. Telah ditemukan bawha fraksi yang paling banyak

terlibat dalam lesi mukosa usus adalah gliadin A, konstituen utama -

gliadin. Struktur asam amino primer dari sub-fraksi ini telah diketahui, dan

diyakin bahwa aktivitas imunoreaktifnya terkait dengan area N-terminal

dari molekul ini.

Demonstrasi yang paling meyakinkan bahwa gluten, seperti pada

CD, mewakili faktor etiologi pada DH adalah penemuan bahwa diet bebas-

gluten yang ketat, bahkan jika setelah beberapa bulan, bisa

menyembuhkan manifestasi-manifestasi kutaneous, selain gangguan


7

inestinal. Beberapa bukti mendukung interpretasi bahwa perubahan-

perubahan gastrointestinal yang dipicu oleh -gliadin juga mampu memicu

imunorespon mukosa, yang tidak dibatasi pada antigen ini tetapi juga

mencakup tTG dan eTG, dengan sedikit yang terkait dengan entitas

kerusakan usus.

4. Antibodi IgA anti-transglutaminase

Sampai tahun 90an, EMA IgA yang bersirkulasi dianggap sebagai

penanda serologis paling penting baik pada DH maupuan pada CD. Pada

tahun 1997, Dieterich dkk telah menemukan tTG sebagai autoantigen

endomysial yang tidak diketahui pada CD. tTG merupakan enzim

dependen kalsium sitoplasmik yang mengkatalisis pengikatna silang

antara glutamin dan residu protein lysin. tTG diekspresiman dalam jumlah

banyak dalam banyak jaringan; pada kulit, tTG ditemukan dalam

keratinosit basal dan kapiler-kapiler dermis.

Keberadaan IgA anti-tTG bersirkulasi merupakan penanda yang

paling sensitif untuk CD, dan umumnya digunakan sebagai alat skrining.

Antibodi IgA anti-tTG juga merupakan penanda diagnostik untuk

enteropati pada pasien-pasien DH; kadarnya bahkan berkorelasi dengan

derajat kerusakan usus dan penurunan di bawah diet bebas gluten.

Dengan demikian, kadar antibodi spesifik tTG berfungsi sebagai indikator

untuk kepatuhan pasien terhadap diet bebas gluten.

Pada tahun 2002, autoantigen lain, yaitu eTG, diidentifikasi untuk

Dh. eTG adalah homolog tTG dalam domain-domain yang aktif secara
8

enzimatis, dan fungsi utamanya dalam epidermis melibatkan pengikatna-

silang dan pemeliharaan integritas cornified envelope. eTG tidak

diekspreikan secara merata, tetapi sebagian besar ditemukan dalam

epidermis, usus kecil, otak, dan testis.

Pada tahun 2002, Sardy dan rekan-rekannya menunjukkan bahwa

deposit-deposit IgA dalam kulit perilesional pasien DH berkolokalisasi

dengan deposit-deposit eTG. Baru-baru ini, Donaldson dan rekan-

rekannya dan Marietta dan rekan-rekannya secara terpisah

mengonfirmasi hasil ini dalam dua penelitian berbeda.

Pasien-pasien dengan DH menghasilkan dua populasi antibodi IgA

terhadap eTG. Populasi pertama mengikat khusus eTG, sementara

populasi kedua bereaksi silang dengan eTG dan sekaligus tTG. Antiodi-

antiodi spesifik eTG reaktif-silang ditemukan dalam CD tanpa DH, tetapi

menunjukkan aviditas lebih rendah untuk eTG dibanding pada pasien

dengan DH. Berbeda dengan itu, antibodi spesifik eTG yang tidak reaktif-

silang dengan tTG ditemukan hanya pada pasien yang mengalami DH.

Lebih lanjut, eTG tetapi tidak tTG, berkolokalisasi dengan deposit-deposit

IgA granular dalam kulit pasien yang mengalami DH, dan kadar antibodi

terhadap eTG berkorelasi dengan besarnya enteropati pada DH tetapi

tidak pada CD yang tidak disertai DH. Secara bersama-sama, data-dat

aini menunjukkan bawha eTG dan bukan tTG tampak sebagai target

autoantigenik pada pasien yang mengalami DH, sementara tTG adalah

antigen dominan untuk CD. Sebuah penelitain oleh Rose dan rekan-
9

rekannya telah menunjukkan bahwa antibodi terhadap eTG merupakan

penanda serologis yang paling sensitif untuk diagnosis DH. Lebih khusus,

sensitifitas 95% telah dilaporkan, sehingga menguatkan penelitian oleh

Sardy dan rekan-rekannya; dimana sensitifitas yang ditemukan adalah

92%, walaupun Heil dan rekan-rekannya dan Hull dkk menemukan

antibodi anti-eTG pada hanya 45% dan 52% pasien dengan DH yang

tidak diterapi, masing-masing.

Berdasarkan data-data ini, DH bisa dipahami sebagai penyakit

imunokompleks IgA-eTG kutaneous, yang terjadi hanya pada beberapa

pasien yang mengalami enteropati sensitif gluten. Sesuai dengan

pendapat ini, sebuah model patogenetik histopatologis telah dianjurkan

baru-baru ini oleh Zone dan rekan-rekannya, yang mencoba menjelaskan

onset DH. Mereka mengusulkan bahwa, selama masa kanak-kanak,

pasien dengan CD awalnya memiliki kadar antibodi anti-tTG IgA yang

meningkat tetapi kadar antibodi anti-eTG IgA yang normal. Seiring

berjalannya waktu dan pasien dengan CD menjadi dewasa,. Beberapa

diantaranya, kemungkinan karena penyebaran epitop antar-molekuler

mengalami peningkatan kadar antibodi anti-eTG IgA dibanding dengan

masa kanak-akank. Telah dihipotesiskan bahwa pasien-pasien ini yang

mengalam peningkatan antibodi anti-eTG IgA pada masa dewasa berisiko

tinggi untuk mengalami DH.

Akan tetapi, walaupun menarik, model seperti ini masih harus

dikonfirmasi dengan penelitian lebih lanjut. Pada kenyataannya, DH


10

bukannya tidak umum pada anak-anak, tetapi menurut teori oleh Zone,

mereka belum memiliki waktu untuk menjalani penyebaran epitop dan

mengembangkan antibodi anti-eTG.

5. Respon Imun

Dalam literatur terbaru, banyak penelitian yang telah mencoba

mengklarifikasi mekanisme pasti melalui mana sensitifitas gastrointestinal

menghasilkan terjadinya lesi-lesi spesifik DH, tetapi mekanisme seperti ini

belum dipahami seutuhnya.

Lesi kulit DH ditandai dengan adanya infiltrat inflamatori yang

utamanya tersusun atas neutrofil, terlokalisasi pada ujung-ujung papila

dermis, area dimana deposit-deposit IgA kutanetous ditemukan. Sebuah

penelitian histopatologis terbaru terhadap pasien dengan DH

menunjukkan bahwa pada hampir 40% dari biopsi, hanya infiltrat limfositik

dengan fibrosis dan kapiler ektatik yang terlihat. Peristiwa inflamatori awal

adalah edema yang bervariasi dalam dermis papiler dengan perubahan

vakuolar subepidermis diskret dan neutrofil di sepanjang DEJ. Seiring

berkembangnya lesi, neutrofil, dan beberapa eosinofil, serta fibrin

terakumulasi dalam papila dermis dan membentuk mikroabses. Ini

menjadi menyatu, menghasilkan lepuh subepidermal. Telah ditemukan

bahwa pembentuk split terjadi dalam lamina lusida zona membran basal.

Sebagai rangkuman, terjadinya lesi kulit pada DH bisa bergantung

pada respon imun mukosal dalam usus yang terkait dengan peningkatan

kadar IL-8 dan produksi gradien konsentrasi lokal yang mencukupi dari IL-
11

8 dan kemokin lainnya yang akan menarik neutrofil yang di-priming

parsial ke kulit. Keberadaan IgA dalam kulit pasien dengan DH dan

keberadaan reseptor IgA pada permukaan neutrofil menunjukkan bahwa

IgA bisa berfungsi sebagai stimulus pro-inflamasi tambahan.

6. Kesimpulan

Mekanisme patogenik yang mendasari DH disebabkan oleh banyak

faktor, yang melibatkan faktor genetik, lingkungan, dan autoimun.

Penjelasan potensial adalah bahwa pada orang-orang yang rentan

(asosiasi HLA) terjadinya lesi kulit terkait dengan inflamasi mukosa

gastrointestinal kronis sebagai akibat dari tantangan gluten yang

persisten, dengan respon imun lokal dan produksi IgA mukosa. Salah satu

bagian dari IgA bersirkulasi (anti-eTG) terikat ke kulit. Sebagai

konsekuensinya, respon imun mukosal gastrointestinal menghasilkan

peningkatan kadar sitokin bersirkulasi yang secara parsial bisa mem-

priming neutrofil serta sel endotelium dan Th2 aktif. UVB dan mikrotrauma

minor pada kulit meningkatkan produksi sitokin lokal, yang mengarah

pada keluarnya neutrofil, deposisi IgG pada DEJ, dan terjadinya lesi kulit

DH.

Anda mungkin juga menyukai