Anda di halaman 1dari 3

Sejarah singkat hadroh

Hadrah atau lebih populer dengan sebutan terbangan perkembangannya tak lepas dari sejarah
dakwah Islam. Seni ini memiliki semangat cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada yang
tahu secara persis, kapan datangnya musik hadrah di Indomesia. Namun
hadrah atau yang lebih populer dengan music terbangan (rebana bahasa jawa) tersebut tak lepas
dari sejarah perkembangan dakwah Islam para Wali Songo.
Dari beberapa sumber menyebutkan bahwa pada setiap tahun di serambi Masjid Agung Demak,
Jawa Tengah diadakan perayaan Maulid Nabi yang diramaikan dengan rebana. Para Wali songo
menggadopsi rebana dari Hadrolmaut sebagai kebiasaan seni musik untuk dijadikan media
berdakwah di Indonesia. Menurut keterangan ulama besar Palembang Al Habib Umar Bin Thoha
Bin Shahab, adalah Al Imam Ahmad Al Muhajir (kakek dari Wali Songo
kecuali Sunan Kalijaga), ketika hijrah ke Yaman ( Hadrolmaut ) bertemu dengan salah satu
pengikut tariqah sufi (darwisy) yang sedang asyik memainkan hadrah (rebana) serta
mengucapkan syair pujian kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan pertemuan itu mereka
bersahabat. Setiap Imam Muhajir mengadakan majelis maka disertakan darwisy tersebut,
hingga keturunan dari Imam Muhajir tetap menggunakan hadrah disaat mengadakan suatu
majelis. Hadrah selalu menyemarakkan acara-acara Islam seperti peringatan Maulid Nabi,
tabligh akbar, perayaan tahun baru hijriyah, dan peringatan hari-hari besar Islam lainnya. Sampai
saat ini hadrah telah berkembang pesat di masyarakat Indonesia sebagai musik yang mengiringi
pesta pernikahan, sunatan, kelahiran bayi, acara festival seni musik Islami dan dalam kegiatan
ekstrakulikuler di sekolahan, pesantren, remaja masjid dan
majelis taklim. Makna hadrah dari segi bahasa diambil dari kalimat bahasa Arab yakni hadhoro
atau yuhdhiru atau hadhron atau hadhrotan yang berarti kehadiran. Namun kebanyakan hadrah
diartikan sebagai irama yang dihasilkan oleh bunyi rebana. Dari segi istilah atau definisi, hadrah
menurut tasawuf adalah suatu metode yang bermanfaat untuk membuka jalan masuk ke ‘hati’,
karena orang yang melakukan hadrah dengan benar terangkat kesadarannya akan
kehadiran Allah dan Rasul-Nya. Syair-syair Islami yang dibawakan saat bermain
hardah mengandung ungkapan pujian dan keteladanan sifat Allah dan Rasulullah SAW yang
agung. Dengan demikian akan membawa dampak kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Para sufi yang biasanya melibatkan seruan atas sifat – sifat Allah yang Maha Hidup (Al-Hayyu),
melakukannya sambil berdiri, berirama dan melantunkan bait-bait pujian atas baginda Nabi
Muhammad SAW. Kekuatan Mahabbatur Rasul Pujian terhadap Rasulullah baik dalam bentuk
prosa maupun syair, telah ada sejak zaman Rasululah SAW lewat bait-bait gubahan tiga
penyair terkenal yaitu Hasan ibn Tsabit, Abdullah ibn Rawahah dan Ka’ab ibn Malik. Nabi
justru sangat terkesan dengan keindahan syair (qasidah) yang disampaikan oleh Ka’ab ibn
Zuhayr ibn Abi Salma. Karena rasa sukanya, Nabi Muhammad pernah menghadiahkan
selendang (burdah) untuk Ka’ab. Sanjungan yang sering disampaikan para
shahabat ini bersifat metaforik dan gaya simbolik sehingga mengilhami syair dan prosa
dalam kitab-kitab Malid semisal al-Barzanji, ad- Diba’i, atau qasidah al-Burdah.
Adalah Imam Syarafuddin Abu Abdillah Muhammad ibn Zaid as-Shanhaji al-Bushiri
(1213-1296 M/610-695 H) ahli hadis, penulis, sekaligus sastrawan kondang asal Mesir yang
menulis 162 syair burdah. Semasa hidupnya al- Bushiri pernah berguru kepada Imam as-
Syadzili (pendiri Tarikat Sadziliyah) dsn penerusnya Abdul Abbas al-Mursi.
Sajak-sajak Burdah yang 162 bait itu terdiri dari 10 bait tentang cinta, 16 tentang hawa nafsu, 30
tentang pujian terhadap Rasulullah SAW, 19
tentang kelahirannya, 10 tentang pujian terhadap al-Qur’an, 3 tentang Isra’ Mi’raj, 22
tentang jihad, 14 tentang istighfar, selebihnya (38 bait) tentang tawassul dan munajad. Al-
Bushairi memulai karyanya dengan membuka pertanda mabuk asmara dengan bercucuran air
mata dan kegalauan hati. Tetapi ia mengingatkan bahwa tetesan air mata dan kegalauan itu tak
selamanya menandakan cinta, karena didepan telah ada hawa nafsu yang siap membelokkan
arah. “Nasfu ibarat anak kecil yang jika dibiarkan akan terus menyusu hingga masa mudanya,
tapi jika dihentikan sedikit demi sedikit, ia akan berhenti dengan sendirinya.” (Bait ke-19).
Bagi al-Bushiri nafsu seolah binatang gembala yang harus terus dijaga setiap saat. Sekalipun ia
terlihat tenang ketika menikmati makanan rumput yang hijau, tetap jangan lengah.” (Bait ke-21).
Setelah menyadari bahwa nafsu selalu dinahkodai setan, maka al-Bushiri
memperkenalkan sosok yang seluruh tenaga, pikiran, hati dan waktunya dihabiskan untuk
kebenaran yaitu Nabi Muhammad SAW. Segala hinaan, permusuhan, lemparan batu dan
kotoran, hingga usaha pembunuhan diterimanya dengan penuh ketabahan.
Al-Bushairi menyadari bahwa betapapun besar pujinya untuk Nabi SAW, namun semua tidak
menambah kemuliaan dan kedudukan Nabi. Di puji dan tidak pun Nabi Muhammad akan tetap
mulia karena kemuliaan itu telah melekat dalam dirinya. Sementara dalam kitab al-Barzanji
karya Syekh Jafar Al Barzanji ibn Husin ibn Abdul Karim
(1690-1766 M), sebagian syairnya mengungkapkan adanya rasa kerinduan akan
hadirnya seorang pemimpin seperti Nabi
Muhammad SAW yang tegas, jujur dan bijaksana. Karya sastra yang begitu masyhur di Tanah
Air ini bahkan pernah disyarah (dijabarkan) oleh Syekh Nawawi al-Bantani dengan judul
Madarijus Shu`ud ila Iktisa` al-Burud. Penulisan Kitab Barzanji juga tidak terlepas dari sejarah
panjang konflik militer dan politik antara umat Islam dan umat Kristen Barat
dalam Perang Salib. Selama Perang Salib berlangsung, Sultan Salahuddin al-Ayyubi
(1138-1193 M) mengobarkan semangat perjuangan dengan meneladani perjuangan
Nabi Muhammad dalam peringatan Maulid Nabi. Segenap ulama seperti Imam Syafi’i, Hasan
Basri dan Ibnu Taimiyah sepakat bahwa pujian terhadap Nabi Muhammad SAW adalah hal yang
wajar asal tak sampai mengangkat derajad kemanusiaan (Nabi Muhammad) ketingkat
ketuhanan (deity). Syair Burdah dan Barzanji secara tidak langsung memiliki kekuatan yang
akan membawa hati dan pikiran manusia terbawa hanyut dalam pesona cinta (mahabbatur
Rasul). Budaya di Indonesia Pasca kemerdekaan, perkembangan music hadrah di Indonesia tak
terlepas dari peranan Ikatan Seni Hadrah Indonesia (Ishari). Ishari adalah salah satu badan
otonom yang berada di bawah organisasi Nahdlatul Ulama (NU), disahkan pada tahun 1959.
Pengorganisasian dan nama ISHARI diusulkan oleh salah seorang
pendiri NU yakni KH Wahab Chasbullah. Menurut Gus Hasib, putra KH Wahab Hasbullah,
semasa hidup, Kiai Wahab sangat senang hadrah. Bahkan kalau sedang diam tangannya suka
memukul-mukul sebagai isyarat memukul terbang (hadroh: red) sambil melagukan bacaan
sholawat. Karena ia juga senang berorganisasi akhirnya kelompok hadrah dibuatkan wadah
perkumpulan dibawah organisasi NU dengan nama ISHARI atau Ikatan Seni Hadroh Republik
Indonesia. Terbentuknya ISHARI di NU menjadi salah satu
organisasi yang memelopori tradisi keagamaan warga pesantren dengan menghidupkan
pembacaan sholawat kepada Nabi Muhammad
SAW. Hampir seluruh pesantren di Jawa Timur memiliki kegiatan ekstra setiap malam jum’at
menggelar kegiatan shalawatan. Sebut misalnya Pondok Pesantren Langitan Tuban, Jawa Timur.
Selain mendalami ilmu agama, di pesantren yang diasuh KH Abdullah Faqih ini juga terdapat
kegiatan seni hadrah untuk para santri.
Hadrah menjadi media apresiasi seni bagi para santri untuk menyalurkan bakat dan minat
santrinya. Walhasil, beberapa group pun terbentuk antara lain Annabawiyyah, Arraudhah
dan Al-Muqtasida. Kemahiran para santri dalam
bidang seni suara (qiraat) dan seni music (hadrah) berpadu sehingga tiga grup tersebut
dikenal khalayak umum di wilayah Jawa Timur dan sekitarnya, hingga sekarang. Di era 80-an,
musik hadrah yang dikenal dengan nama rebana qasidah menjadi salah satu musik favorit pada
saat itu. Group music yang menyemarakkan acara-acara tabligh akbar atau perayaan hari-hari
besar Islam adalah Nasida Ria, Semarang. Kepiawaian para personil yang terdiri dari kaum
perempuan ini mampu membumikan nama Nasida Ria ke seluruh nusantara sebagai salah satu
musik Islami modern. Lirik dan warna musik yang ditawarkan Nasida Ria mendapatkan
sambutan luas dari masyarakat Muslim Indonesia. Bahkan, salah satu lagunya yang berjudul
”Perdamaian” dipopulerkan kembali oleh Gigi. Pada tahun 1990-an, muncul kelompok-kelomp
ok kasidah rebana beraliran pop yang dipopularkan oleh Hadad Alawi dan Sulis. Haddad Alwi
tidak hanya membawakan lagu- lagu berlirik Arab namun juga menerjemahkannya kedalam
bahasa Indonesia. Salah satu syair fenomenal yang dibawakan Hadad Alwi adalah do’a I’tiraf
(pengakuan), gubahan penyair Irak terkenal, al-Hasan ibn
Hani al-Hakami atau Abu Nawas (136 – 196 H). Dalam syair I’tiraf (pengakuan) Abu Nawas
sangat menyadari bahwa dirinya bukanlah orang ideal untuk masuk surga. Namun ia pun tak
akan sanggup menahan siksa api neraka. Satu kesadaran bahwa dia benar-benar orang
yang banyak dosa. Dosa yang telah ia perbuat bagaikan pasir di pantai. Oleh karena itu ia
kembali kepada Allah momohon ampunan karena tak ada yang sanggup memberi ampunan
kecuali Rahmat-Nya.

24

Anda mungkin juga menyukai