Anda di halaman 1dari 3

Masjid Bani Ghifar

Masjid Bani Ghifar terletak di Bukit Sila’ yang jaraknya tujuh ratus meter sebelah
barat Masjid Nabawi. Masjid ini diriwayatkan oleh Abu Daud dalam kitab nya Al-Maraasiil,
merupakan salah satu dari sembilan masjid termasuk Masjid Nabawi yang bisa mendengar
lantunan azan Bilal bin Rabah. Kemudian mereka bisa shalat di masjid mereka masing-
masing. Namun menurut para ulama hadits ini lemah dan tidak bisa menjadi pegangan untuk
beramal.

Dinukil dari Anas bin ‘Iyadh dan juga beberapa ulama lain nya, bahwa Rasulullah
shallahu ‘alaihi wasallam pernah shalat di perkampungan Suku Ghifar. Adapun bangunan
nya itu ialah milik keluarga Abu Rahm Kultsum bin Al-Hushain Al-Ghifari, salah seorang
sahabat Rasulullah saw. Masjid Bani Ghifar dahulu berdekatan dengan Masjid Juhainah,
namun sekitar abad ketujuh hijriah bangunan Masjid Juhainah diratakan dan tidak dapat
dipastikan lagi lokasi detailnya saat ini. (Kitab Wafa’ Al-Wafa’ bi Akhbari Dar Al-Mushthafa,
hal. 57)

Bangsa arab dahulu mendengar nama Ghifar mereka lansung terbayang suku yang
terkenal dengan gerombolan perampok, senang berperang, menumpahkan darah, dan
pemberani. Suku Ghifar juga terkenal sebagai suku yang tahan menghadapi penderitaan,
kekurangan, dan kelaparan.

Lembah Waddan adalah sebuah area penting yang terletak antara Makkah dan Syam,
karena merupakan jalur perlintasan kafilah dagang yang strategis. Di lembah itulah tinggal
suku Ghifar. Mereka hidup dari “pajak” yang dipungut dari setiap kafilah yang datang,
bahkan tak segan merampok kafilah yang tidak membayar sesuai apa yang telah mereka
tentukan.

Suku Ghifar dari dahulu dibenci suku Quraisy, karena mereka menghalalkan
berperang di bulan-bulan haram (dzul qa’dah, dzul hijjah, muharram, dan rajab).

Ditengah kerasnya hidup suku Ghifar, terdapatlah seorang tokoh yang cukup
berpengaruh yang kelak setelah Rasulullah saw hijrah ke Madinah ia akan membawa
kejamnya suku Ghifar menuju kelembutan Islam. Ialah Jundub bin Junadah, atau yang kerab
dikenal Abu Dzar Al-Ghifari Radhiyallahu ‘anh. Beliau lahir di tengah-tengah keluarga
perampok, menjadikan aksi teror dan kekerasan sebagai aktivitas keseharian nya di kala itu.
Sebelum masuk islam Abu Dzar ra. adalah seorang yang ahnaf, yaitu orang-orang
yang di masa jahiliyah nya tidak pernah menyembah berhala. Dan setelah masuk islam dia
juga diberi julukan lagi, yaitu assabiqunal awwalun (orang-orang yang awal masuk islam).
Bahkan diriwayatkan beliau adalah orang keempat diantara sahabat yang lain.

Abu Dzar dikenal sosok yang zuhud dan memiliki ijtihad berbeda dari sahabat yang
lain. Beliau berpendapat jika seorang telah terpenuhi kebutuhan primernya, maka harta yang
lain wajib disedekahkan kepada yang membutuhkan. Tak heran belakangan muncul buku
yang menyebutkan Abu Dzar adalah sosok sosialis pertama dalam islam, seperti buku
“Isytirakiyyah Abi Dzar” (Sosialisme Abu Dzar) karangan Mahmud Syilbi. Namun buku ini
perlu dikaji lebih lanjut.

Di awal masa beliau memeluk agama islam, beliau diperintahkan Rasulullah saw
untuk mendakwahi suku nya. Bersama saudaranya Unais dan Ibunya mulailah mereka
mengetuk tiap-tiap pintu untuk mendakwahi islam. Alhasil berkat izin Allah hampir semua
kalangan suku Ghifar memeluk agama islam setelah Rasulullah saw hijrah ke Madinah. Lalu
menyusul setelahnya suku Aslam yang ada pertalian darah dengan mereka. Rasulullah saw
berdoa :

‫ َو ِغَف اُر َغَف َر الَّلُه َهَلا‬,‫َأْس َلُم َس اَلَم َه ا الَّلُه‬

"Bani Aslam, semoga Allah menyelamatkannya, dan Bani Ghifar, semoga Allah
mengampuninya” (HR. Bukhari, no 3513)

Dalam perjalanan menuju perang Tabuk, Abu Dzar ra. tertinggal dari pasukan karena
beliau mengendarai tunggangan yang lambat. Saat mengetahui hal itu, para sahabat
memberitahu Rasulullah saw, lalu memutuskan untuk berhenti sementara. Abu Dzar yang
merasa kecewa dengan tunggangan nya lantas turun dan lansung memikul barang sendiri di
pundak beliau lalu meninggalkan tunggangan tersebut.

Dari kejauhan sahabat melihat beliau, lalu mengabari Rasulullah saw. Kemudian
Rasulullah saw bersabda :

‫ ويبعث وحده‬،‫ وميوت وحده‬،‫ ميشي وحده‬،‫رحم اهلل أبا ذر‬

“Semoga Allah swt merahmati Abu Dzar, beliau berjalan sendiri, diwafatkan sendiri, dan
kelak akan dibangkitkan dalam keadaan sendiri” (HR. Ibnu Ishaq, dalam kitab nya Al-
Maghazi). Hadits ini menjadi kenyataan, dimana Abu Dzar ra. nantinya meminta izin kepada
Khalifah Utsman ra. untuk pergi ke luar Madinah, yang akhirnya beliau wafat disana terpisah
dari khalayak orang ramai. Padahal hadits tersebut Rasulullah saw ucapkan jauh sebelum
Abu Dzar ra. wafat.

Diantara nasihat Abu Dzar ra. ialah, “Kekasihku (Rasulullah saw) berwasiat kepadaku
dengan tujuh hal: (1) agar aku mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka, (2)
agar aku melihat kepada mereka yang berada di bawahku dan tidak melihat kepada mereka
yang berada di atasku, (3) agar aku menyambung silaturahim meski mereka berlaku kasar
padaku, (4) agar aku tidak meminta-minta kepada manusia, (5) agar aku mengatakan yang
benar walaupun itu pahit, (6) agar aku tidak takut atas celaan orang-orang yang suka mencela,
(7) dan agar aku memperbanyak membaca “la haula wala quwwata illa billah” karena
kalimat itu bagian berharga dari ‘Arsy”. (HR. Ahmad, V/159)

Abu Dzar wafat tahun tiga puluh dua hijriah, dan dimakamkan di Rabazah, daerah
tidak jauh dari Madinah. Menjelang beliau dibumikan, Abdullah bin Mas’ud ra. dan sebagian
kecil sahabat yang ada menshalati beliau untuk terakhir kalinya.

Beruntunglah Abu Dzar yang hanya mendapati dunia dalam genggaman nya, dan
menaruh dengan baik akhirat di dalam lubuk hati nya.

Ada pesan berharga dari kisah ini, bahwasanya kita tidak tahu akhir dari sebuah
episode kehidupan seseorang. Barangkali suku atau orang yang kita anggap dahulu celaka,
bisa saja Allah swt takdirkan kebaikan untuk mereka, ataupun sebaliknya. Oleh karena itu,
mari kita bersama menjadi pribadi yang selalu berhusnudzan, dan kita berharap semoga kita
diwafatkan dalam keadaan husnul khatimah. aamiin

Anda mungkin juga menyukai