Anda di halaman 1dari 9

Pengkhianatan dan pembelotan selalu dianggap tercela dalam narasi banyak budaya.

Dalam sejarah Islam,


pengkhianatan dan pembelotan yang paling sering dilakukan dan berbahaya adalah apa yang dilakukan oleh orang-
orang Yahudi terhadap Rasulullah SAW. Perang Khaibar merupakan babak akhir dari pengkhianatan mereka yang
panjang semasa hidup Rasulullah. Perang ini terjadi pada tahun 7 H atau 628 M.

Pengkhianatan pertama orang-orang Yahudi adalah apa yang dilakukan oleh Bani Qainuqa. Bani Qainuqa termasuk
bangsa Yahudi yang perkampungannya paling dekat dengan tempat tinggal bangsa Arab Yatsrib (Madinah). Bahkan
pasar mereka merupakan di antara pasar yang banyak dikunjungi oleh bangsa Arab Madinah.

Pengkhianatan mereka berawal dari beberapa di antara mereka yang mengganggu seorang perempuan Muslimah
yang berakibat terjadi perkelahian antara seorang Muslim dan beberapa orang dari Bani Qainuqa. Dalam perkelahian
itu, seorang Muslim terbunuh dan seorang Yahudi yang mengganggu Muslimah tadi juga terbunuh. Karena Bani
Qainuqa tidak beriktikad baik bahkan memusuhi Islam Rasulullah pun lalu menyerang mereka dan berhasil
mengalahkannya. Bani Qainuqa akhirnya terusir dari Madinah.

Tidak lama berselang, Bani Nadhir mengikuti jejak Bani Qainuqa dalam mengkhianati Rasulullah. Mereka bahkan
hendak membunuh Rasulullah dengan menjatuhkan batu besar ke kepala beliau. Namun usaha itu gagal. Oleh itu,
Rasulullah menyerang mereka dan berhasil mengalahkan mereka. Beliau akhirnya memutuskan untuk mengusir
mereka juga.

BACA JUGA Habib Rizieq Sampaikan Lima Amanat Perjuangan di Reuni 212
Pengkhianatan terakhir Yahudi sebelum perang Khaibar dilakukan oleh Yahudi Bani Quraizhah. Mereka
mengkhianati Rasulullah dengan menyerang pasukan Islam dari belakang saat pasukan Islam tengah sibuk
menghadapi pasukan Ahzab di hadapan mereka. Beliau langsung menggempur Bani Quraizhah langsung setelah
berakhirnya perang Ahzab, dan berhasil mengalahkan mereka. Kepada Bani Quraizhah diputuskan hukuman bahwa
laki-laki dewasa dibunuh, para wanita dan anak-anak dijadikan tawanan, serta harga mereka dijadikan ghanimah.

Khaibar merupakan lahan subur pertanian yang terletak di utara Madinah. Jaraknya dengan Madinah yaitu delapan
barid (sekitar 96 mil/ 154 km). Perkampungan itu dikelilingi benteng-benteng pertahanan yang berlapis-lapis.

Penyebab perang Khaibar adalah karena Yahudi Bani Nadhir—yang setelah terusir dari Madinah lalu menetap di
Khaibar—menimbulkan permusuhan melawan umat Islam. Mereka berusaha memprovokasi bangsa Arab untuk
melawan Rasulullah.

Rasulullah lalu mengirimkan 1400 pasukannya untuk menyerang Khaibar dan menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai
salah seorang panglimanya. Meski berjalan alot yang dipenuhi pengepungan, akhirnya benteng-benteng Khaibar
dapat ditaklukkan oleh tentara Islam. Penduduk Khaibar menyerah. Mereka menginginkan agar bisa meninggalkan
Khaibar meski tidak membawa apa pun kecuali pakaian yang mereka kenakan.

Pasukan Besar Menuju ke Khaibar

Setelah kembali dari Hudaibiyah, Rasulullah saw berada di Madinah pada bulan Dzulhijah dan sebagian bulan Muharam.
Kemudian pada sisa bulan Muharam itu, beliau berangkat ke Khaibar. Demikian sebagaimana dituturkan Ibnu Hisyam dari Ibnu
Ishaq.

Sebagian ahli tafsir mengatakan, Khaibar adalah janji yang telah disampaikan Allah melalui firman-Nya, “Allah menjanjikan
kepada kalian yang banyak yang dapat kalian ambil, maka disegerakan-Nya harta rampasan itu untuk kaum,” (QS al-Fath : 20).

Jumlah Pasukan Islam

Orang-orang munafiq dan orang-orang yang memiliki keimanan yang lemah tidak ikut dalam Perjanjian Hudaibiyyah. Allah
menurunkan perintah kepada Nabi-Nya tentang mereka dengan firman-Nya, “Orang-orang yang tertinggal itu akan berkata
apabila kalian berangkat untuk mengambil harta rampasan, ‘Biarkanlah kami, niscaya kami mengikuti kalian.’ Mereka hendak
mengubah janji Allah katakanlah, ‘Kalian sekali-sekali tidak (boleh) mengikuti kami; demikian Allah telah menetapkan
sebelumnya. ‘ Mereka akan mengatakan, ‘Sebenarnya kalian dengki kepaada kami. ‘Bahkan mereka tidak mengerti kecuali
sedikit sekali,” (QS al-Fath : 15).

Ketika hendak berangkat ke Khaibar, Rasullullah saw mengumumkan bahwa yang boleh ikut hanyalah orang-orang yang suka
berjihad. Ternyata yang ikut berangkat hanyalah orang-orang yang menyertai peristiwa Baiatur Ridhwan, sejumlah 1400
orang, disertai 200 orang penunggang kuda. Jadi jumlah pasukan Islam 1600 orang.

Yahudi Mendapat Informasi dari Kaum Munafik

Al-Kufru millatun wahidah (Kekafiran itu, satu agama). Begitulah watak orang-orang munafik. Meskipun zahirnya Mukmin, tapi
hatinya kufur. Mereka sudah sangat sering membantu orang-orang Yahudi, termasuk menjelang Perang Khaibar.

Gembong munafiq, Abdullah bin Ubay berkirim surat kepada orang-orang Yahudi Khaibar yang isinya, “Muhammad hendak
mendatangi kalian, maka waspadalah. Janganlah kalian takut kepadanya, sebab jumlah dan persenjataan kalian banyak,
sedangkan pengikut Muhammad sedikit dan hanya membawa sedikit senjata.”

Setelah mengetahui hal itu, penduduk Khaibar mengutus Kinanah bin Abul Haqiq dan Haudzah bin Qais kepada Bani Ghathafan
untuk meminta bantuan. Mereka adalah sekutu Yahudi Khaibar dalam menghadapi kaum Muslimin. Selain itu, pemukiman Bani
Ghatafan berada cukup dekat dengan Khaibar. Ketika Perang Khandaq, Bani Ghathafan juga bergabung dengan pasukan Ahzab
atas ajakan Yahudi Bani Nadhir. Dari suku ini kita mengenal seorang tokohnya yang sangat berjasa bagi kaum Muslimin. Tokoh
itu bernama Nuaim bin Mas’ud. Dialah yang memecah pasukan Ahzab dan membuat pasukan mereka tercerai berai.

Untuk menarik minat Bani Ghathafan, Yahudi Khaibar tak ragu-ragu berkorban. Jika berhasil mengalahkan kaum Muslimin,
mereka berjanji akan memberi imbalan berupa setengah dari hasil buah-buahan Khaibar untuk Bani Ghathafan. Bani Ghathafan
setuju. Mereka menjanjikan bantuan 4000 personil.

Setiap hari, kaum Yahudi sudah terbiasa mengenakan perlengkapan perang untuk bertempur. Jumlah mereka seluruhnya sekitar
10 ribu pasukan. Jadi, kekuatan Yahudi Khaibar mencapai 14 ribu orang, jauh di atas kekuatan umat Islam yang hanya 1600
orang.

Rute Menuju Khaibar

Dalam perjalanan menuju Khaibar, Rasulullah melewati Gunung Ashr, lalu ash-Shahba. Setelah itu beristirahat di suatu lembah
yang disebut ar-Raji. Lebih detil, al-Waqidi menjelaskan rute perjalanan pasukan Islam. Nabi saw keluar dari Madinah
melewati bukit Wada – Raghabah – Naqmi – Mustanakh – Luthat – Gunung Ashr – Shahba – Kharshat – Syiqqi – Nuthat –
Manzalat – dan Lembah Raji. Dari lembah Raji’ inilah Nabi saw bergerak untuk menaklukkan Khaibar.

Antara ar-Raji dan Ghathafan ditempuh dengan perjalanan selama sehari semalam. Lembah ini terletak di sebelah Timur Laut
Khaibar. Jadi, Nabi saw memilih tempat ini bukan tanpa alasan. Ia ingin memisahkan Khaibar dari Syam dan Ghathafan.

Untuk menggentarkan musuh, pasukan Islam mengumandangkan kalimat-kalimat kebesaran Allah dengan suara keras. Orang-
orang Ghathafan sudah melakukan persiapan untuk berangkat menuju Khaibar, memberikan bantuan kepada orang-orang
Yahudi.

Namun di tengah perjalanan, mereka mendengar suara gaduh dari arah belakang. Mereka mengira kaum Muslimin telah
menyerang keluarga dan harta mereka. Akhirnya, mereka kembali dan tidak ikut campur urusan Rasullullah saw dengan
penduduk Khaibar.

Kemudian Rasulullah memanggil dua orang yang menjadi penunjuk jalan bagi pasukan Islam. Salah seorang bernama Husail,
untuk menunjukkan jalan yang terbaik. Dengan demikian dapat menghadang kemungkinan orang-orang Yahudi yang melarikan
diri ke Syam atau Ghathafan.

Salah seorang penunjuk jalan itu berkata, “Aku akan menunjukkan jalan kepada Anda, wahai Rasullullah saw.”

Beliau menerima petunjuk yang diberikannya. Setelah sampai pada persimpangan, penunjuk jalan itu mengatakan bahwa semua
jalan ini bisa dilalui untuk mencapai tujuan. Beliau kemudian menanyakan nama salah satu jalan tersebut.

Penunjuk jalan itu berkata, “Ini namanya Huzn.”

Beliau tidak mau melalui jalan itu.

Dia berkata, “Yang ini namanya Syasy.”

Beliau juga tidak mau melewati jalan itu.


Dia berkata, “Jalan yang ini namanya Hathib.”

Beliau juga tidak mau melalui jalan itu.

Selanjutnya Husail berkata, “Tak ada pilihan lain kecuali yang satu ini.”

Umar bertanya, “Apa nama jalan itu?”

Husail menjawab, “Namanya Marhab.”

Maka, Nabi saw pun memilih melewati jalan itu.

Menaklukkan Benteng Khaibar

Jarak Madinah dan Khaibar sekitar 80 mil atau 120 km. Saat menempuh perjalanan itu, ada kisah menarik yang terjadi. Menarik
untuk kita telaah sebelum menguraikan kisah perang Khaibar yang sebenarnya.

Kisah ini dituturkan oleh Salamah bin al-Akwa. Sosok inilah yang digelari dengan Pahlawan Pasukan Pejalan Kaki lantaran
berhasil menghalau musuh pada peristiwa Perang Dzi Qarad. Salamah menuturkan, “Kami berangkat ke Khaibar bersama Nabi
Muhammad saw. Kami melakukan perjalanan di malam hari. Ada seseorang berkata kepada Amir bin al-Akwa (saudaranya),
seorang penyair, “Maukah engkau memperdengarkan suaramu?”

Amir pun turun dan menggiring unta-unta yang dikendarai kaum Muslimin sambil melantunkan syair:

Kalau bukan karena engkau, ya Allah

Kami tidak akan medapatkan petunjuk

Tidak pula bershadaqah dan shalat.

Ampunilah kesalahan-kesalahan kami

Dan teguhkanlah pendirian kami

Jika berhadapan dengan musuh

Serta berikanlah kepada kami ketentraman jiwa

Apabila kami diseru untuk berperang

Kami segera menyambutnya


Rasullullah saw kemudian bertanya, “Siapakah yang melantunkan syair-syair itu?”

Orang-orang menjawab Amir bin al-Akwa.

“Semoga Allah merahmatinya,” kata beliau.

Salah seorang dari kaum Muslimin—ada yang mengatakannya Umar bin Khaththab—berkata, “Wahai Nabi Allah, Anda telah
memastikannya (akan mati syahid). Mengapa tidak membiarkannya tetap bersama kami?”[1]

Orang-orang mengetahui apabila Rasullullah saw memintakan ampunan bagi seseorang secara khusus, pasti orang itu akan mati
syahid.[2] Hal ini pun terjadi. Amir bin al-Akwa syahid.[3]

Pasukan Islam Menuju Perbatasan Khaibar

Pada malam terakhir sebelum dimulainya peperangan, kaum Muslimin bermalam dekat Khaibar. Orang-orang Yahudi tak
mengetahui kedatangan mereka. Seperti biasanya, apabila Nabi saw hendak menyerbu suatu kaum dan tiba di tempat mereka
pada malam hari, beliau menunggu sampai pagi.

Ketika Shubuh tiba, beliau mendirikan shalat, lalu kaum Muslimin menaiki kendaraan. Sementara itu penduduk Khaibar keluar
dari rumah sambil membawa sekop dan keranjang menuju kebun-kebun mereka.

Ketika melihat pasukan Islam, mereka berteriak, “Itu Muhammad, Demi Allah, itu Muhammad dan pasukannya.” Kemudian
mereka kembali lagi ke perkampungan dengan berlarian.

Nabi saw kemudian berkata, “Allahu Akbar, runtuhlah Khaibar! Allahu Akbar runtuhlah Khaibar. Sesungguhnya apabila kita
tiba di halaman suatu kaum maka amat buruklah saat yang dialami oleh orang-orang yang mendapatkan peringatan.”[4]

Nabi saw memilih suatu tempat untuk markas pasukannya. Beliau didatangi Khabbab bin Mundzir dan berkata, “Wahai
Rasullulah, apakah tempat ini ditetapkan Allah, ataukah sekadar pendapat dalam strategi peperangan?”

Beliau menjawab, “Ini sekadar pendapat.”

Khabab kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, tempat ini sangat dekat dengan benteng Nathan. Seluruh prajurit Khaibar
berada dalam benteng itu. Mereka mengetahui keadaan kita, sementara kita tidak mengetahui keadaan mereka. Anak panah
mereka juga sampai kepada kita, sementara anak panah kita tidak sampai kepada mereka. Kita tidak aman dari serangan
mereka. Di samping itu, tempat ini diliputi oleh pepohonan kurma, tempatnya rendah dan kurang sehat. Alangkah baiknya jika
Anda perintahkan untuk pindah ke tempat lain yang tidak seperti ini untuk kita jadikan markas.”

Nabi saw berkata, “Pendapat kamu sungguh tepat.” Kemudian beliau memerintahkan untuk berpindah ke tempat lain.

Setelah tiba dekat Khaibar, beliau memerintahkan kepada pasukannya untuk berhenti kemudian beliau berdoa, “Ya Allah, Rabb
langit yang tujuh dan segala yang dianunginya, Rabb bumi yang tujuh dan segala yang dikandungnya, Rabb syaithan-syaithan
dan semua yang disesatkannya, sesungguhnya kami mohon kepada-Mu kebaikan kampung ini, kebaikan penduduknya dan
kebaikan apa pun yang ada di dalamnya. Kami berlindung kepada-Mu dan keburukan kampung ini, keburukan penduduknya dan
keburukan apa pun yang ada di dalamnya.”
Setelah berdoa beliau berkata, “Majulah dengan nama Allah!”[5]

Pasukan Islam Siap Bertempur

Malam hari menjelang pertempuran. Rasulullah saw berkata, “Besok aku akan menyerahkan bendera kepada orang yang
mencintai Allah dan Rasul-Nya, juga dicintai Allah dan Rasul-Nya.”

Semua berharap mendapatkan amanah untuk memegang bendera perang itu. Usai melaksanakan shalat Subuh, kaum Muslimin
beramai-ramai mendatangi Rasulullah saw. Semuanya berharap diserahi bendera.

Beliau bertanya, “Di mana Ali bin Abu Thalib?”

Mereka menjawab, “Kedua matanya sakit.”

“Suruh dia kemari,” pinta beliau.

Ali bin Abu Thalib kemudian dibawa menghadap beliau. Rasulullah saw kemudian meludahi kedua matanya dan berdoa mohon
kesembuhan. Saat itu juga, mata Ali langsung sembuh, bahkan seperti tidak sakit sebelumnya.

Setelah itu beliau menyerahkan bendera kepadanya. Ali berkata, “Wahai Rasulullah, aku akan memerangi mereka sampai
mereka sama seperti kita.”

Beliau berkata, “Jangan terburu-buru. Tunggulah sampai kamu tiba di tempat mereka, kemudian serulah mereka kepada Islam
dan beritahukan kepada mereka apa yang menjadi kewajibannya. Demi Allah, seseorang yang mendapatkan petunjuk karena
dirimu, itu lebih baik bagimu daripada kamu memiliki unta merah.”[6]

Menaklukkan Benteng Khaibar

Khaibar adalah wilayah yang memiliki banyak benteng. Di sinilah orang-orang Yahudi bersembunyi. Mereka menjadikan
benteng sebagai tempat tinggal. Secara umum, penaklukkan wilayah Khaibar bisa dirinci sebagai berikut:

Benteng Naim Takluk

Di antara delapan benteng yang pertama kali diserang oleh kaum Muslimin adalah Benteng Naim. Benteng ini adalah pertahanan
pertama bagi kaum Yahudi karena letaknya yang strategis. Benteng ini milik Marhab, seorang Yahudi yang tangguh.

Ali bin Abu Thalib berangkat bersama kaum Muslimin menuju benteng Naim. Sesuai dengan perintah Nabi saw, ia mengajak
orang-orang Yahudi memeluk Islam, namun mereka menolak. Bersama sang pemimpin Marhab, mereka mendatangi kaum
Muslimin dan mengajak perang tanding.

Mengenai peristiwa ini, Salamah bin al-Akwa menuturkan, “Setelah kami tiba di Khaibar, pemimpin mereka, Marhab muncul
sambil mengayun-ayunkan pedangnya dan berkata:

Khaibar telah mengetahui bahwa aku adalah Marhab


Pengadu pedang dan pahlawan ulung

Apabila peperangan telah meletus

Amir bin al-Akwa (saudara Salamah) tampil menghadapi Marhab, seraya berkata:

Khaibar telah mengetahui bahwa aku adalah Amir

Pengadu pedang dan pahlawan pemberani

Keduanya kemudian bertanding. Pedang Marhab mengenai perisai Amir. Amir memukul Marhab dari arah bawah, karena
pedangnya pendek. Amir memukul betis si Yahudi itu, namun mata pedangnya berbalik dan mengenai sisi lututnya bagian atas,
sehingga ia meninggal.

Tentang dirinya, Nabi saw berkata, “Sesungguhnya dia memperoleh dua pahala—beliau menyatukan dua jari-
jarinya, “Sesungguhnya dia seorang mujahid yang sedikit sekali orang Arab berjihad seperti dia.”[7]

Setelah itu Marhab mengajak perang tanding lagi seraya berkata, “Khaibar telah mengetahui bahwa aku adalah
Marhab.” Kemudian ia dihadapi oleh Ali bin Abu Thalib.

Salamah bin al-Akwa menuturkan, sebelum melawan musuhnya, Ali bin Abu Thalib berkata:

Akulah orang yang dinamakan Haidar oleh ibuku

Seperti singa yang seram

Aku akan memangsamu dengan leluasa

Ali memukul kepala Marhab dan membunuhnya. Ia pun menorehkan kemenangan.[8]

Ketika Ali berada dekat dengan benteng, salah seorang Yahudi muncul dari atas benteng seraya bertanya, “Siapa kamu?”

“Aku Ali bin Abu Thalib,” jawab Ali.

Orang Yahudi itu berkata, “Demi apa yang diturunkan kepada Musa kamu lebih unggul.”

Kemudian muncul Yasir saudara Marhab seraya berkata, “Siapakah yang berani tanding denganku?”

Zubair bin Awwam kemudian tampil menghadapinya. Shafiyyah, ibu Zubair berkata, “Wahai Rasulullah, apakah dia akan
membunuh anakku?”

“Tidak, bahkan anakmu akan membunuhnya,” jawab beliau


Ternyata memang demikian. Zubair berhasil membunuh Yahudi itu.

Pertempuran seru terjadi di sekitar benteng Naim. Dalam pertempuran tersebut, beberapa orang Yahudi terbunuh, sehingga
perlawanan Yahudi mengendor, serta tidak mampu menghadapi serangan kaum Muslimin.

Dari beberapa sumber dapat disimpulkan bahwa peperangan ini terjadi selama beberapa hari dan kaum Muslimin menghadapi
perlawanan yang kuat. Namun orang-orang Yahudi akhirnya putus asa menghadapi perlawanan kaum Muslimin, lalu mereka
menyelinap ke benteng lain yaitu benteng ash-Sha’b. Kaum Muslimin akhirnya mendobrak benteng Naim dan menaklukkannya.

Benteng Sha’b Tunduk

Benteng Sha’b adalah benteng kedua yang terkokoh setelah benteng Naim. Di benteng ini terdapat 500 pasukan Yahudi dan
berbagai jenis makanan. Kaum Muslimin melancarkan serangan terhadap benteng ini di bawah komando Khabbab bin Mundzir
al-Anshari. Mereka melakukan pengepungan selama tiga hari. Pada hari ketiga, Rasulullah saw berdoa secara khusus untuk dapat
menaklukan benteng ini.

Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa Bani Sahm dari Aslam datang kepada Rasulullah saw dan berkata, “Sungguh, kita telah
berjihad dan sekarang tidak ada sesuatu pun yang tersisa di tangan kita.”

Beliau kemudian berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau telah mengetahui keadaan mereka. Mereka sudah tak memiliki
kekuatan dan di tanganku tak ada sesuatu pun yang dapat kuberikan kepada mereka. Maka, berikanlah kemenangan kepada
mereka dengan menaklukan benteng yang paling mereka perlukan, paling banyak makanannya, dan paling gemuk ternak-
ternaknya.”[9]

Setelah itu, kaum Muslimin berangkat untuk melakukan penyerbuan, dan Allah menaklukan benteng Sha’b bin Mu’adz.

Di Khaibar, tak ada benteng yang lebih banyak makanannya dan lebih gemuk ternak-ternaknya daripada benteng tersebut.

Dalam melakukan penyerbuan benteng itu, setelah Nabi saw membangkitkan motivasi kaum Muslimin, Bani Aslam berada di
barisan depan. Pertempuran terjadi di depan benteng. Sebelum matahari terbenam, kaum Muslimin dapat merebut benteng
tersebut. Di dalam benteng, kaum Muslimin mendapat beberapa manjaniq dan dabbabah (sejenis senjata untuk melempar batu).

Karena kaum Muslimin mengalami kelaparan berat, seperti yang disebutkan dalam riwayat Ibnu Ishaq, prajurit-prajurit Islam
menyembelih keledai dan memasak periuk di atas api. Setelah hal itu diketahui oleh Rasullulah saw, beliau melarang memakan
daging keledai jinak.

Benteng az-Zubair Bertekuk Lutut

Setelah benteng Naim dan ash-Sha’b ditaklukkan, orang-orang Yahudi berpindah dari seluruh benteng yang ada di wilayah
Nathah ke benteng az-Zubair. Benteng kokoh ini terletak di puncak sebuah bukit, tidak dapat dicapai oleh kuda atau pejalan kaki.
Rasulullah saw memerintahkan untuk mengepung benteng tersebut yang berlangsung selama tiga hari.

Selama pengepungan, beliau didatangi seorang Yahudi seraya berkata, “Wahai Abul Qasim, seandainya engkau tinggal di sini
sebulan, mereka tetap tidak peduli. Mereka memiliki persediaan air dan mata air di bawah tanah. Mereka keluar pada malam
hari untuk mengambil air, lalu kembali ke benteng, sehingga mereka dapat bertahan dari pengepunganmu. Jika engkau dapat
merebut mata air, tentu mereka akan keluar untuk menghadapimu.”
Beliau kemudian memutuskan untuk merebut mata air tersebut. Benar, mereka pun keluar dan bertempur hebat untuk merebut
kembali mata air itu. Dalam pertempuran tersebut, beberapa orang dari kaum Muslimin gugur, sedangkan dari pihak Yahudi ada
sepuluh orang yang menjadi korban. Rasulullah saw akhirnya dapat menaklukkan benteng tersebut.

Penaklukkan Benteng Ubay

Setelah benteng az-Zubair dapat ditaklukkan, orang-orang Yahudi berpindah ke benteng Ubay. Kaum Muslimin pun mengepung
mereka. Satu persatu orang-orang Yahudi mengajak perang tanding, dan semuanya dapat dibunuh oleh para pahlawan kaum
Muslimin.

Yang membunuh penantang kedua adalah pahlawan terkenal, Abu Dujanah, Simak bin Karsyah al-Anhari Pemilik Ikat Kepala
Merah, pada Perang Uhud. Setelah berhasil membunuh lawannya, Abu Dujanah segera menyerbu ke dalam benteng bersama
pasukan Islam. Pertempuran seru pun terjadi dalam benteng untuk beberapa saat. Kemudian orang-orang Yahudi menyelinap dari
benteng dan berpindah ke benteng an-Nizar, benteng terakhir di wilayah pertama.

Penaklukkan Benteng an-Nizar

Benteng an-Nizar adalah benteng terkokoh di wilayah pertama. Orang-orang Yahudi merasa kaum Muslimin tak akan mampu
menyerbu benteng ini meskipun telah mengerahkan seluruh kemampuan. Karena itu, mereka tinggal di benteng ini bersama anak-
anak dan istri-istri. Hal ini tidak mereka lakukan pada empat benteng sebelumnya. Keempat benteng itu mereka kosongkan dari
anak-anak dan istri-istri.

Kaum Muslimin mengepung secara ketat benteng ini dan melakukan tekanan secara keras terhadap mereka. Namun demikian,
kaum Muslimin tidak mendapatkan jalan untuk menyerbu benteng ini, karena terletak di atas bukit yang tinggi. Sementara itu,
orang-orang Yahudi tidak berani keluar untuk berhadapan langsung dengan kekuatan kaum Muslimin. Namun mereka tetap
melancarkan serangan terhadap kaum Muslimin dengan melepaskan anak panah dan melontarkan peluru-peluru batu.

Benteng an-Nizar terasa sulit untuk ditembus oleh kekuatan kaum Muslimin. Karenanya, Rasulullah saw memerintahkan untuk
memasang manjaniq (sejenis alat untuk melemparkan batu). Dengan alat tersebut, kaum Muslimin berhasil merusak dinding-
dinding benteng, lalu menyerbunya.

Peperangan seru pun terjadi dalam benteng. Orang-orang Yahudi kalah telak karena tak dapat menyelinap ke dalam benteng
seperti yang mereka lakukan di dalam benteng-benteng lain. Bahkan, di antara mereka ada yang melarikan diri dari benteng,
meninggalkan istri-istri dan anak-anak mereka.

Dengan ditaklukkannya benteng kokoh ini, maka selesailah penaklukkan wilayah pertama di Khaibar, yaitu wilayah Nathah dan
asy-Syiq. Sebenarnya di wilayah ini masih terdapat benteng-benteng kecil yang lain. Namun dengan ditaklukkannya benteng-
benteng yang kokoh ini, orang-orang Yahudi meninggalkan benteng-benteng kecil itu dan melarikan diri menuju wilayah kedua
dari Khaibar.

Anda mungkin juga menyukai