SITI ASMANIA
َع ْن َع ْبِد الَّرْح َمِن ْبِن َعْو ٍف َقاَل َقاَل َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َأُبو َبْك ٍر ِفي اْلَج َّنِة َو ُع َم ُر
ِفي اْلَج َّنِة َو ُع ْثَم اُن ِفي اْلَج َّنِة َو َع ِلٌّي ِفي اْلَج َّنِة َو َطْلَح ُة ِفي اْلَج َّنِة َو الُّز َبْيُر ِفي اْلَج َّنِة َو َع ْبُد الَّرْح َمِن
ْبُن َعْو ٍف ِفي اْلَج َّنِة َو َس ْعٌد ِفي اْلَج َّنِة َو َسِع يٌد ِفي اْلَج َّنِة َو َأُبو ُع َبْيَد َة ْبُن اْلَج َّراِح ِفي اْلَج َّن ِة
Dari [Abdurrahman bin ‘Auf] dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Abu Bakar masuk surga, Umar masuk surga, Utsman masuk
surga, Ali masuk surga, Thalhah masuk surga, Zubair masuk surga, Abdurrahman
bin ‘Auf masuk surga, Sa’ad masuk surga, Sa’id masuk surga dan Abu Ubaidah
bin Jarah masuk surga.” (Hadits Tirmidzi Nomor 3680)
1. Abu Bakar Ash-Shiddiq (632-634 M)
Abu Bakar ash-Shiddiq adalah sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang paling mulia, bahkan dikatakan ia adalah manusia termulia
setelah para nabi dan rasul. Keutamannya adalah sesuatu yang melegenda, hal
itu diketahui oleh kalangan awam sekalipun. Membaca kisah perjalanan
hidupnya seakan-akan kita merasa hidup di dunia hayal, apa benar ada orang
seperti ini pernah menginjakkan kaki di bumi? Apalagi di zaman kita saat ini,
memang manusia teladan sudah sulit terlestari.
Namun seiring pergantian masa dan perjalanan hidup manusia, ada
segelintir orang atau kelompok yang mulai mencoba mengkritik perjalanan
hidup Abu Bakar ash-Shiddiq setelah Allah dan Rasul-Nya memuji
pribadinya. Allah meridhainya dan menjanjikan surga untuknya, radhiallahu
‘anhu.
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari
golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah
dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-
sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah
kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah: 100)
Kritik tersebut mulai berpengaruh pada jiwa-jiwa yang mudah tertipu,
kepada hati yang lalai, dan kepada pribadi-pribadi yang memiliki hasad
kepada generasi pertam.
Kali ini kita tidak sedang menceritakan kepribadian Abu Bakar secara
utuh, karena hal itu sulit diceritakan di tulisan yang singkat ini. Tulisan ini
akan menyuplikkan sebagian teks-teks syariat yang menjelaskan tentang
kemuliaan Abu Bakar.
a. Nasab dan Karakter Fisiknya
Nama Abu Bakar adalah Abdullah bin Utsman at-Taimi, namun
kun-yahnya (Abu Bakar) lebih populer dari nama aslinya sendiri. Ia
adalah Abdullah bin Utsman bin Amir bin Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin
Ta-im bin Murrah bin Ka’ab bin Luai bin Ghalib bin Fihr al-Qurasyi at-
Taimi. Bertemu nasabnya dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada
kakeknya Murrah bin Ka’ab bin Luai.
Ibunya adalah Ummu al-Khair, Salma binti Shakhr bin Amir bin
Ka’ab bin Sa’ad bin Ta-im. Dengan demikian ayah dan ibu Abu Bakar
berasal dari bani Ta-im.
Ummul mukminin, Aisyah radhiallahu ‘anhu menuturkan sifat fisik
ayahnya, “Ia seorang yang berkulit putih, kurus, tipis kedua pelipisnya,
kecil pinggangnya, wajahnya selalu berkeringat, hitam matanya, dahinya
lebar, tidak bisa bersaja’, dan selalu mewarnai jenggotnya dengan
memakai inai atau katam (Thabaqat Ibnu Sa’ad, 1: 188).
Adapun akhlak Abu Bakar, ia adalah seorang yang terkenal dengan
kebaikan, keberanian, sangat kuat pendiriannya, mampu berpikir tenang
dalam keadaan genting sekalipun, penyabar yang memiliki tekad yang
kuat, dalam pemahamannya, paling mengerti garis keturunan Arab, orang
yang bertawakal dengan janji-janji Allah, wara’ dan jauh dari kerancuan
pemikiran, zuhud, dan lemah lembut. Ia juga tidak pernah melakukan
akhlak-akhlak tercela pada masa jahiliyah, semoga Allah meridhainya.
Sebagaimana yang telah masyhur, ia adalah termasuk orang yang pertama
memeluk Islam.
b. Keutamaan Abu Bakar Ash-Shiddiq
Orang yang Rasulullah Percaya untuk Menemaninya Berhijrah
ke Madinah
“Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka
sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang
kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia
salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di
waktu dia berkata kepada temannya: “Janganlah kamu berduka cita,
sesungguhnya Allah beserta kita”. (QS. At-Taubah: 40)
Dalam perjalanan hijrah ini, Abu Bakar menjaga, melayani, dan
memuliakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia
mempersilahkan Rasul untuk beristirahat sementara dirinya
menjaganya seolah-olah tidak merasakan letih dan butuh untuk
istirahat.
Anas bin Malik meriwayatkan dari Abu Bakar, Abu Bakar
mengatakan, “Ketika berada di dalam gua, aku berkata kepada
Rasulullah, ‘Sekiranya orang-orang musyrik ini melihat ke bawah
kaki mereka pastilah kita akan terlihat’. Rasulullah menjawab,
‘Bagaimana pendapatmu wahai Abu Bakar dengan dua orang manusia
sementara Allah menjadi yang ketiga (maksudnya Allah bersama dua
orang tersebut)’. Rasulullah menenangkan hati Abu Bakar di saat-saat
mereka dikepung oleh orang-orang musyrikin Mekah yang ingin
menangkap mereka.
Sebagai Sahabat Nabi yang Paling Dalam Ilmunya
Abu Said al-Khudri mengatakan, “Suatu ketika, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di hadapan para sahabatnya
dengan mengatakan, ‘Sesungguhnya Allah telah menyuruh seorang
hamba untuk memilih dunia atau memilih ganjaran pahala dan apa
yang ada di sisi-Nya, dan hamba tersebut memilih apa yang ada di sisi
Allah’.
Kata Abu Sa’id, “(Mendengar hal itu) Abu Bakar menangis,
kami heran mengapa ia menangis padahal Rasulullah hanya
menceritakan seorang hamba yang memilih kebaikan. Akhirnya kami
ketahui bahwa hamba tersebut tidak lain adalah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam sendiri. Abu Bakar-lah yang paling mengerti serta
berilmu di antara kami. Kemudian Rasulullah melanjutkan
khutbahnya,
“Sesungguhnya orang yang paling besar jasanya dalam persahabatan
dan kerelaan mengeluarkan hartanya adalah Abu Bakar. Andai saja
aku diperbolehkan memilih kekasih selain Rabbku, pasti aku akan
menjadikan Abu Bakar sebagai kekasih, namun cukuplah
persaudaraan se-Islam dan kecintaan karenanya.”
Kedudukan Abu Bakar di Sisi Rasulullah
Dari Amr bin Ash, Rasulullah pernah mengutusku dalam Perang
Dzatu as-Salasil, saat itu aku menemui Rasulullah dan bertanya
kepadanya, “Siapakah orang yang paling Anda cintai?” Rasulullah
menjawab, “Aisyah.” Kemudian kutanyakan lagi, “Dari kalangan laki-
laki?” Rasulullah menjawab, “Bapaknya (Abu Bakar).
Saat Masih Hidup di Dunia, Abu Bakar Sudah Dipastikan Masuk
Surga
Abu Musa al-Asy’ari mengisahkan, suatu hari dia berwudhu di
rumahnya lalu keluar menemani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Abu Musa berangkat ke masjid dan bertanya dimana Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, dijawab bahwa Nabi keluar untuk suatu
keperluan. Kata Abu Musa, “Aku pun segera pergi berusaha
menysulunya sambil bertanya-tanya, hingga akhirnya beliau masuk ke
sebuah kebun yang teradapat sumur yang dinamai sumur Aris. Aku
duduk di depan pintu kebun, hingga beliau menunaikan keperluannya.
Setelah itu aku masuk ke kebun dan beliau sedang duduk-duduk
di atas sumur tersebut sambil menyingkap kedua betisnya dan
menjulur-julurkan kedua kakinya ke dalam sumur. Aku mengucapkan
salam kepada beliau, lalu kembali berjaga di depan pintu sambil
bergumam “Hari ini aku harus menjadi penjaga pintu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Tak lama kemudian datanglah
seseorang ingin masuk ke kebun, kutanyakan, “Siapa itu?” Dia
menjawab, “Abu Bakar.” Lalu kujawab, “Tunggu sebentar.” Aku
datang menemui Rasulullah dan bertanya padanya, “Wahai
Rasulullah, ada Abu Bakar datang dan meminta izin masuk.”
Rasulullah menjawab, “Persilahkan dia masuk dan beritahukan
padanya bahwa dia adalah penghuni surga.”
c. Kepahlawanan Abu Bakar Ash-Shiddiq di Saat Hijrah
Kecintaan dan kesetiaannya kepada Nabi sangat tampak pada saat
ia menemani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah.
Pada saat Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengizinkan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah, para sahabat pun bersegera
menyambut seruan Allah dan Rasul-Nya untuk berhijrah. Mereka
tinggalkan kampung halaman mereka menuju daerah yang sama sekali
belum mereka kenal sebelumnya. Para sahabat, baik laki-laki atau
perempuan, tua dan muda, dewasa maupun anak-anak, mereka beranjak
dari Mekah menempuh perjalanan kurang lebih 460 Km menuju Madinah.
Mereka melintasi pada gurun yang gersang dan tentu saja terik
menyengat.
Di antara mereka ada yang menempuh perjalanan secara sembunyi-
sembunyi, ada pula yang terang-terangan. Ada yang memilih waktu siang
dan tidak sedikit pula yang menjadikan malam sebagai awal perjalanan.
Ibnu Hisyam mencatat, Abu Bakar adalah salah seorang sahabat
yang bersegera memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya untuk berhijrah. Ia
meminta izin kepada Rasulullah untuk berhijrah. Namun
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan terburu-buru.
Semoga Allah menjadikan untukmu teman (hijrah).”
Rasulullah berharap agar Abu Bakar menjadi temannya saat
berhijrah menuju Madinah. Kemudian Jibril datang mengabarkan bahwa
orang-orang Quraisy telah membulatkan tekad untuk membunuh beliau.
Jibril memerintahkan agar tidak lagi menghabiskan malam di Mekah.
Nabi segera mendatangi Abu Bakar dan mengabarkannya bahwa
waktu hijrah telah tiba untuk mereka. Aisyah radhiallahu ‘anha yang saat
itu berada di rumah Abu Bakar mengatakan, “Saat kami sedang berada di
rumah Abu Bakar, ada seorang yang mengabarkan kepada Abu Bakar
kedatangan Rasulullah dengan menggunakan cadar (penutup muka).
Beliau datang pada waktu yang tidak biasa”.
Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta izin untuk
masuk, dan Abu Bakar mengizinkannya. Beliau bersabda, “Perintahkan
semua keluargamu untuk hijrah”. Abu Bakar menjawab, “Mereka semua
adalah keluargamu wahai Rasulullah”.
Rasulullah kembali mengatakan, “Sesungguhnya aku sudah
diizinkan untuk hijrah”. Abu Bakar menanggapi, “Apakah aku
menemanimu (dalam hijrah) wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Iya.”
Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunggu malam
datang. Pada malam hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari
rumahnya yang sudah terkepung oleh orang-orang kafir Quraisy. Lalu
Allah jadikan mereka tidak bisa melihat beliau dan beliau taburkan debu
di kepala-kepala mereka namun mereka tidak menyadarinya. Beliau
menjemput Abu Bakar yang tatkala itu sedang tertidur. Abu Bakar pun
menangis bahagia, karena menemani Rasulullah berhijrah. Aisyah
mengatakan, “Demi Allah! Sebelum hari ini, aku tidak pernah sekalipun
melihat seseorang menagis karena berbahagia. Aku melihat Abu Bakar
menangis pada hari itu”. Subhanallahu! Perjalanan berat yang
mempertaruhkan nyawa itu, Abu Bakar sambut dengan tangisan
kebahagiaan.
Saat Berada di Gua Tsaur
Dalam perjalanan hijrah, Rasulullah tiba di sebuah gua yang
dikenal dengan nama Gua Tsur atau Tsaur. Saat sampai di mulut gua,
Abu Bakar berkata, “Demi Allah, janganlah Anda masuk kedalam gua
ini sampai aku yang memasukinya terlebih dahulu. Kalau ada sesuatu
(yang jelek), maka akulah yang mendapatkannya bukan Anda”. Abu
Bakar pun masuk kemudian membersihkan gua tersebut. Setelah itu,
Abu Bakar tutup lubang-lubang di gua dengan kainnya karena ia
khawatir jika ada hewan yang membahayakan Rasulullah keluar dari
lubang-lubang tersebut; ular, kalajengking, dll. Hingga tersisalah dua
lubang, yang nanti bisa ia tutupi dengan kedua kakinya.
Setelah itu, Abu Bakar mempersilahkan Rasulullah masuk ke
dalam gua. Rasulullah pun masuk dan tidur di pangkuan Abu Bakar.
Ketika Rasulullah telah tertidur, tiba-tiba seekor hewan menggigit
kaki Abu Bakar. Ia pun menahan dirinya agar tidak bergerak karena
tidak ingin gerakannya menyebabkan Rasulullah terbangun dari
istirahatnya. Namun, Abu Bakar adalah manusia biasa. Rasa sakit
akibat sengatan hewan itu membuat air matanya terjatuh dan menetes
di wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rasulullah pun terbangun, kemudian bertanya, “Apa yang
menimpamu wahai Abu Bakar?” Abu Bakar menjawab, “Aku disengat
sesuatu”. Kemudian Rasulullah mengobatinya.
Melindungi Nabi dari Teriknya Matahari
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Abu Bakar menceritakan
hijrahnya bersama Nabi. Kami berjalan siang dan malam hingga
tibalah kami di pertengahan siang. Jalan yang kami lalui sangat sepi,
tidak ada seorang pun yang lewat. Kumelemparkan pandangan ke
segala penjuru, apakah ada satu sisi yang dapat kami dijadikan tempat
berteduh. Akhirnya, pandanganku terhenti pada sebuah batu besar
yang memiliki bayangan. Kami putuskan untuk istirahat sejenak
disana. Aku ratakan tanah sebagai tempat istirahat Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam, lalu kuhamparkan sehelai jubah kulit dan
mempersilahkan beliau untuk tidur di atasnya. Istirahatlah wahai
Rasulullah. Beliau pun beristirahat.
Setelah itu, aku melihat keadaan sekitar. Apakah ada seseorang
yang bisa dimintai bantuan. Aku pun bertemu seorang penggembala
kambing yang juga mencari tempat untuk berteduh. Aku bertanya
kepadanya, “Wahai anak muda, engkau budaknya siapa?” Ia
menyebutkan nama tuannya, salah seorang Quraisy yang kukenal.
Aku bertanya lagi, “Apakah kambing-kambingmu memiliki susu?”
“Iya.” Jawabnya. “Bisakah engkau perahkan untukku?” pintaku. Ia
pun mengiyakannya.
Setelah diperah. Aku membawa susu tersebut kepada Nabi dan
ternyata beliau masih tertidur. Aku tidak suka jika aku sampai
membuatnya terbangun. Saat beliau terbangun aku berkata,
“Minumlah wahai Rasulullah”. Beliau pun minum susu tersebut
sampai aku merasa puas melihatnya.
Lihatlah! Rasa-rasanya kita tidak terbayang, seorang yang kaya,
mau bersusah dan berpeluh, menjadi pelayan tak kenal lelah seperti
Abu Bakar. Ia ridha dan puas apabila Rasulullah tercukupi, aman, dan
tenang.
Perlindungan Abu Bakar terhadap Rasulullah selama perjalanan
Diriwayatkan al-Hakim dalam Mustadrak-nya dari Umar bin al-
Khattab, ia menceritakan. Ketika Rasulullah dan Abu Bakar keluar
dari gua. Abu Bakar terkadang berjalan di depan Rasulullah dan
terkadang berada di belakang beliau. Rasulullah pun menanyakan
perbuatan Abu Bakar itu. Abu Bakar menjawab, “Wahai Rasulullah,
kalau aku teringat orang-orang yang mengejar (kita), aku berjalan di
belakang Anda, dan kalau teringat akan pengintai, aku berjalan di
depan Anda”.
Apa yang dilakukan Abu Bakar ini menunjukkan kecintaan
beliau yang begitu besar kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia
tidak ingin ada sedikit pun yang mengancam jiwa Nabi. Jika ada mara
bahaya menghadang, ia tidak ridha kalau hal itu lebih dahulu menimpa
Nabi.
Demikianlah dua orang sahabat ini. Rasulullah ingin bersama
Abu Bakar ketika hijrah dan Abu Bakar pun sangat mencintai
Rasulullah. Inilah kecocokan ruh sebagaimana disabdakan oleh Nabi
“Ruh-ruh itu bagaikan pasukan yang berkumpul (berkelompok). Jika
mereka saling mengenal maka mereka akan bersatu, dan jika saling
tidak mengenal maka akan berpisah (tidak cocok).” (HR. Bukhari dan
Muslim).
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat mencintai Abu
Bakar. Dari Amr bin al-Ash, Rasulullah mengutusnya bergabung
dalam pasukan Perang Dzatu Salasil. Amr berkata, “Aku mendatangi
Nabi dan bertanya kepadanya, ‘Siapakah orang yang paling Anda
cintai?’ Beliau menjawab, ‘Aisyah’. Aku kembali bertanya, ‘Dari
kalangan laki-laki?’ Beliau menjawab, ‘Bapaknya (Aisyah)’. (HR.
Bukhari dan Muslim).
Beliau juga bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling besar jasanya
padaku dalam persahabatan dan kerelaan mengeluarkan hartanya
adalah Abu Bakar. Andai saja aku diperbolehkan mengangkat
seseorang menjadi kekasihku selain Rabbku, pastilah aku akan
memilih Abu Bakar, namun cukuplah persaudaraan seislam dan
kecintaan karenanya. Maka tidak tersisa pintu masjid kecuali tertutup
selain pintu Abu Bakar saja.” (HR. Bukhari).
d. Meneladani Abu Bakar
Meneladani Kecintaannya kepada Rasulullah
Diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu ‘anha, ia menceritakan,
setiap harinya Rasulullah selalu datang ke rumah Abu Bakar di waktu
pagi atau di sore hari. namun pada hari dimana Rasulullah diizinkan
untuk berhijrah, beliau datang tidak pada waktu biasanya. Abu Bakar
yang melihat kedatangan Rasulullah berkata, “Tidaklah Rasulullah
datang di waktu (luar kebiasaan) seperti ini, pasti karena ada urusan
yang sangat penting”. Saat tiba di rumah Abu Bakar, Rasulullah
bersabda, “Aku telah diizinkan untuk berhijrah”. Kemudian Abu
Bakar menanggapi, “Apakah Anda ingin agar aku menemanimu wahai
Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Iya, temani aku”. Abu Bakar pun
menangis.
Kemudian Aisyah mengatakan, “Demi Allah! Sebelum hari ini,
aku tidak pernah sekalipun melihat seseorang menagis karena
berbahagia. Aku melihat Abu Bakar menangis pada hari itu”.
Abu Bakar kemudian berkata, “Wahai Nabi Allah, ini adalah
kedua kudaku yang telah aku persiapkan untuk hari ini”. Atsar ini
diriwayatkan oleh Imam Bukhari.
Subhanallah! Abu Bakar menangis bahagia karena bisa hijrah
bersama Rasulullah. Padahal hijrah dari Mekah ke Madinah kala itu
benar-benar membuat nyawa terancam, meninggalkan harta,
meninggalkan keluarga; anak dan istri yang ia cintai, tapi cinta Abu
Bakar kepada Rasulullah membuatnya lebih mengutamakan
Rasulullah daripada harta, anak, istri, bahkan dirinya sendiri.
Menangis saat membaca Al-Qur’an
Abu Bakar adalah seorang laki-laki yang amat lembut hatinya
sehingga tatkala membaca Alquran, matanya senantiasa berurai air
mata. Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit menjelang
wafatnya, beliau memerintahkan Abu Bakar agar mengimami kaum
muslimin. Lalu Aisyah mengomentari hal itu, “Sesungguhnya Abu
Bakar adalah seorang yang sangat lembut, apabila ia membaca
Alquran, ia tak mampu menahan tangisnya”. Aisyah khawatir kalau
hal itu mengganggu para jamaah. Namun Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam tetap memerintahkan agar Abu Bakar mengimami
kaum muslimin.
Karena bacaan Alqurannya pula, orang-orang kafir Quraisy
mengeluh kepada Ibnu Dhughnah –orang yang menjamin Abu Bakar-
agar ia meminta Abu Bakar membaca Alquran di dalam rumahnya
saja, tidak di halaman rumah, apalagi di tempat-tempat umum. Mereka
khawatir istri-istri dan anak-anak mereka terpengaruh dengan lantunan
ayat suci yang dibaca oleh Abu Bakar.
Berhati-Hati terhadap Harta yang Haram atau Syubhat
Dikisahkan pula dari Aisyah radhiallahu’anha, ia berkata:
“Abu Bakar ash-Shiddiq memiliki budak laki-laki yang senantiasa
mengeluarkan kharraj (setoran untuk majikan) padanya. Abu Bakar
biasa makan dari kharraj itu. Pada suatu hari ia datang dengan sesuatu,
yang akhirnya Abu Bakar makan darinya. Tiba-tiba sang budak
berkata, ‘Apakah Anda tahu dari mana makanan ini?’. Abu Bakar
bertanya, ‘Dari mana?’ Ia menjawab, ‘Dulu pada masa jahiliyah aku
pernah menjadi dukun yang menyembuhkan orang. Padahal bukannya
aku pandai berdukun, namun aku hanya menipunya. Lalu si pasien itu
menemuiku dan memberi imbalan buatku. Yang Anda makan saat ini
adalah hasil dari upah itu. Akhirnya Abu Bakar memasukkan
tangannya ke dalam mulutnya hingga keluarlah semua yang ia
makan.” (HR. Bukhari).
Kami tutup tulisan ini dengan sebuah hadits dari Anas bin
Malik. Ada seseorang yang bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Kapan terjadi hari kiamat, wahai
Rasulullah?”Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang
telah engkau persiapkan untuk menghadapinya?”Orang tersebut
menjawab, “Aku tidaklah mempersiapkan untuk menghadapi hari
tersebut dengan banyak shalat, banyak puasa dan banyak sedekah.
Tetapi yang aku persiapkan adalah cinta Allah dan Rasul-
Nya.”Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
“(Kalau begitu) engkau akan bersama dengan orang yang engkau
cintai.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat lain, Anas mengatakan, “Kami tidaklah pernah
merasa gembira sebagaimana rasa gembira kami ketika mendengar
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Anta ma’a man ahbabta
(Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai).”Anas pun
mengatakan, “Kalau begitu aku mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, Abu Bakar, dan ‘Umar. Aku berharap bisa bersama dengan
mereka karena kecintaanku pada mereka, walaupun aku tidak bisa
beramal seperti amalan mereka.” (HR. Bukhari).